• Tidak ada hasil yang ditemukan

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "VI. HASIL DAN PEMBAHASAN. 6.1 Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

50 VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Identifikasi Proses dan Pihak-Pihak Terlibat dalam Kegiatan Penambangan Pasir

Kegiatan penambangan galian C di Kecamatan Tamansari sudah berlangsung sejak sekitar 50 tahun yang lalu. Pada tahun 1960-an, pembangunan di daerah Ancol, Jakarta Utara, menggunakan pasir dan batu sebagai bahan dasar pembangunan yang berasal dari Kecamatan Tamansari. Semakin meningkatnya kebutuhan akan pasir dan batu sebagai bahan dasar pembangunan, menyebabkan terus meningkatnya kegiatan penambangan galian C. Saat ini, Desa Sukaresmi menjadi salah satu lokasi penambangan pasir dengan skala terbesar dibandingkan dengan lokasi penambangan di desa lainnya di Kecamatan Tamansari. Penambangan pasir di Desa Sukaresmi sudah dilakukan sejak tahun 1970-an yang pada awalnya merupakan perusahaan pemecah batu milik swasta. Setelah perusahaan tersebut ditutup, masyarakat sekitar melanjutkan kegiatan penambangan pasir dan batu. Penambangan pasir yang dikelola masyarakat ini merupakan penambangan pasir ilegal karena tidak adanya izin atas kegiatan tersebut. Lahan yang digunakan untuk usaha ini merupakan lahan milik warga. Sebagian besar lahan yang dijadikan usaha penambangan pasir pada awalnya merupakan lahan persawahan. Para penambang tidak mengurus izin usaha dengan alasan pajak pemerintah yang harus mereka tanggung atas usaha tersebut dapat mempengaruhi pendapatan.

Pemilik lahan, penyewa lahan/pengusaha pasir, penambang pasir, supir truk pengangkut pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ini. Pemerintah sebagai pihak luar tidak banyak terlibat dalam kegiatan penambangan dikarenakan kegiatan

(2)

51 tersebut bersifat ilegal/tidak memiliki izin. Berdasarkan wawancara dengan pemerintah setempat, upaya penutupan kegiatan penambangan ini telah dilakukan namun selalu gagal. Masalah ekonomi selalu dijadikan alasan para penambang untuk tetap melakukan kegiatannya. Pelatihan dan pembinaan keterampilan sebagai alternatif pengganti mata pencaharian juga tidak mampu menghentikan kegiatan penambangan tersebut. Pemberian izin usaha penambangan memang sengaja tidak diberikan dikarenakan wilayah Kecamatan Tamansari tidak diperuntukkan sebagai wilayah pertambangan, selain itu untuk menghindari eksploitasi sumberdaya yang berlebih. Jika izin diberikan, maka perusahaan/badan/perorangan sebagai pemegang izin usaha cenderung melakukan kegiatan penambangan dengan orientasi keuntungan semaksimal mungkin yang berimplikasi pada eksploitasi sumberdaya pasir secara berlebihan, dan pada akhirnya kerusakan lingkungan menjadi lebih besar. Penambangan pasir ilegal ini dapat dikategorikan sebagai pertambangan rakyat dengan cara konvensional, dengan anggapan kerusakan lingkungan lebih minimal sebagai dampak dari kegiatan penambangan tersebut.

Berikut ini merupakan penjelasan dari pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan penambangan pasir ilegal di Desa Sukaresmi, Kecamatan Tamansari:

a. Pemilik lahan adalah tuan tanah dimana usaha penambangan pasir ini dilakukan. Lahan yang mereka miliki berupa lahan sawah dan kebun. Lahan- lahan dalam lokasi penelitian merupakan milik warga sekitar desa. Lahan tersebut disewakan dengan harga Rp 40.000/m2 kemudian dialih fungsikan menjadi lahan untuk usaha penambangan pasir. Masa sewa

(3)

52 habis jika seluruh luasan lahan yang disewa telah digarap sampai kedalaman dua belas meter.

