• Tidak ada hasil yang ditemukan

matsnawi-1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "matsnawi-1"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAdiuzzaman Said Nursi

BAdiuzzaman Said Nursi

BAdiuzzaman Said Nursi

BAdiuzzaman Said Nursi

BAdiuzzaman Said Nursi

Dari Koleksi Risalah Nur

Dari Koleksi Risalah Nur

Dari Koleksi Risalah Nur

Dari Koleksi Risalah Nur

Dari Koleksi Risalah Nur

A

L

-M

ATSNAWI

AN

-N

URI

Menyibak Misteri Keesaan Ilahi

(2)

Dari Koleksi Risalah Nur

A

L

-M

ATSNAWI AN

-N

URI

Menyibak Misteri Keesaan Ilahi

Oleh

Bediuzzaman Said Nursi

Penerjemah: Fauzi Bahreisy

Editor: Zaprukhan, M.Si Hasbi Sen, M.Hum

Tahqiq: Ihsan Qasim ash-Shalihi

Penerbit :

(3)

Pengantar

EDISI BAHASA ARAB

Bismillahirrahmanirrahim

S

egala puji milik Allah. Salawat dan salam semoga senantiasa tercurah kepada rasul kita Muhammad dan para pengikut-nya. Amma ba’du:

Yang mendorongku untuk menyunting buku ini dalam bentuk tahqiq sederhana semacam ini adalah:

Pertama, karena aku sangat membutuhkan orang yang bisa membimbing dalam memahami berbagai bentuk nafsu ammarah bissû‘; yang bisa menerangkan berbagai jalan masuknya yang halus dan sejumlah intriknya yang samar; yang bisa memberikan obat bagi penyakitnya; serta selanjutnya bisa menuntun menuju sumber-sumber iman dalam taman alam yang luas ini sehingga aku bisa mereguk sesuatu yang dapat menyegarkan kalbu, me-muaskan akal, dan melapangkan jiwa. Dengan kata lain, sengaja aku melakukan penelitian terhadapnya untuk diriku sendiri; sebelum untuk yang lain.

Kedua, karena banyak peneliti dan pemikir yang ingin memahami pokok-pokok pemikiran Ustadz Nursi. Mereka ingin ikut larut dalam relung-relung pengalaman jiwanya, menyertai perjalanan rohaninya ke dalam sejumlah entitas, serta memper-gunakan akal pikir mereka dalam berbagai neraca ilmiah, standar logika, dan pendekatan alamiah yang ia berikan. Oleh sebab itu, aku ingin mengetengahkan untuk mereka tulisan berharga ini

(4)

dari sekian karya Ustadz Nursi di mana ia dianggap sebagai ikh-tisar dari Risalah Nur karena memuat rangkuman pemikirannya. Bahkan, sebagian besar benih pemikiran yang terdapat dalam

Risalah Nur terdapat dalam buku ini.

Mengarungi ombak yang penuh dengan ide, pemikiran, dan persoalan sekaligus mengeluarkan permata berharganya berada di luar kemampuanku. Karena itu, cukuplah bagiku melakukan tahqiq terhadap buku ini agar para pembaca budiman bisa membaca naskahnya secara lengkap sehingga mereka dapat mencurahkan potensi di dalamnya. Semoga Allah Yang Maha-kuasa menghadirkan di antara mereka orang yang bisa melak-sanakan tugas tersebut guna mengisi kekosongan rohani dan pemikiran yang dialami banyak orang. Dengan kata lain, tahqiq ini kukerjakan untuk mereka.

Ketiga, karena setiap muslim, bahkan setiap manusia, dalam lubuk sanubarinya merasa membutuhkan pembinaan rohani, penyucian jiwa, pengembangan akal, dan perluasan cakrawala imajinasi. Oleh sebab itu, ia mencari semua itu dari sejumlah buku. Dalam hal ini aku mempersembahkan buku berharga ini kepada setiap muslim, bahkan kepada setiap manusia, agar bisa menemukan corak baru dan istimewa dalam melakukan penyucian jiwa yang jarang ditemukan di buku lain. Pasalnya, Said Nursi memasukkan pendekatan rasional dan logika lewat sentuhan kalbu dan letupan rohani yang cemerlang dalam bentuk contoh-contoh konkret yang bisa dijangkau setiap orang. Ia menuntun pembaca secara halus menuju celah-celah jiwa seraya menjelaskan sesuatu yang mengantarkan kepada sejumlah kesimpulan yang tidak mengandung keraguan setelah melewati berbagai pengalaman hakiki di bawah petunjuk Alquran. Jadi, lewat tahqiq ini aku ingin menjelaskan sebuah pendekatan Alquran yang istimewa kepada setiap muslim, bahkan kepada setiap manusia.

Namun, sebelum itu semua perlu disadari bahwa amal sekecil apapun yang dilakukan dengan ikhlas karena Allah jauh lebih mulia daripada amal yang tidak ikhlas meski seluas lautan. Karena itu, aku berharap upaya sederhana ini diterima oleh Allah

(5)

sebagai sebuah amal yang tulus karena-Nya. Aku juga berharap kepada-Nya bahwa di masa mendatang ada yang dapat mene-rangkan dan menjelaskan buku ini sehingga manfaatnya bertambah luas dan pahalanya bertambah banyak.

Barangkali ada pertanyaan yang terlintas dalam benak pembaca. Yaitu mengapa Ustadz Nursi menulis risalah ini dengan bahasa Arab padahal mitra bicara beliau tidak pandai berbahasa Arab, apalagi buku-buku Risalah Nur yang lain ditulis dalam bahasa Turki?

Jawabannya, barangkali karena bahasa Arab pada waktu itu (pertengahan tahun 1920-an) dan sebelum alfabet Arab diganti, merupakan bahasa ilmu pengetahuan, meski percakapan yang berlangsung antar anggota masyarakat mempergunakan bahasa Turki.

Di samping itu, risalah yang berbahasa Arab ini pada dasarnya merupakan pokok, kaidah, pedoman, dan neraca yang terambil dari cahaya Alquran. Dengannya, Ustadz Nursi pertama-tama berbicara kepada diri sendiri. Beliau selalu mempergunakan dalil dan argumen sehingga bisa diterima. Beliau lebih menge-tahui bahasa dan tutur katanya. Hal inilah yang menguatkan pandangan kami bahwa Ustadz Nursi telah menuangkan kandungan maknanya serta memperluas dan menyingkap berbagai persoalan tersembunyi di dalamnya pada sejumlah

Risalah Nur yang ditulis dalam bahasa Turki sesudah tahun 1927 M. Ia merupakan risalah yang bermanfaat baik bagi alim ulama, pelajar, orang tua maupun anak muda. Karena itu, ia telah melaksanakan peran yang diharapkan dalam memelihara iman menghadapi gelombang kekufuran dan tiran.

Adapun pertanyaan di seputar pemberian judul buku; yakni mengapa Ustadz Nursi, penulis buku ini memberinya judul “al-Matsnawi” yang dalam syair berupa bait-bait rangkap dua, sementara di sisi lain buku ini bukan kumpulan syair?

Sebagai jawaban bahwa sebenarnya Ustadz Nursi telah memberi judul risalah ini dengan ar-Risalah al-Arabiyyah atau a l-Majmu’ah Arabiyyah. Cetakan edisi pertama diberi nama Qatharât min Fuyûdhât al-Furqân al-Hakîm (tetesan dari curahan Alquran

(6)

yang penuh hikmah). Namun, karena pengaruh dari risalah ini terhadap kalbu, akal, ruh, dan jiwa sama seperti pengaruh yang diberikan oleh al-Matsnawi karya Jalaluddin ar-Rumi yang terkenal dan tersebar luas di tengah-tengah manusia; terutama di Turki, serta karena pengaruh risalah ini dalam memperbaharui iman, mengokohkan kalbu, dan membangkitkan ruh dalam jiwa menyerupai al-Matsnawi karya ar-Rumi, maka Ustadz Nursi memberinya judul al-Matsnawi. Lalu, untuk membedakannya dengan al-Matsnawi karya ar-Rumi yang ditulis dengan bahasa Persia, Ustadz menamakannya dengan al-Matsnawi al-Arabiyy. Selanjutnya, karena risalah ini adalah landasan bagi berbagai

Risalah Nur dan menjadi benih pemikirannya, judulnya ditambah dengan kata an-Nuri. Itulah sebabnya mengapa buku ini berjudul

al-Matsnawi al-Arabiy an-Nuri.

Perlu dijelaskan pula bahwa meski buku ini menghimpun berbagai bentuk gaya bahasa, kiasan, perumpamaan, dan ragam retorika lainnya, setiap pembaca—sehebat apapun rasa bahasa yang dimiliki—akan tertarik dengan kedalaman makna dan keindahan substansinya, melebihi ketertarikannya dengan keindahan struktur dan redaksi yang ada. Pasalnya, kedalaman makna, luasnya pemikiran, serta ketelitian pembahasan yang beliau ungkap membuat pembaca berucap, “Benar.” Perkataan yang fasih dan mendalam akan berpengaruh kepada akal dan jiwa secara bersamaan.

Demikianlah, sebenarnya kita tidak lagi memerlukan pengantar terkait dengan sebab dan masa penulisan buku ini. Pasalnya, Ustadz Nursi telah menuliskan semuanya dalam pendahuluannya yang indah serta di awal setiap risalah. Semoga Allah memberikan taufik kepada kita menuju tujuan yang baik, pemahaman yang tepat, ucapan yang benar, serta amal yang lurus. Salawat dan salam semoga tercurah kepada junjungan kita, Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan para sahabat beliau.

(7)

Sekapur Sirih

MUHAMMAD FETHULLAH GULEN

S

aya sangat bahagia diberi kesempatan untuk menulis catatan tentang al-Matsnawi al-Arabi an-Nuri karya Bediuzzaman Said Nursi. Mempelajari pribadi mulia ini secara komprehensif sekaligus memperkenalkan dan mempersembahkannya kepada seluruh manusia merupakan sebuah keharusan. Pasalnya, Bediuzzaman Said Nursi adalah nomor satu di antara pemikir abad ini yang telah mempersembahkan keyakinan yang diyakini dunia Islam berikut kehidupan spiritual dan standar moralnya yang luas dalam bentuk yang sangat berpengaruh, bersih, tanpa bercampur noda. Mendekatinya atau mendekati pemikirannya lewat sentuhan rasa bukanlah termasuk mengingat beliau dan karyanya. Cara seperti ini tidak akan banyak membantu dalam memahami berbagai persoalan yang ia kemukakan yang telah diperjuangkan sepanjang hayatnya seperti perjuangan para pahlawan. Sepanjang hayat ia adalah sosok yang hidup di bawah naungan kitab suci dan sunnah dan terbang dengan sayap logika dan pengalaman, disertai kedalaman dunia perasaannya dan kalbunya yang bercampur dengan kerinduan kepada Ilahi. Ia senantiasa menjadi sosok yang mempergunakan nalar dan logika. Banyak komentar dan tulisan sampai saat ini yang mene-rangkan tentang ketinggian pemikirannya, tentang pemahaman-nya terhadap kondisi masapemahaman-nya, tentang kesederhanaan dan spirit kemanusiannya yang luas, tentang kesetiaan dan keterikatannya dengan para temannya, tentang sikap menjaga kehormatan,

(8)

tawadhu, zuhud, dan qanaahnya. Kita bisa mengatakan bahwa setiap sifat dari semua sifat yang disebutkan di atas bisa menjadi satu judul buku tersendiri. Ia merupakan sifat-sifat yang menjadi perhatiannya dalam sejumlah bukunya. Kemudian terdapat sejumlah saksi hidup berupa para muridnya yang sempat hidup bersamanya dan mengenali kedalaman dunia spiritualnya.

