BAB II
PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM
(JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL
A. Batasan Pengertian Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus
Cogens)
Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, pengertian
jus cogens terdapat dalam Bagian V yang mengatur perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Pada rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut:
“……..a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”.
Maksudnya adalah sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.
Sebagaimana kita ketahui bahwa rumusan naskah Konvensi Wina 1969 ini merupakan produk hasil kerja selama dua puluh tahun Panitia Hukum Internasional, yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 174/II/1947/ yang beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan berbagai sistem hukum. Berkenaan dengan jus cogens, Panitia Hukum Internasional21
21
Syahmin A.K. SH, 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi wina 1969. Bandung: Armico, hal. 177.
“The emergence of rules having to character of jus cogens is comparativelu recent, while international law is in process of rapid development….the right course to provide in general terms that treaty is void if it conflict with a rule of jus cogens and to leave the full content of this rule to be worked out in state practice and the yurisprudence of international tribunal……”.
Dari pandangan Panitia Hukum Internasional tersebut dapat ditarik beberapa hal yang menyangkut jus cogens ini, yakni jus cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai
public policy dalam pengertian hukum nasional. Sudargo Gautama22
1. Suy
menjelaskan tentang public policy ini sebagai “rem darurat” yang dapat dipakai terhadap suatu ketentuan hukum asing (yang sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum positif suatu Negara) yang dapat dikategorikan merupakan suatu pelanggaran yang sangat berat terhadap sendi-sendi suatu hukum nasional.
Sendi-sendi asasi ini dapat dianalogikan sebagai norma-norma dasar dari
jus cogens. Mengenai apa yang merupakan “ketertiban umum” sangat sukar dikemukakan suatu perumusan.
Selanjutnya untuk dapat memberikan gambaran dan perbandingan pendapat di atas, maka akan dikutip beberapa pendapat para ahli tentang jus cogens sebagai berikut:
23
“……the body of those general rules of law whose non observance may effect the very essence of the legal system to which they belong to such an extent that the subject of law may not, under paid of absolute nullity defart from them in virtue of particular agreements……”
, memberikan batasan terhadap jus cogens sebagai berikut:
22
Yudha Bhakti Ardhiwisastra,. 2003. Hukum Internasional Bunga Rampai. Bandung: PT. Alumni. Hal. 168.
23
Dari defenisi Suy ini dapat dilihat bahwa konsep jus cogens sangat umum dikenal bukan hanya dalam sistem hukum perdata, tetapi juga dalam sistem hukum internasional publik.
2. Lord Mc Nair24
3. Christos L. Rozakis
dalam hal ini memberikan komentarnya walaupun tidak menggunakan istilah jus cogens, ia menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang “lebih tinggi” dan ketentuan-ketentuan mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh Negara-negara yang membuat suatu perjanjian. Ia pun menegaskan bahwa adalah lebih baik memberikan contoh-contoh (illustration)
dari ketentuan jus cogens itu daripada memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan jus cogens. Lord Mc Nair memberi contoh ketentuan-ketentuan yang telah diterima baik secara tegas maupun secara diam-diam dalam hukum kebiasaan internasional dan aturan mana yang lebih penting untuk melindungi kepentingan umum masyarakat internasional. Misalnya ketentuan-ketentuan yang melarang digunakannya perang agresi, hukum mengenai genocide (larangan untuk membunuh massal), ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan dan lain-lain tindakan kriminal terhadap kemanusiaan, juga ketentuan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri juga hak-hak asasi manusia.
25
“in all major systems subject are free, it is true, to contract out of rules of law in their interse relations, that freedom, however, is conditional. There
memberikan penegrtian jus cogens sebagai berikut:
24
Syahmin A. K. Op.Cit. hal. 53
25
F. A. Whisnu Suteni., 1989. Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional. Bandung: Cv. Mandar Maju. Hal. 100.
are general rules of law which exclude the conclusion of particular contractual arrengenents conflicting with them by actually prohibiting derogating from their content and by threatening with invalidity any attempt of violation of that prohibition. These rules are usually called jus cogens”.
Dari pengertian ini ditegaskan bahwa meskipun Negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri, namun kebebasan itu ada batasnya. Terdapat kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara. Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh Negara-negara yang bertentangan dengannya. Kaidah hukum ini disebut jus cogens.