b. Penyewa lahan dalam penelitian ini merupakan para pengusaha pasir. Mereka menyewa lahan pertanian kepada pemilik lahan dan memanfaatkan lahan tersebut dengan cara mengeksploitasi atau mengambil pasir. Luasan lahan yang disewa para pengusaha pasir bervariasi, tetapi pada umumnya setiap pengusaha pasir menyewa antara 100 m2 sampai 300 m2 karena alasan saling berbagi dengan pengusaha pasir lainnya. Kedalaman lahan garapan untuk eksploitasi pasir adalah 12 meter. Dapat disimpulkan, setiap meter persegi lahan yang disewa dengan harga Rp 40.000 sama dengan 12 m3 lahan garapan dan setiap pengusaha pasir menyewa lahan sebesar luasan dikalikan kedalaman setinggi 12 meter. Luasan permukaan tebing dengan tinggi 12 meter dan lebar 7 meter disebut ‘1 kobak’, dan setiap pengusaha pasir memiliki jumlah ‘kobak’ yang bervariasi.

c. Penambang pasir merupakan orang yang dipekerjakan oleh pengusaha pasir. Tugas mereka adalah mengambil pasir. Satu pengusaha pasir biasanya mempekerjakan dua penambang. Satu penambang bertugas mengeruk tanah dengan cara konvensional dengan menggunakan linggis, penambang yang lain mecuci runtuhan tanah untuk memisahkan pasir dari batu dan kerikil.

d. Buruh merupakan ‘kenek’ pengangkut pasir atau disebut juga ‘kadal’. Mereka diberikan upah atas jasanya yaitu menaikan pasir ke dalam truk pasir.

(4)

53 Penyewa lahan/pengusaha pasir, penambang pasir, dan buruh pengangkut pasir merupakan pihak-pihak yang terlibat secara langsung dalam kegiatan produksi pasir. Sedangkan supir pengangkut pasir merupakan pembeli pertama. Setiap supir datang ke lokasi penelitian untuk membeli pasir. Ukuran truk pasir terbagi dua yaitu, truk ‘engkel’ berukuran 2,5 m3 dan truk ‘dobel’ berukuran 5 m3. Pembelian pasir untuk truk ‘engkel’ dikenakan biaya Rp 170.000, sedangkan Truk ‘dobel’ Rp 340.000.

Gambar 3. Proses Penambangan Pasir

Lahan sawah yang telah disewa oleh pengusaha pasir dialih fungsikan menjadi lahan penambangan pasir dengan bentuk tebingan. Setiap pengusaha memiliki luasan tebing/’kobak’ yang bervariasi tetapi pada umumnya setiap pengusaha hanya memiliki 1 ‘kobak’ yaitu luasan tebing dengan lebar 7 meter dan tinggi 12 meter. Setiap harinya, 1 ‘kobak’ rata-rata menghasilkan 5 m3 pasir dengan pekerja penambang sebanyak 2 orang. Penambang merupakan orang yang menghasilkan/memproduksi pasir. Proses produksi pasir dari setiap ‘kobak’ biasanya dilakukan oleh 2 orang penambang dan rata-rata per hari menghasilkan 5 m3 pasir. Setelah pasir terkumpul, buruh pengangkut pasir atau yang mereka sebut

‘kadal’ bertugas memindahkan pasir tersebut kedalam truk pasir. Supir truk merupakan pembeli pertama. Terdapat dua jenis truk di lokasi penelitian, yaitu

Produksi: pengusaha,

panambang pasir Konsumsi: pembeli kedua

Distribusi: supir truk pengangkut pasir/pembeli pertama Buruh/’kadal’

(5)

54 truk berukuran 2,5 m3 yang disebut truk ‘engkel’ dan truk berukuran 5 m3 yang disebut truk ‘dobel’. Supir harus membayar sebesar Rp 170.000 untuk mendapatkan pasir sebanyak 2,5 m3 atau Rp 340.000 untuk pasir sebanyak 5 m3. Uang tersebut kemudian dibagikan kepada pengusaha pasir, penambang, dan buruh pengangkut. Setiap 2,5 m3 pasir, pengusaha mendapatkan bagian sebesar Rp 60.000, penambang Rp 60.000 (dibagikan dengan jumlah penambang), dan buruh pengangkut Rp 50.000 (dibagikan dengan jumlah buruh).

Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43 Tahun 1996 mengenai kriteria kerusakan lingkungan bagi usaha atau kegiatan penambangan bahan galian golongan C jenis lepas di dataran, dinding galian adalah pinggiran lubang secara menyeluruh dari permukaan sampai dasar lubang dan untuk menjaga stabilitas dinding galian, kemiringan lereng dinding galian secara umum dibatasi maksimum 50% dan harus dibuat berteras-teras. Setiap teras terdiri dari tebing teras dan dasar teras sebagai parameter yang diamati. Batas tinggi tebing teras adalah maksimun 3 meter sebagai batas toleransi bagi keamanan lingkungan disekitarnya, sedangkan lebar batas teras minimum 6 meter untuk mempertahankan agar kemiringan dinding galian tidak lebih curam dari 50%.

Pada lokasi penelitian, batas tinggi tebing maksimun tidak berlaku karena tinggi tebing teras galian mencapai 12 meter. Hal ini terjadi karena para penambang tidak mengetahui tata cara dan batas maksimun yang ditetapkan, selain itu mereka hanya memikirkan keuntungan sebesar-besarnya. Semakin tinggi tebing galian, semakin besar volume pasir yang diperoleh dan semakin besar juga keuntungan yang diperoleh.

(6)

55 Sumber: Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 43, 1996

Gambar 4. Sketsa Relief Dinding Galian yang Disyaratkan

Gambar 5. Sketsa Relief Dinding Galian pada Lokasi Penelitian

Menurut Mangkoesoebroto (2001), terdapat beberapa faktor yang menjadi sumber timbulnya kegagalan pemerintah:

1. Campur tangan pemerintah terkadang menimbulkan dampak yang tidak diperkirakan terlebih dahulu.

permukaan tanah

dasar galian 12 M

(7)

56 2. Campur tangan pemerintah memerlukan biaya yang tidak murah, oleh

karena itu campur tangan pemerintah harus dipertimbangkan manfaat dan biayanya secara cermat.

3. Adanya kegagalan dalam pelaksanaan program pemerintah.

4. Perilaku pemegang kebijakan pemerintah yang bersifat mengejar keuntungan pribadi atau rent seeking behaviour.

Berdasarkan hal diatas, dapat disimpulkan bahwa pemerintahan Kecamatan Tamansari mengalami kegagalan dalam menangani kegiatan penambangan pasir. Program-program penyuluhan untuk menggantikan kegiatan penambangan tersebut belum berhasil dilakukan.

6.2 Identifikasi Dampak Positif dan Negatif dari Kegiatan Penambangan Pasir

Kegiatan penambangan pasir memberikan dampak terhadap masyarakat dan lingkungan. Dampak yang diterima berupa dampak positif dan negatif. Penyediaan mata pencaharian dan penyerapan tenaga kerja merupakan manfaat yang diterima masyarakat yang diidentifikasi sebagai dampak positif. Kerusakan lingkungan yang terdiri dari hilangnya lahan sawah, pencemaran air sungai, longsor, estetika lingkungan, rusaknya jalan yang mengakibatkan pencemaran udara dianggap sebagai dampak negatif.

6.2.1 Identifikasi Manfaat dari Kegiatan Penambangan Pasir

Kegiatan penambangan pasir memberikan dampak positif bagi masyarakat setempat dalam hal penyediaan lapangan pekerjaan, baik itu untuk pekerja penambangan (secara langsung) maupun sebagai supir kendaraan pengangkut pasir (secara tidak langsung). Masyarakat tidak memerlukan keahlian khusus dan

(8)

57 hanya dengan menggunakan peralatan penggalian sederhana, mereka dapat memperoleh pendapatan dari kegiatan ini.

Pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penambangan pasir yang merasa diuntungkan, baik pihak yang terlibat secara langsung dalam proses penambangan maupun pihak diluar kegiatan penambangan seperti penjaga pos pungutan tidak resmi sepanjang jalan yang dilewati truk pengangkut pasir. Sumber penghasilan harian dinikmati oleh masyarakat dengan adanya kegiatan penambangan pasir ini. Pendapatan harian yang diperoleh penambang, pengusaha pasir, buruh pengangkut, dan supir truk pengangkut pasir sangat membantu dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi mereka sehari-hari. Pos pintu gerbang tidak resmi di sepanjang jalan menuju lokasi penambangan secara langsung juga mendapatkan keuntungan berupa pungutan-pungutan. Berdasarkan wawancara dengan supir truk pasir, pungutan tidak resmi yang harus mereka bayar mencapai Rp 32.000. 6.2.2 Identifikasi Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir

Penambangan yang bersifat mengambil atau eksploitatif menyebabkan penurunan kualitas lingkungan tidak terelakkan lagi. Terutama kegiatan penambangan pasir yang dilakukan dengan cara mengkonversi lahan pertanian. Alih fungsi lahan pertanian menjadi penambangan pasir akan memberikan dampak negatif bagi lingkungan, seperti hilangnya lahan resapan air yang akan mengakibatkan terjadinya banjir, berkurangnya aliran air dalam tanah, erosi dan lain sebagainya. Berdasarkan hasil wawancara responden bahwa dampak lingkungan seperti banjir dan erosi sering terjadi setelah turun hujan.

