• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF. Bismillahirrahmanirrahim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGANTAR DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF. Bismillahirrahmanirrahim"

Copied!
127
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

PENGANTAR

DIREKTUR PEMBERDAYAAN WAKAF Bismillahirrahmanirrahim

Terlebih dahulu kami panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karuniaNya kita dapat melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan, memperdalam dan memperluas pelayanan kehidupan beragama.

Sejak terjadinya krisis multi-dimensi dalam kehidupan bangsa kita yang dipicu oleh krisis ekonomi, peran wakaf menjadi semakin penting sebagai salah satu instrumen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selain itu, kesadaran berwakaf menjadi perekat kohesi sosial bangsa kita.

Pengelolaan wakaf tidak statis, melainkan selalu berkembang sejalan dengan dinamika dan perubahan dalam masyarakat. Sebagai lebaga yang memiliki tanggungjawab dalam bidang keagamaan, Depertemen Agama berusaha terus memfokuskan perhatian pada upaya pemberdayaan harta benda wakaf secara produktif.

Untuk itu, kehadiran buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai” ini diharapkan dapat merubah paradigma lama menjadi paradigma baru wakaf untuk meningkatkan peran sosial wakaf di tanah air kita.

Semoga Allah SWT meridhai niat baik dan upaya yang kita lakukan bersama. Amin

Wassalam,

Jakarta, Juli 2006

Direktur Pemberdayaan Wakaf

Dr. Sumuran Harahap, MH, MMNIP.

150

(3)

SAMBUTAN

DIREKTUR JENDERAL BIMAS ISLAM Bismillahirrahmanirrahim

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah swt, karena atas rahmat dan inayah-Nya kita dapat berupaya meningkatkan pelayanan kehidupan beragama dalam bidang perwakafan.

Salah satu upaya strategis yang dilakukan Departemen Agama adalah mengembangkan kelembagaan wakaf dan memberdayakan potensinya untuk meningkatkan martabat masyarakat dan bangsa. Kami terus berupaya agar pemberdayaan wakaf secara produktif dijadikan sebagai pemicu semangat dalam membangun masa depan umat yang saat ini sedang terpuruk.

Oleh karena itu, sebagai langkah ke depan perlu dikembangkan suatu sistem pengelolaan dan pengembangan wakaf yang sesuai dengan tuntutan dan perkembangan yang terjadi serta garis kebijakan Pemerintah. Pengadaan referensi wakaf yang disusun oleh Direktorat Pemberdayaan Wakaf tak lain merupakan bagian dari upaya mendorong wakaf memiliki peran penting dalam kehidupan umat dan tegaknya fondasi kesejahteraan yang nyata.

Untuk itu, kami menyambut baik penerbitan buku “Pedoman Pengelolaan Wakaf Tunai” ini karena memuat substansi yang perlu disosialisasikan kepada masyarakat dan lembaga-lembaga Islam yang mengelola wakaf atau memiliki kepentingan terhadap wakaf.

Dengan kehadiran buku ini diharapkan perhatian terhadap pemberdayaan wakaf lebih meningkat dan terarah sejalan dengan harapan kita bersama.

Semoga Allah swt memberkati niat baik dan upaya yang kita lakukan. Amin.

Wassalam,

Jakarta, Juli 2006

Direktur Jenderal,

Prof. Dr. Nasaruddin Umar

NIP. 150

(4)

Daftar Isi

Pengantar……..……….i Sambutan………..ii Daftar Isi………..iii

Bagian Pertama

PENDAHULUAN………..1

A. Pengertian Wakaf Tunai……….1

B. Sejarah Wakaf Tunai……….……..4

C. Dasar Hukum Wakaf Tunai………..14

D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)………18

Bagian Kedua

WAKAF TUNAI DAN PEMBANGUNAN EKONOMI………..…….31

A. Membuka Kebuntuan Wakaf………....31

B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi………...39

C. Wakaf Tunai sebagai Dana Publik………..48

D. Wakaf Tunai sebagai Voluntary Fund……….………..….63

Bagian Ketiga

MANAJEMEN PENGELOLAAN WAKAF TUNAI…….71

A. Sistim Mobilisasi Dana Wakaf………...71

B. Pengelolaan Dana dan Pembiayaan……….…76

C. Manajemen Investasi Dana………..86

(5)

Bagian Keempat

WAKAF TUNAI DI NEGARA-NEGARA MUSLIM….101

A. Arab Saudi………..107 B. Mesir………..109 C. Turki………..111 D. Bangladesh………..112 E. Yordania..……….114 Daftar Pustaka………..120 Lampiran……….125 iv

(6)

Bagian Pertama

PENDAHULUAN A. Pengertian Wakaf Tunai

Sejak awal, perbincangan tentang wakaf kerap diarahkan kepada wakaf benda tidak bergerak seperti tanah, bangunan, pohon untuk diambil buahnya dan sumur untuk diambil airnya, sedang wakaf benda bergerak baru mengemuka belakangan. Di antara wakaf benda bergerak yang ramai dibincangkan belakangan adalah wakaf yang dikenal dengan istilah cash waqf. Cash waqf diterjemahkan dengan wakaf tunai, namun kalau menilik obyek wakafnya, yaitu uang, lebih tepat kiranya kalau cash waqf diterjemahkan dengan wakaf uang. Wakaf tunai adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang tunai. Hukum wakaf tunai telah menjadi perhatian para fuqaha’ (juris Islam). Beberapa sumber menyebutkan bahwa wakaf uang telah dipraktikkan oleh masyarakat yang menganut mazhab Hanafi.

Terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum wakaf tunai. Imam Al-Bukhari (wafat tahun 2526 H) mengungkapkan bahwa Iman Az-Zuhri (wafat tahun 124 H) berpendapat dinar dan dirham (keduanya mata uang yang berlaku di Timur Tengah) boleh diwakafkan. Caranya ialah dengan menjadikan dinar dan dirham itu sebagai modal usaha (dagang), kemudian menyalurkan keuntungannya sebagai wakaf1. Wahbah Az-Zuhaili juga mengungkapkan

1 Abu As-Su’ud Muhammad, Risalatu fi Jawazi Waqfi An-Nuqud (Beirut;

(7)

bahwa mazhab Hanafi membolehkan wakaf tunai sebagai pengecualian, atas dasar Istihsan bi al-‘Urfi, karena sudah banyak dilakukan masyarakat. Mazhab Hanafi memang berpendapat bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan

‘urf (adat kebiasaan) mempunyai kekuatan yang sama

dengan hukum yang ditetapkan berdasarkan nash (teks)2.

Dasar argumentasi mazhab Hanafi adalah hadis yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, r.a:

8143

“Apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin, maka dalam pandangan Allah adalah baik, dan apa yang dipandang buruk oleh kaum muslimin maka dalam pandangan Allah pun buruk”.

Cara melakukan wakaf tunai (mewakafkan uang), menurut mazhab Hanafi, ialah dengan menjadikannya modal usaha dengan cara mudharabah3 atau mubadha’ah. Sedang keuntungannya disedekahkan kepada pihak wakaf4.

2 DR. Wahbah Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damsyik: Dar

al-Fikr, 1985, Juz VII), hal. 162.

3 Berdasarkan prinsip Mudharabah, bank Syari’ah akan berfungsi

sebagai mitra, baik dengan penabung maupun dengan pengusaha yang meminjam dana. Dengan penabung, bank akan bertindak sebagai mudharib ‘pengelola’, sedangkan penabung bertindak sebagai shahibul maal ‘penyandang dana’. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak. Sedang dengan pengusaha/peminjam dana, bank bertindak sebagai shahibul maal (penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan/deposito/giro/ maupun

(8)

Ibn Abidin mengemukakan bahwa wakaf tunai yang dikatakan merupakan kebiasaan yang berlaku di masyarakat adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah Romawi, sedangkan di negeri lain wakaf tunai bukan merupakan kebiasaan. Karena itu Ibn Abidin berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh atau tidak sah. Yang juga berpandangan bahwa wakaf tunai tidak boleh adalah mazhab Syafi’i. Menurut Al-Bakri, mazhab Syafi’i tidak membolehkan wakaf tunai, karena dirham dan dinar (baca: uang) akan lenyap ketika dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya5.

Perbedaan pendapat di atas, bahwa alasan boleh dan tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujud uang. Apakah wujud uang itu setelah digunakan atau dibayarkan, masih ada seperti semula, terpelihara, dan dapat menghasilkan keuntungan lagi pada waktu yang lama? Namun kalau melihat perkembangan sistem perekonomian yang berkembang sekarang, sangat mungkin untuk melaksanakan wakaf tunai. Misalnya uang yang diwakafkan itu dijadikan modal usaha seperti yang dikatakan oleh mazhab Hanafi. Atau diinvestasikan dalam wujud saham di perusahaan yang bonafide atau didepositokan di perbankan Syari’ah, dan keuntunganya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Wakaf tunai yang diinvestasikan dalam wujud saham dana bank sendiri berupa modal pemegang saham), sedang pengusaha/peminjam bertindak sebagai mudharib ‘pengelola’ karena melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. Lihat: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah; Dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hal.137.

