• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterampilan Berpikir Kritis dan Perannya terhadap Toleransi Beragama Murid SMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Keterampilan Berpikir Kritis dan Perannya terhadap Toleransi Beragama Murid SMA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

119

MEDIAPSI 2020. Vol.6, No. 2, 119˗131

Keterampilan Berpikir Kritis dan Perannya terhadap Toleransi Beragama Murid

SMA

Indra Nugraha(1), Sri Maslihah(2), Ifa Hanifah Misbach(3)

((1),(2),(3)

Jurusan Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia

The goal of this research was to test the idea that critical thinking skills are related to religious tolerance, which has been understudied within existing psychological studies. To verify this idea, we conducted a correlational survey among a sample of 400 high school students in Bandung who were recruited based on multistage cluster sampling. The results showed as hypothesized that critical thinking skills were significantly and positively correlated with religious tolerance. High critical thinking skills were hence associated with high religious tolerance and vice versa, low critical thinking skills were associated with low religious tolerance. We also additionally examined the extent to which critical thinking skills and religious tolerance varied depending on participants’ gender, ethnicity, and religion. We close by explaining the theoretical and practical implications of those empirical findings, as well as some shortcomings in this research and recommendations for further studies to overcome the shortcomings.

Keywords: critical thinking skill, high school students, religious tolerance

Penelitian ini bertujuan untuk menguji ide bahwa keterampilan berpikir kritis berhubungan dengan toleransi beragama, yang masih jarang diinvestigasi pada studi-studi psikologi sebelumnya. Untuk memverifikasi ide ini, kami melakukan survei korelasional dengan melibatkan 400 murid SMA di Kota Bandung sebagai partisipan, yang diperoleh atas dasar

multistage cluster sampling. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, sesuai hipotesis yang diajukan, keterampilan berpikir kritis berkorelasi signifikan ke arah positif dengan toleransi beragama. Dengan demikian, tingginya keterampilan berpikir kritis berhubungan dengan tingginya toleransi beragama dan sebaliknya, rendahnya keterampilan berpikir kritis berhubungan dengan rendahnya toleransi beragama. Analisis tambahan dalam penelitian ini juga menguji peran variabel demografis jenis kelamin, suku bangsa, dan agama dalam menjelaskan keterampilan berpikir kritis dan toleransi beragama. Di bagian akhir tulisan ini, kami menjelaskan implikasi teoritis dan praktis temuan temuan empiris tersebut, sekaligus sejumlah kekurangan penelitian dan rekomendasi studi lanjutan untuk memperbaiki kekurangan tersebut.

Kata kunci: keterampilan berpikir kritis, murid SMA, toleransi beragama .

Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah bangsa plural yang masyarakat di dalamnya memiliki

latar-belakang agama, suku, budaya, dan adat istiadat yang berbeda-beda. Kemajemukan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia, di satu sisi,

MEDIAPSI, 2020, Vol. 6(2), 119-131, DOI:https://doi.org/10.21776/ub.mps.2020.006.02.6

Received: 10-07-2020. Revised: 19-10-2020. Accepted: 128-11-2020. Published online: 07-12-2020 Handling Editor: Halimatus Sakdiah, UIN Antasari, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Indonesia

*Corresponding author: Indra Nugraha, Jurusan Psikologi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung, Indonesia. E-mail: nuggrahaindra@gmail.com

This work is licensed under a Creative Commons Attribution-NonCommercial 4.0 International License. How to cite this article in accordance with the American Psychological Association (APA) 6th guidelines:

Nugraha, I., Maslihah, S., & Misbach, I. H. (2020). Keterampilan berpikir kritis dan perannya terhadap toleransi beragama murid SMA. MEDIAPSI, 6(2), 119-131. https://doi.org/10.21776/ub.mps.2020.006.02.6

(2)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 120

merupakan suatu keuntungan dan modal kekayaan budaya (Nisvilyah & Lely, 2013). Namun di sisi lain, kemajemukan berpotensi memunculkan konflik sosial yang dapat merusak kesatuan bangsa, terutama bila kemajemukan tersebut tidak disikapi dan dikelola secara baik (Hisyam, 2006).

Variasi agama merupakan salah satu pemicu konflik sosial yang sangat mungkin timbul di masyarakat yang majemuk (Hermawati, Paskarina, & Runiawati, 2017). Untuk mengelola perbedaan agama di Indonesia, diperlukan adanya rasa saling hormat serta saling toleransi antar umat beragama (Nisa’ & Tualeka, 2017). Dengan demikian, hal penting bagi individu atau kelompok dalam suatu lingkungan memiliki rasa toleransi yang tinggi agar menghindari atau mencegah konflik-konflik yang akan muncul karena kemajemukan.

Istilah toleransi merujuk pada usaha menjaga hubungan baik dengan orang lain, yang terejawantah dalam bentuk kesadaran penuh untuk menerima segala perbedaan (Patnani, 2020). Sementara itu, toleransi beragama mempunyai arti perilaku saling hormat, menerima, dan menghargai nilai-nilai, prinsip, atau keyakinan yang dianut individu atau kelompok lain (Wolhuter dkk., 2014). Seseorang harus diberikan kebebasan untuk meyakini dan memeluk agama yang dipilih dan diyakininya (Cassanova, 2008). Nisa’ dan Tualeka (2016) menjelaskan bahwa toleransi sangat penting karena keberadaan toleransi dapat menciptakan kerukunan hidup antar umat beragama. Munculnya kesadaran antar umat beragama yang diwujudkan dalam toleransi bisa menekan atau meminimalisir bentrokan. Toleransi beragama yang dilakukan dengan penuh kesadaran akan melahirkan pandangan bahwa agama sendiri benar dan juga agama lain sebagaimana diyakini oleh pemeluknya (Bakar, 2016).

Perilaku toleransi beragama di Indonesia masih terbilang rendah. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Social Progress Index dari

periode 2014 - 2017, skor toleransi beragama di Indonesia berada pada titik terendah (Herlina, 2018). Menurut temuan Komnas HAM (Satrio, 2017), dari tahun ke tahun, jumlah kasus intoleransi di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2014, kasus intoleransi tercatat sebannyak 74. Di tahun 2015, kasus intoleransi meningkat sebanyak 87, dan di tahun 2016 kasus tersebut terus meningkat menjadi 100. Kasus-kasus tersebut misalnya adalah pelarangan terhadap kegiatan keagamaan tertentu, vandalism terhadap rumah ibadah, perlakuan tidak adil terhadap penganut agama tertentu, intimidasi, dan pemaksaan keyakinan (Satrio, 2017).