Pengalihfungsian lahan pertanian menjadi bentuk lainnya merupakan salah satu masalah yang dihadapi dalam sektor pertanian. Kegiatan penambangan pasir

(9)

58 yang dilakukan di atas lahan pertanian sawah menyebabkan hilangnya kesempatan lahan pertanian tersebut untuk memproduksi pangan sebagai komoditas utama.

Lokasi penambangan pasir terletak di perbatasan Kecamatan Tamansari dan Kecamatan Ciomas Kabupaten Bogor yang merupakan daerah pemukiman warga. Akses untuk menuju lokasi penambangan pasir melewati pemukiman warga. Perumahan Alam Tirta merupakan salah satu pemukiman penduduk dan memiliki jarak terdekat dengan lokasi penambangan pasir. Setiap harinya tidak kurang dari 25 truk pengangkut pasir melintasi jalan perumahan yang menyebabkan kualitas udara menurun. Kendaraan berukuran besar seperti truk pengangkut pasir juga menyebabkan rusaknnya jalan perumahan. Kualitas aspal yang digunakan untuk jalan umum dan jalan perumahan berbeda. Jalan perumahan tidak seharusnya dilalui oleh kendaraan berukuran besar. Berdasarkan hasil pengamatan, kerusakan jalan perumahan Alam Tirta sebagian besar disebabkan oleh truk pengangkut pasir.

Padi merupakan komoditas penting di Indonesia yang mampu mampengaruhi ekonomi bahkan keadaan politik negara. Pengalihfungsian lahan pertanian merupakan salah satu masalah yang dihadapi sektor pertanian saat ini. Konversi lahan pertanian menyebabkan hilangnya kesempatan untuk memproduksi padi. Setelah terjadi alih fungsi lahan pertanian, hampir tidak mungkin dilakukan proses pengembalian fungsi lahan tersebut. Kegiatan penambangan pasir yang dilakukan di lahan persawahan ini menyebabkan hilangnya fungsi dan multifungsi sawah.

Perubahan paradigma pembangunan yang mengemuka sejak periode 1980-an telah melahirk1980-an konsep pemb1980-angun1980-an berkel1980-anjut1980-an, dim1980-ana aspek distribusi

(10)

59 dan kelestarian lingkungan maupun sosial-budaya memperoleh perhatian yang proporsional seiring dengan upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi (Munasinghe, 1993 UdalamU Rahmanto, 2006). Kaitannya dengan hal itu, berbagai klasifikasi mengenai nilai ekonomi lahan pertanian telah dikemukakan, di antaranya oleh Munasinghe (1992), Callaghan (1992), dan Sogo Kenkyu (1998). Meskipun terdapat beberapa perbedaan mengenai klasifikasi manfaat lahan pertanian yang dikemukakan oleh narasumber tersebut, tetapi secara garis besar penilaian ekonomi lahan pertanian harus dilihat berdasarkan manfaat penggunaan (use values) dan manfaat bawaannya (intrinsic values). Kedua manfaat tersebut meliputi aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial-budaya.

Manfaat langsung lahan sawah dapat dikaitkan dengan sepuluh unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996 UdalamU Rahmanto, 2006): (1) penghasil bahan pangan, (2) penyedia kesempatan kerja pertanian, (3) sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui pajak lahan, (4) sumber PAD melalui pajak lainnya, (5) mencegah urbanisasi melalui kesempatan kerja yang diciptakan, (6) sebagai sarana bagi tumbuhnya kebudayaan tradisional, (7) sebagai sarana tumbuhnya rasa kebersamaan atau gotongroyong, (8) sebagai sumber pendapatan masyarakat, (9) sebagai sarana refreshing, dan (10) sebagai sarana pariwisata.

