• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA DALEM KEPANGERANAN DI SURAKARTA. Oleh karena itu, keluarganya atau golongan bangsawan dianggap sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LATAR BELAKANG BERDIRINYA DALEM KEPANGERANAN DI SURAKARTA. Oleh karena itu, keluarganya atau golongan bangsawan dianggap sebagai"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

14 BAB II

LATAR BELAKANG BERDIRINYA DALEM KEPANGERANAN DI SURAKARTA

Keraton Kasunanan Surakarta merupakan kerajaan tradisional Jawa penerus Dinasti Mataram Islam yang berdiri tahun 1745. Dalam budaya Jawa, raja dipandang sebagai wakil Tuhan di Bumi dan pribadi yang agung dan berkuasa. Oleh karena itu, keluarganya atau golongan bangsawan dianggap sebagai golongan masyarakat yang paling terhormat. Golongan bangsawan, yang terdiri dari pangeran dan kerabat raja, menunjukkan status mereka dalam gaya hidup mereka yang membedakan dengan masyarakat pada umumnya, seperti pemberian nama, bahasa, sistem perkawinan, cara berbusana, cara mendapatkan pendapatan, dan bentuk rumah mereka. Rumah pangeran disebut Dalem Kepangeranan, dibangun dengan meniru bentuk dan tata bangunan keraton dalam skala kecil, sehingga mirip istana kecil. Dalem Kepangeranan menunjukkan status sosial bangsawan dan lambang kedekatan hubungan bangsawan dengan raja. Kurang lebih terdapat 20 Dalem Kepangeranan yang tersebar di Kota Surakarta, sebagian besar di Baluwarti.

A. Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta dan Stratifikasi Sosial Bangsawan di Surakarta

1. Berdirinya Keraton Kasunanan Surakarta

Keraton Kasunanan Surakarta dibangun pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, sebagai pengganti Keraton Kartasura yang hancur karena Geger

(2)

Pacina1 pada tahun 1742.2 Melihat kondisi yang memprihatinkan ini, Sunan Paku Buwana II memutuskan untuk memindahkan keraton ke tempat yang baru. Sang raja memutuskan untuk mencari tanah yang baik di sebelah timur. Sunan Pakubuwana II memerintahkan empat orang mencari tanah yang baik untuk keraton baru. Keempat orang tersebut adalah Pangeran Wijil (bertugas mencari tanah untuk tempat tinggal), Kyai Kalipah Buyut (bertugas mencari tanah yang wangi), Mas Pangulu Pekik Ibrahim (bertugas memasang tumbal negara), Kyai

Tumenggung Tirtawiguna (bertugas memasang penyangga kekuatan kerajaan).3

Keempat orang ini mencari tanah yang cocok untuk didirikan keraton.

Terdapat dua desa yang menjadi pilihan lokasi berdirinya keraton baru. Desa yang pertama kali dikunjungi adalah Desa Talawangi, yang berarti tanah harum. Setelah tanah diratakan, Kyai Tumenggung Tirtawiguna mengukur luasnya. Setelah diukur ternyata wilayah ini kurang luas untuk didirikan keraton dan banyak gundukannya. Pangeran Wijil dan Kyai Tumenggung Tirtawiguna mencari tanah lain ke arah timur dan sampai di Desa Sala. Desa Sala dipandang sangat bagus untuk dibangun sebuah istana baru. Selain tempatnya subur di situ juga dilalui sungai yang besar, yaitu Bengawan Semanggi atau Bengawan Sala,

1

Geger Pacina adalah pemberontakan yang dilakukan oleh orang–orang Tionghoa yang dipimpin Raden Mas Garendi atau Adipati Martapura untuk merebut kekuasaan di Kartasura. Setelah berhasil merebut Kartasura, Raden Mas Garendi menjadi penguasa Kartasura yang disebut Sunan Kuning, yang berkuasa selama 9 bulan sebelum akhirnya dipukul mundur pasukan Sunan Paku Buwana II dan VOC, lihat: Pakempalan Pengarang Serat ing Mangkunegaran, Babad K.G.P.A.A. Mangkunagara I (Surakarta: Yayasan Mangadeg, 1993), hlm. 44-45.

2

Marleen Heins (ed.), Karaton Surakarta, (Singapura: Marshall Cavendish Editions, 2006), hlm. 37.

3

R.M. Sajid, , Babad Sala, Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1984, hlm. 2.

(3)

serta terdapat bandar yang ramai yang bernama Bandar Semanggi. Desa Sala sudah ada sejak jaman Kesultanan Pajang. Desa Sala didirikan oleh Ki Gedhe Sala I, dan selanjutnya desa tersebut dipimpin oleh keturunannya, yaitu Ki Gedhe

Sala II dan pada jaman Kartasura, Desa Sala dipimpin Ki Gedhe Sala III.4

Akhirnya, Desa Sala terpilih sebagai lokasi keraton baru.

Ada beberapa alasan mengapa Desa Sala dipilih sebagai lokasi keraton baru, yaitu yang pertama berdasarkan konsep pajupat, Desa Sala terletak di pertemuan sumbu mata angin. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, tempat pertemuan sumbu mata angin dianggap sakral dan memiliki pengaruh kuat. Tempat yang menjadi pertanda sumbu mata angin adalah Alas Krendhawahana dan Alas Roban di utara, Gunung Lawu di timur, Gunung Merapi di barat, dan Laut Selatan atau Samudra Hindia di selatan. Di bagian utara, dikuasai oleh Kanjeng Ratu Bathari Koloyuwati alias Bathari Durga, penguasa Alas Krendhowahono dan Alas Roban. Di bagian timur, dikuasai oleh Raden Gugur alias Kanjeng Sunan Lawu dari Majapahit dan Kanjeng Sunan Lawu alias Bagus, putra Sunan Paku Buwana II sebagai penguasa Gunung Lawu. Di bagian barat, dikuasai oleh Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton, Kyai Sapuregol, dan Kyai Sapujagad sebagai penguasa Gunung Merapi. Di bagian selatan, dikuasai oleh Kanjeng Ratu Ayu Kencono Sari alias Kanjeng Ratu Kidul, yang bertahta di Sakadomas Bale Kencana di Keraton Laut Selatan. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, keempat tempat yang menjadi penanda sumbu mata angin tersebut dikuasai oleh penguasa mistis, yang dipercaya mempengaruhi segala

