• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens) Dalam Penyelesaian Gerakan Separatis di Indonesia Yang Menggunakan Self Determination Sebagai Dasar Gerakan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Penerapan Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens) Dalam Penyelesaian Gerakan Separatis di Indonesia Yang Menggunakan Self Determination Sebagai Dasar Gerakan"

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM

(JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN SEPARATIS DI INDONESIA YANG MENGGUNAKAN SELF DETERMINATION

SEBAGAI DASAR GERAKAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

NIM: 060200231 VERAWATI

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(2)

PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN SEPARATIS DI INDONESIA YANG MENGGUNAKAN SELF DETERMINATION

SEBAGAI DASAR GERAKAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara Oleh:

NIM: 060200231 VERAWATI

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL Disetujui Oleh:

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP: 195610101986031003 Sutiarnoto, SH. M. Hum

Pembimbing I Pembimbing II

Prof. DR. Suhaidi, SH. MH

NIP: 196207131988031003 NIP: 196403301993031002 Arif, SH. MH

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, hendaknyalah seluruh bumi dan setiap unsurnya menaikkan puji-pujian atas kuasa dan kemurahan serta penyertaannya yang telah memampukan penulis untuk menyelesaikan skripsi yang berjudul “Penerapan Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens) Dalam Penyelesaian Gerakan Separatis di Indonesia Yang Menggunakan Self Determination Sebagai Dasar Gerakan” dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan. Skripsi ini ditulis dan diajukan untuk melengkapi persyaratan memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Untuk itu, terima kasih yang sebesar-besarnya dihaturkan kepada Bapak Prof. DR. Suhaidi, SH. MH selaku dosen pembimbing satu, dan Bapak Arif, SH. MH selaku dosen pembimbing dua, yang selama ini sangat membantu dalam memberikan bimbingan akademik maupun bantuan buku dan konsultasi lainnya kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

(4)

sangat berterimakasih, kalian selalu menyemangati, kiranya segala harapan kalian dapat saya pikul, menjadi orang yang berguna dan tidak mengecewakan.

Dengan penuh rasa hormat, penulis juga berterimakasih kepada semua pihak yang telah berperan baik dalam penulisan skripsi maupun dalam kehidupan penulis, yakni:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M. Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum USU;

2. Bapak Sutiarnoto, SH, M. Hum selaku ketua Departemen Hukum Internasional yang telah memberikan pelayanan yang optimal bagi penulis selama ini;

3. Kepada para Dosen Fakultas Hukum USU yang telah mengajar dan menyumbangkan ilmunya yang tak ternilai bagi penulis, serta jajaran pegawai Fakultas Hukum USU, terima kasih atas kerja samanya selama ini; 4. Buat teman-teman kost Berdikari 66 especially for Oncy, Yola, Geth, K’Sere,

(5)

sorga. Buat B’Roy Sipahutar thanks for all, jerih payahmu dalam Tuhan tidak akan sia-sia, amen?!?

5. Buat Bung dan Sarinah GMNI Komisariat Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Khsususnya teman-teman stambuk 2006 Yolanda, Tika, Mieke, Melda, Juli, Marsias, Tulus, Moris, Doni Junjungan, tetap semangat dan tetap berintegritas sebagai pejuang kaum marhaen. Jaya selalu dan marhaen pasti menang!!! Buat teman-teman diluar organisasi GMNI khususnya Pimpin Oloan Matondang makasi sudah bersedia mengantar pulang les sampai ke kost dengan selamat, Edward J. Sinaga dan teman-teman semua yang tidak disebutkan satu persatu. Buat KMK UP FH berdirilah teguh dan jangan goyah di atas kebenaran Firman Tuhan.

6. Buat Hubertus Manao, SH makasi sudah mendampingi dalam setiap kondisi, memberi semangat, selalu mendukung. Semoga sukses dalam mencapai yang dicita-citakan dan untuk semua yang telah dijalani bersama, yakinkan hati bahwa segala rencana Tuhan untuk mendatangkan kebaikan, nantikanlah waktuNya dengan penuh pengharapan;

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... ii

DAFTAR ISI ... iv

ABSTRAKSI ... vi

1. BAB I : PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 9

D. Keaslian Penulisan ... 10

E. Tinjauan Kepustakaan ... 10

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 17

2. BAB II : PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL ... 19

A. Pengertian Dan Batasan Pengertian Jus Cogens ... 19

B. Fungsi Jus Cogens ... 24

C. Syarat-syarat Pemanifestasian Jus Cogens ... 27

D. Self Determination Sebagai Implementasi Jus Cogens ... 34

E. . Kedudukan Jus Cogens Sebagai Sumber Hukum Internasional ... 39

3. BAB III : PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM (JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN SEPARATIS DI INDONESIA ... 42

A. Pengertian Gerakan Separatis ... 42

B. Motivasi-Motivasi Gerakakn Separatis ... 44

C. Sejarah Gerakan Separatis di Indonesia ... 48

(7)

4. BAB IV : PENGARUH PENERAPAN PRINSIP SELF DETERMINATION

SEBAGAI IMPLEMENTASI JUS COGENS DALAM PENYELESAIAN

GERAKAN SEPARATIS TERHADAP INDONESIA ... 84

A. Pengaruh Penerapan Prinsip Self Determination Terhadap Integritas Kedaulatan Teritorial ... 84

B. Pengaruh Penerapan Prinsip Self Determination Terhadap Kekayaan Negara (Public Proverty) ... 87

C. Penerapan Prinsip Self Determination Terhadap Kontrak-Kontrak Konsensual ... 88

D. Penerapan Prinsip Self Determination Terhadap Hak-Hak Privat Negara ... 88

E. Penerapan Prinsip Self Determination Terhadap Perbuatan Melawan Hukum ... 89

F. Penerapan Prinsip Self Determination Terhadap Perjanjian-Perjanjian Internasional ... 90

G. Penerapan Prinsip Self Determinatioan Terhadap Hutang-Hutang Negara ... 91

5. BAB V : PENUTUP... 92

A. Kesimpulan ... 92

(8)

Verawati Abstraksi

1

Prof. DR. Suhaidi, SH. MH2 Arif, SH. MH3

Dalam menyelesaikan kasus gerakan eparatis di Indonesia, pemerintah Indonesia selalu mengupayakan cara damai dan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional dan sesuai dengan hukum internasional untuk menjaga kepentingan para pihak dan menghormati hak para separatis untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini terbukti pada kasus Gerakan Aceh Merdeka dan Timor Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia. Tuntutan kmerdekaan dari berbagai bangsa, suku ataupun etnis semakin banyak terjadi. Pada umumnya mereka menginginkan kemerdekaan dan terpisah dari Negara asalnya. Keinginan untuk merdeka ini sering kali diwujudkan dengan adanya kelompok atau sering disebut gerakan yang sering disebut sebagai gerakan separatis. Pada umumnya gerakan separatis menggunakan self determiniation sebagai dasar gerakan. Hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) telah menjadi prindip dasar hukum internasional umum yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai norma yang mengikat dan tidak dapat disimpangi, yang sering disebut sebagai jus cogens. Prinsip ini membatasi kehendak bebas Negara dalam menyelesaikan masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya. Masalah gerakan separatis ini juga terjadi di Indonesia, sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia merasa bahwa gerakan separatis dapat mengancam pertahanan dan keamanan Negara. Untuk itu, pemerintah melakukan ebrbagai upaya untuk menumpas gerakan separatis. Namun dengan adanya norma dasar hukum internasional umum tersebut Indonesia tidak dapat dengan semena-mena menumpas gerakan separatis tersebut. Maka timbul beberapa masalah dengan kondisi demikian, yaitu bagaimanakah pengaturan norma dasar hukum internasional umum (jus cogens) dalam hukum internasional? Kemudian dalam masalah gerakan separatis di Indonesia, bagaimanakah penerapan norma dasar hukum internasional umum (jus Cogens) dalam menyelesaikan gerakan separatis di Indonesia? Serta bagaimanakah pengaruh penerapan prinsip self determination

sebagai implementasi jus cogens dalam penyelesaian gerakan separatis terhadap Indonesia?

Tipe penelitian ini adalah berupa penelitian hukum normatif (legal/doctrinal research) dimana norma hukum in abstracto mutlak dipeerlukan untuk berfungsi sebagai premis mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) dipakai sebagai premis minor, sehingga melalui silogisme akan diperoleh sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto yang dimaksud. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian kasus-kasus separatis yang terjadi di Indonesia.

1

Mahasiswa departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU

2

Staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3

(9)

Timur, yang dengan berani pemerintah Indonesia memberikan opsi untuk mengadakan jajak pendapat, yang merupakan salah satu jalan bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan sendiri nasib masa depan mereka, dan pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah konstitusional untuk pilihan rakyat Timor tersebut.

