• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adian Husaini - Hermeneutika dan Tafsir al-Qur'an

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Adian Husaini - Hermeneutika dan Tafsir al-Qur'an"

Copied!
107
0
0

Teks penuh

(1)

ADIAN

HUSAI~I, M.A.

(2)

ABDURRAHMAN AL-BAGHDADI

lahir di Lebanon, 1 Ramadhan

1373/21 Mei 1953. Tahun 1984-1991 ditugaskan di Indonesia sebagai Dosen Bahasa Arab di Lembaga Ilmu Pengetahuan Islarn dan Bahasa Arab

(L1PIA) dan dosen di Fakultas Syariah dl Universitas Ibnu Khaldun

~ (UIKA) Bogar. Pada 1992-2000 sebagai Dasen IIrnu Tafsir dan Hadlts

di Akadernl Dakwah Islam Aththahiriyah (ADIA), Jakarta dan tahun 2000-2002 rnenjadl Penasihat Badan Arbitrase Muamalat Indonesia

(BAMUI), Jakarta. Sejak 2002 hlngga 2006 dlperbantukan untuk Sekolah Tinggl

Ilmu Manajemen Hidayatullah, Jakarta sebagal dosen bahasa Arab,

Tafslr, Hadits, dan Flqlh di berbagai lembaga pendidikan Hldayatullah. Tahun 2006-sekarang sebagai dosen

dl Ma'had Ali Pesantren Husnayaln dan STIE Husnayaln, Clracas,

Jakarta.

Karya-karyanya dalam bahasa Arab lebih darl tlga puluh judul, sedangkan dalam bahasa Indonesia yang sudah diterbitkan leblh darl tujuh bel as

judul, dl antaranya: Beberapa

Pandangan Mengenai Penafsiran AI-Qur'an; Dakwah dan Masa Depan Umat; dan Engkau Rasul Panutan Kami. Penerblt Gema Insani telah

menerbitkan berbagal karyanya, antara lain: Emansipasi Adakah

Dalam Islam; Islam Bangkitlah; dan Seni dalam Pandangan Islam. la klnl

sedang menyelesaikan Kamus Bahasa Arab-Indonesla-Inggris yang

juga akan dlterbitkan Gema Insani dalam waktu dekat.

(3)

HERMENEUTlKA

&

Tafsir

(4)

HERMENEUTlKA

&

Tafsir

AI-Ourlan

ADIAN HUSAINI,

M.A.

ABDURRAHMANAL-BAGHDADI

GEMAINSANI

(5)

Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT) BUSAlNI, Adian

Hermeneutika &Tafsir AI-Qur'an; penulis, Adian Husaini, Abdur-rahman aI-Baghdadi; penyunting, Budi Permadi; --eel. 1.- Jakarta: Gema Insani,2007.

xiv, 90 hlm. ; 18,3 em. ISBN 978-979-077-019-5

I. Pemikiran II. Husaini, Adian III. AI-Baghdadi, Abdurrahman Pasal2

(1) Hak cip!a merupakan hak eksklusif bagi penciptaatau pemegang Hak Cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasan menucut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasal 72

(1) Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) atau pasal 49 ayat 9 (1) dan ayat (2) dlpldana dengan pidana penjara masing-masing paling slngkat 1 (satu) bulan danl atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

(2) Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasH pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

UU No. 19 Tahun 2002

HERMENEUTIKA & TAFSIR AL-QUR' AN Penulis

Adian Husaini, M.A. Abdurrahman al-Baghdadi Penyunting

Budi Permadi

Perwajahan isi&penata letak Imam Sobari &Jatmiko Desain sampul

Syakirah Penerbit

GEMA INSANI

Depok: J1.Ir. H. Juanda, Depok 16418

Telp. (021) 7708891, 7708892,7708893 Fax. (021) 7708894 http://www.gemainsani.eo.id e-mail: gipnet@indosat.net.id Layanan SMS: 0815 86 86 86 86

Jakarta: J1. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740 Telp. (021) 7984391, 7984392, 7988593 Fax. (021) 7984388 Anggota IKAPI

(6)

Daftar Isi

PENGANTAR PENERB1T Vll

PENGANTAR IX

DAMPAK HERMENEUTIKA TERHADAP

AL-QUR' AN 1

• Dari Tradisi Kristen 1

• Apa 1tu Hermeneutika? 7

• Dampak Hermeneutika 17

I. Rt'lalivismc Tnfsir 17

2. Curign dDn Mencerca Ulamcdslam 27

3. Dekonstruksi Konscp Wah.yu 31

• Penutup 42

CARA MENAFS1RKAN AL-QUR' AN 45

• Perbedaan antara Tafsir dan Takwil 45

• Cara Menafsirkan AI-Qur'an 49

• Sumber-Sumber Tafsir 74

(7)

Pengantar Penerbit

(f\

'L.J

alam menafsirkandituntut menguasai beberapa eabang ilmu lmtukAI-Qur' an, seorang mufasir dt1pat menafsirkan sesuai kaidah tafsir Islam. Ia tidak rncmiliki kewenangan untuk menafsirkan, bila ia tidak mcmiliki kapasitas yang eukup untuk menjadi seorang mufasir. Metodologi tafsir yang digunakan pun hams suai tunhman Rasulullah saw., para sahabat, tabi'in, "",rta para ulama yang mumpuni. Dengan kata lain, nwrcktl-Iah rujukan utama kita.

Narnuo, akhir-akhir ini, kita-umat Islam-dikejut-kan oleh berbagai maeam serangan arus pemikiran liberal, baik yang dilakukan oleh orienta lis mauplm orang-orang Islam yang terpengaruh pemikiran Barat. Dalam ilmu tafsir, dimuneulkanlah ilmu hermeneutika. Ilmu yang mula-mula diterapkan dalam menafsirkan Bibel ini, dipaksakan untuk dapat diterapkan dalam me-nafsirkan berbagai kitab suei, temtama AI-Qur'an.

Dalam buku ini, pf.mulis memaparkan bagaimana kita seharusnya menyikapi "serangan" ini. Penulis juga menyampaikan seberapa jauh metode tafsir

(8)

neutika menjangikiti pemikiran umat Islam. Tidak hanya itu, penulis juga memaparkan apa saja "kesalah-an y"kesalah-ang dipaksak"kesalah-an" hermeneutika dalam menafsirk"kesalah-an AI-Qur'an. Tak lupa, juga dijelaskan metodologi apa yang sesuai tlmtunan Islam dala:m menafsirkan AI-Qur'an. Semuanya dipaparkan dengan argumentasi yang tajam, akurat, dan obyektif.

(9)

Pengantar

(I)

J

erpres No.11j1960 tentang Pembentukanmenyebutkan: lAIN, Mcnimbang: a. Bahwa sesuai dengan Piagam

I>jllka rta tcrtanggal22 Djuni 1945yang mendjiwai dan I11crupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tcrsebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pen-d ipen-dikan tenaga ahli Agama Islam gun a keperluan

PCl11crintahan dan masjarakat dipandang perlu untuk

11H.'l1gndrlknn Tnstilut Agama Islam Negeri.

1111 pada pasal 2 Pcrpres tersebut disebutkan,

"IAIN tcrsebut bermaksud lmtuk memberi peng-adjaran tinggi dan mendjadi pusat untuk memper-kembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan

tentang Agama Islam."

Pada bagian Pendjelasan atas Perpres No. 11 Tahun

1960 tentang Pembentukan lAIN disebutkan, bahwa "Pada waktu Pemerinta,h Republik Indonesia berpusat di Jogjakarta, maka Jogjakarta sebagai penghargaan dari Pcmerintah didjadikan Kota Universitas. Pada golongan

(10)

Nasional diberikan Universitas Gadjah Mada jang pada waktu itu adalah us aha swasta, kemudian didjadikan Universitas Negeri (Peraturan Pemerintah No. 37 tahun 1950). Pada golongan Ummat Islam diberikanPerguru-an Tinggi Agama Islam (PeraturdiberikanPerguru-an Pemerintah No. 34 tahun 1950L jang diambilnja dari Fakultas Agama Universitas Islam Indonesia."

Para tokoh pejuang Islam Indonesia telah lama me-mandang pentingnya kedudukan dan tugas satu per-guruan tinggi Islam, sehingga mereka berusaha mem-bentuk perguruan tinggi Islam di Indonesia. Dari kampus ini tentu diharapkan lahir para cendekiawan Muslim yang akan melanjutkan perjuangan Islam di Indonesia. Karena itu, keberadaan kampus-kampus Islam tiqak bisa dipisahkan misinya dari gerak dina-mika perjuangan Islam. Sebab, selain faktor historisnya, dari kampus ini juga diharapkan akan lahir para cendekiawan atau ulama yang tangguh dalam memper-juangkan Islam.

Karena itu, adalah tidak sewajamya, jika dari kam-pus ini dibiarkan saja munculnya berbagai pemikiran dan aktivitas yang justru bertentangan dengan niat dan tujuan pembenhlkan kampus ini sejak semula. Tidaklah patut, misalnya, kampus Islam meluluskan sarjana-sarjana syariah yang justru aktivitasnya menghancur-kan syariat Islam. Tidaklah patut, kampus Islam me-luluskan sarjana ushuluddin, yang pemikirannya jelas-jelas menyerang kesucian dan keotentikan AI-Qur'an. Kampus Islam juga tidak selayaknya membiarkan para

(11)

d()~WliI1Y:'lSl'(':1r;l Il'I"buka menyerang Islam atau Il1cnginjak-inJak I<itab Sud AI-Qur'an. Dan sebagai-nyn. Ill!adn I:lh idealnya, sesuai denganniat dan tujuan p('ndirilln kt11npllS,-kampusIslam.

".llllpus-kampus Islam kini makin bertambah jllllll;lhnyn. Mahasiswanya pun juga bertambah. Na-111(111, Lnntangannya pun juga tidak bertambah ringan. I)i samping serbuan arus komersialiasi pendidikan, ka rcna kecilnya tanggung jawab pemerintah, masalah yang lehih berat yang dihadapi para akademisi Muslim di pcrguruan tinggi ialah besarnya serbuan pemikiran

IIMilt kc dalam studi dan pemikiran Islam. Masalah ini

,,('Ill:

I

kin bcra t sejalan dengan semakin berjubelnya ribu-.In alumni pusat-pusat Shldi Islam di Barat yang kini mcmcgang posisi-posi~i penting sebagai dosen dan tcnaga peneliti di kampus-kampus berlabel Islam. Misi orkntnlismc Barat

tclahsemakinmenunjukkankesuk-Vl1dnnYddi Indol1csin.