4

(4)

aspek kehidupan dan dipercaya sebagai penghubung dengan roh nenek moyang. Kepercayaan tersebut merupakan warisan dari jaman Hindu-Buddha, contohnya

adalah anggapan bahwa gunung adalah tempat yang sakral atau suci.5 Kedua,

Desa Sala terletak di tempuran atau pertemuan dua sungai, yaitu Kali Pepe dan Bengawan Semanggi. Dalam kepercayaan Jawa, wilayah sekitar tempuran

dianggap keramat dan memiliki kekuatan magis.6 Ketiga, Desa Sala terletak di

dekat Bengawan Semanggi. Bengawan Semanggi adalah sungai besar yang wilayah pedalaman Jawa dengan wilayah pesisir Jawa yang memiliki fungsi

penting sejak jaman Jawa Kuno dalam bidang ekonomi, sosial, dan politik.7

Keempat, Sala telah menjadi desa, sehingga tidak diperlukan tenaga untuk membuka hutan. Selain itu, di sekitar Desa Sala terdapat desa-desa penting sejak jaman Kartasura, seperti Baturana dan Gabudan yang dihuni para abdi dalem

kerajaan dan pembuat babud atau permadani.8

Sunan Paku Buwana II akhirnya membeli tanah Desa Sala dari Ki Gedhe Sala III dan memberi ganti rugi para magersari yang telah ada di sana. Pada awalnya, rakyat menolak berdirinya keraton di sana karena merasa dirugikan. Untuk menenangkan situasi, raja memberi uang sesuai kebutuhan untuk perpindahan desa. Setelah dilakukan perpindahan desa, tanah dicangkul untuk meninggikan Sitihinggil, dan sisa kedukan tanah menjadi seperti rawa dan ditumbuhi pohon talas (lumbu), sehingga tempat tersebut disebut Kampung

5

Marleen Heins (ed.), op.cit.,hlm. 102-103.

6

Darsiti Soeratman, Kehidupan Dunia Keraton Surakarta 1830-1939, (Yogyakarta: Yayasan Untuk Indonesia, 2000),hlm. 66.

7

Ibid., hlm. 66-67.

8

(5)

Kedung Lumbu. Untuk menambah tanah di keraton, juga diambil tanah dari Talawangi (Kadipala) karena berbau wangi, sehingga tempat tanah tersebut

dikeduk disebut Kampung Kratonan.9

Dalam keadaan proses pembangunan, Sunan Paku Buwana II berpindah dari Keraton Kartasura ke istana barunya pada tahun 1745. Untuk berpindah keraton, diperlukan ritual dan sesajen yang diatur Pangeran Wijil dan Kyai Tumenggung Tirtawiguna. Yang diutamakan dalam perpindahan keraton adalah padi, perlengkapan dapur dan bumbu masakan, unggas, binatang berkaki empat, bara perlengkapan rumah tangga dan barang-barang berharga raja. Setelah semuanya dibawa, dibuat berbagai macam sesajen, tumpeng, daging ikan, burung,

dan hewan darat, berbagai macam bubur dan jenang, telur, dan bermacam kain.10

Kirab diawali oleh Sunan Paku Buwana II yang naik Kereta Kanjeng Kyai Garuda. Barisan berikutnya dua beringin yang akan ditanam di Alun-Alun Lor, Bangsal Pangrawit, dua ekor gajah, dua beringin yang akan ditanam di Alun-Alun Kidul, dan barisan kuda. Barisan berikutnya adalah para Bupati, Adipati Pringgalaya, Adipati Sindureja, Kanjeng Pangeran Adipati Anom dan Mayor Baron van Hohendorf dengan menunggangi kuda. Berikutnya para Penghulu, Mardikan, juru Suranata, dan Kabayan. Para abdi dalem berjalan di kiri dan kanan barisan kirab sambil membawa payung kebesaran kerajaan. Prameswari dan selir raja berada di barisan belakang, diikuti dengan barisan pusaka kerajaan dan para wadya dari Mancanagara. Sepanjang kirab, di sebelah kanan terdapat barisan gamelan milik kerajaan, yaitu Cara Balen, Kodok Ngorek, dan gamelan

9

R.M. Sajid, op.cit., hlm. 19-20.

10

(6)

milik para Bupati.11 Di hadapan pangeran, kerabat raja, pejabat keraton, dan wakil-wakil VOC, Sunan Paku Buwana II, yang duduk di dhampar atau

singgasana Bangsal Pangrawit di Tratagrambat12, memproklamasikan desa Sala

menjadi ibukota baru yang bernama Surakarta Hadiningrat.13

Perpindahan Keraton Kartasura ke Keraton Kasunanan Surakarta, tidak membawa Mataram ke dalam perdamaian. Pemberontakan masih terjadi dari pihak Pangeran Mangkubumi, putra Sunan Amangkurat IV dengan selir Mas Ayu Tejawati dan dari pihak Raden Mas Said, cucu Sunan Amangkurat IV dari putra sulungnya, Pangeran Mangkunegara, yang dibuang ke Tanjung Harapan, Afrika Selatan. Pihak VOC berusaha mendamaikan para bangsawan yang konflik tersebut. Perwakilan VOC, Nicholas Hartingh, mempertemukan Pangeran Mangkubumi dengan Sunan Paku Buwana III, dan menghasilkan perjanjian damai, yang disebut Perjanjian Giyanti pada tahun 1755. Mataram dibagi menjadi dua kerajaan, Kasunanan Surakarta yang dipimpin Sunan Paku Buwana III dan Kasultanan Ngayogyakarta yang dipimpin Pangeran Mangkubumi, yang bergelar

Sultan Hamengku Buwana I.14 Dalam pembagian Nagaragung15, sunan dan sultan

11

Ibid., hlm. 11-12.

12

Tratagrambat adalah tempat pepatih dalem bersama abdi dalem bila menghadap raja. Terletak di selatan Alun-Alun Lor, beratap anyaman bambu dan tiangnya terbuat dari bambu yang berjumlah banyak, dan lantainya dari pasir untuk tempat duduk. Pada masa Sunan Paku Buwana X, Tratagrambat dibangun menjadi gedung permanen bernama Pagelaran Sasana Sumewa pada tahun 1913, lihat: Ibid., hlm. 35.

13

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 78-79.

14

Marleen Heins (ed.), op.cit., hlm. 102-103.

15

Negaragung adalah wilayah inti kerajaan yang masih ada sekitar Kuthanagara atau pusat pemerintahan. Pada masa Kartasura luas wilayah Negaragung 186000 karya, lihat: Dwi Ratna Nurhajarini,et.al, Sejarah Kerajaan

(7)

masing-masing mendapatkan 53.100 karya. Dalam pembagian Mancanagara16, sunan mendapat 32.350 karya dan sultan mendapat 33.950 karya. Walaupun sultan menerima 1600 karya lebih banyak dari sunan, tetapi wilayah tersebut bukan wilayah yang subur. Selain itu sultan hanya memiliki wilayah di Mancanagara Wetan, sedangkan sunan memiliki wilayah di Mancanagara Kulon

dan Mancanagara Wetan.17

Dalam Perjanjian Giyanti, Raden Mas Said tidak dilibatkan, sehingga dia masih memperjuangkan haknya dengan perang gerilya. Akhirnya perang ini diselesaikan dalam Perjanjian Salatiga pada tahun 1757, yang berisi Raden Mas Said mendapat 4000 karya dari wilayah Kasunanan Surakarta dan dia dilarang menggunakan gelar Sunan dan Sultan. Akhirnya, Raden Mas Said menjadi penguasa yang bergelar K.G.P.A.A. Mangkunegara I dan daerah kekuasaannya disebut Kadipaten Mangkunegaran. Akhirnya Mataram pecah menjadi tiga kerajaan, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan Ngayogyakarta, dan Kadipaten Mangkunegaran. Oleh karena peristiwa tersebut, Sunan Paku Buwana III disebut Sinuhun Paliyan Nagari (Raja yang membagi negara).18

2. Stratifikasi Sosial Bangsawan di Surakarta

Tradisional Surakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1999), hlm. 113-114.