Masyarakat internasional membutuhkan suatu kaidah atau norma yang membatasi kehendak Negara, dan menurut Lord McNair’s kaidah tersebut ada dalam masyarakat internasional, bahkan dalam setiap masyarakat yang beradab. Hal ini dikemukakannya sebagai berikut26
Dalam pendapat Lord McNair’s di atas dikemukakan adanya imperative provision (ketentuan memaksa); dalam latar internasional tentu saja yang dimaksudkan oleh Lord McNair’s adalah jus cogens. Karena jus cogens adalah norma yang imperatif atau memaksa. Maksudnya jus cogens mengikat para pembentuk hukum internasional dengan memaksakan normanya. Sifat jus cogens
ini berbeda dengan norma yang disebut jus dispositivum, yang berarti mengatur, :
It is difficult to imagine any society, whether of individuals or of states, whose law sets no limit whatever to freedom of contract. In every civilized community there are some rules of law ad some principles of morality which individuals are not permitted by law to ignore or to modify by their agreements. The maxim modus et convention vincint legem does not apply to imperative provisions of the law or of public policy.
26
karena norma yang terakhir ini hanya bersifat mengatur, sehingga dapat disimpangi. Dalam tulisan T.O. Elias hal ini digambarkan sebagai berikut27
Akhehurst
:
Except where they apply, or any similar principle is applicable in other international organizations, the jus dispositivum consisting of the treaty stipulation agreed between the parties thereto is not generally rregarded as being governed by eny jus cogens consisting of the principles of law or policy which are binding on the negotiators of such treaties or can be ignore by them only at the risk of the invalidity of their agreement. There have been isolated judicial dicta suggesting the existence of an international public order which the provisions of treaties must respect.
Pengertian jus cogens di atas menunjukkan karakteristik tertentu dari kaidah atau norma hukum, atau pada jenis kaidah hukum tertentu. Karena itu
dispositivum dapat disimpulkan adanya dua jenis kaidah hukum, yaitu jus cogens
dan jus dispositivum. Jadi pengertian jus cogens tidak menunjuk pada bentuk hukum. Sedangkan bentuk hukum dari jus cogens sendiri tergantung pada sumber-sumber hukum internasional formal dimana ia ditemukan. Dengan perkataan lain jus cogens dapat merupakan kaidah perjanjian internasional, kaidah hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk hukum international lainnya; sehingga pembahasan jus cogens otomatis juga merupakan pembahasan mengenai perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional.
28
27
Ibid., hal.101.
28
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op. cit. hal. 170.
mengemukakan bahwa suatu aturan dalam hukum internasional tidak dapat menjadi jus cogens apabila tidak diakui dan diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian, praktek Negara-negara yang berdasarkan local custom, derajatnya dapat naik apabila diterima oleh masyarakat internasional.
Jadi jus cogens yang dibahas dalam skripsi ini bukan jus cogens yang terdapat dalam hukum perjanjian, tetapi hukum kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sudah mulai diadopsi dalam instrumen-instrumen hukum internasional.
Schwarzenberger29
B. Fungsi Jus Cogens
mengemukakan tiga sifat universal dan tujuh asas fundamental dalam tubuh hukum internasional sebagai unsur-unsur dari norma jus cogens. Verdross mengemukakan tiga ciri aturan yang dapat menjadi jus cogens
hukum internasional, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul karena adanya kepentingan bersama dalam masyarakat internasional, timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan harus sesuai atau selaras dengan Piagam PBB.
Secara konseptual, jus cogens memiliki tiga fungsi, yaitu30 1. Sebagai pembatasan atas kehendak bebas Negara;
:
2. Sebagai pengakuan atas pranata ilegalitas obyektif; 3. Sebagai pembentuk sistem hukum internasional vertikal.
Fungsi pertama muncul berdasarkan pemikiran bahwa Negara-negara dalam hubungsn internasional selalu berpegangan pada ideologi dan kepentingan nasional mereka yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan pertentangan yang menjurus pada pelanggaran hukum internasional. Namun walaupun melakukan pelanggaran hukum, Negara dapat menjustifikasi tindakan mereka, yaitu dengan membentuk ketentuan hukum yang membenarkan tindakan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena Negara mempunyai kebebasan
29
Ibid., hal 176.