'.II.1bsnlll lunlanglll1 bcrat dalam bidang kcjlmuan Islam saal inj adalah masuknya hcrmcncutika dalam bidang Shldi tafsir AI-Qur'an. Sejumlah kampus Islam yang besar· telah menetapkan hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan tafsir dan hadits dan d isosialisasikan ke berbagai jurusan lainnya. Jelas, ilrnu penafsiran yag berasal dari tradisi di luar Islam ini, dullmya tidak dikenal oleh para ulama Islam. Jika ilrnu ini diajarkan, tentu ada maksudnya, yaitu ingin meng-gantikan atau menempelkan pada ilmu tafsir yang -Itlluaini dikenal oleh kaum Muslimin. Masalah peng-Pengantar - xi

(12)

ambilan metodologi asing, apalagi bermaksud hendak menggantikan ilmu tafsir Al-Qur'an, tentu bukanlah masalah sepele. Ini masalah yang sangat serius, yang seha'rusnya dikaji secara mendalam dan didiskusikan dengan para ulama dan cendekiawan Muslim lainnya, sebelum hermeneutika dijadikan mata kuliah wajib.

Apalagi, sudah terbukti, bahwa para pengaplikasi hermeneutika modern untuk penafsiran Al-Qur'an, seperti Fazlur Rahman, Nasr Hamid Abu Zaid, Moham-med Arkoun, Amina Wadud, dan sebagainya, telah me-munculkan banyak kontroversi di dunia Islam. Sayang sekali, para akademisi Muslim di UIN jIAIN dan sebagainya yang gandrung untuk menerapkan herme-neutika kurang peka dengan masalah ini, dan seperti sengaja membuat arus besar dalam liberalisasi Islam melalui penerapan hermeneutika dalam penafsiran Al-Qur'an. Dengan hermeneutika, dan menempatkan Islam dalam konteks sejarah, memang akan banyak aspek ajaran Islam yang dianggap out of date yang dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai Barat modern. Dengan cara inilah, Islam akan mudah diubah-ubah dan dicocok-cocokkan dengan realitas zaman, yang belum tentu kebenarannya. Dengan hermeneutika, tidak ada lagi ajaran agama Islam yang dipandang sakral dan tetap.

Kritik terhadap penerapan hermeneutika untuk Al-Qur'an sudah banyak diberikan. Majalah ISLAMIA yang diterbitkan oleh Institute for the Study of Islamic Thought and Civilization (INSISTS) telah beberapa kali

(13)

Ilwmual knji,'11It'l1l11nghcrmeneutika. Sayasendiri telah IlWI1111il-jHL'jllmlnhnrLikcl dan menerbitkan buku yang 1ll('lllh.\lwH((·ntong hcnneneutika. Rekan saya, Adnin

A rmnH, jll!',.1 It'lnh menerbitkan buku yang sangat 1li'l'lllllltl ~wc"ra akademis, berjudul Metodologi Bibel

tll/llIllI SllIdi AI-Qur'an: Kajian Kritis yang juga mengkritik Ill'II('I'''pan hermeneutika untuk AI-Qur' an.

Buku kedl yang ada di tangan pembaca ini adalah Halu ringkasan dan rangkuman dari berbagai tulisan ynng pernah saya tulis di berbagai buku, makalah, dan nrli kcI media massa. Buku ini saya tulis setelah adanya 1ll'l'lllintnan dari berbagai pihak untuk menerbitkan I'ilml,lh ring kas ten tang hermeneutika agar lebih mudah dipl1hami oleh para ustad, mubalig, dan kaum

Mus-limin pada umumnya. Sangat diharapkan, para pem-bncn bisa lebih mendalami masalah ini melalui buku .\Ilg Hayn lulis sebelumnya, yaitu Wajah Peradaban

/1,/1',11 ;1)1/1'; IIt'S/'l/lOlIi Kristell ke Dominasi Sekular-Liberal ( :11'::l,()()h)d.IIlIII'8('/lJ()II; Kr;Htell-Bnrnt dalam Studi Islam

di Pe/:r.:Urtlllll '/'iIl88;

(ell':

2006).

Unluk melengkapi risalah ini, saya juga meminta iJl;inkepada Ustad Abdurrahman aI-Baghdadi untuk mengedit dan menerbitkan kembali sebagian tulisannya It'ntangTafsir AI-Qur'an dalam bukunya Beberapa

Pan-dangan Mengenai Penafsiran Al-Qur'an yang pernah

diterbitkanPT al-Ma'arifBandung, tahun 1988.Tulisan itu sangatlah penting vntuk memberikan gambaran "ingkat tentang "keunikan" metode penafsiran

AI-ur'an, yang kini mendapat tantangan bam, bempa Pengantar - xiii

(14)

metode penafsiran hermeneutika.

Ustad Abdurrahman al-Baghdadi-kini sebagai dosen di Pesantren Tinggi Husnayain Jakarta-adalah sedikit di antara ulama yang mendalam keilmuan Islanmya dan sangat aktif menulis berbagai buku dan makalah-makalah keislaman. Berbagai buku yang telah ditulisnya memmjukkan kedalaman ilmlmya tentang Islam. Setiap Jumat malam ia mengajar Kitab AhkamuZ

Qur'an ZiZ-Imam asy-Syafi'i, di Pesantren Tinggi

Hus-nayam.

Semoga penerbitan buku kecil ini membawa manfaat besar dalam pengembangan tradisi keilmuan Islam di Indonesia. Terima kasih kepada semua pihak yang telah menduktmg penerbitan buku ini; kritik dan saran sangat kami harapkan. Jazakumullahu khairan katsira.

Depok, 10 Ramadhan 1427 H/3 Oktober 2006,

Adian Husaini

(15)

I )•.

ul1pak Hermeneutika

t.erhadap AI-Qur'an*

Oleh: Adian Husaini, M.A.

Dar1 ll'adisi Kristen

Ikbcrapa Perguruan Tinggi Islam-seperti

Univer-.,11.lH Islam Negeri (UIN) Jakarta, Universitas Islam

Nt'gcri'(UIN) 'Bandlmg, dan Universitas Islam Negeri

(I) IN)Yogyn knrla, dan scbagainya-kini telah menetap-1',,1111II'IIIl\'lwtilik.,H('bl1gni mata kulian wajib diJurusan '1;111111'Il"dilil. 11,,11":111,Illcnunil scjumlah akadc1l1isi di

IN IC'l'lcnLu,IlerlllcnCllLik::l bisa dikatakan sebagai ml1zhab rcsmi kampus mcrcka, karcna kuatnya pe-ngn ruh. pctinggi kampus yang mempromosikan paham

ir"li. Para mahasiswa diarahkan untuk menulis skripsi/ 1~\Hisdcngan menggunakan metode hermeneutika, dan

IHlkan dengan ilmu tafsir klasik.

• Paparan lebih jauh tentang,hermeneutika dan dampaknya terhadap

jli'nli kiran Islam bisa dilihat dala'm tulisan penulis di buku Wajal1

Peradab-II/I 11"1'111:Oari Hegemoni Kristen ke Oominasi Sekulal'-Liberal (GlP, 2005), dan

1II',~I'/lIt)//iKristen-Barat dalam Studi Islam di Perguruan Tinggi (GIP, 2006).

(16)

Pada 14 November 2006, Litbang Departemen Agama memaparkan hasil penelitiannya tentang per-kembangan paham-paham liberal keagamaan di se-jumlah kota besar di Indonesia. Salah satu yang diteliti

adalah paham Islam Liberal di Kota Yogyakarta, khu-susnya di lingkungan Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta. Hasilnya sungguh mencengangkan. Pada bagian "Memaknai teks Al-Qur' an dan al-Hadits secara liberal dengan mengutamakan semangat religio etik," dipaparkan bagaimana pandangan Islam Liberal ter-hadap Al-Qur'an.

"Al-Qur'an bukan lagi dianggap sebagai wahyu sud dari Allah swt. kepada Muhammad saw., me-lainkan merupakan produk budaya (muntaj tsaqafi)

sebagaimana yang digulirkan oleh Nasr Hamid Abu Zaid. Metode tafsir yang digunakan adalah herme-neutika, karena metode tafsir konvensional dianggap sudah tidak sesuai dengan zaman. Amin Abdullah mengatakan bahwa sebagian tafsir dan ilmu pe-nafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini di-anggap telah melanggengkan status quo dan kemerosotan umat Islam secara moral, politik, dan budaya. Hermeneutika kini sudah menjadi kuri-kulum resmi di UIN/IA.IN/STAIN seluruh Indonesia. Bahkan, di perguruan tinggi Islam di Nusantara ini hermeneutika makin digemari." Metode hermeneutika diambil untuk mengganti-kan-atau konon katanya unhlk melengkapi-metode 2 - Hermeneutika &Tafsir AI-Qur'an

(17)

l;tlllll 11.11411AI <..llll''-UlYdllgsclama ratusan tahlm tclah Iil·I'II.lIII.IIIIIIII'/.11Ik,IIII)(lra ulama dalammenafsirkan

I (JIII"lIl!.UIN l.tI.lI'l.lll1isalnya,dalamkurikulumnya, IIII'IH:IIIIII,:IIIhlll,w,I llljuan pengajaran hermeneutika

11I1.i111 II;'I)',III~IIMIIIIII~iswn dnpat menjelaskan dan

menerap-/1111/ /1/11// 11/'/'III('IIC'lItikn dan Semiotika terhadap kajian

Al-"111'1/11 tltlll J!netits."

M. Amin Abdullah, rektor UIN Yogyakarta dikenal .lllg,ll gigih dan rajin dalam memperjuangkan peng-!',llIlUanhermcncutika dalam penafsiran AI-Qur'an. Ia 1111'1\Yl'hUIhcrmcncutika sebagai kebenaran yang harus dIH.lll1p'lil-..1nkcpada umat Islam, meskipun banyak

1111)', Illl'ngkriliknya. Ia pun menjadi begitu kritis

ter-1'.111.11' I11clodctafsir klasik, meskiplmdia sendiri belum

IH1fnnh mcnulis sebuah tafsir berdasarkan herme-IWLlLikn.AtninAbdullah menulis banyak kata pengantar 11111111-. hllku-buku yang membahas ten tang

herme-111;111 II" AI-Qur'an. Dalam salah satu tulisan pengantar

lllllld...hllkll!It'I'IIIl'lli'utikn Pembebasan, dia menulis,

IIMctodc pcnaIsiranAI-Qur'anselama ini senantiasa hnnya mcmperhatikan hublmgan penafsir dan teks .!\I-Qur'an tanpa pemah mengeksplisitkan kepen-lingan audiens terhadap teks. Hal ini mungkin

Inpat dimaklumi sebab para mufasir klasik lebih I'ncnganggap tafsir AI-Qur'an sebagai hasil kerja-kcrja kesalehan yang dengan demikian hams bersih dari kepentingan mJfasimya. Atau barangkali juga

b

rena trauma mereka pada penafsiran-penafsiran I(\()]ogisyang pemah melahirkan pertanmgan

(18)

tik yang mahadahsyat pada masa-masa awal Islam. Terlepas dari alasan-alasan tersebut, tafsir-tafsir klasik AI-Qur'an tidak lagi memberi makna dan fungsi yang jelas dalam kehidupan umat Islam. II

Dalam buku yang sarna, penulis buku ihl sendiri juga memberikan tuduhan terhadap tafsir-tafsir AI-Qur' an, IIApalagi sebagian besar tafsir dan ilmu pe-nafsiran yang diwarisi umat Islam selama ini, sadar atau tidak, telah turut melanggengkan status quo, dan ke-merosotan umat Islam secara morat politik, dan budaya./I111

Penetapan metode hermeneutika sebagai mata kuliah wajib di jurusan tafsir hadits itu sebenarnya merupakan salah satu masalah yang sangat serius dalam pemikiran dan studi Islam di Indonesia, kini dan masa mendatang. Sebab, ini sudah menyangkut cara menafsirkanAl-Qur'an. Meskiplm teksAI-Qur'an tidak diubah, tetapi jika cara menafsirkannya sudah diubah, maka produk tafsirnya juga akan berbeda. Dengan her-meneutika, maka hukum-hukum Islam yang selama ini sudah disepakati kaum Muslimin bisa berubah. Dengan hermeneutika, bisa keluar produk hukum yang me-nyatakan wanita boleh menikah dengan laki-Iaki non-Muslim, khamr menjadi halal, laki-Iaki punya mas a iddah seperti wanita, atau wanita punya hak talak sebagairnana laki-Iaki, atau perkawinanhomoseksual/

1Lihat, Ilham B. Saenong, Hermeneutika Pembebasan, (Jakarta: Teraju, 2002), hIm. xxv-xxvi, 10.