Fenomena intoleransi terhadap kelompok agama atau etnik masih kerap terjadi di beberapa daerah. Beberapa kasus intoleransi dan kekerasan beragama terjadi sepanjang tahun 2018. Menurut Rochmanudin (2018), kasus-kasus tersebut di antaranya adalah perusakan pura di Lumajang oleh orang tidak dikenal, penyerangan terhadap ulama di Lamongan, perusakan masjid di Tuban, ancaman bom di kelenteng Kwan Tee Koen Karawang, serangan di gereja Santa Lidwina Sleman, persekusi terhadap biksu di Tangerang, penganiayaan terhadap tokoh agama, dan lain-lain.

Ironisnya, murid yang duduk di bangku sekolah menengah atas (SMA) rentan terhadap intoleransi beragama. Potensi keterlibatan anak-anak muda yang duduk di bangku SMA dalam kasus-kasus intoleran di Indonesia masih cukup tinggi (Cholilurrohman, 2016). Penelitian yang dilakukan oleh The Wahid Institute kepada 500 murid sekolah menengah negeri di Jabodetabek dengan menggunakan metode kuesioner menunjukkan bahwa responden penelitian memiliki kecenderungan yang kuat untuk mendukung atau melakukan tindakan intoleran (Dja’far, 2015).

Selain itu, penelitian yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (―Survei PPIM: Potret keberagamaan guru Indonesia‖,

(3)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 121

2018) mengungkapkan bahwa pelajar di Indonesia saat ini telah terjangkit virus intoleran. Penelitian tersebut dilakukan pada rentang waktu antara 1 September sampai 7 Oktober 2017 dan dilakukan di 34 provinsi di Indonesia dengan responden terdiri dari 1522 murid serta 337 mahamurid. Hasilnya menunjukan bahwa murid dan mahamurid cenderung memiliki pandangan keagamaan yang radikal dengan persentase 58.5 persen dan pandangan keagamaan yang intoleran dengan prosentase 51.1 persen. Sementara itu, dari sisi aksi, murid dan mahamurid memiliki perilaku keagamaan yang cenderung moderat. Dukunagn terhadap aksi radikal hanya sebesar 7.0 persen, tetapi dukungan terhadap aksi intoleran sebanyak 34.1 persen.

Terbentuknya toleransi merupakan sebuah proses dan tahapan seseorang menerima informasi dari lingkungan sosialnya (Widhayat & Jatiningsih, 2018). Ketika seseorang berada dalam lingkungan sosial tertentu, mereka akan mempelajari dan mengamati secara sistematis perilaku orang lain, sebuah proses pengamatan yang disebut sebagai observational learning

(Greer, Dudek-Singer, & Gautreaux, 2006). Setelah mengamati perilaku orang lain, individu akan berasimilasi dan meniru perilaku tersebut (Fryling, Johnston, & Hayes, 2011). Dalam proses ini terjadi hubungan timbal balik yang saling berkesinambungan antara kognisi, perilaku, dan lingkungan (Widhayat & Jatiningsih, 2018). Dalam lingkungan sosial, individu juga akan menerima berbagai macam informasi. Informasi ini selanjutnya diproses secara kognitif, yang memuat proses mengingat, menyaring, dan memilah informasi mana yang sesuai untuk diri individu tersebut (Greer dkk., 2006).

Keterampilan berpikir kritis diperlukan untuk memfasilitasi individu mampu bersikap kritis, selektif, dan evaluatif dalam menyaring dan menggunakan informasi. Kemampuan dalam mengevaluasi dan selanjutnya memutuskan untuk menggunakan informasi yang benar memerlukan keterampilan berpikir

kritis (Potter, 2010). Berpikir kritis diartikan sebagai upaya seseorang untuk memeriksa kebenaran dari suatu informasi dengan menggunakan ketersediaan bukti, logika, dan kesadaran terhadap bias yang didalamnya memuat aspek elementary clarification, basic support, inference, advanced clarification, strategies, dan tactics (Ennis & Weir, 1985; Halpern, 1998; Larsson, 2017).

Berpikir kritis sangat diperlukan dalam proses mencerna dan memilah suatu informasi yang diperoleh (Sulaiman & Syakarofath, 2018). Terlebih di zaman sekarang ini, informasi bisa diakses dari banyak sumber, seperti media sosial atau internet (Qodir, 2018). Berbagai informasi dapat diakses dengan mudah melalui internet, dan tidak ada jaminan bahwa informasi yang kita lihat atau baca tersebut adalah benar adanya. Menjamurnya sumber informasi dan kemudahan untuk mengaksesnya di internet membuat sumber informasi yang diperoleh bisa menjadi kurang lengkap dan tidak kredibel (Digdoyo, 2018).

Kemajuan teknologi dalam pertukaran arus informasi juga kerap kali disalahgunakan oleh oknum tertentu untuk melakukan penyebaran berita bohong, ujaran kebencian, dan hoax. Informasi-informasi yang tidak valid tersebut bisa menjadi propaganda seseorang untuk memperkeruh suasana, mengadu domba, dan merusak tatanan kerukunan antar umat beragama, yang mengancam toleransi. Selain itu, ditengah kondisi sosial yang semakin kompleks, berita hoax dapat dengan mudah dibuat dan disebarkan ke seluruh lapisan masyarakat tanpa memandang strata sosialnya sehingga siapa saja dengan mudah terjebak dan terpedaya oleh hoax (Baihaki, 2020). Hal tersebut terjadi karena pesatnya arus informasi dapat mendorong derasnya pertukaran informasi yang belum terverifikasi kebenarannya. Tidak terverifikasinya pertukaran informasi berdampak terhadap munculnya berbagai persoalan (Sulaiman & Syakarofath, 2018). Ketidakmampuan

(4)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 122

masyarakat untuk mengkritisi kebenaran informasi yang diperoleh berdampak terhadap problematika sosial yang terjadi, salah satunya intoleransi keagamaan (Orlando, 2015).

Untuk mencegah perilaku intolerasi keagamaan tersebut, perlu adanya kemampuan seseorang dalam menafsirkan, menyimpulkan, menganalisis, mengevaluasi, serta mencari informasi yang valid dan relevan terkait informasi-informasi yang masih simpang siur atau berita hoax (Mathson & Lorenzen, 2008). Kemampuan-kemampuan tersebut merupakan bagian dari aspek-aspek keterampilan berpikir kritis (Ennis & Weir, 1985).

