• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Vandalisme pada Remaja Laki-Laki. manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Motivasi Vandalisme pada Remaja Laki-Laki. manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

13

A. Motivasi Vandalisme pada Remaja Laki-Laki

1. Definisi Remaja Laki-Laki

Masa remaja adalah suatu periode transisi dalam rentang kehidupan manusia, yang menjembatani masa kanak-kanak dengan masa dewasa yang mencakup perubahan fisik, kognitif dan sosioemosi. Batasan usia remaja antara 12 hingga 21 tahun, yang terbagi dalam tiga fase, yaitu remaja awal (usia 12 hingga 15 tahun), remaja tengah/ madya (usia 15 hingga 18 tahun) dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun). Remaja berasal dari kata adolensence yang berarti tumbuh menjadi dewasa yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 2003).

Jersild (dalam Panuju & Umami, 2005) menyatakan bahwa masa remaja mencakup periode atau masa bertumbuhnya seseorang dalam masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa dalam rentangan usia sebelas tahun sampai duapuluh awal. Panuju & Umami (2005) pun menambahkan masa remaja dapat ditinjau sejak mulainya seseorang menujukkan tanda-tanda pubertas dan berlanjut hingga dicapainya kematangan seksual, telah mencapai tinggi badan secara maksimal, dan pertumbuhan mentalnya secara penuh yang dapat diramalkan melalui pengukuran tes-tes intelegensi.

Santrock (2011) menjelaskan bahwa remaja berusaha untuk memahami diri sendiri serta mencari identitas mereka. Panuju & Umami (2005) pun

(2)

menambahkan bahwa remaja dalam dunia sosial berusaha untuk mencapai kedewasaan, remaja ingin tenggelam dalam berbagai kegiatan dan berusaha dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan perhatian dari orang sekitarnya. Menurut Sudarsono (dalam Dariyo, 2004) sebagian remaja melakukan kenakalan untuk mendapatkan pengakuan, penerimaan, dan perhatian dari orang lain. Remaja laki-laki lebih sering melakukan kenakalan dibandingkan remaja perempuan.

Salah satu kenakalan yang sering dilakukan oleh remaja laki-laki adalah vandalisme. Hal ini dikarenakan remaja laki-laki lebih agresif secara fisik dibandingkan remaja perempuan yang lebih agresif secara verbal. Remaja laki-laki menunjukkan ekspresi agresif yang lebih dominan dibandingkan remaja perempuan. Hal ini berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Bandura dan juga hasil penelitian yang dilakukan oleh Whiting & Edward (Aprilia & Indrijati, 2014).

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa remaja merupakan periode perkembangan yang dimulai dari masa kanak-kanak hingga dewasa yang dimulai dari usia 12 hingga 21 tahun, dan ditandai dengan adanya perubahan pada fisik, kognitif dan sosioemosi. Remaja laki-laki sering melakukan kenakalan untuk memperoleh pengakuan atau penerimaan sosial seperti dengan melakukan vandalisme. Vandalisme sering dilakukan oleh remaja laki-laki dibandingkan remaja perempuan karena remaja laki-laki menunjukkan ekspresi agresif yang lebih dominan.

(3)

2. Definisi Vandalisme

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (dalam Marlini & Barcell, 2013) kata vandalisme berasal dari kata dasar vandal yang berarti perusak, kemudian mendapat akhiran isme maka mengandung arti perbuatan merusak dan menghancurkan hasil karya seni dan barang-barang berharga lainnya. Christensen, dkk (dalam Goldstein, 1996) menyatakan bahwa vandalisme adalah perilaku merusak pada obyek dalam suatu lingkungan sehingga keadaan menjadi buruk. Menurut Moser (dalam Goldstein, 1996) vandalisme adalah perilaku yang dilakukan secara sengaja dengan maksud merusak atau menghancurkan suatu objek.