4 Wahbah Az-Zuhaili, Op. Cit, Juz x, hal. 7610.

(9)

atau deposito, wujud atau lebih tepatnya nilai uang tetap terpelihara dan menghasilkan keuntungan dalam jangka waktu yang lama.

B. Sejarah Wakaf Tunai

Praktik wakaf telah dikenal sejak awal Islam. Bahkan masyarakat sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf, tapi dengan nama lain, bukan wakaf. Karena praktik sejenis wakaf telah ada di masyarakat sebelum Islam, tidak terlalu menyimpang kalau wakaf dikatakan sebagai kelanjutan dari praktik masyarakat sebelum Islam. Sedang wakaf tunai mulai di kenal pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir.

B.1. Wakaf Secara Umum

Praktik sejenis wakaf di masyarakat sebelum Islam dibuktikan dengan adanya tempat-tempat ibadah yang dibangun di atas tanah yang pekarangannya dikelola dan hasilnya untuk membiayai perawatan dan honor yang merawat tempat ibadah tersebut. Masjid al-Haram di Mekkah dan masjid al-Aqsha misalnya telah dibangun di atas tanah yang bukan hak milik siapapun, tetapi milik Allah. Kedua masjid itu dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Pertanyaannya, kenapa masyarakat sebelum Islam telah mempraktikkan sejenis wakaf? Di masyarakat sebelum Islam telah dikenal praktik sosial dan di antara praktik-praktik sosial itu adalah praktik-praktik menderma sesuatu dari seseorang demi kepentingan umum atau dari satu orang untuk semua keluarga.

(10)

Praktik sejenis wakaf juga dikenal di Mesir, Roma dan Jerman. Di Mesir, Raja Ramses kedua mendermakan tempat ibadah “Abidus” yang arealnya sangat besar. Di dalam tradisi Mesir kuno dikenal bahwa orang yang mengelola harta yang ditinggalkan mayyit (harta waris), hasilnya diberikan kepada keluarganya dan keturunannya, demikian selanjutnya yang mengelola dapat mengambil bagian dari harta tersebut namun harta pokoknya tidak boleh menjadi hak milik siapapun. Pengelolaan harta tersebut dengan cara bergilir dan bergantian dimulai dari anak yang tertua dengan syarat tidak boleh dimiliki. Praktik seperti ini sangat jelas kemiripannya dengan praktik wakaf, karena prinsipnya sama, yaitu pokok harta tetap kekal dan tidak boleh menjadi hak milik siapapun. Tapi hasil dari harta tersebut digunakan untuk kepentingan sosial.

Ada aturan di Jerman yang mengatur agar masyarakat mengalokasikan modal kepada keluarganya dalam jangka waktu tertentu untuk dikelolanya, dan harta tersebut menjadi milik keluarga bersama atau kepemilikannya secara bergantian dimulai dari keluarga laki-laki kemudian keluarga perempuan dengan syarat harta tersebut tidak boleh dijual, tidak boleh diwariskan dan tidak boleh dihibahkan. Harta tersebut hendaknya dikelola secara baik dan hasilnya diambil untuk kepentingan bersama. Sedang di Roma, juga telah dipraktikkan sejenis wakaf, bahkan dalam wujud uang.

Karena praktik sejenis wakaf yang terjadi pada masyarakat sebelum Islam memiliki tujuan yang seiring dengan Islam, yaitu terdistribusinya kekayaan secara adil dan kemudian berujung pada kesejahteraan bersama, maka

(11)

Islam mengakomodirnya dengan sebutan wakaf. Pada tahun kedua hijriah, setelah Nabi Muhammad SAW hijrah dari Mekkah ke Madinah, disyari’atkanlah wakaf. Di kalangan fuqaha’ (juris Islam) terdapat dua pendapat siapa yang mempraktikkan Syari’at wakaf. Pertama, sebagian ulama mengatakan bahwa Nabi Muhammad sendiri yang mempraktikkan wakaf pertama kali, yaitu ketika Nabi mewakafkan tanahnya untuk dibangun masjid di atasnya. Argumentasi pendapat pertama ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia berkata:

Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad berkata : “Kami bertanya tentang awal mula wakaf dalam Islam? Menurut orang-orang Muhajirin adalah wakafnya Umar, sedang menurut orang Anshar adalah wakafnya Nabi Muhammad SAW.” (Asy-Syaukani: 129).

Nabi Muhammad SAW pada tahun ketiga hijriah juga mewakafkan tujuh kebun Kurma di Madinah, di antaranya ialah kebun A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebun lainnya.

Kedua, ada juga sebagian ulama yang mengatakan bahwa yang pertama kali mempraktikkan Syari’at wakaf adalah Umar bin Khattab. Argumentasi ini didasarkan kepada hadis yang diriwayatkan oleh Ibn Umar ra., ia berkata:

(12)

: : . , . ) (

Dari Ibnu Umar ra. berkata : “Bahwa sahabat Umar ra.

meperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra. menghadap Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk. Umar berkata: “Hai Rasulullah SAW, saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sadekahkan (hasilnya). “Kemudian Umar menyedekahkan (tanahnya untuk dikelola), tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik (sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk harta” (HR. Muslim).

Setelah Umar bin Khattab mempraktikkan wakaf, kemudian menyusul sahabat-sahabat yang lain. Di antaranya; Abu Thalhah mewakafkan kebun kesayangannya, kebun “Bairaha”, Abu Bakar mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah, Usman

(13)

mewakafkan hartanya di Khaibar dan sahabat- shabat yang lain.

Kita tidak dapat menverifikasi kedua pendapat di atas, karena argumentasi yang dibangun keduanya hanya didasarkan kepada hadis, namun tidak disebutkan kapan Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf. Dan juga tidak disebutkan kapan kedua hadis yang dijadikan dasar argumen kedua pendapat itu disabdakan oleh Nabi Muhammad. Dengan disebutkannya tahun, baik ketika Nabi Muhammad SAW dan Umar mempraktikkan Syari’at wakaf maupun tahun disabdakannya kedua hadis tersebut, maka dapat diketahui siapa yang pertama kali mempraktikan Syari’at wakaf.

Pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah praktik wakaf semakin berkembang. Banyak orang yang ingin mewakafkan hartanya. Wakaf tidak hanya diperuntukkan kepada fakir-miskin, tetapi wakaf juga digunakan sebagai modal untuk membangun lembaga pendidikan, membangun perpustakaan dan membayar gaji para stafnya, gaji para guru dan beasiswa untuk para siswa dan mahasiswanya. Banyaknya masyarakat yang ingin mewakafkan hartanya menarik perhatian negara untuk mengatur dan mengelolanya. Pengaturan dan pengelolaan wakaf yang baik akan berimplikasi tumbuhnya sektor sosial dan ekonomi masyarakat. Dengan wakaf yang dikelola secara baik, maka masyarakat akan sejahtera.

Pada masa khalifah Hisyam bin Abdul Malik dari dinasti Umayyah, yang menjadi hakim di Mesir adalah Taubah bin Ghar al-Hadramiy. Al-Hadramiy memiliki perhatian yang besar terhadap pengembangan wakaf,

(14)

karena itu ia berinisiasi untuk membentuk lembaga pengelola wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya yang berada di bawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan dalam administrasi wakaf di Mesir dan di negara Islam. Pada saat yang bersamaan, hakim al-Hadramiy juga mendirikan lembaga pengelola wakaf di Basrah, Irak. Sejak itulah lembaga pengelola wakaf berada di bawah pengawasan Departemen Kehakiman, sehingga wakaf dapat dikelola secara baik dan hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan membutuhkan. Sedang pada masa dinasti Abbasiyah ada lembaga pengelola wakaf yang disebut “Shadr al-Wuquf”. Lembaga ini mengurus administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf.

Kemajuan praktik dan pengelolaan wakaf yang terjadi pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah telah mengarah kepada praktik dan pengelolaan wakaf secara modern. Hal ini bisa menjadi inspirasi pengembangan wakaf sesuai dengan perkembangan masyarakat.

B.2. Wakaf Tunai

Pada masa dinasti Ayyubiyah di Mesir perkembangan wakaf sangat menggembirakan. Pada masa ini, wakaf tidak hanya sebatas pada benda tidak bergerak, tapi juga benda bergerak semisal wakaf tunai. Tahun 1178 M/572 H, dalam rangka menyejahterakan ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni, Salahuddin Al-Ayyuby menetapkan kebijakan bahwa orang Kristen yang datang dari Iskandar untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Tidak ada

(15)

penjelasan, orang Kristen yang datang dari Iskandar itu membayar bea cukai dalam bentuk barang atau uang? Namun lazimnya bea cukai dibayar dengan menggunakan uang. Uang hasil pembayaran bea cukai itu dikumpulkan dan diwakafkan kepada para fuqaha’ (juris Islam) dan para keturunannya.