Oleh sebab itu, keterampilan berpikir kritis harus dilatih dan dikembangkan kepada murid. Urgensi berpikir kritis ini berlandaskan pada argumentasi bahwa orang yang memiliki pemikiran kritis dapat lebih toleran dalam menghargai perbedaan ras, etnik, dan agama (Davies, 2015). Dengan mengajarkan atau mengembangkan keterampilan berpikir kritis di sekolah, pendidik dapat mengajarkan dan meningkatkan toleransi kepada peserta didik. Toleransi tentunya snagat diperlukan di setiap masyarakat yang memiliki keragaman budaya, suku, dan agama (Ernst & Monroe, 2004). Sebagai generasi penerus bangsa, murid perlu memiliki toleransi yang tinggi. Mereka harus dapat mengaplikasikan bentuk toleransi beragama dalam kehidupan bermasyarakat, seperti tidak membedakan ketika menolong, menjenguk teman yang berbeda keyakinan ketika sakit, bergotong royong, dan tidak mengejek ibadah satu dengan yang lain (Rahmawati dkk., 2016).

Penelitian mengenai keterkaitan keterampilan berpikir kritis dengan toleransi beragama belum pernah peneliti temukan sebelumnya, baik di Indonesia atau di luar negeri. Dengan demikian, penelitian ini diharapkan bisa menjadi topik baru dan gerbang pembuka bagi penelitian selanjutnya. Selain itu, pesatnya arus pertukaran informasi yang semakin mudah dan sulit terbendung di tengah masyarakat yang multikultural membuat kedua

isu tersebut, yaitu berpikir kritis dan toleransi, menjadi menarik untuk dibahas di zaman sekarang. Mengacu pada latar belakang ini, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan tujuan menguji peran berpikir kritis terhadap toleransi beragama pada murid SMA di Kota Bandung. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah bahwa keterampilan berpikir kritis berkorelasi ke arah positif dengan toleransi beragama, dimana semakin tinggi keterampilan berpikir kritis maka semakin tinggi juga toleransi beragama. Sebaliknya, semakin rendah keterampilan berpikir kritis maka semakin rendah juga toleransi beragama.

Metode Partisipan dan desain penelitian

Partisipan atau subjek dalam penelitian ini adalah 400 murid dari beberapa sekolah SMA di Kota Bandung. Sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 1, mayoritas responden berusia 17 tahun, beretnis Sunda, dan beragama Islam.

Tabel 1. Data Demografis Partisipan

Karakteristik Frekuensi Persentase

Jenis Kelamin Laki-laki 166 41.5% Perempuan 234 58.5% Usia 15 Tahun 24 6% 16 Tahun 130 32.5% 17 Tahun 180 45% 18 Tahun 61 15.3% 19 Tahun 5 1.3% Suku Bangsa Sunda 250 62.5% Jawa 32 8% Batak 27 6.8% Tionghoa 35 8.8% Melayu 6 1.5% lainnya 50 12.5% Agama Islam 290 72.5% Kristen 76 19% Katolik 32 8% Hindu 1 0.3% Budha 1 0.3%

Teknik sampling yang digunakan untuk merekrut partisipan adalah multistages cluster

(5)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 123

random sampling, yaitu teknik yang digunakan untuk mengambil sampel dari pembagian populasi menjadi kelompok, kemudian dipilih secara acak sebagai wakil dari populasi.

Multistages cluster random sampling

merupakan salah bentuk dari probability sampling, sebagai teknik pengambilan sampel yang menjamin semua anggota populasi memiliki probabilitas yang sama untuk bisa terseleksi sebagai anggota sampel (Creswell, 2015).

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuantitatif korelasional dengan mengukur keterampilan berpikir kritis sebagai variabel independen (X) dan toleransi beragama sebagai variabel dependen (Y).

Prosedur dan pengukuran

Sejumlah tahapan ditempuh dalam penelitian ini. Pertama adalah melakukan persiapan penelitian, kedua adalah mengambil data sesuai target, dan ketiga adalah menganalisis data yang diperoleh. Dalam tahap persiapan, peneliti menentukan rumusan masalah penelitian, yang dilanjutkan dengan mereview pustaka untuk mengggali dan menemukan landasan teori dan temuan-temuan empiris berkaitan dengan hubungan antara variabel dalam penelitian ini. Selanjutnya peneliti menentukan desain dan metode penelitian yang tepat sesuai dengan topik penelitian. Tahap berikutnya dilanjutkan dengan membuat dan menyusun instrumen penelitian, melakukan expert judgemnet, dan melakukan uji coba (try out) kepada 360 responden murid SMA. Langkah ini bertujuan memperoleh informasi mengenai sejauh mana instumen dalam penelitian ini secara psikometris valid dan reliabel.

Pada tahap pengambilan data, peneliti menggunakan metode kuesioner yang disebarkan secara online dengan link online form melalui media sosial, dan secara offline

dengan mendatangi sekolah-sekolah, kemudian menyebarkannya di dalam kelas secara paper-and-pencil. Tahap ketiga, peneliti memberikan

kesimpulan dengan mengacu pada deskripsi dan analisis data sesuai dengan teori yang diajukan.

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari dua skala pengukuran. Instrumen yang digunakan untuk mengukur keterampilan berpikir kritis didasarkan pada

Critical Thinking Scale (CTS) yang

dikembangkan berdasarkan teori Ennis (1985). Reliabilitas Cronbach apha untuk instrumen ini adalah α = .85 (contoh aitem: ―Saya cenderung mempertimbangkan dampak terlebih dahulu sebelum menyebarkan suatu berita‖). Pengisian kuesioner keterampilan berpikir kritis dilakukan oleh respoden dengan memilih dan memberikan tanda ceklis pada salah satu dari lima pilihan skala, yang bervariasi dari 1 (Sangat Tidak Mencerminkan Saya) sampai dengan 5 (Sangat Mencerminkan Saya).