Meskipun secara lahiriah ia demikian rendah hati dan sangat sederhana, namun ia memiliki pemikiran yang mendalam dan semangat juang yang kuat; satu sosok yang sukar dicari pada-nannya. Ia menampung seluruh problem umat manusia dengan membahas berbagai persoalan yang berkembang, menantang kekufuran dan kesesatan, memproklamirkan perang atas tirani dan kediktatoran, serta rela mengorbankan jiwa demi untuk membelanya dengan sikap yang berani. Kesiapannya menyambut kematian dengan wajah ceria dan senyuman merupakan karakter yang melekat pada dirinya.

Di samping ia merupakan manusia yang memiliki perasaan mulia, dakwahnya senantiasa berpegang kepada kitab suci dan sunnah seraya menyertakan akal dan logika. Karena itu, ada dua sisi yang tampak pada tampilan dan sikapnya:

Di satu sisi ia merupakan pahlawan hati nurani, memiliki cinta mendalam dan semangat serta manusia yang terus-terang. Kemudian sisi kedua merupakan pemikir sebagai pemilik rasio-nalitas yang istimewa yang mendahului para tokoh semasanya lewat sejumlah pandangannya yang tajam dan proyek-proyeknya yang besar. Memahami Said Nursi dan memahami dakwahnya sebagai kelanjutan tokoh-tokoh Islam dari sudut pandang ini mengantarkan kita untuk memahami makna era yang kita jalani. Meskipun sebagian orang mengabaikan hal ini, pada hakikatnya Said Nursi terhitung sebagai pemikir dan penulis masanya yang paling utama. Ia mampu menjadi pemimpin publik sekaligus berbicara atas nama mereka. Namun demikian, ia tidak memiliki sikap ujub dan tidak perhatian dengan tampilan lahiriah. Ia mengerahkan semua upaya untuk tidak terkenal. Karena itu, ucapannya yang berbunyi, “Popularitas adalah sumber sikap riya dan madu beracun yang mematikan kalbu,”

(9)

merupakan salah satu mutiara hikmah di antara sekian hikmah-nya yang terkait dengan hal tersebut. Said Nursi mampu berada di baris terdepan di antara para penulis dan pemikir dalam dunia Islam di abad kedua puluh dan sekarang di seluruh dunia. Buku-buku karyanya dibaca dengan penuh cinta dan kerinduan oleh berbagai kalangan. Selain itu, ia termasuk pribadi bersejarah yang lenyap bersama zaman namun tak bisa dilupakan.

Semua buku dan karya Badiuzzaman Said Nursi adalah hasil upaya pemikiran yang sangat besar dalam menafsirkan dan menelaah berbagai urusan yang perlu ditafsirkan dari sudut pandang era ia dilahirkan. Anda bisa membaca dan mende-ngarkan dalam buku-bukunya sejumlah rintihan penderitaan Anatolia dan dunia Islam berikut suara kabar gembira dan harapan Anatolia dan dunia Islam. Benar bahwa ia dilahirkan di salah satu kampung terpencil di bagian Timur Turki. Hanya saja, ia senantiasa merasa dirinya sebagai orang Anatolia. Ia bisa merasakan apa yang kita rasakan seolah-olah ia merupakan salat satu putra Istambul. Akan tetapi, dalam keseluruhan kondisinya ia memeluk semua negeri yang ada dengan penuh kasih sayang dan ketulusan murni.

Bediuzzaman hidup di satu masa yang filsafat materialisme berkembang luas dan komunisme tersebar ke mana-mana. Itulah masa di mana kayu bakar demikian legam dan kegelapan sangat-lah pekat. Pada masa sulit ini, Badiuzzaman menulis sejumsangat-lah buku dan karyanya dengan menghembuskan spirit harapan dan iman kepada manusia generasi kita yang sedang goyah seraya membimbingnya menuju jalan iman dan asa. Ia menghembuskan ke tengah-tengah masyarakat yang ia kunjungi spirit kebangkitan sesudah mati dan semangat bergerak sesudah jumud.

Dengan ketajaman penglihatannya ia melihat bahwa persoalan terpenting yang harus dipecahkan adalah persoalan anarki yang bersumber dari kekufuran dan atheisme. Karena itu, ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menegaskan penting-nya mengobati pepenting-nyakit ini kepada manusia yang hidup saat ini. Ia mengarahkan upaya yang luar biasa dalam hal ini. Ia sangat sadar dengan tanggung jawab yang berada di pundaknya di

(10)

dunia yang ia temukan sedang tersiksa oleh sejumlah penderitaan akibat krisis dan persoalan kronis. Ketika ia berusaha memikul beban yang enggan dipikul oleh gunung, ia menghadapi semua-nya dengan penuh tawadhu dan malu. Namun ia sangat yakin dan percaya terhadap qudrat Allah yang bersifat mutlak dan kekayaan-Nya yang tidak terbatas.

Ya. Ia telah hidup di masa ketika ilmu dan filsafat menjadi sarana yang mengarahkan manusia kepada sikap atheis; di mana ketika otak manusia dicuci dengan pemikiran komunis. Ketika itu orang yang menyuarakan penentangan terhadapnya akan dibuang dan diasingkan dari satu kota ke kota yang lain dan dari satu negeri ke negeri yang lain. Yang lebih aneh, semua ini dilaku-kan atas nama peradaban dan kemajuan. Bahdilaku-kan pemahaman nihilisme dijadikan alat penyihir dan menarik perhatian, pada saat itulah Badiuzzaman hadir di hadapan kita untuk mem-berikan cahaya ke dalam jiwa kita laksana dokter yang cerdas. Ia memperlihatkan penjara diri kita, rantai ruh kita, kejahatan dan kesalahan kita, serta sikap menawan diri oleh diri sendiri. Ia menebarkan cahaya ke sejumlah sisi manusia yang telah rusak di dalam relung-relung jiwa dan di hati kita. Ia munculkan dalam kalbu ini rasa rindu untuk menggapai kemuliaan. Ia hembuskan di dalamnya denyut kehidupan dan secercah harapan. Sangat jelas di hadapan semua mata bahwa di dalam hati kita terdapat hubungan dan relasi dengan berbagai alam lainnya. Ia berikan kepada kita buah dari madrasah, majelis zikir, dan halaqah ilmu. Ya, pada masa ketika umat menderita akibat kemerosotan dan infiltrasi pemikiran di mana penderitaan sosial menjadi ikatan yang sulit dibuka dan setiap hari terdapat ratusan peristiwa memcemaskan di seluruh pelosok negeri, lalu sejumlah standar dan pemahaman Islam mengalami keruntuhan, dalam kondisi yang gelap dan berat semacam itu, Bediuzzaman Said Nursi berpikir, mencari solusi, dan mendiagnosa penyakit yang ada. Lalu, ia menuliskan resepnya ibarat dokter ahli. Ia melihat gene-rasi yang kelam yang sedang merintih akibat beban cobaan besar yang dilalui semenjak lama. Ia juga melihat bagaimana mereka terjebak dalam lembah kesesatan dan jalan kekufuran. Ketika

(11)

ingin keluar dan mencari selamat, mereka justru terjerumus ke dalam krisis yang lebih buruk dan tenggelam dalam sejumlah persoalan yang lebih rumit. Ia melihat hal tersebut dan merasakan derita generasi di atas. Karena itu ia hidup dengan gejolak jiwa yang terus memikirkan dan mencari sesuatu untuk dipersem-bahkan sebagai solusi alternatif bagi negara dan masyarakat. Ia berupaya mendengarkan kejayaan dan kekayaan lamanya kepada bangsa yang jaya, namun kurang beruntung serta kepada negara yang cemerlang.

Sejak masa Utsmani, Badiuzzaman sudah melakukan perjalanan ke sebagian besar pelosok negeri, mulai dari kota-kita besar hingga ke desa-desa kecil, mulai dari wilayah padat pen-duduk hingga ke daerah-daerah terpencil. Ia melihat kebodohan telah demikian merata di semua tempat dan masyarakat sedang merasakan derita kemiskinan. Mereka berpecah belah di mana yang satu memakan yang lain. Ia betul-betul sedih dengan apa yang dilihatnya. Dan sebagai orang yang memiliki pandangan dan pemikiran tajam ia mulai menangkap tabiat masanya dan memahaminya secara mendalam. Karena itu, ia berusaha menghembuskan spirit ilmu ke tengah-tengah masyarakat ketika itu. Ia memberikan perhatian kepada sejumlah sebab persoalan ekonomi dan faktor yang menyebabkan kemiskinan. Ia mencari sejumlah solusi untuk berbagai hal yang menyebabkan umat terpecah berikut cara mengobati perbedaan di antara mereka. Ia selalu menegaskan pentingnya persatuan dan kesatuan. Ia senantiasa bersama umat. Ia tidak pernah meninggalkan mereka sedikitpun. Pada setiap tempat yang ia pijak ia selalu berkata, “Jika berbagai persoalan yang saling bertautan ini tidak diselesai-kan sekarang, jika luka ini tidak dibalut oleh tangan yang ahli dan mahir, maka penyakit yang kita derita akan menjadi kronis dan sulit disembuhkan. Karena itu, harus ada upaya untuk mendiagnosa berbagai persoalan ilmiah, sosial, dan manajerial ini sekaligus upaya untuk menganalisa seluruh penyakit fisik dan kejiwaan kita untuk mendapatkan resep bagi kesembuhannya. Pasalnya, berbagai persoalan ini harus segera dihentikan, serta sejumlah penyakit yang telah meruntuhkan bangunan,

(12)

meng-ancam eksistensi, menggoyahkan pilar dan pondasi wujud kita harus diakhiri.”