Menurut FBI Uniform Crime Report (dalam Goldstein, 1996) vandalisme adalah penghancuran yang berbahaya atau yang disengaja, perusakan benda milik orang lain tanpa persetujuan dengan cara memotong, merobek, melanggar,menandai, menggambar, melukis, atau menutupi dengan kotoran dan perlakuan lainnya yang ditentukan oleh hukum setempat. Vandalisme sering dilakukan oleh laki-laki karena laki-laki lebih agresif secara fisik dibandingkan perempuan yang agresif secara verbal. Sedangkan menurut Webster’s (dalam Goldstein, 1996) vandalisme merupakan pengungkapan rasa benci dengan merusak benda yang memiliki unsur keindahan seperti karya seni, sastra, monumen bersejarah, dan lai-lain secara sengaja.

Goldstein (1996) menyatakan vandalisme adalah perilaku yang disengaja untuk merusak atau mencoret-coret benda atau properti milik orang lain. Menurut

(4)

Fesbach (dalam Goldstein, 1996) vandalisme merupakan perilaku yang disengaja untuk menunjukkan rasa kebencian yang ditujukan dengan merusak objek lingkungan. Cohen (dalam Long & Burke, 2015) menyatakan bahwa perusakan atau penghancuran benda milik orang lain secara sembarangan tidak selalu menjadi bagian utama dari perilaku menyimpang yaitu vandalisme. Perilaku tersebut dapat menjadi kebiasaan atau sebuah ritual misalnya ketika merayakan pergantian tahun, perilaku tersebut dapat diperkirakan akan terjadi, dibiarkan, atau bahkan didukung. Pada intinya vandalisme merupakan perilaku yang terpola, yang sering dilakukan berkali-kali bahkan dapat diprediksi kapan vandalisme akan terjadi.

Berdasarkan beberapa pengertian yang telah dipaparkan dapat disimpulkan bahwa vandalisme merupakan perilaku merusak fasilitas umum maupun pribadi serta mengganggu keindahan lingkungan secara sengaja karena adanya dorongan untuk mendapatkan tujuan dan maksud tertentu.

3. Definisi Motivasi Vandalisme

Gibson (dalam Wagimo & Ancok, 2005) menyatakan bahwa motivasi adalah kekuatan-kekuatan yang bekerja pada seseorang yang menimbulkan dan mengarahkan perilaku. Motivasi bukan merupakan suatu hal yang dapat diamati, melainkan suatu hal yang dapat disimpulkan melalui perilaku yang tampak. Hamalik (dalam Aunurrahman, 2014) , mengemukakan bahwa motivasi adalah suatu perubahan energi didalam pribadi seseorang yang ditandai dengan timbulnya afektif (perasaan dan reaksi untuk mencapai tujuan). Perubahan energi

(5)

didalam diri seseorang tersebut kemudian membentuk suatu aktifitas nyata, wujudya dalam berbagai bentuk kegiatan.

Motivasi untuk melakukan vandalisme ini berkaitan dengan teori dari Freud. Freud menyatakan bahwa manusia memiliki insting. Insting merupakan elemen yang paling dasar dari kepribadian yang memotivasi perilaku seseoraang dan mengarahkan perilaku itu. Freud mengklasifikasikan insting ke dalam dua kategori, yaitu insting kehidupan dan insting kematian. Insting yang berkaitan dengan motivasi dalam melakukan vandalisme adalah insting kematian, dimana manusia memiliki dorongan agresi, paksaan untuk menghancurkan, keinginan untuk berkuasa bahkan membunuh (Supratiknya, 2000). Sedangkan menurut Maslow (dalam Supratiknya, 2000) mengemukakan bahwa manusia memiliki motivasi yang mempegaruhi individu secara keseluruhan salah satunya adalah kebutuhan akan harga diri (Supratiknya, 2000). Motivasi untuk mendapatkan keunggulan, kepercayaan diri, ketenaran, perhatian maupun apresiasi pada individu sama halnya dengan motivasi remaja laki-laki dalam melakukan vandalime.

Goldstein (1996) menyatakan bahwa vandalisme merupakan perilaku yang termotivasi, adanya dorongan pada individu untuk melakukan perusakan pada benda-benda milik orang lain. Harrison (dalam Goldstein, 1996) menuturkan bahwa vandalisme merupaan perilaku yang dimotivasi dengan tujuan untuk merusak nilai seni dan fungsi dari suatu benda. Cohen (dalam Long & Burke, 2015) pun menambahkan bahwa motivasi vandalisme adalah kekuatan atau

(6)

dorongan yang pada individu untuk melakukan perusakan atau mengganggu keamanan dan keyamanan lingkungan sekitar.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa motivasi perilaku vandalisme adalah dorongan atau kekuatan untuk melakukan suatu kegiatan yang dapat merugikan orang lain dengan cara merusak atau menganggu keindahan benda orang lain dengan tujuan tertentu.