Instrumen yang digunakan untuk mengukur toleransi agama didasarkan pada

Religious Tolerance Scale (RTS) yang dikembangkan berdasarkan teori Broer, Muynck, Potgieter, Wolhuter, & Van der Walt (2014). Reliabilitas untuk instrumen ini adalah α = .78 (contoh aitem: ―Tidak masalah bagi saya mengucapkan selamat hari raya pada teman yang agamanya berbeda dari saya‖). Pengisian kuesioner toleransi agama dilakukan oleh respoden dengan memilih dan memberikan tanda ceklis pada salah satu dari lima pilihan skala, yang bervariasi dari 1 (Sangat Tidak Setuju) sampai dengan 5 (Sangat Setuju).

Hasil

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pearson roduct

moment untuk mengetahui hubungan

keterampilan berpikir kritis (X) dengan toleransi agama (Y). Sebelum melakukan uji kolerasi, peneliti melakukan transformasi data dari data ordinal menjadi interval menggunakan

Rash model melalui aplikasi Winstep (Boone, 2016). Setelah data interval didapatkan, peneliti menggunakan aplikasi SPSS untuk menguji hipotesis penelitian.

(6)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 124

Tabel 2 di bawah ini menampilkan nilai korelasi antara keterampilan berpikir kritis dan toleransi beragama. Sebagaimana bisa dicermati pada Tabel 1, mendukung Hipotesis yang ditetapkan, keterampilan berpikir kritis berkorelasi signifikan ke arah positif dengan toleransi beragama. Artinya, semakin tinggi keterampilan kritis maka semakin tinggi juga toleransi beragama. Berlaku sebaliknya, semakin rendah keterampilan berpikir kritis maka semakin rendah juga toleransi beragama.

Tabel 2. Korelasi antara Berpikir Kritis dan Toleransi Beragama (N = 400)

Variabel (1) (2)

(1)Keterampilan berpikir kritis .39**

(2)Toleransi beragama

Keterangan: **p < .01.

Tabel 2. Perbedaan Keterampilan Berpikir Kritis dan Toleransi Beragama Berdasarkan Jenis Kelamin, Suku, dan Agama

Demografi

Berpikir kritis Toleransi beragama M p M p Jenis Kelamin Laki-laki 119 .070 96 .866 Perempuan 118 94 Suku Bangsa Sunda 117 .012 95 < .001 Jawa 122 93 Batak 117 97 Tionghoa 122 95 Melayu 137 93 lainnya 117 Agama 99 Islam 118 .941 99 < .001 Kristen 118 99 Katolik 119 102 Hindu 111 97 Budha 127 94

Keterangan: M = skor rata-rata, p = signifkansi.

Analisis tambahan dalam penelitian ini menguji pengaruh variabel demografis jenis kelamin, suku, dan agama terhadap keterampilan berpikir kritis dan toleransi beragama. Hasil analisis tambahan ini bisa dicermati dalam Tabel 2 di atas.

Sebagaimana bisa dilihat pada Tabel 2, variabel demografi suku bangsa berpengaruh secara signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis maupun toleransi beragama. Jenis kelamin tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kedua variabel. Terakhir, variabel demografi agama berpengaruh signifikan terhadap toleransi beragama, tetapi tidak berpengaruh signifikan terhadap keterampilan berpikir kritis.

Diskusi

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara keterampilan berpikir kritis dengan toleransi beragama pada murid SMA di Kota Bandung. Hasil analisis uji hipotesis menunjukan bahwa keterampilan berpikir kritis memiliki hubungan yang signifikan dengan toleransi beragama. Temuan ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Davies (2015), yang melaporkan bahwa murid dengan keterampilan berpikir kritis yang tinggi bersikap lebih toleran terhadap perbedaan yang dimiliki individu lain, baik perbedaan atas dasar etnik, ras, maupun agama.

Hasil dalam penelitian ini menegaskan pentingnya mengembangkan keterampilan berpikir kritis di kalangan anak SMA, mengingat perannya dalam meningkatkan toleransi beragama. Salah satu hal yang berkontribusi dalam mengembangkan keterampilan berpikir kritis tersebut dimungkinkan adalah penerapan kurikulum 2013 di Kota Bandung. Salah satu aspek yang dikembangkan dalam kurikulum tersebut adalah meningkatkan keterampilan berpikir kritis yang dimiliki murid (Hayati, 2018). Kurikulum tersebut juga mengharuskan guru untuk meningkatkan keterampilan berpikir kritis murid melalui pembelajaran yang memfasilitasi murid secara langsung untuk berlatih keterampilan berpikir kritis (Kurniawati, Zubaidah, & Mahanal, 2016). Bentuk pembelajaran ini dilakukan dengan membiasakan murid SMA untuk bertanya dan berpendapat, bersikap dan berperilaku

(7)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 125

kooperatif, serta berfokus pada pemecahan masalah (Hashemi, 2011; Istianah, 2013; Lassig, 2009). Pengembangan keterampilan berpikir kritis memerlukan peran pihak sekolah

untuk mampu membangun dan

mengembangkan keterampilan berpikir kritis yang dimiliki murid SMA. Dalam hal ini, guru harus bisa membuat metode pembelajaran yang dapat membuat siswa aktif dan menstimulus keterampilan berpikir kritis mereka. Implikasinya, penerapan kurikulum 2013 akan semakin tepat dalam mengembangkan keterampilan berpikir ini. Selain itu, tingkat keterampilan berpikir kritis juga berkaitan dengan hasil demografis dalam penelitian ini.

Analisis tambahan dalam penelitian ini menemukan bahwa keterampilan berpikir kritis berbeda secara signfiikan dilihat dari segi suku bangsa. Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Bustami (2016) yang melaporkan bahwa perbedaan nilai-nilai karakter pada setiap suku bangsa mempengaruhi perbedaan keterampilan berpikir kritis pada setiap individu. Implikasinya, tenaga pendidik (guru) perlu untuk menanamkan nilai-nilai karakter pada setiap suku bangsa melalui berbagai strategi pembelajaran inovatif dan kooperatif. Salah satu strategi pembelajaran yang dapat diterapkan adalah tipe Jigsaw, Reading, Questioning, Answering (JiRQA) (Maasawet, 2010).

Variabel jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap tingkat keterampilan berpikir kritis murid SMA di Kota Bandung. Hasil ini sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya (Afsahi, 2017; Bagheri & Ghanizadeh, 2016; Heong dkk., 2011; Pambudiono, Zubaidah, & Mahanal, 2013; Reese, Lee, Cohen, & Puckett, 2001) yang menunjukkan bahwa tingkat berpikir kritis laki-laki tidak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan tingkat berpikir kritis perempuan.