Sebagai akibat adanya gerakan separatis yang terjadi di Indonesia yang menggunakan self determination sebagai dasar gerakan yang berujung pada tuntutan memmisahkan diri dari Negara asal (secession), ada beberapa akikbat yang timbul, yaitu dalam hal eksistensi/integritas kedaulatan teritorial, kekayaan Negara (public proverty), kontrak-kontrak konsensual, dan hak-hak privat Negara.

Kata Kunci:

1. Norma Dasar Hukum Internasional Umum (jus cogens)

2. Gerakan Separatis

(10)

Verawati Abstraksi

1

Prof. DR. Suhaidi, SH. MH2 Arif, SH. MH3

Dalam menyelesaikan kasus gerakan eparatis di Indonesia, pemerintah Indonesia selalu mengupayakan cara damai dan cara-cara yang dapat diterima oleh masyarakat internasional dan sesuai dengan hukum internasional untuk menjaga kepentingan para pihak dan menghormati hak para separatis untuk menentukan nasib sendiri. Hal ini terbukti pada kasus Gerakan Aceh Merdeka dan Timor Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia. Tuntutan kmerdekaan dari berbagai bangsa, suku ataupun etnis semakin banyak terjadi. Pada umumnya mereka menginginkan kemerdekaan dan terpisah dari Negara asalnya. Keinginan untuk merdeka ini sering kali diwujudkan dengan adanya kelompok atau sering disebut gerakan yang sering disebut sebagai gerakan separatis. Pada umumnya gerakan separatis menggunakan self determiniation sebagai dasar gerakan. Hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination) telah menjadi prindip dasar hukum internasional umum yang telah diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan sebagai norma yang mengikat dan tidak dapat disimpangi, yang sering disebut sebagai jus cogens. Prinsip ini membatasi kehendak bebas Negara dalam menyelesaikan masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya. Masalah gerakan separatis ini juga terjadi di Indonesia, sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat, Indonesia merasa bahwa gerakan separatis dapat mengancam pertahanan dan keamanan Negara. Untuk itu, pemerintah melakukan ebrbagai upaya untuk menumpas gerakan separatis. Namun dengan adanya norma dasar hukum internasional umum tersebut Indonesia tidak dapat dengan semena-mena menumpas gerakan separatis tersebut. Maka timbul beberapa masalah dengan kondisi demikian, yaitu bagaimanakah pengaturan norma dasar hukum internasional umum (jus cogens) dalam hukum internasional? Kemudian dalam masalah gerakan separatis di Indonesia, bagaimanakah penerapan norma dasar hukum internasional umum (jus Cogens) dalam menyelesaikan gerakan separatis di Indonesia? Serta bagaimanakah pengaruh penerapan prinsip self determination

sebagai implementasi jus cogens dalam penyelesaian gerakan separatis terhadap Indonesia?

Tipe penelitian ini adalah berupa penelitian hukum normatif (legal/doctrinal research) dimana norma hukum in abstracto mutlak dipeerlukan untuk berfungsi sebagai premis mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara (legal facts) dipakai sebagai premis minor, sehingga melalui silogisme akan diperoleh sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto yang dimaksud. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang didapatkan melalui penelitian kepustakaan dan penelitian kasus-kasus separatis yang terjadi di Indonesia.

1

Mahasiswa departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU

2

Staff pengajar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3

(11)

Timur, yang dengan berani pemerintah Indonesia memberikan opsi untuk mengadakan jajak pendapat, yang merupakan salah satu jalan bagi masyarakat Timor Timur untuk menentukan sendiri nasib masa depan mereka, dan pemerintah Indonesia mengambil langkah-langkah konstitusional untuk pilihan rakyat Timor tersebut.

Sebagai akibat adanya gerakan separatis yang terjadi di Indonesia yang menggunakan self determination sebagai dasar gerakan yang berujung pada tuntutan memmisahkan diri dari Negara asal (secession), ada beberapa akikbat yang timbul, yaitu dalam hal eksistensi/integritas kedaulatan teritorial, kekayaan Negara (public proverty), kontrak-kontrak konsensual, dan hak-hak privat Negara.

Kata Kunci:

1. Norma Dasar Hukum Internasional Umum (jus cogens)

2. Gerakan Separatis

(12)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kebebasan dan kemerdekaan selalu menjadi hal yang diperbincangkan dan diperjuangkan oleh manusia, karena pada hakekatnya dalam diri manusia selalu terdapat keinginan untuk dapat melakukan kehendaknya tanpa adanya suatu tekanan atau paksaan dari pihak lain yang dianggap akan menghalangi kebebasan kehendak tersebut.

Tuntutan kemerdekaan dari berbagai bangsa, suku ataupun etnis banyak terjadi, hal ini membuat kita berpikir untuk mengetahui apa sebenarnya yang menjadi penyebabnya, padahal pihak yang meneriakkan kemerdekaan itu merupakan bagian dari suatu Negara yang merdeka dan berdaulat.

Pada umumnya pihak-pihak yang menginginkan kemerdekaan tersebut adalah pihak-pihak yang merupakan golongan minoritas atau suatu etnik atau sebagian penduduk di suatu Negara yang merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pemerintah yang berkuasa.

Pada umumnya wilayah yang menginginkan kemerdekaan terdapat gerakan pembebasan yang merupakan cerminan dari sebagian ataupun keseluruhan dari rakyat di wilayah tersebut. Tuntutan yang paling sering terdengar adalah pembentukan suatu Negara baru dengan cara melakukan pemisahan dari Negara asalnya, atau yang lebih sering disebut dengan istilah plebiscite.

(13)

atau cara-cara lainnya yang dipilih oleh penduduk. Huala Adolf4

Martin Dixon

berpendapat bahwa plebisit merupakan peralihan suatu wilayah bukan antar Negara berdaulat dengan Negara berdaulat lainnya, tetapi peralihan terjadi antara Negara berdaulat dengan penduduk di suatu wilayah.

5

Masyarakat ataupun rakyat memiliki legitimasi secara Hukum Internasional untuk mendapatkan kemerdekaan, seperti tercermin dalam piagam PBB

berpendapat bahwa cara perolehan wilayah dengan plebisit ini sebagai “penentuan nasib sendiri” (self-determination). Mahkamah Internasional dalam sengketa the case concerning East Timor (Portugal vs Australia) tahun 1995 berpendirian bahwa penentuan nasib sendiri adalah satu prinsip penting dalam Hukum Iinternasional.

6

Jaminan terhadap hak asasi manusia atas kemerdekaan individu dan suatu bangsa yang lebih dikenal dengan hak untuk menentukan nasib sendiri (the right of self determination)….. hak asasi manusia dalam menentukan nasib sediri ini yang menyatakan bahwa kemerdekaan itu ialah hak setiap bangsa dan individu, dan tidak ada suatu pihak pun yang dibenarkan untuk menghalangi ataupun mengganggu usaha-usaha dari suatu bangsa untuk memerdekakan diri, namun hak ini menjadi suatu polemik disebabkan oleh adanya suatu friksi antara keinginan dari suatu pihak atau bangsa yang pada mulanya merupakan bagian dari suatu Negara yang berdaulat untuk memerdekakan diri dengan peranan dan kedudukan dari kedaulatan Negara induknya.

4

Huala Adolf., Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional Edisi Revisi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hal. 130-131.

5

Ibid., hal 131. 6

(14)

secara tegas diakui…..dalam Convenant on Civil and Political Rights (1966) dan Convenant on Economic, Social and Cultural Rights (1966),7

Hak menentukan nasib sendiri (self-determiation) telah menjadi prinsip dasar Hukum Internasional umum yang diterima dan diakui sebagai sutau norma yang mengikat dalam masyarakat internasional yang sering disebut dengan Jus Cogens. Prinsip ini membatasi kehendak bebas Negara dalam menangani masalah gerakan separatis yang terjadi di wilayahnya dengan tetap mengacu pada kaidah Hukum Internasional yang mengancam invaliditas setiap persetujuan-persetujuan ataupun aturan dan cara-cara yang ditempuh Negara yang bertentangan dengan

…… Dalam pasal pertamanya menyebutkan “All people have the right of self-determination, By virtue of that right they freely determine their political status and freely pursue

their economic, social and natural development”. Dan dalam pembukaan piagam PBB yang menyatakan “To develop friendly relations among nations based on the respect for the principile of equal rights and self-determination of peoples, and to

take other appropriate measures to strengthen universal peace”.

