• Tidak ada hasil yang ditemukan

YURISTIA EKA ERWANDA [Type the document title]

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "YURISTIA EKA ERWANDA [Type the document title]"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

Analisis Yuridis Pengalihan Piutang Secara Cessie dan Akibat Hukumnya Terhadap Jaminan Utang Debitur (Studi Kasus atas Putusan PN Pekanbaru No.

22/Pdt.G/2016/PN.Pbr)

YURISTIA EKA ERWANDA

ABSTRACT

One of the ways to settle bad credit done by a bank is cessie or debt transfer and or hand over (Article 613 of the Civil Code). The case in the ruling of Pekanbaru District Court No.22/Pdt.G/2016/PN.Pbr is a claim by a new creditor (Nelmawati) who has bought the debt from PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru against the debtor (Ema Damayanti) who has bad credit to Pekanbaru District Court to permit the transfer of Land Title Certificate which is made collateral of the debtor on behalf of herself. The research problems are related to the legal consequence of the debtor’s collateral if the former creditor transfers the debt by cessie to the new creditor, the efforts to settle the bad credit that can be made by the new creditor related to the prohibition of beding, and the legal analysis of the Ruling of Pekanbaru District Court No.22/Pdt.G/2016/PN.Pbr.

I. PENDAHULUAN

Dalam hal wanprestasi terjadi dalam pemberian kredit oleh bank, maka dapat dipahami bahwa apabila debitur peminjam wanprestasi dalam pengertian tidak membayar angsuran bulanan sebagaimana yang diperjanjikan maka bank berhak untuk menuntut pelunasan uang pokok, bunga dan denda atas pinjaman yang diberikan. Hal itu bisa dilakukan bank dengan cara mengakhiri jangka waktu kredit tersebut dan dapat untuk seketika menagih pelunasan sekaligus atas seluruh sisa utang debitur atau melakukan upaya-upaya hukum lain untuk menyelesaikan kredit.

Penyelesaian kredit bermasalah umumnya ditempuh dengan 2 (dua) cara yakni penyelamatan kredit dan penyelesaian kredit. Penyelamatan kredit yang dimaksud adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah melalui perundingan kembali antara bank sebagai kreditur dan nasabah peminjam sebagai debitur, sedangkan penyelesaian kredit adalah suatu langkah penyelesaian kredit bermasalah

(2)

melalui lembaga hukum.1 Namun, sekarang ini, salah satu cara penyelesaian kredit bermasalah atau yang lebih dikenal dengan sebutan kredit macet yang dilakukan oleh bank untuk menyelamatkan dana yang telah disalurkannya yaitu dengan melalui

cessie.

Definisi cessie di Indonesia menurut Subekti adalah “suatu cara pemindahan piutang atas nama dimana piutang itu dijual oleh kreditur lama kepada orang yang nantinya menjadi kreditur baru, namun hubungan hukum utang piutang tersebut tidak hapus sedetikpun, tetapi dalam keseluruhannya dipindahkan kepada kreditur baru”.2

Cessie adalah cara pengalihan dan atau penyerahan piutang atas nama sebagaimana yang dimaksud di dalam Pasal 613 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata).3 Namun demikian, kata cessie tidak terdapat di dalam undang-undang yang berlaku di Indonesia.

Pasal 613 KUH Perdata menyebutkan bahwa:

“Penyerahan akan piutang-piutang atas nama dan kebendaan tidak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan membuat sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain.

Penyerahan yang demikian bagi si berhutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

Penyerahan tiap-tiap piutang karena surat bawa dilakukan dengan penyerahan surat itu; penyerahan tiap-tiap piutang karena surat ditunjuk dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen”.

Unsur-unsur yang dapat disimpulkan berdasarkan Pasal 613 KUHPerdata tersebut dalam suatu tindakan cessie, yakni:

1. Dibuatkan akta otentik atau akta di bawah tangan.

2. Hak-hak yang melekat pada piutang atas nama dialihkan/berpindah kepada pihak penerima pengalihan.

3. Cessie hanya berakibat hukum kepada debitur jika telah diberitahukan kepadanya atau secara tertulis disetujui dan diakuinya.

1

Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 76

2 Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 1998), hal. 71, (selanjutnya disebut Subekti

I)

3 Soeharnoko dan Endah Hartati, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, (Jakarta: Kencana,

(3)

Dalam cessie, Pihak yang mengalihkan atau menyerahkan disebut Cedent, sedangkan pihak yang menerima pengalihan atau penyerahan disebut Cessionaris, lalu debitur dari tagihan yang dialihkan atau diserahkan disebut Cessus.4

Penyerahan utang piutang atas nama dan kebendaan tak bertubuh lainnya, dilakukan dengan jalan sebuah akta otentik atau di bawah tangan, dengan mana hak-hak atas kebendaan itu dilimpahkan kepada orang lain. Oleh karena itu, cessie harus tertulis. Penyerahan yang demikian bagi si berutang tidak ada akibatnya, melainkan setelah penyerahan itu diberitahukan kepadanya, atau secara tertulis disetujui dan diakuinya. Cessionaris bisa menyatakan menerima cessie dalam suatu akta/surat tersendiri dan secara tertulis.5

Dengan adanya penyerahan piutang secara cessie maka pihak ketiga menjadi kreditur yang baru yang menggantikan kreditur yang lama yang diikuti pula dengan beralihnya seluruh hak dan kewajiban kreditur lama terhadap debitur kepada pihak ketiga selaku kreditur baru. Hal ini dikarenakan pengalihan piutang secara cessie

tidak mengakibatkan berakhirnya perikatan yang telah ada yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Hubungan hukum antara debitur dan kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang telah ada sebelumnya tidak menjadi putus, sehingga tidak terjadi hubungan hukum yang baru yang menggantikan hubungan hukum yang lama. Perikatan yang lama tetap ada dan berlaku serta mengikat debitur maupun kreditur yang menerima pengalihan piutang yang dimaksud. Dengan demikian yang terjadi adalah pengalihan seluruh hak dan kewajiban kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang ada kepada pihak ketiga yang selanjutnya menjadi kreditur baru.6 Dengan adanya cessie, akibat hukum yang terpenting adalah sebagai berikut:

1. Piutang beralih dari cedent ke cessionaris.

4

Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang

Kenotariatan, (Bandung: Citra Aditya, 2010), hal. 185

5 Rachmad Setiawan dan J. Satrio, Penjelasan Hukum tentang Cessie, (Jakarta: PT Gramedia,

2010), hal. 47

6

(4)

2. Setelah terjadinya cessie, kedudukan cessionaris menggantikan kedudukan cedent, yang berarti segala hak yang dimiliki oleh cedent terhadap cessus dapat digunakan oleh cessionaris sepenuhnya.7

Konsekuensi dari pengalihan piutang dalam cessie itu, memberikan hak bagi penerima cessie (cessionaris) sebagai kreditur baru bagi debitur (cessus), sehingga hubungan selanjutnya antara kreditur baru dengan debitur dan segala akibat dari peralihan piutang itu memberikan hak bagi kreditur baru untuk mengajukan gugatan kepada debitur,8 sebagaimana gugatan yang diajukan oleh cessionaris kepada cessus -nya yang terdapat dalam putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 22/Pdt.G/2016/PN. Pbr.

