• Tidak ada hasil yang ditemukan

(JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN SEPARATIS DI INDONESIA

C. Sejarah Gerakan Separatis di Indonesia

1) Gerakan DII/TII

Ada empat faktor yang turut menyebabkan munculnya gerakan DI/TII ini secara umum, yaitu hubungan antara Tentara Republik resmi dan satuan-satuan gerilya liar, dan meluasnya penguasaan Pemerintah Pusat dengan akibat-akibat administratif dan ekonomisnya, perubahan-perubahan dalam pemilikan tanah dan

Islam53. Ditinjau dari penyebarannya, gerakan DII/TII terjadi di lima daerah, yakni54

1) Di Jawa Barat di bawah pimpinan Sukarmaji Marijan Kartosuwiryo; :

2) Di jawa tengah di bawah pimpinan Ibnu Hajar;

3) Di Sulawesi Selatan di bawah pimpinan Kahar Muzakar; dan 4) Di Aceh di bawah pimpinan Daud Beureuh.

a. Gerakan DI/TII di Jawa Barat

Sejak masih aktif berjuang melawan Belanda merebut kemerdekaan, Sekarmaji Marijan Kartosuwiryo telah bercita-cita mendirikan sebuah Negara Islam di Indonesia.

Ketika terjadi perjanjian Renville antara RI dan Belanda tahun 1948, yang mewajibkan para pengikut Republik untuk mengosongkan daerah-daerah gerilya di Jawa Barat, S.M. Kartosuwiryo menolak dan tidak mau melaksanakan isi perjanjian tersebut. Bersama pasukannya yang tergabung dalam laskar rakyat Hisbullah dan Sabilillah, yang berkekuatan ±2000 orang, ia tetap tinggal di Jawa Barat.

Hijrahnya TNI Divisi Siliwangi ke daerah Republik Indonesia di Jawa Tengah kemudian dijadikan bukti oleh Kartosuwiryo untuk menuduh pemerintah pada saat itu telah menjual rakyat Jawa Barat kepada pihak Belanda.

Kondisi vacuum of power yang terjadi di Jawa Barat akibat hijrahnya TNI Divisi Siliwangi dalam melakukan perlawanan bersenjata terhadap Belanda. Hal ini telah menumbuhkan simpati di kalangan rakyat pada umumnya. Secara lambat

53

C. Van Dijk. 1983. Darul Islam Sebuah Pemberontakan. Jakarta : Grafiti. 54

Asep Wahyu Fs & Subagio Budi Prajitno. 1999. Sejarah Nasional Indonesia dan Umum Untuk SMU Kelas III. Jakarta : GRAFINDO Media Pratama. Hal 14.

laun namun pasti, pengaruh dan dukungan yang lebih kuat dalam mewujudkan cita-cita dalam mendirikan sebuah Negara Islam mulai terbangun.

Untuk itu, S.M. Kartosuwiryo kemudian mengadakan beberapa persiapan, yaitu berupa rapat-rapat dengan para pengikutnya. Salah satu rapat yang terpenting adalah konverensi yang dilaksanakan pada bulan Maret 1948 di Cipeundeuy, Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil konverensi itu adalah :

1) Mengadakan persiapan untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII); 2) Membentuk Tentara Islam Indonesia (TII);

3) Membentuk sebuah majelis Islam yang dikepalai oleh seorang imam, yaitu S.M. Kartosuwiryo; dan

4) Majelis tersebut harus merupakan sebuah pemerintahan Islam sementara di Jawa Barat yang harus di taati oleh seluruh umat Islam di daerah tersebut.

Proklamasi berdirinya Negara Islam Indonesia sendiri baru dilakukan pada tanggal 7 Agustus 1949. Bentrokan pertama antara TNI Divisi Siliwangi dengan DI/TII terjadi di daerah Antralina, Malangbong, Garur pada tanggal 25 Januari 1949.

Operasi penumpasan gerakan DI/TII ini berlangsung sekitar sepuluh tahun. Maka pada tanggal 4 Juni 1942, tokoh utama gerakan DI/TII yaitu S.M. Kartosuwiryo berhasil ditangkap oleh satuan-satuan Siliwangi di Gunung Geber daerah Majalaya, Kabupaten Bandung Jawa Barat. S.M. Kartosuwiryo akhirnya

dijatuhi hukuman mati pada tanggal 16 Agustus 1962. Dengan demikian berakhirlah petualangan gerakan DI/TII di Jawa Barat

b. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, gerakan Di/TII pun berkembang di daerah Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fatah yang berpangkat Jenderal Mayor pada tentara Islam Indonesia (TII). Daerah petualangan gerombolan itu meliputi daerah Brebes, Pekalongan dan Tegal.