Manfaat tidak langsung mencakup fungsi-fungsi pelestarian lingkungan yang terdiri dari unsur-unsur berikut (Nasoetion dan Winoto, 1996 UdalamU Rahmanto, 2006): (1) mengurangi peluang banjir, (2) mengurangi peluang erosi, (3) mengurangi peluang tanah longsor, (4) menjaga keseimbangan sirkulasi air, terutama di musim kemarau, (5) mengurangi pencemaran udara akibat polusi industri, dan (6) mengurangi pencemaran lingkungan melalui pengembalian

(11)

60 pupuk organik pada lahan sawah. Sementara itu, manfaat bawaan terdiri dari dua unsur berikut: (1) sebagai sarana pendidikan, dan (2) sebagai sarana untuk mempertahankan keragaman hayati.

6.3 Penilaian Dampak Positif dan Negatif Kegiatan Penambangan Pasir Penilaian merupakan upaya untuk menentukan nilai atau manfaat dari suatu barang atau jasa untuk kepentingan tertentu manusia atau masyarakat. Penilaian mencakup kegiatan akademis untuk pengembangan konsep dan metodologi untuk menduga nilai manfaat. Nilai merupakan persepsi manusia tentang makna suatu obyek, bagi orang tertentu, pada waktu dan tempat tertentu. Persepsi tersebut berpadu dengan harapan ataupun norma-norma kehidupan yang melekat pada individu atau masyarakat itu. Untuk menilai berapa besar nilai sumberdaya alam ini sangat bergantung pada sistem nilai yang dianut. Sistem nilai tersebut antara lain mencakup: apa yang dinilai, kapan dinilai, dimana dan bagaimana menilainya, kelembagaan penilai dan sebagainya (Davis dan Johnson

U

dalamU Ansahar 2005).

Penilaian dampak positif dari kegiatan penambangan merupakan penilaian manfaat yang diterima pihak-pihak dalam kegiatan penambangan pasir di lokasi penelitian, yaitu berupa besaran rupiah yang diterima dengan adanya kegiatan tersebut. Sedangkan penilaian dampak negatif merupakan penilaian kerusakan lingkungan akibat kegiatan penambangan pasir. Kerusakan lingkungan dalam penelitian ini berupa hilangnya fungsi dan multifungsi sawah. Padi yang merupakan hasil utama dari sawah dinilai uangkan agar diperoleh besaran nilai yang hilang akibat adanya kegiatan penambangan pasir.

(12)

61 6.3.1 Penilaian Manfaat dari Kegiatan Penambangan Pasir

Hasil dari penelitian menunjukan manfaat atau dampak positif dari kegiatan penambangan pasir ini berupa penyerapan tenaga kerja dan pemenuhan kebutuhan sumberdaya pasir sebagai bahan dasar untuk pembangunan. Manfaat dari kegiatan penambangan pasir ini dapat dievaluasikan kedalam nilai ekonomi sebagai nilai pendapatan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam kegiatan penambangan pasir.

Terdapat 13 responden pengusaha pasir dan 34 penambang pasir dalam lokasi penelitian. Dari 13 pengusaha pasir, 8 orang yang masing-masing memiliki 1 ‘kobak’ menghasilkan pendapatan sebesar Rp 120.000/orang per hari, 4 orang masing-masing memiliki 2 ‘kobak’ dan menghasilkan Rp 240.000/orang per hari, dan 1 orang memiliki 3 ‘kobak’ yang menghasilkan Rp 360.000 per hari. Diasumsikan 300 hari kerja dalam satu tahun.

Tabel 9. Pendapatan Pengusaha Pasir

Pendapatan (Rp) Jumlah responden (orang) Pendapatan/hari (Rp) Pendapatan/tahun (Rp)

120.000 8 960.000 288.000.000

240.000 4 960.000 288.000.000

360.000 1 360.000 108.000.000

Total 2.280.000 684.000.000

Sumber: Data primer, diolah Maret 2011

Dari 34 penambang pasir di lokasi penelitian, 28 penambang masing memiliki penghasilan Rp 60.000/hari dan 6 penambang lainnya masing-masing berpenghasilan Rp 40.000/hari. Diasumsikan dalam satu tahun adalah 300 hari kerja. Penghasilan total penambang pasir dapat dilihat pada tabel 10.