Kasus dalam putusan tersebut, dimana cessionaris bernama Nelmawati yang membeli piutang tagihan atas nama dari PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru (Cedent) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk menggugat cessus-nya yang bernama Ema Damayanti yang mengalami kredit macet dan tidak lagi diketahui keberadaannya agar Pengadilan Negeri Pekanbaru memberikan izin untuk dapat membaliknamakan Setifikat Hak Milik Nomor: 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 dan Surat Ukur Nomor: 5688/Labuh Baru Barat/2009 tanggal 17 Desember 2009 atas nama Tergugat (Ema Damayanti) ke atas nama Penggugat (Nelmawati) pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru, dimana Sertifikat Hak Milik dan Surat Ukur tersebut merupakan surat keterangan atas sebidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan permanent seluas 153 M2 (seratus lima puluh tiga meter persegi) yang berada di Kelurahan Labuh Baru Barat Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru yang dijadikan jaminan oleh Tergugat (Ema Damayanti) untuk memperoleh Kredit Pemberian Rumah (KPR) dari PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru bertindak sebagai

Cedent dengan menjual piutang dan mengalihkan hak atas tagihan (Cessie) kepada Nelmawati selaku cessionaris dengan dituangkan dalam 2 (dua) Akta Notaris

7

Ibid, hal. 56

8

(5)

berjudul Perjanjian Jual Beli Piutang dan Pengalihan Hak Atas Tagihan (Cessie). Dengan ditandatanganinya 2 (dua) Akta Notaris tersebut, maka beralihlah seluruh hak dan kewajiban PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru selaku kreditur lama berdasarkan perjanjian kredit yang ada kepada Nelmawati (Cessionaris) yang menjadi kreditur baru, sehingga beralih pula Setifikat Hak Milik Nomor: 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 dan Surat Ukur Nomor: 5688/Labuh Baru Barat/2009 tanggal 17 Desember 2009 yang dijadikan jaminan untuk memperoleh Kredit Pemilikan Rumah (KPR) dari pihak PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru kepada Nelmawati.

Setelah beralihnya piutang dan jaminan kredit debitur berupa Sertifikat Hak Milik atas tanah dan bangunan yang berada di atasnya kepada kreditur baru, debitur tidak juga menampakkan dirinya dan tidak bertitikad baik untuk melunasi hutang kredit, sehingga cessionaris atau kreditur baru ingin membaliknamakan Sertifikat Hak Milik dan Surat Ukur atas tanah dan bangunan yang berdiri di atasnya tersebut atas nama dirinya, namun keinginan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru dalam Putusan No. 22/Pdt.G/2016/PN.Pbr dengan pertimbangan bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia menganut larangan milik beding (beding van niet zuivering), yang berarti setiap janji yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum (Pasal 1154 KUH Perdata).

Oleh karena itu penelitian ini akan membahas mengenai “Analisis Yuridis Pengalihan Piutang Secara Cessie dan Akibat Hukumnya Terhadap Jaminan Utang Debitur (Studi Kasus atas Putusan PN Pekanbaru No. 22/Pdt.G/2016/PN.Pbr)”.

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang menjadi pokok permasalahannya adalah :

1. Bagaimanakah akibat hukum terhadap jaminan hutang debitur (cedent) bila kreditur lama (cessus) mengalihkan piutang secara cessie kepada kreditur baru (cessionaris) ?

(6)

2. Bagaimanakah upaya penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan oleh kreditur baru (cessionaris) terkait dengan adanya larangan milik beding (beding van niet zuivering) ?

3. Bagaimanakah analisis hukum terhadap putusan PN Pekanbaru No. 22/Pdt.G/2016/PN.Pbr berkaitan dengan cessie dan akibat hukumnya terhadap jaminan utang debitur ?

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Untuk menganalisis akibat hukum terhadap jaminan hutang debitur (cedent) bila kreditur lama (cessus) mengalihkan piutang secara cessie kepada kreditur baru (cessionaris).

2. Untuk menganalisis upaya penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan oleh kreditur baru (cessionaris) terkait dengan adanya larangan milik beding (beding van niet zuivering).

3. Untuk menganalisis isi putusan PN Pekanbaru No. 22/Pdt.G/2016/PN.Pbr berkaitan dengan cessie dan akibat hukumnya terhadap jaminan utang debitur. II. METODE PENELITIAN

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).9 Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini ialah deskriptif analitis maksudnya adalah untuk menggambarkan, menjelaskan, dan menganalisis permasalahan dari setiap temuan data baik primer maupun sekunder, langsung diolah dan dianalisis untuk memperjelas data secara kategoris, penyusunan secara sistematis, dan dikaji secara logis.10

Data dalam penelitian ini diperoleh melalui data sekunder yaitu data yang dikumpulkan melalui studi dokumen terhadap bahan kepustakaan, mencakup :

9 Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris,

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34

10 Muslan Abdurrahman, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, (Malang: UMM Press,

(7)

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat dari sudut norma dasar, peraturan dasar dan peraturan perundang-undangan, seperti Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang perbankan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), dan putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru Nomor 22/Pdt.G/2016/PN. Pbr.

b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti, rancangan undang-undang, hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum tentang cessie.

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; misalnya kamus, ensiklopedia, indeks kumulatif, dan seterusnya.11

III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengalihan Piutang Secara Cessie Dalam Perjanjian Kredit Dan Akibat Hukumnya Terhadap Jaminan Utang Debitur

1. Keterkaitan Cessie dalam Perjanjian Kredit

Dalam suatu perjanjian kredit bank, bank mengatur berbagai macam klausul di dalamnya, yang mana bila dilihat dari sudut pandang hukum perikatan, maka syarat dan ketentuan dari perjanjian kredit ini termasuk ke dalam perjanjian sepihak. Dikatakan perjanjian sepihak karena tidak terdapat tawar menawar antara debitur dan bank. Inilah yang kemudian disebut sebagai perjanjian standar atau perjanjian baku. Secara umum isi perjanjian kredit berisi pihak pemberi kredit, tujuan pemberian kredit, besarnya biaya proyek, besarnya kredit yang diberikan bank, tingkat bunga kredit, biaya-biaya lain, jangka waktu pengembalian, jadwal pengembalian, jadwal pembayaran, jaminan kredit, syarat yang harus dipenuhi sebelum dicairkan, kewajiban nasabah selama kredit belum dilunasi, serta hak-hak yang dimiliki bank selama kredit belum lunas12, termasuk berisi klausul mengenai adanya cessie.