(19)

1l'~llli.1I1fll\'III.l\llllid.d. Scm.ua perubahan itu bisa

di-I;d.,d...IIIIIII'I1I',1I11Ill(·llg.1tnsnamakan "tafsir kontekstual"

.1111',111,111/,,)'..11'HI').ll.ln dcngan perkembangan zaman.

1)""1',0111 1lll'Ilggunakan teori "hermeneutika

1111111/.1," l'I'lI/. I\ll1ina Wadud telah memirnpin shalat

111111011.II~1l'hLlnhkatedral di AS, dengan barisan

mak-11111111I.dd-Inki dan wanita yang bercampur aduk. Sang

lilll.IZII1 pLLn (wanita) tidak mengenakan jilbab saat

till' I:1ksn na kan shala t. Dengan herrneneu tika pula, N asr

Il.lInid Abu Zaid menyatakan, bahwa jin dan setan

1,1ll'1l"rnyn hnnyalah mitos, dan poligami hukurnnya

11.11.111).M ••kn, pcnggunaan hermeneutika untuk

me-11:111111'1....111I\I-Qur'an, adalah satu cara yang sangat

If'oIk)',i~,sislemalis, danmendasar dalam meliberalkan

IHlllill.Prof. Musdah Mulia dan buku Fiqih Lintas Agama

Il'rhil.lI1 Pnrnmndina juga

telahmenghalalkanperkawin-.111IIIIIl,lj"1.d1 d('11g;HI 1(1ki-Iaki non-Muslim, dengan

1III'III',t',llllld<illlI1H'lndl' IWlllkknlnn bilru, bcrnama

"taf-II 111I1I1·1·.IlIII:","Sl'h",.,i.1I1 dosl'n UIN Jnknrtn bahkan

fld."lllll'I.Illgk.dl k·hih 1.1lIhdeng.lllll1cnjndi pcnghulu

IW.ISI.1dDIn11, pcrka w jnn n an Inragn ma. J ika pcrubahan

IIwlodologis dalam pcnafsiran Al-Qur'an dibakukan

.I01n d ir<'smikan ke dalam kurikulum perguruan tinggi

l~d,lIll, maka dampaknya akan jauh'iebih dahsyat

dari-p ••d,l dari-pcnycbaran pernikiran ini melalui media massa

HI'earn nsongan. Para cendekiawan Muslim dan para

tll.ll'l1n harusnya sadar benar akan hal ini, dan tidak

Illl'lllbiarkan masalah ini berlarut-larut.

lJlnat Islam sudah punya ilmu tafsir, sebagai salah

(20)

sahl khazanah klasik umat Islam yang sangat berharga, sebagaimana halnya dengan ilmu hadits, ilmu ushul fiqih, ilmu fiqih, ilmu nahwu, ilmu sharaf, dan se-bagainya. Ilmu-ilni.u dalam Islam itu lahir dari AI-Qur' an dan As-Sunnah, sebab Islam memang sebuah agama wahyu yang mendasarkan ajaran-ajarannya pada wahyu, dan bukan pada spekulasi akal atau evolusi sejarah, seperti dalam tradisi peradaban Barat. Ilmu-ilmu sosial di Barat lahir dari tradisi dan latar belakang yang berbeda dengan lahirnya ilmu-ilmu keislaman ('ulumuddin). Islam memiliki teks wahyu yang final dan otentik (Al-Qur'an) dan tidak memiliki trauma sejarah keagamaan, sehingga Islam tidak me-ngalami benhuan an tara akal dan agama sebagaimana terjadi di Barat. Islam juga memiliki cara yang khas da-lam menafsirkan AI-Qur'an, berbeda dengan cara me-nafsirkan Bibel atau kitab sud mana plill. Cara menafsir-kan AI-Qur'an jelas berbeda dengan cara menafsirmenafsir-kan UUD Arab Saudi, meskipun keduanya sarna-sarna berbahasa Arab. Sebab, AI-Qur' an adalah wahyu Allah swL, yang lafaz dan maknanya berasal dari Allah. Sepanjang sejarah Islam, tidak pemah ada gelombang sebesar saat ini dalam menggugat ilmu tafsir Al-Qur' an, dan mempromosikan metode asing (dari tradisi Yahudi-Kristen), yang sangat berbeda dengan metode tafsir AI-Qur' an selama ini.

Pada 24 Juni 2005, Harian Republika menurunkan sebuah artikel M. Zainal Abidin, mahasiswa S-3 lAIN Slman Kalijaga Yogyakarta, yang berjudul"Ketika Her-6 - Hermeneutika &Tafsir AI-Qur'an

(21)

1III'III'IlIil" f\1""I',t~;llllil-;I" 'l'ilfsir AL-Qur'an./I Dalam

11111·\,11tyol, /' "III" 1)';1111',1l11',,1dosen Fakultas Ushuluddin

IN !\lllri'I.lIIII"III"IIIIoI~-dn, I11cnulis:

"II,tI"'111 'l'lIll~II'till IHlam kontemporer, wacana

her-1III'IIl·tllll·" Iwhdgni solusi atas 'kebuntuan' tafsir

,l,d,1I11 llll'llglwdapi tantangan zaman seolah

men-"II IIHl'IiUlllu yang niscaya dan satu-satunya pilihan

II/(' 1I/I/YI1/ternntive). Tema ini bahkan nyaris sudah

111l'lljl1dibagian dari wacana pemikiran Islam

kon-1('Il)porN ilu scndiri. Para pemikir Islam

kontem-IlIln'r H(IIWrli !\rkoun, Fazlur Rahman, Nasr Abu

',dd, 11,11111,11)Ilanafi, Khaled Abu Fadhl, dan Amin

lidllll.d\ H~rla para aktivis Islam Liberal senantiasa

1l1('llyingglmg pentingnya metode ini.

!\stlmsi kuat dari para pendukung hermeneutika,

b,lhW il ta fsir konvensional sudah tidak relevan lagi

willi k kon lc ks sekarang, karenanya perlu diganti

11"111'.""hcrmcncutika./I

Apa Itu Herrneneutika?

('en ra harfiah, hermeneutika artinya 'tafsy-.' Secara

'Iill1ologis, istilah hermeneutika dari bahasa Yunani

1tl'/lIIhwllil1 yang berarti menafsirkan. Istilah ini merujuk

11'1ld'IdHcorang tokoh mitologis dalam mitologi Yunani

'1111',dikcnal dengan nama Hermes (Mercurius). Di

k,d,lllgan pendukung hermeneutika ada yang

meng-11IIhungkan sosok Hermes dengan Nabi Idris. Dalam

IIIiI()log

i

Yunani Hermes dikenal sebagai dewa yang

ber-1111',"11ll"lcnyampaikan pesan-pesan Dewa kepada

(22)

nusia. Dari tradisi Yunani, hermeneutika berkembang sebagai metodologi penafsiran Bibel, yang di kemudian hari dikembangkan oleh para teolog dan filosof di Barat sebagai metode penafsiran secara secara umum dalam ilmu-ilmu sosial dan humaniora.

The New Encyclopedia Britannica menulis, bahwa

her-meneutika adalah studi prinsip-prinsip general tentang interpretasi Bibel (the study of the general principle of

biblical interpretation). Tujuan dari hermeneutika adalah

untuk menemukan kebenaran dan nilai-nilai dalam Bibel. Dalam sejarah interpretasi Bibel, ada empat model utama interpretasi Bible, yaitu (1)literal interpretation,

(2) moral interpretation, (3)allegorical interpretation, dan

(4) anagogical interpretation.

Hermeneutika bukan sekadar tafsir, melainkan satu "metode tafsir" tersendiri atau satu filsafat tentangpe-nafsiran, yang bisa sangat berbeda dengan metode tafsir AI-Qur'an. Di kalangan Kristen, saat ini, penggunaan hermeneutika dalam interpretasi Bibel sudah sangat lazim, meskipun juga menimbulkan perdebatan. Salah satu buku yang banyak dirujuk kalangan akademisi .lAIN dalam menulis hermeneutika adalah buku E.

Su-maryono berjudul Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat

(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1999). Buku ini memuat kesalahan yang fatal dalam memandang konsep teks kitab suci agama-agama dan menyatakan bahwa tafsir

(AI-Qur'an) sama dengan hermeneutika. Ditulis dalam buku ini:

"Disiplin ilmu yang pertama yang banyak

(23)

si r kilab HurL

irnsi

111';1 j11111d.1ngSumaryono sebagai orang Katolik

1111'111,1111',kh.!s konscp Kristen ten tang Bibel. Tetapi,

111111;\I'yollo jelllH Lidak cennat, karena di kalangan

II

I

!fllt'll HqWI'Ii 1)1',C.Crocncn, banyak yang sadar akan

1ll'llll'dddll .1111,,1',\konscp Leks AI-Qur'an dengan Bibel.

I (

hll/,1I111l1~.1111.,"kiLab yang mendapatkan inspirasi

d,lll It" 1,11\~l('h"g.liman~ dalam konsep Bibel,

tetapiAI-( 1111';\11IIlt.d.I" kiLab yang tanzil,lafzhan wa ma'nan (lafaz

1.1.111Ill" "-Ilnnya) dariAllah. Konsep ini berbeda dengan

\,llIl"('P leks dalam Bibel, yang merupakan teks yang

d 111111'1(111'11manusia yang mendapat inspirasi dari Roh

lid

Il~l,

II,dl\.:IIII, Paus sendiri mengakui perbedaan antara

I ()llr'M'I dengan Bibel. Pada 17 Januari 2006, Surat

~ .i1I.11'New York Sun menurunkan huisan Daniel Pipes,

hl'rjudlll"The Pope and the Koran" (Paus danAI-Qur'an).

