• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

19

Perkembangan dan Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (Pinctada

maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda

[Development and Survival Rate of the Pearl Oyster (Pinctada maxima) Larvae in

Different Temperature Conditions]

Aris Sando Hamzah

1*

, Muhaimin Hamzah

2

dan Mat Sardi Hamzah

3

1

Mahasiswa jurusan Budidaya Perairan

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Halu Oleo

Jl.HEA Mokompit Kampus Bumi Tridharma Anduonohu Kendari 93232, Telp/Fax: (0401) 3193782

UPT. Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Puslit. Oseanografi LIPI

2

)E-mail: iminhmz@yahoo.com E-mail: admin@hantulaut.com

ABSTRAK

Penelitian perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) pada kondisi suhu yang berbeda telah dilaksanakan di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram, Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia pada Februari - Maret 2016. Penelitian bertujuan untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima). Penelitian didesain menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan Kontrol (26,5-28oC), A (26oC±0,5), B (28oC±0,5), C (30oC±0,5) dan D (32oC±0,5). Hasil penelitian menunjukan bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi didapatkan pada perlakuan B (28oC±0,5) dengan nilai 8,00%±0,16. Perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat terbaik juga didapatkan pada perlakuan B (28oC±0,5).

Kata Kunci: Perkembangan, kelangsungan hidup, larva kerang mutiara (P. maxima), suhu

ABSTRACT

Study on development and survival rate of the pearl oyster (Pinctada maxima) larvae in different temperature conditions was conducted in the Laboratory of Mataram Marine Bio Industry Technical Implementation Unit of Recearch Center for Oceanography, Indonesian Institute of Sciences (LIPI) from Februaryto March 2016. The aim of the present sudy was determine the temperature ranges for the development and survival rate of the pearl oyster (P.

maxima) larvae. The study was designed using completely randomized design (CRD) with five treatments and three

replications. Control treatment was (26.5-28oC), A (26°C±0.5), B (28oC±0.5), C (30°C±0.5) and D (32oC±0.5). The results showed that the highest survival rate was obtained in treatment B (28oC±0.5) with value was 8.00%±0.16. The development stage of pearl oyster larvae until spat was highest in treatment B (28°C±0.5).

Keywords: Development, survival rate, pearl oyster (P. maxima) larvae, temperature

PENDAHULUAN

Kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan salah satu komoditas perikanan penting yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan menjadi andalan usaha budidaya di Indonesia. Akhir-akhir ini usaha budidaya kerang mutiara semakin meningkat, seiring dengan permintaan butiran mutiara baik pasar domestik maupun mancanegara. Namun para pengusaha terutama skala industri sering mengalami kendala dalam penyediaan induk alam yang matang gonad. Penyebab utama

kekurangan induk matang gonad adalah kompetisi antar nelayan penyelam yang menjual kulit cangkang untuk industri kerajinan perhiasan dan penyedian induk untuk perusahaan budidaya kerang mutiara.

Budidaya kerang mutiara (P. maxima) sangat ditentukan oleh proses pembenihan. Proses pembenihan sangat menentukan kualitas dan kuantitas kerang yang akan dihasilkan. Pengaruh kualitas air menjadi faktor penentu bagi pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva. Salah satu parameter kualitas air adalah

(2)

20

suhu yang mempengaruhi laju metabolisme organisme akuatik khususnya kerang mutiara (P. maxima). Keadaan ini diperkuat hasil penelitian Hamzah (2008) yang memperlihatkan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara rerata sebesar 68,57% bersamaan dengan naiknya kondisi suhu harian dari level 29°C menjadi 31°C di perairan Buton, Sulawesi Tenggara. Hamzah (2009) menyimpulkan bahwa kematian massal anakan kerang mutiara ukuran lebar cangkang antara 3-4 cm yang terjadi di laut adalah diduga kuat disebabkan oleh perubahan kondisi suhu yang terjadi secara ekstrim pada periode waktu yang singkat. Fase perkembangan stadia larva merupakan masa kritis yang dimana pengaruh perubahan parameter lingkungan khususnya suhu yang tidak sesuai sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan dan kelangsungan hidup larva sehingga dapat menyebabkan kematian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh suhu yang berbeda terhadap kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan stadia larva kerang mutiara (P.

maxima). Kegunaan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui kisaran suhu optimum bagi kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan stadia larva kerang mutiara (P.

maxima). Luaran hasil penelitian ini diharapkan

menjadi informasi bagi penelitian maupun pembenihan kerang mutiara (P. maxima) di Indonesia.