Selain memanfaatkan wakaf untuk kesejahteraan masyarakat seperti para ulama, dinasti Ayyubiyah juga memanfaatkan wakaf untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya, yaitu mazhab Sunni dan mempertahankan kekuasaannya. Dinasti Ayyubiyah juga menjadikan harta milik negara yang berada di baitul maal sebagai modal untuk diwakafkan demi pengembangan madzhab Sunni untuk menggantikan mazhab Syi’ah yang dibawa dinasti sebelumnya, dinasti Fathimiyah.

Salahuddin Al-Ayyuby juga banyak mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab Asy-Syafi’i, madrasah mazhab Maliki, dan mazhab Hanafi dengan dana melalui model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab Syafi’i dan kuburan Imam Syafi’i dengan cara mewakafkan kebun pertanian dan pulau al-Fil.

Mewakafkan harta milik negara seperti yang dilakukan Salahuddin Al-Ayyubi boleh. Penguasa sebelum Salahuddin, Nuruddin Asy-Syhaid mewakafkan harta milik negara. Nuruddin mewakafkan harta milik negara, karena ada fatwa yang dikeluarkan oleh ulama pada masa itu, Ibnu ‘Ishrun dan didukung oleh ulama lainnya, bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz).

(16)

Argumentasi kebolehannya ialah untuk memelihara dan menjaga kekayaan negara..

Dinasti Mamluk juga mengembangkan wakaf dengan pesatnya. Apa saja boleh diwakafkan dengan syarat dapat diambil manfaatnya. Tetapi yang banyak diwakafkan pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran, penginapan dan tempat belajar. Juga, pada masa dinasti Mamluk terdapat hamba sahaya (budak) yang diwakafkan untuk merawat lembag-lembaga agama. misalnya mewakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan pertama kali oleh penguasa dinasti Usmani ketika menaklukkan Mesir, Sulaiman Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat masjid.

Dinasti Mamluk memanfaatkan wakaf sebagaimana tujuan wakaf, yaitu wakaf keluarga untuk kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Wakaf yang digunakan untuk lebih menyemarakkan syi’ar Islam adalah wakaf untuk sarana di Haramain, Mekkah dan Madinah seperti kain Ka’bah (kiswatul ka’bah). Raja Shaleh bin al-Nasir misalnya membeli desa Bisus lalu diwakafkan untuk membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan mimbarnya setiap lima tahun sekali.

Dinasti Mamluk telah merasa bahwa wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonominya, karena itu mereka memberi perhatin khusus terhadap wakaf. Bahkan mereka mengeluarkan kebijakan dengan mensahkan Undang-undang Wakaf. Undang-undang

(17)

Wakaf pada dinasti Mamluk dimulai sejak Raja Al-Dzahir Bibers Al-Bandaq (1260-1277 M/658-676 H), dimana dengan Undang-undang tersebut Raja Al-Dzahir memilih hakim untuk mengurusi wakaf dari masing-masing empat mazhab Sunni. Pada masa kekuasaan Al-Dzahir, perwakafan dibagi menjadi tiga kategori: pendapatan negara dari hasil wakaf yang diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yang dianggap berjasa, wakaf yang membantu Haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat umum.

Penyebarluasan peraturan perwakafan semakin intensif dan semakin mudah dilakukan oleh kerajaan Turki Usmani. Hal ini terjadi karena kerajaan Turki Usmani mampu memperluas wilayah kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara Arab. Kekuasaan politik yang diraih dinasti Usmani ini secara otomatis mempermudah dipraktikkannya Syariat Islam, misalnya peraturan tentang perwakafan. Di antara undang-undang yang dikeluarkan pada masa dinasti Usmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 H. Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf, cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administratif dan perundang-undangan.

Tahun 1287 H juga dikeluarkan undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki Usmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi undang-undang tersebut di

(18)

negara Arab masih banyak tanah yang berstatus wakaf dan dipraktikkan hingga kini.

Wakaf terus dilaksanakan di negara-negara Islam hingga sekarang, tidak terkecuali Indonesia. Hal ini tampak dari kenyataan bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam itu telah diterima (diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Dan juga di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda bergerak atau benda tidak bergerak.

Di negara-negara Islam lainnya, wakaf mendapat perhatian yang serius, sehingga wakaf menjadi amal sosial yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat umum. Wakaf akan terus mengalami perkembangan dengan berbagai inovasi yang signifikan seiring dengan perubahan zaman, semisal bentuk wakaf tunai, wakaf HAKI (Hak Kekayaan Intelektual) dan lain-lain. Indonesia juga menaruh perhatian yang serius terhadap wakaf. Hal ini tampak dengan diajukannya Rancangan Undang-undang Wakaf (RUU) yang sudah ditandatangani presiden Megawati Sukarnoputri dan segera diundangkan dalam waktu dekat sebagai upaya pengintegrasian terhadap beberapa peraturan perundang-undangan wakaf yang terpisah.

C. Dasar Hukum Wakaf Tunai

Wakaf tunai dibolehkan berdasarkan: firman Allah, hadis Nabi dan pendapat Ulama, yaitu:

(19)

C.1. Firman Allah:

29

“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan, maka sesungguhnya Allah mengetahui”. (QS : Ali Imran [3]: 92).

164

“Perumpamaan (nafakah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir menumbuhkan seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa saja yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (Karunianya) Lagi Maha Mengetahui”. (QS : al-Baqarah :

261). .

C.2. Hadis

Dari Abu Hurairah ra., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya, kecuali tiga perkara : shadaqah jariyah, ilmu yang

(20)

bermanfaat dan anak sholeh yang mendoakan orang tuanya”. (HR. Muslim) 1381 8833 4126 8314

"Diriwayatkan dan Ibnu Umar r. a. bahwa Umar bin al Khathab r.a. memperoleh tanah (kebun) di Khaibar; lalu ia datang kepada Nabi s.a.w untuk meminta petunjuk mengenai tanah tersebut. Ia berkata, “Wahai Rasulullah Saya memperoleh tanah di Khaibãr; yang belum pernah saya peroleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut; apá perintah Engkau (kepadaku) mengenainya?” Nabi s.a.w. menjawab: “Jika mau, kamu tahan pokoknya dan kamu sedekahkan (hasil)-nya.

Ibnu Umar berkata “Maka, Umar menyedekahkan tanah tersebut, (dengan mensyaratkan) bahwa tanah itu tidak dijual, tidak di hibahkan dan tidak diwariskan. Ia menyedekahkan (hasilnya kepada fuqara, kerabat, riqab (hamba sahaya, orang tertindas), sabilillah, ibnu sabil, dan tamu. Tidak berdosa atas orang yang mengelolanya untuk memakan dari (basil) tanah itu secara ma ‘ruf (wajar) dan memberi makan (kepada orang lain) tanpa menjadikannya sebagai harta hak milik

(21)

Rawi berkata “Saya menceritakan hadis tersebut kepada Ibnu Sirin, lalu Ia berkata ‘ghaira mutaatstsilin malan' (tanpa menyimpannya sebagai harta hak milik). (H.R. al-Bukhari,

Muslim, al-Tirmidzi dan al-Nasa’i).

8316

"Diriwayatkan dari Ibnu Umar r.a.; Ia berkata Umar r.a. berkata kepada Nabi SAW, “Saya mempunyai seratus saham (tanah, kebun) di Khaibar, belum pernah saya mendapatkan harta yang lebih saya kagumi melebihi tanah itu; saya bermaksud menyedekahkannya.” Nabi s.aw. berkata “Tahanlah pokoknya dan sedekahkan buahnya pada sabilillah. “(H.R. al-Nasa’ i). C.3. Pendapat Ulama

Selain ulama mazhab Hanafi, sebagian ulama mazhab Syafi’i juga membolehkan wakaf tunai.

“Abu Tsaur meriwayatkan dari Imam Syafi’i tentang dibolehkannya wakaf dinar dan dirham (uang)”.6

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga membolehkan wakaf tunai. Fatwa komisi fatwa MUI itu dikeluarkan pada tanggal 11 Mei 2002. Argumentasi

6 Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, tahqiq Dr. Mahmud Mathraji, (Beirut:

(22)

didasarkan kepada hadis Ibn Umar (seperti yang disebutkan di atas). Pada saat itu, komisi fatwa MUI juga merumuskan definisi (baru) tentang wakaf, yaitu:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.7

D. Lingkup Sasaran Pemberi Wakaf Tunai (Wakif)

Salah satu rukun wakaf adalah wakif (orang yang mewakafkan harta). Wakif disyaratkan memiliki kecakapan hukum atau kamalul ahliyah (legal competent) dalam hal membelanjakan hartanya. Kecakapan bertindak di sini meliputi empat kriteria sebagai berikut:

a. Merdeka

Wakaf yang dilakukan oleh seorang budak (hamba sahaya) tidak sah, karena wakaf adalah pengguguran hak milik dengan cara memberikan hak milik itu kepada orang lain. Sedangkan hamba sahaya tidak mempunyai hak milik. Budak dan apa yang dimilikinya adalah kepunyaan tuannya. Namun, Abu Zahrah mengatakan bahwa para fuqaha sepakat bahwa budak boleh mewakafkan hartanya

7 Lihat keputusan komisi fatwa MUI yang dikeluarkan tanggal 11 Mei

1881, yang ditandangani K.H. Ma’ruf Amin (sebagai ketua) dan Drs. Hasanuddin, M.Ag. (sebagai sekretaris).