30
untuk membentuk hukum. Disamping itu Negara juga mempunyai kebebasan untuk mengakui atau tidak mengakui suatu ketentuan hukum, sehingga kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam hukum internasional boleh tidak ditaati oleh suatu Negara, apabila Negara tersebut memang tidak menyetujui ketentuan yang dimaksud.
Maka dalam masyarakat internasional dubutuhkan hukum yang membatasi kehendak bebas Negara, agar Negara-negara tidak membentuk hukum yang bertentangan dengan keadilan dan ketertiban internasional, dan mengharuskan mentaati hukum tersebut. Hukum itu bersifat memaksa, yang walaupun pada awalnya dibentuk oleh Negara-negara, tetapi kemudian hukum itu membatasi kehendak bebas Negara.
Sebagai konsekuensi fungsi di atas dan sesuai dengan sifatnya yang tidak boleh dikesampingkan, maka apabila terdapat Negara-negara yang bertindak secara unilateral atau membentuk hukum yang tidak sesuai dengan hukum yang memaksa tersebut (jus cogens), maka tindakan itu tidak sah berdasarkan hukum
(illegal). Ketidaksahan tersebut adalah ketidaksahan yang otomatis atau disebut ilegalitas obyektif.
Brownlie31
31
Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op. cit. hal. 170.
memberikan beberapa contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya perang agresi, pelanggaran terhadap hukum
genocide, perdagangan perbudakan, pembajakan, kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak
menentukan nasib sendiri, UN Convention Racial Discrimination dan UN Declaration on Permanent Soverreignity Over Natural Resources.
Mengenai tindakan Negara yang tidak sesuai dengan jus cogens yang disebut ilegalitas obyektif berbeda dengan ilegalitas subyektif. Ilegalitas subyektif32
32
Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 103.
yaitu suatu tindakan hukum dianggap ilegal setelah terdapat protes dari Negara yang terkena akibat tindakan ilegal tersebut dan memang terbukti. Sedangkan ilegalitas obyektif berarti pengakuan secara obyektif terhadap suatu yang ilegal. Maksudnya begitu suatu tindakan atau perjanjian yang melawan hukum terjadi, maka tindakan atau perjanjian tersebut otomatis dianggap ilegal, karenanya menjadi tidak sah atau batal.
Dengan adanya kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara dan mengancam dengan ilegalitas obyektif disatu pihak, dan adanya kaidah hukum yang tidak memiliki karakteristik seperti diatas dilain pihak, menciptakan dua tipe kaidah hukum, yaitu norma superior dan norma inferior. Jus cogens sebagai kaidah memaksa merupakan kaidah hukum yang superior, dan jus dispositivum
sebagai kaidah mengatur merupakan kaidah hukum yang inferior. Akibatnya kedua hukum tersebut membentuk hierarki hukum, yang menciptakan sistem hukum vertikal, disamping sistem hukum horizontal, dalam latar internasional. Dengan demikian hierarki dalam hukum internasional tidak ditentukan berdasarkan bentuk hukum, melainkan berdasarkan jenis atau tipe hukum.
C. Syarat Pemanifestasian Jus Cogens
Agar dapat diterapkan dalam masalah-masalah yang bertaraf internasional, maka jus cogens harus memenuhi syarat-syarat pemanisfestasian berikut ini, yaitu33
1. Syarat Double Consent :
Tidak mudah mengidentifikasikan norma-norma yang termasuk jus cogens. Karena itu Komisi Hukum Internasional memutuskan tidak menyebutkan contoh-contoh jus cogens dalam merancang pasal 53 (tentang jus cogens) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969. walaupun demikian, beberapa ahli telah mencoba memberikan contoh-contoh atau batasan-batasan jus cogens; seperti misalnya Verdross berusaha memberikan patokan-patokan umum yang menunjukkan tiga tipe jus cogens, yakni34
a. Kaidah-kaidah yang menyangkut kepentingan bersama masyarakat internasional secara keseluruhan;
:
b. Kaidah-kaidah yang dibentuk demi tujuan-tujuan kemanusiaan;
c. Kaidah-kaidah yang ditempatkan oleh piagam PBB melawan perjanjian-perjanjian atau penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional.