H, Sllmaryono, Hermeneutika: Sebuah Metode Filsafat (Yogyakarta: 1"'II,'lIltl Konisills, 1999), hlm. 28. Kajian yang cukup luas tentang her-ltll"lt'llllko dalam Bibel ditulis dalam buku Interpreting the Scriptures:

I1/'/'II/('III'lItik (ler).), karya Kevin J.Corner dan Ken Malmin (Malang:

Gan-ltillt l'l'css, 2004). Ditulis dalam buku ini, bahwa banyaknya perpecahan 11111.\111(lgama Kristen terjadi bukan hanya karena hal-hal jasmaniah atau

1I1'IIIY'! ~ckte-sekte (heresy), melainkan juga karena perbedaan-perbedaan

lI,d'lll\ hidang hermeneutik.

Dampak Hermeneutika terhadap AI-Qur'an - 9

(24)

Pipes, yang dikenal sebagai "ilmuwan garis keras" dalam memandang Islam, mengungkap pernyataan Paus Benediktus XVI tentang Al-Qur'an, dalamsebuah seminar ten tang pernik iran Fazlur Rahman, pada September 2005 lalu.

Paus, seperti dikutip Pipes, dari Pastor Joseph D. Fessio, menyatakan, bahwa dalam pandangan tradisi-onal Islam, Tuhan telah menurunkan kata-kata-Nya kepada Muhammad, yang merupakan kata-kata abadi. Al-Qur'an sarna sekali bukan kata-kata Muhammad. Karena itu bersifat abadi, sehingga tidak ada peluang untuk menyesuaikannya dengan kondisi dan situasi atau menafsirkannya kembali (There's no possibility of adapting it or interpreting it).

Menurut Paus, sifat Al-Qur'an yang serna earn itu memiliki perbedaan utama dengan konsep dalam Yahudi dan Kristen. Pada kedua agama ini, kata Paus, Tuhan bekerja melalui makhluk-Nya. Maka, kata-kata dalam Bibel, bukan hanya kata-kata Tuhan, tetapi juga kata-kata Isaiah, kata-kata Markus. Dalam istilah Paus, "Tuhan menggunakan manusia dan memberikan inspi-rasi kepada mereka untuk mengungkapkan kata-kata-Nya kepada manusia (He used His human creatures, and inspired them to speak His word to the world).

Karena itu, menurut Paus, kaum Yahudi dan Kristen dapat mengambil apa yang baik dalam tradisi (kitab) mereka dan menghaluskannya. Jadi, kata Paus, dalam Bibel ihl sendiri ada logika internal yang memungkin-kan Imtuk disesuaimemungkin-kan dan diaplikasimemungkin-kan sesuai dengan

(25)

IlilI'1i dilllllllldl·,j Y:lllf',\1,1111. ('J'lterl' is, in other word", III/IIII/r'/ IUSI! II' /Iii! ( 'III/Nil/III 13iiJ/t" which permits it and

,,"111111'" /1 /II L',· III/""'/,,,llIlIrllI/J/Ilied to new situations. ").

II,d.IIIII·i1ILdI 1';111'1, /Ilhl'llldalah "kata-kata Tuhan yang

IIII III11111 I,dld 1Illl1l1idlas rnanusia."

I 11I1~H'I,1111 1('lllu t'tlngat berbeda denganAI-Qur'an,

.II'lf,Idlil',f,fIkinldiyakini olehkaurnMuslimin, sebagai

'III! //111/ '{/III /1111'111111/Ilillnllnh" (lafazhdanmaknanya dari

11.111).Mi'Hkipun sarna-sarna keluar dari mulut

Rasu-hlll.di ~l"W.,tdi1pi 1-\cjakawal sudah dibedakan antara

I ()11I"i11111\'111'."11hl.1dilS Nabi. Menurut Paus, karena

I.d AI Q,II".I11 y,ll1g Hcpcrti itu, maka AI-Qur'an tidak

"';'1,;11dIIIh,d, d,," lid8 k dapat diaplikasikan (something

,/I

"/'/II'rllIlIllI/

I

/('flven, which cannot be adapted or applied).

~;ll.il Y,lllg l<:IDp dan tidak berubah dari AI-Qur'an itu,

1'::11"I'.tllt-l, mcmiliki dampak besar, yakni bahwa Islam

1(1;lIilll111'.,\111<1 YDng tetap (statis), yang terpaku pada

11111,·1'1Y"I\I', Iid,\ kt18pat diadaptasikan (This

immuta-/1111/111111'1(11/1.1 ('IIIIS/'I/II{'lIces: it means "Islam is stuck. It's

,1111/, 1/I/I/IIII/'xl1/1I11 Cflllilot beadapted.").

I',ll1i<.'l Pipes scndiri dalam artikelnya menyatakan

1'1ill\...I1Y,1lcrhadap pendapat Paus tentang AI-Qur'an

lC'1 'H·hlll. AI-Qur'an, kata Pipes, tetap bisa

diinterpre-1.11'111· ,III, dnn penafsiran itu selalu berubah. AI-Qur'an,

lI'II,II\,liIlWna Biber, juga memiliki sejarah. Jadi, simpul

1'lpi'H, Islnm bukanlah statis, fixed, atau beku (stuck),

I,l,.lgaimana dikatakan Paus, tetapi yang sangatbesar

d11'1'1'llIk8n lUltuk membuat Islam terus bergerak atau

IJLlldl,\11 (As this suggests, Islam isnot stuck. But huge efforts

(26)

are needed to get it moving again).

Karena sifatnya sebagai "teks manusiawi," maka Bibel memungkinkan menerima berbagai metode pe-nafsiran hermeneutika, dan menempatkannya sebagai bagian dari dinamika sejarah. Ini berbeda dengan sifat teks AI-Qur'an yang otentik dan final, sehingga Islam memang bukanlah bagian dari dinamika sejarah. Islam sudah sempuma dari awal (al-Maa'idah: 3). Islam tidak berubah sejalan dengan perkembangan sejarah. Sejak zaman Nabi Muhammad saw., kaum Muslimin me-mahami Tuhan (Allah), mengucapkan syahadat, me-ngerjakan shalat, zakat, puasa, haji, dan berbagai ibadah lainnya dengan cara yang sarna. Karakter Islam ini sa-ngat berbeda dengan sifat dasar Kristen, Yahudi, Buddha, Hindu, dan agama-agama lainnya, yang ber-ubah-ubah menurut kondisi waktu dan tempat.

Terhadap hermeneutika, Vatikan sendiri sudah menentukan sikap. Secara umum, hermeneutika sudah diterima oleh kaum Katolik sebagai cara resmi dalam interpretasi Bibel. Dalam buku Penafsiran Alkitab dalam

Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan, ditulis:

"Alkitab adalah sabda Tuhan sepanjang segala abad. Oleh karena itu, mutlak dibutuhkan sebuah teori hermeneutik yang memungkinkan penggabungan metode-metode sastra dan kritik historis dalam suatu model penafsiran yang lebih luas. Persoalan-nya adalah bagaimana mengatasi jarak waktu yang terbentang antara periode si penulis dengan mereka yang pertama kali menjadi tujuan teks alkitabiah 12 - Hermeneutika &Tafsir Al-Qur'an

(27)

,Irll\ pcriode zaman kita, dan bagaimana melaksana-\,"1111ya dengan cara tertentu yang memungkinkan "lIlllll aktualisasi yang tepat dari pesan alkitabiah

,.ldngga kehidupan iman Kristiani dapat dipupuk.

I ,lr('l1aitu, semua eksegese tentang teks diharapkan 1111'lengkapidirinya dengan suatu 'hermeneutika'

j'pcrti yang dipahami oleh makna modern ini. Ikitab sendiri serta sejarah penafsirannya menun-illk pada pentingnya sua tu hermeneutika-yaitu HIlHlupenafsiran yang berasal dari dan menyapa

Iilinia dunia kita sekarang."3

Mcskipun menerima hermeneutika filsafat sebagai

d.11 pcnafsir Bibel, tetapi Vatikan juga menolak teori

11I'llllcneutika tertentu yang dianggap tidak memadai

IIIIIIIk menafsirkan Kitab Suci, seperti hermeneutika

I\'dl1lcnsialis Rudolf Bultman, karena cenderung me-il!jllllgktmg pesan-pesan kristiani dalam suahl filsafat

1,'III'nlu dan sekadar pesan antropologis belaka. Buku

illIliga mendiskusikan secara kritis metode

historis-I, P1'nnfsiran Alkitab dalam Gereja: Komisi Kitab Suci Kepausan,'hlm.

100-1111tHknp Vatikanini menunjukkan kaumKatolik telah siap memberikan IIIII' Il'rhadap hermeneutika filsafat. Di Indonesia, tampak banyak •• IiddIowan Muslim ketinggalan dalam menyikapi masalah herme-11'1111111, yang jelas-jelas sudah merasuk ke dalam tubuh kaum Muslimin

01,111 d Illlnrkan di jurusan tafsir hadits di kampus-kampus Islam,

Seharus-111'11 1'"1'"ccndekiawan dan ulama Islam seger a mengkaji dan menentukan

II

'I'~'

'1'0ra Umiah terhadap hermeneutika, sehingga tidak mudah terjebak I •.I,dlll11clua sikap yang sarna-sarna ekstrim: tidak tahu dan tidak peduli 1Ii1.' ~i'koli dan terjebak ke dalam arus besar hegemoni hermeneutika !!i11111 I"'llnfsiran AI-Qur'an.

(28)

kritis dan metode literal dalam penafsiran teks Bibel. Vatikan menolak cara penafsiran literal yang melulu subyektif dan melekatkan makna apa saja pada teks Bibel. /1... kita hams menolak penafsiran yang tidak otentik, setiap tafsiran yang asing bagi makna yang di-lmgkapkan oleh penulis dalam teks terhllis. Mengakui kemlmgkinan adanya makna yang asing semacam ihl sarna halnya dengan mencabut pesan Injil dari akamya, yaihl sabda Allah dalam komunikasi historisnya; dan juga berarti membuka pinhl bagi penafsiran liar yang bersifat sangat subyektif./14

Jadi, meskiplm menerima metode hermeneutika filsafat dalam penafsiran Bibel, Vatikan tetap bersifat selektif dan tidak membiarkan penafsiran liar yang dengan seenaknya memasukkan makna yang berten-tang an dengan ideologi Katolik. Padahal, Bapak Her-meneutika Modem, Friedrich Schleiermacher

(1768-1834)menyatakan, bahwa di antara tugas herineneutika

ihl adalah lmtuk memahami teks /1sebaik atau lebih baik daripada pengarangnya sendiri./15 Hermeneutika modem yang dipelopori oleh Schleiermacher memang memlmculkan persoalan bagi kalangan Kristen sendiri. Sebab, hermeneutika modem menempatkan semua jenis teks pada posisi yang sarna, tanpa memedulikan apakah teks ihl divine (dari Tuhan) atau tidak, dan tidak

4Ibid., hlm. 104-108.