Badiuzzaman melihat bahwa sumber segala keburukan dan penyimpangan ketika itu—sama seperti sekarang—adalah kebo-dohan, kemiskinan, perpecahan. Ya. Kebodohan adalah faktor pertama dari munculnya krisis sosial dan sebab pertama yang menyebabkan keterpurukan umat. Yang kami maksud dengan kebodohan di sini adalah bodoh terhadap Allah, tidak mengenal Nabi saw, tidak peduli terhadap agama, tidak bisa melihat kekuatan materi, moril, dan historis yang kita miliki. Kebodohan semacam ini menjadi musibah dan bencana terbesar yang menimpa kepala kita. Karena itu, Badiuzzaman Said Nursi menghabiskan usianya dalam memerangi virus pembunuh ini. Ia melihat bahwa selama masyarakat tidak dibekali dengan ilmu dan pengetahuan, selama masyarakat tidak dilatih berpikir secara sistematis, serta selama berbagai aliran pemikiran menyimpang tidak diperangi, maka upaya untuk memerdekakan umat akan sia-sia.

Ya. Bukankah kebodohan merupakan sebab terpisahnya alam dari Alquran dan terpisahnya Alquran dari alam?! Kedua-nya terpisah sehingga yang satu menyendiri dalam penjara jiwa yang tidak memahami rahasia wujud serta tidak mengetahui rahasia berbagai kejadian. Sementara yang lain berada dalam kondisi tidak jelas di tangan orang yang paling bodoh yang mencari segala sesuatu pada materi tanpa melihat yang lainnya dan mata mereka buta tak mampu melihat berbagai esensi. Selanjutnya, bukankah kebodohan itulah yang menjadi sebab kemunduran umat di bawah himpitan kefakiran dan kepapahan meskipun buminya sangat subur, sungai-sungainya mengalir deras, demikian pula dengan daratan rendahnya yang kaya? Bukankah kebodohan itulah yang menjadikan kita miskin dan terjerat oleh hutang yang berat padahal kita memiliki berbagai tambang berharga yang belum dieksploitasi di bawah bumi di seluruh pelosok negeri? Selain itu kita memiliki sejumlah sumber kekayaan yang tersimpan di bawah bumi atau yang terdapat di atasnya.

(13)

Ya. Sejak bertahun-tahun bencana yang menghinakan umat ini telah membuat para buruh dan petani kita meski telah mengerahkan seluruh potensi tak mampu mendapatkan imbalan yang semestinya atas upaya mereka. Mereka terus hidup dalam kesusahan dan kesempitan tanpa pernah mengenal kebahagiaan. Di antara akibat dari kebodohan ini dan kemiskinan yang juga bersumber dari kebodohan adalah dalam berbagai sisi kita dihadapkan pada sejumlah tindak kezaliman, kehinaan, dan penyakit. Darah mengalir dan kehormatan direnggut. Namun, di dunia yang tatanan perimbangannya sudah mulai berubah ini, kita gagal membebaskan diri dari cengkeraman perpecahan dan konflik guna menghentikan berbagai dilema dan bencana. Kita tidak bisa memberikan pertolongan kepada dunia Islam. Kita tidak bisa naik ke tingkatan modern untuk memecahkan berbagai problematikanya yang terus berkembang yang bisa menariknya menuju kebinasaan dan kehancuran. Di saat umat berada dalam sejumlah penyakit yang bisa membinasakan, sebagian orang yang jiwanya sedang mabuk dan matanya tercengang oleh kemajuan fisik dan lahiriah bangsa Barat, alih-alih mengisi otak dengan ilmu dan mengisi hati dengan berbagai hakikat agama guna meng-gapai kekayaan materi dan spritual, mereka malah memilih men-campakkan nilai-nilai agama yang merupakan sumber kekuatan kita. Mereka mengekor secara membabi buta sehingga membuat umat ini kehilangan tabiat agama dan ajarannya, kehilangan kesadaran terhadap sejarahnya, serta kehilangan semua kemu-liaan dan keistimewaan akhlaknya. Dalam pandangan saya, jalan ini yang ditujukan untuk menyelamatkan umat merupakan jalan yang keliru sekaligus berbahaya. Ia justru membuka sejumlah luka di dada dan jiwa umat.

Pada kondisi pertama, bertahun-tahun kita hidup di bawah bayangan hantu menakutkan. Sementara, pada kondisi kedua kita telah kehilangan berbagai kemuliaan agama kita, orisinalitas spritual kita, dan sumber kekuatan kita.

Sejak awal hidupnya hingga meninggal dunia di kota Urfa, Badiuzzaman Said Nursi menghadapi dua kelompok tersebut, berikut jalan yang mereka tempuh dan terapi yang mereka

(14)

lakukan. Ia juga melihat akibat buruk yang dihasilkan oleh terapi yang salah tadi. Dengan pisau dokter bedah, ia membuka nanah yang ada, lalu mendiagnosa bencana yang dihasilkan olehnya. Setelah itu ia menunjukkan obat ampuh dan mujarab untuk me-nyelamatkan manusia umat ini dari kemerosotan dan kejatuhan. Badiuzzaman selalu percaya dengan prinsip-prinsip tersebut yang terus ia ulang dengan penuh ketulusan dan kesetiaan.

Memasukkan sejumlah pemikiran baru dan menanamkan-nya dalam ingatan dan pandangan masyarakat merupakan persoalan yang berat dan tugas yang sulit. Sama halnya dengan mencabut pemikiran, prinsip, dan nilai yang diwarisi secara turun-temurun entah salah ataupun benar dari masa lalu yang tertancap kuat dalam masyarakat sehingga mengalir dalam urat darah mereka. Sudah pasti masyarakat akan tetap berada di bawah pengaruh berbagai pemikiran yang diwarisinya dari masa lalu, entah pemikiran tersebut baik atau buruk. Pemikiran dan pandangan itu memainkan peran penting dalam membentuk dan mengarahkan kehidupan sosial dan pribadi mereka. Masyarakat juga akan membenci dan menjauhi semua pemikiran yang bertentangan dengan tradisi ini atau yang tidak sejalan dengan kebiasaan umum. Perasaan dan sikap semacam itu kadangkala keliru. Pasalnya, ketika masyarakat mengadopsi pemikiran yang salah, kebiasaan yang buruk, dan tradisi yang berbahaya lalu pemikiran, kebiasaan, dan tradisi tersebut begitu mengakar dan menyebar ke berbagai sisi kehidupannya, maka seharusnya pemikiran menyimpang ini harus dilawan, diperangi, dibersih-kan, dan disingkirkan dari hati untuk diganti dengan berbagai perilaku yang terpuji agar umat bisa berjalan dengan aman dan penuh percaya diri menghadapi masa depan.

Badiuzzaman Said Nursi telah berada dalam pemikiran ini sejak masih muda. Ia menganggap sikap menyembunyikan hakikat apapun dalam masalah ini betapapun kecilnya merupa-kan bentuk pengkhianatan bagi umat dan generasi penerusnya. Karena itu ia melawan semua pemikiran dan semua pernyataan keliru seraya mengangkat tangan dengan memberi isyarat untuk berhati-hati. Ia berkata, “Berhati-hatilah. Ini merupakan jalan

(15)

buntu!”

Fitrahnya sangat sensitif dalam melawan sesuatu yang bertentangan dengan nilai-nilai agama disertai pandangan yang jauh dan tekad yang tinggi yang hanya dimiliki oleh para ulil azmi. Pemilik hati yang berani sepertinya menjadi diam ber-tentangan dengan tabiatnya ketika menyaksikan keruntuhan umat yang mulia. Karena itu, ia terus mengarahkan pandangan kepada berbagai aib yang kita miliki sebagai umat serta kepada berbagai sebab kehancuran agar umat mau melakukan introspeksi dan mengevaluasi diri. Ia senantiasa mengingatkan sejumlah faktor keruntuhan dan kehancuran sekaligus mem-berikan resep untuk sukses dan selamat tanpa menyembunyikan hakikat yang paling pahit dan tanpa ragu-ragu sedikitpun. Oleh sebab itu, ia melawan berbagai keyakinan keliru dan pemikiran menyimpang serta berjuang sepanjang hidup melawan berbagai rintangan yang menghalangi penyebaran cahaya hakikat.

Pada masa-masa yang pekat itu di mana tidak ada yang berani menyuarakan hakikat agama, ia bangkit membangunkan masyarakat yang ingin dibius dan dibuat tidur. Ia memprok-lamirkan perang atas kebodohan, kemiskinan, dan perpecahan. Ia menghentak berbagai asumsi dan ilusi yang membayangi masyarakat. Di samping memproklamirkan perang terhadap atheisme dan pengingkaran terhadap Tuhan, ia juga meneng-gelamkan berbagai kebatilan dan khurafat serta menutup pintu darinya. Dengan keberanian yang sulit dicari tandingannya, ia mendiagnosa sejumlah problem dan penyakit kronis yang kita rasakan sejak berapa waktu yang lalu seraya memberikan cara penyembuhan darinya.

Orang Arab bilang bahwa “Obat terakhir adalah dengan pembakaran.” Maka ia memberangus dan membakar sikap riya dan berbagai penampilan menipu yang tampak di tengah-tengah kita sejak sekitar dua ratus tahun. Ia menyebutkan hal-hal baru yang bergema dalam jiwa mulai dari para tokoh istana hingga para kerabat di wilayah Timur. Dari mulai mereka yang berposisi sebagai syeikh Islam hingga para pemimpin perang angkatan bersenjata. Ia bisa menarik perhatian semua lapisan masyarakat.

(16)

Sebagaimana tidak ingin tampil dan terkenal, hanya saja sejumlah kondisi mengantarkannya kepada hasil tersebut.

Badiuzzaman Said Nursi mengingatkan semua lapisan masyarakat bahwa pertama-tama mereka harus menghancurkan belenggu jiwa dan pemikirannya sebelum mengeluarkan pedang dari sarungnya untuk berjihad. Ia memberikan kabar gembira kepada para pemuda untuk bangkit. Ia menunjukkan mereka kepada jalan-jalan yang mengantarkan kepada pemikiran Islam. Sudah tidak disangsikan lagi, ia sangat khawatir tanah air ini pecah dari segi geografis. Namun, ia lebih khawatir terhadap faktor-faktor yang bisa menimbulkan berbagai akibat menyakit-kan dari kemunduran pemikiran, kemerosotan jiwa, dan sikap mengekor ke Barat.