Sedangkan L. Rozakis langsung memberikan contoh konkret dari jus cogens, yaitu:
a. Larangan penggunaan kekerasan; b. Prinsip kebebasan laut;
c. Hak-hak asasi manusia dan hak penentuan nasib sendiri (self determination).
33
Ibid,. hal. 105.
34
Syarat-syarat pemanifestasian jus cogens diatur oleh hukum perjanjian internasional, yaitu tersirat dalam pasal 53 Konvensi Wina 1969. Pasal 53 yang berjudul Trities conflicting with a ppremptory norm of general international law (jus cogens), menentukan sebagai berikut:
A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a premptory norm of general international law. For the purposes of the present convention, a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.
Kalimat yang terpenting dalam pasal di atas adalah ……a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole….. Dalam kalimat ini jus cogens
diartikan sebagai kaidah hukum internasional umum yang memaksa dan diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Dengan demikian kaidah hukum yang dianggap sebagai jus cogens harus disetujui terlebih dahulu oleh Negara-negara. Persetujuan itu meliputi, pertama, persetujuan atau pengakuan bahwa kaidah hukum tersebut adalah kaidah hukum internasional yang bersifat umum, yang biasanya secara implisit dianggap ada apabila memang kaidah hukum tersebut dibentuk oleh Negara-negara secara umum atau global, selain dapat pula pengakuan tersebut dianyatakan dalam perjanjian secara eksplisit. Kedua, adanya persetujuan bahwa kaidah hukum tersebut bersifat memaksa. Jadi jus cogens dimanifestasikan melalui persetujuan atas sifat umum dan sifat memaksa dari suatu kaidah hukum internasional; dan hal inilah yang disebut syarat “double concent”.
2. Syarat Universalitas
Kalimat yang dianggap penting dalam pasal 53 menyebutkan pula bahwa
jus cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Negara sebagai keseluruhan. Dengan demikian jus cogens harus merupakan norma yang diterima dan diakui secara universal atau oleh semua Negara tanpa keculi.
Hal itu tentu saja membahayakan bagi proses penetapan jus cogens, karena apabila salah satu Negara tidak mengakui suatu kaidah sebagai jus cogens, maka kaidah tersebut akan gagal menjadi jus cogens. Maka dicarilah jalan keluar dengan mengganti pengertian universal menjadi near universal (hampir universal). Hal ini berarti bahwa suatu Negara akan terikat pada jus cogens
walaupun ia tidak memberikan persetujuan. Dengan demikian persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan dengan suara mayoritas, dimana mayoritas yang dimaksud adalah near universal.
Sebagai contoh adalah praktek Majelis Umum PBB dalam mengeluarkan suatu resolusi. Hal ini diartikan bahwa resolusi tersebut merupakan suatu pengakuan eksplisit dari pencerminan pendapat umum suatu masyarakat internasional secara keseluruhan. Oleh karena apabila ada suatu aturan dalam hukum internasional yang tidak diterima oleh masyarakat internasional atau diakui secara keseluruhan (near universal), maka aturan itu tidak dapat menjadi jus cogens.
Menurut Schwarzenberger35
35
Syahmin A.K., Op.cit., halaman 180.
untuk membentuk suatu jus cogens
yang universal dan asas-asas fundamental. Sifat-sifat yang dimaksud haruslah mempunyai arti penting luar biasa (exceptionally significant) dalam hukum internasional disamping mempunyai arti penting luar biasa dibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas tersebut merupakan bagian esensial dalam sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yan berlaku.
Jika sifat-sifat itu diterapkan maka akan timbul tujuh asas fundamental dalam tubuh hukum internasional, yakni36
1. asas kedaulatan;
:
2. asas pengakuan; 3. asas permufakatan; 4. asas itikad baik; 5. asas hak membela diri;
6. asas tanggung jawab internasional; 7. asas kebebasan laut lepas.
Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut
(inalienable) karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap Negara apabila berkeinginan untuk tetap exist dalam pergaulan masyarakat internasional, kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus tetap melekat pada Negara. Sebagaimana dikatakan Jean Bodin, sarjana pertama yang menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, bahwa sebagai sifat khas dari Negara yang berdaulat adalah kekuasaan yang mutlak dan abadi dari Negara.
36
Pengakuan sebagai asas kedua dinyatakan terhadap pembatasan penggunaan kekerasan senjata dan hak membela diri dapat diperluas dengan adanya suatu larangan terhadap hak untuk mengakui perubahan-perubahan wilayah yang bertentangan dengan tujuan diperkenankannya kekerasan senjata.
Asas permufakatan dan itikad baik adalah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 2 Piagam PBB. Hal ini berarti bahwa setiap anggota PBB tidak dapat mengubah suautu resolusi yang telah dicetuskan dengan cara mengambil suatu tindakan tertentu terhadap resolusi tersebut dengan menggunakan kebebasan sedemikian rupa, dan karenanya harus menerimanya sebagai kewajiban yang telah dimufakatinya, yang tidak dapat dilanggar dengan kehendak sendiri.
Hak membela diri sebagai asas fundamental dalam tubuh hukum internasional telah mendapat tempat pengaturannya yang kuat pada Piagam PBB yang terletak pada pasal 51, sebagai suatu hak yang dipunyai suatu Negara untuk membela diri apabila terjadi suatu serangan bersenjata terhadapnya. Hak membela diri ini dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara bersama-sama.
Tanggung jawab internasional dapat dilukiskan sebagai adanya penerimaan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946 terhadap prinsip-prinsip yang merupakan tanggung jawab masyarakat internasioanal.
Kemudian yang terakhir adalah mengenai prinsip kebebasan di laut lepas yang diatur dalam Bagian VII, bab I Hukum Laut III (UNCLOS) khususnya dalam pasal 87 hingga pasal 115.
Ian Brownlie37
1. Perang agresi;
memberikan contoh-contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya:
2. Pelanggaran terhadap hukum genocide; 3. Perdagangan budak;
4. Pembajakan;
5. Kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan; 6. pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri.
Menurut seorang penulis terkenal38
Pada hakekatnya kedaulatan dalam konsepsi hukum internasional modern tidaklah bersifat mutlak. Kedaulatan dalam persepsi juridis sifatnya terbatas, dibatasi oleh hukum alam, hukum internasional, dan bahkan aspek internal kedaulatan itu dibatasi oleh konstitusi Negara itu sendiri. Hal ini digambarkan secara tepat oleh Bierly
, kaidah-kaidah jus cogens itu meliputi:
“kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian….kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat manusia (larangan genocide, perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar manusia pada masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan Negara-negara, kaidah-kaidah yang menjamin semua masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama (laut lepas, ruang angkasa, dan lain-lain).
39
37
Ian Brownlie. 1979. Principles of Public International Law., Oxford University Press. Hal 512.
38
J.G. Starke. 1988. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 68.
39
Bierly. 1955. The Law Of Nation. London: Oxford Clarendon Press. Hal 9.
sebagai berikut:
“……there were some laws that bind him, the divine law, the law that is common to all nations and also certain laws wich calls the leges imperii, the law of government”.
Adalah sangat tepat pernyataan Bierly itu bahwa salah satu instrument pembatas kedaulatan adalah “the law that is common to all nations”, apalagi bila didalamnya terkandung kaidah-kaidah hukum internasional yang universal. Kaidah-kaidah mana yang sangat penting karena mempunyai fungsi pokok mengatur masyarakat internasional teerutama dalam hubungan antar Negara dengan Negara.
Kaidah hukum internasional ini juga disebut oleh J. Morghentau sebagai suatu kaidah internasional yang diperlukan atau “jus necessarium” dari sistem Negara modern. Kaidah mana yang mengikat semua Negara tanpa memperdulikan kesediaan mereka. Namun in tegaskan pula bahwa kekuatan mengikat tersebut tidak berdampak terhadap kedaulatan masing-masing bangsa. Malahan kekuatan mengikat tersebut memungkinkan kedaulatan sebagai konsep hukum. Sebab tanpa adanya saling menghormati yurisdiksi masing-masing bangsa dan tanpa pelaksanaan hukum saling menghormati itu, maka hukum internasional dan system Negara tidak mungkin ada.
