• Tidak ada hasil yang ditemukan

1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "1 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

7

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori Umum.

2.1.1 Rekayasa Perangkat Lunak

Perangkat lunak (Pressman, 2010) adalah sekumpulan instruksi yang mampu mengolah informasi berupa struktur data dan ditunjang dalam jangka panjang oleh Software Engineer atau perekayasa perangkat lunak. Sedangkan Software Engineering (Rekayasa Perangkat lunak) merupakan teknik rekayasa pengembangan piranti lunak dengan menggunakan metode atau tahapan-tahapan pengembangan software untuk menghasilkan sebuah produk software yang berkualitas.

2.1.1.2 Model Proses Prototyping.

Proses pengembangan piranti lunak yang sesuai perlu digunakan sebagai pustaka proses pengerjaan perangkat lunak. Oleh karena itu Prototyping modeling akan menjadi acuan pengembangan perangkat lunak penelitian ini. Dalam tahapannya akan dibagi menjadi 5 framework activity dan berikut ilustrasinya pada gambar 2.1.

Gambar 2.1 Model Proses Prototyping. (Pressman, 2010:44-45)

Model tersebut dipilih dalam penelitian ini karena proses tahapannya sesuai dengan pengerjaan serta pengembangan dari penilitian skripsi yang akan diselesaikan. Sehingga hasil yang diperoleh dapat dikembangkan lebih lanjut.

Roger S. Pressman menguraikan model tersebut menjadi 5 framework activity, meliputi:

(2)

1. Requirements and Analysis. Proses tahapan model prototyping diawali dengan analisa kebutuhan pengguna dan sistem. Tujuannya untuk mengetahui secara mendetail objektivitas yang diinginkan dari proyek penelitian yang akan dikerjakan. 2. Quick Design. Setelah mengetahui Keseluruhan kebutuhan pengguna dan sistem,

lakukan rancangan desain awal yang sederhana dan singkat untuk evaluasi. Hal ini dapat membantu pengembangan model desain secara detail dari rancangan kebutuhan tersebut.

3. Modelling of Quick Design. Tahapan ini merupakan bentuk representasi rancangan desain yang telah di modifikasi berdasarkan evaluasi rancangan desain awal.

4. Construction and Prototype. Tahapan aktivitas ini menggabungkan code generation dan melakukan pengujian yang dibutuhkan untuk mengetahui error yang belum diketahui pada aplikasi yang telah dikerjakan.

5. Deployment. Hasil software (yang telah dikerjakan atau berupa produk evaluasi) dikirimkan kepada pengguna untuk dilakukan uji evaluasi. Tahap pengujian tersebut menghasilkan umpan balik atau feedback dari pengguna untuk sebagai bahan evaluasi software telah dikerjakan.

2.1.1.3 Keuntungan dan Kekurangan Model Prototyping.

Model proses prototyping memiliki keunggulan serta kekurangan dalam permodelannya. Adapun Keuntungan menggunakan model prototyping (Pressman, 2010).

1. Adanya komunikasi yang baik antara pengembang dan pengguna.

2. Pengembang dapat bekerja lebih baik dalam menentukan kebutuhan pelanggan. 3. Pelanggan berperan aktif dalam pengembangan sistem.

4. Penerapan menjadi lebih mudah karena pengguna mengetahui rancangan awal yang sesuai dengan kebutuhannya.

Namun model proses prototyping terdapat beberapa kelemahan (Pressman, 2010) adalah:

1. Proses analisis dan perancangan perangkat lunak memiliki jangka waktu yang singkat.

2. Permodelan proses prototyping yang mengsampingkan alternative pemecahan masalah.

(3)

3. Pengguna yang beragam mampu memiliki kelemahan tersendiri contohnya: tingkat ketelitian penggunaan dan kemampuan pemeliharan. Dua hal tersebut mempengaruhi kualitas yang dirancang dan juga durabilitas dari sebuah software telah dikerjakan.

4. Pengembang dituntut dalam penyelsain pekerjaan yang cepat. Hal ini membuat sebuah software menghasilkan urutan program yang terlalu sederhana.