4. Tipe-Tipe Motivasi Vandalisme

Cohen (dalam Long & Burke, 2015) membagi motivasi vandalisme menjadi enam tipe. Tipe-tipe tersebut adalah:

a. Aquisitive vandalism, adalah vandalisme yang dilakukan untuk mendapatkan uang atau benda orang lain. Contohnya adalah penempelan iklan, spanduk, poster, baliho atau bentuk-bentuk pemasaran lainnya yang merusak lingkungan tempatnya berada.

b. Tactical vandalism, adalah vandalisme yang dilakukan sebagai taktik dalam mencapai tujuan tertentu. Contohnya menyabotase sebuah mesin pabrik untuk memfasilitasi jangka waktu yang tersisa dari masa berlaku.

c. Ideological vandalism, adalah vandalisme yang dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memperkenalkan suatu ideologi. Contohnya menyoret baliho, poster, ataupun slogan politik yang tertempel pada dinding.

d. Vindictive vandalism, adalah vandalisme yang dilakukan untuk membalas dendam atas suatu kesalahan. Contohnya adalah sekumpulan anak yang

(7)

dengan sengaja melempar jendela tetangga dengan batu hingga pecah, karena tetangga tersebut sering memarahi mereka karena bermain dengan ribut. e. Malicious vandalism, adalah vandalisme yang dilakukan karena pelaku

vandalisme mendapat kenikmatan dengan memberikan gangguan pada orang lain, atau merasa terhibur saat menghancurkan benda milik orang lain. Contohnya adalah dengan sengaja mencoret kendaraan atau tembok bangunan tempat tinggal orang lain karena pelaku senang melihat pemilik kendaraan atau tempat tinggal marah.

f. Play vandalism, adalah vandalisme yang dilakukan untuk menunjukkan dan medemonstrasikan kemampuan yang dia miliki, dan bukan bertujuan untuk mengganggu orang lain. Contohnya adalah seorang anak sekolah yang mencoret-coret bangku atau meja belajar di kelasnya.

Martin (dalam Goldstein, 1996) pun membagi motivasi dalam melakukan aksi vandalisme menjadi tiga bagian, yaitu:

a. Predatory vandalism, dimana motivasi dari pelaku vandalisme yaitu untuk memperoleh material, pengrusakan disertai dengan aksi perampokan atau pencurian.

b. Vindictive vandalism, dimana vandalisme dilakukan untuk mengekspresikan rasa benci atau dendam dan bertujuan untuk mengintimidasi individu atau kelompok tertentu.

c. Wanton vandalism, dimana pelaku merusak atau mengganggu orang lain untuk kesenangan belaka.

(8)

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa terdapat enam tipe motivasi vandalisme menurut Cohen (dalam Long & Burke, 2015) yang menjadi acuan dalam penelitian ini, yaitu: (a) aquisitive vandalism, adalah tipe motivasi vandalisme untuk mendapatkan benda milik orang laing, (b) tactical vandalism, adalah tipe motivasi vandalisme yang digunakan sebagai taktik, (c) ideological vandalism, adalah tipe motivasi vandalisme untuk memperkenalkan suatu paham, (d) vindictive vandalism, adalah tipe motivasi vandalisme untuk membalas dendam, (e) malicious vandalism, adalah tipe motivasi vandalisme yang dilakukan untuk kenikmatan, dan (f) play vandalism, adalah tipe motivasi vandalisme yang dilakukan untuk menunjukkan kemampuan yang dimiliki. Sedangkan menurut Martin (dalam Goldstein, 1996) terdapat tiga tipe motivasi vandalisme, yaitu (a) predatory vandalism, yaitu tipe motivasi vandalisme untuk memperoleh material, (b) vindictive vandalism, yaitu tipe motivasi vandalisme untuk melapiaskan rasa dendam, dan (c) play vandalism, yaitu tipe motivasi vandalisme untuk merusak demi kesenangan pelaku.