(13)

62 Tabel 10. Pendapatan Penambang Pasir

Pendapatan (Rp) Jumlah responden (orang) Pendapatan/hari (Rp) Pendapatan/tahun (Rp)

40.000 6 240.000 72.000.000

60.000 28 1.680.000 504.000.000

Total 1.920.000 576.000.000

Sumber: Data primer, diolah Maret 2011

Berdasarkan pendapatan dari 13 pengusaha pasir dan 34 penambang pasir, penilaian manfaat dari kegiatan penambangan pasir menghasilkan angka Rp.1.260.000.000/tahun. Pendapatan pengusaha dan penambang pasir merupakan nilai guna langsung dari kegiatan penambangan pasir.

Hasil yang didapatkan dari wawancara dan pengamatan lapang, rata-rata 25 supir mendapatkan keuntungan masing-masing Rp 40.000 per harinya sebagai pembeli pertama. Sementara itu, buruh pengangkut pasir setiap hari memperoleh pendapatan Rp 25.000. Rata-rata dalam satu hari diperoleh estimasi nilai guna tidak langsung sebesar Rp 1.625.000. Asumsi hari kerja dalam satu tahun adalah 300 hari kerja, sehingga nilai guna tidak langsung dari kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi Kecamatan Tamansari adalah sebesar Rp 487.500.000 per tahun.

Nilai guna (langsung dan tidak langsung) dari kegiatan penambangan pasir adalah Rp 1.747.500.000 per tahun. Penambangan pasir di lokasi penelitian diperkirakan akan habis dalam 2,5 tahun, sehingga total nilai guna dari kegiatan penambangan pasir adalah sebesar Rp 4.368.750.000.

6.3.2 Penilaian Kerusakan Lingkungan Akibat Kegiatan Penambangan Pasir

Berdasarkan panduan perhitungan ganti kerugian akibat pencemaran dan atau perusakan lingkungan, terdapat dua komponen konsep ganti rugi pada kasus

(14)

63 galian C (penambangan batu, pasir, dan tanah) yaitu biaya kerugian ekologis dan biaya kerugian ekonomi. Biaya pada panduan perhitungan merupakan biaya yang ditetapkan pada tahun 2006, sedangkan penelitian dilakukan pada tahun 2010 sehingga tetapan biaya yang digunakan untuk menilai kerusakan lingkungan disesuaikan dengan konsep future value.

F = P (1 + i)n Dimana: F : biaya di tahun 2010

P : tetapan biaya di tahun 2006

i : suku bunga yang digunakan pada saat penelitian, yaitu 6,5%

n : lama waktu, yaitu 4 tahun 1. Biaya kerugian ekologi

a. Biaya pembuatan reservoir

Lahan sawah yang dialih fungsikan menjadi pertambangan pasir mengakibatkan hilangnya fungsi tanah sebagai penyimpan air. Pembangunan tempat penyimpanan air buatan diperlukan untuk menggantikan fungsi tanah yang hilang tersebut. Menurut BPT Bogor (2005) UdalamU KLH (2006), diketahui bahwa lahan sawah dapat menyerap air sekitar 900 m3 (900 ribu liter) per hektar, sehingga reservoir tersebut harus memiliki kapasitas air sebanyak 900 m3. Untuk menampung air sebanyak 900 m3 diperlukan reservoir berukuran lebar 15 m, panjang 20 m, dan tinggi 3 m. Biaya pembangunan diasumsikan Rp 100.000 per m2 (pada tahun 2006), dengan konsep

future value, asumsi biaya pada tahun 2010

adalah Rp 129.000.

(15)

64 = {(2 x 3 x 15) + (2 x 3 x 20) + (15 x 20)} x Rp 129.000/m2

= 510 m2 x Rp 129.000/m2 = Rp 65.790.000

Luas lokasi penambangan adalah 1,064 ha, maka biaya pembuatannya (CR) adalah :

= 1,064 ha x Rp 65.790.000/ha = Rp 70.000.560

Biaya pemeliharaan reservoir sampai lahan terdegradasi pulih (CPMR) yaitu selama 100 tahun dengan biaya Rp 200.000 per tahun (pada tahun 2006) atau Rp 258.000 (pada tahun 2010):