5. Model proses prototyping kurang fleksibel bila terjadi perubahan. 2.1.2 UML(Unified Model Language).

Unified Model Language adalah sebuah bahasa yang digunakan untuk

memodelkan sebuah sistem, bukan untuk mendesain suatu sistem. Ada beberapa telah dibahas, tetapi yang popular yang berkaitan dengan UML adalah Rational Unified Process. Unified Process mempunyai 4 tahap proses yaitu :

1. Inception – tahap identifikasi sistem yang akan dikembangkan, termasuk apa yang akan menjadi fitur dan kasus bisnisnya.

2. Elaboration – tahapan melengkapi detail desain desain dan mengidentifikasi pondasi dari sistem.

3. Construction – tahapan pembuatan konstruksi sebuah program aplikasi. 4. Transition – tahapan transisi sistem kepada pengguna.

UML memiliki dua bagian utama, yakni Structural Diagrams dan Behavioral Diagrams. Berikut tipe diagram yang terdapat pada Structural Diagrams:

1) Class dan Object Diagram – Class Diagrams digunakan untuk merepresentasikan perbedaan hubungan antar kelas dan subsistem mana yang akan menjadi kelasnya. Sebuah Class Diagram terdiri dari atribut beserta operasi dan begitu pula tipe peran dan hubungannya, dimana dapat diilustrasikan pada gambar 2.2. Sedangkan, Object Diagram memiliki kemiripan dengan Class Diagram, namun diagram obyek tidak akan berhubungan dengan kelas melainkan menunjukkan obyek-obyek yang merupakan instance atau suatu properti yang dimiliki dari sebuah kelas. Pada dasarnya, obyek diagram berhubungan langsung kepada hal-hal yang unik dari individual yang mana kelas lebih generik.

(4)

Gambar 2.2 Ilustrasi dari skema class Diagram.

2) Component dan Deployment Diagrams – sebuah model Deployment Diagram di mana komponen-komponen

Beralih dari pembahasan Structural Diagrams, selanjutnya pembahasan bagian UML yang lain, Behavioral Diagrams. Berikut merupakan uraian penjelasan lima tipe diagram yang masuk dalam kategori Behavioral Diagrams:

1) Use Case Diagrams – mengilustrasikan hubungan antara dua set yakni, use case dan actor. Actor menghubungkan secara berurutan kepada keseluruhan struktur dan ketersediaannya dalam suatu sistem terhadap pembaca non-teknik seperti manajemen dan end-user yang seperti ditunjukkan pada gambar 2.3.

Gambar 2.3 Ilustrasi Use Case Diagram.

2) Activity Diagrams – digunakan untuk menganalisa suatu behavior atau sikap yang lebih kompleks dan memperlihatkan interaksi satu sama lain. Memiliki kemiripan

(5)

dengan Statechart Diagram karena direpresentasikan dalam bentuk Flow atau aliran data. Activity Diagram mampu menjelaskan model aliran kerja (workflow) selama melakukan desain dari use case. Skema ilustrasi dari sebuah Activity Diagram di tunjukkan pada gambar 2.4.

Gambar 2.4 Ilustrasi Activity Diagram.

3) Sequence Diagrams – digunakan untuk memperlihatkan interaksi antar aktor dan obyek-obyek. Bertujuan agar menyadari use case dengan mendokumentasi bagaimana sebuah use case diselesaikan dengan desain sistem yang ada sekarang. Contoh ilustrasi penggunaan Sequence Diagram.

(6)

Gambar 2.5 Ilustrasi Sequence Diagram.

4) Collaboration Diagrams – digunakan untuk merepresentasikan interaksi dan hubungan antar obyek-obyek yang diciptakan pada tahap awal dari domain proses pemodelan.

5) Statecharts Diagrams – digunakan untuk memodelkan behavior atau sikap/sifat dari sebuah subsistem, untuk memodelkan interaksi-interaksi dengan kelas antarmuka sistem, dan untuk mengenal use case.

Pada pengembangan aplikasi yang akan dikerjakan, penulis menggunakan use case diagram, Activity Diagram, Class Diagram dan Sequence Diagram.