16

Mancanagara adalah wilayah di luar Negaragung, yang tidak termasuk Pasisiran. Mancanagara dibagi dua yaitu Mancanagara Kulon dan Mancanagara Wetan. Pada masa Kartasura luas tanah Mancanagara Kulon 8252 karya dan Mancanagara Wetan 66300 karya. Wilayah ini tidak dikuasai bangsawan keraton, tetapi dikuasai para bupati dan setiap tahun harus menyerahkan pajak ke keraton, lihat Ibid., hlm. 114-115.

17

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 66.

18

(8)

Dalam masyarakat Jawa, terdapat tiga golongan masyarakat yaitu golongan bangsawan, golongan priyayi, dan golongan rakyat biasa. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, bangsawan adalah keturunan orang mulia (terutama raja dan kerabatnya) dan arti kebangsawanan adalah kedudukan atau sifat

bangsawan.19 Keluarga dan kerabat raja yang berkuasa dalam Keraton Jawa

menggunakan istilah dalem, seperti prameswari dalem, putra dalem, wayah dalem, dan seterusnya. Keluarga raja yang sedang berkuasa lebih tinggi statusnya

daripada keluarga raja-raja yang terdahulu.20 Golongan priyayi adalah mereka

yang menjadi pegawai kerajaan. Berdasarkan statusnya, terdapat dua jenis priyayi, yaitu priyayi luhur dan priyayi cilik. Priyayi luhur mendapatkan statusnya dari keturunan. Priyayi luhur biasanya merupakan keturunan raja-raja terdahulu atau bupati. Priyayi cilik mendapatkan statusnya karena bekerja pada pemerintahan. Priyayi cilik biasanya berasal dari rakyat biasa dan diangkat statusnya karena

berjasa dan setia kepada raja.21

Dalam peraturan tradisional, yang termasuk golongan bangsawan hanya dibatasi hingga keturunan ketiga dari raja. Peraturan gelar kebangsawanan, cara berpakaiannya, dan wewenangnya dibuat oleh Sunan Paku Buwana VII dan

dilaporkan pada Komisaris van Nes pada tahun 1851.22 Pangeran adalah gelar

19

Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, (Jakarta:Balai Pustaka,2002), hlm. 102.

20

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 231

21

Sartono Kartodirdjo, Perkembangan Peradaban Priyayi, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1987), hlm. 6-7

22

Kalenggahipun Para Sentana Tuwin Abdi Dalem Jamanipun Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858 )No. B 277, Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran, hlm. 1.

(9)

yang diberikan kepada putra raja atau kerabat raja. Dalam Keraton Kasunanan Surakarta terdapat tiga jenis pangeran yaitu pangeran putra, pangeran sentana, dan pangeran sengkan. Pangeran putra adalah sebutan pangeran putra raja. Pangeran sentana adalah sebutan bagi pangeran kerabat raja. Golongan pangeran sentana terdiri dari cucu atau cicit raja. Pangeran sengkan adalah sebutan bagi orang yang mendapatkan gelar pangeran karena diangkat raja. Golongan pangeran sengkan terdiri dari menantu raja dan orang-orang yang dianggap

berjasa bagi kerajaan.23 Selain itu juga terdapat pangeran kolonel, pangeran yang

menjabat sebagai pemimpin pasukan keraton, pangeran miji, pangeran yang mendapatkan kedudukan di bawah putra mahkota, dan pangeran pinisepuh, pangeran yang dituakan dan dihormati.

Status ibu sebagai prameswari (permaisuri) dan garwa ampeyan (selir) mempengaruhi kedudukan keturunannya yang dapat dilihat dari gelarnya. Putra yang lahir dari permaisuri bila masih kecil bergelar Raden Mas Gusti, bila sudah dewasa bergelar Kanjeng Gusti Pangeran dan dibelakangnya ditambah gelar Adipati, Arya, dan Adipati Arya. Gelar tersebut juga dapat diberikan pada putra dari selir atas perkenan raja yang berkuasa. Sedangkan putra yang lahir dari selir bila masih kecil bergelar Bendara Raden Mas, bila sudah dewasa bergelar Bendara Kanjeng Pangeran.24 Putri yang lahir dari permaisuri bila masih kecil bergelar Gusti Raden Ayu, bila sudah dewasa bergelar Gusti Kanjeng Ratu.

23

Darsiti Soeratman , op.cit, hlm. 232, 234, 236.

24

Kalenggahipun Para Sentana Tuwin Abdi Dalem Jamanipun Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858)No B 277, Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran, hlm. 11.

(10)

Sedangkan putri yang lahir dari selir bila masih kecil bergelar Bendara Raden Ajeng, bila sudah dewasa bergelar Bendara Raden Ayu.25

Pangeran tertua dari permaisuri mendapatkan kedudukan sebagai pangeran adipati anom atau putra mahkota yang begelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunagara Sudibya Rajaputra Narendra Mataram. Keraton Kasunanan Surakarta pernah memiliki lima orang putra mahkota. K.G.P. Adipati Anom Amangkunagara I adalah putra sulung Sunan Pakubuwana III dengan G.K.R. Kencana Beruk, yang kemudian menjadi Sunan Pakubuwana IV. K.G.P. Adipati Anom Amangkunagara II adalah putra sulung Sunan Paku Buwana IV

dengan G.K.R. Kencana I, yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwana V.26

Sunan Paku Buwana V tidak memiliki putra yang lahir dari permaisuri, maka pewaris tahta jatuh kepada B.R.M. Sapardan, putra Sunan Paku Buwana V dengan

selir R.Ay. Sasrakusuma, yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwana VI.27

Karena Sunan Paku Buwana VI terlibat dalam Perang Diponegoro, akhirnya beliau dibuang ke Ambon dan menyebabkan tahta Kasunanan Surakarta kosong, sementara putra-putranya masih kecil. Oleh karena itu tahta diambil oleh pamannya K.G.P.A. Purbaya, putra Sunan Paku Buwana IV dari permaisuri kedua, G.K.R. Kencana II dan mendeklarasikan sebagai K.G.P. Adipati Anom Amangkunagara III, kemudian menjadi Sunan Paku Buwana VII. Sunan Paku Buwana VII meninggal tanpa memiliki putra yang lahir dari permaisuri, maka

25

Darsiti Soeratman, op.cit, hlm. 233.

26

Padmasoesastra, Sejarah Dalem Pangiwa lan Panengen (Semarang: Van Dorp, 1902), hlm. 70,72.