Kemampuan berpikir kritis yang sama pada laki-laki maupun perempuan dapat disebabkan oleh pengalaman belajar yang sama, dalam artian mereka sama-sama mendapatkan

materi yang sesuai dengan kurikulum 2013. Selama proses pembelajaran, semua murid baik laki-laki maupun perempuan dikondisikan untuk saling bekerja sama mengembangkan kemampuan berpikirnya (Pambudiono dkk., 2013). Dengan demikian, semua murid memiliki peluang yang sama dalam pengembangan kemampuan berpikir kritis dan peningkatan hasil belajarnya.

Keterampilan berpikir kritis merupakan keterampilan hidup yang penting pada saat ini dan perlu dikembangkan pada murid SMA (Kurniawati dkk., 2016). Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa keterampilan berpikir kritis memudahkan murid untuk membedakan antara fakta dan opini, mengidentifikasi informasi yang relevan, memecahkan masalah, mampu menyimpulkan informasi yang telah dianalisis, membedakan ide atau gagasan secara jelas, beragumen dengan baik, mampu mengkonstruksi penjelasan, mampu berhipotesis dan memahami hal-hal kompleks menjadi lebih jelas (Newmann & Wehlage, 1990; Woolfolk, 2008; Widodo & Kadarwati, 2013). Hal-hal tersebut menjadikan murid SMA menjadi individu yang educated people bukan

ordiniary people dalam memandang perbedaan agama (Casram, 2016).

Lebih lanjut, Casram (2016) menjelaskan bahwa educated people berkecenderungan lebih rasional dan bukannya intuitif serta simbolik dalam meresapi ajaran agama. Mereka menunjukkan toleransi lebih besar dalam menyikapi dan berperilaku terhadap agama lain dan pemeluknya. Secara kontras, ordiniary people lebih mengandalkan symbol-simbol dan intuisi, dan bukannya rasio atau nalar dalam memahami ajaran agama. Ordinary people lebih emosional dalam memahami perbeddaan agama dan, sebagai dampak ikutannya, menunjukkan toleransi rendah terhadap agama dan pemeluk agama lain (Casram, 2016). Argumentasi ini bermakna bahwa individu yang memiliki keterampilan berpikir kritis lebih terbuka dan toleran terhadap pandangan atau agama yang berbeda.

(8)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 126

Tingginya keterampilan berpikir kritis yang dimiliki murid SMA di Kota Bandung membuat nilai toleransi agama mereka juga menjadi tinggi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa toleransi agama murid SMA di Kota Bandung berada dalam kategori tinggi. Mendukung teori yang dikemukakan oleh ilmuwan sebelumnya (Âsiek, 2019), keterampilan berpikir kritis pada murid bisa berkontribusi pada pengembangan toleransi. Ini terjadi karena berpikir kritis membutuhkan keahlian dalam mendengarkan orang lain, memiliki sikap terbuka dalam dialog dan diskusi, mengembangkan empati, mengevaluasi peristiwa dan fakta dari berbagai sudut pandang. Sikap-sikap demikian rupa ini bisa menumbuhkan kesadaran akan perbedaan yang dimiliki individu lain.

Penelitian ini juga mengungkap adanya perbedaan tingkat toleransi beragama berdasarkan varibel demografi agama. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kasmo, Usman, Taha, Salleh, dan Alias (2015) yang menunjukkan adanya perbedaan respon tingkat toleransi berdasarkan agama responden. Casram (2016) menjelaskan bahwa perbedaan tersebut mungkin bersumber dari eksklusivisme, sebuah pandangan yang menganggap bahwa ajaran yang paling benar hanya lah ajaran agama sendiri,

sedangkan agama lain adalah keliru.

Eksklusivisme tidak selamanya salah. Hal ini bisa terjadi jika eksklusivisme tersebut tidak diikuti dengan sikap merendahkan agama lain (Merino, 2010). Kombinasi ini mencerminkan pandangan bahwa meskipun agama sendiri diyakini benar, keberadaan agama lain harus tetap dihargai (Bakar, 2016).

Selain agama, suku bangsa juga berpengaruh signifikan terhadap toleransi beragama. Hasil ini selaras dengan penelitian Damisma dkk. (2018) yang melaporkan bahwa suku bangsa memengaruhi tingkat toleransi agama yang dimiliki individu. Latar belakang individu dapat memberi pengaruh pada penilaian individu terhadap sesuatu yang berbeda dari dirinya (Wang & Froese,

2020).Suku bangsa merupakan hal yang diwariskan dari keluarga asal dan erat kaitannya dengan lingkungan terdekat, dalam hal ini adalah keluarga. Dalam lingkungan keluarga, orang tua memainkan peran yang sangat penting dalam membantu perkembangan toleransi pada anak. Pola asuh dan pengetahuan tentang agama yang didapat dari orang tua juga bisa mempengaruhi tingkat toleransi agama seseorang (Suleeman, 2018). Anak-anak yang dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang harmonis, penuh cinta, dan rasa saling hormat akan menjadikan mereka memiliki sikap toleransi kepada orang lain (Redse, 2007). Anak-anak akan mengobservasi sikap dan perilaku orang tua mereka ketika bereaksi terhadap individu di luar kelompoknya. Jika orangtua menunjukkan sikap toleran maka anak-anak mereka cenderung menjadi toleran, begitupun sebaliknya (Sumadi, Yetti, Yufiarti, & Wuryani, 2019).

Sementara itu, jenis kelamin ditemukan tidak berperan signifikan dalam mempengaruhi tingkat toleransi beragama. Temuan ini berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Maimanah (2013), yang melaporkan bahwa perempuan memiliki tingkat toleransi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan memiliki sifat dasar atau basic instink yang terbentuk dari pengalamannya. Pengalaman-pengalaman tersebut membentuk kemampuan wanita dalam memikirkan ―Aku-Lain‖ atau memposisikan diri di posisi orang lain, yang membuat mereka tidak egosentris, tidak suka mendominasi, penuh kasih sayang, menyukai perdamaian, dan bersikap toleran (Maimanah, 2013).