2.2 Teori Khusus

2.2.1 Citra Digital

Citra Digital (Fairhurst, M. C., 1993), citra adalah suatu fungsi 2 dimensi, di mana nilai-nilai fungsi tersebut f(x,y) pada koordinat spasial (x,y) di bidang x-y mengartikan sebagai suatu ukuran intensitas cahaya atau kecemerlangan titik tersebut. Adapun nilai-nilai fungsi f(x,y) adalah sekumpulan angka yang mendeskripsikan atribut dari piksel yang didalamnya (Foley, J. D. et all, 1996).

Menurut wolfram Research, inc. (2002), citra digital adalah sinyal diskrit 2 dimensi. Secara matematis, sinyal ini dapat di representasikan sebagai fungsi dari variabel 2 dimensi di mana setiap elemen dari array disebut piksel.

(7)

Pada tahun 2004, Rinaldi Munir menjelaskan bahwa citra merupakan salah satu komponen multimedia memegang peranan sangat penting sebagai bentuk informasi visual. Bila ditinjau dari sudut pandang matematis, citra merupakan fungsi penerus (continue) dan intensitas cahaya pada bidang 2 dimensi.

Citra digital adalah citra kontinu yang diubah dalam bentuk diskrit, baik koordinat ruang maupun intesitas cahayanya. Citra digital dapat dinyatakan dalam bentuk matriks dua dimensi di mana ‘x’ dan ‘y’ merupakan koordinat piksel

dalam matriks dan ‘f’ merupakan derajat intensitas piksel tersebut. Citra digital berbentuk matriks dengan ukuran M x N akan tersusun adalah sebagai berikut.

Gambar 2.6 Ilustrasi komponen matriks.

Fungsi citra dalam mate matis dapat dituliskan sebagai berikut:

Di mana : M = Jumlah baris pada fungsi citra N = Jumlah kolom pada fungsi citra P = Banyaknya skala keabuan (grey level)

Interval (0,P) disebut skala keabuan. Besar P tergantung pada proses digitalisasinya. Untuk citra 8 bit, nilai P sama dengan 28 = 256 warna (derajat keabuan).

Apabila kita dapat mengamati citra digital secara seksama, kita dapat melihat titik-titik yang berbentuk segi empat yang membentuk citra tersebut. Titik-titik ini

(8)

merupaka satuan terkecil dari sebuah citra digital yang disebut sebagai “piksel”, atau “picture element”. (Arymurthy, A. M., Setiawan, S. 1992. Pengantar Pengolahan Citra Digital.)

2.2.2 Computer Vision

Computer Vision adalah studi pengembangan yang menggabungkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dapat mesin seolah-olah dapat berinteraksi. Citra dua dimensi (2D) adalah komponen utama Computer Vision yang nantinya akan menjadi masukan kepada mesin tersebut sehingga informasi-informasi yang terdapat dalam gambar direkonstruksi kedalam gambar 3 dimensi (3D).

Computer Vision (Forsyth, Ponce, 2012) adalah mengekstraksi deskripsi-deskripsi yang ada di dunia melalui gambar atau kejadian berurutan. Pada dasarnya, peranan Computer Vision dalam proses mengekstraksi deskripsi dari sebuah gambar digital tidak lepas dari hasil Image Processing yang dilakukan pada citra digital itu sendiri sehingga didapatlah deskripsi-deskripsi gambar digital yang dibutuhkan.

2.2.3 Pengolahan Citra Digital

Digital Image Processing (Zhou, H., Wu, J. 2010) atau pengolahan citra digital adalah suatu teknologi yang mengaplikasikan urutan-urutan algoritma komputer untuk proses pengolahan citra digital. Hasil keluaran dari suatu proses ini dapat berupa kumpulan set citra yang merepresentasikan karakteristik atau properti dari citra asalnya. Dalam prosesnya, pananganan pengolahan berpusat pada titik-titik yang akan dikomposisi kan berdasakan input citra.