Peranan jus cogens juga digambarkan oleh David H. Ott40
Maksudnya Negara-negara dahulunya mempunyai kebebasan mutlak menetapkan kaidah aturan hukum apa yang berlaku bagi tatanan perhubungan di
sebagai berikut:
“…..states are completly free to establish whatever customary law they like whitin their own region in the past when positivism was the dominant view and other fundamental elements of international law were not in place the answer probably yes. But there is strong argument to be made today that what is called Jus Cogens has altered the position”.
40
David H. Ott. 1987.Public International Law In The Modern World. London: Pittman Publishing. Hal 18.
wilayah mereka, karena tidak adanya suatu ketentuan yang mendasar dari hukum internasional tentang hal tersebut. Namun hal tersebut dewasa ini telah dibatasi oleh apa yang disebut sebagai Jus Cogens dan telah mengganti posisi aturan yang lama, sebagai kaidah hukum internasional universal yang mengatur hubungan masyarakat internasional, mengikat dan harus ditaati secara keseluruhan.
D. Self Determination Sebagai Implementasi Jus Cogens
Pada penjelasan-penjelasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai jus cogens dan pendapat para ahli mengenai norma dasar hukum internasional tersebut. Bahwa hal yang sangat mendasar adalah bahwa norma tersebut harus diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Kemudian telah diuraikan pula pendapat ahli hukum internasional mengenai aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens dan contoh-contoh jus cogens.
Dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai self determination
sebagai implementasi dari jus cogens. Bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri telah diterima secara keseluruhan oleh masyarakat internasional dan telah dituangkan dalam beberapa instrument internasional.
Hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat dan kesatuan-kesatuan yang belum merdeka diakui secara tegas oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusi tentang Penentuan Nasib Sendiri (Resolution on Self-Determination) tanggal 12 Desember 1958, dan dalam Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat jajahan
(Declaration on The Granting of Independence to Colonial Countries and Peoples) pada tanggal 14 Desember 1960. Hak tersebut telah diuraikan secara
rinci di bawah judul “Prinsip Persamaan Hak dan Penentuan Nasib Sendiri Rakyat”, dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan-Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara-negara Sesuai dengan Charter PBB (Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States In Accordance With the United Nation Charter), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1970. Pada taggal 10 November 1975, Majelis Umum Mengeluarkan sebuah resolusi yang menegaskan kembali “pentingnya realisasi universal atas hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, terhadap kedaulatan nasional dan integritas wilayah, dan mempercepat pemberian kemerdekaan kepada nengeri-negeri dan rakyat-rakyat terjajah sebagai kewajiban untuk dinikmatinya hak-hak manusia. Pada tanggal 16 Desember 1966 secara bulat disetujui Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Covenant on Civil and Political Rights, keduanya terbuka untuk ditanda tangani tanggal 15 Desember 1967, dalam kedua konvensi itu diakui hak-hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri.
Jus cogens termanifestasi dalam hukum kebiasaan internasional juga melalui konsensus secara global, dalam arti near universal, yang menghasilkan hukum kebiasaan internasional umum. Dalam pembentukan hukum kebiasaan intetrnasional sebagai jus cogens, opinio juris yang terbentuk disebut opinio juris cogentis, yang berarti keyakinan yang dirasakan Negara-negara bahwa bentuk tingkah laku tertentu wajib dilakukan atau dilarang dilakukan terhadap setiap subjek hukum.
Proses pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens
mencakup dua unsur yang harus terpenuhi, yaitu unsur material (kebiasaan) dan unsure psikologis (opinio juris) sebagai unsur konsensual41
41
Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 111.
. Dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens dimungkinkan hanya terdapat satu unsur yang terpenuhi, yaitu opinion juris cogentis. Artinya, apabila nengara-negara secara universal mempunyai opinio juris cogentis maka otomatis tlah terbentuk hukum kebiasaan internasional. Hal ini dimungkinkan Karena Negara-negara menyetujui bahwa bentuk tingkah laku tertentu dilarang atau diwajibkan dilakukan terhadap setiap subjek hukum, sehingga apa yang disetujui tersebut berlaku memaksa. Jadi walaupun belum ada praktek, diantara Negara-negara dapat tercipta hukum kebiasaan internasional; sedangkan praktek atau kebiasaan internasional itu diandaikan atau dianggap ada karena sudah dapat dipastikan Negara-negara harus bertindak berdasarkan opinio juris cogentisnya terhadap subjek hukum.