(23)

apabila mendapatkan izin dari tuannya, karena ia sebagai wakil darinya. Bahkan ulama Adz-Dzahiri (penganut mazhab Daud Adz-Dzahiri) menetapkan bahwa budak dapat memiliki sesuatu yang diperoleh dengan jalan waris atau tabarru’ (berbuat baik). Kalau budak dapat memiliki sesuatu, berarti ia dapat pula membelanjakan miliknya itu. Oleh karena itu, ia boleh mewakafkan, walaupun hanya sebagai tabarru’ saja.8

b. Berakal sehat

Wakaf yang dilakukan oleh orang yang tidak berakal seperti orang gila tidak sah hukumnya, sebab ia tidak berakal, tidak mumayyiz dan tidak cakap melakukan akad serta tindakann lainnya. Demikian juga tidak sah wakaf orang yang lemah mental (idiot), berubah akal karena faktor usia, sakit atau kecelakaan, hukumnya tidak sah karena akalnya tidak sempurna dan tidak cakap untuk menggugurkan hak miliknya9.

c. Dewasa (baligh)

Wakaf yang dilakukan oleh anak yang belum dewasa (baligh), hukumnya tidak sah karena ia dipandang tidak cakap melakukan akad dan tidak cakap pula untuk menggugurkan hak miliknya.10

d. Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)

8 Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Beirut: Dar al-Fikr, Juz II), hal. 44. 9 Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj (Kairo: Mushtafa Halabi, Juz II, tt), hal.

377.

(24)

Orang yang berada di bawah pengampuan dipandang tidak cakap untuk berbuat kebaikan (tabarru’), maka wakaf yang dilakukan hukumnya tidak sah. Tetapi berdasarkan

istihsan, wakaf orang yang berada di bawah pengampuan

terhadap dirinya sendiri selama hidupnya hukumnya sah. Karena tujuan dari pengampuan ialah untuk menjaga harta wakaf supaya tidak habis dibelanjakan untuk sesuatu yang tidak benar, dan untuk menjaga dirinya agar tidak menjadi beban orang lain.11

Namun ada kalanya seseorang yang mawakafkan hartanya, tetapi wakaf tersebut tidak langsung terlaksana, dan pelaksanaannya dikaitkan dengan kerelaan orang lain. Ada beberapa hukum wakaf yang berkaitan dengan masalah ini:

1. Hukum Wakaf Orang Berhutang

(a) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya, sedang hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki, hukum wakafnya sah. Tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para krediturnya12. Apabila mereka

merelakannya, maka wakaf dapat terlaksana sebab para kreditur telah menggugurkan hak mereka untuk mencegah atau membatalkan wakaf si debitur, tetapi jika mereka tidak merelakannya, wakaf tidak dapat dilaksanakan.

11 Al-Baijuri, Op. Cit., hal 44.

12 Dr. Wahbah Az-Zuhaili, Al-Fiqhu al-Islami wa ‘Adillatuhu (Damaskus:

(25)

Apabila hutang si wakif tidak sampai meliputi seluruh harta yang dimiliki, maka wakafnya sah dan dapat terlaksana atas kelebihan harta setelah dikurangi sebagian untuk melunasi barang, sebab perbuatan baiknya tidak merugikan para kreditur yang haknya tergantung pada kemampuan si wakif untuk melunasi piutang mereka.

(b) Jika ia berada di bawah pengampuan karena hutang, dan mewakafkan atau sebagian hartanya ketika sedang menderita sakit parah, maka hukum wakafnya seperti hukum wakaf orang yang di bawah pengampuan karena hutang, yakni wakafnya sah tetapi pelaksanaannya tergantung pada kerelaan para kreditur. Apabila setelah si wakif meninggal, para kreditur merelakannya, maka wakafnya dapat dilaksanakan. Tetapi jika mereka tidak merelakan, maka wakafnya tidak dapat dilaksanakan. Dan para kreditur berhak menuntut pembatalan semua wakafnya jika hutang si wakif meliputi seluruh harta yang dimiliki, atau membatalkan sebagian wakaf sejumlah yang dapat dipakai untuk melunasi hutang saja, apabila hutangnya tidak meliputi harta yang dimiliki.

Pada kedua kasus di atas terdapat persamaan, yaitu unsur ketergantungan hak para kreditur pada tanggungan dan harta si debitur secara bersama. Hanya saja dalam kasus pengampuan, terlaksananya wakaf tergantung pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur saat terjadinya wakaf. Sedangkan dalam kasus

(26)

kedua, dimana si debitur tidak di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan hartanya ketika sedang sakit parah, tidak ada ketergantungan pelaksanaannya pada ada atau tidaknya kerelaan para kreditur kecuali setelah si debitur meninggal dunia.

(c) Jika ia tidak di bawah pengampuan karena hutang dan mewakafkan seluruh atau sebagian hartanya ketika dalam keadaan sehat, maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan, baik hutangnya meliputi seluruh harta yang dimiliki atau hanya sebagian saja. Sebab dalam kasus ini, tidak ada hak si debitur, yang ada tergantung hak mereka pada tanggungannya saja. Dan kemungkinan bahwa setelah wakaf terjadi si debitur dapat melunasi semua hutangnya, sebab dia masih sehat.

2. Wakaf Orang Sakit Parah

Jika ketika mewakafkan harta tersebut dia masih cakap untuk melakukan perbuatan baik (tabarru’), maka wakafnya sah dan dapat dilaksanakan selama dia masih hidup, sebab selama itu penyakitnya tidak bisa dihukumi sebagai penyakit kematian. Tetapi jika kemudian si wakif meninggal karena penyakit yang diderita tersebut, maka hukum wakafnya sebagai berikut:

(a) Jika meninggal sebagai debitur, maka hukum wakafnya seperti yang telah dijelaskan dalam poin 1 di atas.

(b) Jika ia meninggal tidak sebagai debitur, maka hukum wakaf yang terjadi ketika ia sedang sakit seperti

(27)

hukumnya wasiat. Yakni jika yang diberi wakaf bukan ahli warisnya dan harta yang diwakafkan tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) hartanya, maka wakaf terlaksana hanya sebatas sepertiga hartanya saja, sedangkan selebihnya tergantung pada kerelaan ahli waris, sebab kelebihan dari sepertiga harta tersebut adalah menjadi hak milik mereka (ahli waris).

Jika yang diberi wakaf adalah ahli warisnya, maka pelaksanaan wakafnya tergantung pada kerelaan ahli waris lainnya yang tidak menerima wakaf, baik wakafnya kurang dari sepertiga atau lebih dari harta yang ditinggalkan. Jika yang diberi wakaf adalah sebagian ahli waris dan sebagian bukan ahli waris, maka pelaksanaan wakaf kepada ahli waris tergantung pada kerelaan ahli waris lainnya, adapun yang bukan kepada ahli waris, pelaksanaan wakafnya tidak tergantung kepada kerelaan ahli waris selama harta yang diwakafkan tidak lebih sepertiga hartanya. Maksudnya ialah jika ahli waris (bukan nazhir) merelakan, maka wakaf dapat dilaksanakan dan manfaatnya dapat dibagikan kepada semua mauquf ‘alaih sesuai dengan syarat yang ditetapkan. Tetapi jika mereka tidak merelakan, wakaf tersebut tetap dibagikan kepada para mauquf ‘alaih sesuai dengan syarat yang ditetapkan, hanya saja uang yang menjadi bagian ahli waris kemudian dibagikan kepada seluruh ahli waris (yang menjadi nazhir dan yang bukan) sesuai dengan bagian masing-masing yang sesuai dengan syara’13.

(28)

Menilik persyaratan yang dibebankan kepada wakif, tidak didapatkan bahwa harta yang dimiliki oleh seorang wakif harus mencapai takaran tertentu sehingga ia dapat mewakafkan sebagian hartanya. Karena itu dana wakaf, terutama wakaf tunai dapat dihimpun dari para wakif yang tidak terbatas dari kelompok masyarakat tertentu, melainkan dari seluruh masyarakat yang hendak menyerahkan sebagian hartanya sebagai wakaf.

Dalam rangka memberi ruang gerak bagi kegiatan perwakafan dalam era globalisasi, Bank Indonesia menyodorkan definisi wakaf tunai, yaitu sebagai penyerahan aset wakaf berupa uang tunai yang tidak dapat dipindahtangankan dan dibekukan selain untuk kepentingan umum yang tidak mengurangi ataupun menghilangkan jumlah pokoknya14.