BAHAN DAN METODE

Penelitian ini dilaksanakan selama 35 hari yaitu pada Februari–Maret 2016 bertempat di Laboratorium Unit Pelaksana Teknis Loka Pengembangan Bio Industri Laut Mataram,

Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Larva kerang mutiara (P. maxima) yang digunakan pada penelitian ini yaitu larva D-veliger dengan kepadatan 20,000/80 liter air yang dipelihara dalam media kontainer berwarna gelap. Larva diperoleh dari hasil pemijahan induk alam kerang mutiara (P.

maxima) dengan perbandingan induk jantan dan

induk betina yaitu 4:4 serta ukuran panjang cangkang sekitar 12cm.

Pemberian komposisi pakan campuran dilakukan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore dengan pakan alami jenis Isochrysis galbana,

Pavlova luthery dan Chaetoceros sp.. Pergantian air dilakukan setiap 2 hari sekali. Pergantian air dilakukan sebanyak 2 kali yaitu pergantian air 50% dan 100% dengan menyaring larva terlebih dahulu dengan menggunakan screen net kemudian dimasukan larva kedalam wadah yang telah diisi air. Air yang digunakan disterilkan dengan cara disaring menggunakan filter bag sehingga air bebas dari partikel maupun organisme yang tidak diinginkan.

Kelangsungan hidup larva atau anakan kerang dihitung dengan menggunakan rumus yang dikemukakan oleh Winanto (2009) yaitu:

Keterangan :

SR = kelangsungan hidup (%)

N1 = jumlah larva akhir pengamatan (individu)

N0 = jumlah larva awal pengamatan (individu)

Pengamatan perkembangan stadia larva pada setiap perlakuan digunakan mikroskop yang dilengkapi dengan kamera digital dan bisa diakses dalam bentuk gambar (foto larva). Perkembangan stadia larva didokumentasi

(3)

21

dengan kamera. Kemudian mencatat ukuran AP x DV dan tingkat perkembangan stadia. Parameter kualitas air yang diukur yaitu salinitas dan pH dengan menggunakan hand refraktometer dan pH meter digital. Pengukuran kualitas air dilakukan pada saat tidak dilakukan pergantian air yaitu sebelum dan setelah pergantian air.

Data hasil penelitian di laboraorium yang merupakan metoda eksperimen dengan lima perlakuan suhu yang berbeda diulang 3 kali (sebagai ulangan perlakuan) yaitu digunakan rancangan acak lengkap (Hanafiah, 2014). Selanjutnya bila perlakuan suhu memberikan respons yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan uji Duncan. Data kelangsungan

hidup larva kerang mutiara (P. maxima) dianalisis dengan menggunakan analisis ragam (ANOVA). Data perkembangan larva dan kualitas air dianalisis secara deskriptif. Analisis data penelitian dibantu dengan menggunakan program IBM SPSS Statistics Version 23.

HASIL

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada maxima) merupakan persentase dari jumlah spat (akhir pengamatan) umur 35 hari setelah pemijahan dibanding dengan jumlah larva awal pengamatan. Hasil penelitian tingkat kelangsungan hidup selama penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Kerang Mutiara (P. maxima) pada Kondisi Suhu yang Berbeda (Mean±SD) (Keterangan: notasi yang sama menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata)

Pada Gambar 1 terlihat bahwa tingkat kelangsungan hidup tertinggi didapatkan pada perlakuan B yaitu 8,00%±0,16 dan diikuti secara berturut-turut oleh perlakuan Kontrol yaitu 7,53%±0,20, perlakuan C yaitu 5,25%±1,81, perlakuan A yaitu 3,99%±0,57 dan terendah pada perlakuan D yaitu 3,98%±0,53. Hasil analisis ragam menunjukan bahwa

perlakuan suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (P≤0,01) terhadap kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima).

Perkembangan Stadia

Data perkembangan stadia larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat berdasarkan pengaruh suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 1.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 T in gk at K el an gs u n gan Hi d u p ( % ) Perlakuan Kontrol A B C D b b a a a

(4)

22

Tabel 1. Perkembangan Stadia Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Hingga Mencapai Spat (Juvenil)

No. Stadia Waktu Keterangan

1. D-Veliger 24 jam-12 hari

Larva berbentuk D dengan ukuran AP x DV yaitu sekitar 80 x 75µm

2. Umbo 12-18 hari Muncul tonjolan dibagian dorsal cangkang dengan masing-masing ukuran AP±SD x DV±SD pada masing-masing perlakuan yaitu kontrol (162,50µm±17,25 x 151,67µm±16,02), A (159,55µm±18,64 x 148,18µm± 22,28), B (170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76), C (158,46µm±12,14 x 142,31µm±10,13) dan D (157,50µm±10,35 x 143,75µm±10,61)