Pengolahan citra digital bertujuan untuk mendapatkan hasil kualitas citra yang lebih baik. Dalam pemrosesan citra, perbaikan kualitas citra dapat dari segi pengurangan derau (noise), pengaturan warna (contrast) dan lain sebagainya. Agar citra yang mengalami penurunan mudah diintepretasikan maka citra tersebut perlu dimanipulasi menjadi citra yang memiliki kualitas yang lebih baik.

Adapun operasi-operasi yang dilakukan di dalam pengolahan citra dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

(9)

Jenis operasi ini bertujuan untuk memperbaiki kualitas citra dengan cara memanipulasi parameter-parameter citra. Dengan operasi ini, cirri-ciri khusus yang terdapat di dalam citra lebih ditonjolkan.

2. Pemugaran citra (image restoration).

Operasi ini bertujuan untuk menghilangkan/meminimumkan cacat pada citra. Tujuan pemugaran citra hampir sama dengan operasi perbaikan citra. Namun, memiliki pembeda di mana, penyebab citra harus mengalami pumagaran ialah dengan degradai citra yang telah diketahui.

3. Pemampatan citra (image compression).

Jenis operasi ini dilakukan agar citra dapat direpresentasikan dalam bentuk yang lebih minimum sehingga penyimpanan memori menjadi lebih optimal. Hal yang perlu diperhatikan dalam pemampatan (image compression) adalah citra yang sudah mengalami compression harus tetap memiliki kualitas citra yang baik.

4. Segmentasi citra (image segmentation).

Jenis operasi ini bertujuan untuk memecah suatu citra ke dalam beberapa segmen dengan suatu kriteria tertentu. Jenis operasi ini berkaitan erat dengan pengenalan pola.

5. Pengolahan citra (image analysis).

Jenis operasi ini bertujuan menghitung besaran kuantitatif dari citra untuk menghasilkan deskripsinya. Operasi ini bekerja dengan cara mengekstraksi cirri-ciri tertentu yang membantu dalam identizfikasi objek sebuah citra.

6. Rekonstruksi citra (image recontruction).

Jenis operasi ini bertujuan untuk membentuk ulang objek dari beberapa citra hasil proyeksi. Operasi rekonstruksi citra banyak digunakan dalam bidang medis.

Secara umum metode-metode yang dipakai pada pengolahan citra digital bisa dilakukan pada dua kawasan (domain) yaitu metode domain frekuensi dan metode domain spasial (Kadir, A. 2013:20), namun penulis akan menggunakan metode domain spasial sebagai pedoman penelitian ini

(10)

Super Resolution atau resolusi berskala super merupakan sebuah metode pengolahan citra dari skala resolusi rendah yang akan direkonstruksi melalui beberapa tahapan algoritma hingga didapatkan citra beresolusi tinggi (Milanfar, P., 2011:11). Metode ini tidak hanya memanfaatkan rekonstruksi tetapi juga proses restorasi citra. Pada proses rekonstruksi, citra dihasilkan dari beberapa sampel. Sedangkan pada proses restorasi, harus memiliki model degrasi lalu membalikkan efek degrasinya pada citra sampelnya (Ardiansyah, L. et all. 2011:2).

Gambar 2.7 Tahapan proses metode Super Resolution.

Analisa rekonstruksi citra untuk observasi dalam rangkaian citra resolusi rendah dapat diformulasikan berdasarkan satu citra resolusi rendah. Dalam matematisnya dapat dijabarkan pada persamaan (1).

(1)

Di mana: = Vektor representasi dari rangkaian citra resolusi rendah.

= Representasi dari citra resolusi tinggi.

(11)

= adaptive Noise menggunakan Gaussian noise.

Di mana merupakan operator konvolusi dua dimensi yang mempresentasikan

proses blurring, ialah operator desimasi. Berdasarkan persamaan (1), formulasi

tersebut dibentuk dari persamaan (2) dan (3).

(2)

(3)

Kedua persamaan tersebut menggabungkan notasi dan di mana,

menyatakan Point Spread Function (PSF) menjadi .

