• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/PERMESTA)

(JUS COGENS) DALAM PENYELESAIAN GERAKAN SEPARATIS DI INDONESIA

C. Sejarah Gerakan Separatis di Indonesia

3) Pemberontakan Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia/Perjuangan Rakyat Semesta (PRRI/PERMESTA)

Pemberontakan PRRI/Permesta pada dasarnya gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari pemerintahan RI yang sah. Latar belakang pemberontakan ini adalah :

a) anggapan bahwa pembangunan hanya dipusatkan di Pulau Jawa;

b) pertengkaran politik yang berlarut-larut, dimana setiap partai politik berusaha untuk saling menjatuhkan;

c) lahirnya konsepsi Presiden Soekarno tahun 1957 tentang pelaksanaan demmokrasi terpimpin yang secara tidak langsung konsepsi tersebut memberi kemungkinan kepada PKI untuk tumbuh subur.

Akibat dari hal-hal tersebut, dibeberapa daerah lahirlah gerakan-gerakan berbentuk dewan, antara lain sebagai berikut55

a) Dewan Banteng di Sumatera Tengah yang dipimpin oleh letnan colonel Ahmad Husen;

:

b) Dewan Gajah di Sumatera Utara yang dipimpin oleh letnan colonel Simbolon; c) Dewan Garuda di Sumatera Selatan;

d) Dewan Lambung Mangkurat di Kalimantan Selatan; e) Dewan Manguni di Sulawesi Utara.

Berdirinya dewan-dewan dibeberapa daerah itu menunjukkan bahwa di dalam tubuh angkatan perang terdapat perpecahan. Untuk itu, KSAD (Kepala Staff Angkatan Darat) Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution melarang dewan-dewan itu mengadakan pertemuan. Sebagai gantinya tanggal 9-14 September 1957 pemerintah mengadakan musyawarah nasional yang dihadiri oleh tokoh-tokoh politik dan militer dari seluruh pelosok tanah air. Musyawarah nasional itu dimaksudkan untuk menyelesaikan semua persoalan politik dan militer yang pada waktu itu dinilai tidak sehat. Namun, musyawarah itu tidak membuahkan hasil. Gerakan separatis terus saja berlangsung.

55

Pada tanggal 10 Februari 1958, ketua Dewan Banteng Letnan Kolonel Ahmad Husen mengeluarkan ultimatum kepada pemerintah pusat yang isinya sebagai berikut 56

a) Dalam waktu 5x24 jam Kabinet Djuanda menyerahkan mandate kepada Presiden atau Presiden mencabut mandate Kabinet Djuanda;

:

b) Presiden menugaskan Drs. Moh. Hatta dan Sri Suultan Hamengkubuwono IX untuk membentuk zaken cabinet; dan

c) Meminta kepada Presiden supaya kembali kepada kedudukannya sebagai Presiden konstitusional.

Pemerintah menjawab ultimatum Ahmad Husen tersebut dengan memecat dengan tidak hormat dari keanggotaan TNI terhadap kolonel Simbolon, kolonel Zulkifli Lubis, kolonel Dahlan Jambek, dan letnan kolonel Ahmad Husen.

Disamping itu, pemerintah juga memutuskan untuk menangkap dan mengajukannya ke pengadilan. KSAD Mayor Jenderal Abdul Haris Nasution, pada tanggal 12 Februari 1968 memutuskan untuk membekukan komando dan staff komando daerah militer Sumatera Tengah (KDMST) dan menyita seluruh persenjataannya. Selanjutnya, semua tugas dan jabatannya berada langsung di bawah KSAD.

Sebagai reaksi dari keputusan ini, Dewan Banteng membentuk Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 17 Februari 1958 dan mengangkat Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya.

56

Demikian pula halnya dengan yang terjadi di Sulawesi Utara. Tanggal 17 Februari 1958 (bersamaan dengan berdirinya PRRI) letnan kolonen DY. Somba, Komandan Komando Daerah Militer Sulawesi Utara (KDMSU) menyatakan mendukung berdirinya PRRI di Sumatera Barat (Padang) dan memutuskan hubungan dengan pemerintah pusat di Jakarta.