= Rp 258.000/th/ha x 100 th x 1,064 ha = Rp 27.451.200

Biaya yang dibutuhkan untuk membangun dan memelihara reservoir buatan untuk 1,064 ha (CFTA) adalah sebesar Rp 97.451.760

b. Pengaturan tata air

Biaya pengaturan tata air didasarkan kepada manfaat air untuk keperluan budi daya dalam ekosistem daerah aliran sungai (DAS) menurut Manan, Wasis, Rusdiana, Arifjaya, dan Purwowidodo (1999) UdalamU KLH (2006) untuk tanaman budidaya Rp 19.100.000/ha (Rp 24.639.000/ha di tahun 2010) dan penyediaan air minum (PAM) Rp 3.710.000/ha (Rp 4.785.900/ha di tahun 2010), sehingga biaya yang harus dikeluarkan untuk pengaturan tata air untuk luas 1,064 ha dengan asumsi perbaikan lahan selama 100 tahun sebesar :

CTA = 1,064 ha x (Rp 24.639.000 + Rp 4.785.900) x 100 th = Rp 3.130.809.400 c. Pengendalian erosi dan limpasan

Biaya pengendalian erosi dan limpasan akibat konversi hutan alam menjadi hutan sekunder dan tanah terbuka dengan pembuatan teras dan rorak

(16)

65 didasarkan perhitungan Manan et al (1998) UdalamU KLH (2006) yaitu sebesar Rp 6.000.000 per ha (Rp 7.740.000 per ha di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pengendalian erosi dan limpasan seluas 1,064 ha adalah :

CEL = 1,064 ha x Rp 7.740.000/ha = Rp 8.235.360 d. Pembentukan tanah

Biaya pembentukan tanah menurut Hardjowigeno (1993) UdalamU KLH (2006) adalah sebesar Rp 1.500.000/ha (Rp 1.935.000 di tahun 2010) dikalikan dengan solum tanah yang hilang dibagi 2,5 mm. Tanah yang hilang adalah 50 cm dan luas lahan penambangan 1,064 ha.

CPT = 500 mm/2,5 mm x Rp 1.935.000/ha x 1,064 ha = Rp 411.768.000 e. Pendaur ulang unsur hara

Biaya hilangnya unsur hara menurut Wasis (2005) UdalamU KLH (2006) akibat penambangan galian C adalah Rp 9.548.000/ha (Rp 12.316.920 di tahun 2010), sehingga dengan lokasi penambangan seluas 1,064 ha diperlukan biaya sebesar :

CUH = 1,064 ha x Rp 12.316.920/ha = Rp 13.105.203 f. Pengurai limbah

Biaya pengurai limbah yang hilang karena kerusakan lahan menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) UdalamU KLH (2006) yaitu sebesar Rp 435.000 per ha (Rp 561.150 di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pengurai limbah pada lahan seluas 1,064 ha adalah:

(17)

66 g. Pemulihan biodiversity

Biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan keanekaragaman hayati yang hilang akibat rusaknya lahan karena galian C menurut perhitungan Pangestu dan Ahmad (1998) UdalamU KLH (2006) yaitu sebesar Rp 2.700.000/ha (Rp 3.483.000 pada tahun 2010), sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha adalah :

CPB = 1,064 ha x Rp 3.483.000/ha = Rp 3.705.912 h. Sumberdaya genetik

Biaya pemulihan akibat hilangnya sumberdaya genetik adalah sebesar Rp 410.000/ha (Pangestu dan Ahmad, 1998 UdalamU KLH, 2006), dengan konsep future

value maka pada tahun 2010 biaya pemulihan adalah sebesar Rp 528.900/ha,

sehingga untuk lahan seluas 1,064 ha biaya yang dibutuhkan untuk memulihkan adalah sebesar:

Cgen = 1,064 ha x Rp 528.900/ha = Rp 562.749,6 i. Pelepasan karbon

Biaya pelepasan karbon menurut Pangestu dan Ahmad (1998) UdalamU KLH (2006) adalah sebesar Rp 90.000/ha (Rp 116.100/ha di tahun 2010). Biaya yang dibutuhkan untuk pemulihan lahan seluas 1,064 ha adalah sebagai berikut:

Ccar = 1,064 ha x Rp 116.100/ha = Rp 123.530,4 Total biaya ekologi (CKEg) :