Bank mengatur di dalam perjanjian kredit bahwa debitur menyetujui dan sepakat untuk memberikan hak sepenuhnya kepada bank untuk menyerahkan piutang

11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: UI Press, 1986), hal. 121 12 Juli Irmayanto dkk, Bank dan Lembaga Keuangan, (Jakarta: Universitas Trisakti, 2004),

(8)

(cessie) dan atau tagihan bank terhadap debitur berikut semua janji-janji accesoir -nya, termasuk hak-hak atas jaminan kredit kepada pihak lain yang ditetapkan oleh bank sendiri setiap saat jika diperlukan oleh bank. Dengan demikian terkaitnya pengalihan piutang secara cessie karena bank mengaturnya dalam perjanjian kredit yang dibuatnya, dan hal ini mengikat debitur sebagai pihak yang memohon kredit dan menandatangani perjanjian kredit tersebut.

2. Hubungan Hukum yang Terjadi Antara Debitur (Cessus), Kreditur Lama (Cedent) dan Kreditur Baru (Cessionaris) Akibat Pengalihan Piutang secara Cessie

Dari pengertian cessie sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, terlihat bahwa ada 3 (tiga) macam hubungan hukum yang terjadi, yaitu sebagai berikut: a. Hubungan antara kreditur lama (cedent) dengan debitur (cessus);

b. Hubungan antara kreditur lama (cedent) dengan kreditur baru (cessionaris); c. Hubungan antara debitur (cessus) dengan kreditur baru (cessionaris).13

Hubungan hukum yang terjadi antara debitur dengan kreditur lama atau bank bermula dari adanya perjanjian kredit. Perjanjian kredit dituangkan dalam bentuk tertulis dalam bentuk perjanjian baku. Klausula mengenai cessie merupakan salah satu isi dari perjanjian kredit bank yang kemudian disepakati oleh debitur, bahwa bank sewaktu-waktu jika diperlukan dapat melakukan pengalihan piutang atau tagihan bank terhadap debitur termasuk jaminan kredit debitur kepada pihak ketiga. Ketika debitur menyetujui perjanjian tersebut dan bersedia menandatangani perjanjian kredit tersebut, seketika itulah timbul hubungan hukum utang piutang antara debitur dan kreditur yang merupakan hubungan asal sebelum adanya peristiwa

cessie.

Dengan dilakukannya pengalihan piutang atas nama (cessie) oleh bank kepada pihak ketiga maka muncullah hubungan hukum antara bank yang kemudian disebut kreditur lama dengan pihak ketiga yang kemudian disebut kreditur baru. Hubungan hukum yang selanjutnya muncul dari cessie adalah hubungan hukum antara kreditur

13 J. Satrio, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, (Bandung:

(9)

baru dengan debitur. Sejak berlaku efektifnya suatu pengalihan piutang, kreditur lama tidak lagi berhak untuk menerima pembayaran dan/atau pelunasan hutang debitur kepadanya. Setiap pembayaran dan/atau pelunasan hutang debitur merupakan hak kreditur baru dan dibayarkan oleh debitur kepada kreditur baru.

3. Akibat Hukum Pengalihan Piutang secara Cessie Terhadap Jaminan Utang Debitur

Piutang yang dialihkan di dalam perjanjian cessie itu memberikan hak tagih kepada penerima cessie atas setiap dan seluruh jumlah-jumlah uang yang wajib dibayarkan oleh debitur kepada kreditur berdasarkan perjanjian kredit. Pengalihan piutang yang dilakukan oleh bank selaku kreditur tersebut mengakibatkan beralihnya hak tagih atau piutang atas debitur yang bersangkutan kepada pihak ketiga yang kemudian menggantikan kedudukan kreditur lama sebagai kreditur yang baru.14 Dalam cessie, pengambilalihan piutang bank oleh pihak ketiga bukan berarti hanya piutang saja yang diambilalih, tetapi disertai juga dengan pengambilalihan hak dan kewajiban bank, termasuk beralihnya jaminan utang debitur.

Pengalihan piutang secara cessie tidak mengakibatkan berakhirnya perikatan yang telah ada yang dibuat antara kreditur dengan debitur. Perikatan yang lama tetap ada dan berlaku serta mengikat debitur maupun kreditur yang menerima pengalihan piutang yang dimaksud. Dengan demikian yang terjadi adalah pengalihan seluruh hak dan kewajiban kreditur berdasarkan perjanjian kredit yang ada kepada pihak ketiga yang selanjutnya menjadi kreditur baru.15

Dengan beralihnya hak dan kewajiban kreditur lama terhadap debitur kepada kreditur baru, termasuk beralihnya jaminan debitur, maka ada aturan yang harus dilakukan kreditur baru terkait beralihnya jaminan debitur yaitu dengan mendaftarkan peralihan jaminan debitur pada lembaga jaminan yang mengikat jaminan tersebut. Pendaftaran peralihan ini bertujuan agar beralihnya jaminan debitur yang diikat oleh lembaga jaminan itu mengikat/berlaku pada kreditur baru.

14 Puteri Natalia Sari, “Pengalihan Piutang secara Cessie dan Akibatnya Terhadap Jaminan

Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, Tesis Program Magister Kenotariatan, (Jakarta: UI, 2010), hal. 24

15

(10)

Peralihan hak tanggungan dilakukan oleh kreditur baru di kantor pertanahan di wilayah hukum dimana objek jaminan hak tanggungan itu berada dan terdaftar, dengan membawa dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengalihan kredit, yaitu identitas pihak yang mengalihkan (kreditur lama) dan yang menerima pengalihan (kreditur baru), Akta Perjanjian Jual Beli Piutang dan Pengalihan Hak Atas Tagihan (Cessie) yang dibuat di hadapan Notaris serta dokumen-dokumen milik debitur yang sebelumnya berada di dalam penguasaan kreditur lama.16

Hal-hal yang kemudian akan dilakukan oleh kantor pertanahan berkaitan dengan pendaftaran peralihan hak tanggungan yaitu dengan melakukan pencatatan pada buku tanah hak tanggungan, buku-buku hak atas tanah yang menjadi objek hak tanggungan dan menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak tanggungan dan sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan. Peralihan hak tanggungan baru berlaku dan mengikat krditur baru adalah sejak tanggal pencatatan pada buku tanah. Adapun tanggal pencatatan pada buku tanah tersebut dilakukan pada tanggal hari ketujuh setelah diterimanya secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran beralihnya hak tanggungan. Namun jika tanggal hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, maka pencatatan tersebut dilakukan pada hari kerja berikutnya.17