Kemudian, pemerintah menjawabnya dengan memecat dengan tidak hormat tokoh-tokoh militer yang terlibat di KDMSU, seperti Letkol DY. Somba, Letkol Vence Sumual, dan Mayor Runturambi. DY. Somba dan kawan-kawan menjawab pemecatan terhadap dirinya itu dengan membentuk piagam Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta). Dengan demikian sejak tanggal 17 Februari 1958 meletuslah pergolakan sepparatis bersenjata PRRI/Permesta di Sumatera Barat dan Sulawesi Utara.

Untuk menanggulangi gerakan separatis PRRI/Permesta, pemerintah menempuh jalan damai dan menghindari peperangan. Namun, usaha-usaha damai pemerintah tidak memperoleh hasil. Akhirnya, ditempuhlah upaya operasi militer dengan membentuk empat operasi sekaligus, yakni :

a) Operasi Tegas, dimaksudkan untuk mengamankan instalasi-instalasi minyak asing di Riau. Operasi ini dapat mencegah campur tangan asing yang berdalih akan menyelamatkan warga Negara dan hartanya. Pada tanggal 23 Maret 1958, pasukan yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Kaharuddin Nasution berhasil menguasai Pekanbaru.

b) Operasi 17 Agustus diarahkan ke Sumatera Barat. Kolonel Ahmad Yani memimpin operasi yang berhasil menguasai kota Padang dan Bukit Tinggi pada tanggal 17 April.

c) Operasi Saptamarga dipimpin oleh Brigadir Jenderal Djatikusumo untuk daerah Sumatera Utara.

d) Operasi Sadar di Sumatera Selatan dipimpin oleh Letnan Kolonel Dr. Ibnu Sutowo.

Pada akhirnya, gerakan separatis PRRI/Permesta berhasil dilumpuhkan pada bulan Agustus 1958.

Konflik antara pemerintah Indonesia dengan gerakan separatis DI/TII, RMS dan PRRI/Permesta yang telah dipaparkan di atas, belum melibatkan masyarakat internasional, artinya bahwa konflik yang terjadi untuk menghadapi gerakan separatis tersebut masih bisa ditangani sendiri oleh pemerintah Indonesia.

Dari uraian yang memaparkan tentang gerakan separatis yang tidak berhasil mewujudkan hak menentukan nasib sendiri, maka kita dapat melihat adanya pengaruh-pengaruh sebagai akibat dari kegiatan gerakan tersebut terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia, baik secara internal maupun eksternal. 3. Gerakan Separatis Yang Berhasil Mewujudkan Hak Menentukan Nasib

Sendiri (Self Determination) 1) Timor-Timur

Ketika sebuah Negara kehilangan sebagian wilayahnya, yang terjadi bukanlah sekedar perjalanan sejarah melainkan kepedihan. Inilah yang dialami Indonesia ketika harus melepas Timor Timur dari pangkuan ibu pertiwi.

Jauh sebelum Timor Timur berintegrasi dengan Indonesia, pada 17 Juli 1976, wilayah ini telah tercerai berai oleh rentannya politik devide et impera. Akibatnya selama 450 tahun Portugal mampu menancapkan kukunya di bumi Timor Timur. Dibawah pemerintahan Portugal banyak terjadi pemberontakan, tetapi masih dapat dipatahkan.

Pada tahun 1910 terjadilah pemberontakan terbesar dan terakhhir yang dilakukan rakyat Timor Timur sebelum perang dunia II. Pemberontakan ini dikenal dengan perang Manufahi (1910-1912). Para raja local bersatu di bawah kepemimpinan seorang liurai (raja) Same bernama Dom Boaventura. Portugal dipaksa mendatangkan pasukan dari Mozambique dan Macau, sekitar 3000 orang Timor terbunuh, dan 4000 lainnya ditawan Portugal.