5 Lihat E. Sumaryono, Hermeneutikn: Sebuah Metode Filsafat (Yogya-karta: Peherbit Kanisius, 1999), hlm. 41.

(29)

Illgi memedulikan adanya otoritas dalam penafsiran-Ilya. Semua teks dilihat sebagai produk pengarangnya. I'enggunaan hermeneutika modern untuk Bibel bisa

di1ihat sebagai bagian dari upaya liberalisasi di ka-Inngan Kristen. Bagi Schleiermacher, faktor kondisi dan motif pengarang sangatlah penting untuk memahami makna suahl teks, disamping faktor gramatikal (tata bahasa).6

Namun, sebelum Schleiermacher, upaya melakukan "liberalisasi" dalam interpretasi Bibel sudah muncul sejak Zaman Pencerahan di abad ke-18. The University of Halle memainkan peranan penting. Yang terkenal adalah Johann Solomo Semler (1725-1791). Para teolog liberal ini memainkan peranan penting dalam melaku-kan reapresiasi terhadap IIakal manusia" dan tumbuh-nya perlawanan terhadap otoritas yang tidak masuk

akal (unreasonable authority). Semler melakukan

pen-dekatan radikal terhadap Bibel dan sejarah dogma, dengan mengajukan program hermeneutika dari per-spektif "studi kritis sejarah." Ia mengajukan gagasan transformasi radikal terhadap dasar-dasar hermenutika teologis. Interpretasi Bibel, kata Semler, hams dihenti-kan dari sekadar upaya untuk memverifikasi dogma-dogma tertenhl. Dengan kata lain, interpretasi dogma-dogmatis terhadap teks Bibel hams diakhiri, dan perlu dimulai satu metode barn yang ia sebut "truly critical reading."

6 Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, (Chicago: Ency-clopedia Britannica lnc, 15 th edition).

(30)

Hermeneutika, menurutnya, mencakup banyak hal, seperti tata bahasa, retorika, logika, sejarah tradisi teks, penerjemahan, dan kritik terhadap teks. Tugas utama hermenutika adalah untuk memahami teks sebagai-mana dimaksudkan oleh para penulis teks itu sendiri

(The main task of hermeneutics, however, was to understand the texts as their authors had understood them).7

Bagi kaum Kristen, realitas teks Bibel memang mem-buhilikan hermeneutika untuk penafsiran Bibel mereka. Para hermeneutis dapat menelaah dengan kritis makna teks Bibel-yang memang teks manusiawi-mencakup kondisi penulis Bibel, kondisi historis, dan makna literal suatu teks Bibel. Perbedaan realitas teks antara teks AI-Qur' an dan teks Bibel juga membawa konsekuensi ada-nya perbedaan dalam metodologi penafsirannya.

Tetapi, metode historis kritis dan analisis penulis teks tidak dapat diterapkan lmtuk teks wahyu seperti AI-Qur' an, yang memang merupakan kitab yang tanzil.

Masalah ini akan dikaji lebih terperinci pada bagian berikutnya. Yang jelas, ada sabda Nabi Muhammad saw. yang perIu direnungkan secara mendalam oleh para akademisi muslim, khususnya yang sedang bergelut dalam dunia studi Islam.di kampus-kampus Islam. Mereka seharusnya menyiapkan diri dengan serius menyambut tantangan besar dalam bidang studi Islam yang ditim-bulkan oleh kajian para orientalis terhadap Islam.

Se-7Werner G. Jeandrond, Theological Hermeneutics, (London: Macmillan Academic and Professional Ltd., 1991), hlm. 39.

(31)

Ill" um mengadopsi metodologi bam dalam ilmu tafsir, Ittlrusnya mereka mengakaji dengan serius, mengerti IIpa hakikatnya, dan apa bedanya dengan Islam. Sebab, keLika wac ana asing itu sudah masuk dan diikuti

ba-IIyak orang, maka tidak mudah lagi menghentikan dan illcngoreksinya. Sebagian sudah mempunyai kepen-llngan untuk mempertahankan, meskipun terbukti

'lint. Padahal, Rasululah saw. pemah mengingatkan,

"Kalian sungguh akan mengikuti jalan-jalan kaum

sebelum kalian, sehasta demi sehasta, sejengkal demi sejengkal, sehingga apabila mereka masuk lubang biawak

sekalipun kalian akan mengikutinya juga." Kemudian

Rasulullah saw. ditanya,"Apakah mereka [yang diikuti]

itu kaum Yahudi dan Nasrani?" Rasulullah menjawab,

"Siapa lagi [kalau bukan mereka]?" (HR Bukhari,

Mus-lim, Ibnu Majah, dan Ahmad)

Darnpak Herrneneutika

t.

Relativisme Tafsir

Para pengaplikasi hermeneutika menganut paham rclativisme tafsir. Tidak ada tafsir yang tetap. Semua tnfsir dipandang sebagai produk akal manusia yang rclatif, kontekshlal, temporal, dan personal. Prof. Amin Abdullah menggambarkan fungsi hermeneutika se-hagai berikut.

"Dengan sangat intensif hermeneutika mencoba membongkar kenyataan bahwa siapaplm orangnya, kelompok apapun namanya, kalau masih pada level manusia, pastilah 'terbatas,"'parsial-kontekstual'

(32)

pemahamannya, serta 'bisa saja keliru."Hal ini ten-tu berseberangan dengan keinginan egois hampir semua orang Imtuk "selalu benar.'''s

Prof. Amina Wadud, seorang tokoh feminis, juga menyatakan, "No method of Quranic exegesis fully

objec-tives. Each exegete makes some subjective choices."" (Tidak

ada metode penafsiran Al-Qur'an yang sepenuhnya obyektif. Masing-masing penafsir membuat pilihan-pilihan yang subyektif).,g

Berangkat dari paham relativisme ini, maka tidak ada lagi satu kebenaran yang bisa diterima semua pihak. Semua manusia bisa salah. Bagaimana dengan Nabi, ijma' sahabat? Bukankah ada hadits Nabi yang me-nyatakan, "Umatku tidak akan bersepakat dalam kesesatan"?

Apakah semua itu hams dibongkar dengan hermeneu-tika? Imam Bukhari dan para ulama hadits lainnya banyak menyepakati tentang kesahihan dan kemutawa-tiran banyak hadits Nabi. Mereka menuangkan pemikir-an mereka ke dalam kitab-kitab hadits, hasil akal pikirpemikir-an mereka. Jika konsep hermeneutika seperti dirumuskan AminAbdullah ihl diterima, maka jelas akan membong-kar dasar-dasar Islam. Dalam bidang tafsir, misalrlya, maka akan mereka katakan bahwa semua produk tafsir

8 Liliat pengantar M. Amin Abdullah untuk buku Hermeneutika AI-Qur'an: Tema-tema Kontoversial, karya Fahrudin Faiz (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2005).

9 Dikutip dari artikel berjudul "Hermeneutika Tauhid Amina Wa-dud-Muhsin " oleh Ahmad Baidowi, dalam Jurnal Studi Islam PROFE-TIKA, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Vol. 6, No.1, Januari 2004.

(33)

Idalah produk akal manusia, dan karena itu si£atnya \l,ISti "terbatas," "parsial-kontekstual," dan "bisa saja

I

,'Iim."

Dengan demikian, menurut hermeneutika ini,

IIldka tidak ada ta£sir yang qath'i, tidak ada yang pasti \.l'\lcnarannya, semuanya relati£, semuanya zhanni.

!\.rgumentasi semacam itu sangatlah tidak ber-lI"san. Islam adalah agama yang satu, dan sepanjang

t'Jarah ulama Islam bersatu dalam banyak hal. Umat Islam sejak zaman Nabi saw. hingga kini dan sampai iamat, membaca syahadat dengan lafaz yang zama, h"lat subuh dua rakaat, membaca takbir "Allahu

~bar," puasa di bulan Ramadhan dengan cara yang

,lIna, haji ke Baitullah juga dengan cara yang sarna.

I.d manusia jelas bisa menjangkau hal yang mutlak,

) .ll1gtentu saja dalam batas-batas manusia. Artinya, akal It\.\nusia bisa meyakini kebenaran yang sahl. Tidak III'nar, akal manusia selalu berbeda dalam segala hal. LI,Ihkan,dalam mena£sirkan Al-Qur'an plm, para mu-1'.1'111' tidak pemah berbeda tentang kewajiban shalat

Illll,1 waktu, tidak berbeda tentang kewajiban shaum

I·'0IInadhan, kewajiban zakat. Para mu£asir tidak pemah

I"0Illcda dengan haramnya babi, haramnya zina,

haram-IIJ ,\ khamr, haramnya wanita muslimah menikah kI1f,.H\ laki-laki non-Muslim, dan sebagainya. Para Iflld;':'11'pun sepakat bahwa Nabi Muhammad saw.

,".d,dl manusia, dan bukan Tuhanatausetengah Tuhan.

\ 1.1yang qath'i dan ada yang zhanni dalam pena£siran I()III" an. Itu semua sudah mafhum dalam Islam. Jadi, IId,d· \lenar, jika dikatakan bahwa semuanya adalah

(34)

zhanni; semuanya adalah relatif. Bahkan, ungkapan yang menyatakan bahwa "semuanya adalah relatif" adalah juga relatif, sehingga ucapan itu sendiri bersifat relatif.

Paham relativisme tafsir ini sangat berbahaya, sebab (1) menghilangkan keyakinan akan kebenaran dan finalitas Islam, sehingga selalu berusaha memandang kerelativan kebenaran Islam, (2) menghancurkan ba-ngunan ilmu pengetahuan Islam yang lahir dari Al-Qur' an dan Sunnah Rasul yang sudah teruji selama ratusan tahun. Padahal, metode hermeneutika Al-Qur' an hingga kini masih merupakan upaya coba-coba beberapa ilmuwan kontemporer yang belum mem-buahkan pernikiran Islam yang utuh dan komprehensif. Akibatnya, para pendukung hermeneutika tidak akan mampu membuat satu tafsir Al-Qur' an yang utuh. Me-reka hanya berkutat pada masalah dekonstruksi se-jumlah konsep /hukum Islam yang sudah dipandang baku dalam Islam, dan (3) menempatkan Islam sebagai agama sejarah yang selalu berubah mengikuti zaman. Bagi mereka tidak ada yang tetap dalam Islam. Hukum-hukum Islam yang sudah dinyatakan final dan tetap

(tsawabit) akan senantiasa bisa diubah dan disesuaikan

dengan perkembangan zaman. Saat ini, sejalan dengan arus liberalisasi Islam, sudah banyak yang berani meng-halalkan hukum-hukum yang sudah pasti, seperti hararnnya muslimah menikah dengan laki-laki non-Muslim, dan hararnnya perkawinan homoseksual.