Revolusi terpenting dalam Hukum Internasional dewasa ini terjadinya hubungan yang semakin nyata antar Negara yang mengikat nilai-nilai universal yang dituangkan dalam pranata Hukum Internasional, terkristalisasi sebagai kaedah-kaedah Hukum Internasional yang mengikat dan mengatur persetujuan Negara-negara termasuk dalam hal menentukan nasib sendiri (self-determination).

7

(15)

Hukum Internasional, karena penentuan nasib sendiri diakui oleh masyarakat internasional sebagai hak asasi yang harus dihormati8

Pertikaian bersenjata yang terjadi di dalam wilayah suatu Negara akibat adanya tuntutan kemerdekaan dari pihak separatist ada yang bersifat internasional atau yang bukan bersifat internasional (non-international armed conflicts atau international armed conflicts). Mengenai non-international armed conflicts diatur dalam Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan II tahun 1977. dalam situasi-situasi tertentu dapat juga suatu non-international armed conflicts

berubah menjadi international armed conflicts. Hal yang terakhir ini disebut dengan internationalized internal armed conflicts.

.

Dalam Hukum Internasional terdapat suatu asas yang telah diterima oleh semua Negara bahwa kejadian-kejadian dalam suatu Negara adalah urusan intern Negara tersebut dan pihak-pihak asing tidak berhak turut campur.

Tetapi adakalanya di dalam suatu Negara terjadi pemberontakan atau gerakan separatis dan gerakan itu telah mencapai suatu keadaan tertentu, sehingga Negara-negara lain tidak boleh begitu saja mengabaikan keadaan-keadaan tersebut. Oleh karena itu Negara-negara lain kemungkinan dapat memberikan perhatian dengan cara-cara tertentu.

Seringkali dalam suatu gerakan separatis telah terjadi bentrokan yang merupakan peristiwa berdarah yang menggunakan senjata serta terjadi pertempuran antara pasukan pemberontak dengan pasukan pemerintah. Disamping itu, mungkin terjadi penangkapan terhadap pengikut-pengikut kaum separatis.

8

Whisnu Situni,. Identifikasi Dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional,.

(16)

Hukum Internasional tidak menghukum adanya pemberontakan atau gerakan separatis. Hukum Internasional juga tidak menganggap separatis di suatu Negara tersebut adalah penjahat-penjahat kriminal biasa apabila dilihat dari kedudukan hukumnya. Hukum Internasional memberikan kedudukan tertentu terhadap kaum separatis ini di bawah konsep pengakuan sebagai pemberontak

(recognition of insurgency)9

1. United Nations Charter; .

Instrumen-instrumen Hukum Internasional yang mengatur tentang hak menentukan nasib sendiri untuk dapat merdeka dan bebas dari kekuasaan asing antara lain sebagai berikut:

2. Universal declaration of Human Rights, 1948;

3. International Covenant of Civil and Political Rights;

4. International Covenant of Economic, Social and Cultural Rights;

5. UNGA Resolution 1514 (XV) 1961: Declaration on The Granting Of

Independence to Colonial Countries and Peoples;

6. UNGA Resolution 2625 (XXV) 1970: Declaration on Principles of

International Law Friendly Relations And Co-operation Among State In

Accordance With The Charter Of The United Nations.

Fenwick10

9

Huala Adolf, Op. cit., hal 91. 10

Bachtiar Hamzah & Sulaiman Hamid. Hukum Internasional II. Medan: USU PRESS. hal. 30.

(17)

Pemberian pengakuan sebagai pemberontak menurut Hukum Internasional, tidaklah berarti Negara yang memberikan pengakuan itu berpihak kepada kaum pemberontak. Pemberian pengakuan sebagai pemberontak, bukan hanya menuntut perlakuan berdasarkan tuntutan perikemanusiaan, tetapi juga meletakkan kewajiban kepada Negara yang memberikan pengakuan itu untuk mengambil sikap netral dalam konflik yang terjadi antara kaum pemberontak dengan pemerintah yang sah.

Adanya prinsip dan ketentuan dalam hukum internasional yang menjamin terhadap usaha kemerdekaan suatu bangsa tidak menjadikan setiap usaha untuk mencapai kemerdekaan itu diperbolehkan oleh Hukum Internasional.

Maraknya gerakan separatis atau keinginan untuk memisahkan diri dari Negara induk juga terjadi di Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia yang pernah melewati masa kolonialisme ditambah dengan lahirnya PBB yang secara tidak langsung membawa dampak bagi tatanan dunia baru.

Sebagai Negara yang merdeka dan berdaulat yang salah satu tujuannya adalah ikut serta dalam menciptakan perdamaian dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, perlu mengambil tindakan yang tegas dalam menyelesaikan masalah gerakan separatis ini sebagai salah satu upaya aktif dalam memelihara perdamaian.

(18)

adanya perbedaan justru akan menjadi malapetaka bagi bangsa ini. Indonesia perlu mempunyai komitmen yang kuat untuk melaksanakan isi konvensi Internasional tentang hak ekonomi, sosial dan budaya, dan konvensi Internasional tentang hak sipil dan politik. Komitmen yang kuat tersebut tidak hanya berupa penegakan hukum, tetapi juga pembenahan hukum yang mendukung penegakan hukum atau penegakan konvensi-konvensi tersebut. Jika hanya dengan komitmen secara retorika akan sia-sia belaka. Inilah yang terjadi sekarang ini.

Ditambah lagi Indonesia adalah Negara hukum, dan sejak kelahirannya pada tahun 1945 menjunjung tinggi hak asasi manusia. Sikap tersebut dapat dillihat dari kenyataan bahwa meskipun dibuat sebelum diproklamasikannya Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia, UUD Republik Indonesia tahun 1945 sudah memuat beberapa ketentuan tentang penghormatan hak asasi manusia yang sangat penting. Hak-hak tersebut antara lain hak semua bangsa atas kemerdekaan (alenia pertama Pembukaan UUD Republik Indonesia tahun 1945).

(19)

Namun dalam kenyataan mengenai gerakan separatis yang terjadi di Indonesia selalu menggunakan self determination sebagai dasar gerakan, untuk memperjuangkan kemerdekaan mereka. Maka, dalam penyelesaian permasalahan gerakan separatis ini, Pemerintah Indonesia harus memperhatikan norma dasar Hukum Internasional umum yang secara tidak langsung juga mempengaruhi kedaulatan Negara dalam hal kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakan yang akan diambil. Hal di atas membuat penulis tertarik untuk membahas masalah gerakan separatis yang menggunakan self determination sebagai dasar gerakan dalam skripsi ini.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas dan untuk memfokuskan pembahasan dalam penulisan ini, maka pokok permasalahan yang akan menjadi objek pembahasan dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah pengaturan norma dasar Hukum Internasional umum (Jus Cogens) dalam Huku m Internasional?

2. Bagaimanakah penerapan norma dasar Hukum Internasional umum (Jus Cogens) dalam penyelesaian gerakan separatis di Indonesia?

(20)

C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan a. Tujuan penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai norma dasar Hukum Internasional umum (jus cogens) dalam Huku m Internasional.

2. Untuk mengetahui penerapan norma dasar Hukum Internasional umum

(jus cogens) dalam penyelesaian gerakan separatis di Indonesia.

3. Untuk mengetahui pengaruh penerapan norma dasar Hukum Internasional umum (jus cogens) terhadap integritas territorial dan kedaulatan Indonesia. b. Manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat secara teoritis

Memberikan sumbangan akademis bagi perkembangan ilmu hukum pada umumnya, dan Hukum Internasional pada khususnya. Serta memberikan sumbangan akademis dalam merumuskan peraturan perundang-undangan tentang penyelesaian masalah gerakan separatis dimasa yang akan datang

(Constituendum) maupun dalam penerapannya agar sesuai dengan cita-cita bangsa dan hukum internasional dan yang terpenting adalah tidak melanggar hak asasi manusia dalam menentukan nasib sendiri.

2. Manfaat praktis

(21)

masalah gerakan separatis yang menggunakan hak menentukan nasib sendiri sebagai dasar gerakan lebih objektif dan jelas.

D. Keaslian Penulisan

Sebagai suatu karya tulis ilmiah yang dibuat untuk memenuhi syarat pengambilan gelar Sarjana, maka seyogyanya skripsi diutulis berdasarkan buah pikiran yang benar-benar asli tanpa melakukan tindakan peniruan (plagiat) baik sebagian ataupun keseluruhan dari karya orang lain. Judul yang penulis pilih telah diperiksa dalam arsip bagian Hukum Internasional dan judul tersebut dinyatakan tidak ada yang sama dan telah disetujui oleh Ketua Bagian Hukum Internasional. E. Tinjauan Kepustakaan

1. Penerapan

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti kata penerapan yang berasal dari kata dasar “terap” memiliki beberapa arti yaitu menunjukkan suatu proses, cara yang merupakan perbuatan menerapkan, bisa juga berarti pemasangan, pemanfaatan yang merupakan perihal mempraktekkan.