Teknik Super Resolution ini menggabungkan informasi baru dari masing-masing citra resolusi rendah baik itu spasial maupun frekuensinya sehingga kualitas citra menjadi lebih baik. Informasi yang terkandung citra-citra resolusi rendah harus saling melengkapi (komplementer) satu sama lain. Aplikasi dari teknik Super Resolution ini diantaranya adalah kamera pengawas, citra biomedis, dan konversi standar video seperti dari NTSC ke HDTV.

Algoritma sederhana dari metode Super Resolution ialah dengan mengambil sejumlah deret transformasi dari citra skala resolusi rendah dan menggabungkannya hingga didapat citra skala resolusi tinggi. Ada 2 tahapan utama dalam algoritma tersebut yakni, tahapan pertama melakukan registrasi gambar dan tahapan kedua memulai proses rekonstruksi gambar. Selanjutnya, merupakan proses alternatif apabila citra yang didapat masih kurang optimal maka akan dilakukan filterisasi citra hingga menghasilkan citra yang optimal (D’Aprice, 2007:1).

2.2.5 Metode Regularisasi pada Super Resolution

Metode regularisasi melibatkan penambahan informasi untuk mengatasi Ill-posed problem. Dalam statistik dan machine-learning, regularisasi digunakan untuk mencegah over-fitting. Di mana masalah over-fitting menyatakan hasil prediksi yang

(12)

berlebih dari model regresi linear yang digunakan. Regresi linear dapat diilustrasikan berdasarkan gambar grafik dibawah ini.

Gambar 2.8 Grafik contoh linier regresi.

Dalam lingkup metode Super Resolution, penggunaan metode regularisasi sangat berguna untuk mendapatkan solusi partikular berdasarkan Ill-posed problem. Oleh karena itu, regularisasi membantu metode Super Resolution dalam hal mendapatkan hasil penajaman citra bedasarkan tahapan proses interpolasi.

Adapun implementasi dari regularisasi dalam mengurangi derau (noise) dan blur adalah dengan menggunakan formulasi total variation (TV).

(5)

Di mana merupakan operator gradien. Nilai pengukuran pada total varians

sebagai parameter penajaman tepi citra pada proses rekonstruksi. Berdasarkan formulasi total varians maka, dapat disederhanakan dalam penggunaan penelitian ini ialah rumusan Bilateral Total Variation (BTV), di mana dalam implementasinya dapat mempertajam hasil citra yang telah direkonstruksi. Formulasi regularisasi-nya adalah sebagai berikut:

(13)

(6)

Di mana : X = Reprsentasi citra resolusi rendah. = Bobot skalar horisontal dan vertikal.

= Reprsentasi matriks operator horizontal l dan vertical m.

Di mana matriks operator ditunjukkan pada variabel dan

merepresentasikan skala derivative. Bobot skala nya adalah , akan

diaplikasikan untuk memberikan efek pada domain spasial yang memburuk berdasarkan kriteria persyaratan dari fungsi regularisasi.

Berdasarkan persamaan (6), persamaan berikutnya ialah menentukan nilai dari fungsi objektif yaitu melalui persamaan (7).

(7)

Di mana : = Variabel dari serangkaian citra resolusi rendah yang

terdegradasi.

= variabel intuitif dari parameter regularisasi.

= fungsi kriteria menggunakan BTV.

Di mana , merupakan parameter regularisasi untuk menentukan bobot skalar

dan adalah regularisasi cost function. Di mana , dapat di representasi pada

persamaan (6) hingga dicapai kirteria untuk mendapatkan solusi partikular dari model pembangkit Super Resolution. Persamaan (8) akan menunjukkan penggabungan ide-ide dari formulasi regularisasi yang telah dibentuk untuk mencapai kriteria minimasi yang diinginkan.

(14)

(8)

Di mana : X = Representasi Citra resolusi rendah.

= Variabel dari citra resolusi rendah yang terdegrasi.

= Bobot skalar horisontal dan vertikal.

= Reprsentasi matriks operator horizontal l dan vertical m.