5. Aspek-Aspek Motivasi Vandalisme

Vandalisme merupakan perilaku yang memiliki motivasi yang terdiri dari berbagai aspek. Aunurrahman (2014) motivasi adalah tenaga pendorong bagi seseorang agar memiliki energi atau kekuatan melakukan sesuatu dengan penuh semangat. Motivasi sebagai suatu kekuatan yang mampu mengubah energi dalam diri seseorang dalam bentuk aktivitas nyata untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi dapat bersifat internal dan eksternal atau biasa disebut dengan motivasi intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi internal atau intrinsik adalah dorongan dari

(9)

dalam diri individu untuk melakukan suatu aktivitas, sedangkan motivasi ekternal atau ekstrinsik adalah dorongan yang berasal dari luar diri individu.

Goldstein (1996) menyatakan bahwa vandalisme merupakan perilaku yang dimotivasi atau didorong baik dari dalam maupun dari luar inidividu. Cohen (dalam Long & Burke, 2015) pun menjelaskan bahwa motivasi dalam melakukan vandalisme memiliki aspek-aspek, yaitu:

a. Aspek motivasi dalam melakukan vandalisme yang berasal dari dalam diri individu (intrinsik) adalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu memperkenalkan suatu ideologi, kemudian motivasi untuk mendapatkan kenikmatan dengan memberikan gangguan pada orang lain, atau merasa terhibur saat menghancurkan benda milik orang lain, dan motivasi untuk menunjukkan dan mendemonstrasikan kemampuan yang dia miliki, dan bukan bertujuan untuk mengganggu orang lain.

b. Aspek motivasi dalam melakukan vandalisme yang berasal dari luar diri individu (ekstrinsik) adalah untuk mendapatkan uang atau benda seperti penempelan iklan, spanduk, poster atau bentuk-bentuk pemasaran yang merusak lingkungan, mendapatkan tanggapan dari orang-orang yang melihat hasil vandalisme yang dibuat pada fasilitas umum, dan motivasi untuk membalas dendam atau menyerang kelompok lain secara fisik dan meteri karena pengaruh ajakan kelompok teman.

(10)

Martin (dalam Goldstein, 1996) pun menambahkan aspek-aspek motivasi, yaitu:

a. Intrinsik merupakan aspek motivasi vandalisme sebagai cara mengekspresikan rasa benci atau dendam dan untuk mendapatkan kesenangan dengan cara merusak benda dan mengganggu orang lain.

b. Ekstrinsik merupakan aspek vandalisme yaitu untuk memperoleh material, perusakan disertai dengan aksi perampokan atau pencurian, dan ajakan dari kelompok teman untuk mengekspresikan rasa kebencian mereka terhadap kelompok yang lain.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa aspek-aspek motivasi remaja dalam melakukan vandalisme yaitu adanya dorongan dari dalam (intrinsik) dan dari luar (ekstrinsik) individu atau remaja untuk melampiaskan perasaan benci, perasaan tidak adanya pengakuan dari orang lain terlebih lagi ketika bersama dengan teman sebaya yang memiliki perasaan yang sama akhirnya diwujudkan dengan cara merusak fungsi maupun keindahan untuk mengekspresikan perasaan.

6. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Motivasi Vandalisme

Goldstein (1996) menjabarkan mengenai faktor-faktor yang memengaruhi motivasi vandalisme, yaitu:

a. Usia dan jenis kelamin

Usia dan jenis kelamin merupakan salah satu faktor terjadinya motivasi vandalisme. Data yang diperoleh melalui FBI Uniform Crime Report pada tahun

(11)

1993 (dalam Goldstein, 1996) menunjukkan sebanyak 206.389 laki-laki warga Amerika Serikat terlibat dalam kasus vandalisme dan sebanyak 28.781 perempuan warga Amerika Serikat terlibat dalam kasus vandalisme. Data tersebut menunjukkan bahwa laki-laki lebih banyak terlibat dalam kasus vandalisme daripada perempuan karena laki-laki lebih agresif secara fisik dibandingkan perempuan dan bisa saja akan lebih meningkat setiap tahun. Kemudian perilaku vandalisme kebanyakan dilakukan oleh remaja yang berstatus pelajar, yang biasanya dimulai dari SMP tingkat pertama (usia 12 tahun) dan akan berlanjut sampai ke jenjang berikutnya (Tygart, Zwerg & Ducey, dalam Goldstein, 1996).