Maka, yang dimaksud penerapan dalam tulisan skripsi ini adalah menerapkan kaidah-kaidah yang terdapat dalam norma dasar hukum internasional umum dalam menyelesaikan permasalahan yang dimaksud, yaitu gerakan separatis.

2. Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens)

Beberapa ahli hukum internasional memberikan defenisi yang berbeda mengenai jus cogens, hal ini sesuai dengan sudut pandang mereka menganalisa

(22)

J.G. Starke11

Rozakis

mengemukakan pendapatnya bahwa jus cogens adalah himpunan prinsip atau norma yang menentukan (premptory) yang tidak boleh diabaikan. Oleh karena itu bisa berlaku untuk membatalkan suatu traktat atau persetujuan diantara Negara-negara, apabila tidak konsisten dengan suatu prinsip atau norma tersebut.

Dalam garis besarnya Starke menganalogikan konsep jus cogens sebagai prinsip “kebijaksanaan umum” yang pada hukum adat (common law) membuat suatu kontrak menjadi batal jika bertentangan dengan prinsip tersebut. Ia juga menegaskan kesulitan utama mengenai ketentuan jus cogens itu sendiri adalah pengidentifikasian norma-normanya.

12

Ian Brownlie dalam bukunya Principles of Public International Law, edisi keempat (Oxford: Claarendon Press, 1990) mendefefnisikan jus cogens sebagai

“….rules of costumary law which cannot be side aside by a treaty of accuisence

but only by formation of subsequent costumary rules of contrary effect”. Ia juga memberi contoh dari aturan-aturan yang bertantangan dengan jus cogens,

memberikan arti norma jus cogens itu sebagai suatu norma hukum internasional umum yang telah diterima oleh masyarakat internasonal secara keseluruhan. Norma hukum internasional disini diartikannya sebagai norma yang diterapkan kepada sebagian besar Negara-negara karena telah diterima sebagai suatu hal yang mengikat dan terhadap norma tersebut tidak boleh dilanggar.

11

J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi kesembilan, Aksara Persada Indonesia, 1984, hal. 51

12

(23)

misalnya perang agresi, pelangaran terhadap hukum genocide, perdagangan perbudakan, pembajakan, kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan, pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri.

Menurut Schwarzenberger13

3. Gerakan Separatis

, untuk membentuk suatu jus cogens

internasional, maka suatu aturan hukum internasional harus memiliki sifat-sifat universal atau asas-asas yang fundamental, misalnya asas-asas tersebut mempunyai arti penting luar biasa (exceptionally significant) dalam hukum internasional disamping mempunyai arti penting “istimewa” dibanding dengan asas-asas lainnya.

Selain itu ia menegaskan pula bahwa asas-asas tersebut merupakan bagian esensial dari sistem hukum internasional, atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yang berlaku.

Kata separatis berasal dari bahasa Inggris, yaitu “separate”, yang dalam kata kerja transitip berarti “memisahkan”, dan dalam kata kerja intransitip berarti “berpisah”. Sedangkan orang yang ingin memisahkan diri disebut separatist14

13

Ibid, hal 43 14

John M. Echols dan Hasan Shadily, 1990. Kamus Inggris-Indonesia, PT Gramedia Jakarta. Hal. 514.

. Gerakan separatis sering juga disebut sebagai gerakan pembebasan atau

(24)

4. Self Determination atau Hak Menentukan Nasib Sendiri

Self determination atau hak untuk menentukan nasib sendiri merupakan hak asasi manusia yang fundamental dan tidak terpisahkan dari diri seorang manusia. Hak ini dicantumkan sebagai pasal pertama oleh masyarakat internasional dalam dua instrument utama hak asasi manusia (perjanjian internasioal mengenai hak-hak sipil dan politik, dan perjanjian internasional mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya), mengingat pentingnya hak ini bagi tatanan internasional dan perlindungan hak-hak individu, Mahkamah Pengadilan Internasional mengakui self determination sebagai hak asasi manusia yang paling penting dan “menyangkut semua Negara”.

(25)

Hak menentukan nasib sendiri merupakan hak yang sulit ditentukan dalam hukum internasional dan ada beberapa kontroversi yang sangat penting terhadap parameter yang tepat dari hak ini. Penerapan dari hak menentukan nasib sendiri juga menimbulkan perdebatan. In the drafting process, several states questioned the value of this right in the post-colonial world. Many states were particularly

concerned that minority group within independent states may use this right as

basis of their claim to secession15

F. Metodologi Penelitian

. (saat proses pembuatan draf, beberapa Negara mempertanyakan peranan dari hak ini pada masa dekolonisasi. Banyak Negara sangat mengkhawatirkan bahwa kelompok minoritas dari sebuah Negara merdeka menggunakan hak ini sebagai dasar untuk mengklaim secession.

a. Tipe Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah berupa penelitian doctrinal/legal research. Penelitian hukum normatif (legal research) ini terdiri dari inventarisasi hukum positif, penemuan asas-asas dan dasar falsafah hukum positif serta penemuan hukum in concreto16. Menurut Pollack17

Dalam penelitian ini norma huku m in abstracto diperlukan mutlak untuk berfungsi sebagai premis mayor, sedangkan fakta-fakta yang relevan dalam perkara dipakai sebagai premis minor, sehingga melalui silogisme akan diperoleh

bahwa tujuan pokok dari legal research adalah hendak menguji apakah suatu postulat normatif tertentu memang dapat atau tidak dapat dipakai untuk memecahkan masalah hukum tertentu.

15

Javaid Rehman, 2003, International Human Rights Law A Practical Approach, England: Pearson Aducation Limited. Hal. 65.

16

Burhan Ashofa, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 2001, hal. 13. 17

(26)

sebuah konklusi, yaitu hukum in concreto yang dimaksud18

b. Sumber dan Teknik Pengumpulan Data

. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu mendapatkan deskripsi mengenai jawaban atas masalah yang diteliti yakni dengan cara mengumpulkan berbagai bahan-bahan hukum yang berhubungan dengan persoalan yang dibahas kemudian melakukan pengkajian secara menyeluruh.

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah antara lain berupa data sekunder yang memiliki kekuatan mengikat kedalam, yang terdiri dari19

1. Bahan hukum primer berupa produk-produk hukum berupa peraturan perundang-undangan, yang dalam hal ini berupa konvensi-konvensi hukum internasional.

:

2. Bahan hukum sekunder berupa bahan acuan yang bersumber dari buku-buku, majalah, surat kabar, media internet serta media massa lainnya yang berhubungan dengan masalah yang dibahas.

3. Bahan hukum tersier berupa bahan-bahan yang memberi petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, berupa kamus dan sebagainya.

Cara mendapatkan data sekunder adalah dengan melakukan penelitian kepustakaan (Library Research). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi dokumen dimana selanjutnya dilakukan analisis dengan mengumpulkan fakta-fakta yang didapat dari studi kepustakaan sebagai acuan umum dan

18

Ibid., hal. 91-92. 19

(27)

kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis untuk mencapai kejelasan masalah yang dimaksud berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan.

c. Analisis Data

Setelah data terkumpul, analisis dilakukan dengan menggunakan analisis isi sebagaimana dirumuskan oleh Berndl Berson20: “Content analysis is a research technique for the obyektive, systematic and quantitative description of the

manifest content of communication” (Kajian isi adalah tehnik penelitian untuk keperluan mendeskripsikan secara obyektif, sistematik dan kuantitatif dari suatu bentuk komunikasi), sedangkan menurut Holsti bahwa kajian isi adalah tehnik apapun yang digunakan untuk menarik kesimpulan melalui usaha menemukan karakteristik pesan dan dilakukan secara obyektif dan sistematis. Secara keseluruhan analisis di atas dilakukan dengan menggunakan analisis kualitatif untuk mengungkap secara mendalam mengenai pandangan dan konsep yang diperlukan dan kemudian akan diurai secara menyeluruh untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi ini, serta melakukan penarikan kesimpulan dengan pendekatan deduktif-induktuf, yakni berawal dari hal-hal yang umum kepada hal-hal yang khusus.

20

(28)

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang disusun secara sistematis dalam suatu sistematika penulisan sebagai berikut:

1. Bab I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang gambaran dari seluruh isi skripsi, yang terdiri dari latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. 2. Bab II PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL

UMUM (JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL

Pembahasan dalam bab ini terdiri dari pengertian dan batasan pengertian

jus cogens, fungsi jus cogens, syarat-syarat pemanifestasian jus cogens, self determination sebagai implementasi dari jus cogens serta diakhiri dengan kedudukan jus cogens sebagai sumber hukum internasional.