Proklamasi berdirinya Negara Islam di Jawa Tengah ini berlangsung pada tanggal 23 Agustus 1949, dan menyatakan merupakan bagian dari NII yang diproklamasikan di Jawa Barat pimpinan Kartosuwiryo.

Untuk menumpas petualangan gerakan DI/TII di Jawa Tengah, pemerintah membentuk komando operasi yang diberi nama Gerakan Banteng Negara (GBN) pada bulan Januari 1950 di bawah pimpinan Kolonel Sarbini, Letkol M. Bahrum, dan Letkol Ahmad Yani. Namun operasi ini tidak berhasil, karena kedudukan DI/TII semakin kuat, disebabkan adanya kalangan militer resmi yang bergabung dengan kaum pemberontak.

Komandan Brigade Pragolo mengambil langkah untuk menumpas gerakan tersebut. Untuk tugas khusus ini, panglima operasi membentuk pasukan khusus Banteng Raiders dengan mengerahkan satuan-satuan kavaleri, zeni, artileri, dan

AURI. Dengan operasi yang dilakukan itu akhirnya gerakan DI/TII Jawa Tengah berhasil ditumpas pada awal tahun 1952.

c. Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hajar yang merupakan bekas anggota TNI yang berpangkat Letnan Dua. Ia membelot karena terpengaruh suasana politik saat itu.

Pada tanggal 10 Oktober 1950 Ibnu Hajar memperokalmasikan berdirinya DI/TII di Kalimantan Selatan yang merupakan bagian dari NII dan DI/TII yang diilhami oleh S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Untuk memperkuat kedudukannya, Ibnu Hajar membentuk kesatuan komando yang dinamakan Kesatuan Rakyat Tertindas. Aktivitas kesatuan ini melakukan pengacauan dan terror terhadap rakyat di Banjawmasin dan sekitarnya dengan maksud untuk meruntuhkan keduduka n pemerintahan yang sah.

Untuk memadamkan pemberontakan Ibnu Hajar itu, pemerintah menempuh dua upaya yaitu upaya damai dan operasi militer. Sewaktu upaya damai dilakukan, pemerintah berhasil mengajak Ibnu Hajar untuk menghentikan petualangannya dan kembali ke kesatuan TNI. Namun, setelah bergabung dan memperoleh kembali persenjataan, Ibnu Hajar kembali melanjutkan petualangannya. Akhirnya pemerintah elakukan operasi militer dengan mengirimkan sejumlah kesatuan-kesatuan pasukan TNI yang siap tempur.

Pada tahun 1959, tokoh utama gerakan DI/TII di Kalimantan Selatan itu berhasil dibekuk. Kemudian ia diajukan ke Mahkamah Militer untuk diadili. Tanggal 22 Maret 1965, Ibnu Hajar dihukum mati oleh regu tembak.

d. Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Seperti gerakan DI/TII di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan, di Sulawesi Selatan pun, gerakan DI/TII dipelopori oleh seorang tokoh militer (TNI) berpangkat Letnan Kolonel. Ia adalah Kahar Muzakar.

Penyebab utama munculnya gerakan ini adalah hasrat yang kuat untuk menempatkan laskar-laskar rakyat di Sulawesi Selatan ke dalam APRIS (Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat) dan cita-citanya untuk menjadi pemimpin APRIS di Sulawesi Selatan. Padahal sebelumnya Kahar Muzakar merupakan seorang pejuang TNI yang sangat berjasa terhadap rakyat dan Negara. selama berlangsungnya perang kemerdekaan, Kahar Muzakar sangat aktif berjuang dan berjasa sebagai komandan Tri Persiapan Resimen Hasanudin dengan pangkat letnan colonel. Namun, setelah perang kemerdekaan selesai, Kahar Muzakar ditugaskan untuk memimpin lascar-laskar rakyat Sulawesi Selatan dan membentuk KGSS (Komando Gerilya Sulawesi Selatan).