2.2.6 Penggunaan metode Steepest Descent pada Super Resolution.

Metode Steepest Descent adalah suatu metode dasar dalam prosedur pencarian nilai minimum dari suatu fungsi beberapa peubah yang terturunkan. Metode Steepest Descent dapat ditunjukkan berdasarkan gambar grafik 2.3 berikut.

Gambar 2.9 Ilustrasi Grafik Steepest Descent Method.

Metode ini digunakan untuk optimasi tanpa kendala maupun optimasi dengan kendala. Pada tugas akhir ini formulasi ideal pada permasalahan Super Resolution ini ialah penurunan berdasarkan kriteria metode regularisasi pada sub bab sebelumnya.

(15)

Dengan menggunakan persamaan (8), maka dapat diformulasikan kedalam persamaan (9).

(9)

Di mana : = Variabel representasi turunan pertama dari degradasi citra.

= Matriks operator turunan pertama.

Di mana , mendefinisikan jumlah bobot langkah dalam kasus penentuan arah

gradient. Sedangkan, merupakan hasil matriks transpose dari dan di

mana, kedua variabel tersebut akan menunjukkan efek kebalikan dari pergeseran 2 arah dari penggunaan kriteria Bilateral Total Varian (BTV).

Mengacu pada permasalahan diatas, untuk mengetahui langkah pokok dari metode Steepest Descent dapat diberikan melalui algoritma berikut ini.

1. Input : titik awal (x1), Toleransi α, vektor awal x0, iteration number k.

2. Langkah pertama : Cari titik minimum fungsi satu variabel. . Dimisalkan minimum pada .

3. Langkah kedua : Set . Jika maka iterasi

dihentikan. Dan jika belum memenuhi kriteria toleransi ( ), ulangi langkah pertama

(16)

Untuk memperjelas metode Steepest Descent diatas, maka akan diberikan contoh penyelesaian dalam mencari solusi minimum. Pada contoh ini penentuan besar langkah dilakukan dengan menggunakan solusi eksak dari optimasi peubahn tunggal, yaitu dengan menggunakan turunan pertama dan turunan kedua.

Contoh 2.2.6 :

Carilah penyelesaian dari masalah:

Diketahui dengan toleransi dan dimulai dari

titik awal . Minimumkan Gradien dari . 1. Iterasi pertama : k = 0

Untuk menentukan x1, ditentukan panjang langkah 0 dari meminimumkan.

,

Maka akan didapat

Jadi

(17)

Jadi bukan titik minimum.

2. Iterasi kedua : k = 1

,

Maka akan didapat

Jadi

Jadi bukan titik minimum.

3. Lakukan hingga iterasi ke 7, di mana k = 6.

Jadi merupakan titik kriteria minimum.

2.2.7 Registrasi Citra

Registrasi citra adalah suatu proses menemukan kembali titik-titik yang bersesuaian antara citra I1 dengan citra I2, di mana citra I2 adalah citra I1 yang mengalami transformasi geometri antara lain: pergeseran (translasi), rotasi, perbesaran (scaling), pembalikan (flipping), dan penarikan (stretching). Pada domain spasial, registrasi citra dilakukan dengan cara mencari nilai, rata-rata, median atau ukuran statistika pada setiap nilai derajat keabuan (grayscale) atau RGB citra (Wijaya, Arya yudhi et all. 2010:2).

(18)

Gambar 2.10 Ilustrasi registrasi citra untuk upsampling citra. (sumber: Farsiu, S. Robinson, M. D. 2004:1331)

Registrasi citra merupakan tahapan penting dalam metode Super Resolution di mana tingkat akurasi hingga sub-pikselnya akan menjadi prasyarat dalam melakukan rekonstruksi citra yang baik. Tingkat akurasi ini akan menentukan pengolahan citra selanjutnya dalam tahapan teknik Super Resolution.