3. Eyespot 18-22 hari Terlihat bintik hitam pada cangkang dengan masing-masing ukuran AP±SD x DV±SD pada masing-masing perlakuan yaitu Kontrol (206,67µm±8,16 x 196,67µm±8,16), A (194,00µm±16,73 x 178,00µm±14,83), B (209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66), C (203,00µm±8,23 x 187,00µm±16,36) dan D (204,00µm±8,94 x 184,00µm±21,91)

3. Pediveliger 22-24 hari Terlihat kaki yang keluar pada bagian dorsal cangkang dengan masing-masing ukuran AP±SD x DV±SD pada masing-masing perlakuan yaitu kontrol (227,14µm±14,68 x 203,57µm±9,45), A (227,27µm±20,90 x 196,82µm±19,53), B (237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17), C (234,33µm±23,67 x 201,67µm±26,57) dan D (227,14µm±19,76 x 199,29µm±18,35)

4. Spat >26 hari Menyerupai bentuk anakan kerang dengan masing-masing ukuran AP±SD pada masing-masing perlakuan yaitu Kontrol (1382,11µm ± 198,81), A (1196,25µm ± 343,66), B (1510,67µm ± 155,56), C (1231,46µm ± 322,24) dan D (1152,40µm ± 296,19)

Parameter Kualitas Air

Kisaran parameter kualitas air yang terukur

selama penelitian berdasarkan perlakuan suhu yang berbeda terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Parameter Kualitas Air yang Diukur Selama Penelitian

No. Parameter Kisaran Referensi

1. 2. Salinitas pH 32 -34 ppt 8,11 – 8,35

30-34 ppt (Taylor et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009)

(5)

23 PEMBAHASAN

Tingkat Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup merupakan salah satu faktor terpenting dalam suatu usaha pembenihan kerang mutiara (P. maxima) karena berpengaruh terhadap jumlah spat (juvenil) yang akan dihasilkan. Kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) diestimasi dari data jumlah larva awal pangamatan (larva D-veliger) hingga mencapai stadia spat (juvenil) yang berumur 35 hari setelah pemijahan. Hasil analisis ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa suhu memberikan pengaruh yang sangat nyata (P<0,01) bagi kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) dari stadia D-veliger hingga mencapai spat (juvenil). Hal ini didukung oleh pernyataan Southgate dan Lucas (2008) bahwa suhu terlalu rendah dan terlalu tinggi memberikan pengaruh terhadap kelangsungan hidup kerang mutiara (P.

maxima). Lebih lanjut O’Connor dan Lawler

(2004) menyatakan bahwa perbedaan toleransi suhu tidak hanya terjadi pada masa embrio hingga juvenil, tetapi juga berpengaruh pada spat hingga mencapai kerang dewasa, terutama pada suhu rendah.

Berdasarkan uji Duncan pengaruh suhu yang berbeda terhadap kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) pada awal pengamatan hingga mencapai spat (juvenil) menunjukan bahwa perlakuan B (suhu 28±0,5oC) memberikan persentasi nilai yang tertinggi yaitu 8,00%±0,16 dan disusul perlakuan Kontrol (26,5-28oC) yaitu 7,53%±0,20. Kedua perlakuan ini menunjukan pengaruh yang tidak signifikan, hal ini diduga bahwa kondisi suhu tersebut masih dalam kisaran toleransi kelangsungan hidup larva kerang mutiara sampai stadia spat (juvenil). Hal

ini didukung oleh hasil penelitian Winanto dkk. (2009) yang mengemukakan bahwa sintasan larva kerang mutiara (P. maxima) tertinggi terjadi pada perlakuan suhu 28oC dengan salinitas 32 ppt dan 34 ppt. Doroudi et al. (1999) menambahkan bahwa kondisi fisiologis optimal untuk kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva kerang mutiara yaitu pada suhu 26-29oC. Lebih lanjut Southgate dan Lucas (2008) menjelaskan bahwa kerang mutiara memiliki kisaran suhu yang beragam seperti larva kerang mutiara Akoya (India) hidup dengan baik pada kisaran suhu 24-29oC dan