27

(11)

tahta diberikan kepada kakaknya dari selir Sunan Paku Buwana IV, Mas Ayu Rantansari yaitu K.G.P. Ad. Hangabehi, kemudian menjadi Sunan Paku Buwana VIII. Karena Sunan Paku Buwana VIII hanya memiliki empat orang putri, maka kedudukan putra mahkota jatuh kepada K.G.P. Prabuwijaya, putra tunggal Sunan Paku Buwana VI dengan G.K.R. Ageng, kemudian menjadi K.G.P. Adipati Anom Amangkunagara IV, yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwana IX. K.G.P. Adipati Anom Amangkunagara V adalah putra mahkota terakhir dalam sejarah Keraton Kasunanan Surakarta, yang merupakan putra sulung Sunan Paku Buwana IX dengan G.K.R. Paku Buwana, yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwana X.28

Selain gelar, nama juga menunjukkan status anak permaisuri atau anak selir. Nama Mangkubumi, Buminata, Purbaya, dan Puger, biasanya diberikan pada anak laki-laki dari permaisuri yang bukan putra mahkota. Nama Sekar Kedhaton diberikan pada anak perempuan tertua dari permaisuri bila masih kecil, bila sudah dewasa menjadi Pembayun. Nama lain yang biasa diberikan kepada anak perempuan dari permaisuri antara lain Kedhaton, Maduretna, Bendara,

Angger, dan Timur.29 Nama Hangabehi biasanya diberikan kepada putra tertua

dari selir. Bila raja tidak mempunyai anak laki-laki dari permaisuri, Pangeran Hangabehi mempunyai peluang sebagai pewaris tahta. Contohnya seperti yang terjadi K.G.P. Ad. Hangabehi, putra tertua dari selir Sunan Paku Buwana IV, Mas Ayu Rantansari, yang menjadi Sunan Paku Buwana VIII menggantikan adiknya, Sunan Paku Buwana VII. Hal yang sama juga terjadi pada Sunan Paku Buwana X

28

Padmasoesastra, op.cit., hlm. 72, 77, 79, 84.

29

(12)

yang tidak memiliki keturunan laki-laki dari permaisuri, sehingga pewaris tahta jatuh pada K.G.P.H. Hangabehi, putra tertua dari selir R.Ay. Mandayaretna, yang

kemudian menjadi Sunan Paku Buwana XI.30

Menurut peraturan tradisional, gelar pangeran tidak bisa diwariskan kepada cucu raja atau anak pangeran. Hak mewarisi gelar pangeran hanya diperbolehkan kepada cucu laki-laki tertua dari istri utama dan berstatus pangeran sentana. Cucu raja atau anak laki-laki pangeran yang tidak mewarisi gelar pangeran bergelar Raden Mas Riya. Cicit raja atau cucu laki-laki pangeran bergelar Raden Mas Panji. Sementara cucu raja ataupun cicit raja yang perempuan bergelar Raden Ajeng, bila sudah menikah bergelar Raden Ayu. Canggah raja atau cicit pangeran disebut Raden Bagus, bila dewasa disebut Raden. Wareng raja atau canggah pangeran disebut Mas Bagus, bila dewasa

disebut Mas.31

Beberapa pangeran mewariskan nama dan gelarnya kepada anaknya atau keturunannya. Contohnya putra Sunan Paku Buwana II, K.P.H. Balitar I putranya bergelar K.P.H Balitar II. Putra Paku Buwana III, K.G.P.H. Mangkubumi I putranya bergelar K.G.P.H Mangkubumi II. Putra-putra Sunan Paku Buwana V, K.P.H. Santakusuma I putranya bergelar K.P.H. Santakusuma II, K.P.H. Kusumabrata I putranya bergelar K.P.H. Kusumabrata II, dan K.P.H. Suryadipura I putranya bergelar K.P.H. Suryadipura II. Cucu Sunan Paku Buwana III dari putrinya, R.A. Sentul dan R.M.T.H. Kusumadiningrat yaitu R.M. Sayid

30

Padmasoesastra, op.cit), hlm. 72, 90.

31

Kalenggahipun Para Sentana Tuwin Abdi Dalem Jamanipun Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858 No B 277), Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran, hlm. 11.

(13)

mengambil gelar K.P.H. Hadiwijaya I dan menurunkannya pada anaknya, R.M. Subekti (K.P.H. Hadiwijaya II) dan cucunya R.M. Semedi (K.P.H. Hadiwijaya

III). Nama Hadiwijaya juga digunakan pada putra K.G.P.A.A. Mangkunegara IV,

R.M.Sutama yang bergelar K.P.H. Hadiwijaya IV32 dan putra Sunan Paku

Buwana X, R.M. Setyajit yang bergelar K.G.P. Ad. Hadiwijaya. Pemberian nama Hadiwijaya untuk menunjukkan bahwa mereka masih memiliki hubungan darah dengan trah Hadiwijayan, karena K.G.P.A.A. Mangkunegara IV adalah putra K.P.H. Hadiwijaya I dan Sunan Paku Buwana X adalah cucu K.P.H. Hadiwijaya

II dari garis ibu.33

B. Kehidupan Bangsawan di Surakarta

Kehidupan para bangsawan berbeda dengan kelas masyarakat pada umumnya. Ciri-cirinya terlihat jelas dari perilakunya, adat sopan santun dan bahasanya. Selain itu keadaan sosial ekonomi mereka lebih baik daripada rakyat biasa. Para bangsawan sering berekreasi, mengadakan pesta, terutama pada saat ada anggota keluarga yang menikah, dan mengadakan upacara-upacara adat. Selain dalam bentuk perilaku juga terdapat ciri-ciri bangsawan yang berbentuk

konkrit seperti cara berbusana dan bentuk rumah mereka.34

1. Bahasa dan Bentuk Penghormatan

Dalam masyarakat Jawa terdapat dua jenis, yaitu basa ngoko (informal) dan basa krama (formal). Basa ngoko digunakan saat berbicara kepada yang lebih

32

Padmasoesastra, op.cit., hlm. 71, 73, 77-80, 130, 134, 135.

33

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 317-318.

34

(14)

muda atau kepada orang terdekat. Basa krama digunakan saat berbicara kepada yang lebih tua atau kepada orang yang terhormat. Basa krama yang digunakan di lingkungan istana atau golongan bangsawan disebut basa kedhaton. Basa kedhaton digunakan oleh para abdi dalem saat menghadap dan berkomunikasi kepada raja dan bangsawan, serta digunakan untuk berkomunikasi antar sesama abdi dalem. Basa kedhaton tidak digunakan di kalangan abdi dalem wanita, tetapi saat mereka berbicara dengan abdi dalem pria, maka mereka menggunakan basa kedhaton.35

Bentuk penghormatan kepada tiap pangeran dan bangsawan berbeda-beda, tergantung status kebangsawanannnya. Penghormatan kepada K.G.P. Adipati Anom Amangkunagara dilakukan dengan cara sembah sambil berjongkok, yang dilakukan oleh pangeran putra dan pangeran sentana yang bergelar Raden Mas Riya yang lebih muda dibawahnya. Penghormatan kepada pangeran putra dari permaisuri dilakukan dengan cara sembah sambil berjongkok oleh para sentana (kerabat) yang lebih muda, cara yang sama juga dilakukan kepada pangeran putra bergelar Raden Mas Gusti, hanya dilakukan oleh para sentana yang masih muda dan para abdinya. Penghormatan kepada pangeran putra dari istri selir dan pangeran sentana dilakukan dengan cara sembah saja, oleh para sentana yang lebih muda dan para abdi dalem. Penghormatan kepada para cucu dan cicit raja

dilakukan dengan cara sembah saja, oleh para abdi dalem.36 Tradisi sembah

35

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 463.