CKEg = CFTA + CTA + CEL + CPT + CUH + CPL + CPB + Cgen + Ccar = Rp 97.451.760 + Rp 3.130.809.400 + Rp 8.235.360 + Rp 411.768.000 + Rp 13.105.203 + Rp 597.063,6 + Rp 3.705.912 + Rp 562.749,6 + Rp 123.530,4

(18)

67 2. Biaya Kerugian Ekonomi

a. Nilai batu, pasir, dan tanah

Akibat adanya pengambilan tanah dan batu di penambangan pasir Desa Sukaresmi pada lahan seluas 1,064 ha dengan kedalaman 12 m (volume = 127.680 m3), dimana nilai batu, pasir, dan tanah sebesar Rp 50.000/m3 (KLH, 2006) atau Rp 64.500/m3 pada saat penelitian, maka biaya kerusakan akibat pengambilan batu dan pasir adalah sebesar :

CBPT = 127.680 m3 x Rp 64.500/m3 = Rp 8.235.360.000 b. Umur pakai lahan

Pada bagian kerusakan ekonomi ini terdapat parameter penting yang patut dipertimbangkan yaitu hilangnya umur pakai lahan selama 100 tahun. Alih fungsi lahan dari sawah menjadi penambangan pasir menyebabkan hilangnya fungsi lahan tersebut dalam memproduksi padi. Penilaian hilangnya produksi padi dilakukan untuk mengetahui berapa besar kerugian yang diterima akibat alih fungsi lahan tersebut.

Luas lahan persawahan yang dikonversi menjadi panambangan pasir adalah sebesar 1,064 ha. Produksi rata-rata padi di lokasi penelitian adalah 12 ton/ha/tahun, sehingga padi yang seharusnya dihasilkan adalah 12,768 ton/tahun. Harga yang diterima petani setempat adalah Rp 2.900/kg padi. Sehingga perhitungan hilangnya penerimaan petani akibat hilangnya produksi padi adalah sebesar Rp 37.027.200/tahun atau selama 100 tahun sebesar Rp 3.702.720.000. Estimasi biaya total kerugian ekonomi pada lokasi penambangan seluas 1,064 ha adalah Rp 11.938.080.000.

(19)

68 Dengan menjumlahkan biaya total kerugian ekologi dan biaya total kerugian ekonomi, maka diperoleh estimasi nilai kerusakan lingkungan akibat adanya kegiatan penambangan pasir seluas 1,064 ha yaitu Rp 15.604.438.978,6. Nilai ini jauh lebih besar jika dibandingkan dengan nilai guna yang diperoleh dari kegiatan penambangan pasir. Berdasarkan nilai tersebut maka diperlukan pengendalian kegiatan penambangan pasir di Desa Sukaresmi. Pengendalian tersebut seharusnya juga diterapkan di desa-desa lainnya, meskipun kegiatan penambangan yang dilakukan memiliki skala yang lebih kecil. 

Gambar

Gambar 3. Proses Penambangan Pasir
Gambar 4. Sketsa Relief Dinding Galian yang Disyaratkan

Referensi

Dokumen terkait

Masalah yang berkaitan dengan produk yang akan di buat dan di aplikasikan adalah sarana permainan yang tersedia di taman daerah kota Bandung kurang memadai, karena

Radioisotop 198Au yang dihasilkan dikarakterisasi dengan mengukur aktivitas, waktu paruh, energi, yield, kemurnian radionuklida dan kemurnian radiokimia serta ukuran

[r]

Jumlah hoaks bermuatan politik yang besar dan disebar melalui media sosial tersebut juga dapat muncul karena besarnya jumlah warga yang menggunakan media sosial sebagai

Kabupaten Melawi yang mandiri untuk hidup sehat & Meningkatkan Pemerataan Pelayanan Kesehatan yang berkualitas Dengan Berkoordinasi Dengan Kepala Bidang P2P dan

dengan variasi arus 8000 A dan waktu 0,4 detik. 4) Nilai kekerasan pada spesimen tanpa menggunakan filler maupun dengan menggunakan filler menunjukkan kecenderungan yang

Pendekatan yang dilakukan oleh seorang guru dalam mengelola kelas akan sangat Pendekatan yang dilakukan oleh seorang guru dalam mengelola kelas akan

Menurut Gibsonet al.(1996) kinerja karyawan merupakan suatu ukuran yang dapat digunakan untuk menetapkan perbandingan hasil pelaksanaan tugas, tanggung jawab yang