Pteria sterna pada kisaran suhu 21-28oC. Kelangsungan hidup terendah didapatkan pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) dengan nilai 3,98%±0,53 dan menunjukan nilai yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan A (suhu 26oC±0,5) dan perlakuan C (suhu 30oC±0,5) dengan nilai persentasi masing-masing yaitu 3,99%±0,57 dan 5,25%±1,81. Rendahnya nilai kelangsungan hidup yang terjadi pada perlakuan tersebut diduga bahwa larva kerang mutiara (P.

maxima) tidak dapat mentolelir suhu tersebut

sehingga terjadi mortalitas yang cukup tinggi. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Winanto (2009) yang memperoleh suhu 26oC dan 30oC memberikan hasil kelangsungan hidup yang rendah dibandingkan suhu 28oC dengan salinitas 30-34ppt. Nair dan Appukuttan (2003) juga menambahkan bahwa suhu >33oC menyebabkan mortalitas yang tinggi pada larva kerang. Peningkatan suhu menyebabkan perubahan signifikan pada aktivitas fisiologis yang akan mempengaruhi kemampuan organisme untuk bertahan hidup pada kondisi yang tidak menguntungkan (Rajagopal et al., 2005). Saucedo et al. (2004) menjelaskan bahwa beberapa jenis bivalvia memiliki

(6)

24

kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu air dalam bertahan hidup dan bereproduksi.

Perkembangan Stadia

Fujimura et al. (1995) dalam Miyazaki et

al. (2010) menjelaskan bahwa proses perkembangan P. fucata diklasifikasikan ke dalam enam tahap yaitu telur yang telah dibuahi, trochophore, veliger (larva bentuk D), pediveliger (tahap umbonal), juvenil dan tahap dewasa. Lebih lanjut dijelaskan bahwa cangkang pertama yang disebut prodissoconch I, disekresikan sepasang kelenjar cangkang dari sel-sel larva planktonik selama tahap trochophore (6-24 jam setelah pembuahan). Pengamatan perkembangan larva kerang mutiara (P. maxima) dimulai pada saat larva mencapai fase D-veliger yang dicapai sekitar 24

jam setelah fertilisasi hingga mencapai stadia spat (juvenil) umur 35 hari. Berdasarkan hasil pengamatan, suhu memberikan pengaruh yang beragam terhadap ukuran larva kerang mutiara (P. maxima). Hal ini sejalan dengan pernyataan Winanto (2009) yang menyatakan bahwa suhu memberikan pengaruh signifikan terhadap perkembangan larva, selisih perlakuan suhu (2oC) ternyata memberikan efek yang signifikan pada sintasan dan pertumbuhan larva. Cataldo et

al. (2005) juga menambahkan bahwa waktu

perkembangan larva Mytilidae laut lainnya juga dipengaruhi oleh suhu. Lebih lanjut Gervais dan Sims (1992) dalam Southgate dan Lucas (2008) menjelaskan bahwa perkembangan larva kerang mutiara membutuhkan 16-30 hari dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti suhu air, nutrisi dan ketersediaan substrat yang tepat.

Gambar 2. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo (Keterangan: A. D-Veliger; dan B. Umbo)

Stadia D-veliger dicapai pada 24 jam setelah pemijahan dengan larva yang berbentuk huruf D dengan ukuran sekitar 80 x 75µm (AP x DV). Hal ini hampir sama dengan Doroudi dan Southgate (2003) bahwa larva D-Veliger P.

margaritifera dicapai sekitar 24 jam setelah

pembuahan dengan ukuran panjang cangkang 79,7±2,3 (n = 40). Lebih lanjut dijelaskan bahwa Larva D menunjukkan lingkaran pertumbuhan awal setelah 2 hari dan cangkang menunjukkan sedikit pertumbuhan umbonal setelah berkembang selama 6 hari serta

prodissoconch I dan II bisa diidentifikasi secara jelas. Tahap veliger ditandai dengan bentuk engsel yang lurus dan cangkang berbentuk huruf “D”. Pada tahap ini, larva semi-transparan dan menunjukan bagian velum yang menonjol, larva veliger berenang di permukaan air serta menciptakan arus yang kuat dengan menggunakan sillia (Acarli dan Lok, 2009).