36

Kalenggahipun Para Sentana Tuwin Abdi Dalem Jamanipun Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858) No B 277, Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran, hlm. 1,3,4, dan 6.

(15)

sengaja diatur pelaksanaanya, agar tata susunan masyarakat feodal lebih tertib. Pelanggaran terhadap peraturan berupa teguran dari atasannya atau masyarakat,

sebab hal ini dianggap milik masyarakat yang harus dipatuhi dan dilaksanakan.37

2. Sistem Perkawinan

Perkawinan dalam golongan bangsawan tidak hanya sekedar menikahkan putra putri mereka, namun juga bertujuan untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat kebangsawanan mereka. Selain itu, perkawinan juga merupakan salah satu cara membentuk jaringan politik mereka. Oleh sebab itu,

perkawinan antar keluarga sering terjadi pada golongan bangsawan.38

Contoh perkawinan antar keluarga terdekat pada masa Sunan Paku Buwana II adalah perkawinan antara G.K.R. Kencana Kendhang (anak G.K.R. Maduretna dengan Panembahan Cakraningrat dari Madura) dengan Sunan Paku Buwana III (anak Sunan Paku Buwana II). G.K.R. Maduretna dan Sunan Paku Buwana II, adalah anak Sunan Amangkurat IV. Contoh perkawinan antar keluarga terdekat pada masa Sunan Paku Buwana IV antara lain adalah perkawinan antara G.K.R. Pembayun (anak Sunan Paku Buwana IV) dan K.G.P.H. Mangkubumi II (anak K.G.P.H. Mangkubumi I). Sunan Paku Buwana IV dan K.G.P.H. Mangkubumi I, adalah anak Sunan Paku Buwana III. Kemudian perkawinan

37

Dwi Ratna Nurhajarini,et.al, op.cit., hlm 40.

38

(16)

antara G.K.R. Kencana (anak K.G.P.H. Mangkubumi I) dengan Sunan Paku

Buwana VII (anak Sunan Paku Buwana IV).39

Contoh perkawinan antar keluarga terdekat pada masa Sunan Paku Buwana VI adalah perkawinan antara B.R.Ay. Nrangkusuma (anak Sunan Paku Buwana VI) dengan K.G.P.H. Santakusuma II (anak K.G.P.H. Santakusuma I). Sunan Paku Buwana VI dan K.G.P.H. Santakusuma I, adalah anak Sunan Paku Buwana V. Contoh perkawinan antar keluarga terdekat pada masa Sunan Paku Buwana IX antara lain adalah perkawinan antara K.P.H. Kusumadilaga (anak Sunan Paku Buwana IX) dengan R.A. Mirah (anak K.G.P.H. Natapraja). Sunan Paku Buwana IX dan K.G.P.H. Natapraja, adalah anak Sunan Paku Buwana VI. Kemudian perkawinan antara K.P.H. Prabuwijaya (anak Sunan Paku Buwana IX) dengan R.A. Kapinah (anak R.A. Mublak dengan K.P.H. Kusumabrata II). Sunan Paku Buwana IX dan R.A. Mublak adalah anak Sunan Paku Buwana VI. Contoh perkawinan antar keluarga terdekat pada masa Sunan Paku Buwana X adalah perkawinan antara K.G.P.H. Hangabehi, yang kemudian menjadi Sunan Paku Buwana XI (anak Sunan Paku Buwana X) dengan R.A. Maryati (anak R.A. Saparinten dengan K.R.A Sasradiningrat IV). Sunan Paku Buwana X dan R.A.

Saparinten, adalah anak Sunan Paku Buwana IX.40

Para bangsawan menikahkan anaknya supaya memperoleh status yang tinggi. Dapat dilihat para pangeran menikahkan anaknya dengan raja, calon raja, atau anak raja, walaupun besan mereka masih satu ayah, tetapi biasanya beda ibu. Namun juga terdapat pernikahan yang besannya masih satu ayah dan satu ibu,

39

Padmoesoesastro, op.cit., hlm. 69, 71,73, 74.

40

(17)

contohnya pernikahan anak Sunan Paku Buwana IV dengan anak K.G.P.H. Mangkubumi I, keduanya anak Sunan Paku Buwana III dengan G.K.R. Kencana

Beruk.41. K.G.P.H. Mangkubumi I adalah salah satu contoh bangsawan yang

berhasil mendapatkan status tinggi dari perkawinan anak-anaknya. Ketiga menantunya adalah G.K.R. Pembayun (anak Sunan Paku Buwana IV) istri K.G.P.H Mangkubumi II, Sunan Paku Buwana VI (anak Sunan Paku Buwana V) suami G.K.R. Mas, dan Sunan Paku Buwana VII (anak Sunan Paku Buwana IV)

suami G.K.R. Kencana.42 Dia menjadi besan dua raja dan kedua menantunya

menjadi seorang raja. G.K.R. Mas adalah ibu dari Sunan Paku Buwana IX,

dengan demikian dia juga menjadi kakek sang raja dari garis ibu.43

Perkawinan juga sebagai cara membentuk jaringan politik. Perkawinan antar bangsawan dapat digunakan untuk meredam pemberontakan, karena hal ini seperti pembagian kekuasaan atau status secara tidak langsung. Bangsawan yang menikahi anggota keluarga raja berkuasa akan memiliki status yang tinggi. Contoh perkawinan bangsawan bermotif politik adalah pernikahan anak Pangeran Hadiwijaya Seda Kaliabu dengan anak Sunan Paku Buwana III. Pangeran Hadiwijaya Seda Kaliabu adalah salah satu putra Sunan Amangkurat IV yang pada masa Perang Suksesi III (1749-1755) yang sangat besar jasa bagi Pangeran

Mangkubumi.44 Pangeran Hadiwijaya salah satu pemimpin penyerangan pasukan

41

Ibid., hlm. 71.

42

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 285.

43

Padmasoesastra, op.cit., hlm. 78.

44

(18)

Pangeran Mangkubumi ke wilayah Kedu.45 Dia juga orang terdekat R.M. Said atau Pangeran Sambernyawa selama ikut berjuang bersama Pangeran Mangkubumi. Ketika R.M. Said, hendak melepaskan diri dari pasukan Pangeran

Mangkubumi, orang pertama yang diberitahu adalah Pangeran Hadiwijaya.46

Pangeran Hadiwijaya tewas di tangan Kompeni di desa Kaliabu, Magelang.47 Hal

ini membuat Sunan Paku Buwana III sangat khawatir terhadap keturunan Pangeran Hadiwijaya Seda Kaliabu, karena mungkin mereka menuntut kekuasaan

seperti yang dilakukan Pangeran Mangkubumi dan R.M. Said.48 Karena hal itu,

Sunan Pakubuwana III menikahkan anaknya, R.A. Sentul dengan R.M.T.H. Kusumadiningrat, anak Pangeran Hadiwijaya Seda Kaliabu. Pasangan ini memiliki 2 putra, K.P.H. Natakusuma dan K.P.H. Hadiwijaya I, keduanya menjadi menantu K.G.P.A.A Mangkunegara II dan seorang putri, G.K.R. Kencana, permaisuri Sunan Paku Buwana V. K.P.H. Natakusuma memiliki 4 anak, salah satunya K.G.P.A.A. Mangkunegara III dan K.P.H. Hadiwijaya I memiliki 13 anak, salah satunya K.G.P.A.A. Mangkunegara IV dan K.P.H. Hadiwijaya II, yang menikah dengan G.K.R. Bendara, anak Sunan Paku Buwana

45

Pakempalan Pengarang Serat ing Mangkunegaran, op.cit., hlm. 113.