Dengan demikian, maka penggunaan hermeneutika

(35)

d'dgai satu metode tafsir Al-Qur'an bisa sangat ber-1,;,11,\ ya, karena berpotensi besar membubar kan

ajaran-,),11\111 Islam yang sudah final. Dan itu sarna artinya

tlt'llgan membubarkan Islam itu sendiri. Karena itu, I";il';\nkademisi Muslim seyogianya sadar benar akan Ii,'ilIllyabesar ini, dan bukan hanya bersikap tidak peduli ,1I,111 bahkan sekadar mengikuti tradisi Barat dalam l'I('mperlakukan agama Yahudi dan Kristen.

Dengan hermeneutika, hukum Islam memang

1\\('njadi tidak ada yang pash. Contoh yang paling jelas

.1.11'\ banyak digugat oleh para hermeneutis

(pengapli-1."Hihermeneutika) adalah hukum ten tang perkawinan

Illl.\ragama. Dalam Islam, jelas muslimah diharamkan 1I\('nikah dengan laki-laki non-Muslim. Tapi, karena illIkum ini dipandang bertentangan dengan Universal

I)('c/aratian afHuman Rights, maka hams diubah. Agama

Ildak boleh menjadi faktor penghalang bagi perkawin-Ill. Maka, kaum liberal menggunakan metode tafsir 'kontekstual histories" tmhtk mengubah hukum ini. IJ.1Lambuktmya, Muslimah Refarmis (Mizan: Bandung, "(05), Musdah menguraikan metode kontekshtalisasi Ilntuk surah al-Mumtahanah ayat 10, yang menjadi IMldasan pengharaman pemikahan muslimah dengan I,ria non-Muslim. Katanya:

"Jika kita memahami konteks waktu tururmya ayat itu,larangan ini sangat wajar mengingat kaum kafir Quraisy sangat memusuhi Nabi dan pengikutnya. Waktu iht konteksnya adalah peperangan antara kaum mukmin dan kaum kafir. Larangan

(36)

gengkan hubungan dimaksudkan agar dapat di-identifikasi secara jelas mana musuh dan mana kawan. Karena itu, ayat ini harus dipahami secara kontekstual. Jika kondisi peperangan itu tidak ada lagi, maka larangan dimaksud tercabut dengan sendirinya. "

Tapi, dalam soal pembongkaran hukum perkawin-an perkawin-antaragama, metode tafsir kontekstual historis ala Musdah Mulia berbeda dengan yang digunakan para penulis buku Fiqih Lintas Agama (Paramadina, 2004):

"Soal pemikahan laki-laki non-Muslim dengan wa-nita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat dengan konteks tertentu, di antaranya konteks dak~ wah Islam pada saat itu. Yang mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pemikahan antaragama merupakan sesuatu yang terlarang. Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat dimungkinkan bila dicetuskan pendapat baru, bahwa wanita Muslim ., boleh menikah dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat diperbolehkan, apapun agama dan aliran keper-cayaannya."

Dari hasil penelitian Litbang Departemen Agama tentang paham liberal keagamaan di lingkungan DIN Jakarta, diteliti tentang satu organisasi mahasiswa DIN Jakarta (Formaci) yang berpaham liberal yang pernah menolak kewajiban jilbab di DIN, mendukung

(37)

WI, Illenolak penerapan syariat Islam di berbagai !j1(p,lh, dan mendukung perkawinan beda agama. ()')III',.1]1berpegang kepada paham kebebasan berpikir

oJ.-l

i

1ntas dasar kemanusiaan, anggota Formaci sering

IIlll!/.ldi saksi pernikahan bed a agama. Ditulis dalam

1(11'll1"im penelitian ini, "Sese orang yang sudah pacaran

!,tlILm kemudian mau menikah terhalang oleh per-hl·d.lan agama, memberi arti bahwa agama hanyalah

,,·ll.lgai penghalang bagi terlaksananya niat baik dua

1I'lanuntuk membangun rumah tangga."

Dari contoh ini bisa dilihat, bagaimana metodologi 111l1lekstualhistoris yang digunakan sangat sembarang-III dan menjadikan satu hukum menjadi relatif dan Iill,lk tetap. Padahal, dalam pandangan Islam, masalah Igama adalah hal pinsip dalam perkawinan. Dengan IIlodel tafsir hermeneutik ala kontekstual historis seo-llIacam itu, hukum Islam bisa diubah sesuai dengan Il'mauan siapa saja yang mau menguba~ya, karena Ildak ada standar dan metodologi yang baku.

Cara seperti ini tidak bisa diterapkan dalam penaf-iran AI-Qur'an, sebab AI-Qur'an adalah wahyu yang I,lfaz dan maknanya dari Allah, bukan dihllis oleh ma-t1usia. Karena itu, ketika ayat-ayat AI-Qur'an berbicara tl'ntang perkawinan, khamr, aurat wanita, dan sebagai-1\ya, Al-Qur' an tidak berbicara lmtuk orang Arab. Maka, dalam penafsiran AI-Qur'an, memang tidak mungkin lepas dari makna teks, karena AI-Qur'an memiliki tek

ang final dan tetap. Teks AI-Qur'an tidak berubah Ilt1njang masa, dan maknanya tetap terjaga, sejak d

(38)

-turunkan sampai sekarang dan nanti. Jadi, meskipun ayat tentang khamr diturunkan di Arab, dan dalam bahasa Arab, ayat itu berbicara kepada semua manusia, bukan hanya ditujukan kepada orang Arab yang hidup di daerah panas dan sudah kecanduan khamr. Maka, khamr haram bagi semua manusia, sedikit atau banyak, baik unhlk orang Arab atau tidak.

Begitu pula dengan kewajiban menutup aurat bagi wanita. Ayat tentang kewajiban menutup aurat bagi wanita (an-Nuur: 31 dan al-Ahzab: 59), sudah dipahami seluruh ulama sepanjang sejarah Islam, bahwa wanita muslimah wajib menutup tubuhnya, kecuali muka dan telapak tangan. Karena ayat AI-Qur'an bersifat univer-- sal, maka perintah menutup aurat itu berlaku untuk seuniver--

se-mua wanita, dan sepanjang zaman, bukan hanya untuk wanita Arab. Sebab, anatomi tubuh seluruh wanita adalah sarna, baik Arab, Eropa, eina, atau Jawa. Oleh karena itu, sepanjang sejarah Islam, para ulama hanya berbeda pendapat dalam soal kewajiban menutup wajah (cadar) dan batasan tang an. Tidak ada yang ber-pendapat bahwa wanita boleh memperlihatkan perut atau punggungnya. Apalagi, yang berpendapat bahwa batasan aurat wanita terganhmg situasi dan kondisi.

Konsep finalitas dan universalitas teks AI-Qur'an inilah yang patut disyukuri oleh umat Islam, sehingga umat Islam seluruh dunia, sampai saat ini memiliki sikap yang sarna tentang berbagai masalah mendasar dalam Islam. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang terjadi dalam tradisi Kristen yang sangat mudah

(39)

I t1lilh hukum, karena teks Bibel sendiri memang sen~m-11,lsaberubah dan tidak ada teks yang final yang bisa ,Iljadikan rujukan. Contoh yang mudah bisa dilihat Il.llam hal ayat tentang babi, jika dilihat sejumlah versi It'ksKitab Imamat 11:7-8. DalamAlkitab versi Lembaga Ikitab Indonesia (LAI), tahun 1971 ditulis, "dan lagi

1111Iii, karena sungguhpun kukunya terbelah dua, ia itu

II/'rsiratan kukunya, tetapi dia tiada memamah biak, maka

!tl/ramlah ia kepadamu. Djanganlah kamu makan daripada Ilflgingnya dan djangan pula kamu mendjamah bangkainya,

IIInkaharamlah ia kepadamu." Tetapi, dalam Alkitab versi

I,l\.l tahun 2004, kata babisudah berubah menjadi babi I/Iltan, "Demikian juga babi hutan, karena memang berkuku Iwlah,yaitu kukunya bersela panjang, tetapi tidak memamah

Ilink, haram itu bagimu. Daging binatang-binatang itu

jfll1ganlah kamu makan dan bangkainya janganlah kamu

t11'l1tuh;haram semuanya itu bagimu," Dalam teks bahasa Inggris, versi The New Jerusalem Bible (1985), ayat itu tIjtulis,"you will regard the pig as unclean, because though

II has a cloven hoof, divided into two parts, it is not a

mminant, You will not eat the meat of these or touch their

(/(>ndbodies; you will regard them as unclean," Dari ketiga

leks itu bisa dilihat bagaimana problem teks Bible sangat j'Lunitdan pelik, karena tidak ada kitab standar dalam I'LLjukanpenerjemahan Bible. Dalam Kamus

Indonesia-IlIggris karya John M. Echols dan Hassan Shadily

(Ja-karta: Gramedia, 1994),kata babiditerjemahkan menjadi J'ig, hog, pork. Sedangkan kata babi hutan diterjemahkan

lit ·n.ganwild boar.Dalam Good News Bible,terbitan United

(40)

Bible Societies, 1976, ayat itu ditulis, "Do not eat pigs. They must be considered unclean; they have devided hoofs, but do not clew the cud. Do not eat these animals or even touch their dead bodies; they are unclean."

Karena tidak ada teks Bibel yang final dan dijadikan rujukan bersama semua kaum Kristen, maka kaum Kristen tidak bisa menafsirkan Bibel-nya secara tekstual. Mereka yang menafsirkan secara tekstual disebut Kristen fundamentalis, dan banyak dikecam oleh kaum Kristen. Tenhl ini sang at berbeda kondisinya dengan Al-Qur'an dan cara menafsirkannya. Umat Islam, dalam mengharamkan babi, berpegang kepada teks yang jelas, final, dan tetap, tidak berubah sampai Kiamat. Karena ada kondisi yang berbeda antara teks Bibel dan Al-Qur' an inilah, maka tidak bisa begi tu saja kaum Muslimin menjiplak metodologi Bibel untuk menafsirkan Al-Qur' an.

Tanpa memahami hakikat perbedaan antara teks Al-Qur'an dan Bibel dan metode penafsirannya, banyak sarjana yang latah menjiplak istilah-istilah yang diguna-kan dalam studi Bibel, seperti menggunadiguna-kan istilah "Islam fundamentalis", "Islam eksklusif" atau "Islam radikal" dan sebagainya, yang didefinisikan sebagai 'orang-orang yang menafsirkan Al-Qur' an secara tekstual/literal.' Sedangkan yang liberal, inklusif, atau pluralis, kata mereka, adalah yang menafsirkan Al-Qur'an secara kontekstual.