Oleh karena itu perbankan syari’ah dapat menghimpun dana dari anggota masyarakat yang berpenghasilan tinggi yang akan memberikan wakaf tunainya dengan menerbitkan Sertifikat Wakaf Tunai. Penerbitan Sertifikat Wakaf Tunai akan membuka peluang penggalangan dana yang cukup besar karena:

 Lingkup sasaran pemberi wakaf tunai (wakif) bisa menjadi sangat luas dibandingkan dengan wakaf biasa.  Sertifikat wakaf tunai dapat dibuat dalam berbagai

macam pecahan, yang disesuaikan dengan segmen muslim yang dituju, yang kira-kira memiliki kesadaran

yang tinggi untuk beramal. Misalnya, pecahan

(29)

Rp. 10.000-, Rp. 25.000-, Rp.50.000-, Rp.100.000-, dan seterusnya.

Muslim kelas menengah senyatanya memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal. Namun, karena sarana beramal yang sesuai dengan penghasilan mereka sangat terbatas, maka akhirnya mereka hanya beramal pada sektor-sektor tradisional, seperti masjid, pembangunan mushalla dan lain sebagainya.

Dengan sasaran para wakif, wakaf tunai yang tidak terbatas seperti ini maka kita dapat membuat perkiraan perhitungan dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari masyarakat. Pertama, kita asumsikan bahwa muslim kelas menengah memiliki kesadaran yang cukup tinggi untuk beramal, selama ini mereka hanya beramal melalui sektor-sektor tradisional. Karena itu jika ada lembaga wakaf yang dikelola secara profesional, maka hal ini akan menjadi lahan baru bagi kelas menengah untuk beramal. Kedua, jumlah muslim kelas menengah diperkirakan sebesar 10 juta jiwa dengan penghasilan rata-rata per-bulan Rp. 500.000 - Rp. 10.000.000-. Ketiga, nilai sertifikat wakaf tunai dibagi ke dalam beberapa besaran nilai mulai Rp. 5000 hingga Rp.100.000 misalnya, sesuai dengan besaran distribusi penghasilan muslim kelas menengah yang ada.

Berangkat dari ketiga asumsi itu, maka paling tidak akan didapatkan sekitar 3 triliun per tahun dari wakaf tunai. Angka potensi wakaf tunai akan semakin besar apabila penghitungan penghitungan potensi wakaf tunai tersebut juga menyertakan lembaga-lembaga ekonomi selain muslim kelas menengah. Kegiatan mobilisasi wakaf tunai

(30)

dari sektor ekonomi lainnya dapat digunakan untuk mengurangi berbagai kebocoran dana akibat in-efesiensi lembaga perpajakan. Sudah menjadi rahasia umum kalau usaha-usaha pemerintah untuk meningkatkan efesiensi lembaga perpajakan yang ada berjalan sangat lamban bahkan mungkin tidak ada kemajuan. Setiap kebijakan peningkatan penerimaan dari pajak diperkirakan selalu menimbulkan berbagai distorsi yang mengganggu jalannya perekonomian dan pada akhirnya konsumen yang harus menanggung ongkosnya. Oleh karena itu, mobilisasi dana masyarakat melalui wakaf tunai diharapkan akan mampu untuk meningkatkan efesiensi kegiatan perekonomian yang ada.

Dan juga dana wakaf tunai dapat dihimpun dari Usaha Kecil dan Menengah serta Koperasi (UKMK) misalnya15.

Adi Sasono (mantan Menteri Negara Koperasi dan pemberdayaan UKMK, masa pemerintahan presiden B.J. Habibie) memperkirakan, kalau pemerintah mau memberdayakan kegiatan yang berasal dari UKMK, maka kegiatan UKMK akan mampu meningkatkan penerimaan yang dari pajak sebesar Rp. 400 triliun16. Jika tidak seluruh

tambahan pendapatan tersebut dijadikan penerimaan negara, tapi 2,5 % darinya dialihkan dalam bentuk wakaf

15 Wakif yang berupa institusi seperti ini memang belum dijelaskan

secara panjang lebar di dalam fiqih, tapi realitas menunjukkan bahwa setiap lembaga usaha dapat dipastikan memiliki alokasi budget untuk kegiatan sosial, kalau misalnya budget tersebut digunakan untuk membeli Sertifikat Wakaf Tunai, maka dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari institusi sangat besar jumlahnya.

16 Mahmudi, Mempertegas Pembangunan Ekonomi Kerakyatan, (Harian

(31)

tunai, maka akan terkumpul wakaf tunai dari sektor ini sebesar Rp. 10 triliun.

Dengan demikian jumlah wakaf tunai yang dapat dihimpun dari 10 juta eksekutif muslim Indonesia serta dari peningkatan kegiatan UKMK adalah sebesar Rp.13 triliun. Analisa di atas dapat dilanjutkan bahwa potensi dana wakaf tunai yang dapat dihimpun dari masyarakat melalui lembaga wakaf profesional sangat besar jumlahnya. Oleh karena pemberdayaan lembaga perwakafan yang merupakan salah satu instrumen finansial dalam sistem ekonomi Islam mendesak untuk direalisasikan. Dan dana wakaf yang terkumpul tersebut hendaknya dimanfaatkan secara produktif agar supaya yang merasakan manfaat dari dana wakaf tersebut seluruh masyarakat tanpa kecuali. Dan pada akhirnya akan tercipta kesejahteraan lahir dan batin.

Dana wakaf yang terkumpul tersebut merupakan dana abadi yang seyogyanya harus ada hingga akhir zaman yang akan terus memberi manfaat bagi masyarakat maupun si pemberi wakaf (wakif). Dapat dibayangkan betapa besar dana wakaf yang akan terkumpul secara kumulatif dari tahun ke tahun yang dapat dijadikan sebagai Modal Sosial

Abadi17.

Untuk merealisasikan gagasan yang baik di atas tentunya membutuhkan langkah-langkah yang sistematis dengan memaksimalkan sumber daya manusia yang ada baik dari pemerintah maupun dari masyarakat

17 Mustafa E. Nasution, Wakaf Tunai: Strategi untuk Menyejahterakan dan Melepaskan Ketergantungan Ekonomi, (Makalah Workshop Internasioanl,

“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 16..

(32)

Bagian Kedua

WAKAF TUNAI

DAN PEMBANGUNAN EKONOMI A. Membuka Kebuntuan Wakaf

Perbincangan tentang wakaf tunai mulai mengemuka belakangan. Hal ini terjadi seiring berkembangnya sistem perekonomian dan pembangunan yang memunculkan inovasi-inovasi baru. Wakaf tunai sebagai instrumen finasial

(finacial instrument), keuangan sosial dan perbankan sosial (social finance and vuluntary sector banking), menurut M.A.

Mannan (2002) memang merupakan suatu produk baru dalam sejarah perekonomian Islam. Instrumen finasial yang dikenal dalam perekonomian Islam selama ini berkisar pada murabahah1 untuk membiayai sektor perdagangan dan

mudharabah2 atau musyarakah3 untuk membiayai investasi di bidang industri dan pertanian. Bank juga tidak mau menerima tanah atau aset lain yang merupakan harta wakaf untuk dijadikan jaminan. Karena harta wakaf bukan hak milik, melainkan hak pakai terhadap manfaat harta wakaf itu.

1 Penjualan dengan menggunakan prinsip murabahah adalah jual beli

barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Penjual harus memberi tahu harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Baca: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah,…..Op. Cit, hal. 101

2 lihat footnote No.3

3 Al-Musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak atau lebih

untuk suatu usaha tertentu di mana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (atau amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan. Lihat: Syafi’I Antonio, Op.Cit, hal. 90.

(33)

Selain itu, umat Islam kerap mempersepsikan wakaf sebagai sumbangan berupa aset tetap (property of permanent) oleh seorang muslim dengan tujuan murni ketaqwaan. Konsep wakaf seperti yang dipahami umat Islam ini sangat kurang, sehingga tidak dibahas dalam berbabagi literatur ekonomi Islam. Wakaf hanya disinggung sedikit oleh M. Umer Chappra dalam buku-bukunya termasuk dalam bukunya yang mutakhir, The Future of Islamic Economics, sebuah buku yang paling komprehensif mengenai ekonomi pembangunan.