Setelah perang manufahi, Portugal menerapkan kebijakan baru yang bertujuan menghancurkan sistem pemerintahan dan kekerabatan tradisional Timor Timur. Posisi Liurai dipotong dengan cara menghapus kerajaan mereka. Daerah koloni dipecah-pecah ke dalam unit-unit administrasi wilayah suco, dengan menciptakan dua tingkat administrasi baru, yakni posto (terdiri dari kelompok

suco) dan concelho (yang mengontrol fosto melalui seorang administrator Portugis). Kekuasaan para Liurai lambat laun mulai memudar.

Pada 25 April 1974 terjadi Revolusi Bunga di Portugal, yang akan dipelopori oleh para perwira muda yang tergabung dalam Movimento Das Forcas Armadas (MFA). Rezim pemerintahan berganti. Kebijakan politik dekolonisasi mulai diterapkan, termasuk Timor Timur. Namun, dalam pelaksanaannya,

kebijaksanaan dekolonisasi itu tidak memiliki kesatuan konsep57

Pada saat itu ada dua kelompok yang bersengketa, yaitu Fretelin disatu pihak, dan kelompok gabungan Apodeti, UDT, KOTA, dan Trabalhista dipihak lain. Fretelin yang beraliran Marxis-Maois mempunyai aspirasi radikal untuk segera merdeka, lepas dari Portugal, sehingga sering disebut kelompok Pro-Kemerdekaan. Sedangkan kelompok UDT, Apodeti, Trabalhista, dan KOTA mendukung integrasi dengan Indonesia (kelompok Pro-integrasi)

. Keadaan politik dalam negeri Portugal pun mulai bergolak. Akibatnya, janji-janji untuk mengembalikan hak-hak sipil dan demokrasi serta kebebasan membentuk partai politik di TimTim tidak sepenuhnya dijalankan. Puncaknya adalan perang saudara 1975, yang dipicu oleh kegagalan dekolonisasi. Portugal secara tidak bertanggung jawab akhirnya meninggalkan Timor Timur.

58

Persoalan menjadi lebih rumit setelah perselisihan dan pertentangan antara kelompok UDT dan Fretelin berujung pada Perang Saudara, dan jatuhnya ribuan senjata berbagai jenis eks Portugal ke tangan Fretelin

. Kedua kelompok ini saling bersengketa mengenai masa depan Timor Timur.

59

. Perang saudara itu sangat mengerikan. Selain ribuan jiwa melayang karena perang dan penyakit, bahaya kelaparan pun merajalela. Mengutip laporan resmi PBB tentag perang saudara di Timor Timur, penulis Portugal, Paradela de Abreu60

57

Mohammad Noor. 1997. Lahirnya Provinsi Timor Timur. Jakarta : Badan Penerbit Almanak RI/BP Alda. Hal 329.

58

Hendro Subroto. 1997. Saksi Mata Perjuangan Timor Timur. Jakarta : Pustaka Sinar Harapan. Hal. 20.

59

J. Kristiadi, Dekolonisasi Timtim, Analisa 1986-II CSIS. 60

Zacky Anwar Makarim. 2003. Hari-Hari Terakhir Timor Timur Sebuah Kesaksian.

Jakarta : Sportif Media Informasindo. Hal. 23.

, menyatakan dari Agustus 1975 sampai Februari 1976 lebih dari 60.000 orang menjadi korban keganasan

Fretelin. Kebanyakan wanita dan anak-anak. Penduduk yang ingin selamat harus mengungsi, mencari daerah yang aman. Tekanan dan teror Fretelin waktu itu menyebabkan sekitar 55.000 warga Timor Timur terpaksa mengungsi dari tempat tinggalnya untuk mengamankan diri dan keluarganya du Nusa Tenggara Timur (NTT), daerah tujuan pengungsian utama pada masa itu

Situasi itulah yang mendorong Timor Timur berintegrasi dengan Republik Indonesia, pada 17 Juli 1976. menurut seorang tokoh Timor Timur yang terlibat dalam kekacauann perang saudara 1975, pada masa itu tidak ada pilihan yang lebih baik selain berintegrasi dengan Indonesia. Keinginan itu juga diterima oleh banyak Negara yang berdiri dibelakang Indonesia, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Walaupun secara resmi PBB belum mengakui integrasi tersebut, dan menganggap Timor Timur sebagai daerah yang belum berpemerintahan sendiri

(non-self governing territory), Portugal tetap bersikeras menjadikan Timor Timur sebagai provinsi seberang lautan (provincia ultramarine).