Stadia umbo dicapai pada umur 12-18 hari dengan bagian umbo yang kelihatan jelas pada bagian dorsal. Acarli dan Lok (2009) menjelaskan bahwa pada kerang Ostrea edulis,

(7)

25

larva berenang lebih lambat daripada tahap-tahap awal. Pada bagian velum silia juga kurang aktif dan hanya sebagian larva yang mencapai tahap umbo pada hari ke 14. Rata-rata ukuran panjang x tinggi cangkang (AP±SD x DV±SD) tertinggi pada stadia umbo yaitu pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu 170,67µm±30,11 x 153,67µm±26,76 dan terendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 157,50µm±10,35 x 143,75µm±10,61. Hal ini sedikit berbeda

dengan Doroudi dan Southgate (2003) yang menjelaskan bahwa larva P. margaritifera membutuhkan waktu 8 hari untuk mencapai tahap umbo awal dengan panjang cangkang 110µm dan menunjukkan tingkat pertumbuhan harian rata-rata 3,7µm. Pada larva P. margaritifera, suhu 20oC memberikan perkembangan stadia umbo yang lambat, bahkan setelah mencapai 15 hari (Doroudi et

al., 1999).

Gambar 3. Larva Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Eyespot Tampak Atas dan Samping

Stadia Eyespot dicapai sekitar 18-22 hari dengan ditandai bintik hitam (spot) yang tampak jelas. Bintik hitam kecil pada kedua sisi cangkang tampak setelah berumur 16-17 hari. Bintik hitam ini menggambarkan larva mulai menempel dan kolektor segera ditebarkan dalam bak pemeliharaan (Hamzah, 2015). Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata ukuran larva tertinggi pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu 209,00µm±9,94 x 196,00µm±9,66 dan terendah pada perlakuan A (suhu 26oC±0,5) yaitu 194,00µm±16.73 x 178,00µm±14,83. Pada suhu 26oC laju pertumbuhan larva lebih rendah dibanding pada suhu 28oC dan 30oC, diduga suhu 26oC relatif rendah dan kurang efektif untuk proses metabolisme, sehingga

berimplikasi pada perkembangan dan pertumbuhan larva (Winanto, 2009). Lebih lanjut Kheder dan Robert (2010) menyatakan bahwa suhu ≥27°C memiliki efek positif pada laju metamorfosis dan sebaliknya suhu ≤22°C memberikan efek yang rendah, sehingga menyebabkan lambatnya pencapaian stadia berikutnya. Sedikitnya pertumbuhan yang dialami dari tahap perkembangan awal kemungkinan disebabkan oleh penurunan dari proses kalsifikasi (Parker et al., 2010).

Berdasarkan hasil penelitian, stadia Pediveliger dicapai sekitar 22-24 hari setelah fertilisasi dengan ditandai munculnya kaki yang keluar pada bagian dorsal cangkang serta bitnik hitam pada stadia Eyespot telah menghilang.

(8)

19

Gambar 4. Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia Pediveliger dan Spat (Keterangan: A. Pediveliger; dan B. Spat)

Gerakan larva mulai melambat dan nampak adanya pertumbuhan organ penempel seperti lidah yang keluar dari dalam tubuh larva (Wardana dkk., 2009). Lebih lanjut Acarli dan Lok (2009) menjelaskan bahwa pada stadia Pediveliger, larva berkumpul pada kolom air yang lebih dalam dan mulai mendekati substrat serta bergerak sepanjang permukaan dengan didorong oleh kaki yang menonjol dan mulai mencari substrat yang sesuai untuk menempel. Rata-rata ukuran larva tertinggi yaitu pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu 237,22µm±29,86 x 207,50µm±31,17 dan terendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 27,14µm±19,76 x 199,29µm±18,35. Hal ini hampir sama dengan pernyataan Rose dan Baker (1994) dalam Doroudi dan Southgate (2003) bahwa pada usia sekitar 20-23 hari setelah fertilisasi larva P. margaritifera, P.

fucata dan P. maxima menempel pada ukuran

panjang cangkang yang hampir sama yaitu sekitar 230-266µm. Lebih lanjut Taufiq dkk. (2010) menambahkan bahwa larva akan menempatkan diri untuk menetap dan melakat pada substrat setelah berumur 24 hari pada suhu 28,2-29,8oC. Selanjutnya pada rentang suhu 24,3-27,2oC larva baru akan melekat setelah berumur 32 hari.