Penelitian ini mengandung sejumlah kekurangan, yang bisa disempurnakan dalam studi-studi lanjutan. Kelemahan pertama berkaitan dengan nilai korelasi antara keterampilan berpikir kritis dan toleransi beragama yang berkategori cukup, yaitu sebesar .39. Nilai kuadrat koefisien korelasi ini adalah .15. Artinya, prosentase kemampuan keterampilan berpikit kritis dalam menjelaskan

(9)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 127

variansi toleransi beragama adalah sebesar 15%. Implikasinya, selain keterampilan berpikir kritis, toleransi agama dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Studi lanjutan dengan demikian bisa melibatkan atau mengukur faktor-faktor tersebut, misalnya fundamentalisme, identitas sosial, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masyarakat (Bukhori, 2010; Muhid & Fadeli, 2018).

Kelemahan kedua berkaitan dengan kurang meratanya jumlah demografi suku bangsa. Hal ini berdampak pada sulitnya peneliti dalam mendeskripsikan secara lebih mendalam dan lebih bervariasi keterampilan berpikir kritis maupun toleransi beragama atas dasar kategorisasi suku bangsa. Untuk menutupi kekurangan ini, studi lanjutan bisa menerapkan mixed method dengan mengkombinasikan metode kuantitatif dan kualitatif. Hal ini memungkinkan peneliti untuk menemukan temuan baru dan mendapatkan informasi yang lebih mendalam dibandingkan dengan metode kuantitatif semata.

Daftar Pustaka

Afsahi, S. E. dan A. (2017). The relationship between mother tongue, age, gender and critical thinking level. Journal of Applied Linguistics and Language Research, 4(1),

116–124. Diakses dari

http://jallr.com/~jallrir/index.php/JALLR/a rticle/view/479/pdf479

Âsik. EV. H. (2019). Critical thinking disposition levels of the religious culture and ethics teacher candidates (The sample of Manisa Celal Bayar University, Faculty of Theology Last Year Students). Journal of International Social Research, 12(62), 942–967.

https://doi.org/10.17719/jisr.2019.3109 Bagheri, F., & Ghanizadeh, A. (2016). Critical

thinking and gender differences in academic self-regulation in higher education. Journal of Applied Linguistics and Language Research, 3(3), 133–145.

Diakses dari

http://www.jallr.com/index.php/JALLR/art icle/view/304

Baihaki, E. S. (2020). Islam dalam merespons era digital: Tantangan menjaga komunikasi umat beragama di Indonesia.

Jurnal Kajian Sosial Keagamaan, 3(2), 185–208.

https://doi.org/10.20414/sangkep.v2i2.p-ISSN

Bakar, A. (2016). Argumen Al-Quran tentang eksklusivisme, inklusivisme dan pluralisme. Toleransi, 8(1), 43–60. https://doi.org/10.24014/trs.v8i1.2470 Boone, W. J. (2016). Rasch analysis for

instrument development: Why, when, and

how?. CBE—Life Sciences

Education, 15(4), rm4.

https://doi.org/10.1187/cbe.16-04-0148 Broer, N. A., Muynck, B., Potgieter, F. J.,

Wolhuter, C. C., & Van der Walt, J. L. (2014). Measuring religious tolerance among fnal year education students.

International Journal of Religious Freedom, 7(1/2), 77–96. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/3 33540202_Measuring_religious_tolerance _among_final_year_education_students_T he_birth_of_a_questionnaire

Bukhori, B. (2010). Prasangka terhadap pemeluk agama lain dalam perspektif teori belajar sosial dari Albert Bandura. Jurnal Psikologi, 3(1), 29-36.

Bustami, Y. (2016). Potensi nilai-nilai karakter mahasiswa multietnis dalam mempengaruhi keterampilan berpikir kritis pada pembelajaran biologi. Jurnal Biologi

dan Pembelajarannya, 3(1), 3–7.

https://doi.org/10.29407/jbp.v3i1.441 Casram, C. (2016). Membangun sikap toleransi

beragama dalam masyarakat plural.

Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan

Sosial Budaya, 1(2),187–198.

(10)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 128

Cassanova, J. (2008). Public religions in the

modern world. Chicago: Chicago

University Press.

Cholilurrohman, M. (2016). Perbedaan toleransi antarumat beragama pada remaja di sma negeri, sma yayasan agama dan sma asrama (pondok pesantren) di Kabupaten Pati (Skipsi, Jurusan Psikologi, Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Semarang, Semarang, Indonesia).

Diakses dari

http://lib.unnes.ac.id/28673/1/1511412049. pdf

Creswell W. J. (2013). Research design pendekatan kualitatif, kuantitatif, dan mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Damisma, B. P., Pitoewas, B., & Nurmalisa, Y.

(2018). Pengaruh pola komunikasi antar suku terhadap pembentukan sikap toleransi peserta didik. Jurnal Kultur Demokrasi, 7(3), 1-15. Diakses dari http://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/JK D/article/view/16430/11803

Davies, M. (2015). A model of critical thinking in higher education. In M. B. Paulsen (ed.), Higher education: Handbook of theory and research (pp. 41-92). New York, Dordrecht, London: Springer,

https://doi.org/10.1007/978-3-319-12835-1_2

Digdoyo, E. (2018). Kajian isu toleransi beragama, budaya, dan tanggung jawab sosial media. Jurnal Pancasila Dan

Kewarganegaraan, 3(1), 42–59.

https://doi.org/10.24269/jpk.v3.n1.2018.pp 42-59

Dja’far M. A. (2015). Intoleransi kaum pelajar.

Wahidinstitute.org. Diakses dari

http://www.wahidinstitute.org/wi- id/indeks-opini/280-intoleransi-kaum-pelajar.html

Ennis, R.H. and Weir, E. (1985). The Ennis-Weir critical thinking essay test. Pacific Grove, CA: Midwest Publications.

Ernst, J., & Monroe, M. (2004). The effects of environment-based education on students’

critical thinking skills and disposition toward critical thinking. Environmental Education Research, 10(4), 507–522. https://doi.org/10.1080/135046204200029 1038

Fryling, M. J., Johnston, C., & Hayes, L. J. (2011). Understanding observational learning: An interbehavioral approach. The Analysis of Verbal Behavior, 27(1), 191-203. https://doi.org/10.1007/BF03393102 Greer, R. D., Dudek-Singer, J., & Gautreaux,

G. (2006). Observational learning.

International Journal of Psychology,

41(6), 486–499.

https://doi.org/10.1080/002075905004924 35

Halpern, D. F. (1998). Teaching critical thinking for transfer across domains.