Dalam memenuhi hasratnya itu, Kahar Muzakar pada tanggal 30 April 1950 mengirim surat kepada pemerintah pusat yang intinya menyatakan bahwa anggota KGSS agar dimasukkan kedalam lingkungan APRIS dengan nama Brigade Hasanudin. Padahal, sebelumnya pemerintah dan pemimpin APRIS menetapkan bahwa yang menjadi anggota APRIS hanyalah mereka yang memenuhi persyaratan-persyaratan khusus. Tentu saja permintaan Kahar Muzakar itu ditolak.

Untuk menghindarkan diri dari hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari permohonan Kahar Muzakar tersebut, pemerintah dan pemimpin APRIS

mengeluarkan kebijaksanaan dengan memasukkan semua anggota KGSS ke dalam Korp Cadangan Militer dan Kahar Muzakar pun diberi pangkat sebagai letnan kolonel. Namun ternyata, uluran tangan pemerintah itu tidak mendapat tempat dihati Kahar Muzakar.

Tanggal 17 Agustus 1951, Kahar Muzakar beserta segenap anak buahnya melarikan diri ke hutan dengan membawa perlengkapan militer. Pada tahun 1952, Kahar Muzakar memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) di Sulawesi Selatan, dan menyatakan wilayah Sulawesi Selatan sebagai bagian dari NII pimpinan M.S. Kartosuwiryo di Jawa Barat.

Pemerintah memutuskan untuk menumpas pemberontak itu. Operasi penumpasan gerakan DI/TII Kahar Muzakar memakan waktu yang cukup lama, karena medan hutan yang sangat lebat dan sulit untuk menembusnya. Disamping itu, para anggota gerakan pandai memanfaatkan suasana kedaerahan yang ada di Sulawesi Selatan. Namun berkat usaha yang gigih dari TNI, akhirnya pada bulan Februari tahun 1965, Kahar Muzakar berhasil ditembak mati, maka berakhirlah petualangan DI/TII Sulawesi Selatan.

e. Gerakan DI/TII di Aceh

Tokoh gerakan DI/TII di Aceh adalah Daud Beureuh. Ia adalah seorang bekas Gubernur Militer Daerah Militer Aceh pada waktu terjadinya agresi militer Belanda I pada tahun 1947. Adapun yang melatarbelakangi terjadinya gerakan DI/TII Aceh adalah bermula dari berubahnya status Daerah Istimewa Aceh menjadi sebuah Keresidenan dari Provinsi Sumatera Utara. Tentu saja perubahan status ini mengakibatkan kedudukan Daud Beureuh yang tadinya sebagai

Gubernur Militer menjadi turun. Demikian juga dengan pemimpin-pemimpin lainnya.

Oleh karena itu, mereka tetap menuntut kepada pemerintah pusat agar Aceh dijadikan sebuah provinsi. Tuntutan ini ditolak oleh pemerintah pusat. Daud Beureuh dan kawan-kawannya merasa kecewa dengan keputusan pemerintah pusat itu. Daud Beureuh dan kawan-kawan menganggap pemerintah pusat tidak menghargai jerih payah rakyat Aceh semasa perang kemerdekaan.

Dengan latar belakang tersebut, maka tanggal 20 September 1955, Daud Beureuh memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia di Aceh yang merupakan bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Setelah proklamasi itu, Daud Beureuh segera menguasai kota-kota penting di Aceh.

Dengan pengaruh yang dimiliki Daud Beureuh, banyak tokoh rakyat Aceh yang membantu. Namun tokoh-tokoh ulama yang tidak tergabung dalam kelompok Daud Beureuh tidak menyetujui gerakan DI/TII ini.

Untuk menghentikan petualangan DI/TII Daud Beureuh, pemerintah menjalankan operasi militer. Namun karena sulit ditembusnya medan-medan Aceh dan kuatnya pengaruh Daud Beureuh, operasi militer tidak memncapai hasil yang memuaskan. Itulah sebabnya, disamping melakukan operasi militer, pemerintah pusat juga menempuh jalur diplomasi atau musyawarah.

Panglima Kodam I/Iskandar Muda Kolonel Muhammad Yasin memprakarsai musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh, yang mempertemukan Daud Beureuh, tokoh-tokoh ulama Aceh, dan pemerintah. Dari musyawarah itu, Daud Beureuh menyadari kekeliruannya. Akhirnya Daud Beureuh bersedia

menghentikan petualangannya dan kembali ke masyarakat. Dengan demikian, berakhirlah pemberontakan DI/TII di Aceh.