Munculnya gagasan wakaf tunai memang mengejutkan karena berlawanan dengan persepsi umat Islam yang terbentuk bertahun-tahun lamanya. Wakaf tunai bukan merupakan aset tetap yang berbentuk benda tak bergerak seperti tanah, melainkan aset lancar. Diakomodirnya wakaf tunai dalam konsep wakaf sebagai hasil interpretasi radikal yang mengubah definisi atau pengertian mengenai wakaf. Tafsiran baru ini dimungkinkan karena berkembangnya teori-teori ekonomi. Untuk mengkonsepsi wakaf tunai sebagai bagian dari konsepsi wakaf, Majelis Ulama Indonesia (MUI) memperkenalkan definisi baru tentang wakaf, yaitu; “menahan harta (baik berupa aset tetap maupun

aset lancar-pen.) yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bedanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan atau mewariskannya), untuk di salurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada”.4

4 Lihat Surat Keputusan (SK) Komisi Fatwa MUI Pusat tertanggal 11

(34)

Kalau kita melihat hadis yang dijadikan dasar argumentasi wakaf, ternyata wakaf itu berbeda dengan zakat atau sadaqah, tapi masih bisa dikategorikan ke dalam konsep infaq. Jadi, infaq mencakup wakaf. Istilah wakaf itu sendiri tidak terdapat dalam Al-Quran, tetapi lahir dari pandangan Nabi Muhammad SAW yang menjawab pertanyaan Umar bin Khattab, ketika ia ingin menginfaqkan sebidang tanahnya yang subur di Khaibar. Nabi pada waktu itu menawarkan, bagaimana jika kebun itu dijadikan “babon” saja dan dipelihara kekekalannya, sedang yang dimanfaatkan adalah hasilnya. Dari sini dapat ditarik kesimpulan, yang implisit, bahwa tanpa mengelola tanah tersebut tidak mungkin dapat memanfaatkan hasilnya. Dengan demikian, jika di atas tanah tersebut langsung dibangun masjid, maka masjid tidak bisa menghasilkan suatu produk yang dimanfaatkan. Tapi jika tanah tersebut digarap dengan dimanfaatkan sebagai kebun kurma misalnya, maka hasilnya dapat dimanfaatkan, termasuk untuk membangun masjid. Kenyataannya, hasil wakaf itu diperuntukkan untuk menyantuni fakir-miskin. Namun sekarang ini, dalam praktiknya wakaf langsung dikonsumsi.

Dari praktik pengamalan wakaf, dewasa ini tercipta suatu image atau persepsi tertentu mengenai wakaf. Pertama, wakaf itu umumnya berujud benda tidak bergerak, terutama tanah. Kedua, dalam praktik, di atas tanah wakaf itu biasanya didirikan masjid atau madrasah. Ketiga, penggunaan wakaf didasarkan kepada wasiat pemberi wakaf (wakif). Selain itu, juga terdapat penafsiran bahwa untuk menjaga kekalannya, tanah wakaf itu tidak boleh diperjual

(35)

belikan. Akibatnya di Indonesia, bank-bank tidak mau menerima tanah wakaf sebagai agunan pinjaman. Padahal jika tanah wakaf bisa digunakan, maka organisasi massa (Ormas) semacam NU, Muhammadiyah dan universitas bisa mendapatkan dana pinjaman yang diputarkan, dan menghasilkan sesuatu. Demikian pula, penggunaan tanah wakaf dari wakif yang berbeda tidak bisa digabungkan, karena seolah-olah aset wakaf telah kehilangan identitas individual wakifnya. Padahal jika beberapa harta wakaf bisa dikelola bersama, maka bisa dihimpun berbagai sektor produksi untuk suatu investasi, kalau perlu dengan menjual suatu aset wakaf untuk dijadikan modal finansial. Penjualan harta wakaf semacam ini, konon telah diperbolehkan di Libya, dengan catatan dana hasil penjualan itu digabungkan dengan harta lain yang statusnya masih merupakan harta tetap. Karena dengan penjualan itu, maka harta wakaf secara bersama-sama dapat menjadi aset produktif (keuntungan, uang) yang dapat dimanfaatkan untuk umat5.

Perkembangan ekonomi dan pembangunan yang memacu timbulnya gagasan adanya wakaf di antaranya karena berkembangnya sistem perekonomian Islam. Berkembangnya sistem perekonomian Islam tidak lepas dari “kegagalan” sistem perekonomian konvensional; sistem ekonomi kapitalis dan sistem ekonomi sosialis. Sistem ekonomi kapitalis gagal menjadikan masyarakat adil dan

5 M. Dawam Rahardjo, Pengorganisasian Lembaga Wakaf dalam Pemberdayaan Ekonomi Umat, (Makalah Workshop Internasioanl,

“Pemberdayaan Ekonomi Umat Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 7. Tidak Diterbitkan.

(36)

sejahtera. Sistem ekonomi kapitalis lebih mengutamakan keuntungan yang sebanyak-banyaknya dan membiarkan penumpukan modal di segelintir kelompok tertentu (pemilik modal) dan tidak distribusikan secara adil kepada masyarakat, terutama fakir-miskin. Sistem ekonomi kapitalis mempercayakan transaksi ekonomi ke pasar, menihilkan peran negara dalam regulasi ekonomi, sehingga yang terjadi bukannya persaingan yang sehat, melainkan menyebabkan terjadinya persaingan yang timpang. Pemilik modal besar dapat memainkan pasar, sedang pemilik modal kecil atau konsumen harus tunduk terhadap pasar yang ditentukan oleh pemilik modal besar. Juga, sistem ekonomi kapitalis rentan terhadap berbagai guncangan (untuk tidak mengatakan rentan terhadap krisis). Sebagai contoh adalah krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada tahun 1997. Keguncangan yang kerap menghantam sistem ekonomi kapitalis karena segala transaksi ekonomi dipatok dengan standar nilai uang dollar AS. Padahal nilai uang dollar AS fluktuatif tergantung kondisi sosial-politik yang melingkupinya. Ketika kondisi sosial-politik mengalami gonjing, maka berimplikasi terhadap gonjang-ganjingnya nilai dollar AS.

Sistem ekonomi sosialis, awalnya sangat menjanjikan kesetaraan dan pemerataan bagi seluruh masyarakat. Tapi ternyata kesetaraan dan pemerataan yang dijanjikan itu utopis belaka. Secara alamiah, manusia memang berbeda-beda sesuai dengan status sosial yang melekat pada dirinya, karena itu otupis untuk diciptakan kesetaraan dan pemerataan secara sama. Untuk mewujudkan kesetaraan dan pemerataan yang diinginkan, sistem ekonomi sosialis

(37)

mengandaikan adanya campur tangan negara terhadap regulasi ekonomi, ternyata campur tangan negara itu bukannya menguntungkan masyarakat banyak, melainkan menguntungkan partai yang menjadi penguasa negara. Akhirnya yang banyak menikmati keuntungan dari sistem ekonomi sosialis bukanlah masyarakat, melainkan sekelompok masyarakat yang berafiliasi dengan partai yang menjadi penguasa. Kalau Cina sekarang mengalami kemajuan ekonomi yang pesat, walau pemerintahnya menganut komunisme yang lazimnya menganut sistem ekonomi sosialis, karena Cina sekarang mulai membuka diri terhadap model ekonomi kapitalis, misalnya mentolerir transaksi ekonomi ditentukan pasar walau negara masih turut campur. Turut campurnya negara dalam meregulasi transaksi ekonomi tidak lebih untuk melindungi msyarakat, terutama fakir-miskin6.

Sedang sistem ekonomi dalam Islam tidak hanya terkait dengan masalah ekonomi abadi manusia, melainkan juga terkait dengan anjuran Ilahi sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu sistem ekonomi Islam juga mengacu pada meningkatnya output dari setiap jam kerja yang dilakukan. Telah diketahui bahwa output perkapita, disatu pihak tergantung pada sumber daya alam dan di lain pihak tergantung pada perilaku manusia. Tetapi sumber daya alam saja bukan merupakan kondisi yang cukup untuk pembangunan ekonomi, dan bukan sesuatu

6 Untuk mengetahui lebih lanjut perbandingan tentang sistem ekonomi

kapitalis, sosialis dan Islam, baca: Prof. M. Abdul Mannan, M.A., Ph.D, Teori

dan Praktik Ekonomi Islam, ( Yogyakarta: PT Dana Bhakti Prima Yasa, 1997),

(38)

yang mutlak diperlukan. Perilaku manusia memainkan peranan yang sangat penting dalam pembangunan ekonomi, sehingga tercipta masyarakat yang sejahtera. Namun pembentukan perilaku manusia di negara berkembang, termasuk Indonesia adalah suatu proses yang menyakitkan, karena memerlukan penyesuaian dengan lembaga-lembaga sosial, ekonomi, hukum dan politik. Tidak seperti agama lainnya, Islam mengakui kebutuhan metafisik maupun material dari kehidupan. Karena itu masalah penempaan perilaku manusia di suatu negara Islam tidaklah sesulit di negara-negara sekular.