American Psychologist, 53(4), 449–455.

https://doi.org/10.1037//0003-066x.53.4.449

Hashemi, S. A. (2011). The use of critical thinking in social science textbooks of high school: A field study of fars province in Iran. International Journal of Instruction, 4(1), 63–78. Diakses dari https://eric.ed.gov/?id=ED522910

Hayati, C. (2018). Penerapan kemampuan berpikir kritis dalam pembelajaran menulis teks anekdot berorientasi sense of humor melalui media karikatur pada siswa Smk Kelas X. Wistara: Jurnal Pendidikan

Bahasa dan Sastra, 1(2), 199-209. Diakses

dari

https://www.journal.unpas.ac.id/index.php/ wistara/article/view/2310

Heong, Y. M., Othman, W. B., Yunos, J. B. M., Kiong, T. T., Hassan, R. Bin, & Mohamad, M. M. B. (2011). The level of marzano higher order thinking skillsamong technical education students. International Journal of Social Science and Humanity,

1(2), 121–125.

https://doi.org/10.7763/ijssh.2011.v1.20 Herlina, L. (2018). Disintegrasi sosial dalam

(11)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 129

Jurnal Pembangunan Sosial, 1(2), 232– 258. https://doi.org/10.15575/jt.v1i2.3046 Hermawati, R., Paskarina, C., & Runiawati, N.

(2017). Toleransi antar umat beragama di Kota Bandung. Indonesian Journal of

Anthropology, 1(2), 105-124.

https://doi.org/10.24198/umbara.v1i2.1034 1

Hisyam, M. (2006). Budaya kewarganegaraan komunitas Islam di daerah rentan konflik.

Jakarta: LIPI Press.

Istianah, E. (2013). Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif matematik dengan pendekatan model eliciting activities (meas) pada siswa sma. Infinity

Journal, 2(1), 43.

https://doi.org/10.22460/infinity.v2i1.23 Kasmo, M. A., Usman, A. H., Taha, M., Salleh,

A. R., & Alias, J. (2015). Religious tolerance in Malaysia: A comparative study between the different religious groups. Review of European Studies, 7(3), 184–191.

https://doi.org/10.5539/res.v7n3p184 Kurniawati, Z. L., Zubaidah, S., & Mahanal, S.

(2016). Model pembelajaran remap cs (Reading concept map cooperative script ) untuk pemberdayaan keterampilan berpikir kreatif. Proceeding Biology Education Conference, 13(1), 399–403. Diakses dari https://jurnal.uns.ac.id/prosbi/article/view/ 5760

Larsson, K. (2017). Understanding and teaching critical thinking—A new approach.

International Journal of Educational

Research, 84, 32–42.

https://doi.org/10.1016/j.ijer.2017.05.004 Lassig, C. J. (2009). Promoting creativity in

education: From policy to practice – An Australian perspective. Proceedings the 7th ACM Conference on Creativity and Cognition: Everyday Creativity, 229-238. The Association for Computing Machinary, University of California:

Berkeley, USA.

https://doi.org/10.1145/1640233.1640269

Maasawet, E. T. (2010). Pengaruh strategi pembelajaran kooperatif snowballing pada sekolah multietnis terhadap kemampuan berpikir kritis sains biologi siswa smp Samarinda. BIOEDUKASI (Jurnal Pendidikan Biologi), 1(1), 1-11. https://doi.org/10.24127/bioedukasi.v1i1.1 81

Maimanah, M. (2013). Wanita dan toleransi

beragama (Analisis

psikologis). Mu'adalah; Jurnal Studi Gender dan Anak, 1(1), 51-58. https://dx.doi.org/10.18592/jsga.v1i1.666 Mathson, S. M., & Lorenzen, M. G. (2008). We

won't be fooled again: Teaching critical thinking via evaluation of hoax and historical revisionist websites in a library credit course. College & Undergraduate

Libraries, 15(1-2), 211-230.

https://doi.org/10.1080/106913108021772 26

Merino, S. M. (2010). Religious diversity in a ―Christian nation‖: The effects of theological exclusivity and interreligious contact on the acceptance of religious diversity. Journal for the Scientific Study

of Religion, 49(2), 231–246.

https://doi.org/10.1111/j.1468-5906.2010.01506.x

Muhid, A., & Fadeli, M. I. (2018). Korelasi antara prasangka sosial dan toleransi beragama pada mahasiswa aktivis organisasi kemahasiswaan di perguruan tinggi umum. Al Qodiri: Jurnal Pendidikan, Sosial dan Keagamaan, 15(2), 124-136.

https://doi.org/10.1234/al%20qodiri.v15i2. 3191

Newmann, F. M., & Wehlage, G. G. (1993). Five standards of authentic instruction. Educational Leadership, 50,

8-8. Diakses dari

https://eric.ed.gov/?id=EJ461121

Nisa’, A. K., & Tualeka, M. W. N. (2017). Kajian kritis tentang toleransi beragama dalam Islam. Al-Hikmah, 2(2), 1-12.

(12)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 130

Diakses dari http://journal.um-surabaya.ac.id/index.php/Ah/article/view/1 104

Nisvilyah, & Lely. (2013). Toleransi antarumat beragama dalam memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa (Studi kasus umat Islam dan Kristen Dusun Segaran Kecamatan Dlanggu Kabupaten Mojokerto). Kajian Moral Dan

Kewarganegaraan, 2(1), 382–396.

Diakses dari

https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.

php/jurnal-pendidikan-kewarganegaraa/article/view/2657

Orlando V.H. (2015). Konstruksi sosial atas sikap dan cara hidup bertoleransi antar umat beragama. Jurnal Mahasiswa Sosiologi, 2(4), 1-21. Diakses dari http://jmsos.studentjournal.ub.ac.id/index. php/jmsos/article/view/93/112

Pambudiono, A., Zubaidah, S., & Mahanal, S. (2013). Perbedaan kemampuan berpikir dan hasil belajar biologi siswa kelas X SMA Negeri 7 Malang berdasarkan jender dengan penerapan strategi jigsaw. Jurnal Pendidikan Hayati, 1(1). 1–10. Diakses dari https://www.researchgate.net/publication/3 22467313_PERBEDAAN_KEMAMPUA N_BERPIKIR_DAN_HASIL_BELAJAR_ BIOLOGI_SISWA_KELAS_X_SMA_NE GERI_7_MALANG_BERDASARKAN_J ENDER_DENGAN_PENERAPAN_STR ATEGI_JIGSAW

Patnani, M. (2020). Pengajaran nilai toleransi usia 4-6 tahun. Jurnal Psikologi Ulayat,

1(1), 131–138.

https://doi.org/10.24854/jpu28

Potter, M. Lane. (2010). From search to research: Developing critical thinking through web research skills© 2010. Washington: Microsoft Corporation. Qodir, Z. (2018). Kaum muda, intoleransi, dan

radikalisme agama. Jurnal Studi Pemuda,

5(1), 429.

https://doi.org/10.22146/studipemudaugm.