b. Status sosial-ekonomi

Status ekonomi keluarga yang di bawah rata-rata menjadi faktor pemicu terjadinya motivasi vandalisme. Remaja yang berada dalam lingkungan yang terasingkan (kelompok kecil) sering terlibat dalam perilaku vandalisme.

c. Kognitif

Tingkat prestasi yang rendah pada remaja dalam pembelajaran di sekolah dapat menjadi faktor terjadinya motivasi vandalisme. Remaja yang sering gagal dalam berprestasi dan sering membolos juga lebih sering melakukan vandalisme.

d. Kurangnya sistem keamanan dalam fasilitas

Kurangnya sistem keamanan dalam fasilitas pribadi maupun umum dapat menjadi faktor remaja dalam melakukan vandalisme. Menurut sudut pandang

(12)

remaja, fasilitas umum merupakan milik bersama dan tidak mengapa untuk dirusak atau dikotori.

e. Kelompok teman

Vandalisme juga merupakan gejala fenomena yang banyak terjadi dalam kelompok. Ketika para remaja yang bermasalah berkumpul dalam satu kelompok, para remaja tersebut sering berkumpul untuk minimum minuman keras dan akhirnya ada dorongan untuk melakukan vandalisme. Ketika dilakukan bersama-sama, ada perasaan solidaritas dan tidak adanya rasa takut dari remaja-remaja tersebut.

Selain itu pun Horowitz & Tobaly (2003) menyebutkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi remaja untuk melakukan vandalisme pada konteks lingkungan sosial adalah tingkat persepsi mengenai vandalisme di sekolah, sikap siswa selama mengikuti pembelajaran di sekolah, sikap siswa terhadap guru, dan adanya kecemasan selama di sekolah. Cohen (dalam Horowitz & Tobaly, 2003) pun menambahkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi motivasi vandalisme adalah perasaan marah, bosan, katarsis, dan estetika.

Berdasarkan pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang memengaruhi terjadinya motivasi vandalisme menurut Goldstein (1996) yang menjadi acuan dalam penelitian ini adalah usia dan jenis kelamin pelaku vandalisme yang biasanya berstatus pelajar dan sering dilakukan oleh remaja laki-laki, pengaruh kelompok teman untuk melampiaskan perasaan benci bersama-sama tanpa merasa takut akan dampaknya, adanya kesempatan untuk melakukan

(13)

vandalisme karena kurang sistem keamanan pada fasilitas umum dan juga pribadi, pengaruhnya kondisi keluarga dalam ekonomi dan sosial baik di lingkungan sekolah maupun di tempat tinggal dan dari segi kognitif dimana remaja yang kurang berprestasi di sekolah sering melakukan vandalisme untuk menunjukkan rasa ketidakpuasannya. Adapaun menurut Horowitz & Tobaly (2003) faktor-faktor yang memengaruhi motivasi vandalisme adalah tingkat persepsi mengenai vandalisme di sekolah, sikap siswa selama berada di lingkungan sekolah, sikap siswa terhadap guru dan kecemasan selama berada di sekolah. Sedangkan menurut Cohen (dalam Horowitz & Tobaly, 2003) faktor-faktor yang memengaruhi motivasi vandalisme adalah perasaan marah, bosan, katarsis, dan estetika.

7. Dampak Vandalisme

Vandalime memiliki dampak yang positif dan juga dampak negatif pada remaja yang melakukannya. Dampak positif dari vandalisme pada remaja seperti yang diungkapkan oleh Goldstein (1996) bahwa remaja yang melakukan vandalisme akan merasakan kesenangan. Hal serupa juga dinyatakan oleh Cohen (dalam Long & Burke, 2015) bahwa remaja yang melakukan vandalisme seperti menyoret (graffiti) akan merasakan kesenangan dan perasaan lepas, karena hal tersebut merupakan bentuk dari ekspresi diri. Menurut remaja yang mengekspresikan diri melalui graffiti, hasil karya mereka dapat dilihat oleh banyak orang walaupun hasil karya mereka dilakukan tanpa izin sehingga merusak atau mengganggu pemandangan lingkungan sekitar.