Munculnya opinion juris cogentis, sebagai contoh dapat dibuktikan melalui diterimanya yurisdiksi universal oleh Negara-negara. Yurisdiksi universal adalah kekuasaan yang diberikan kepada setiap Negara, dalam batas prinsip nebis in idem, untuk mengadili dan menghukum pelaku kejahatan yang digolongkan sebagai hostis humani generic (musuh umat manusia) atau disebut juga crime contra humanum genus, tanpa memperhatikan kewarganegaraan pelaku dan tempat kejahatan dilakukan.
Karena opinion juris cogentis dimiliki oleh Negara-negara secara near universal, maka larangan melakukan crime contra humanum genus juga merupakan kaidah hukum internasional umum, dan sekaligus memenuhi syarat universalitas, sehingga larangan tersebut merupakan jus cogens. Contoh lain mengenai larangan perdagangan budak dan piracy, dan tidak ketinggalan juga mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri.
Hak untuk menentukan nasib sendiri dianggap perlu mencakup sejumlah kewajiban yang mengikat Negara-negara, termasuk kewajiban untuk mendorong dilakukannya tiindakan merealisasikan hak menentukan nasib sendiri baik melalui kerjasama maupun tersendiri, dan menyerahkan kekuasaan berdaulat kepada rakyat yang berhak atas hak ini dan kewajiban untuk menghindari tindakan pemaksaan yang dinilai merintangi rakyat menikmati hak ini. Kewajiban-kewajiban ini telah ditegaskan atau tersirat dalam Deklarasi-deklarasi tersebut di atas yang disahkan oleh Majelis Umum, dan memperoleh dukungan dalam praktek pada decade terakhir ini. Pertama, telah terjadi emansipasi beberapa wilayah koloni atau wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Yang kedua, telah terasa pengaruh Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri-negeri dan Rakyat-rakyat terjajah yang telah disebut di atas. Dalam Deklarasi ini Majelis Umum menyatakan perlunya mempercepat dan mengakhiri dengan cepat tanpa syarat bentuk kolonialisme dan menifestasinya dan menyerukan pengambilan langkah-langkah segera guna menyerahkan semua kekuasaan kepada rakyat di wilayah-wilayah yang belum merdeka42
42
J.G. Starke. Op. cit. Hal. 158.
Kewajiban-kewajiban yang dianggap memaksa dalam Piagam PBB terutama diatur dalam pasal 2 Piagam, yang mengatur mengenai prinsip-prinsip organisasi. Prinsip-prinsip dalam pasal 2 juga merupakan kaidah hukum internasional umum, karena telah diakui secara near universal, sehingga prinsip-prinsip ini adalah jus cogens, yang antara lain sebagai berikut:
1. Prinsip persamaan kedaulatan (ayat 1); 2. Prinsip itikad baik (ayat 2);
3. Prinsip penyelesaian perselisihan dengan cara damai (ayat 3);
4. Prinsip tidak mengancam dengan atau menggunakan kekerasan (ayat 4); 5. Prinsip non-intervensi urusan domestik Negara lain (ayat 7).
Selain itu ketentuan lain dalam Piagam yang juga merupakan jus cogens
adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (pembukaan, pasal 1, 55, 56, 62, 68 dan 76).