Seyogianya, para ilmuwan agama jangan bermain-main dengan aspek metodologis (epistemologis) ini. Jika

(41)

i

IIImetode dirombak hanya unhlk mengubah sam dua IlIlkllm tertenrn dalam Islam, maka dampaknya akan !Ilgat besar, karena sudah membuka pintu untuk

me-I

(Imbak seluruh hukum yang lain, dengan alasan

se-(I1.lla-mata, karena dianggap tidak sesuai dengan nilai-l"lni demokrasi dan HAM sekuler. Maka di antara /"·ngguna hermeneutika, saat ini, sudah bisa dijumpai Illmya merombak berbagai hukum Islam yang selama

I Ijdipandang sebagai hal yang qath'

i,seperti haramnya

111'rkawinansejenis (homoseks/lesbian), sebagaimana Illlakukan sejumlah mahasiswa Fakultas Syariah lAIN 'It'rnarang yang menerbitkan buku Indahnya Kawin

;,.srzma lenis. Bahkan, sudah ada yang menggugat

Illikum zina dengan menerbitkan buku Tuhan Izinkan

Iku Menjadi Pelacur. Bagi mereka, poligami dipandang

'bagai hal yang haram, tetapi zina, kumpul kebo, atau 11\cnjadipelacur tidak dipersoalkan.

I.

Curiga dan Mencerca Ulama Islam

Para pendukung metode ini juga tidak segan-segan Illcmberikan hlduhan yang membabi buta terhadap 11,1ra ulama Islam yang terkemuka, seperti Imam Syafi'i,

,1I1gberjasa merumuskan metodologi keilmuan Islam, .lng tidak dikehendaki oleh para pendukung herme-IIt'utika. Para mufasir, muhaditsin, dan para ulama

tll'lhulfiqih, telah memiliki metode yang kokoh dalam

lllcnafsirkan Al-Qur'an. Imam Syafi'i-selain dikenal ('bagai ulama ushul fiqih yang brilian-juga dikenal •.Iltlgai mufasir. Beliau dijadikan panutan oleh para Dampak Hermeneutika terhadap AI-Qur'an - 1.7

(42)

ulama dan umat Islam sedunia. Ketokohan dan ilmunya tidak diragukan. Namun, di kalangan pendukung hermeneutika, Imam Syafi'i dijadikan bahan kritikan bahkan bahan pelecehan.

Dalam buku Fiqih Lintas Agama yang diterbitkan oleh Paramadina dan The Asia Foundation, disebutkan: "Kaum Muslim lebih suka terbuai dengan kerang-keng dan belenggu pemikiran fiqih yang dibuat Imam Syafi'i. Kita lupa, Imam Syafi'i memang arsi-tek ushul fiqih yang paling brilian, tapi juga karena Syafi'ilah pemikiran-pemikiran fiqih tidak ber-kembang selama kurang lebih dua belas abad. Sejak Syafi'i meletakkan kerangka ushul fiqihnya, para pemikir fiqih Muslim tidak mampu keluar dari jera tan metodologinya. Hingga kini, rumusan Syafi'i ihl diposisikan begitu agung, sehingga bukan saja tak tersenruh kritik, tapi juga lebih tinggi ketimbang nash-nash syar'i (AI-Qur'an dan hadits). Buktinya, setiap bentuk penafsiran teks-teks selalu tunduk di bawah kerangka Syafi'i."lO

Seorang sarjana syariah dari lAIN Semarang, M. Kholidul Adib Ach, menulis sebuah artikel berjudul

"AI-Qur'an dan Hegemoni Arabisme," yang secara terbuka menyerang integritas kepribadian dan keilmu-an Imam asy-Syafi'i. Ia menuduh bahwa

pemikiran-10Mun'imA. Sirri (ed.), Fiqih Lintas Agama: Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis, (Jakarta: Yayasan WakafParamadina dan The Asia Foun-dation, 2004), hlm. 5.

(43)

pemikiran Imam Syafi'i dirumuskan untuk mengokoh-kan hegemoni Quraisy. Sebagaimana telah disebutmengokoh-kan pada bagian sebelumnya, ia menulis:

/lSyafi'i memang terlihat sangat serius melakukan pembelaan terhadap AI-Qur'an mushaf Utsmani, untuk mempertahankan hegemoni Quraisy. Maka, dengan melihat realitas tersebut di atas, sikap modera t Syafi'i adalah modera t semu. Dan sebenar-nya, sikap Syafi'i yang demikian itu, tak lepas dari bias ideologis Syafi'i terhadap suku Quraisy./lll Penulis artikel itu dengan berani menyerang Imam Syafi'i hanya berdasarkan kepada buku Nashr Hamid Abu Zaid berjudul AI-Imam asy-Syafi'i wa Ta'sis

al-Idulujiyah al- Wasithiyah. 'Melalui bukunya ini, Abu Zaid

menuduh bahwa pembelaan Imam Syafi'i terhadap kemurnian bahasa AI-Qur' an dari pengaruh bahasa asing sebenamya.hanyalah penekanan adanya kekuasa-an serta hegemoninya (Quraisy) terhadap bahasa Arab dan tidak lepas dari "bias ideologis."

Jika Imam Syafi'i dikritik dan dicerca, maka upaya perumusan metodologi tafsir model baru yang dilaku-kan kaum pembaru Islam (hermeneutika) justru dipuji-puji. Ini bisa dilihat dari berbagai tulisan penduktmg hermeneutika. Dalam memberikan pujiannya terhadap gerakan pembaruan Islam tahun 1970-an (neo-moder-nisme), Rektor UIN Jakarta, AzyumardiAzra mencatat:

11 Sumanto al-Qurthubi dkk., Oekonstruksi Islam Mazhab Ngaliyan

(Semarang: RaSAIL Press, 2005), hlm. 84,86).

(44)

"Bila didekati secara mendalam, dapat ditemui bahwa gerakan pembaruan yang terjadi sejak tahun

tujuh puluhan memiliki komitmen yang cukup kuat untuk melestarikan 'tradisi' (turats) dalam satu bingkai analisis yang kritis dan sistema tis. Pemikir-an para tokohnya didasari kepeduliPemikir-an yPemikir-ang sPemikir-angat kuat untuk melakukan formulasi metodologi yang konsisten dan universal terhadap penafsiran AI-Qur'an; suatu penafsiran yang rasional yang peka terhadap konteks kultural dan historis dari teks Kitab Sud dan konteks masyarakat modem yang memerlukan bimbingannya."12

Jika dicermati berbagai tulisan para pendukung her-meneutika ini, biasanya mereka bersikap sangat kritis terhadap para ulama Islam, tetapi mereka menjiplak begitu saja berbagai teori hermeneutika atau pemikiran dari para orientalis dan cendekiawan Barat, dengan tanpa sikap kritis sedikit pun. Para pendukung hermeneutika dan pencerca ulama-ulama Islam ini, biasanya dengan sangat ring an mengutip pendapat-pendapat Imanuel Kant, Paul Ricour, Habermas, Michel Foucoult, Antonio Gramsd, dan sebagainya, dengan tanpa sikap kritis, dan dengan mudahnya menjiplak gagasan mereka untuk diaplikasikan terhadap AI-Qur' an.

Sebenamya tidak terlalu sulit untuk membaca arah para pendukung hermeneutika untuk AI-Qur'an. Me-12 Lihat pengantar Azyumardi Azra untuk Buku Dr. Abd A'la, Dari Neomodernisme ke Islam Liberal (Jakarta: Paramadina, 2003), hIm. xi.

(45)

reka sejatinya in gin mengubah Islam agar bisa di-sesuaikan dengan zaman modem. Mereka ingin "Islam yang baru," bukan Islam yang dulu dipahami oleh para sahabat, tabi'in, tabi'it tabi'in, dan generasi awal Islam yang berjasa meletakkan fondasi keilmuan Islam yang kokoh dan tahan uji. Mereka-karena terpesona atau terjebak ke dalam gemerlapnya metodologi Bara t dalam studi agama-agama-menolak penggunaan metode yang dirumuskan para ulama Islam, tetapi malah me-masukkan unsur metodologi asing yang kadangkala bertentangan dengan metode Islam sendiri dalam me-nafsirkan AI-Qur'an.

3. Delconstrulcsi Konsep

Wahyu

Sebagian pendukung hermeneutika memasuki wi-layah yang sangat raw an dengan mempersoalkan dan menggugat otentisitas AI-Qur'an sebagai Kitab yang

'lafzhan wa ma'nan minallah"(lafazh dan maknanya dari

Allah). Dalam artikelnya diRepublika (24 Jtmi 2005) ten-tang hermeneutika-sebagaimana disebutkan sebelum-nya-Zainal Abidin mengakui, bahwa dalam tradisi -hermeneutika, ada kesamaan pola umum yang dikenal sebagai pola hubungan segitiga (triadic) antara teks, si pembuat teks, dan si pembaca (penafsir teks). Dalam hermeneutika, seorang penafsir (hermeneut) dalam memahami sebuah teks-baik itu teks kitab sud mau-pun teks umum-dituntut untuk tidak sekadar melihat apa yang ada pada teks, tetapi lebih kepada apa yang ada di balik teks. Pemahaman umum yang

(46)

kan, sebuah teks selain produk si pengarang (pembuat atau penyusun teks), juga merupakan produk budaya atau (meminjam bahasa Foucoult) epistem suatu masya-rakat. Karenanya, konteks historis dari teks menjadi sesuatu yang sangat signifikan untuk dikaji.

Seorang dosen UIN Yogya menulis kata pengantar untuk buku-Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan:

"Buku yang diberi judul Menggugat Otentisitas

Wahyu Tuhan: Kritik Atas NaZar Tafsir Gender karya

Aksin Wijaya yang ada di tangan pembaca ini merupakan model kegelisahan 'baru' akan domi-nasi nalar Arab dalam teks keagamaan, dalam hal ini AI-Qur'an. Dikatakan 'kegelisahan baru' meng-ingat pikiran-pikiran yang dilontarkan turut 'mem-permasalahkan' mushaf Utsman yang oleh sebagian besar pengkaji AI-Qur' an justru tidak lagi dip erma-salahkan. Sederet pemikir kontemporer seperti Amin al-Khuli, Fazlur Rahman, Hassan Hanafi, Nashr Abu Zaid, Abdul Karim Shooush, dan Mu-hammad Syahrur, misalnya, dengan seabrek tawar-an metodologis serta pemikiran kritis lainnya ten-tang AI-Qur'an, justru tidak menyinggung mushaf Utsman sebagai korpus yang pantas 'digugat,' meski sebenamya mereka mengakui proses kodifi-kasi masa Utsman tersebut sejatinya bisa menimbul-kan pertanyaan.""13

13 Lihat, pengantar Nurkholish untuk buku Aksin Wijaya,Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan (Yogyakarta: Safiria Insania Press, 2004), hlm. ix-x.

