• Tidak ada hasil yang ditemukan

(JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN SEPARATIS DI INDONESIA

C. Sejarah Gerakan Separatis di Indonesia

4) Gerakan Aceh Merdeka

Sejarah mencatat bagaimana tingginya gairah rakyat Aceh (sekarang NAD) ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga pada waktu itu secara spontan Bung Karno menyebut Aceh sebagai “Daerah Modal Republik”. Namun tidak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah mulai timbuh. Pemberontakan bersenjatapun meletus sejak tahun 195365

Pemberontakan ini mula-mula terjadi karena janji otonomi khusus tidak kunjung ditepati, dan belakangan karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan rakyat Aceh yang merasa nyaris tidak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu

.

66

. Disamping itu masih terdapat hal-hal lain yang melatarbelakangi konflik bersenjata di NAD, antara lain67

2) Pembubaran Divisi X TNI di Aceh oleh Bung Karno, padahal divisi ini terkenal sangat heroic pada masa perjuangan melawan Belanda.

:

3) Peleburan Aceh ke dalam Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 23 Januari 1951 oleh Kabinet Natsir.

4) Isu daftar hitam yang dikeluarkan oleh Kabinet Sukiman dimana sebenarnya daftar hitam itu diperuntukkan untuk menjerat anggota PKI di Jawa, namun di Aceh sejumlah tokoh mendadak masuk daftar hitam itu dan dijebloskan kedalam bui, padahal mereka (termasuk para ulama) memiliki jasa yang besar saat mengusir Belanda.

5) Pernyataan berdirinya Aceh sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia (NII) mengikuti jejak Kartosuwirjo di Jawa Barat. Bersama Daud Beureuh, sejumlah pasukan TNI berbalik menjadi Tentara Islam Indonesia (TII).

65

Majalah Tempo, Edisi Khusus 17 Agustus, Edisi No. 25/XXXII/2003. Jakarta. Hal 21. 66

Ibid. hal 29. 67

Berdasarkan kondisi di atas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa hal-hal yang mendorong terjadinya konflik bersenjata di NAD adalah sesuai dengan teori tentang penyebab konflik bersenjata secara umum, yakni:

1) Kondisi kemiskinan ekonomi sebagai penyebab utama konflik bersenjata. Kemiskinan ekonomi yang dirasakan oleh rakyat Aceh menjadi pemicu utama konflik bersenjata di daerah tersebut. Ekonomi rakyat tidak diperhatikan, sedangkan pemerintah pusat dalam pandangan Daud Beureuh hanya sibuk bertikai dalam system politik parlementer68. Menurut data BPS tahun 1998, jumlah penduduk miskin absolute di Aceh mencapai 1.353.975 atau 33,24% dari total penduduk (4.073.331). Jika angka ini ditambahkan dengan angka kemiskinan relative, maka lebih dari 60% penduduk Aceh tergolong miskin69 2) Sistem politik yang represif/bersifat menekan sebagai penyebab yang

mempercepat terjadinya konflik bersenjata, khususnya dalam periode masa transisi/peralihan. System politik yang rpresif terjadi pada masa Orde Baru dibawah pimpinan Soeharto, dimana pemerintahan dijalankan dengan gaya militer.

.

3) Degradasi/penurunan dari sumber-sumber daya alam.

Sumber daya alam di Aceh telah diketahui sangat potensial dan telah banyak memberi sumbangan bagi Indonesia, namun pemerintah pusat tidak berlaku adil dalam pembagian hasil kekayaan alam tersebut, sehingga rakyat Aceh masih tetap hidup dalam kemiskinan. Pemanfaatan sumber-sumber daya alam

68

Ibid, hal 29. 69

Yudi Latif. 20 Februari 2004. Aceh Dalam Konsistensi Dan Nestapa Berkelanjutan. http://www.arsip-millis.s5.com/politik1.htm

secara terus menerus ini telah mengundang kekhawatiran rakyat atas terjadinya degradasi lingkungan.

4) Etnis (suku) yang bukan merupakan suatu penyebab terjadinya konflik bersenjata, namun para pihak dalam suatu konflik sering diidentifikasi berdasarkan identitas suku mereka.

Dalam konflik bersenjata di Aceh, maka etnis yang diidentifikasi sebagai salah satu pihak dalam konflik adalah suku Aceh (meskipun ini hanya ditujukan untuk sekelompok orang, bukan secara keseluruhan).

Hal-hal tersebut diataslah yang telah melatarbelakangi terjadinya konflik Aceh yang berkepanjangan dan banyak memakan korban termasuk penduduk sipil. Selain hal-hal yang tersebut di atas, masih banyak persoalan lain yang ikut menjadi penyebab dari panjangnya konflik bersenjata di NAD tersebut.

Gerakan perlawanan (pemberontakan) atau yang lebih dikenal dengan gerakan separatis untuk kemerdekaan Aceh dimulai pada tahun 1950-an, ketika Darul Islam di pulau Jawa mencoba untuk mendirikan Negara Islam. Masyarakat Aceh selanjutnya mendukung Negara Islam tersebut yang mengakibatkan terjadinya konflik bersenjata selama beberapa tahun di Aceh70

Dalam perkembangannya pada tahun 1976 terbentuklah Gerakan Aceh Merdeka, dimana waktu itu TNI menyebutnya sebagai Gerombolan Pengacau Keamanan (GPK). Diakhir tahun 1970-an pemerintah RI memerintahkan penangkapan anggota-anggota GAM dan membunuh banyak pemimpinnya.

.