Pendaftaran pengalihan hak tanggungan dari kreditur lama kepada kreditur baru akibat adanya cessie, tidak perlu dilakukan roya hak tanggungan terlebih dahulu untuk kemudian didaftarkan hak tanggungan baru lagi. Karena dengan cessie, walaupun utang debitur menjadi telah lunas pada kreditur lama, akan tetapi belum lunas pada kreditur baru. Sehingga dapat dikatakan utang debitur belum berakhir, sedangkan roya baru dapat dilakukan bilamana utang debitur telah lunas dan utang piutang dapat dinyatakan berakhir. Oleh karena itu, kreditur baru cukup memberitahukan pada Kantor Pertanahan dengan mendaftarkan peralihan hak tanggungan dari kreditur lama untuk atas nama dirinya.18

16Wawancara dengan Ibu Siti Aminah Tarigan, Notaris/PPAT Kisaran, pada tanggal 10 Juli

2017, pukul 15.00 WIB

17 Wawancara dengan Ibu Siti Aminah Tarigan, Notaris/PPAT Kisaran, pada tanggal 10 Juli

2017, pukul 15.00 WIB

18 Wawancara dengan Ibu Siti Aminah Tarigan, Notaris/PPAT Kisaran, pada tanggal 10 Juli

(11)

Demikian pula terhadap jaminan fidusia debitur, bahwa jika piutang dialihkan kepada kreditur baru, maka fidusia yang menjamin utang tersebut juga ikut beralih kepada pihak yang menerima pengalihan fidusia tanpa menyebabkan perjanjian kredit antara debitur dan kreditur baru hapus. Jadi, hak dan kewajiban kreditur lama secara hukum beralih kepada kreditur baru. Tetapi, ada kewajiban bagi kreditur baru untuk mendaftarkan pengalihan piutang yang terjadi karena cessie tersebut kepada Kantor Pendaftaran Fidusia. Sama hal nya dengan pendaftaran pengalihan hak tanggungan, pada pengalihan fidusia kreditur baru juga harus menyerahkan dan/atau memperlihatkan akta yang membuktikan beralihnya piutang yang dijamin dengan fidusia dari kreditur lama kepada kreditur baru yaitu Akta Perjanjian Jual Beli Piutang dan Pengalihan Hak Atas Tagihan (Cessie) yang dibuat di hadapan Notaris.19 B. Upaya Penyelesaian Kredit Macet Oleh Kreditur Baru (Cessionaris) Terkait

Dengan Adanya Larangan Milik Beding (Beding Van Niet Zuivering

1. Pengertian dan Pengaturan mengenai Larangan Milik Beding (Beding Van Niet Zuivering)

Milik beding maksudnya adalah memiliki secara langsung barang jaminan atas utang. Larangan milik beding berarti adanya larangan terhadap suatu pihak (kreditur) karena tidak dapat atau tidak berwenang untuk memiliki benda jaminan seseorang (debitur) secara otomatis.20

Pasal 1154 KUHPerdata mengatur bahwa:

“Dalam hal debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajiban-kewajiban, kreditur tidak diperkenankan mengalihkan barang yang digadaikan itu menjadi miliknya. Segala persyaratan perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan ini adalah batal”.

Dari perumusan ketentuan dalam pasal tersebut di atas, dapat diketahui para pihak dilarang atau tidak diperkenankan untuk memperjanjikan klausul milik beding

dalam perjanjian gadainya. Apabila hal ini sampai terjadi, dimana pemberi gadai

19 Wawancara dengan Ibu Siti Aminah Tarigan, Notaris/PPAT Kisaran, pada tanggal 10 Juli

2017, pukul 15.00 WIB

20 Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23

(12)

tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, atau wanprestasi sebagaimana disyaratkan dalam perjanjian gadainya, maka klausul milik beding yang demikian batal demi hukum. Ketentuan yang melarang adanya klausul milik beding ini dalam rangka melindungi kepentingan debitur dan pemberi gadai, terutama bila nilai kebendaan bergerak yang digadaikannya melebihi besarnya utang yang dijamin, sehingga terdapat sisa pembayaran dari hasil penjualan barang gadai tersebut dapat dikembalikan atau diserahkan kepada debitur dan pemberi gadai yang bersangkutan. Walaupun demikian, tidaklah dilarang bagi kreditur penerima gadai untuk ikut serta sebagai pembeli benda yang digadaikan kepadanya tadi, asalkan dilakukan melalui pelelangan umum.21

Ketentuan larangan milik beding ini tidak hanya berlaku untuk gadai saja, tetapi berlaku juga untuk lembaga jaminan lainnya seperti hipotik, fidusia, dan hak tanggungan. Logika larangan ini dikarenakan barang yang diserahkan kepada kreditur sebagai jaminan untuk pelunasan hutang, bukan untuk dimiliki atau dialihkan haknya. Pelunasan utang dilakukan dengan cara melelang barang yang dijaminkan.22

Dengan demikian, ketentuan larangan milik beding ini diadakan dalam rangka melindungi kepentingan debitur sebagai pemberi jaminan, agar dalam kedudukannya yang lemah sebagai pihak yang sangat membutuhkan uang dari kreditur terpaksa menerima janji dengan persyaratan yang berat dan merugikan baginya, terutama jika nilai objek jaminan melebihi besarnya utang yang dijamin. Kreditur sebagai pemegang jaminan dilarang untuk secara serta merta menjadi pemilik jaminan bila debitur wanprestasi. Sehingga manakala debitur wanprestasi, para pihak tidak boleh mengadakan janji untuk memiliki bendanya atau disebut dengan vervalbeding..23 2. Upaya Penyelesaian Kredit Macet oleh Kreditur Baru (Cessionaris) Terkait

dengan Adanya Larangan Milik Beding (Beding Van Niet Zuivering)

Jika klausul milik beding diperjanjikan, maka klausul tersebut dianggap batal demi hukum. Sehingga yang dapat dilakukan oleh kreditur baru (cessionaris)

21 Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 133 22 J. Satrio, Op.Cit, hal. 116

23Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23

(13)

terhadap objek jaminan debiturnya yang wanprestasi adalah dengan eksekusi objek jaminan, baik eksekusi dengan bantuan pengadilan berdasarkan titel eksekutorial objek jaminan (eksekusi grosse akta), parate eksekusi, maupun eksekusi objek jaminan dengan penjualan di bawah tangan yang dibuat antara pemberi dan pemegang jaminan.24