Islam dapat diperlakukan sebagai suatu faktor dalam pembanguan ekonomi. Di sini para ahli ekonomi harus berperan sebagai seorang bidan, yang menolong lahirnya hasil yang sudah berujud dari ide dan kemungkinan terakhir yang dapat dikaitkan dengan faktor religius dan kultural Islam. sekarang ini negara-negara Islam dalam posisi yang lebih baik untuk melakukan usaha pembangunan yang lebih besar, karena dua sebab:

1. Banyak sumber daya yang belum diketahui di abad ke-19. Kini telah dapat dicapai oleh negara-negara Islam. Pada tahun 1920 sumber minyak di Timur Tengah ditaksir hanya sebanyak lima persen dari sumber minyak dunia. Sekarang angka itu diperkirakan sejumlah delapan puluh lima persen.

2. Nilai Islam dapat digunakan untuk menyesuaikan lembaga sosio-ekonomik dan sosio-politik yang merugikan, dan untuk membentuk prilaku manusia. Pengalaman pembangunan negara Islam sejak tahun 1950-an (kecuali beberapa negara Islam yang kaya

(39)

minyak) terutama di negara-negara yang paling tidak berkembang, sangat mengecewakan. Secara relatif dapat dikatakan bahwa negara-negara Islam yang paling tak berkembang itu lebih miskin dari sedia kala. Telah ditekankan bahwa penyediaan tingkat minimum kehidupan seperti, sandang, pangan, dan perumahan harus mendapat perhatian utama negara Islam.

Seterusnya, juga telah dikemukakan bahwa eksploitasi sumber daya, untuk keperluan perkembangan dan alih teknologi harus ditekankan. Namun, usaha menyeluruh harus dilakukan untuk memajukan negara-negara Islam, yaitu di bidang pertanian, karena sebagai negara Islam adalah negara agraris dan juga perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.7

B. Wakaf Tunai dan Pemberdayaan Ekonomi

Dalam sistem ekonomi Islam, wakaf belum banyak dieksplorasi semaksimal mungkin, padahal wakaf sangat potensial sebagai salah satu instrumen untuk pemberdayaan ekonomi umat Islam. Karena itu institusi wakaf menjadi sangat penting untuk dikembangkan. Apalagi wakaf dapat dikategorikan sebagai amal jariyah yang pahalanya tidak pernah putus, walau yang memberi wakaf telah meninggal dunia.

Sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memerankan peran yang sangat penting dalam pengembangan kegiatan-kegiatan sosial, ekonomi dan kebudayaan masyarakat Islam. Selain itu keberadaan wakaf juga telah banyak memfasilitasi para sarjana dan mahasiswa dengan berbagai sarana dan

(40)

prasarana yang memadai untuk melakukan riset dan pendidikan, sehingga dapat mengurangi ketergantungan dana pada pemerintah. Kenyataan menunjukkan, institusi wakaf telah menjalankan sebagian dari tugas-tugas institusi pemerintah atau kementerian-kementerian khusus, seperti Departemen Kesehatan, Pendidikan dan Sosial. Terdapat bukti-bukti yang mendukung pernyataan bahwa sumber-sumber wakaf tidak saja digunakan untuk membangun perpustakaan, ruang-ruang belajar, tetapi juga untuk membangun perumahan siswa, kegiatan riset seperti untuk foto copy, pusat seni dan lain-lain.

Meskipun sepanjang sejarah Islam, wakaf telah memainkan peran yang sangat penting dalam pembangunan masyarakat muslim, namun kita juga menjumpai berbagai kenyataan bahwa pengelolaan wakaf selain memperlihatkan berbagai kemajuan yang mengagumkan, tapi juga memperlihatkan berbagai penyelewengan. Salah urus (mis-management) kerap kali terjadi. Oleh karenanya, strategi pengelolaan yang baik perlu diciptakan untuk mencapai tujuan di adakannya wakaf8. Wakaf hendaknya dikelola dengan baik dan

diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi, sehingga hasilnya dapat dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat banyak. Pengelolan wakaf diserahkan kepada Nazhir, baik dari pemerintah maupun dari masyarakat9.

8 H.A.R. dan I.H. Kramers, Shorter Encyclopaedia of Islam,

(Karachi-Pakistan, South Asian Publication, 1981), hal. 624-628.

9 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah sebagai Pengelola Dana Wakaf (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat

Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 4. Tidak Diterbitkan.

(41)

Tujuan utama dinvestasikannya dana wakaf adalah untuk mengoptimalkan fungsi harta wakaf sebagai prasarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan sumber daya insani. Menurut Monzer Kahf (ahli ekonomi Islam)10, gagasan untuk menginvestasikan dana

wakaf, misalnya untuk mengkonstruksi harta bergerak yang diwakafkan atau untuk meninggalkan modal harta tetap wakaf tidak dibahas dalam fikih klasik. Kahf membedakan model investasi wakaf ke dalam dua model; model pembiayaan harta wakaf tradisional dan model pembiayaan secara institusional.

1. Model pembiayaan harta wakaf secara tradisional Buku-buku fikih klasik menjelaskan bahwa pembiayaan harta wakaf tradisional terdapat lima model pembiayaan rekonstruksi harta wakaf, yaitu Pinjaman, Hukr (kontrak sewa jangka panjang dengan pembayaran lump sum yang cukup besar dimuka), Al-Ijaritain (sewa dengan dua pembayaran), menambah harta wakaf baru, dan penukaran pengganti (substitusi) harta wakaf. Dari kelima model ini hanya penambahan harta wakaf baru yang menciptakan penambahan pada modal wakaf dan peningkatan kapasitas produksi. Sedang empat model yang lain lebih banyak kepada membiayai operasional dan mengembalikan produktifitas harta wakaf seperti semula.

Pinjaman digunakan untuk membiayai operasional dan pemeliharaan harta wakaf. Sebelum harta wakaf dipinjamkan, maka syaratnya harus mendapat izin dari

10 Monzer Kahf, Finacing the Development of Auqaf Properti, (Kuala

(42)

dewan pengawas. Di dalam fikih, misalnya kita mendapatkan pembahasan tentang pinjaman yang dilakukan untuk merekonstruksi atau membangun kembali harta wakaf yang telah rusak atau terbakar. Pinjaman dapat diperoleh dari perorangan maupun dari lembaga keuangan. Model hukr diperkenalkan oleh fuqaha’ guna mensiasati larangan menjual harta wakaf. Daripada menjual harta wakaf, maka Nazhir (pengelola wakaf) dapat menjual hak dari harta wakaf dengan cara disewakan dalam jangka waktu yang lama, dan hasil sewa harta wakaf itu dimanfaatkan sesuai dengan tujuan wakaf.

Model Ijaratain menghasilkan sewa dalam waktu yang lama dan terdiri dari dua bagian, yaitu pertama, berupa uang muka lumpsum yang besar untuk merekonstruksi harta wakaf, dan kedua, sewa tahunan. Pembayaran sewa tahunan ini tidak dilakukan sekaligus, melainkan secara periodik sesuai dengan masa sewa. Model ijaratain ini hampir sama dengan hukr. Tapi titik bedanya, hukr hanya digunakan untuk membiayai pemeliharaan harta wakaf yang bersangkutan, sedang ijaratain hasil sewa dapat dimanfaatkan sesuai dengan kesepakatan sebagaimana tercantum dalam kontrak.

Menambah harta baru terhadap wakaf yang lama, misalnya perluasan Masjid Nabi Muhammad SAW di Madinah yang diperluas selama pemerintahan Khalifah Umar, Usman, Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Perluasan masjid itu dapat diartikan sebagai penambahan harta baru terhadap harta wakaf yang lama.

Model substitusi berarti suatu pertukaran harta wakaf yang satu dengan harta wakaf yang lain. Pertukaran ini

(43)

dilakukan karena harta wakaf yang awal tidak lagi bermanfaat atau kurang bermanfaat. Secara prinsip pertukaran harta wakaf ini tidak menyebabkan terjadinya peningkatan harta wakaf, hanya dapat memproduktifkan harta wakaf.

2. Model pembiayaan secara institusional.

Fikih terus berkembang, karena itu model transaksi keuangan juga berkembang seiring dengan tumbuh-berkembangnya lembaga keuangan Islami. Harta wakaf dapat diinvestasikan guna membiayai proyek-proyek tertentu yang menguntungkan. Yang harus diperhatikan dalam menginvestasikan dana wakaf harus berpegang teguh pada prinsip-prinsip investasi yang Islami, yaitu prinsip berbagi hasil, resiko, jual beli, dan sewa11.

Investasi dana wakaf dengan beragam modelnya seyogyanya dilakukan oleh Nazhir profesional. Menurut fikih ada dua pandangan terhadap posisi Nazhir dalam kaitannya dengan masalah wakaf. Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa Nazhir adalah penerima, penyalur sekaligus pengelola harta (dana) wakaf. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa Nazhir hanyalah sebagai penerima dan penyalur harta (dana) wakaf, sedangkan pengelolaan harta (dana) wakaf harus dipisahkan dengan wewenang penerimaan dan penyaluran untuk menghidari adanya kemungkinan negatif (moral hazard). Menilik kedua

11 H. Karnaen A. Pewawataatmadja, S.E, MPA, Alternatif Investasi Dana Wakaf, (Makalah Workshop Internasioanl, “Pemberdayaan Ekonomi Umat

Melalui Wakaf Produkstif”, di Wisma Haji Batam, 7-8 Januari 2002), hal. 4. Tidak Diterbitkan.