3. BAB III PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL

UMUM (JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN

SEPARATIS DI INDONESIA

Bab ini membahas mengenai pengertian gerakan separatis, motivasi-motivasi gerakan separatis, sejarah gerakan separatis di Indondonesia, serta penerapan norma dasar hukum internasional umum (jus cogens) dalam penyelesaian gerakan separatis di Indonesia.

4. BAB IV PENGARUH PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM

(29)

GERAKAN SEPARATIS TERHADAP INTEGRITAS TERITORIAL DAN KEDAULATAN INDONESIA

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaruh penerapan norma dasar hukum internaisional umum (jus cogens) terhadap integritas teritorial dan kedaulatan Indonesia yang akan dibagi menjadi dua, yaitu pengaruh positif dan pengaruh negatif.

5. PENUTUP

(30)

BAB II

PENGATURAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM

(JUS COGENS) DALAM HUKUM INTERNASIONAL

A. Batasan Pengertian Norma Dasar Hukum Internasional Umum (Jus Cogens)

Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, pengertian

jus cogens terdapat dalam Bagian V yang mengatur perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Pada rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut:

“……..a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”.

Maksudnya adalah sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

Sebagaimana kita ketahui bahwa rumusan naskah Konvensi Wina 1969 ini merupakan produk hasil kerja selama dua puluh tahun Panitia Hukum Internasional, yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 174/II/1947/ yang beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan berbagai sistem hukum. Berkenaan dengan jus cogens, Panitia Hukum Internasional21

21

Syahmin A.K. SH, 1985, Hukum Perjanjian Internasional Menurut Konvensi wina 1969. Bandung: Armico, hal. 177.

(31)

“The emergence of rules having to character of jus cogens is comparativelu recent, while international law is in process of rapid development….the right course to provide in general terms that treaty is void if it conflict with a rule of jus cogens and to leave the full content of this rule to be worked out in state practice and the yurisprudence of international tribunal……”.

Dari pandangan Panitia Hukum Internasional tersebut dapat ditarik beberapa hal yang menyangkut jus cogens ini, yakni jus cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai

public policy dalam pengertian hukum nasional. Sudargo Gautama22

1. Suy

menjelaskan tentang public policy ini sebagai “rem darurat” yang dapat dipakai terhadap suatu ketentuan hukum asing (yang sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum positif suatu Negara) yang dapat dikategorikan merupakan suatu pelanggaran yang sangat berat terhadap sendi-sendi suatu hukum nasional.

Sendi-sendi asasi ini dapat dianalogikan sebagai norma-norma dasar dari

jus cogens. Mengenai apa yang merupakan “ketertiban umum” sangat sukar dikemukakan suatu perumusan.

Selanjutnya untuk dapat memberikan gambaran dan perbandingan pendapat di atas, maka akan dikutip beberapa pendapat para ahli tentang jus cogens sebagai berikut:

23

“……the body of those general rules of law whose non observance may effect the very essence of the legal system to which they belong to such an extent that the subject of law may not, under paid of absolute nullity defart from them in virtue of particular agreements……”

, memberikan batasan terhadap jus cogens sebagai berikut:

22

Yudha Bhakti Ardhiwisastra,. 2003. Hukum Internasional Bunga Rampai. Bandung: PT. Alumni. Hal. 168.

23

(32)

Dari defenisi Suy ini dapat dilihat bahwa konsep jus cogens sangat umum dikenal bukan hanya dalam sistem hukum perdata, tetapi juga dalam sistem hukum internasional publik.

2. Lord Mc Nair24

3. Christos L. Rozakis

dalam hal ini memberikan komentarnya walaupun tidak menggunakan istilah jus cogens, ia menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang “lebih tinggi” dan ketentuan-ketentuan mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh Negara-negara yang membuat suatu perjanjian. Ia pun menegaskan bahwa adalah lebih baik memberikan contoh-contoh (illustration)

dari ketentuan jus cogens itu daripada memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan jus cogens. Lord Mc Nair memberi contoh ketentuan-ketentuan yang telah diterima baik secara tegas maupun secara diam-diam dalam hukum kebiasaan internasional dan aturan mana yang lebih penting untuk melindungi kepentingan umum masyarakat internasional. Misalnya ketentuan-ketentuan yang melarang digunakannya perang agresi, hukum mengenai genocide (larangan untuk membunuh massal), ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan dan lain-lain tindakan kriminal terhadap kemanusiaan, juga ketentuan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri juga hak-hak asasi manusia.

25

“in all major systems subject are free, it is true, to contract out of rules of law in their interse relations, that freedom, however, is conditional. There

memberikan penegrtian jus cogens sebagai berikut:

24

Syahmin A. K. Op.Cit. hal. 53 25

(33)

are general rules of law which exclude the conclusion of particular contractual arrengenents conflicting with them by actually prohibiting derogating from their content and by threatening with invalidity any attempt of violation of that prohibition. These rules are usually called jus cogens”.

Dari pengertian ini ditegaskan bahwa meskipun Negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri, namun kebebasan itu ada batasnya. Terdapat kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara. Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh Negara-negara yang bertentangan dengannya. Kaidah hukum ini disebut jus cogens.

Masyarakat internasional membutuhkan suatu kaidah atau norma yang membatasi kehendak Negara, dan menurut Lord McNair’s kaidah tersebut ada dalam masyarakat internasional, bahkan dalam setiap masyarakat yang beradab. Hal ini dikemukakannya sebagai berikut26

Dalam pendapat Lord McNair’s di atas dikemukakan adanya imperative provision (ketentuan memaksa); dalam latar internasional tentu saja yang dimaksudkan oleh Lord McNair’s adalah jus cogens. Karena jus cogens adalah norma yang imperatif atau memaksa. Maksudnya jus cogens mengikat para pembentuk hukum internasional dengan memaksakan normanya. Sifat jus cogens

ini berbeda dengan norma yang disebut jus dispositivum, yang berarti mengatur, :

It is difficult to imagine any society, whether of individuals or of states, whose law sets no limit whatever to freedom of contract. In every civilized community there are some rules of law ad some principles of morality which individuals are not permitted by law to ignore or to modify by their agreements. The maxim modus et convention vincint legem does not apply to imperative provisions of the law or of public policy.

26

(34)

karena norma yang terakhir ini hanya bersifat mengatur, sehingga dapat disimpangi. Dalam tulisan T.O. Elias hal ini digambarkan sebagai berikut27

Akhehurst

:

Except where they apply, or any similar principle is applicable in other international organizations, the jus dispositivum consisting of the treaty stipulation agreed between the parties thereto is not generally rregarded as being governed by eny jus cogens consisting of the principles of law or policy which are binding on the negotiators of such treaties or can be ignore by them only at the risk of the invalidity of their agreement. There have been isolated judicial dicta suggesting the existence of an international public order which the provisions of treaties must respect.

Pengertian jus cogens di atas menunjukkan karakteristik tertentu dari kaidah atau norma hukum, atau pada jenis kaidah hukum tertentu. Karena itu

dispositivum dapat disimpulkan adanya dua jenis kaidah hukum, yaitu jus cogens

dan jus dispositivum. Jadi pengertian jus cogens tidak menunjuk pada bentuk hukum. Sedangkan bentuk hukum dari jus cogens sendiri tergantung pada sumber-sumber hukum internasional formal dimana ia ditemukan. Dengan perkataan lain jus cogens dapat merupakan kaidah perjanjian internasional, kaidah hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk hukum international lainnya; sehingga pembahasan jus cogens otomatis juga merupakan pembahasan mengenai perjanjian internasional dan hukum kebiasaan internasional.

28

27

Ibid., hal.101. 28

Yudha Bhakti Ardhiwisastra. Op. cit. hal. 170.

(35)

Jadi jus cogens yang dibahas dalam skripsi ini bukan jus cogens yang terdapat dalam hukum perjanjian, tetapi hukum kebiasaan yang sudah diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan serta sudah mulai diadopsi dalam instrumen-instrumen hukum internasional.

Schwarzenberger29

B. Fungsi Jus Cogens

mengemukakan tiga sifat universal dan tujuh asas fundamental dalam tubuh hukum internasional sebagai unsur-unsur dari norma jus cogens. Verdross mengemukakan tiga ciri aturan yang dapat menjadi jus cogens

hukum internasional, yaitu aturan-aturan dasar yang timbul karena adanya kepentingan bersama dalam masyarakat internasional, timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan dan harus sesuai atau selaras dengan Piagam PBB.