Menurut R. Subekti, “eksekusi adalah upaya dari pihak yang dimenangkan dalam putusan guna mendapatkan yang menjadi haknya dengan bantuan kekuatan hukum, memaksa pihak yang dikalahkan untuk melaksanakan putusan”.25 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata menyatakan, bahwa eksekusi adalah “tindakan paksaan oleh pengadilan terhadap pihak yang kalah dan tidak mau melaksanakan putusan dengan sukarela”.26

Pengertian eksekusi di atas lebih tepat dimaknai sebagai pengertian eksekusi dalam artian sempit, sedangkan eksekusi dalam arti yang luas tidak hanya mencakup pelaksanaan putusan hakim yang berkekuatan hukum tetap saja, namun termasuk segala bentuk pelaksanaan atas suatu hubungan keperdataan yang tidak dilakukan secara sukarela oleh pihak lawannya maupun atas kesepakatan kedua belah pihak untuk melaksanakannya secara damai, karena undang-undang telah menempatkan sebagai bagian dari proses eksekusi antara lain proses penjualan objek jaminan dengan kekuasaan pihak kreditur sendiri (parate eksekusi), eksekusi grosse akta yang prosesnya tidak melalui tahapan pengajuan gugatan, dan bahkan penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak pun termasuk ke dalam ruang lingkup eksekusi.27

Eksekusi dapat dijalankan oleh Ketua Pengadilan Negeri apabila terlebih dahulu ada permohonan dari pihak yang menang dalam perkara kepada Ketua Pengadilan Negeri agar putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Sebelum menjalankan eksekusi

24

Ibid

25

R. Subekti, Hukum Acara Perdata, (Bandung: PT. Bina Cipta, 1989), hal. 128

26 Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori

dan Praktek, (Bandung: PT. Mandar Maju,1997), hal. 10

27 D.Y. Witanto, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek

(14)

putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, maka Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) kepada pihak yang kalah dalam perkara agar dalam waktu 8 (delapan) hari sesudah Ketua Pengadilan Negeri melakukan teguran (aanmaning) maka pihak yang kalah dalam perkara harus mematuhi amar putusan pengadilan dan apabila telah lewat 8 (delapan) hari ternyata pihak yang kalah dalam perkara tidak mau melaksanakan putusan pengadilan tersebut, maka Ketua Pengadilan Negeri dapat memerintah Panitera/Jurusita Pengadilan Negeri untuk melaksanakan sita eksekusi atas objek tanah terperkara dan kemudian dapat meminta bantuan alat-alat negara/kepolisian untuk membantu pengamanan dalam hal pengosongan yang dilakukan atas objek tanah terperkara.28 Jika diktum putusan menghendaki adanya pelaksanaan putusan dalam bentuk pembayaran sejumlah uang, maka objek sengketa akan dilelang secara umum dengan bantuan kantor lelang negara dan hasil penjualan lelang tersebut akan diserahkan kepada pemohon eksekusi sebesar nilai yang disebutkan dalam putusan.29

Pada dasarnya, jika kreditur merasa dengan menempuh cara gugatan melalui pengadilan memerlukan waktu dan biaya yang banyak, maka cara paling cepat dalam menyelesaikan kredit macet yakni dengan parate eksekusi atau mengeksekusi sendiri (melelang) jaminan tanpa campur tangan pengadilan.30 Menurut Rachmadi Usman,

parate eksekusi adalah “pelaksanaan eksekusi tanpa melalui bantuan pengadilan”.31

Parate eksekusi menurut Subekti adalah “menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut”.32

Pasal 15 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menentukan bahwa:

28 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, (Jakarta: PT.

Gramedia, 1991), hal. 10

29 D.Y. Witanto, Op.Cit, hal. 225 30

Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23 Mei 20017, Pukul 11.00 WIB

31

Rachmadi Usman, Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah, (Jakarta: Djambatan, 1999), hal. 130

32

Subekti, R., Pelaksanaan Perikatan Eksekusi Riil dan Uang Paksa dalam Penemuan

Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, (Jakarta: Proyek Pengembangan Teknis Yustisial MARI,

(15)

“Apabila debitor cidera janji, penerima fidusia mempunyai hak untuk menjual benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri”.

Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah menyebutkan:

“Apabila debitor cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual obyek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut”.

Selain eksekusi dengan bantuan pengadilan atau berdasarkan titel eksekutorial dan eksekusi langsung (parate eksekusi), ada cara eksekusi lain yang dapat ditempuh oleh kreditur untuk mempercepat pelunasan utang debitur yang dianggap telah dikategorikan wanprestasi yaitu dengan eksekusi penjualan di bawah tangan. Eksekusi obyek jaminan dengan penjualan di bawah tangan tidak hanya berlaku untuk hak tanggungan dan fidusia saja, berlaku juga untuk jaminan gadai dan hipotik. Asalkan ada kesepakatan antara pemberi jaminan dan pemegang jaminan, maka dapat dilaksanakan penjualan di bawah tangan.33

Penjualan di bawah tangan dimaksudkan bahwa penjualan tersebut tanpa melibatkan pejabat umum seperti di hadapan Notaris atau dalam proses penjualan lelang, sehingga yang terlibat dalam proses penjualan objek jaminan tersebut hanyalah pihak debitur dan kreditur dengan pihak ketiga sebagai pembeli. Para pihak boleh menuangkan proses penjualan objek jaminan tersebut ke dalam sebuah akta, namun yang menandatangani akta tersebut hanyalah para pihak yang terkait saja tanpa melibatkan pejabat umum yang berwenang untuk membuat akta-akta otentik.34 C. Analisis Hukum Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru No.

22/Pdt.G/2016/Pn.Pbr Berkaitan Dengan Cessie Dan Akibat Hukumnya Terhadap Jaminan Utang Debitur

1. Kasus Posisi

33

Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23 Mei 2017, Pukul 11.00 WIB

(16)

Kasus dalam putusan ini bermula dari Penggugat bernama Nelmawati bertindak sebagai pihak ketiga dalam perjanjian kredit antara debitur bernama Ema Damayanti dan kreditur PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru. Nelmawati membeli piutang PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru atas Ema Damayanti yang sudah masuk dalam kategori kredit bermasalah atau kredit macet. Sehingga terjadilah pengalihan piutang dari PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru kepada Nelmawati atas utang Ema Damayanti.