46

Ibid., hlm. 123.

47

Ibid., hlm. 126.

48

Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta, keduanya mencari keturunan Pangeran Hadiwijaya Seda Kaliabu dengan tujuan yang sama, yaitu memperkuat pengaruh politik mereka. Akhirnya keturunan Pangeran Hadiwijaya Seda Kaliabu ditemukan Sunan Paku Buwana III, yaitu R.M.T.H. Kusumadingrat, tetapi dia sudah menjadi menantu R.Ng. Yasadipura. Akhirnya R.Ng. Yasadipura menceraikan menantunya demi kepentingan raja, lihat Darsiti Soeratman, loc.cit.

(19)

VIII, yang kemudian memiliki anak R.A. Kustiyah atau G.K.R. Paku Buwana IX,

permaisuri Sunan Paku Buwana IX yang menurunkan Sunan Paku Buwana X.49

Perkawinan bangsawan dengan priyayi juga dilakukan di Keraton Surakarta. Priyayi yang diambil menjadi menantu raja biasanya priyayi dengan status yang tinggi, seperti pepatih dalem. Pepatih dalem atau patih kerajaan adalah orang yang paling berkuasa di pemerintahan sesudah raja. Pada tahun 1743, patih kerajaan diambil sebagai pegawai Kompeni Belanda, sehingga mengambil patih kerajaan sebagai kerabat raja sangat penting, untuk memperkuat kedudukan raja. Para patih diambil menantu ketika masih menjabat sebagai bupati nayaka.50 Sunan Paku Buwana III mengambil tiga patih menjadi menantu, yaitu R.Ad. Jayaningrat (menikah dengan R.A. Kabibah), R.Ad. Mangkupraja (menikah dengan R.A. Landeh), dan R.Ad. Cakradiningrat atau Cakranagara (menikah

dengan R.A. Subiyah).51 R.Ad Sasradiningrat III dua kali menjadi menantu raja,

pertama Sunan Paku Buwana IV menikahkannya dengan R.Ay. Cakradipura atau Cakrakusuma dan kedua Sunan Paku Buwana VII menikahkannya dengan R.A.

Maknawiyah.52 Sunan Paku Buwana IX mengambil patihnya, K.R.A.

Sasradiningrat IV untuk dinikahkan dengan putrinya R.A. Saparinten.53

Perkawinan antara bangsawan dengan priyayi kelas bawah, hanya diperbolehkan dengan seorang putri yang berstatus cicit raja, jika ia menginginkan menikah

49

Padmasoesastra, op.cit., hlm. 80, 130-131, 134.

50

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 285-286.

51 Padmasoesastra, op.cit., hlm. 70,72. 52 Ibid., hlm. 74-75. 53 Ibid., hlm. 81.

(20)

dengan cucu raja, ia harus membawa anaknya ke pangeran untuk mengabdi dan mempelajari tata cara hidup bangsawan, setelah itu bila berkenan, pangeran akan

menikahkannya dengan anaknya atau cucu raja dengan ijin dari raja.54

3. Cara Berpakaian

Status bangsawan Jawa diperlihatkan melalui pakaian resmi dan perlengkapan upacara, yang digunakan saat ada acara resmi, seperti upacara kerajaan, acara pertemuan, dan ketika menghadap pejabat Kolonial Belanda, seperti residen dan gubernur jenderal.terdapat 3 bagian penting dalam pakaian bangsawan Jawa, terdapat 3 bagian penting, yaitu dhodhot atau kampuh, sikepan, dan kuluk. Dhodhot atau kampuh adalah kain batik dengan yang panjangnya 2 sampai 3 meter lebih yang berfungsi sebagai kain penutup, bagi laki-laki dipakai datas celana dan bagi perempuan digunakan sebagai lapsan di atas tapih ataukain panjang atau digunakan sebagai penutup dada. Sikepan adalah baju yang dibuat dari kain tenun hitam atau biru tua. Sejak jaman pemerintahan Deandels, sikepan banyak dipengaruhi dengan gaya busana orang Eropa. Kuluk adalah tutup kepala

yang berbentuk kerucut dan dibuat dari kain.55

Terdapat 3 jenis dhodhot atau kampuh, kampuh blumbangan, kampuh lugas, dan kampuh balenggen. Kampuh blumbangan atau tengahan adalah kampuh yang bagian tengahnya diberi warna polos, merah, putih, hijau, ungu, dan lain-lain. Kampuh lugas adalah kampuh tanpa tengahan. Kampuh balenggen adalah kampuh yang salah satu sisinya dibiarkan terlepas, sehingga seperti jumbai.

54

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 287.

55

(21)

Kampuh blumbangan khusus dipakai oleh raja, putra mahkota, para pangeran, dan pepatih dalem. Kampuh balenggen batik latar putih lar ageng dipakai untuk bupati dan bupati anom. Kampuh balenggen batik rejeng latar putih dipakai untuk jabatan di bawah bupati, seperti abdi dalem dan seterusnya. Raja, putra mahkota, para pangeran, dan kerabat raja memakai motif batik parang rusak. Pepatih dalem memakai motif batik udan iris. Pejabat militer memakai motif batik rejeng. Bupati dan bupati anom memakai motif batik semen latar putih dan motif tambal kanoman.56 Lapisan bawah kampuh menggunakan celana panjang berbahan cinde (bunga sutra), sutra, dringin, benang emas, dan lain-lain. Celana gubeg dipakai raja, para pangeran, pepatih dalem, bupati, dan bupati anom yang menerima gelar Arya. Bupati anom yang tidak bergelar Arya memakai celana sorot (motif segitiga

runcing).57

Sikepan terdapat dua jenis sikepan alit dan sikepan ageng. Sikepan alit atau cekak adalah sikepan tanpa hiasan sulaman, yang digunakan saat pertemuan biasa. Sikepan alit yang digunakan raja berbahan beledu, sedangkan para pangeran dan pepatih dalem berbahan laken (seprei besar). Sikepan ageng adalah sikepan yang dihiasi sulaman emas atau perak.58 Makin lebar sulamannya, makin tinggi kedudukannya. Warna emas lebih tinggi kedudukannya dari warna perak. Sikepan ageng memiliki sembilan kancing dari emas, perak, atau tembaga dengan tulisan PB, inisial dari Paku Buwana atau W, inisial dari Wilhelmina, Ratu Belanda. Sikepan ageng yang digunakan raja dan putra mahkota berbahan beledu

56

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 467-468.

57

Ibid., hlm. 473.