Badiuzzaman mengajak untuk membaca, menelaah, berpikir, berusaha, dan bergerak guna menyelamatkan umat dari sulitnya sikap individual sesama serta guna membentuk masya-rakat yang bersih dan sehat dan umat yang kokoh. Ia menekankan sisi pendidikan dan pengajaran yang dipandang sangat penting untuk meningkatkan derajat tanah air menuju puncak yang ia isyaratkan. Maka, ia mengajak untuk mencetak sejumlah buku dan menyebarluaskannya. Mengajak menyebarkan sejumlah pengetahuan dengan segala bentuknya pada setiap tempat. Mengajak untuk menyebarkan pengajaran dan pendidikan. Menurutnya, keterlibatan masjid dan sekolah agama, kamp tentara, penjara, dan seluruh institusi dalam menyokong peng-ajaran dapat mewujudkan kesatuan konsep dan pemikiran. Melalui pendidikan akan tercapai persatuan yang rasional dan logis. Mereka yang tidak bersatu otaknya tidak akan lama persamaannya dalam sebuah perjalanan. Pertama-tama, nurani dan perasaan harus menyatu agar hati dan tangan selanjutnya juga dapat bersatu. Jalan menuju persatuan ini hanya terwujud jika kehidupan sesuai dengan prinsip dan nilai-nilai agama, sesuai dengan kitab dan sunnah, serta sesuai dengan jalan dan ijtihad generasi saleh terdahulu. Sementara berbagai persoalan baru harus ditafsirkan sesuai dengan jangkauan masa kini dan kepentingannya.

(17)

Ya. Manusia harus mengetahui berbagai substansi dan penafsiran yang dihasilkan pada masa kini seraya membangun kedamaian bersamanya. Jika kita berjalan sendiri di saat dunia meniti jalannya ini berarti kematian bagi kita. Siapa yang ingin hidup pada masa kini ia harus menemukan cara yang dengannya ia bisa membangun keselarasan antara arus kehidupan yang ada dan kehendaknya sendiri. Jika tidak, maka upaya untuk melawan arus umum hanya akan mendatangkan kebinasaan.

Andaikan ada ratusan cendekiawan memahami Nursi dan mendukungnya ketika ia sendiri menyebarkan berbagai pesannya di seluruh negeri dengan mereka sebagai pilar penopang pemikirannya, barangkali kita akan menjadi bangsa paling kaya, paling berperadaban, dan paling mampu memecahkan berbagai persoalan yang dihadapi. Selain itu, tentu kita tidak akan meng-hadapi berbagai problem yang ada sekarang. Namun demikian, kita masih memiliki harapan besar. Sebab kita melihat bahwa mereka yang menatap umat yang seolah-olah telah kehilangan jati dirinya sungguh sangat keliru. Benar bahwa kita tertinggal dan lemah seperti bangsa yang lain. Tidak ada yang mengingkari kondisi tersebut. Namun tidak seorangpun pula yang menafikan kemampuan kita untuk bangkit dan kembali maju. Cahaya kebangkitan dan kesadaran telah mulai menyeruak dalam jiwa kita sebagai ganti dari kemalasan. Denyut kehidupan dan vitalitas mulai merasuk ke dalam jiwa yang sebelumnya lemah sebagai akibat dari sikap malas dan cinta dunia. Karena itu, musim semi yang bersinar dan hijau sudah berada di hadapan. Hanya saja, kita membutuhkan tokoh-tokoh semacam Khidir untuk meng-hamparkan sajadah shalat di atas bukit serta semacam Ilyas untuk membentangkan layarnya menuju tempat-tempat yang jauh tanpa rasa takut dan gentar. Badiuzzaman merupakan simbol dalam urusan tersebut.

Ada pepatah berbunyi, “Tidak ada pilihan bagi orang jenius.” Maksudnya, orang jenius tidak bisa berkata, “Saya tidak akan melakukan hal ini.” Orang jenius juga tidak mengeluarkan satu putusan yang berbunyi, “Kita melakukan ini karena ber-manfaat dan tidak melakukan itu karena berbahaya.” Pasalnya,

(18)

orang jenius memiliki anugerah ilahi dan kekuatan tersendiri yang bersifat ladunni berikut rasa rindu yang dengannya ia bisa mengenali semua kebutuhan lahiri dan batini, entah yang bersifat spiritual ataupun sosial. Dengan kekuatan dan potensi yang beragam yang tersimpan dalam jiwanya ia siap memikul beban dan berbagai tugas yang ada. Orang-orang yang mencermati kepribadian Badiuzzaman berikut buku-buku peninggalannya dapat melihat berkumpulnya semua unsur kejeniusan pada dirinya. Dengan melihat dari semenjak masa mudanya ketika ia telah mempersembahkan kepada orang-orang sekitarnya beberapa bukunya yang pertama yang dipandang sebagai tanda kejeniusannya hingga kepada beberapa buku yang ditulis pada usia matang yang ia lalui di pengadilan, penjara, dan tempat pembuangan, pada semua bukunya tersebut kita melihat bagai-mana senantiasa berada di posisi puncak. Ia selalu berbicara sebagai sosok jenius yang memiliki potensi luar biasa.

Kitab al-Matsnawi termasuk buku pertamanya. Karena itu kita menemukan akar-akar pemikirannya di sini. Setiap pemi-kiran yang terdapat dalam buku ini—yang laksana janin, tunas, atau salah satu tetesan pemikirannya yang bersinar—pada masa sesudahnya menjadi sungai yang mengalir, air terjun, kebun yang seluruh sisinya dihiasi bunga mawar, atau seperti hutan yang dipenuhi pepohonan tinggi dengan dahan dan daunnya yang rindang. Ia menggerakkan semua sisi keimanan, pemikiran, dan perasaan yang halus kepada para teman dan koleganya, serta menanamkan rasa takut dan kecemasan kepada para musuh.

Dari tarikan nafas pertamanya yang ia hembuskan ke dalam jiwa kita hingga menggugahnya serta ke dalam kalbu di mana di dalamnya ia menggambarkan sejumlah pengertian baru yang bersinar seraya menggali sejumlah goresan yang terang, kami persembahkan beberapa contoh sebagai satu tetes dari lautan, satu kilau mentari, atau satu jejak dari alam wujud yang meman-tul dalam perasaan kita yang di sana terdengar gemanya:

Hakikat terbesar di dunia dalam pandangan Badiuzzaman dan dalam pandangan setiap pemikir muslim adalah hakikat iman dan hakikat tauhid. Seluruh wujud dalam sistem pemikiran

(19)

Badiuzzaman ibarat alat tenun yang merangkai hakikat tauhid, mengukir berbagai pengertian ilahi sedikit demi sedikit, serta menyusun satu gambar yang indah. Merasakan hakikat yang memiliki substansi komprehensif ini di mana ia menyerap tujuan ilahi dan masuk ke dalam cabang yang paling kecil berikut intepretasinya sesuai makrifat ilahiah merupakan bentuk hakikat tauhid. Ia adalah pemahaman tauhid yang dimiliki masyarakat secara umum sebelum masuk ke dalam detil-detilnya yang mengantarkan kepada keyakinan.

Ya. Tauhid ada dua:

Pertama, tauhid yang bersifat umum yang berbunyi, “Tiada sekutu bagi-Nya. Alam ini merupakan milik-Nya.” Dalam hal ini kelalaian bahkan kesesatan bisa masuk ke dalam pikiran pemiliknya.

Kedua, tauhid hakiki yang berbunyi, “Allah adalah maha esa. Seluruh kerajaan, seluruh alam, dan segala sesuatu merupa-kan milik-Nya.” Pemilik iman semacam ini memiliki akidah yang kokoh yang tidak goyah. Pasalnya ia melihat segel Allah Swt di atas segala sesuatu serta membaca stempelnya di atas dahi segala sesuatu.

Bediuzzaman selanjutnya membahas persoalan ini secara rinci pada kedudukan kedua dari kata kedua puluh. Ia memper-sembahkannya dalam cetakan dan dalam bentuk pelajaran tauhid yang sempurna sehingga memuaskan kebutuhan semua manusia apapun tingkat wawasan dan rasionalitasnya.

Di antara tema terpenting yang menjadi perhatian Badiuzzaman Said Nursi adalah penjelasannya tentang bagaimana iman diposisikan sebagai pamflet yang tersebar dan menjangkau berbagai dimensi hakikat wujud dan manusia. Dengan tatapan iman Ia melihat alam seperti sebuah buku yang bisa dibaca dan pameran yang bisa disaksikan. Sementara manusia merupakan inti dan permata alam ini di mana gerakan entitas berikut keragaman dan perubahannya beralih dari kondisi sia-sia dan mainan kebetulan menjadi tulisan rabbani, lembaran ayat penciptaan, dan cermin nama ilahi. Dengan demikian alam naik dan menjadi buku hikmah Tuhan.

(20)

Lihatlah bagaimana manusia naik dari tingkatan hewani yang lemah, miskin, dan hina menuju puncak khilafah dengan kekuatan kelemahannya, kemampuan kepapahannya, dorongan kefakirannya, kerinduan ketidakberdayaannya, potensi ubudiyahnya, nyala kalbunya, serta simbol keimanan akalnya. Kemudian perhatikan bagaimana sebab-sebab kejatuhan yang berupa kelemahan, kefakiran, dan akal menjadi sebab pening-katan derajatnya.

Masalah ini diterangkan dan diuraikan dalam bagian per-tama dan kedua Kalimat Kedua Puluh Tiga dari Risalah Nur agar sejalan dengan pemahaman dan daya tangkap setiap manusia di berbagai tingkatan.

Badiuzzaman juga melihat bahwa sejumlah persoalan yang terkait dengan hakikat iman meskipun yang satu dan yang lain tampak berbeda—jika dilihat dari beragam sisi—namun ia saling terkait dengan sangat kuat. Ia ibarat beragam sisi dari sebuah hakikat. Ketahuilah bahwa “antara iman kepada Allah, iman kepada Nabi, iman kepada akhirat, pembenaran wujud alam saling terpaut dengan sangat kuat karena adanya keterkaitan di dalamnya antara keberadaan uluhiyah, ketetapan risalah, eksis-tensi akhirat, dan penyaksian entitas tanpa pernah lalai. Dalam periode berbagai Risalah Nur yang demikian kaya kita melihat pada persoalan kesembilan dari kilau kesebelas merupakan bahasan ontentik dan penting di seputar keterkaitan antar rukun iman.

Di antara catatan terpenting yang diberikan oleh Badiuzzaman adalah bahwa siapa yang beraktivitas di bidang filsafat dan sain tanpa membuka jendela diri untuk mengetahui dunia ruh dan kalbu ia hanya akan menjadi virus yang membawa berbagai penyakit. Sementara ia sendiri hanya akan menjadi salah satu tanda penyakit. Bediuzzaman berkata “Saudaraku! Bertam-bahnya penyakit kalbu dan rauh, bertambah pula kecenderungan terhadap ilmu filsafat, sehingga penyakit itu pun tergantung pada kesibukan dalam ilmu rasional. Penyakit maknawi mengantar-kan kepada ilmu-ilmu rasional, sementara ilmu-ilmu rasional melahirkan penyakit kalbu. Kalimat ke tiga puluh dan al-lawami

(21)

mengetengahkan masalah ini dengan gaya yang unik.