70

Pemimpin gerakan tersebut Hasan Tiro kabur ke Swedia 197971

Gerakan Aceh Merdeka memiliki sayap militernya Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM). AGAM ini diakui oleh pemimpin GAM merupakan . Dari Swedia Hasan Tiro terus mengkordinir GAM.

Berbagai upaya dan pendekatan telah dilakukan oleh pemerintah pusat untuk menumpas GAM, tetapi kenyataannya GAM tetap eksis dan terus melakukan perlawanannya.

GAM terus bertahan karena kapasitas GAM dan dukungan banyak penduduk sipil. Jumlah personel GAM memang kalah banyak dengan TNI. Sehubungan dengan gencarnya pemberitaan media massa tentang konflik bersenjata di NAD, maka menteri Negara Komunikasi dan Informasi, Syamsul Ma’arif mengimbau agar masyarakat mengerti tentang pembatasan liputan yang kemungkinan akan diberlakukan di Aceh dan melontarkan istilah jurnalisme prioritas sebagai satu-satunya solusi. Pers diminta pemerintah pusat untuk berpihak pada NKRI dalam menghadapi kelompok GAM.

Oleh karena itu, media diminta untuk menjadi humas yang baik. “Operasi Militer” yang dilihat secara jelas oleh masyarakat secara perlahan diubah menjadi “Operasi Terpadu”. Sejumlah istilah yang lebih halus dan keras diproduksi, antara lain “Operasi Penumpasan GAM” diubah menjadi “Operasi Penegakan Hukum dan Pemulihan Keamanan” (Operasi Terpadu).

Selain itu untuk memperoleh legitimasi politik, istilah Gerakan Aceh Merdeka (GAM) diubah menjadi Gerakan Separatis Aceh (GSA).

71

pasukan resmi, yang melakukan penyerangan terhadap pos-pos TNI dan Polri yang ada di wilayah Aceh.

Gerakan Aceh Merdeka mencari dukungan Negara-negara ke-3 untuk memberikan pengakuan kepada GAM, bahwa GAM merupakan kaum Billigerency, yang menuntut suatu kemerdekaan dari sebuah Negara yang sah.

Kebijakan untuk menyelesaikan konflik Aceh dilakukan oleh pemerintah pusat dengan berkoordinasi dengan pemerintah daerah propinsi NAD. Dalam kaitan itu, Gubernur NAD, Abdullah Puteh telah secara tegas menyatakan perlunya pemberantasan atas markas GAM di Aceh Besar, karena kehadiran pemberontak itu telah menimbulkan kesengsaraan yang berkepanjangan bagi masyarakat72

Sejumlah perundingan dan perjanjian (kesepakatan) damai telah dilakukan pemerintah dengan wakil-wakil GAM, seperti : Cessation of Hostilities Agreement (Kesepakatan Penghentian Permusuhan) yang ditandatangani di kantor Lembaga Fasilitator Henry Dunant Centre (HDC) di Jenewa Swiss pada tanggal 9 Desember 2002 pukul 10 GMT atau sekitar pukul 17.00 WIB oleh ketua Perunding RI : S. Wiryono dan Ketua Perunding GAM : Dr. Zainal Abdullah. Kesepakatan damai ini disaksikan oleh Direktur HDC Martin Griffiths, Menko Polkam Susilo Bambang Yudhoyono, serta para diplomat asing dan wartawan

.

73

72

“Puteh: Jangan Ada Markas GSA di Aceh Besar”. http://.lin.go.id/detail.asp?idartel=151004&by=topic.

.

73

[Nusantara] Kita Tata Kembali Aceh Tercinta”.

Dalam kesepakatan tersebut ada sembilan kesepakatan damai yang ditandatangani pemerintah RI-GAM, yakni74

1) Sasaran penghentian permusuhan dan segala tindak kekerasan. :

2) Komitmen kedua belah pihak untuk mengehentikan permusuhan dan segala tindak kekerasan.

3) Pembentukan komite keamanan bersama (Joint Security Committee).

4) Pembentukan zona damai. 5) Penetapan kerangka waktu.

6) Pelaksanaan forum all inclusive dialogue.

7) Pemberian informasi dan komunikasi kepada masyarakat Aceh. 8) Pembentukan dewan bersama (Joint Council).

9) Tata cara melakukan amandemen atau pengakhiran atas kesepakatan yang telah ditetapkan.

Dengan adanya kesepakatan damai yang dihasilkan di Swiss ini, banyak yang berharap agar tidak ada lagi permusuhan dan segala bentuk tindak kekerasan, termasuk intimidasi, penyanderaan, perusakan harta benda, penyerangan, penembakan, penganiayaan, pemboman, pembakaran, perampokan, pemerasan, pelecehan, pemerkosaan dan penggeledahan yang tidak resmi.

Berdasarkan uraian di atas, maka jelaslah bahwa pemerintah RI telah cukup banyak mengambil kebijakan guna menyelesaikan konflik Aceh, mulai dari cara persuasif (perundingan dan perjanjian) sampai dengan cara represif (operasi militer, seperti DOM, Darurat Militer yang diatur dalam Keppres No. 28/2003). Bahkan pemerintah telah pula mengakomodasi kepentingan dan aspirasi masyarakat Aceh yang tertuang dalam UU No. 18/2001 tentang “Otonomi Khusus bagi Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Propinsi Nangroe Aceh Darussalam”.

74

Namun tetap saja konflik masih terjadi. Untuk itu pemerintah RI harus lebih hati-hati dalam menangani atau menumpas GAM, karena suatu operasi militer yang dilakukan akan berpotensi untuk menimbulkan jatuhnya korban jiwa, bukan hanya dari pihak yang berkonflik tetapi juga penduduk sipil.