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru bertindak sebagai cedent

dengan menjual piutang dan mengalihkan hak atas tagihan (cessie) kepada Nelmawati selaku cessionaris dengan dituangkan dalam 2 (dua) Akta Notaris berjudul Perjanjian Jual Beli Piutang dan Pengalihan Hak Atas Tagihan (Cessie). Dengan ditandatanganinya 2 (dua) Akta Notaris tersebut, maka beralihlah seluruh hak dan kewajiban PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru selaku kreditur lama berdasarkan perjanjian kredit yang ada kepada Nelmawati (cessionaris) yang menjadi kreditur baru, sehingga beralih pula Setifikat Hak Milik Nomor: 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 dan Surat Ukur Nomor: 5688/Labuh Baru Barat/2009 tanggal 17 Desember 2009, dimana Sertifikat Hak Milik dan Surat Ukur tersebut merupakan surat keterangan atas sebidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan permanen seluas 153 M2 (seratus lima puluh tiga meter persegi) yang berada di Kelurahan Labuh Baru Barat Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru yang dijadikan jaminan oleh Ema Damayanti untuk memperoleh Kredit Pemberian Rumah (KPR) dari PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru

PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru (cedent) menjual piutang dan mengalihkan hak atas tagihan (cessie) kepada Nelmawati (cessionaris) setelah PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru menyita tanah yang diatasnya berdiri bangunan permanen seluas 153 M2 (seratus lima puluh tiga meter persegi) yang berada di Kelurahan Labuh Baru Barat Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru tersebut, akibat terjadinya kredit macet antara debitur dengan PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru. Sebelum melakukan penyitaan, PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru telah mengeluarkan Surat Peringatan I

(17)

(SP I), Surat Peringatan II (SP II) dan Surat Peringatan III (SP III) terhadap diri debitur, namun debitur tidak menanggapinya.

Setelah piutang beralih, Nelmawati (cessionaris) kemudian mengirimkan Surat Peringatan I (SP I), Surat Peringatan II (SP II) dan Surat Peringatan III (SP III) yang isinya agar Ema Damayanti melakukan pembayaran pelunasan atas cessie yang telah dilakukannya kepada PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru, namun tetap tidak ada jawaban dari Ema Damayanti (cessus) dan dapat dipastikan tidak lagi diketahui keberadaannya. Selanjutnya Nelmawati mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Pekanbaru untuk menggugat cessus-nya yaitu Ema Damayanti dengan maksud agar Pengadilan Negeri Pekanbaru menyatakan sah jual beli piutang dan pengalihan hak atas tagihan (cessie) antara Penggugat dengan pihak PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru, menyatakan sebidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan permanen seluas 153 M2 yang berada di Kelurahan Labuh Baru Barat Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru yang merupakan jaminan kredit Tergugat (Ema Damayanti) adalah sah hak milik Penggugat dan memberikan izin kepada Penggugat untuk dapat membaliknamakan Setifikat Hak Milik Nomor: 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 dan Surat Ukur Nomor: 5688/Labuh Baru Barat/2009 tanggal 17 Desember 2009 atas nama Tergugat ke atas nama Penggugat pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru.

2. Pertimbangan dan Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru No. 22/Pdt.G/2016/Pn.Pbr

Berdasarkan pertimbangan atas bukti yang diajukan oleh Penggugat yaitu Akta Perjanjian Jual Beli Piutang dan Akta Pengalihan Hak Atas Tagihan (Cessie), telah ternyata bahwa PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. melakukan jual beli piutang dan mengalihkan hak tagih atas piutang dengan debitur atas nama Tergugat (Ema Damayanti) kepada Penggugat, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa benar antara Penggugat dengan PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. telah terjadi jual beli piutang dan pengalihan hak atas tagihan (cessie) terhadap utang Tergugat, sehingga dengan demikian, maka petitum surat gugatan Penggugat yang meminta Majelis Hakim untuk menyatakan sah jual beli piutang dan pengalihan hak atas

(18)

tagihan (cessie) antara Penggugat dengan pihak PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru beralasan hukum untuk dikabulkan.

Pertimbangan hukum selanjutnya adalah bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia menganut larangan milik beding, yang berarti setiap janji yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum (vide Pasal 1154 KUHperdata), sehingga apabila debitur cidera janji maka yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah menjual barang jaminan dimuka umum dengan syarat-syarat yang lazim berlaku, dengan maksud untuk mengambil pelunasan sejumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut (vide Pasal 1155 ayat (1) jo. Pasal 1156 KUHPerdata). Dengan demikian maka petitum gugatan Penggugat tentang tuntutan Penggugat agar Majelis Hakim menyatakan sebidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan permanen seluas 153 M2 (seratus lima puluh tiga meter persegi) yang berada di Kelurahan Labuh Baru Barat, Kecamatan Payung Sekaki, Kota Pekanbaru sebagaimana dimaksud dalam Sertifikat Hak Milik Nomor 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 atas nama Tergugat (Ema Damayanti) adalah sah hak milik Penggugat serta petitum gugatan Penggugat tentang tuntutan Penggugat agar Majelis Hakim memberikan izin kepada Penggugat untuk membaliknamakan Sertifikat Hak Milik Nomor 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 tersebut ke atas nama Penggugat, menurut pendapat Majelis Hakim adalah bertentangan dengan hukum yang berlaku dan harus ditolak.

Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Hakim kemudian memberikan putusan yang menyatakan sah jual beli piutang dan pengalihan hak atas tagihan (Cessie) antara PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. Cabang Pekanbaru dengan Penggugat atas utang Tergugat kepada PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk. dan menolak gugatan Penggugat yang meminta Majelis Hakim untuk menyatakan sebidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan permanen seluas 153 M2 yang berada di Kelurahan Labuh Baru Barat Kecamatan Payung Sekaki Kota Pekanbaru yang merupakan jaminan kredit Tergugat (Ema Damayanti) adalah sah hak milik Penggugat dan menolak gugatan Penggugat yang meminta Majelis Hakim

(19)

memberikan izin kepada Penggugat untuk dapat membaliknamakan Setifikat Hak Milik Nomor: 4297/Labuh Baru Barat tanggal 17 Desember 2009 dan Surat Ukur Nomor: 5688/Labuh Baru Barat/2009 tanggal 17 Desember 2009 atas nama Tergugat ke atas nama Penggugat pada Kantor Badan Pertanahan Nasional Kota Pekanbaru. 3. Analisis Kasus dari Putusan Pengadilan Negeri Pekanbaru No.