Berikut ini adalah analisa dan catatan orisinal dan bernilai lainnya yang dikemukakan oleh Bediuzzaman. Ia berkata bahwa perhatian terhadap sebab termasuk bagian dari tanggung jawab manusia. Hanya saja merupakan sebuah kesesatan yang nyata dan penyimpangan yang sangat jelas jika menganggapnya sebagai pemberi pengaruh hakiki. Setelah memperhatikan sebab maka harus diketahui bahwa hasil yang ada berasal dari sisi Allah Swt.

“Saudaruku! Jika manusia memeluk sebab-sebab dan berpegang padanya, maka terjeremus dalam kehinaan. Engkau bisa melihat anjing yang dikenal memiliki beberapa sifat baik sehingga persahabatan dan kesetiannya menjadi bahan peri-bahasa. Karena itu semestinya ia dianggap hewan yang penuh berkah di tengah-tengah manusia. Alih-alih mendapat berkah, binatang malang tersebut justru dihinakan oleh manusia dengan dikatakan sebagai hewan najis. Padahal, ayam, sapi bahkan kucing, yang tidak pandai berterima kasih dan bersahabat sebagai balasan atas kebaikan manusia, justru dianggap hewan yang mulia dan penuh berkah di antara mereka. karena penyakit tamak anjing demikian perhatian kepada sebab lahiri. Hal itu membuat-nya lupa kepada pemberi nikmat yang sebenarmembuat-nya. Ia sangka perantara memiliki pengaruh utama. Sebagai akibat dari kela-laiannya ia diposisikan sebagai hewan najis. Pukulan penghinaan menjadi penebus kelalaian tersebut.

Sementara, hewan-hewan penuh berkah lainnya tidak mengenal adanya perantara dan tidak begitu memperhatikannya. Kalaupun diperhatikan ia sangat tidak signifikan. Misalnya kucing memelas untuk mendapatkan kebaikan. Jika sudah dapat, ia seolah-olah tidak mengenalmu dan engkaupun tidak menge-nalnya. Ia merasa tidak perlu berterima kasih kepadamu. Namun, ia bersyukur kepada Pemberi nikmat hakiki dengan mengucap, “Wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang, wahai Yang Maha Penyayang,” saja. Pasalnya, fitrah ini mengenal Penciptanya sekaligus menyembahnya baik disadari maupun tidak disadari”.

(22)

Kemudian kita melihatnya membahas masalah ini dari sisi berbeda pada dahan pertama dari kalimat kedua puluh empat. Suatu bahasan yang indah yang mengetengahkan berbagai catatan penting terhadap pemikiran dan perasaan kita.

Di antara topik yang dibahas oleh Ustadz Said Nursi dengan terus-menerus dan penuh perhatian adalah tentang sikap mengikuti sunnah Nabi yang luhur pada seluruh aspek kehi-dupan. Dalam hal ini ia seperti seluruh ulama ahli sunnah wal jamaah. Ia memandang pada pribadi Rasul saw terdapat sosok pembimbing yang tidak tertipu dan tidak menipu. Sementara pada Sunnah Nabi ia melihat satu-satunya jalan menuju kebaha-giaan dunia dan akhirat. Karena itu, ia mengajak kita untuk terus berpegang kepadanya serta menggigitnya dengan geraham.

Ya, setiap perjalanan hidup yang tidak berada di bawah bimbingan Sunnah Nabi sama seperti jatuh ke dalam sungai. Meskipun orang yang jatuh ke dalamnya tampak berenang dan menempuh jarak tertentu, namun sebenarnya ia terus berada dalam tempat yang bisa membinasakan. “Ketahuilah! Dalam perjalananku di kegelapan was-was, aku menyaksikan sunnah-sunnah mulia itu laksana bintang dan lentera. Setiap sunnah-sunnah dan setiap prinsip syariah bersinar seperti matahari di jalan-jalan gelap yang sesat. Dengan menyimpang dari Sunnah, manusia menjadi mainan setan, kendaraan ilusi, dan tunggangan pem-bawa beban seperti gunung.

Aku melihat sunnah-sunnah tersebut laksana tali yang menjulur dari langit. Siapa yang berpegang padanya maka ia akan bisa naik dan bahagia. Sebaliknya, siapa yang menentangnya dan bersandar pada akal seperti orang yang ingin mencapai langit lewat sejumlah menara seperti Firaun. Masalah ini sering dibahas dalam Risalah Nur, terutama catatan ketiga dari Cahaya Kesebelas dikhusukan masalah ini dan ditekankan bahwa jalan sunnah merupakan jalan menuju Allah Swt.

Di antara pandangannya dalam hal yang terkait dengan hubungan kita dengan dunia serta sudut pandang kita kepadanya adalah tidak adanya sesuatu yang mengajak untuk membenci-nya. Bahkan menurutnya ia wajib dicintai lantaran menghadirkan

(23)

sejumlah pondasi bagi tegaknya bangunan cinta tersebut. Yaitu bahwa dunia memiliki tiga sisi: sisi yang menatap kepada nama-nama Allah; sisi yang dunia diposisikan sebagai ladang akhirat. Dua sisi ini cukup baik. Sementara sisi yang ketiga adalah dunia itu sendiri sebagai wilayah beredarnya kecenderungan manusia dan tuntutan hidup yang fana. Memandang kedua aspek pertma dunia merupakan bagaikan sorga maknawi. Sementara aspek ketiga, yaitu wajah kefanaannya, tidak ada nilai pentingnya.”

Setelah beberapa halaman ia membahas topik di atas dari sisi yang lain serta menjelaskannya dengan ungkapan berikut:

“Manfaat dari dunia yang fana ini sangat banyak. Buah dan tujuan kehidupan kembali kepada makhluk hidup sesuai dengan tingkat kepemilikannya terhadap kehidupan dan kekuasaan hakiki di dalamnya. Kemudian semua buah dan tujuan kembali kepada Zat Yang Maha Menghidupkan lewat wujud manifestasi nama-nama-Nya serta dengan memperlihatkan berbagai macam rahmat-Nya di dalam sorganya di kehidupan ukhrawi yang merupakan buah dari benih kehidupan dunia.

Sebagaimana manusia yang ditugaskan memegang dan meletakkan jari-jemarinya di atas perangkat yang menggerakkan kapal besar milik raja tidak mendapatkan manfaat kapal kecuali sebatas hubungan dan pengabdiannya. Bahkan di sana ia berhak mendapatkan satu dari ribuan, sementara sisanya milik Raja.”

Pandangannya yang lain adalah ia berkata bahwa tidak boleh melihat manusia lewat teropong pembesar. Dengan kata lain tidak boleh memberikan kepada siapapun bentuk yang lebih besar daripada hakikat aslinya. Pertama-tama ini merupakan bentuk kezaliman, di samping menjadi langkah pertama bagi paganisme. Seseorang yang meniti langkah pertama ini bisa jadi sesudah itu tidak bisa mundur lagi. “Di antara kezaliman manusia yang paling besar adalah memberikan buah dari upaya bersama kepada seseorang dengan mengira bahwa ia berasal darinya. Dari kezaliman ini lahir syirik yang samar. Sebab, menganggap hasil dari upaya bersama dan jejak dari kehendak mereka hanya bersumber dari satu orang hanya mungkin terwujud dengan asumsi bahwa orang tersebut memiliki kekuatan luar biasa

(24)

hingga sampai pada tingkatan bisa mencipta. Dewa-dewa Yunani dan kaum paganis lahir dari adanya persepsi semacam ini.”

Analisa lain yang ia kemukakan adalah ketika ia berkata bahwa permusuhan kaum kafir terhadap umat Islam berdasarkan pada kekufuran mereka dan berasal sejak fase prasejarah. Karena itu, tidak mungkin bisa membuat rida kaum kafir. Sementara mengambil manfaat dari mereka termasuk kemustahilan. “permusuhan kaum kafir terhadap umat Islam dan ahlul quran sesuai dengan kekufuran mereka. Oleh karena itu Alquran telah menetapkan hukuman mati kepada kaum kafir serta kepada nenek moyang mereka. Kecintaan terhadap kaum kafir yang tidak mungkin mencintai umat Islam merupakan tindakan yang sia-sia. Kecintaan terhadap mereka tanpa ada hasilnya dan tidak mengahrapkan bantuan dari mereka.”

Selanjutnya Badiuzzaman mengungkapkan pandangan ini dalam berbagai tempat dengan berkata bahwa iman merupakan sumber potensi dan kekuatan rahasia. Siapa yang menggenggam sumber tersebut ia mampu mengendalikan alam dan mampu menundukkan segala sesuatu. Ya “Siapa yang menjadi hamba dan pelayan Allah, maka segala sesuatu tunduk padanya. Hal itu direalisasikan dengan kesadaran bahwa segala sesuatu milik-Nya. Dialah yang telah menciptamu dalam bentuk di mana eng-kau diliputi oleh berbagai lingkaran kebutuhan. Dia menyiapkan untukmu dalam lingkaran terkecilnya yang setengah wilayahnya berupa bentangan tanganmu. Dia juga menyiapkan untukmu pada sisanya yang sebagiannya demikian luas seperti jarak antara alam azali dan abadi serta antara bumi dan arasy hanya dengan doa. Dalam Alquran disebutkan, “Katakanlah, ‘Tuhanku tidak mengindahkan kamu andaikan engkau tidak berdoa (beribadah).” Anak kecil menyeru kedua orang tuanya dalam hal yang tidak bisa dijangkau oleh tangannya. Hamba juga berdoa kepada Tuhan dalam hal yang tak kuasa ia lakukan.”

Kebanggaan alam dan penutup para rasul, Muhammad saw, merupakan landasan wujud dan intisarinya. Tidak ada satu tempatpun di alam ini yang kosong dari hakikat cahayanya. Beliau seperti benih biji pohon yang rindang yang berisi sejumlah

(25)

karakteristik pohon tersebut. Cahayanya merupakan pondasi alam wujud dan cermin manifestasi Zat Yang Maha Pertama dan Terakhir. “Ketika engkau melihat alam ini sebagai buku besar engkau melihat cahaya Muhammad saw sebagai tinta dari pena Penulisnya. Ketika engkau melihat alam ini berbentuk pohon, engkau melihat cahaya Muhammad sebagai benih dan kemudian sebagai buahnya. Ketika engkau melihat berbentuk makhluk hidup, engkau melihat cahayanya sebagai ruhnya. Ketika melihat alam sebagai manusia besar, engkau melihat cahayanya sebagai akalnya. Ketika melihat alam sebagai taman yang rimbun engkau melihat cahayanya sebagai burung bul-bulnya. Ketika melihat alam sebagai istana yang indah dan megah yang memiliki sejumlah paviliun di mana tampak padanya kilau kekuasaan Raja Abadi, kerapian manifestasi keindahan-Nya, ukiran kerasi-Nya yang luar biasa, maka engkau melihat cahayanya sebagai pengawas, penyampai dan ahli dekorasi bagi istana megah tersebut.” Landasan ketiga dari kalimat kedua puluh satu serta lanjutan kedua dari kalimat kesepuluh menjelaskan persoalan penting ini secara mendalam dan luas. Ia menjelaskan hal tersebut di hadapan penglihatan dan mata hati kita.