58

(22)

hitam, ungu, biru, dan warna lainnya, dilapisi sutra hitam. Sikepan ageng yang digunakan para pangeran berbahan laken atau beledu hitam dan warna lainnya, dilapisi kain hitam. Sikepan ageng yang digunakan pepatih dalem, bupati, dan bupati anom berbahan laken, dilapisi kain kesting kuning, sutra kuning. Untuk jabatan di bawahnya, Sikepan ageng berbahan laken hitam dilapisi kesting, sutra biru untuk jabatan panewu, ungu untuk jabatan mantri, merah untuk jabatan lurah,

dan putih untuk jabatan jajar.59

Kuluk adalah tutup kepala berbentuk kerucut terpancung yang dibuat dari

kain.60 Kuluk mathak atau warna bening mengkilat terdapat lima jenis yaitu

mathak sekar gundha, berwarna biru muda sekali dan dipakai raja; mathak sekar weweyan, berwarna biru muda dan dipakai putra mahkota, para pangeran, dan pepatih dalem; mathak sekar teleng, berwarna biru tua dan dipakai cucu raja; mathak pethak, berwarna putih dan dipakai bupati ke bawah hingga lurah; dan mathak balibar, berwarna putih atau biru, bagian dalamnya diberi bambu dan digunakan saat hujan. Kuluk kestur terdiri dari dua warna, yaitu warna hitam untuk raja, pangeran, dan para priyayi, dan warna putih dipakai abdi dalem jajar. Kuluk breci adalah kuluk yang digunakan oleh pejabat militer dan prajurit. Selain kuluk, penutup kepala lainnya adalah songkok yang berbentuk setengah bola dan bagian belakangnya terdapat penutup yang lebih tinggi. Songkok digunakan oleh raja, para pangeran, kerabat raja, pepatih dalem, bupati, dan bupati anom saat

59

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 159, 478-479.

60

(23)

menerima atau melepas tamu yang berasal dari pemerintah Kolonial Belanda,

seperti gubernur jenderal.61

Aturan berbusana pangeran muda dari permaisuri, berbeda dengan yang sudah dewasa atau diwisuda menjadi pangeran. Aturan busana untuk pangeran muda adalah menggunakan kain batik motif ukel kadal menek, dipakai dengan cara nyampingan atau bebed, yaitu kain batik digunakan dengan lipatan di depan dengan bara (jumbai), menggunakan sikepan ageng dan cundhuk (semacam tusuk konde) serat penyu pelengkung. Untuk pangeran muda dari selir, aturan

berbusananya hampir sama, hanya tanpa menggunakan bara.62 Untuk cucu raja,

menggunakan sikepan ageng, kampuhan dan menggunakan kuluk mathak sekar teleng atau kuluk putih atau breci hitam. Untuk cicit raja mengunakan sikepan ageng, kain batik yang dipakai nyampingan, dan menggunakan destar.63 Destar adalah ikat kepala dari kain batik, di kemudian hari dibuat destar siap pakai yang disebut blangkon.

4. Pendapatan Bangsawan

Para bangsawan dan pejabat pemerintahan atau priyayi tidak menerima gaji dari raja, tetapi sebagai gantinya mereka diberi sebuah wilayah kekuasaan, yang disebut tanah lungguh atau apanage. Dari hasil bumi tanah lungguh inilah, para bangsawan dan priyayi mendapatkan pendapatan mereka. Tanah ini dikerjakan para petani dibawah pengawasan pejabat bawahan seperti bekel atau

61

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 474-475.

62

Kalenggahipun Para Sentana Tuwin Abdi Dalem Jamanipun Ingkang Sinuhun Paku Buwana VII (1830-1858) No B 277, Koleksi Reksa Pustaka Mangkunegaran, hlm. 3 dan 5.

63

(24)

kepala desa dan sebagainya. Walaupun para bangsawan dan priyayi berkuasa atas tanah lungguh miliknya, namun pada dasarnya tanah tersebut milik raja, sehingga sebagian hasil bumi tanah lungguh sebagian disetorkan ke keraton sebagai pajak. Selain itu para petani dan pejabat bawahan yang mengawasi juga menerima

bagian dari hasil bumi tanah lungguh.64 Para petani yang mengerjakan mendapat

40%, para bekel atau kepala desa mendapat 20%, para demang dan ngabehi mendapat 8%, bangsawan atau priyayi pemilik tanah lungguh mendapat 8%,

sisanya disetorkan ke kas keraton sebanyak 24%.65

Tanah lungguh para bangsawan terletak di wilayah Negaragung dan tanah lungguh para bupati terletak di wilayah Mancanagara, yang dibagi menjadi Mancanagara Kulon dan Mancanagara Wetan. Setiap tahun wilayah Mancanagara harus mengirim pajak ke Keraton, sehingga juga disebut Siti Dalem Pamaosan. Wilayah Negaragung terdiri dari daerah Bumi (Kedu sebelah barat Sungai Progo) seluas 6000 karya, daerah Bumija (Kedu sebelah timur Sungai Progo) seluas 6000 karya, daerah Siti Ageng Kiwa (sebelah kiri jalan besar Pajang – Demak) seluas 10.000 karya, daerah Siti Ageng Tengen (sebelah kanan jalan besar Pajang – Demak) seluas 10.000 karya, daerah Sewu (Bagelen, antara Sungai Bagawanta hingga Sungai Donan, Cilacap) seluas 6000 karya, daerah Numbak Anyar (daerah antara Sungai Bagawanta dengan Sungai Progo) seluas

64

Dwi Ratna Nurhajarini,et.al., op.cit., hlm. 43.

65F.A. Sutjipto, “Struktur Birokrasi Mataram” Bacaan Sejarah Seri

(25)

6000 karya, daerah Panumping (Sokawati) seluas 10.000 karya, daerah Panekar

(Pajang) seluas 10.000 karya.66

Pembagian tanah lungguh bagi bangsawan tergantung oleh kedudukannya dan kedekatan ikatan darah dengan sang raja. Ratu Eyang (nenek dari raja) mendapat 1000 karya, Ratu Ibu atau Ibu Suri mendapat 1000 karya, Permaisuri mendapat 1000 karya, Pangeran adipati anom mendapat 8000 karya, dan pangeran putra lainnya mendapatkan tanah lungguh sesuai dengan

kedudukannya.67 Setelah Perang Diponegoro tahun 1830, wilayah Mancanagara

dan Bagelen lepas dan menjadi miliki pemerintah Kolonial Belanda.68 Wilayah

Surakarta tinggal Mataram (sekitar Kotagede), Pajang, Sokawati (sekitar Sragen), Gunung Kidul (sekitar Imogiri), dan Sela. Dengan berkurangnya wilayah kekuasaan, maka pajak pemasukan keraton pun berkurang. Banyak tanah lungguh yang disewakan kepada pengusaha Eropa dengan jangka waktu 15 tahun, tahun 1857 diperpanjang menjadi 20 tahun, dan tahun 1894 diperpanjang menjadi 30

tahun.69 Setelah tanah lungguh para bangsawan disewakan pada para pengusaha

Eropa, pendapatan para pangeran tidak hanya berupa hasil bumi tetapi juga dalam bentuk uang.