Stadia Spat (juvenil) mulai terlihat >26 hari setelah pemijahan dengan ditandai bentuk

morfologi yang sudah mulai sempurna dan mulai menyerupai bentuk anakan kerang. Hamzah (2015) menyatakan bahwa pada fase ini, juvenile tumbuh pada keadaan menempel di kolektor. Lebih lanjut Miyazaki et al. (2010) menambahkan bahwa pada usia 31 hari, permukaan luar cangkang ditutupi oleh lapisan kalsit prismatik dan pada tahap ini larva tersuspensi dalam air dengan silia yang melekat pada mantel. Berdasarkan hasil penelitian, rata-rata ukuran Anterior-Posterior (AP) tertinggi pada perlakuan B (suhu 28oC±0,5) yaitu 1510,67µm±155,56 dan terendah pada perlakuan D (suhu 32oC±0,5) yaitu 1152.40µm±296.19. Perbedaan ukuran pada fase ini diduga bahwa suhu berpengaruh dalam proses enzimatik (Yukihira et al., 2000) sehingga berdampak pada pertumbuhan cangkang. Cáceres-Puig et al. (2007) menambahkan bahwa pada keluarga kerang Mytilidae dan Pectinidae, suhu tinggi menyebabkan stress fisiologis dan metabolik, serta denaturasi protein dan enzim, sehingga cadangan energi dialokasikan untuk bertahan hidup daripada untuk pertumbuhan. Hal serupa juga disampaikan oleh Hamzah (2016) bahwa daya reaksi enzim protease dan kandungan kadar kalsium karbonat turut dipengaruhi oleh interkasi suhu-salinitas sebesar 71,7%, sementara siasanya sebesar 28,7% adalah

(9)

20

dipengaruh oleh faktor lain. Hal berbeda disampaikan oleh Cataldo et al. (2005) bahwa suhu mungkin tidak bertanggung jawab atas perbedaan-perbedaan dalam ukuran. Lebih lanjut O’Connor dan Lawler (2004) mengemukakan bahwa berkaitan dengan ontogeni atau perkembangan organisme dari sigot sampai dewasa, ternyata pada suhu dan salinitas optimum tidak tampak adanya pengaruh perbedaan yang besar.

Parameter Kualitas Air

Parameter kualitas air yang diukur dalam penelitian ini meliputi salinitas dan pH, menunjukan kisaran yang masih mendukung perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai fase spat. Menurut Southgate dan Lucas (2008) pengaruh kondisi lingkungan memberikan dampak yang berbeda sesuai dengan tahap perkembangan maupun kondisi fisiologis kerang mutiara.

Berdasarkan hasil pengamatan, kisaran salinitas yang diperoleh dari awal hingga akhir penelitian yaitu berkisar antara 32-34 ppt. Salinitas yang diperoleh masih dalam kisaran salinitas optimum dalam mendukung pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima) hingga mencapai spat (Taylor et al., 2004; Southgate dan Lucas, 2008; Winanto dkk., 2009). Hal serupa juga disampaikan oleh Awaludin dkk. (2013) bahwa pada kerang mutiara (P. maxima) salinitas 34ppt dan 31ppt menghasilkan tingkat penetasan telur yang tinggi dan salinitas 34ppt merupakan salinitas optimum dalam mendukung kelangsungan hidup maupun metabolisme larva kerang mutiara. Lebih lanjut O’Connor dan Lawler (2004) menambahkan bahwa pada salinitas 17ppt beberapa juvenil P. imbricata terlihat

memproduksi byssus meskipun tidak bertahan pada salinitas ini selama lebih dari 1 minggu.

Kisaran derajat keasaman (pH) yang diperoleh pada penelitian ini yaitu 8,11–8,35 dan masih dalam kisaran yang layak dalam pemeliharaan larva kerang mutiara (P. maxima). Hal ini didukung oleh pendapat Matsui (1960)

dalam Winanto (2009) bahwa pH air yang layak

untuk kehidupan kerang mutiara P. maxima berkisar antara 7,8-8,6. Lebih lanjut Areekijseree et al. (2004) menyatakan bahwa kisaran pH dan suhu yang optimum pada perairan berperan penting dalam proses pencernaan makanan. Selain itu, pada pH netral menunjukan kondisi yang paling cocok untuk aktivitas enzim amilase. Menurut Welladsen et

al. (2010) bahwa keasaman air laut dapat

menyebabkan penurunan proses kalsifikasi dengan terputusnya struktur kalsium karbonat pada beberapa spesies laut. Lebih lanjut dijelaskan bahwa kalsifikasi pada cangkang kerang mutiara P. fucata pada pH 7,8 dan pH 7,6 selama 28 hari menunjukan persentasi masing-masing yaitu 25,9% dan 26,8% serta menunjukan persentase nilai yang lebih rendah dari perlakuan kontrol yaitu pH 8,1-8,2. Akan tetapi pada perlakuan tersebut tidak menunjukan penurunan kandungan organik pada cangkang kerang.

SIMPULAN

Disimpulkan bahwa suhu optimum bagi perkembangan dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada maxima) adalah 28oC±0,5.