2.2.8 Rekonstruksi Citra

Rekonstruksi citra pada Super Resolution menyatakan proses pembangunan ulang atau penyusunan ulang dari rangkaian citra resolusi rendah sebagai input untuk mendapatkan output berupa citra resolusi tinggi. Pada saat rekonstruksi, nilai pergerakan dari proses registrasi citra berdasarkan proyeksi menuju grid resolusi tinggi. Kemudian, pada proyeksi tersebut akan dilakukan proses perhitungan untuk mendapatkan nilai piksel pada grid resolusi tinggi yang belum diketahui atau menyempurnakan nilai yang sudah diketahui (Briyandi, A. 2011:3). Teknik rekonstruksi citra yang dilakukan pada tugas akhir ini yaitu melalui model formulasi menggunakan metode Steepest Descent. Pembahasan mengenai penggunaan metode Steepest Descent dijabarkan pada pembahasan sub bab 2.2.6.

2.2.9 Filterisasi Citra

Filterisasi citra merupakan operasi dasar dalam pengolahan citra digital. Operasi ini dapat digunakan untuk perbaikan citra, meminimalkan derau, pendeteksian tepi citra dan penajaman citra. Konsep filterisasi citra pertama kali diimplementasikan pada domain frekuensi, di mana pada prosesnya terjadi penolakan sinyal frekuensi saat pengolahan citra berlangsung. Pada domain spasial, filterisasi merupakan operasi

(19)

ketetanggaan dari sebuah piksel citra. Umumnya yang kita ketahui dalam penggunaan teknik spasial filterasi dibedakan menjadi tiga yakni, median filtering, average filtering, Gaussian filtering. (Zhou, H., Wu, J. 2010:27)

Filterisasi pada penilitian ini mengacu pada proses domain spasial. Jadi, teknik filterisasi citra pada domain spasial adalah sebuah proses memanipulasi kumpulan piksel dari sebuah citra untuk menghasilkan citra baru. Pemfilteran pada domain spasial merupakan salah satu alat yang digunakan dalam banyak bidang untuk berbagai aplikasi, khususnya pada bagian peningkatan kualitas citra dan perbaikan citra.

2.2.9.1 Bilateral Filter

Gagasan utama filterasi bilateral pertama kali dikemukakan oleh C. Tomasi dan R. Manduchi, di mana penggunaanya sebagai one-pass filterasi untuk mereduksi derau (noise) sekaligus mampu mempertajam hasil pengolahan citra. Adapun formulasi ditunjukkan pada persamaan dibawah ini.

Di mana : dan = Gaussian functions.

= fungsi dengan koordinat piksel x.

= fungsi dengan koordinat piksel y.

x dan y merupakan koordinat piksel dari fungsi f(x) dan f(y). N(x) adalah order ketetanggaan dari point x. dan adalah fungsi Gauss. merupakan ukuran

kedekatan. Di mana akan mengukur kedekatan geometri antara titik tengah ketetanggaan x dan y. Pada dasarnya filterisasi bilateral menggunakan mekanisme double anisotropic dari domain spasial dan bobot photometric, di mana akan mereduksi derau acak dan mempertajam hasil citra.

(20)

Adapun contoh perbandingan hasil citra yang sudah mengalami filterisasi dengan metode bilateral yaitu seperti ditunjukkan pada gambar 2.11.

Gambar 2.11 Perbedaan citra yang mengalami noise dengan hasil citra setelah proses Bilateral Filtration.

(sumber : Farsiu, S. Robinson, M. D. 2004:1333)

2.2.10 Penilaian Kualitas Citra Dengan PSNR (Peak Signal Noise to Ratio)

Untuk mengetahui bagaimana tingkat kualitas hasil citra yang telah direkonstruksi berdasarkan metode Steepest Descent secara objektif ialah menggunakan perhitungan PSNR. Penilaian ini dilakukan secara objektif agar dapat membandingkan piksel-piksel pada posisi yang sama dari dua citra yang berlainan. Adapun formulasi untuk menentukan rata-rata kuadrat nilai kesalahan antara citra asli dengan citra hasil pengolahan yang ditunjukkan formulasi persamaan berikut.