Selama 23 tahun berintegrasi dengan Indonesia, konflik antara kedua kelompok, Pro-integrasi dan Anti-integrasi relatif tidak kenal henti. Sampai dengan tahun 1982, isu Timor Timur selalu dibahas dalam sidang PBB. Data pemungutan suara sidang Majelis Umum PBB, sejak 1975 sampai 1982, menunjukkan Negara yang mendukung Indonesia terus bertambah.

Kenyataan menunjukkan, integrasi selama lebih dari 20 tahun itu telah meningkatkan taraf hidup rakyat Timor.

Adalah merupakan fakta sejarah bahwa selain catatan prestasi pembangunan yang spektakuler, proses integrasi dan percepatan pembangunan

pun menyisakan persoalan-persoalan penting. Dari sudut pandang hukum internasional, penyelesaian politik tampaknya dianggap paling penting dan menjadi inti persoalan, karena masyarakat Timor Timur membutuhkan kepastian mengenai masa depan, dan kebebasan untuk mengatur hidup mereka sendiri. Menurut Joao Mariano Saldanha61

Pada 27 Januari 1999, setelah mempertimbangkan dan menganalisa berbagagai pendapat serta perspektif internasional mengenai masalah Timor Timur, Presiden Republik Indonesia mengumumkan dua pilihan bagi rakyat Timor, yang pada dasarnya menyerahkan keputusan akhir masa depan kawasan itu kepada rakyat Timor. Mereka dapat memilih melalui proses jajak pendapat, untukn setuju atau menolak tawaran status otonomi khusus yang diperluas. Jika

, persoalan penting lainnya adalah besarnya ketergantungan Timor Timur kepada pusat. Kebijaksanaan pembangunan selama integrasi belakangan dikritik, dianggap terlalu didikte oleh pusat. Kegiatan pembangunan dikatakan kurang menampung aspirasi masyarakat. Pembangunan yang dipercepat itu dinilai semata-mata dilaksanakan dengan persepsi pemerintah pusat.

Akibatnya muncul persepsi yang salah tentang arah pembangunan yang dilaksanakan di Timor Timur. Celakanya, hal itulah yang banyak dipercaya oleh umum.

Sejumlah penelitian menyimpulkan, memang terdapat beberapa masalah berkaitan dengan pembangunan yang dilaksanakan di Timor Timur. Benang merahnya adalah : belum pernah tuntasnya masalah keagamaan di Timor Timur.

61

mayoritas penduduk memilih status otonomi khusus, Timor Timur akan tetap menjadi bagian integral Indonesia. Sebaliknya, jika penawaran otonomi khusus ditolak, maka Timor Timur akan berpisah secara terhormat dari Indonesia, dan dapat segera mengambil langkah-langkah yang perlu untuk dikembalikan kepada PBB.

Pelaksanaan jajak pendapat itu diserahkan kepada PBB, yang akan menanganinya langsung melalui misi yang akan dibentuk PBB di Timor Timur, yakni UNAMET. Keterlibatan PBB melalui UNAMET merupakan buah pembicaraan segitiga (tripartite) selama beberapa tahun yang melibatkan Indonesia, Portugal dan Sekjen PBB.

Perubahan proses penyelesaian masalah Timor Timur secara signifikan terjadi di era reformasi, di bawah pemerintahan transisi Presiden BJ. Habibie. Ketika itu, perbedaan mendasar antara Indonesia dan Portugal tentang penyelesaian Timor Timur mulai menemui titik temu, sehingga harapan untuk mencapai penyelesaian yang adil, menyeluruh, dan diterima secara internasional dapat diwujudkan.

Dengan meningkatnya peerhatian internasional, membawa angin segar kepada aktivis pro kemerdekaan. Dukungan nyata internasional terhadap perjuangan kemerdekaan ini adalah dengan penganugerahan hadiah Nobel perdamaian kepada Uskup Carlos Ximenes Belo dan Jose Ramos Horta tanggal 11 Oktober 199662

62

Gatra. 19 Oktober 1996. Hal 22.