Ustadz Badiuzzaman melihat bahwa esensi tabiat dan manusia memiliki dua sisi: sisi berhala yang menipu dan sisi yang berisi berbagai rahasia yang memantulkan hakikat tak terhingga sekaligus sebagai jejak Penciptanya. Ya, manusia yang memiliki kesiapan maknawi dan potensi ruhani di mana ia mampu berpe-gang pada sudut pandang yang benar menyadari bahwa manusia yang merupakan tenunan dan kreasi indah adalah kitab yang dapat dipahami oleh pembacanya sekaligus merupakan orator yang fasih dan sumber cahaya yang menerangi dan menyingkap apa yang berada di balik tabir. Ia mengemukakan persoalan ini dengan pernyataan berikut yang tampak seperti untaian puisi yang indah:

“Tiga puluh tahun aku berdebat dengan dua toghut: ego yang terdapat dalam diri manusia dan materi yang terdapat di alam. Yang pertama kulihat sebagai cermin bayangan secara tidak sengaja. Namun manusia melihatnya sebagai hakikat dan tujuan

(26)

sehingga menjadi sosok Firaun dan Namrud.

Yang kedua kulihat merupakan kreasi ilahi dan celupan kasih sayang-Nya. Namun, manusia melihatnya dengan pan-dangan kelalaian sehingga materi berubah menjadi Tuhan. Hal itu melahirkan sikap mengingkari nikmat yang mengantarkan kepada kekufuran. Maka, puji syukur kepada Allah, dengan taufik Allah Yang Mahaesa dan dengan limpahan Alquran, perdebatan tersebut berakhir dengan terbunuhnya dua toghut dan kehancuran dua berhala.”

Pada masa penyempurnaan Risalah Nur kami melihat per-soalan yang mengandung banyak rahasia tersebut diterangkan secara rinci dan luas pada tujuan pertama dari kalimat ketiga puluh. Demikian pula pada cahaya kedua puluh tiga. Di sana ia menghancurkan pilar pemikiran naturalis sekaligus mencabut dari akar-akarnya.

Dalam untaian pemikiran Badiuzzaman kita mengetahui bahwa dosa dan maksiat menurutnya merupakan pembimbing dan penunjuk jalan kekufuran. Pada keadaan di mana dosa dan maksiat banyak dilakukan layar pemikiran menuju kepada kefasikan dan bahaya mengitari iman. Ya “di dalam substansi maksiat—terutama ketika terus berlangsung—terdapat benih kekufuran. Pasalnya maksiat melahirkan kondisi bersahabat dengannya. Bahkan ia menjadi penyakit yang obatnya berupa maksiat itu sendiri. Sehingga ia sulit ditinggalkan. Pelakunya berharap tidak adanya hukuman atas dosanya dan secara tidak disadari mencari sesuatu yang bisa menjadi dalil ketiadaan siksa. Kondisi ini terus berlangsung hingga mengarah kepada sikap mengingkari siksa dan menyanggah adanya neraka.”

Pada masa ketika karya-karyanya meluar dan berkembang kita menemukan persoalan di atas pada bagian pertama dari cahaya kedua di mana ia berkata bahwa maksiat membentuk perangkap dan jendela menuju kekufuran. Ia merupakan pandangan yang benar-benar orisinal.

Menggeluti Alquran dan mendalami maknanya merupakan kesibukan yang mengisi pemikiran sisik cemerlang ini. Mulai dari

(27)

al-Kalimât, terutama kalimat kedua puluh lima, kita melihat ia menghirup Alquran pada setiap kata lalu memberikan penafsiran baru, orisinal, dan mendalam terhadapnya. Setelah itu, ia memaparkan berbagai pengertian ilahi yang turun ke tingkatan manusia ini kepada para peneliti dan kalbu yang sedang haus akan hakikat. Ia menggugah nurani kita dengan berbagai pe-mikiran emasnya yang memantulkan ketinggian makna tersebut ke puncak tingkatan manusia. “Alquran Ia menggabungkan antara kehalusan yang tinggi, keselamatan yang unggul, solidaritas di antara ayat-ayat bagaikan bangunan yang kokoh, keselarasan yang mantap, kerjasama antar kalimat dan bentuk-nya, serta kesesuaian antar ayat dan tujuannya dengan kesaksian ilmu bayan dan semantik. Padahal, ia turun dalam kurun waktu dua puluh tahun secara bertahap sesuai dengan kebutuhan dengan sedikit demi sedikit namun selaras seolah-olah turun dalam waktu sekaligus. Selain itu, ia turun dengan sebab yang berbeda-beda namun tetap saling menguatkan seolah-olah sebabnya hanya satu. Ia datang sebagai jawaban atas berbagai persoalan yang berulang dan beragam namun tetap padu dan menyatu seolah-olah pertanyaannya satu. Ia menjadi penjelasan bagi berbagai peristiwa hukum yang bermacam-macam, namun demikian teratur seolah-olah peristiwanya satu. Ia turun berisi berbagai karunia ilahi dalam sejumlah gaya bahasa yang sesuai dengan pemahaman mitra bicara. Terutama, ia turun kepada Nabi saw dengan beragam kondisi namun tetap sangat mirip dan indah seolah-olah kondisinya sama. Ia datang dengan berbicara kepada berbagai lapisan manusia, namun penjelasannya tetap mudah, fasih, dan jelas seolah-olah mitra bicaranya satu sehingga setiap lapisan mengira dirinyalah yang sebenarnya dituju. Ia datang untuk memberikan hidayah dan untuk mengantarkan kepada berbagai tujuan petunjuk secara bertahap, namun tetap sangat lurus, rapi, dan seimbang seolah-olah tujuannya satu. Tujuan yang ada berkutat pada empat hal berikut:

Yaitu tauhid, kenabian, kebangkitan di mahsyar, dan keadilan. Dengan dipenuhi oleh kandungan tauhid, ia menjadi selaras, padu, teratur, dan menyatu. Siapa yang memiliki mata

(28)

hati ia akan menemukan di dalam Alquran sebuah mata untuk melihat semua alam laksana lembaran yang terlihat jelas. Ia datang secara berulang-ulang untuk menegaskan dan meng-aktualisasikan sejumlah kisah dan hukum. Namun demikian, pengulangannya tidak membuat bosan serta tidak menghilang-kan cita rasanya. Setiap kali diulang, ia semakin tegas dan nyata. Bahkan, apa yang diulang membuat indah dan menyenangkan. Kesturi yang disebarkan berulang-ulang menjadikan harumnya menyebar ke mana-mana. Setiap kali dihadirkan ia semakin nikmat selama engkau memiliki cita rasa yang sehat, dengan kalbu yang tidak sakit. Rahasianya adalah karena ia merupakan makanan dan nutrisi kalbu, serta kekuatan dan obat bagi ruh. Makanan tersebut tidak membosankan meski berulang-ulang. Orang yang sudah terbiasa akan merasa nyaman dan nikmat. Hal ini berbeda dengan canda yang menyenangkan ketika baru muncul, namun akan membosankan kalau diulang berkali-kali.” Analisa tentang topik ini pada kata kedua puluh lima demikian menarik dan menyihir. Apabila di sini ia merupakan tetesan, maka di sana ia menjadi lautan yang luas. Apa yang di sini berupa tumbuhan kecil di sana ia menjadi hutan yang lebat. Setelah peringatan singkat ini dalam al-Matsnawi pada beberapa halaman selanjutnya kita melihatnya mengupas sebuah topik Alquran dengan sangat menarik secara ringkas.

“Ketahuilah bahwa apabila engkau memperhatikan Alquran bungkuslah setiap suaranya yang beragam dalam memberikan petunjuk serta yang tercelup oleh perantara dari mulai Jibril hingga kepada orang yang kau dengar dengan sesuatu yang sesuai.

Lewat mendengar dari seorang qari (pembaca) yang berada dalam majlismu, engkau bisa meneruskan untuk mendengar dari Nabi saw yang membacakannya saat berada dalam puncak kenabian di majlis bumi kepada penduduknya; manusia dan makhluk yang lain.

Engkau juga bisa mendengar dari Jibril ketika sedang berbicara dengan Nabi di ufuk yang paling tinggi.

(29)

dari Sang Pembicara azali, ketika Dia berbicara dengan Nabi saw sejarak dua busur atau lebih dekat lagi. Jika mampu, pakai dan bungkuslah sesuatu lewat yang sesuai dengannya.”

Buku al-Matsnawi pada hakikatnya dianggap sebagai galeri bagi berbagai topik persoalan yang luas dan agung sekaligus merupakan indeks baginya. Dari satu persoalan bisa disusun sebuah buku tersendiri. Berbagai persoalan yang ia bahas pada tahap selanjutnya ia jelaskan dan ia rinci dalam berbagai Risalah Nur pada berbagai bagiannya.

Betapa penting dan agung berbagai hakikat yang ia bahas secara singkat dengan judul “bunga”. Kemudian ia masukkan hakikat tersebut dalam Risalah Nur.

Risalah “partikel” laksana tunas kecil untuk bertakwa dan beramal saleh. Di sana terdapat jawaban atas berbagai keinginan dan perasaan duniawi kita. Pemikiran tauhid juga dihembuskan ke dalam otak kita serta iman yang komprehensif dihamparkan ke hadapan seluruh mata.

Sementara risalah “semerbak” menggugah hati seperti sentuhan halus. Dijelaskan di dalamnya bahwa kekayaan ayat-ayat Allah dan kedalaman maknanya tidak bisa dikomparasikan dengan syair. Ia membahas sejumlah tujuan penciptaan organ manusia dengan menyingkap sejumlah tabir dan melenyapkan “perasaan biasa” yang mengeruhkan dan melemahkan mata hati. Pada risalah yang kesepuluh Badiuzzaman manuntun kita menuju kaki makna qada, qadar, dan anugerah ilahi agar kalbu kita dapat merasakan berbagai pengertian dan rahasia ayat Alquran. Dari sana ia menemukan pengantar untuk menge-tengahkan kepada pencari kebenaran saat ini sebuah jalan berbeda guna mengantarnya menuju Tuhan. Di samping menerangkan hal tersebut ia juga mengarahkan perhatian kita kepada cakrawala kefakiran dan ketidakberdayaan kita. Dua langkah berikutnya dan dengan judul yang lain ia menggugah kesadaran kita bahwa manusia dalam proses penciptaannya berbeda dengan seluruh makhluk hidup lainnya. Ia menegaskan dan mengingatkan manusia merupakan indeks seluruh alam wujud. Karena itu, kita melihatnya kembali kepada sejumlah doa

(30)

yang pada masa selanjutnya ia kaji dalam Koleksi Risalah Nur selama berkali-kali. Ia membuka celah pintu-pintu rahasia untuk menerima berbagai doa sehingga menggugah hati dan rasa rindu kita untuk bermunajat. Pada tempat lain kita melihat Badiuzzaman menegakkan keseimbangan antara “mengungkap nikmat” dan “sombong.”