22/Pdt.G/2016/PN.Pbr Berkaitan dengan Cessie dan Akibat Hukumnya Terhadap Jaminan Utang Debitur

Pelunasan utang menggunakan benda jaminan debitur tidak dilakukan dengan memiliki benda jaminan tersebut melainkan dengan cara menjual benda jaminan melalui pelelangan umum, dan hasil penjualan benda jaminan melalui pelelangan umum tersebut yang kemudian digunakan untuk melunasi utang-utang debitur. Dengan demikian adanya janji untuk menjadikan benda jaminan debitur akan menjadi benda milik kreditur bila debitur cidera janji (wanprestasi) adalah batal demi hukum.Adanya ketentuan seperti ini untuk melindungi debitur, karena debitur akan sangat dirugikan jika barang jaminan miliknya menjadi milik kreditur, karena umumnya nilai atau harga benda jaminan debitur lebih tinggi atau lebih besar dari nilai atau harga utangnya kepada kreditur.35

Terkait kasus antara Nelmawati (Penggugat) vs Ema Damayanti (Tergugat), Dahlia Panjaitan menjelaskan bahwa pada dasarnya gugatan tersebut karena ketidaktahuan Nelmawati selaku kreditur baru dengan adanya ketentuan larangan

milik beding atau larangan untuk memiliki benda jaminan debitur (Ema Damayanti) secara langsung tanpa melalui pelelangan umum. Ia menganggap bahwa ketika debitur tidak mampu lagi melunasi utangnya, terlebih dalam kasus ini debitur melarikan diri dan tidak lagi diketahui dimana keberadaannya, maka otomatis barang jaminan debitur bisa menjadi miliknya, sehingga ia mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri.36

35

Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23 Mei 2017, Pukul 11.00 WIB

36 Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23

(20)

Majelis hakim kemudian memutuskan bahwa pembelian piutang PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru oleh Penggugat adalah sah, karena dibuat dengan akta otentik dihadapan Notaris dengan 2 (dua) akta yaitu Perjanjian Jual Beli Piutang dan Pengalihan Hak Atas Tagihan (Cessie) dan tidak melanggar ketentuan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Sedangkan terhadap gugatan Penggugat agar majelis hakim menyatakan sah kepemilikan Penggugat atas benda jaminan debitur dan meminta agar majelis hakim memberikan izin kepada Penggugat agar Penggugat dapat membaliknamakan sertifikat hak atas tanah yang diatasnya berdiri bagunan tersebut di atas tidak lah dapat dikabulkan, karena dalam pertimbangan hukum Majelis Hakim jelas disebutkan bahwa sistem hukum yang berlaku di Indonesia menganut larangan milik beding, yang berarti setiap janji yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum, sehingga apabila debitur cidera janji atau wanprestasi maka yang dapat dilakukan oleh kreditur adalah menjual barang jaminan dimuka umum untuk mengambil pelunasan sejumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut. Jadi, obyek jaminan debitur tidak bisa dimiliki secara langsung, melainkan harus dilelang di hadapan umum.

Dalam kasus ini, benda jaminan debitur berupa sebidang tanah yang diatasnya berdiri bangunan maka termasuk dalam lembaga jaminan Hak Tanggungan. Salah satu fasilitas yang diberikan oleh hak tanggungan adalah kemudahan dalam eksekusi, yaitu dapat dilakukan sendiri oleh pemegang hak dengan melakukan penjualan lelang secara umum tanpa meminta pesetujuan eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang lazim disebut parate eksekusi karena Sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.37

Selain itu, karena jaminan tersebut sudah tidak dikuasai oleh debitur atau dengan kata lain sudah dikosongkan dan tidak adanya indikasi perlawanan dari

37 M. Khoidin, Hukum Jaminan (Hak-hak Jaminan, Hak Tanggungan, dan Eksekusi Hak

(21)

debitur selaku pemilik barang karena debitur pun tidak lagi diketahui dimana keberadaannya, maka kreditur berdasarkan Pasal 6 UUHT tidak perlu memohon kepada Pengadilan Negeri untuk meminta fiat eksekusi, kreditur dapat melaksanakan eksekusi langsung terhadap benda jaminan tersebut (parate eksekusi). Kreditur dapat langsung mengajukan permohonan secara tertulis perihal eksekusi kepada Kepala Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL).38 Setelah semua syarat permohonan lelang dipenuhi, kemudian KPKNL melakukan pelelangan umum atas obyek jaminan dimana hasilnya akan digunakan untuk melunasi utang debitur dan sisa dari pelunasan utang debitur setelah dikurangi dengan biaya lelang akan dikembalikan pada debitur.39

Selain eksekusi dengan melelang obyek jaminan, ada eksekusi lain yang dapat dilakukan untuk pelunasan utang debitur yaitu melalui eksekusi penjualan di bawah tangan. Penjualan di bawah tangan biasanya dilakukan untuk mendapatkan harga yang tinggi, sehingga objek jaminan dijual tanpa bantuan juru lelang. Namun kasus dalam putusan ini, debitur tidak lagi diketahui keberadaannya, sedangkan proses penjualan di bawah tangan harus ada kesepakatan antara kedua belah pihak yaitu debitur dan kreditur sehingga dalam kasus ini sudah pasti penjualan di bawah tangan tidak dapat dilakukan.40

Jadi, cara yang seharusnya dilakukan oleh Nelmawati selaku kreditur baru (cessionaris) yang telah melunasi utang cessus (Ema Damayanti) kepada cedent (PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru) untuk mendapatkan kembali haknya atas pelunasan utang cessus adalah menjual obyek jaminan cessus melalui pelelangan umum yaitu dengan mengajukan permohonan eksekusi obyek jaminan kepada KPKNL, dengan terlebih dahulu mengajukan fiat kepada Ketua Pengadilan Negeri, bukan dengan cara mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri untuk

38

Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23 Mei 2017, Pukul 11.00 WIB

39 Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23

Mei 2017, Pukul 11.00 WIB

40 Wawancara dengan Ibu Dahlia Panjaitan, Hakim Pengadilan Negeri Pekanbaru, tanggal 23

(22)

meminta izin membaliknamakan obyek jaminan cessus untuk menjadi benda hak milik cessionaris, karena hal ini bertentangan dengan hukum.

IV. Kesimpulan dan Saran A. Kesimpulan

1. Pengalihan piutang secara cessie tidak mengakibatkan berakhirnya perjanjian kredit yang dibuat antara kreditur dengan debitur, hanya mengakibatkan beralihnya hak tagih atau piutang atas debitur yang bersangkutan (cedent) kepada pihak ketiga yang kemudian menggantikan kedudukan kreditur lama (cessus) sebagai kreditur yang baru (cessionaris), termasuk beralihnya jaminan debitur yang digunakan untuk menjamin pelunasan utangnya. Dengan beralihnya jaminan debitur, kreditur baru wajib mendaftarkan peralihan jaminan debitur pada lembaga jaminan yang mengikat jaminan tersebut.

2. Upaya penyelesaian kredit macet yang dapat dilakukan oleh kreditur baru (cessionaris) terkait dengan adanya larangan milik beding (beding van niet zuivering) adalah dengan melakukan eksekusi terhadap obyek jaminan debitur, baik eksekusi berdasarkan titel eksekutorial yaitu eksekusi dengan bantuan pengadilan, parate eksekusi yaitu eksekusi langsung dimana kreditur mempunyai hak untuk menjual obyek jaminan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum, maupun eksekusi obyek jaminan dengan penjualan di bawah tangan yaitu penjualan obyek jaminan berdasarkan kesepakatan antara debitur dan kreditur kepada pihak ketiga untuk memperoleh harga tertinggi yang akan menguntungkan semua pihak.