Masih ada beberapa kesulitan mengenai apa yang dinyatakan sebagai “penentuan nasib sendiri” (self- determination) baik dalam hal artinya maupun yang tercakup dalam istilah tersebut. Beberapa penulis menolak untuk menganggap hak ini sebagai suatu hak yang sifatnya mutlak, mereka menekankan bahwa hak ini harus dianggap ada dalam konteks rakyat atau kelompok yang menuntut pelaksanaan hak tersebut. Tampaknya hak untuk menentukan nasib sendiri berkonotasi kepada kebebasan untuk memilih dari rakyat yang belum merdeka melalui plebisit (plebiscite) atau metode-metode lainnya untuk memastikan kehendak rakyat. Persoalan lain yang cukup rumit adalah untuk menentukan masyarakat manusia mana yang merupakan “rakyat” yaitu mereka
yang memiliki hak menentukan nasib sendiri. Aspek-aspek seperti kesamaan wilayah, kesamaan bahasa dan kesamaan tujuan politik mungkin harus dipertimbangkan. Singkatnya, secara wajar haruslah ada suatu unit wilayah yang sama bagi rakyat pada siapa hak tersebut dianggap dapat diberikan. Di luar hal ini, ada persoalan mengenai sejauh manakah hak menentukan naasib sendiri tersebut akan memperbolehkan pemisahan bagian wilayah dari suatu wilayah. Suatu hak pemisahan diri yang tidak memenuhi syarat, yang timbul dari hak menentukan nasib sendiri, dapat menimbulkan kekacauan terhadap sistem-sistem kenegaraan43
E. Kedudukan Jus Cogens Sebagai Sumber Hukum Internasional .
Penentuan nasib sendiri tidak perlu hanya menyangkut atau secara eksklusif merupakan hak untuk memilih status Negara otonom, tetapi juga pilihan untuk berintegrasi dengan Negara induk.
Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai pengertian, fungsi dan syarat-syarat pemanifestasian jus cogens, maka semakin jelas terlihat bahwa jus cogens merupakan kaidah yang tidak dapat dikesampingkan. Semua jus dispositivum harus sesuai dengan jus cogens, karena apabila tidak sesuai akan batal demi hukum. Sanksi atau ancaman invaliditas ini juga mempengaruhi para pembentuk hukum, karena mereka dalam membentuk hukum baru tidak boleh melanggar jus cogens. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jus cogens turut menentukan atau mempengaruhi isi hukum, sehingga jus cogens merupakan
43
sumber dalam menentukan isi hukum. Dengan perkataan lain jus cogens
merupakan sumber hukum internasional dalam arti material.
Sumber-sumber material hukum internasional dapat didefenisikan sebagai bahan-bahan aktual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori atau bentuk utama, yaitu44
1. Kebiasaan;
:
2. Traktat-traktat;
3. Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrase; 4. Karya-karya hukum;
5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembaga-lembaga internasional.
Sedangkan tata urutan sumber-sumber material yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal 38 Statuta International Court of Justice adalah45
1. Traktat-traktat dan konvensi-konvensi;
:
2. Kebiasaan;
3. Prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;
4. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan bagi penetapan kaidah hukum.
Dalam praktek, sumber hukum material ini harus dipergunakan sebagai pedoman pembentukan hukum. Dalam latar internasional keberadaan sumber hukum material memerlukan pembentukan atau persetujuan. Maksudnya bahwa
44
J.G. Starke. Op. cit. hal. 43.
45
suatu ketentuan hukum dapat dianggap sebagai sumber hukum material hanya jika memang telah dikonsensuskan demikian.
Selain sebagai sumber huku m internasional material, jus cogens dalam bentuk hukumnya, yaitu berupa perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk hukum internasional lainnya, juga merupakan sumber huku m internasional formal.
Sumber hukum formal dapat diartikan dalam dua macam pengertian, yaitu46
1. Sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum; :
2. Sumber hukum formal sebagai dasar mengikat.
Salah satu arti sumber hukum formal adalah sebagai tempat menemukan hukum. Maksudnya berdasarkan sumber hukum formal ini suatu kaidah dapat dikenal sebagai kaidah hukum. Hukum itu sendiri agar dapat ditemukan atau dikenal harus memiliki bentuk. Dengan perkataan lain hukum baru dapat dapat ditemukan setelah hukum itu terbentuk.
Sumber hukum formal dalam arti sebagai dasar mengikat merupakan lanjutan dari pengertian sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum, karena keterikatan Negara terhadap suatu kaidah hukum muncul setelah kaidah hukum itu terbentuk. Keterikatan yang dimaksud adalah keterikatan untuk mentaati dan/atau melaksanakan hukum yang telah dibentuk. Hal inilah yang disebut sebagai kekuatan mengikat secara formal. Kekuatan mengikat hukum
46