DAFTAR PUSTAKA

Acarli S and Lok A. 2009. Larvae development stages of the european flat oyster (Ostrea

(10)

21

edulis). The Israeli Journal of Aquaculture - Bamidgeh, 61(2): 114-120.

Areekijseree M, Engkagul A, Kovitvadhi U, Thongpan A, Mingmuang M, Pakkong P and Rungruangsak-Torrissen K. 2004. Temperature and pH characteristics of amylase and proteinase of adult freshwater pearl mussel, Hyriopsis

(Hyriopsis) bialatus Simpson 1900.

Aquaculture, 234: 575-587.

Awaluddin M, Yuniarti SL dan Mukhlis A. 2013. Tingkat penetasan telur dan kelangsungan hidup larva kerang mutiara (Pinctada maxima) pada salinitas yang berbeda. Jurnal Kelautan, 6(2): 142-149. Cáceres-Puig JI, Abasolo-Pacheco F, Mazón-Suastegui JM, Maeda-Martínez AN and Saucedo PE. 2007. Effect of temperature on growth and survival of Crassostrea

corteziensis spat during late-nursery

culturing at the hatchery. Aquaculture, 272: 417-422.

Cataldo D, Boltovskoy D, Hermosa JL and Canzi C. 2005. Temperature-dependent rates of larval development in

Limnoperna fortunei (Bivalvia: Mytilidae). J. Moll. Stud., 71(1): 41-46. Doroudi MS and Southgate PC. 2003.

Embryonic and larval development of

Pinctada margaritifera (Linnaeus, 1758). Molluscan Research, 23: 101-107.

Doroudi MS, Southgate PC and Mayer RJ. 1999. The combined effect of temperature and salinity on embryos and larvae of the black-lip pearl oyster,

Pinctada margaritifera (L.). Aquaculture Research, 30: 271-277.

Hamzah MS. 2008. Pengaruh level kedalaman terhadap daya tempel larva kerang mabe (Pteria penguin) dengan jaring sebagai kolektor spat di teluk kapontori, pulau buton-sulawesi tenggara. Dalam: Prosiding Seminar Nasional Moluska dalam Penelitian, Konservasi dan Ekonomi. BRKP DKP RI Bekerja Sama

dengan Jur. Ilmu Kelautan, FPIK Undip, Semarang. Hal.:134-141.

Hamzah MS. 2009. Studi pertumbuhan dan kelangsungan hidup anakan kerang mutiara (Pinctada maxima) dengan menggunakan keranjang tento pada kedalaman yang berbeda di teluk kodek, lombok barat. Dalam: Mutiara et al. (eds.). Prosiding Pertemuan Ilmiah

Tahunan ISOI 2008, Bandung. Hal:

232-239.

Hamzah MS. 2015. Perubahan tekanan media pemeliharaan larva kerang mutiara (Pinctada maxima) terhadap daya reaksi enzim protease dalam memacu pertumbuhan dan sintasan. Jurnal Ilmu

dan Teknologi Kelautan Tropis, 7(2):

655-669.

Hamzah MS. 2016. Dinamika suhu dan salinitas media pemeliharaan larva untuk produksi kualitas benih kerang mutiara (Pinctada

maxima). Disertasi. Program Doktor

Ilmu Perikanan dan Kelautan, Universitas Brawijaya, Malang: 131hal. (in Press.).

Hanafiah KA. 2014. Rancangan percobaan teori dan aplikasi edisi ketiga. Fakultas Pertanian Universitas Sriwijaya Palembang. Divisi Buku Perguruan Tinggi PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 260hal.

Kheder RB, Moal J and Robert R. 2010. Impact of temperature on larval development and evolution of physiological indices in

Crassostrea gigas. Aquaculture, 309:

286-289.

Miyazaki Y, Nishida T, Aoki A and Samata T. 2010. Expression of genes responsible for biomineralization of Pinctada fucata during development. Comparative Biochemistry and Physiology, Part B:

241–248.

Nair MR and Appukuttan KK. 2003. Effect of temperature on the development, growth, survival and settlement of green mussel

Perna viridis (Linnaeus, 1758).

Aquaculture Research, 34: 1037-1045.

O'Connor and Lawler NF. 2004. Salinity and temperature tolerance of embryos and juveniles of the pearl oyster, Pinctada

imbricata Roding. Aquaculture, 229:

493-506.