3. Hakim dalam pertimbangan hukumnya menyatakan sah pembelian piutang PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk Pekanbaru oleh Penggugat karena dibuat dengan akta otentik dihadapan Notaris dan tidak melanggar ketentuan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUHPerdata. Namun, terhadap gugatan Penggugat agar Majelis Hakim menyatakan sah kepemilikan Penggugat atas benda jaminan debitur berupa sertifikat hak atas tanah yang diatasnya berdiri bagunan dan meminta diberikan izin untuk membaliknamakan jaminan tersebut ditolak oleh Majelis Hakim, dengan pertimbangan bahwa sistem hukum yang berlaku di

(23)

Indonesia menganut larangan milik beding, yang berarti setiap janji yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk memiliki benda yang menjadi obyek jaminan apabila debitur cidera janji adalah batal demi hukum (Pasal 1154 KUHPerdata), sehingga apabila debitur cidera janji maka yang dapat dilakukan oleh kreditur baru tersebut adalah menjual barang jaminan dimuka umum dengan syarat-syarat yang lazim berlaku untuk mengambil pelunasan sejumlah piutangnya beserta bunga dan biaya dari pendapatan penjualan tersebut (Pasal 1155 ayat (1) jo. Pasal 1156 KUHPerdata).

B. Saran

1. Bank hendaknya menjelaskan kepada kreditur baru (cessionaris) sebelum terjadinya peralihan piutang mengenai cessie dan akibat hukum apa yang terjadi terhadap jaminan utang debitur bila cessionaris membeli piutang bank tersebut agar cessionaris memahami batasannya terhadap benda jaminan debitur yang beralih kepadanya.

2. Diharapkan kepada kreditur baru tidak bertindak semena-mena terhadap benda jaminan debitur yang beralih kepadanya, seperti ingin memiliki dan menguasai jaminan tersebut, karena hal itu akan membuat posisi debitur menjadi sangat lemah terutama bila harga jaminan lebih tinggi dari jumlah utang. Ada upaya-upaya hukum yang dapat ditempuh oleh cessionaris untuk pelunasan utang bila debitur tidak memenuhi kewajibannya.

3. Bagi pemerintah disarankan untuk memberikan ketentuan yang mendetail tentang pengalihan piutang secara cessie dengan cara membuat suatu aturan tentang cessie, baik dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan maupun dalam bentuk Undang-Undang guna memberikan kejelasan mengenai pelaksanaan cessie dan hal-hal apa saja yang dibolehkan dan tidak dibolehkan dalam cessie serta harus mengatur pula berapa persen keuntungan dari harga piutang yang dapat ditagih kreditur baru (ceesionaris) terhadap debitur (cessus) sehingga peraturan tersebut akan dapat memberikan perlindungan hukum baik bagi cessus, cedent, dan cessionaris.

(24)

V. DAFTAR PUSTAKA A. Buku

Abdurrahman, Muslan, 2009, Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press: Malang

Budiono, Herlien, 2010, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya: Bandung

Harahap, M. Yahya 1991, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, PT. Gramedia: Jakarta

Hermansyah, 2006, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana: Jakarta

Irmayanto, Juli, dkk, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan, Universitas Trisakti: Jakarta

Khoidin, M., 2012, Hukum Jaminan (Hak-hak Jaminan, Hak Tanggungan, dan Eksekusi Hak Tanggungan), Laksbang Yustitia: Surabaya

ND, Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris, Pustaka Pelajar: Yogyakarta

Satrio, J., 1991, Cessie, Subrogatie, Novatie, Kompensatie & Percampuran Hutang, Alumni: Bandung

Setiawan, Rachmad dan J. Satrio, 2001, Penjelasan Hukum tentang Cessie, PT Gramedia: Jakarta

Subekti, R., 1989, Hukum Acara Perdata, PT. Bina Cipta: Bandung

Soeharnoko dan Endah Hartati, 2008, Doktrin Subrogasi, Novasi dan Cessie, Kencana: Jakarta

Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, 1986, UI Press: Jakarta Subekti, R., 1989, Hukum Acara Perdata, PT. Bina Cipta: Bandung

_________, 1990, Pelaksanaan Perikatan Eksekusi Riil dan Uang Paksa dalam Penemuan Hukum dan Pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial MARI: Jakarta

Sutantio, Retnowulan, dan Iskandar Oeripkartawinata, 1997, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, PT. Mandar Maju: Bandung

Usman, Rachmadi, 1999, Pasal-Pasal tentang Hak Tanggungan atas Tanah, Djambatan: Jakarta

Witanto, D.Y., 2015, Hukum Jaminan Fidusia dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen (Aspek Perikatan, Pendaftaran, dan Eksekusi), CV Mandar Maju: Bandung

B. Tesis

Puteri Natalia Sari, 2010, Pengalihan Piutang secara Cessie dan Akibatnya Terhadap Jaminan Hak Tanggungan dan Jaminan Fidusia, TesisProgram Magister Kenotariatan, UI: Jakarta

Referensi

Dokumen terkait

The realization that there is a mismatch between the vocabulary level presented in the Korean National Curriculum, and the required vocabulary size for EFL (English as

Menyadari arti pentingnya kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan, maka PT Wahana Wirawan Palembang Cabang Demang Lebar Daun memberikan berbagai fasilitas pelayanan

Kewenangan yang dipunyai KPPU ini tidak sebatas pada melakukan monitoring, penyelidikan dan/atau pemeriksaan terhadap kasus dugaan praktik monopoli dan/atau persaingan

negara – tidak hanya dilakukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara, melainkan juga harus dilakukan oleh menteri pimpinan/lembaga selaku pengguna

Analisis Penilaian Kredit dan Laporan Keuangan Calon Debitur Terhadap Keputusan Pemberian Kredit Pada PT Mandala Finance Tbk Cabang Bangka (Studi Kasus Pada Usaha

Konsultan untuk Parliament Budget Office (PBO) masih belum menandatangani kontrak, walaupun NOL-nya sudah terbit. Penandatanganan menunggu proses revisi DIPA 2010. NOL

Oleh karena itu, untuk mencapai visi tersebut, maka perusahaan mempunyai misi “melaksanakan seluruh kegiatan perusahaan berlandaskan pada standar kejujuran dan

JEND.SUDIRMAN, UJUNG BATU (ROAD AREA)_HHP Samsung Exclusive Partner RIAU SIAK SEP - RIAU PONSEL - KM 5 PERAWANG SIMPANG SMA (ROAD AREA)_HHP Samsung Exclusive Partner SULAWESI