(14)

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh vandalisme seperti yang dijelaskan oleh Horowitz & Tobaly (2003) bahwa remaja yang pernah atau sering melakukan vandalisme memiliki dampak pada lingkungan sosial, seperti di sekolah. Dampak yang dialami oleh para pelaku tersebut adalah dijauhi oleh lingkungan sekolah dan kurang mendapatkan prestasi di sekolah. Long & Burke (2015) pun menuturkan bahwa seiring berkembangnya teknologi, para remaja yang melakukan vandalisme akan berdampak pada narsisme. Hal tersebut dapat terjadi apabila para remaja yang melakukan vandalisme akan mengabadikan hasil dari aksi ataupun merekam proses para remaja melakukan vandalisme, kemudian dengan mudahnya mereka menyebar luaskan hasil tersebut di sosial media. Hal ini membuat remaja tersebut merasa bangga ketika aksi mereka dapat dilihat oleh banyak orang yang memiliki sosial media.

Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa dampak yang ditimbulkan dari motivasi vandalisme adalah remaja merasa bangga, senang dengan yang telah mereka lakukan karena vandalisme merupakan bentuk mengekspresikan diri. Pelaku vandalisme akan merasakan kesenangan yang lebih jika, proses dan hasil dari vandalisme disebar luaskan di media sosial agar dapat dilihat oleh banyak orang. Vandalisme juga berdampak pada lingkungan sosial, seperti di sekolah di mana para remaja yang pernah atau sering melakukan vandalisme akan dijauhkan dari lingkungan sekolah dan kurang mendapatkan penghargaan atau prestasi di sekolah.

(15)

8. Motivasi Vandalisme pada Remaja Laki-Laki

Pada masa remaja ditandai dengan berbagai perubahan termasuk dalam kosnteks sosial. Akibat dari perubahan tersebut menuntut remaja untuk mengadakan perubahan besar pada perilaku dan sikapnya sesuai dengan tugas perkembangannya (Santrock, 2011). Panuju & Umami (2005) menambahkan bahwa remaja sering kali salah dalam menentukan jalan hidupnya, akibatnya mereka melakukan tindakan-tindakan yang mengarah pada kenakalan remaja (juvenile delinquency). Jika berdasarkan jenis kelamin, remaja laki-laki lebih sering melakukan kenakalan dibanding remaja perempauan. Hal ini disebabkan karena remaja laki-laki lebih agresif secara fisik dibanding remaja perempauan. Hasil eksperimen yang dilakukan oleh Bandura dan juga penelitian yang dilakukan oleh Whiting & Edward menunjukkan bahwa anak laki-laki lebih menunjukkan agresif yang dominan yaitu merespon secara agresif hingga memulai tingkah laku agresif (Aprilia & Indrijati, 2014).

Salah satu bentuk kenakalan remaja yang sering dijumpai adalah vandalisme. Goldstein (1996) menyatakan bahwa vandalisme adalah perilaku yang disengaja untuk merusak atau mencoret-coret benda atau properti milik orang lain. Sedangkan menurut Cohen (dalam Long & Burke, 2015) vandalisme adalah perilaku merusak fungsi maupun keindahan benda yang dapat menjadi kebiasaan dan dilakukan berkali-kali.

Goldstein (1996) menuturkan bahwa vandalisme merupakan perilaku yang dimotivasi atau didorong baik dari dalam maupun dari luar. Hal serupa juga

(16)

dikemukakan oleh Cohen (dalam Long & Burke, 2015) yang menyatakan bahwa motivasi vandalisme memiliki dua aspek, yaitu aspek dari dalam individu (intrinsik) dan dari luar individu (ekstrinsik). Motivasi dalam melakukan vandalisme yang berasal dari dalam individu (intrinsik) adalah untuk mencapai suatu tujuan tertentu, yaitu memperkenalkan suatu ideologi, kemudian motivasi untuk mendapatkan kenikmatan dengan memberikan gangguan pada orang lain, atau merasa terhibur saat menghancurkan benda milik orang lain. Sedangkan motivasi dalam melakukan vandalisme yang berasal dari luar diri individu (ekstrinsik) adalah untuk mendapatkan uang atau benda seperti penempelan iklan, spanduk, poster, atau bentuk pemasaran yang merusak lingkungan, dan motivasi untuk membalas dendam atau menyerang kelompok lain secara fisik dan materi karena pengaruh ajakan kelompok teman.