Secara konseptual, jus cogens memiliki tiga fungsi, yaitu30 1. Sebagai pembatasan atas kehendak bebas Negara;

:

2. Sebagai pengakuan atas pranata ilegalitas obyektif; 3. Sebagai pembentuk sistem hukum internasional vertikal.

Fungsi pertama muncul berdasarkan pemikiran bahwa Negara-negara dalam hubungsn internasional selalu berpegangan pada ideologi dan kepentingan nasional mereka yang berbeda satu dengan yang lain, sehingga dapat menimbulkan pertentangan yang menjurus pada pelanggaran hukum internasional. Namun walaupun melakukan pelanggaran hukum, Negara dapat menjustifikasi tindakan mereka, yaitu dengan membentuk ketentuan hukum yang membenarkan tindakan tersebut. Hal ini dapat terjadi karena Negara mempunyai kebebasan

29

Ibid., hal 176. 30

(36)

untuk membentuk hukum. Disamping itu Negara juga mempunyai kebebasan untuk mengakui atau tidak mengakui suatu ketentuan hukum, sehingga kewajiban-kewajiban atau larangan-larangan dalam hukum internasional boleh tidak ditaati oleh suatu Negara, apabila Negara tersebut memang tidak menyetujui ketentuan yang dimaksud.

Maka dalam masyarakat internasional dubutuhkan hukum yang membatasi kehendak bebas Negara, agar Negara-negara tidak membentuk hukum yang bertentangan dengan keadilan dan ketertiban internasional, dan mengharuskan mentaati hukum tersebut. Hukum itu bersifat memaksa, yang walaupun pada awalnya dibentuk oleh Negara-negara, tetapi kemudian hukum itu membatasi kehendak bebas Negara.

Sebagai konsekuensi fungsi di atas dan sesuai dengan sifatnya yang tidak boleh dikesampingkan, maka apabila terdapat Negara-negara yang bertindak secara unilateral atau membentuk hukum yang tidak sesuai dengan hukum yang memaksa tersebut (jus cogens), maka tindakan itu tidak sah berdasarkan hukum

(illegal). Ketidaksahan tersebut adalah ketidaksahan yang otomatis atau disebut ilegalitas obyektif.

Brownlie31

31

Yudha Bhakti Ardhiwisastra, op. cit. hal. 170.

memberikan beberapa contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya perang agresi, pelanggaran terhadap hukum

(37)

menentukan nasib sendiri, UN Convention Racial Discrimination dan UN Declaration on Permanent Soverreignity Over Natural Resources.

Mengenai tindakan Negara yang tidak sesuai dengan jus cogens yang disebut ilegalitas obyektif berbeda dengan ilegalitas subyektif. Ilegalitas subyektif32

32

Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 103.

yaitu suatu tindakan hukum dianggap ilegal setelah terdapat protes dari Negara yang terkena akibat tindakan ilegal tersebut dan memang terbukti. Sedangkan ilegalitas obyektif berarti pengakuan secara obyektif terhadap suatu yang ilegal. Maksudnya begitu suatu tindakan atau perjanjian yang melawan hukum terjadi, maka tindakan atau perjanjian tersebut otomatis dianggap ilegal, karenanya menjadi tidak sah atau batal.

Dengan adanya kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara dan mengancam dengan ilegalitas obyektif disatu pihak, dan adanya kaidah hukum yang tidak memiliki karakteristik seperti diatas dilain pihak, menciptakan dua tipe kaidah hukum, yaitu norma superior dan norma inferior. Jus cogens sebagai kaidah memaksa merupakan kaidah hukum yang superior, dan jus dispositivum

(38)

C. Syarat Pemanifestasian Jus Cogens

Agar dapat diterapkan dalam masalah-masalah yang bertaraf internasional, maka jus cogens harus memenuhi syarat-syarat pemanisfestasian berikut ini, yaitu33

1. Syarat Double Consent

:

Tidak mudah mengidentifikasikan norma-norma yang termasuk jus cogens. Karena itu Komisi Hukum Internasional memutuskan tidak menyebutkan contoh-contoh jus cogens dalam merancang pasal 53 (tentang jus cogens) Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian tahun 1969. walaupun demikian, beberapa ahli telah mencoba memberikan contoh-contoh atau batasan-batasan jus cogens; seperti misalnya Verdross berusaha memberikan patokan-patokan umum yang menunjukkan tiga tipe jus cogens, yakni34

a. Kaidah-kaidah yang menyangkut kepentingan bersama masyarakat internasional secara keseluruhan;

:

b. Kaidah-kaidah yang dibentuk demi tujuan-tujuan kemanusiaan;

c. Kaidah-kaidah yang ditempatkan oleh piagam PBB melawan perjanjian-perjanjian atau penggunaan kekerasan dalam hubungan internasional.

Sedangkan L. Rozakis langsung memberikan contoh konkret dari jus cogens, yaitu:

a. Larangan penggunaan kekerasan; b. Prinsip kebebasan laut;

c. Hak-hak asasi manusia dan hak penentuan nasib sendiri (self determination).

33

Ibid,. hal. 105. 34

(39)

Syarat-syarat pemanifestasian jus cogens diatur oleh hukum perjanjian internasional, yaitu tersirat dalam pasal 53 Konvensi Wina 1969. Pasal 53 yang berjudul Trities conflicting with a ppremptory norm of general international law (jus cogens), menentukan sebagai berikut:

A treaty is void if, at the time of its conclusion, it conflicts with a premptory norm of general international law. For the purposes of the present convention, a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modified only by a subsequent norm of general international law having the same character.

Kalimat yang terpenting dalam pasal di atas adalah ……a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the

international community of states as a whole….. Dalam kalimat ini jus cogens

(40)

2. Syarat Universalitas

Kalimat yang dianggap penting dalam pasal 53 menyebutkan pula bahwa

jus cogens adalah norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat Negara sebagai keseluruhan. Dengan demikian jus cogens harus merupakan norma yang diterima dan diakui secara universal atau oleh semua Negara tanpa keculi.

Hal itu tentu saja membahayakan bagi proses penetapan jus cogens, karena apabila salah satu Negara tidak mengakui suatu kaidah sebagai jus cogens, maka kaidah tersebut akan gagal menjadi jus cogens. Maka dicarilah jalan keluar dengan mengganti pengertian universal menjadi near universal (hampir universal). Hal ini berarti bahwa suatu Negara akan terikat pada jus cogens

walaupun ia tidak memberikan persetujuan. Dengan demikian persetujuan yang dimaksud adalah persetujuan dengan suara mayoritas, dimana mayoritas yang dimaksud adalah near universal.

Sebagai contoh adalah praktek Majelis Umum PBB dalam mengeluarkan suatu resolusi. Hal ini diartikan bahwa resolusi tersebut merupakan suatu pengakuan eksplisit dari pencerminan pendapat umum suatu masyarakat internasional secara keseluruhan. Oleh karena apabila ada suatu aturan dalam hukum internasional yang tidak diterima oleh masyarakat internasional atau diakui secara keseluruhan (near universal), maka aturan itu tidak dapat menjadi jus cogens.

Menurut Schwarzenberger35

35

Syahmin A.K., Op.cit., halaman 180.

untuk membentuk suatu jus cogens

(41)

yang universal dan asas-asas fundamental. Sifat-sifat yang dimaksud haruslah mempunyai arti penting luar biasa (exceptionally significant) dalam hukum internasional disamping mempunyai arti penting luar biasa dibandingkan dengan asas-asas lainnya. Selain itu, asas tersebut merupakan bagian esensial dalam sistem hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari hukum internasional yan berlaku.

Jika sifat-sifat itu diterapkan maka akan timbul tujuh asas fundamental dalam tubuh hukum internasional, yakni36

1. asas kedaulatan;

:

2. asas pengakuan; 3. asas permufakatan; 4. asas itikad baik; 5. asas hak membela diri;

6. asas tanggung jawab internasional; 7. asas kebebasan laut lepas.

Prinsip kedaulatan merupakan suatu hak yang tidak dapat dicabut

(inalienable) karena merupakan ciri hakiki yang harus dipunyai oleh setiap Negara apabila berkeinginan untuk tetap exist dalam pergaulan masyarakat internasional, kedaulatan merupakan suatu ciri yang harus tetap melekat pada Negara. Sebagaimana dikatakan Jean Bodin, sarjana pertama yang menganggap kedaulatan sebagai atribut Negara, bahwa sebagai sifat khas dari Negara yang berdaulat adalah kekuasaan yang mutlak dan abadi dari Negara.

36

(42)

Pengakuan sebagai asas kedua dinyatakan terhadap pembatasan penggunaan kekerasan senjata dan hak membela diri dapat diperluas dengan adanya suatu larangan terhadap hak untuk mengakui perubahan-perubahan wilayah yang bertentangan dengan tujuan diperkenankannya kekerasan senjata.