.

Uskup Belo sebagai tokoh yang mau mempertaruhkan jiwanya untuk melindungi orang-orang yang kesulitan politik dan konsisten mengupayakan pengakuan “hak menentukan nasib sendiri” bagi rakyat Timor Timur dan gigih menanjurkan jalan perjuangan anti kekerasan. Horta dianggap sebagai juru bicara yang hebat bagi rakyat Timor Timur yang ingin memisahkan diri dari Indonesia.63

Sejak tanggal 3 Juni 1999, bendera PBB resmi berkibar di Timor Timur, dengan kantor pusat berada di Dili dan memiliki 5000 staff64

Dan walaupun ada kecurigaan akan kecurangan dan ketidakrelaan, akan kegagalan diplomasi Indonesia tentag Provinsi ke 27 yang menentukan kemerdekaannya sendiri, namun pemerintah harus menerima kenyataan bahwa Timor Timur memilih merdeka. Namun, hasil jajak pendapat membuat konflik . Sejak tanggal 13 Juni 1999, diadakan pendaftaran pemilihan dan kampanye bagi para pendukung kemerdekaan dan pro integrasi, berlangsung antara 20 Juli hingga 26 Agustus. Dan setelah beberapa kali penundaan akibat situasi Timor Timur yang mengalamai konflik antara pro integrasi dan pro kemerdekaan, yang mengakibatkan korban jiwa di kedua pihak, maka Sekretaris Jenderal PBB Koffi Annan menetapkan jajak pendapat dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999. jajak pendapat diikuti oleh 438.417 orang yang memenuhi syarat untuk memilih dan 98,6%

Telah menggunakan hak pilihnya. Penghitungan suara dilaksanakan di Timor Timur, kemudian diumumkan pada tanggal 5 September 1999, dimana PBB mengumumkan bahwa 344.388 atau 21,5% menerima, artinya Timor Timur menginginkan kemerdekaan.

63

Ibid, hal. 22. 64

Lela E Madjah. 2002. Timor Timur Perginya si Anak Hilang. Jakarta : Antara Pustaka Utama. Hal. 58.

antara pro integrasi dan pro kemerdekaan, dan sesuai kesepakatan 5 Mei 1999, antara Indonesia, Portugal dan PBB, maka tahapan setelah jajak pendapat sampai sidang Umum MPR November 1999, yang bertanggung jawab mengenai Timor Timur adalah Indonesia.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh MPR adalah mencabut TAP MPR No. VI/1978, tentang penetapan Timor Timur sebagai Provinsi Republik Indonesia yang ke-27, maka Timor Timur kembali ke Portugal, baru kemudian Portugal melimpahkannya ke Dewan Perwalian (Trusteeship Council) PBB, sebagai kawasan tidak bertuan (non self governing territory). Setelah itu barulah kemerdekaan rakyat Timor Timur diumumkan.

Proklamasi kemerdekaan direncanakan pada tanggal 28 November 1999, dengan bentuk pemerintahan yang disepakati adalah republik, yang berasaskan sosial demokrat, dengan model pemerintahan yang dijalankan adalah parlemen, presiden bertindak sebagai kepala Negara adalah pemimpin tertinggi.

Setelah Presiden Abdurrahman Wahid menyurati Skretaris Jenderal PBB, Koffi Annan, yang berisi Indonesia secara resmi menyerahkan kekuasaan atas Timor Timur kepada PBB berdasarkan TAP MPR No. V/1999. Maka PBB membentuk pemerintahan transisi, berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan No. 1272, dibentuklan UNTAET (United Nation Transitutional Administration Indonesia East Timor), yang tujuannya untuk menjalankan roda pemerintahan sementara sampai 31 Januari 2001, maksimal 3 tahun. Dan pada tanggal 20 Mei 2000 Timor Timur merdeka dan resmi terpisah dari Indonesia. Rakyat Timor

Timur berhasil menjalankan hak untuk menentukan nasib sendirinya yang berujung dengan kemerdekaannya.