Sudarsono (dalam Dariyo, 2004) menuturkan remaja yang termotivasi atau memiliki dorongan untuk melakukan vandalisme adalah remaja yang ingin memperoleh pengakuan, penerimaan dan perhatian dari orang lain, tetapi menyalurkan energinya secara negatif yang mengarah pada tindakan-tindakan untuk merusak, mengganggu. Goldstein (1996) menambahkan bahwa vandalisme sering dilakukan oleh pelajar laki-laki yang berusia mulai dari 12 tahun. Hal-hal yang mendorong remaja laki-laki termotivasi melakukan vandalisme menurut Cohen (dalam Horowitz & Tobaly, 2003) yaitu adanya perasaan marah, bosan, katarsis, merusak, serta ingin menampilkan hasil karya seni. Pada konteks lingkungan sosial seperti di sekolah, Horowitz & Tobaly (2003) menyatakan bahwa hal-hal yang mendorong remaja untuk melakukan vandalisme adalah

(17)

tingkat persepsi mengenai vandalisme di sekolah, sikap siswa selama mengikuti pembelajaran di sekolah, sikap siswa terhadap guru, dan adanya kecemasan selama di sekolah.

Selain itu Goldstein (1996) pun menambahkan bahwa hal-hal yang memotivasi remaja dalam melakukan vandalisme antara lain usia, jenis kelamin, status sosial-ekonomi, faktor kognitif, kurangnya sistem keamanan dalam fasilitas, dan keluraga. Usia dan jenis kelamin merupakan hal yang mendorong remaja dalam melakukan vandalisme, data yang diperoleh melalui FBI Uniform Crime Report pada tahun 1993 (dalam Goldstein, 1996) menunjukkan bahwa remaja laki-laki lebih banyak melakukan vandalisme dikarenakan laki-laki lebih agresif dan kasus ini akan terus meningkat setiap tahunnya, biasanya vandalisme mulai dilakukan oleh remaja yang berusia 12 tahun. Status sosial ekonomi memengaruhi remaja termotivasi untuk melakukan vandalisme dikarenakan remaja dengan keluarga yang memiliki status sosial ekonomi yang rendah atau kaum nimoritas sering diasingkan oleh lingkungan sekitar, sehingga dengan melakukan vandalisme remaja yang hidup berada dalam minoritas membuktikan kepada lingkungan bahwa dirinya ada di dalam lingkungan tersebut.

Faktor selanjutnya adalah tingkat kognitif yang rendah. Remaja yang memiliki tingkat kognitif yang rendah tidak menyukai melakukan kegiatan di dalam sekolah atau mengikuti pelajaran di sekolah sehingga membuat mereka lebih sering melakukan kegiatan di luar sekolah. Berikutnya sistem keamanan dalam fasilitas umum dapat memotivasi remaja laki-laki melakukan vandalisme. Sistem keamanan yang rendah memberikan kesempatan untuk merusak fasilitas

(18)

yang ada. Kemudian kelompok teman dapat memotivasi remaja dalam melakukan vandalisme dikarenakan adanya rasa solidaritas. Selain itu dengan bergabungnya seorang remaja ke dalam suatu kelompok menjadikannya lebih berani untuk melakukan kenakalan seperti vandalisme karena dampaknya akan ditanggung bersama.