Asas permufakatan dan itikad baik adalah sesuai dengan ketentuan pasal 2 ayat 2 Piagam PBB. Hal ini berarti bahwa setiap anggota PBB tidak dapat mengubah suautu resolusi yang telah dicetuskan dengan cara mengambil suatu tindakan tertentu terhadap resolusi tersebut dengan menggunakan kebebasan sedemikian rupa, dan karenanya harus menerimanya sebagai kewajiban yang telah dimufakatinya, yang tidak dapat dilanggar dengan kehendak sendiri.

Hak membela diri sebagai asas fundamental dalam tubuh hukum internasional telah mendapat tempat pengaturannya yang kuat pada Piagam PBB yang terletak pada pasal 51, sebagai suatu hak yang dipunyai suatu Negara untuk membela diri apabila terjadi suatu serangan bersenjata terhadapnya. Hak membela diri ini dapat dilakukan secara perseorangan maupun secara bersama-sama.

Tanggung jawab internasional dapat dilukiskan sebagai adanya penerimaan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1946 terhadap prinsip-prinsip yang merupakan tanggung jawab masyarakat internasioanal.

(43)

Ian Brownlie37

1. Perang agresi;

memberikan contoh-contoh aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens, misalnya:

2. Pelanggaran terhadap hukum genocide; 3. Perdagangan budak;

4. Pembajakan;

5. Kejahatan-kejahatan yang bertentangan dengan kemanusiaan; 6. pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hak menentukan nasib sendiri.

Menurut seorang penulis terkenal38

Pada hakekatnya kedaulatan dalam konsepsi hukum internasional modern tidaklah bersifat mutlak. Kedaulatan dalam persepsi juridis sifatnya terbatas, dibatasi oleh hukum alam, hukum internasional, dan bahkan aspek internal kedaulatan itu dibatasi oleh konstitusi Negara itu sendiri. Hal ini digambarkan secara tepat oleh Bierly

, kaidah-kaidah jus cogens itu meliputi:

“kaidah-kaidah fundamental mengenai pemeliharaan perdamaian….kaidah-kaidah fundamental dari suatu kodrat manusia (larangan genocide, perbudakan dan diskriminasi rasial, perlindungan hak-hak dasar manusia pada masa damai maupun perang), kaidah yang melarang setiap pelanggaran terhadap kemerdekaan dan persamaan kedaulatan Negara-negara, kaidah-kaidah yang menjamin semua masyarakat internasional untuk menikmati sumber-sumber daya alam bersama (laut lepas, ruang angkasa, dan lain-lain).

39

37

Ian Brownlie. 1979. Principles of Public International Law., Oxford University Press. Hal 512.

38

J.G. Starke. 1988. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh 1. Jakarta: Sinar Grafika. Hal. 68.

39

Bierly. 1955. The Law Of Nation. London: Oxford Clarendon Press. Hal 9.

sebagai berikut:

(44)

Adalah sangat tepat pernyataan Bierly itu bahwa salah satu instrument pembatas kedaulatan adalah “the law that is common to all nations”, apalagi bila didalamnya terkandung kaidah-kaidah hukum internasional yang universal. Kaidah-kaidah mana yang sangat penting karena mempunyai fungsi pokok mengatur masyarakat internasional teerutama dalam hubungan antar Negara dengan Negara.

Kaidah hukum internasional ini juga disebut oleh J. Morghentau sebagai suatu kaidah internasional yang diperlukan atau “jus necessarium” dari sistem Negara modern. Kaidah mana yang mengikat semua Negara tanpa memperdulikan kesediaan mereka. Namun in tegaskan pula bahwa kekuatan mengikat tersebut tidak berdampak terhadap kedaulatan masing-masing bangsa. Malahan kekuatan mengikat tersebut memungkinkan kedaulatan sebagai konsep hukum. Sebab tanpa adanya saling menghormati yurisdiksi masing-masing bangsa dan tanpa pelaksanaan hukum saling menghormati itu, maka hukum internasional dan system Negara tidak mungkin ada.

Peranan jus cogens juga digambarkan oleh David H. Ott40

Maksudnya Negara-negara dahulunya mempunyai kebebasan mutlak menetapkan kaidah aturan hukum apa yang berlaku bagi tatanan perhubungan di

sebagai berikut:

“…..states are completly free to establish whatever customary law they like whitin their own region in the past when positivism was the dominant view and other fundamental elements of international law were not in place the answer probably yes. But there is strong argument to be made today that what is called Jus Cogens has altered the position”.

40

(45)

wilayah mereka, karena tidak adanya suatu ketentuan yang mendasar dari hukum internasional tentang hal tersebut. Namun hal tersebut dewasa ini telah dibatasi oleh apa yang disebut sebagai Jus Cogens dan telah mengganti posisi aturan yang lama, sebagai kaidah hukum internasional universal yang mengatur hubungan masyarakat internasional, mengikat dan harus ditaati secara keseluruhan.

D. Self Determination Sebagai Implementasi Jus Cogens

Pada penjelasan-penjelasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai jus cogens dan pendapat para ahli mengenai norma dasar hukum internasional tersebut. Bahwa hal yang sangat mendasar adalah bahwa norma tersebut harus diterima oleh masyarakat internasional secara keseluruhan. Kemudian telah diuraikan pula pendapat ahli hukum internasional mengenai aturan-aturan yang bertentangan dengan jus cogens dan contoh-contoh jus cogens.

Dalam pembahasan ini akan diuraikan mengenai self determination

sebagai implementasi dari jus cogens. Bahwa hak untuk menentukan nasib sendiri telah diterima secara keseluruhan oleh masyarakat internasional dan telah dituangkan dalam beberapa instrument internasional.

Hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat dan kesatuan-kesatuan yang belum merdeka diakui secara tegas oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam resolusi tentang Penentuan Nasib Sendiri (Resolution on Self-Determination) tanggal 12 Desember 1958, dan dalam Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada negeri-negeri dan rakyat-rakyat jajahan

(Declaration on The Granting of Independence to Colonial Countries and

(46)

rinci di bawah judul “Prinsip Persamaan Hak dan Penentuan Nasib Sendiri Rakyat”, dalam Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan-Hubungan Bersahabat dan Kerjasama Antar Negara-negara Sesuai dengan Charter PBB (Declaration on Principles of International Law Concerning Friendly Relation and Co-operation Among States In Accordance With the United

Nation Charter), yang disahkan oleh Majelis Umum PBB pada tahun 1970. Pada taggal 10 November 1975, Majelis Umum Mengeluarkan sebuah resolusi yang menegaskan kembali “pentingnya realisasi universal atas hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri, terhadap kedaulatan nasional dan integritas wilayah, dan mempercepat pemberian kemerdekaan kepada nengeri-negeri dan rakyat-rakyat terjajah sebagai kewajiban untuk dinikmatinya hak-hak manusia. Pada tanggal 16 Desember 1966 secara bulat disetujui Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan Covenant on Civil and Political Rights, keduanya terbuka untuk ditanda tangani tanggal 15 Desember 1967, dalam kedua konvensi itu diakui hak-hak rakyat untuk menentukan nasib sendiri.

(47)

Proses pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens

mencakup dua unsur yang harus terpenuhi, yaitu unsur material (kebiasaan) dan unsure psikologis (opinio juris) sebagai unsur konsensual41

41

Whisnu Suteni. Op. cit. hal. 111.

. Dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional sebagai jus cogens dimungkinkan hanya terdapat satu unsur yang terpenuhi, yaitu opinion juris cogentis. Artinya, apabila nengara-negara secara universal mempunyai opinio juris cogentis maka otomatis tlah terbentuk hukum kebiasaan internasional. Hal ini dimungkinkan Karena Negara-negara menyetujui bahwa bentuk tingkah laku tertentu dilarang atau diwajibkan dilakukan terhadap setiap subjek hukum, sehingga apa yang disetujui tersebut berlaku memaksa. Jadi walaupun belum ada praktek, diantara Negara-negara dapat tercipta hukum kebiasaan internasional; sedangkan praktek atau kebiasaan internasional itu diandaikan atau dianggap ada karena sudah dapat dipastikan Negara-negara harus bertindak berdasarkan opinio juris cogentisnya terhadap subjek hukum.

(48)

Karena opinion juris cogentis dimiliki oleh Negara-negara secara near universal, maka larangan melakukan crime contra humanum genus juga merupakan kaidah hukum internasional umum, dan sekaligus memenuhi syarat universalitas, sehingga larangan tersebut merupakan jus cogens. Contoh lain mengenai larangan perdagangan budak dan piracy, dan tidak ketinggalan juga mengenai hak untuk menentukan nasib sendiri.