Parker LM, Ross PM and O'Connor WA. 2010. Comparing the effect of elevated pCO2

and temperature on the fertilization and early development of two species of oysters. Mar. Biol., 157: 2435-2452. Rajagopal S, Gaag VD, Velde VD and Jenner

HA. 2005. Upper temperature tolerances of exotic brackish-water mussel,

Mytilopsis leucophaeata (Conrad): an

experimental study. Marine Environmental Research, 60: 512-530.

Saucedo PE, Ocampo L, Monteforte M and Bervera H. 2004. Effect of temperature on oxygen consumption and ammonia excretion in the calafia mother-of-pearl oyster, Pinctada mazatlanica (Hanley, 1856). Aquaculture, 229: 377-387.

(11)

22

Southgate PC and Lucas JS. 2008. The pearl

oyster. Elsevier, Amsterdam. 542p.

Taufiq N, Rachmawati D, Cullen J dan Yuwono. 2010. Aplikasi Isochrysis

galbana dan Chaetoceros amami serta

kombinasinya terhadap pertumbuhan dan kelulushidupan veliger–spat tiram mutiara (Pinctada maxima). Ilmu Kelautan, 15(3): 119-125.

Taylor JJ, Southgate PC and Rose RA. 2004. Effects of salinity on growth and survival of silver-lip pearl oyster, Pinctada

maxima, spat. Journal of Shellfish Research, 23(2): 375-378.

Wardana IK, Sudewi, Muzaki A dan Moria SB. 2014. Profil benih tiram mutiara (Pinctada maxima) dari hasil pemijahan yang terkontrol. Jurnal Oseanologi

Indonesia, 1(1): 6-11.

Welladsen HM, Southgate PC and Heimann K. 2010. The effects of exposure to

near-future levels of ocean acidification on shell characteristics of Pinctada fucata (Bivalvia: Pteriidae). Molluscan Research, 30(3): 125-130.

Winanto T. 2009. Kajian perkembangan larva dan pertumbuhan spat tiram mutiara

Pinctada maxima (Jameson) pada kondisi lingkungan pemeliharaan berbeda. Thesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Winanto T, Soedharma D, Affandi R dan Sanusi HS. 2009. Pengaruh suhu dan salinitas terhadap respon fisiologi larva tiram mutiara Pinctada maxima (Jameson).

Jurnal Biologi Indonesia, 6(1): 51-69.

Yukihira H, Lucas JS and Klumpp DW. 2000. Comparative effect of temperature on suspension feeding and energy budgets of the pearl oyster Pinctada margaritifera and P. maxima. Marine Ecology Progress Series, 195: 179-188

Gambar

Gambar  1.  Tingkat  Kelangsungan  Hidup  Larva  Kerang  Mutiara  (P.  maxima)  pada  Kondisi  Suhu  yang  Berbeda  (Mean±SD)  (Keterangan:  notasi  yang  sama  menunjukan  pengaruh  yang  tidak  berbeda nyata)
Tabel 2. Parameter Kualitas Air yang Diukur Selama Penelitian  No.  Parameter   Kisaran  Referensi  1
Gambar 2.  Larva  Kerang Mutiara (P. maxima) Stadia D-Veliger dan Umbo (Keterangan:  A

Referensi

Dokumen terkait

Selain itu, ketika digunakan dalam kelompok kecil (sekitar delapan anak), Big Book memperkaya perkembangan bahasa lisan melalui membaca permodelan. Penggunaan media

Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan akademik untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat Minat Studi Administrasi

Jika ada plunge column (I-beam) yang akan dipasang ke dalam Bored Pile, setelah casting selesai dilakukan, casing terlebih dahulu dicabut sampai toe level casing sedikit

Ideologi adalah suatu sistem nilai sekaligus kebulatan ajaran yang memberikan motivasi. Ideologi juga mengandung konsep dasar tentang kehidupan yang dicita- citakan oleh

Metode full costing merupakan metode penentuan kos produksi yang memperhitungkan semua unsur biaya produksi, yang terdiri dari biaya bahan baku, biaya tenaga kerja

Activity Based Costing (ABC). ABC adalah penghi- tungan yang didasarkan pada biaya-biaya yang dikeluarkan secara nyata dalam rangka pelayanan kepada masyarakat.

Hal ini membuktikan bahwa pengguna sistem pakar lebih utama melihat pada kesederhanaan, kemudahan, penggunaan serta pemahaman terhadap aplikasi Expert System Builder (ESB) dan

Jamaluddin. Kontribusi Keluarga Sakinah terhadap Kehidupan Keagamaan Masyarakat di Kelurahan Lepo-Lepo Kec.. Keempat, Karsum Suleman meneliti tentang Urgensi keluarga