(47)

Penggunaan hermeneutika dalam penafsiran AI-Qur'an juga cenderung memandang teks sebagai produk budaya (manusia), dan abai terhadap hal-hal yang sifatnya trensenden (ilahiyyah). Dalam bingkaiher-meneutika, AI-Qur' an jelas tidak mungkin dipandang sebagai wahyu Tuhan lafazh dan makna sebagaimana dipahami mayoritas umat Islam, tetapi ia merupakan produk budaya atau setidaknya wahyu Tuhan yang dipengaruhi oleh budaya Arab, yakni budaya di mana wahyu diturunkan. Nashr Hamid Abu Zaid, misalnya, memandang bahwa AI-Qur' an adalah 'produk budaya Arab' (muntaj tsaqafi/cultural product). Abu Zaid adalah seorang pengaplikasi hermeneutika (hermeneut). Dia tidak bisa melakukan penafsiran ala hermeneutika, kecuali dengan terlebih dulu menunmkan derajat status teks AI-Qur' an dari teks wahyu menjadi teks yang me-manusiawi; bahwa AI-Qur'an yang sudah keluar dari mulut Nabi Muhammad adalah bahasa Arab biasa, yang dipahami oleh orang-orang Arab ketika itu. Karena bahasa adalah produk budaya, maka AI-Qur' an yang berbahasa Arab adalah juga produk budaya Arab. Teori ini secara tersamar atau terang-terangan menyata-kan, bahwa Muhammadlah sebenamya yang merumus-kan kata-kata AI-Qur'an yang berasal dari wahyu (inspirasi) yang berasal dari Allah.

Menyimak sejumlah buku Abu Zaid, tampak ia begitu menaruh perhatian pada aspek "teks" (nash,

khithab). Ia katakan, misalnya, bahwa peradaban Arab

Islam adalah "peradaban teks" (hadharah al-nash). Maka,

(48)

ia tulis buku-buku yang mengupas persoalan teks dan kritik terhadapnya, seperti Mafhum an-Nash Dirasah Ii

'Ulum Al-Qur'an dan Naqd al-Khithab ad-Dini. 14

Dalam melakukan kajian terhadap AI-Qur'an, di samping merujuk kepada pendapat-pendapat Mu'tazi-lah, Abu Zaid banyak menggunakan metode herme-neutika. Sebagai seorang hermeneut, maka tahap ter-penting dalam melakukan kajian terhadap makna teks, adalah melakukan analisis terhadap corak teks itu sendiri. Ia baru mendefinisikan apa itu "teks." Dengan itulah, dapat diketahui kondisi pengarang teks tersebut. Untuk Bibel, hal ini tidak terlalu menjadi masalah, sebab semua Kitab dalam Bibel memang ada pengarangnya. Tetapi, bagaimana untuk AI-Qur'an; apakah ada yang disebut sebagai pengarang AI-Qur'an? Tokoh herme-neutika modem, Friedrich Schleiermacher (1768-1834), merumuskan teori hermeneutikanya dengan berdasar-kan pada analisis terhadap pengertian tata bahasa dan kondisi (sosial, budaya, kejiwaan) pengarangnya. Ana-lisis terhadap faktor pengarang dan kondisi lingkung-annya ini sangat penting untuk memahami makna suahl teks.

Di sinilah Abu Zaid kemudian menempatkan N abi Muhammad saw.-penerima wahyu-pada posisi semacam "pengarang" AI-Qur'an. Ia menulis dalam bukunya, Mafhum an-Nash, bahwa AI-Qur'an

diturun-14 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash: Oirasah fi 'U/um

A/-Qur'an, (Beirut: al-Markaz ats-Tsaqafi al-' Arabi, 1994), hlm. 9.

(49)

kan melalui Malaikat Jibril kepada seorang Muhammad yang manusia. Bahwa Muhammad, sebagai penerima pertama, sekaligus penyampai teks adalah bagian dari realitas dan masyarakat. Ia adalah buah dan produk dari masyarakatnya. Ia hlmbuh dan berkembang di Mekah sebagai anak yahm, dididik dalam suku Bani Sa'ad sebagaimana anak-anak sebayanya di perkampungan badui.'Dengan demikian, kata Abu Zaid, membahas Muhammad sebagai penerima teks pertama, berarti tidak membicarakannya sebagai penerima pasif. Mem-bicarakan dia berarti memMem-bicarakan seorang manusia yang dalam dirinya terhadap harapan-harapan masya-rakat yang terkait dengannya. Intinya, Muhammad adalah bagian dari sasial budaya, dan sejarah

masyara-katnya.15

Tentang kansep wahyu dan Muhammad versi Abu Zaid dan sejenisnya ini, ditulis dalam buku karya Hilman Lathif (dasen Universitas Muhammadiyah Yagyakarta) yang berjudul Nashr Hamid Abu Zaid: Kritik

Teks Keagamaan (2003:70): Mereka memandang

Al-Qur' an-setidaknya sampai pada tingkat perkataan-bukanlah teks yang turun dari langit (surga) dalam

ben-tuk kata-kata aktual-sebagaimana pernyataan klasik yang masih dipegang berbagai kalangan, tetapi me-rupakan spirit wahyu yang disaring melalui Mu-hammad dan sekaligus diekspresikan dalam tapal batas intelek dan kemampuan linguistiknya."

15 Nasr Hamid Abu Zaid, Mafhum an-Nash, hlm. 59, 65.

(50)

Dengan definisi seperti itu, jelas bahwa Nabi Mu-hammad saw. diposisikan Abu Zaid sebagai semacam "pengarang" Al-Qur'an. Artinya, redaksi Al-Qur'an adalah versi Nabi Muhammad saw .. Karena, beliau di-katakan hanya menerima wahyu dalam bentuk inspirasi. Nabi Muhammad saw. sebagai seorang ummi, dikatakan bukanlah penerima pasif wahyu, tetapi juga mengolah redaksi Al-Qur' an, sesuai kondisinya sebagai manusia biasa yang dipengaruhi oleh budayanya. Kon-sep Abu Zaid yang menyatakan bahwa teks Al-Qur'an sebagai "spirit wahyu dari Tuhan" begitu identik de-ngan konsep teks Bibel, bahwa "The whole Bible is given

by inspiration of God." Dan pandangan seperti ini akan

berujung pada apa yang banyak dilakukan oleh orien-talis generasi~generasi awal yang menyebut agama Islam sebagai "agama Muhammad," dan hukum Islam disebut sebagai "Mohammedan Law," umat Islam disebut sebagai "Mohammedan." Penganut konsep Al-Qur' an versi Abu'Zaid ini biasanya tidak mau menyata-kan, "Allah berfirman dalam Al-Qur' an," sebab mereka menganggap" Al-Qur' an adalah kata-kata Muhammad. Atau, Al-Qur' an adalah karya bersama antara Muham-mad dengan Tuhannya.16

16 Dalam sampul buku Mafhum an-Nash edisi terjemahan bahasa Indonesia, ditulis: "Dengan pembongkaran ini, kajian atas Al-Qur'an menjadi semakin menarik, merangsang perdebatan ini melahirkan konsep baru yang radikal terhadap eksistensiAl-Qur'an." Upaya liberalisasi teks wahyu dalam Al-Qur' an -dengan menurunkan derajat Al-Qur'an sebagai produk budaya-tampak terpengaruh oleh pendekatan kaum Liberal

(51)

Pendapat Abu Zaid dan kalangan dekontsruksionis ini memang menjebol konsep dasar tentang Al-Qur'an yang selama ini diyakini kaum Muslimin, bahwa Al-Qur' an, baik makna maupun lafazhnya adalah daTi Allah. Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad saw. hanyalah sekadar menyampaikan, dan tidak meng-apresiasi atau mengolah wahyu yang diterimanya, untuk kemudian disampaikan kepada umatnya, sesuai dengan interpretasinya yang dipengaruhi oleh kondisi kejiwaan, sosial, dan budaya, setempat, dan seketika itu. Posisi beliau saw. dalam menerima dan menyampai-kan wahyu memang pasif, hanya sebagai "penyampai" apa-apa yang diwahyukan kepadanya. Beliau tidak menambahdan mengurangi apa-apa yang disampaikan Allah kepada beliau melalui Malaikat Jibril. Beliau pun terjaga dari segala kesalahan, karena beliau ma'shum. Al-Qur'an menyebutkan, "Dan dia (Muhammad saw.) tidak menyampaikan sesuatu, kecuali (daTi) wahyu

Kristen terhadap Bibel, yang merniliki sejumlah prinsip: (1) "mentalitas modern" yang hams menentukan cara pendekatan terhadap Bibel, (2) mendefinisi ulang makna ilham; keterlibatan halyang adikodrati dalam penulisan Bibel disangkal, (3) Bibel hams ditafsirkan secara historis. Salah satu teolog liberal, Karl Barth, mempunyai sejumlah prinsip penafsiran, antara lain: (1) sifat Bibel yang tidak mungkin salah dan diilhamkan oleh Tuhan ditolak, (2) doktrin tidak dapat dibuat berdasarkan kutipan-kutipan khusus dari Bibel; metode harfiah tidak dapat memberikan arti yang sebenarnya dari Bibel, (3) berbagai cerita dalam Bibel belum tentu merupakan peristiwa sejarah, melainkan sebagai cerita mitos, (4) seorang penafsir hams bersikap subyektif dan berorientasi pada pengalaman dalam membahas Bibel. (Lihat KevinJ.Corner dan Ken Malmin, Interpreting the Scriptures: Hermeneutik (terj.), (Malang: Gandum Press, 2004), hlm. 86-88).

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan kajian perpustakaan yang penulis lakukan terhadap tafsir ini, penulis dapati bahwa metode yang telah digunakan dalam tafsir ini adalah metode tahliliy, 30

28 Pembedaan level makna yang oleh Abu Zayd tersebut, di sisi lain juga berarti bahwa makna suatu pesan tidak selalu menuntut ditariknya suatu signifikansi, seperti

Dilihat dari latar belakang sosial dan budayanya, tafsir di Indonesia dapat dibagi dalam beberapa corak penafsiran, yaitu: (1) Tafsir yang ditulis dalam pengaruh politik kekuasaan

Produk tafsir yang berasal dari metodologi Maqāshidi dan Ma’nā cum Maghzā cenderung pada kesimpulan bahwa penggunaan jilbab di Indonesia perlu disesuaikan dengan kebutuhan

Dengan kata lain, metode tafsir ijmali menempatkan setiap ayat hanya sekedar ditafsirkan dan tidak diletakkan sebagai obyek yang harus dianalisa secara tajam dan

Begitu pula para ulama ahli tafsir yang mem- berikan penjelasan keutamaan tadabur Al- Qur’an dalam menafsirkan ayat-ayat terkait tadabur Al-Qur’an di dalam kitab tafsir me-

Sehingga dalam memahami tafsir manusia harus senantiasa bersifat inklusif dan mau menghormati pemahaman yang berbeda, karena dalam makna sejatinya apa yang kita pahami

20 2 fase pembentukan budaya ―baru‖ marhalah al-tasykil, ketikateks Al- Qur‘an membentuk dan mengkonstruksikan ulang sistem budayanya.24 Dengan demikian, maka menurut Abu Zaid, metode