Hak untuk menentukan nasib sendiri dianggap perlu mencakup sejumlah kewajiban yang mengikat Negara-negara, termasuk kewajiban untuk mendorong dilakukannya tiindakan merealisasikan hak menentukan nasib sendiri baik melalui kerjasama maupun tersendiri, dan menyerahkan kekuasaan berdaulat kepada rakyat yang berhak atas hak ini dan kewajiban untuk menghindari tindakan pemaksaan yang dinilai merintangi rakyat menikmati hak ini. Kewajiban-kewajiban ini telah ditegaskan atau tersirat dalam Deklarasi-deklarasi tersebut di atas yang disahkan oleh Majelis Umum, dan memperoleh dukungan dalam praktek pada decade terakhir ini. Pertama, telah terjadi emansipasi beberapa wilayah koloni atau wilayah-wilayah yang belum berpemerintahan sendiri. Yang kedua, telah terasa pengaruh Deklarasi tentang Pemberian Kemerdekaan kepada Negeri-negeri dan Rakyat-rakyat terjajah yang telah disebut di atas. Dalam Deklarasi ini Majelis Umum menyatakan perlunya mempercepat dan mengakhiri dengan cepat tanpa syarat bentuk kolonialisme dan menifestasinya dan menyerukan pengambilan langkah-langkah segera guna menyerahkan semua kekuasaan kepada rakyat di wilayah-wilayah yang belum merdeka42

42

J.G. Starke. Op. cit. Hal. 158.

(49)

Kewajiban-kewajiban yang dianggap memaksa dalam Piagam PBB terutama diatur dalam pasal 2 Piagam, yang mengatur mengenai prinsip-prinsip organisasi. Prinsip-prinsip dalam pasal 2 juga merupakan kaidah hukum internasional umum, karena telah diakui secara near universal, sehingga prinsip-prinsip ini adalah jus cogens, yang antara lain sebagai berikut:

1. Prinsip persamaan kedaulatan (ayat 1); 2. Prinsip itikad baik (ayat 2);

3. Prinsip penyelesaian perselisihan dengan cara damai (ayat 3);

4. Prinsip tidak mengancam dengan atau menggunakan kekerasan (ayat 4); 5. Prinsip non-intervensi urusan domestik Negara lain (ayat 7).

Selain itu ketentuan lain dalam Piagam yang juga merupakan jus cogens

adalah pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia dan hak menentukan nasib sendiri (pembukaan, pasal 1, 55, 56, 62, 68 dan 76).

(50)

yang memiliki hak menentukan nasib sendiri. Aspek-aspek seperti kesamaan wilayah, kesamaan bahasa dan kesamaan tujuan politik mungkin harus dipertimbangkan. Singkatnya, secara wajar haruslah ada suatu unit wilayah yang sama bagi rakyat pada siapa hak tersebut dianggap dapat diberikan. Di luar hal ini, ada persoalan mengenai sejauh manakah hak menentukan naasib sendiri tersebut akan memperbolehkan pemisahan bagian wilayah dari suatu wilayah. Suatu hak pemisahan diri yang tidak memenuhi syarat, yang timbul dari hak menentukan nasib sendiri, dapat menimbulkan kekacauan terhadap sistem-sistem kenegaraan43

E. Kedudukan Jus Cogens Sebagai Sumber Hukum Internasional .

Penentuan nasib sendiri tidak perlu hanya menyangkut atau secara eksklusif merupakan hak untuk memilih status Negara otonom, tetapi juga pilihan untuk berintegrasi dengan Negara induk.

Pada pembahasan sebelumnya telah dipaparkan mengenai pengertian, fungsi dan syarat-syarat pemanifestasian jus cogens, maka semakin jelas terlihat bahwa jus cogens merupakan kaidah yang tidak dapat dikesampingkan. Semua jus dispositivum harus sesuai dengan jus cogens, karena apabila tidak sesuai akan batal demi hukum. Sanksi atau ancaman invaliditas ini juga mempengaruhi para pembentuk hukum, karena mereka dalam membentuk hukum baru tidak boleh melanggar jus cogens. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa jus cogens turut menentukan atau mempengaruhi isi hukum, sehingga jus cogens merupakan

43

(51)

sumber dalam menentukan isi hukum. Dengan perkataan lain jus cogens

merupakan sumber hukum internasional dalam arti material.

Sumber-sumber material hukum internasional dapat didefenisikan sebagai bahan-bahan aktual dari mana seorang ahli hukum menentukan kaidah hukum yang berlaku terhadap keadaan tertentu. Bahan-bahan ini dimasukkan dalam lima kategori atau bentuk utama, yaitu44

1. Kebiasaan;

:

2. Traktat-traktat;

3. Keputusan-keputusan pengadilan atau pengadilan arbitrase; 4. Karya-karya hukum;

5. Keputusan-keputusan atau penetapan-penetapan organ-organ lembaga-lembaga internasional.

Sedangkan tata urutan sumber-sumber material yang dinyatakan dalam ayat 1 pasal 38 Statuta International Court of Justice adalah45

1. Traktat-traktat dan konvensi-konvensi;

:

2. Kebiasaan;

3. Prinsip umum hukum yang diakui oleh bangsa-bangsa beradab;

4. Keputusan-keputusan yudisial dan opini-opini hukum, sebagai alat tambahan bagi penetapan kaidah hukum.

Dalam praktek, sumber hukum material ini harus dipergunakan sebagai pedoman pembentukan hukum. Dalam latar internasional keberadaan sumber hukum material memerlukan pembentukan atau persetujuan. Maksudnya bahwa

44

J.G. Starke. Op. cit. hal. 43. 45

(52)

suatu ketentuan hukum dapat dianggap sebagai sumber hukum material hanya jika memang telah dikonsensuskan demikian.

Selain sebagai sumber huku m internasional material, jus cogens dalam bentuk hukumnya, yaitu berupa perjanjian internasional, hukum kebiasaan internasional, atau bentuk-bentuk hukum internasional lainnya, juga merupakan sumber huku m internasional formal.

Sumber hukum formal dapat diartikan dalam dua macam pengertian, yaitu46

1. Sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum; :

2. Sumber hukum formal sebagai dasar mengikat.

Salah satu arti sumber hukum formal adalah sebagai tempat menemukan hukum. Maksudnya berdasarkan sumber hukum formal ini suatu kaidah dapat dikenal sebagai kaidah hukum. Hukum itu sendiri agar dapat ditemukan atau dikenal harus memiliki bentuk. Dengan perkataan lain hukum baru dapat dapat ditemukan setelah hukum itu terbentuk.

Sumber hukum formal dalam arti sebagai dasar mengikat merupakan lanjutan dari pengertian sumber hukum formal sebagai tempat menemukan hukum, karena keterikatan Negara terhadap suatu kaidah hukum muncul setelah kaidah hukum itu terbentuk. Keterikatan yang dimaksud adalah keterikatan untuk mentaati dan/atau melaksanakan hukum yang telah dibentuk. Hal inilah yang disebut sebagai kekuatan mengikat secara formal. Kekuatan mengikat hukum

46

(53)

kuncul dari kaidah hukum itu sendiri yang dibentuk oleh subjek-subjek hukum internasional.

BAB III

PENERAPAN NORMA DASAR HUKUM INTERNASIONAL UMUM

Referensi

Dokumen terkait

Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) adalah kegiatan intra kurikuler yang wajib diikuti oleh mahasiswa Program Kependidikan Universitas Negeri Semarang, sebagai

Prima Dinamika Sentosa selama dua tahun terakhir diperoleh dari pengumpulan data, selanjutnya dilakukan pengolahan dengan melakukan peramalan produksi pada mesin-mesin

RANCANG BANGUN GATEWAY INTERNET MENGGUNAKAN ROUTERBOARD MIKROTIK BERBASISKAN KABEL DAN NIRKABEL (HOTSPOT).. Diajukan untuk memenuhi syarat-syarat mengikuti Ujian

Pada Bank BNI Syariah Cabang Surabaya, dalam melakukan pembiayaan Griya Syariah telah memberitahukan harga perolehan griya tersebut kepada nasabah, tetapi Bank BNI Syariah

Jika remaja putri melakukan perilaku higienis pada saat menstruasi maka akan terhindar dari kanker rahim, merasa nyaman beraktivitas sehari- hari, percaya

24 Dukungan Keluarga dalam Keikutsertaan KB pada Pasangan Usia Subur di Desa Argomulyo Sedayu Bantul Yogyakarta. Siti Nurunnyah Dalam Negeri Yayasan Penelitian

Bab III Metode Penelitian, bab ini menguraikan metodologi penelitian yang dilakukan peneliti sebagai tahapan serta langkah-langkah untuk mencari dan mengumpulkan