(44)

pendapat ini, maka Nazhir yang memungkinkan mengelola wakaf dengan menginvestasikannya di sektor yang menguntungkan adalah pendapat yang pertama, sedang bagi pendapat yang kedua, siapapun yang mengelola harta (dana) wakaf agar produktif tidak dijelaskan.

Munculnya bank-bank Syari’ah, terutama yang dimotori oleh bank-bank konvensional seperti BNI Syari’ah, Mandiri Syari’ah, Danamon Syari’ah dan lainnya menimbulkan optimisme di kalangan umat Islam dalam kaitannya dengan pengelolaan harta (dana) wakaf secara produktif. Untuk harta wakaf yang berujud harta tidak bergerak seperti tanah dan bangunan, pihak bank Syari’ah bisa menerima jika dijadikan agunan/jaminan kredit sejumlah dana dalam rangka pengembangan harta wakaf yang lain. Sedangkan kalau dalam bentuk wakaf tunai, pihak bank langsung bisa mengelola, mengembangkan dan menyalurkan harta (dana) wakaf yang dipercayakan kepada bank tersebut.

Difungsikannnya perbankan Syari’ah sebagai Nazhir setidaknya memiliki beberapa keunggulan yang diharapkan dapat mengoptimalkan operasionalisasi harta (dana) wakaf, yaitu: (1) Memiliki jaringan kantor; (2) Kemampuan sebagai fund manager; (3) Pengalaman, jaringan-jaringan informasi dan peta distribusi; dan (4) Memiliki citra positif.

Kantor perbankan Syari’ah lebih luas dibandingkan dengan lembaga keuangan Syari’ah lainnya. Keunggulan ini memaksimalkan peran perbankan Syari’ah dalam mengelola harta (dana) wakaf baik langsung maupun tidak langsung. Menurut catatan Bank Indonesia (2001), perbankan Syari’ah memiliki jaringan kantor diseluruh

(45)

Indonesia menacapai 174 kantor dan pertumbuhan jumlah kantor Syari’ah perbulan mencapai 2,1 persen. Fenomena ini menjadi faktor penting di dalam mengoptimalkan sosialisasi penggalangan dana wakaf dan penyalurannya.

Dengan jaringan kantor yang luas itu, diharap keberadaan produk wakaf tunai akan tersosialisasi secara maksimal, apalagi masyarakat memiliki akses yang tinggi terhadap jasa perbankan. Sebagai implikasi dari maksimalnya sosialisasi wakaf tunai dan jaringan kantor yang luas, maka tahap berikutnya penggalangan dana wakaf tunai juga akan maksimal. Begitu juga dengan aktifitas penyalurannya, karena jaringan kantor yang luas akan sangat membantu efektifitas dan efesiensi penyampaian harta (dana) wakaf kepada mauquf ‘alaih.

Pada dasarnya, perbankan merupakan lembaga pengelol dana (masyarakat). Karena itu, lembaga perbankan seyogyanya memiliki kemampuan untuk mengelola dana (fund manager). Terkait dengan wakaf tunai, lembaga perbankan merupakan lembaga pengelola dana wakaf yang patut dipertimbangkan, karena bisa mempertanggungjawabkan pengelolaannya kepada publik, terutama kepada wakif. Dengan memahami bahwa pilihan produk keuangan Syari’ah masih terbatas di pasar dalam negeri, maka pilihan untuk menginvestasikan dana wakaf pada produk-produk Syari’ah di pasar internasional terbuka lebar. Selain itu, penanaman modal di pasar internasional juga dapat dipandang sebagai upaya memperkecil resiko, melalui diversifikasi investasi dana. Untuk itu, efektifitas dan optimalisasi pengelolaan dana perbankan Syari’ah

(46)

memiliki akses dan sekaligus berperan dalam pasar uang internasional.

Pengalaman, jaringan informasi, dan peta distribusi menjadi faktor yang sangat penting bagi perbankan Syari’ah dalam mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf tunai. Jaringan informasi serta peta distribusi juga memungkinkan untuk terbentuknya database informasi mengenai sektor usaha maupun debitur yang akan dibiayai termasuk oleh dana eks wakaf. Dalam kaitan dengan wakaf tunai, maka pengelolaan wakaf tunai oleh lembaga perbankan, tidak saja akan mengoptimalkan pengelolaan dana wakaf, akan tetapi juga akan mengefektifkan penyaluran dana wakaf tunai sesuai dengan yang diinginkan oleh wakif.

Selain itu, pengalaman, jaringan informasi, dan peta distribusi merupakan faktor positif bagi lembaga pembankan Syari’ah. Sehingga diharapkan akan menimbulkan citra poisitif terhadap gerakan wakaf tunai itu sendiri maupun pada perbankan Syari’ah khususnya. Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia (BI) terhadap perbankan Syari’ah akan menimbulkan akuntabilitas yang positif dari pengelolaan wakaf tersebut. Pemunculan citra positif tersebut dipandang penting, tidak saja utuk menyukseskan serta mengoptimalkan keberadaan wakaf tunai, akan tetapi juga sebagai upaya untuk menghindari citra yang kurang baik, seperti halnya yang terjadi pada pengelolaan dana pada umumnya12.

Dengan melibatkan lembaga keuangan Syari’ah dalam pengelolaan wakaf tunai, maka selain produktif, wakaf akan

12 Tim Depag, Panduan Pemberdayaan Tanah Wakaf Produktif Strategis di Indonesia, (Jakarta: Depag RI, 2003), hal.52-54.

(47)

bisa diinvestasikan ke dalam berbagai jenis investasi yang menguntungkan. Dengan demikian, masyarakat (mauquf

‘alaihi) yang akan merasakan manfaat dari hasil dana wakaf

semakin banyak. Akhirnya, area garapan dana wakaf untuk digunakan memberdayakan umat Islam semakin beragam. Wakaf juga berbeda dengan zakat, tapi keduanya sama-sama instrumen keuangan dalam sistem ekonomi Islam. Dalam hukum Islam wakaf tidak diwajibkan, melainkan secara suka rela, sedang zakat merupakan kewajiban terhadap seseorang ataupun terhadap harta yang telah mencapai takaran tertentu.

Zakat wajib karena merupakan salah satu rukun Islam yang dibebankan kepada harta kekayaan seseorang menurut aturan tertentu. Dalam Al-Qur’an, zakat disebut sebanyak 82 kali (A.M. Saefuddin, 1984: 68) dan selalau dirangkaikan dengan shalat (sembahyang yang merupakan rukun Islam kedua. Hal ini menunjukkan bahwa (lembaga) zakat sangat penting. Sedang shalat merupakan sarana komunikasi utama antara manusia dengan Tuhan. Zakat yang disebut Al-Qur’an setelah shalat, adalah sarana komunikasi utama antara manusia dengan manusia lain dalam masyarakat. Karena itu lembaga zakat sangat penting dalam menyusun kehidupan yang humanis dan harmonis. Peranan zakat, baik zakat harta maupun zakat fitrah, dalam pemerataan pendapatan akan lebih kentara kalau dihubungkan dan dilaksanakan bersama dengan nilai instrumental lainnya yakni pelarangan riba13.

13 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam; Zakat dan Wakaf,

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini dilaksanakan di Perpustakaan SMP Negeri 4 Alla yang beralamatkan di Jl. Poros Sudu - Curio desa Sumbang Kecamatan Curio Kabupaten Enrekang. Adapun

Berdasarkan berbagai kegiatan mem- baca di atas, lebih lanjut guru dapat me- lakukan kegiatan penilaian otentik tahap membaca dengan menyediakan LKP yang di dalamnya

Dalam konflik Libya ini sendiri, kedua belah pihak yang terlibat dalam konflik tidak bisa melakukan negosiasi dikarenakan kekalahan pihak oposisi (NTC) dalam

tetapi tetap dibatasi sikap profesionalisme dalam bekerja akan membuat suasana kerja yang mendukung produktivitas perusahaan tetap berjalan dengan suasana kekeluargaan, selain

Pendapat lainnya tentang penyebab munculnya radikalisme adalah 1) adanya ideologi fanatik, 2) kondisi sosial dan politik, 3) latar belakang pendidikan, 4) faktor budaya, dan

M.leprae yang menyebabkan gangguan dalamkeseimbangan sistem imunologi.Penderita penyakit kusta dapat mengalami reaksi kusta, yang merupakan suatu reaksi kekebalan

Maka tantangan bagi kedua institusi tersebut adalah untuk membuktikan bahwa prodi mereka memiliki fitur yang sangat berbeda dengan biaya yang masih dapat diterima.. Beberapa

Motivasi dalam melakukan vandalisme yang berasal dari dalam individu (intrinsik) adalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu memperkenalkan suatu ideologi,