37127

Rahmawati, I., Hidayat, A., & Rahayu, S. (2016). Analisis keterampilan berpikir kritis siswa SMP Pada materi gaya dan penerapannya. Pros. Semnas Pend. IPA Pascasarjana UM, 1, 1112–1119. Diakses dari http://pasca.um.ac.id/wp- content/uploads/2017/02/Ika-Rahmawati-1112-1119.pdf

Redse, A. (2007). Freedom of religion, religious tolerance, and the future of Christian mission in the light of Samuel P. Huntington's thesis on the clash of civilizations and the remaking of the world order. Norwegian Journal of Missiology, 61(4), 259-278. Diakses dari https://journals.mf.no/ntm/article/view/417 2

Reese, H. W., Lee, L. J., Cohen, S. H., & Puckett, J. M. (2001). Effects intellectual variables, ages, and gender on divergent thinking in adulthood. International Journal of Behavioral Development, 25(6), 491–500.

https://doi.org/10.1080/016502500420004 83

Rochmanudin. (2018, Februari19). Kasus intoleransi dan kekerasan beragama sepanjang 2018. Idntimes.com Diambil dari

https://www.idntimes.com/news/indone sia/rochmanudin-wijaya/linimasa-kasus- intoleransi-dan-kekerasan-beragama-sepanjang-2

Satrio, F. A. (2017, Januari 11). Komnas HAM: Kasus intoleransi terus meningkat.

TimesIndonesia.co.id. Diakses dari https://www.timesindonesia.co.id/read/ne

ws/140290/komnas-ham-kasus-intoleransi-terus-meningkat

Sulaiman, A., & Syakarofath, N. A. (2018). Berpikir kritis: Mendorong introduksi dan reformulasi konsep dalam psikologi Islam.

Buletin Psikologi, 26(2), 86-96.. https://doi.org/10.22146/buletinpsikologi.3 8660

(13)

MEDIAPSI │ 2020. Vol. 6, No. 2, 119˗131 131

Suleeman, E. (2018). Religious tolerance values among students of Christian senior high schools. KnE Social Sciences, 215-229. https://doi.org/10.18502/kss.v3i10.2913 Sumadi, T., Yetti, E., Yufiarti, Y., & Wuryani,

W. (2019). Transformation of tolerance values (in religion) in early childhood education. Jurnal Pendidikan Usia

Dini, 13(2), 386-400.

https://doi.org/10.21009/JPUD.132.13 Survei PPIM: Potret keberagamaan guru

Indonesia. (2018, Oktober 18).

ConveyIndonesia.com. Diakses dari https://conveyindonesia.com/survei-ppim-potret-keberagamaan-guru-di-indonesia/ Wang, X., & Froese, P. (2020). Attitudes

toward religion and believers in China: How education increases tolerance of individual religious differences and intolerance of religious influence in politics. Religion & Education, 47(1), 98-117.

https://doi.org/10.1080/15507394.2019.16 26211

Widhayat, W., & Jatiningsih, O. (2018). (2018). Sikap toleransi antarumat beragama pada siswa Sma Muhammadiyah 4 Porong.

Kajian Moral dan Kewarganegaraan, 6(2), 596–610. Diakses dari https://jurnalmahasiswa.unesa.ac.id/index.

php/jurnal-pendidikan-kewarganegaraa/article/view/24925/22832 Widodo, T & Kadarwati, S. (2013). High order

thinking berbasis pemecahan masalah untuk meningkatkan hasil belajar berorientasi pembentukan karakter murid.

Cakrawala Pendidikan. 32(1), 161-171. https://doi.org/10.21831/cp.v5i1.1269 Wolhuter, C. C., Van der Walt, J. L., Potgieter,

F. J., De Muynck, B., & Broer, N. A. (2014). Measuring religious tolerance among final year education students-the birth of a questionnaire. International Journal for Religious Freedom, 7(1-2),

77-96. Diakses dari https://repository.nwu.ac.za/bitstream/hand le/10394/20717/Screen- enduser_IJRF_Vol7-1BroerMeasuringreligious.pdf?sequence= 1

Woolfolk, A. 2008. Educational psychology active earning edition (10th ed.). London, UK: Pearson Education, Inc.

Gambar

Tabel 1. Data Demografis Partisipan
Tabel 2. Perbedaan  Keterampilan Berpikir  Kritis dan Toleransi  Beragama Berdasarkan Jenis Kelamin, Suku, dan Agama

Referensi

Dokumen terkait

Dalam analisis ini peneliti melakukan beberapa tahapan, yaitu penghitungan jumlah kalimat dan suku kata pada wacana nonfiksi dengan menggunakan Teori Fry,

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga Laporan Tugas Akhir dengan Judul “Pengaruh Kegiatan

Rumusan masalah anu peneliti ajukan nyaeta, 1) Kumaha lalakon sepuh ka adanyya perkawis penyyimpangan laku-lampah di golongan rumaja?, 2) Kumaha daweung kulawargi dina

Berdasarkan pengamatan peneliti di SMAN 1 Sidoarjo bahwa dengan adanya sebuah bahan ajar cetak yang berbentuk modul Unit Kegiatan Belajar Mandiri tersebut berpengaruh terhadap

Jadi pelatihan dan kinerja mempunyai hubungan yang sangat erat karena untuk dapat mencapai kinerja yang tinggi sangat ditentukan oleh adanya kemampuan dan keterampilan

Keterkaitan tersebut dapat dilihat dari jumlah 41 responden yang tergolong kategori di atas garis kemiskinan sebanyak 36 responden atau 87.80% dengan tingkat kesejahteraan

Induksi cekaman kekeringan melalui pengurangan penyiraman air dilakukan dengan menumbuhkan tanaman dalam polibag (diameter 50 cm) yang berisi media campuran tanah, pasir dan

Pemberian Ekstrak Air Buah Kesemek Junggo (Diospyros kaki L.f.) diperoleh perbedaan yang signifikan terhadap tikus artritis terapi ekstrak air buah kesemek junggo dengan