Dengan judul “obor” kita berkelana bersamanya dalam berbagai pengertian lafal Allah yang demikian luas di mana ia merupakan nama-Nya. Ia menghentak kalbu kita untuk menge-nali cita rasa lain yang belum pernah kita cicipi sebelumnya.

Lalu dengan cepat ia membuka alinea di seputar doa. Ia mengingatkan para pembaca bahwa memenuhi berbagai tugas agama dengan tekad yang tinggi terhitung sebagai doa. Setelah itu ia kembali mengarahkan perhatian kepada urgensi tanah serta bagaimana dunia diposisikan sebagai jantung alam. Ia mengakhiri uraiannya setelah itu dengan menjelaskan hadist yang berbunyi, “Jarak terdekat hamba dengan Tuhan adalah ketika ia bersujud.” Dengan judul “titik” Ustadz Badiuzzaman menambahkan petunjuk nurani manusia—yang ia pandang sebagai titik temu antara alam gaib dan alam nyata—kepada tiga petunjuk utama di seputar zat ilahi yang banyak dibahas dalam Risalah Nur. Dengan itu ia membuka celah pada satu bab yang diulas oleh banyak pemikir serta ahli tasawwuf ketika sedang meniti jalan suluk.

Ia menegaskan kemustahilan adanya perkembangan (teori evolusi). Dari awal ia sudah menjelaskan bahwa adanya sejumlah lompatan tidak bisa menjelaskan sesuatu dan tidak cukup bagi adanya evolusi. Hal itu telah disampaikan sejak awal sebelum banyak orang menyadari hakikat ini. Ia menjelaskan bahwa makhluk hidup mustahil berpindah dari satu spesies ke spesies lain. Karena itu, secara umum dan mutlak ia menyatakan “tidak” kepada teori evolusi dengan bersandar kepada landasan pemikiran yang benar.

Berbagai upaya Ustadz Ihsan Qasim ash-Shalihi yang patut diapresiasi dalam menyiapkan cetakan al-Matsnawi yang ber-bahasa Arab di samping menerjemahkan sejumlah Koleksi

(31)

Risalah Nur sungguh sangat mulia. Tentu saja hal tersebut jauh lebih baik daripada pendahuluan semacam ini yang telah kami edit dan masih tidak terlepas dari aib dan kekurangan.

Sebenarnya upaya Ustadz Ihsan yang penuh berkah tidak terbatas pada satu bagian dari Koleksi Risalah Nur. Namun juga meliputi seluruh Risalah Nur. Seyogyanya setiap persoalan yang dibahas oleh berbagai risalah ini menjadi topik disertasi yang memperhatikan seluruh landasan ilmiah yang terdapat dalam berbagai tingkatan akademik Barat. Hal ini penting dari sisi kemunculan nilai yang sebenarnya dari Risalah Nur pada tataran akademis. Demikian pula dari sisi keberadaannya sebagai upaya pada level usaha yang dikeluarkan Ustadz Ihsan Qasim.

Benar bahwa sejumlah kolega kami yang masih muda telah mempersembahkan sejumlah studi, proposal magister dan doktoral di seputar Risalah Nur. Namun, semuanya masih belum cukup untuk memberikan nilai yang sebenarnya terhadap tokoh besar itu lewat pemunculan tingkat pemikirannya yang tinggi. Yang kami harapkan adalah pendirian sebuah lembaga yang dapat melaksanakan tugas penting ini dalam waktu dekat.

(32)
(33)

Pengantar

EDISI BAHASA INDONESIA

Prof. Dr. Andi Faisal Bakti

S

aid Nursi adalah salah seorang intelektual Muslim modern dan orisinil yang pernah muncul di abad 20. Namun demikian, dia tidak begitu dikenal di Asia Tenggara, di mana penganut Islam terbesar di dunia, paling tidak hingga awal abad 21 ini. Berbeda dari Zia Gokalp dan Mustafa Kemal yang lebih familiar di telinga orang Melayu, Said Nursi hanya dikenal oleh segelintir sarjana di belahan dunia bagian selatan yang berpen-duduk mayoritas Muslim, seperti Indonesia. Ketidakpopuleran itu, mungkin disebabkan karena buku dan karya Said Nursi hanya dibaca di kalangan terbatas dan tertentu oleh mahasiswa dan masyarakat Islam sekitar Turki.

Atau mungkin juga karena pelajar dan mahasiswa Asia Tenggara lebih terobsesi dengan karya-karya pembaharu seperti Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Ahmad Khan, Muhamad Iqbal, Muhammad Ali Jinnah, Abu Kalam Azad, dan juga seperti Kemal Attaturk. Boleh jadi karena para penulis ini memang lebih merupakan aktivis politik praktis, selain sebagai ulama, sementara untuk Said Nursi yang lebih menonjol pada dirinya adalah keulamaannya. Nursi sekali-pun juga dijebloskan ke dalam penjara, tetapi bukan karena dia melakukan gerakan aktivisme politik besar-besaran. Namun lebih kepada seorang tawanan perang. Ataukah, pada perkembangan

(34)

berikutnya, lebih kepada kemampuannya menarik massa, yang dikuatirkan dapat disulut dengan mudah bila ada unsur-unsur tertentu yang dapat dipolitisir, sehingga dia harus diasingkan dari massanya.

Mungkin juga ketidak populeran Said Nursi di Dunia Melayu karena memang tulisan dan karya Said Nursi belum di-ekspose ke luar negeri Turki, yang memang sepanjang hidupnya lebih banyak berada dalam penjara, paling tidak di paruh pertama abad ke 20, sehingga pemikirannya hanya dibaca di kalangan murid dan pengikut dekatnya. Jadi pada periode ini, karyanya masih konsumsi domestik. Itu pun hanya di kalangan pencinta bacaan keagamaan, karena Turki di bawah kekuasaan Kemal Attaturk sudah menjadi sekuler, sehingga buku-buku agama hanya berputar di sekitar kaum agamis saja yang membacanya secara diam-diam dalam perpustakaan pribadi mereka. Menyebarkannya kepada dunia luar masih merupakan upaya sekunder. Upaya seperti ini dapat saja dianggap berbahaya bagi keselamatan jiwa Said Nursi yang masih dalam tahanan.

Tentu saja pengasingan dan penjara ini, selama lebih dari dua dekade, kemudian menjadi semacam blessing in disguise

(mempunyai hikmah dan manfaat yang tak terduga) bagi umat Islam, karena dia kemudian mempunyai waktu banyak dan luang untuk menuliskan pikiran-pikirannya, tentang berbagai hal. Terutama sekali mengenai dekadensi moral manusia ketika bersentuhan dengan modernisme. Nursi kemudian sangat kritis bukan hanya kepada umat Islam, tetapi juga kepada Barat, yang dinilainya sangat sekuler, materialistis, individualistis, hedonis, yang menafikan soal spiritualitas. Umat Islam juga menurutnya sudah mulai terjangkiti penyakit ini.

Said Nursi menganggap bahwa aspek materi, sains dan teknologi itu jelas sangat diperlukan oleh umat manusia. Bahkan aspek itu harus dikembangkan terus. Namun dia menekankan bahwa aspek bendawi semata bukanlah satu-satunya tujuan hidup. Bahkan benda itu hanyalah alat untuk mencapai tujuan hidup sesungguhnya, yaitu pengabdian kepada Sang Khaliq, Pencipta alam kebendaan ini. Dengan demikian spiritualitas dan

(35)

materialitas saling membutuhkan, demi keselamatan manusia di dunia dan akhirat.

Dalam konteks ini, Said Nursi telah menumpahkan buah pikirannya ke dalam lembaran-lembaran masterpiecenya (Risalah Nur) yang jumlahnya lebih dari 6000 halaman. Nursi yang telah berhasil menguasai ilmu bantu seperti Bahasa Arab, dan Persia, dengan mudah mendalami ilmu agama Islam yang memang sudah cukup kaya dalam kahazanah intelektualitas umat Islam. Dia juga belajar ilmu-ilmu umum dan eksakta, sehingga dia sangat fasih dalam Ilmu Fisika, Biologi, dan Matematika. Sayang, karyanya yang berkaitan dengan ilmu-ilmu yang terakhir ini tidak sempat dia tuliskan hingga akhir hayatnya. Tetapi karyanya mengenai pentingnya peningkatan dan pengembangan peradaban Islam boleh dikata cukup komprehensif. Bahkan, oleh karena ilmu eksakta yang pernah dia geluti itu, cukup membantu-nya dalam membuat analisis yang sangat tajam, serta argumentasi yang rasional dan mudah dicerna.

Kecuali soal Fiqh/Hukum Islam, yang menurutnya telah diselesaikan dengan apik dan lengkap oleh para pendiri madzhab, baik Sunni maupun Syia, dan baginya tak ada lagi yang tak tersentuh, Nursi memusatkan perhatiannya pada aspek Teologi, Filsafat, Kalam, Tasawuf, Politik, Sosial, dan Ekonomi. Terutama sekali mengenai peningkatan akhlak dan peradaban manusia. Dia juga amat kritis terhadap pendapat kaum filosof dan ahli kalam Muslim sebelumnya, yang baginya perlu pelu-rusan sehingga tidak membuat umat Islam tersesat. Nursi juga menantang teori evolusi, yang baginya sebuah teori yang berdasar pada kausalitas, yang sama sekali tidak bisa dipertanggungjawab-kan, karena berarti telah melawan konsep kreativitas Tuhan atas segala sesuatunya, satu per satu. Baginya kausalitas itu hanyalah yang tampak saja, tetapi pada hakikatnya benda itu masing-masing tercipta dan berdiri sendiri mengabdi kepada Tuhan.