Vandalisme yang dilakukan oleh remaja menimbulkan dampak yang positif dan negatif terhadap dirinya. Dampak positif vandalisme pada remaja yang melakukannya yaitu remaja akan merasakan kesenangan dalam dirinya, karena hal tersebut sebagai bentuk memperlihatkan kemampuan yang dimiliki oleh remaja tersebut (Goldstein, 1996), sedangkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh vandalisme adalah remaja akan dijauhi oleh lingkungan sekolah dan kurang mendapatkan prestasi di sekolah (Horowitz & Tobaly, 2003). Long & Burke (2015) pun menjelaskan bahwa seiring berkembangnya teknologi, para remaja yang melakukan vandalisme akan berdampak pada narsisme. Hal tersebut dapat terjadi apabila para remaja yang melakukan vandalisme akan mengabadikan hasil dari aksi ataupun merekam proses aksi vandalisme, kemudian dengan mudahnya hasil tersebut disebar luaskan di sosial media yang bisa dilihat oleh banyak orang.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulan bahwa salah satu bentuk kenakalan remaja adalah vandalisme. Vandalisme terjadi dikarenakan kesalahan penyaluran energi psikologis remaja untuk mendapatkan pengakuan dan perhatian dari lingkungan sekitar. Remaja dapat melakukan vandalisme karena memiliki motivasi yang berasal dari dalam dan dari luar dirinya. Ada beberapa hal mendukung remaja untuk melakukan vandalisme, antara lain usia, jenis kelamin,

(19)

status ekonomi dan sosial. Vandalisme dapat menimbulkan dampak yang positiif dan negatif bagi remaja yang melakukannya. Namun bagi lingkungan, vandalisme selalu menimbulkan dampak yang negatif seperti meresahkan dan mengganggu lingungan.

B. Pertanyaan Penelitian

Pertanyaan penelitian merupakan hal yang sangat penting dalam penelitian kualitatif. Pertanyaan penelitian tersebut digunakan untuk mengungkap pengalaman individu yang diteliti, (Milles & Huberman, 2007). Menurut Creswell (2010) pertanyaan penelitian merupakan pertanyaan yang bertujuan mengungkap arti pengalaman individu mengenai sesuatu fenomena yang diteliti. Pertanyaan penelitian dibagi menjadi menjadi dua bagian, yaitu pertanyaan inti (central question) dan pertanyaan tambahan (sub question). Berdasarkan pemaparan di atas maka peneliti menyusun pertanyaan sebagai berikut:

1. Central question:

Bagaimana gambaran motivasi vandalisme pada remaja laki-laki?

2. Sub question:

a. Ceritakan alasan Anda melakukan vandalisme!

b. Apa yang Anda pikirkan ketika melakukan vandalisme? c. Apa yang Anda rasakan ketika melakukan vandalisme?

d. Apa manfaat yang Anda rasakan atau dapatkan ketika Anda melakukan vandalisme?

Referensi

Dokumen terkait

De Cham (Prayitna, 1989 : 11) menjelaskan bahwa individu yang melakukan kegiatan yang didorong oleh motivasi intrinsik, kegiatannya adalah untuk mencapai tujuan yang

Inti teori motivasi fungsional adalah dua prinsip: individu terlibat dalam kegiatan yang bertujuan untuk memenuhi tujuan tertentu dan individu dapat melakukan aktivitas

Berdasarkan pendapat dari beberapa para ahli di atas, maka dapat penulis simpulkan bahwa motivasi intrinsik adalah motivasi yang kuat berasal dari dalam diri

Tujuan hidup memiliki pengertian individu memiliki pemahaman yang jelas akan tujuan dan arah hidupnya, memegang keyakinan bahwa individu mampu mencapai tujuan dalam

a) Self-care agency adalah kemampuan individu dalam melakukan perawatan diri sendiri yang digambarkan sebagai.. pengetahuan, keterampilan, dan motivasi untuk tindakan

Motivasi adalah segala sesuatu yang mendorong sesorang untuk melakukan sesuatu. Motivasi dapat menentukan baik tidaknyadalam mencapai tujuan sehingga semakin

Pendekatan pendidikan sebaya dapat dilakukan melalui metode pelatihan yang bertujuan untuk mengembangkan pengetahuan, sikap dan tindakan seseorang atau kelompok orang..

Motivasi terbentuk dari sikap seorang guru dalam menghadapi situsi kerja. Motivasi merupakan kondisi yang menggerakkan seseorang yang terarah untuk mencapai tujuan