Keterangan : W = lebar citra H = Tinggi citra

(21)

I(x,y) = Piksel citra original

I’(x,y) = Piksel citra hasil pemrosesan

PSNR adalah nilai perbandingan antara nilai maksimum warna pada citra hasil filterisasi dengan kuantitas gangguan derau (noise), yang dinyatakan dalam satuan decibel (dB). Nilai PSNR dirumuskan sebagai berikut:

Tabel 2.1 Kategori PSNR

PSNR(dB) Picture Quality

60 acceptable noise

50 Good, a small amount of noise but picture quality

good

40 Reasonable, fine grain or snow in the picture, some

fine detail lost 30 Poor Picture with great

deal of noise

20 unusable

2.2.11 OpenCV

OpenCV (Open Computer Vision) adalah program open source berbasiskan C++ yang saat ini banyak digunakan sebagai program computer vision. Dengan penggunan OpenCV kita dapat membuat interaksi manusia dan komputer, contohnya pada

(22)

pengaplikasian plate recognition dan face detection. Fungsi-fungsi pada library openCV memiliki high level maupun low level dalam hal pengolahan citra digital.

Pada struktur library di dalamnya terdapat lebih dari 500 algoritma yang telah dioptimalkan khususnya untuk analisa video dan pengolahan citra. Dan sejak tahun 1999, library tersebut telah dikembangkan hingga kini oleh para peneliti dan pengembang sebagai referensi utama pada bidang aplikasi Computer Vision.

2.3 Makalah Relevan

Freeman et all (2003). Dalam penelitian ini dilakukan uji estimasi pada pengukuran tingkat frekuensi citra SR yang sesuai berdasarkan skala interpolasi yang diinginkan. Namun kekurangannya adalah dalam setiap interpolasi mampu mendapati sebuah kesalahan di mana pencitraan akan tetap blur.

Sina Farsiu et all (2004). Dalam penelitian ini dilakukan uji algoritma Super Resolution pada peningkatan kualitas hasil citra resolusi tinggi. Pengujian ini menggunakan Steepest Descent method, di mana menyajikan hasil rekonstruksi citra yang cukup optimal dengan pendekatan iteratif. Serta perbandingannya dengan penggunaan regularisasi tikhonov.

D’Aprice (2007). Dalam makalah tersebut membahas bagaimana kaidah sederhana dalam implementasi metode Super Resolution. Implementasi sederhana tersebut menjabarkan 4 langkah dalam menerapkan metode Super Resolution yakni: Set observasi citra, registrasi citra, rekonstruksi citra dan peningkatan kualitas citra.

Gambar

Gambar 2.1 Model Proses Prototyping. (Pressman, 2010:44-45)
Gambar 2.3 Ilustrasi Use Case Diagram.
Gambar 2.4 Ilustrasi Activity Diagram.
Gambar 2.5 Ilustrasi Sequence Diagram.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Source: Indonesia Halal Economy & Strategy Roadmap 2018-2019 Domestic Opportunity within $218 billion domestic market in 2017 growing at 5.3% through 2025 Export Opportunity

Untuk menghindari unsur subjektif dalam melakukan penyeleksian penerima beasiswa, maka tujuan dari penelitian ini yaitu menghasilkan suatu aplikasi sistem pendukung keputusan yang

b. untuk level satuan kerja, tim dibentuk dengan anggota dari unit kerja yang secara fungsional menangani ketatalaksanaan internal satuan kerja dan didalamnya termasuk

1) calon anggota Dewan Komisaris atau calon anggota Direksi yang memperoleh predikat Tidak Lulus yang dilarang menjadi PSP atau memiliki saham pada industri perbankan

3) Dalam penyusunan RPJM Daerah ini ditambahkan rancangan program indikatif 1 (satu) tahun ke depan setelah periode RPJM Daerah berakhir. Hal ini adalah

Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa dalam novel Surga Yang Tak Dirindukan karya Asma Nadia, didalamnya terkandung pesan moral yang

Tujuan : Gangguan harga diri teratasi setelah dilakukan tindakan keperawatan Kriteria Hasil : Klien dapat percaya diri dengan keadaan penyakitnya.. Intervensi

Optimasi gambar akan dilakukan dengan menerapkan teknik-teknik yang menjadikan sebuah gambar search engine friendly, diantaranya penggunaan tipe file, dimensi gambar,