Karya Said Nursi adalah dalam bentuk excegesis atau tafsir Qur’an, namun dia tidak lakukan secara runtut ayat per ayat. Dia konstruksi sendiri elaborasi dan ulasannya berdasarkan alur berfikir yang dibangunnya sendiri. Dia juga tidak mengulas

(36)

semua ayat dalam al-Qur’an, tetapi hanya mengutipnya sebagai

supporting ideas (pendukung ide) atas argumentasi yang dike-mukakannya. Hanya kurang lebih 1500 ayat yang dia gunakan sebagai alat argumentasi dalam meyakinkan pembacanya menerima ide-idenya. Risalah Nur menjadikan Al-Qur’an sebagai sumber utamanya, di samping hadits dan sunnah Nabi SAW. Salah satu tujuannya adalah mempertahankan kebenaran Islam dan menjaga ajarannya agar tidak terkontaminasi dengan unsur kemusyrikan. Terutama sekali agar umat Islam tidak terpengaruh dengan kilau dan gemerlap materi tanpa nafas tauhid. Karena itu, kitab tafsir ini meletakkan fondasi dan menegakkan bangunan komunitas Islam (ummatul Islam).

Demikianlah, maka buku yang ada di tangan Anda ini: Al-Matsnawi merupakan rangkuman/summary/ikhtisar dari beberapa karya besar Nursi. Inti sari dari buku ini meliputi rukun iman: Keesaan Allah (tauhid), malaikat, rasul-rasulnya, kitab-kitabnya, hari akhirat, dan takdir baik dan buruk. Selain itu, buku ini juga menjelaskan tentang penyakit kalbu (jiwa), seperti ujub, putus asa, angkuh, dan buruk sangka (su’uzzan). Lebih jauh lagi, buku ini juga menguraikan dengan penuh analogi rasional mengenai manusia dan hakikatnya, yang dilihatnya bahwa alam ini sebagai pohon, dan manusialah sebagai buahnya.

Selain membahas tentang kitab-kitab dan wahyu Allah sebelumnya, Nursi juga lebih khusus, bahkan beberapa bab, yang membahas tentang keluarbiasaan Al-Qur’an. Dia mengemukakan bahwa betapa Al-Qur’an itu merupakan mukjizat tertinggi Nabi Muhammad SAW, terutama bila ditilik dari segi balaghah, ma’ani, kefasihan, badi’, susunanuslub, dan munasabahnya. Buku terjemahan yang ada di tangan pembaca ini juga mengelaborasi soal hikmah dan makna di balik banyaknya pengulangan kata, kalimat, dan ide dalam al-Qur’an. Dia katakan, bahwa selain sebagai pelajaran, al-Qur’an juga sebagai alat zikir. Semakin banyak membaca ayat yang sama (diulang) itu, semakin tinggi nilai zikirnya di mata Allah SWT. Tasbih dan zikir dalam konteks ini menurut Said Nursi mempunyai makna yang sangat kokoh sekali bagi penguatan aqidah manusia. Wirid ‘Subhanallah,’

(37)

‘Alhamdulillah’ dan ‘Allah Akbar,’ adalah pengakuan atas kebe-saran Allah SWT dan perhambaan manusia kepadaNya, yang pada gilirannya itu semua merupakan ibadah kepada Allah SWT. Dalam penjelasannya mengenai tauhid, Said Nursi me-ngaitkannya dengan empat bukti kekuasaan dan keesaan Allah SWT, yaitu: 1. Alam semesta yang sangat teratur ini, tiap ciptaan sebesar atom pun dan sebesar galaksi pun semuanya berjalan dengan penuh ketaatan, dan tentu berdasarkan kadar dan upaya berencana Sang Pencipta satu demi satu; 2. Diutusnya Rasulullah SAW juga merupakan indikasi luar biasa atas keesaan dan kekuasaan Allah SWT, betapa kasih sayang Allah SWT tercurah kepada manusia, sehingga Rasulullah SAW, yang berasal dari jenis manusia juga, diutus menjadi rahmat bagi sekalian alam, sekaligus sebagai penyampai risalah yang mudah dipahami oleh manusia; 3. Selain itu, Al-Qur’an juga adalah suatu bukti yang tak terbantahkan mengenai eksistensi Tuhan yang maha Pencipta dan Maha Mengetahui, karena Al-Qur’an mencakup informasi yang tak mungkin diberikan oleh manusia biasa. Akhirnya, dia tutup dengan aspek asbtrak dan mendalam, namun tak dapat dinafikan bukti kebesaran Allah SWT atas diri manusia, yaitu hati nurani manusia.

Said Nursi juga menjelaskan secara panjang lebar soal kesesatan dan kebahagiaan, baik dalam hidup ini maupun nanti di akhirat. Orang yang tersesat berarti telah gagal dalam mema-hami ayat-ayat Allah SWT yang terpampang di depan mata, baik yang sifatnya qawliyah (terucap dan tertulis), maupun yang

kawniyah (yang terdampar dalam wujud alam ini). Namun, ada juga orang yang tercerahkan (enlighted) dan mendapat petunjuk menuju kepada jalan lurus (the straight path/al-sirat al-mustaqim)

dan mendapatkan kebahagiaan. Mereka inilah yang berhasil membaca ke dua kitab Allah SWT itu, dengan akalnya dan hati nuraninya, yang melahirkan iman dan taqwa.

Buku al-Matsnawi ini juga sangat kritis terhadap praktik kehidupan orang Barat, yang dinilainya sesat dan jauh dari jalan lurus. Barat terlalu banyak bertumpu pada soal keduniaan, dan meninggalkan soal keakhiratan. Padahal, akhirat itu merupakan

(38)

kelanjutan dari dunia ini. Di sanalah manusia mempertanggung-jawabkan perbuatannya yang dilakukan selama hidup di dunia ini. Barat yang tadinya dibangun atas nilai-nilai spiritualitas wahyu, namun pada perkembangannya meninggalkan ajaran itu, dan membangun di atas fondasi yang rapuh dan centang perenang, karena sepi dari dimensi spiritualitas. Bagi Nursi, Barat itu ada dua macam: 1. Barat yang rajin, tekun, kreatif, inovatif, kerja keras demi mencapai dunia ini. 2. Barat yang acuh tak acuh, tidak peduli, lalai, dari soal ketuhanan. Namun Nursi, sengaja tidak mengelaborasi lebih jauh soal Barat yang pertama ini, karena baginya hal itu sudah mafhum bagi kebanyakan manusia. Alih-alih, dia berkali-kali mengeritiknya habis-habisan, agar tradisi Barat model ke dua ini tidak menjadi kecenderungan manusia seluruhnya, termasuk Timur dan Dunia Islam. Dia menantang Barat agar mau membaca risalahnya, agar dapat terhindar dari kesesatan (misleading) yang sudah sangat terstruktur mengitari hidup mereka.

Akhirnya, sebagai penutup, kita perlu menyambut baik terjemahan versi Indonesia buku al-Matsnawi ini. Buku ini dapat menjadi langkah awal bagi para pembaca yang ingin mengeta-hui pemikiran Said Nursi. Dan pada giliranya pemikikiran Said Nursi juga dapat berkembang di tengah-tengah masyarakat Dunia Melayu. Namun, buku ini, karena memang masih bersifat rangkuman, belumlah cukup untuk memahami Said Nursi secara utuh. Oleh karena itu, terjemahan Indonesia atas semua seri Risaah Nur, tentunya sangat dinanti-nantikan oleh masyarakat Indonesia, yang sudah mulai gandrung dengan kitab-kitab yang me-ngandung aspek baru, makna dan interpretasi baru atas ilmu keislaman, namun tetap mempertahankan khazanah dan tradisi Islam yang utuh. Kombinasi unsur tradisional dan modern, tasawuf dan filsafat, kalam dan teologi, membuat karya Said Nursi ini selalu segar untuk dibaca dan ditelaah.

(39)

DAFTAR ISI

Pengantar Editor Bahasa Arab ... iii

Sekapur Sirih: Muhammad Fethullah Gulen ... vii

Pengantar Edisi Bahasa Indonesia ... xxxiii

Daftar Isi ... xxxix

Pendahuluan Penulis ... 1

Risalah Pertama: Cahaya Mentari Tauhid ... 9

Risalah Kedua: Percikan Lautan Makrifat Nabi Saw. ... 27

Risalah Ketiga: Lasiyyama ... 61

Risalah Keempat: Setetes Lautan Tauhid ... 85

Bab Pertama: Lâ ilâha illallâh ... 91

Bab Kedua: Subhânallâh (Mahasuci Allah) ... 123

Bab Ketiga: Alhamdulillâh (Segala Puji Milik Allah) ... 125

Bab Keempat: Allâhu Akbar (Allah Maha Besar) ... 129

Lanjutan Setetes Lautan Tauhid ... 159

Risalah Kelima: Butir Lautan Alquran Yang Penuh Hikmah ... 171

Surat Untuk Dewan Perwakilan Rakyat ... 201

Risalah Keenam: Benih Biji Buah Taman Alquran ... 221

Lanjutan Benih ... 247

Lanjutan dari Lanjutan ... 263

Risalah Ketujuh: Bunga Taman Alquran Yang Penuh Hikmah ... 275

Lanjutan Bunga ... 307

Risalah Kedelapan: Benih Kilau Petunjuk Alquran ... 323

Risalah Kesembilan: Semerbak Hembusan Petunjuk Alquran ... 353

(40)

Risalah Kesepuluh: Bagian Ketiga Semerbak Hembusan Petunjuk

Alquran ... 375

Risalah Kesebelas: Obor Cahaya Mentari Alquran ... 451

Lanjutan Obor ... 489

Risalah Kedua Belas: Titik Cahaya Makrifatullah ... 493

Petunjuk Pertama: Hakikat Muhammad saw. ... 495

Petunjuk kedua: Kitab Alam ... 495

Petunjuk Ketiga: Alquran yang Penuh Hikmah ... 502

Petunjuk Keempat: Nurani Manusia ... 506

Referensi

Dokumen terkait

a) Maaf dan pengampunan (forgiveness). Menyadari kemampuan untuk menggunakan sumber dan kekuatan dalam diri sendiri seperti marah, mengingkari, rasa bersalah, malu,

Observasi kelas juga dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh gambaran mengenai kondisi siswa dan proses belajar mengajar di kelas, sehingga apabila pada saatnya

26 Muhammad Abgari Properti Sukardi, Israr & Rekan 27 Muhammad Adlan Properti Muhammad Adlan & Rekan 28 Muhammad Agus Properti Satria Iskandar Setiawan dan Rekan 29

Desain eksterior New Honda Brio semakin stylish dengan berbagai penambahan detail baru, memberikan Kamu gaya berkendara lebih percaya diri dan penampilan yang semakin trendi..

[r]

Hasil penelitian pada setiap komponen dalam evaluasi pembelajaran menunjukkan bahwa: (1) Kurikulum memberikan arahan dan referensi dengan adanya otonomi dan fleksibilitas

Penelitian ini dirancang dalam lima tahap, yaitu: (1) Studi kinerja manajemen industri komponen alat berat terkait dengan produktivitas sumberdaya manusia dalam