Pada masa Sunan Paku Buwana VII, peraturan pembagian tanah lungguh berubah. Pangeran adipati anom yang semula mendapat bagian 8000 karya,

66

Dwi Ratna Nurhajarini,et.al., op.cit., hlm. 113-114.

67

Ibid., hlm. 41.

68

Setelah Mancanagara lepas, Sunan Surakarta mendapat ganti rugi wilayah Mancanagara sebesar 334.282 Gulden, lihat: Darsiti Soeratman, op.cit, hlm. 37.

69

(26)

sekarang berkurang menjadi 5000 karya. Pangeran Hangabehi mendapatkan 400 karya dan pangeran putra lainnya mendapatkan bagian antara 250 karya dan 300 karya. Cucu raja yang bergelar pangeran mendapatkan 200 karya, sedang yang bergelar Raden Mas Riya mendapat 10 sampai 30 karya. Untuk putri raja mendapat bagian seluas 100 karya. Selain itu pendapatan pangeran juga berasal dari tunjangan yang diberikan raja sebesar 200 Gulden sampai 300 Gulden. Untuk

putri raja mendapat tunjangan sebesar 100 Gulden.70

Pada tahun 1908, Sunan Paku Buwana X mengusulkan penghapusan tanah lungguh di Kasunanan Surakarta. Alasan tanah lungguh dihapus adalah adanya keluhan dari penduduk desa yang daerahnya disewa pengusaha Eropa dan keadaan yang tidak aman. Dengan menghapus tanah lungguh, sunan menjadi penguasa seluruh tanah, sehingga pengusaha Eropa hanya dapat menyewa tanahnya, tanpa penduduknya dan keamanan terjamin karena dikuasai langsung oleh sunan. Setelah dirundingkan dengan pihak Kolonial Belanda, mereka menuntut tidak hanya tanah lungguh saja yang dihapus, tetapi juga tanah pangrembe atau tanah milik raja yang digunakan untuk memberi hasil bumi

tertentu.71 Akhirnya sunan menyetujui keputusan tersebut dan reorganisasi tanah

lungguh yang tidak disewakan dilakukan selama 5 tahun, dari tahun 1912 hingga 1917.

Tahun 1918, tanah lungguh di Kasunanan Surakarta sudah dihapuskan. Reorganisasi tanah lungguh yang disewakan dilakukan tahun 1920 hingga 1926,

70

Ibid., hlm. 290 – 291.

71

(27)

dan kemudian dikeluarkan peraturan baru mengenai sewa menyewa tanah, yang mengatakan penduduk di wilayah perkebunan wajib kerja selama 5 tahun dan jangka waktu sewa diperpanjang 50 tahun. Ganti rugi yang diterima para bangsawan setelah penghapusan tanah lungguh berasal dari pendapatan bekas tanah lungguh yang diterima tiap bulan dalam bentuk uang.72 Reorganisasi tanah lungguh menyebabkan bangsawan kehilangan sebagian besar pendapatannya. Banyak pangeran putra yang bekerja sebagai pegawai pemerintahan atau abdi dalem untuk menambah pendapatan, contohnya K.P.H. Kusumayuda sebagai Kepala Paprentahan Keraton, K.P.H. Hadiwijaya sebagai Ketua Bale Agung, K.P.H. Purbanagara sebagai komandan prajurit keraton atau pangeran kolonel, K.P.H. Suryahamijaya sebagai ajudan Sunan, dan K.P.H. Kusumabrata sebagai

pengurus sekolah-sekolah di lingkungan keraton.73 Pada masa Sunan Paku

Buwana X, tunjangan pangeran dinaikkan menjadi 900 Gulden.74

C. Dalem Kepangeranan

Dalem Kepangeranan adalah suatu kompleks rumah yang luas yang dihuni oleh pangeran dan keluarganya yang terdiri dari bangunan utama, taman, dan dikelilingi ruang-ruang kecil yang bersifat pribadi. Yang menghuni Dalem Kepangeranan adalah pangeran dari raja yang berkuasa, anak dari pangeran, atau pangeran yang berstatus menantu raja. Dalem Kepangeranan banyak yang

72 Ibid., hlm. 60 - 61 73 Ibid., hlm. 377-378 74 Ibid., hlm. 319

(28)

mengalami perubahan bentuk bangunan atau dibangun ulang pada masa

pemerintahan Sunan Paku Buwana IX dan Sunan Paku Buwana X.75

Dalem Kepangeranan dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa. Rumah tradisional Jawa biasanya berbentuk persegi panjang, rumah berbentuk oval atau bulat tidak ditemukan dalam arsitektur tradisional Jawa. Terdapat lima macam rumah tradisional Jawa, yaitu panggangpe, kampung, limasan, joglo, dan tajug. Rumah panggangpe terdiri dari empat atau enam saka (tiang penyangga), atap hanya satu sisi saja, biasanya digunakan sebagai tempat berlindung dari hujan, angin, dan matahari, seperti gardu. Rumah kampung terdiri dari empat, enam, atau delapan saka, beratap dua belah sisinya, dan memiliki bubungan. Rumah tajug digunakan sebagai tempat ibadah atau pemujaan, yang atapnya berbentuk lancip atau meruncing. Rumah limasan berasal dari kata “lima lasan”, yaitu perhitungan sederhana penggunaan ukuran molo (balok penyangga atap) tiga meter dan blandar (balok tepi atas) lima meter, tetapi bila molo 10 meter, blandar 15 meter. Rumah joglo adalah bentuk paling sempurna dari rumah Jawa, yang

menggunakan kayu lebih banyak dan luas bangunan lebih besar.76 Dalem

Kepangeranan sebagian besar dibangun dengan konsep rumah joglo.

Dalem Kepangeranan terdiri dari tiga bagian, pendapa, pringgitan dan dalem. Pendapa berfungsi sebagai ruan pertemuan, tempat untuk menerima tamu. Pringgitan adalah ruangan pembatas antara pendapa dan dalem, yang biasa digunakan untuk pertunjukan wayang (ringgit). Dalem berfungsi sebagai ruang

75

Marleen Heins (ed.), op.cit., hlm. 236-239

76

H.J. Wibowo, et.al., Arsitektur Tradisional Daerah Istimewa Yogyakarta, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1998), hlm. 25, 26, 31, 39, 51.

(29)

keluarga. Di dalam dalem terdapat tiga kamar atau senthong, yaitu senthong kiwa, sentong tengah, dan senthong tengen.77 Senthong tengah atau petanen sebagai tempat penghormatan untuk Dewi Sri, dewi kesuburan. Senthong kiwa dan senthong tengen berfungsi sebagai kamar pengantin baru. Komplek Dalem Kepangeranan dibatasi pagar tembok. Regol atau pintu gerbang biasanya berbentuk megah dengan dua daun pintu yang besar, yang dinamakan Kupu Tarung. Pendapa berbentuk persegi atau segi panjang, beratap joglo, dan sisinya disambung emper. Bagian depannya biasanya diberi kuncungan, yang berfungsi sebagai tempat kendaraan berhenti sehingga tamu dapat masuk ke pendapa. Lantai pendapa lebih tinggi dari lantai emper di sekelilingnya. Lantai yang lebih tinggi digunakan sebagai tempat duduk para pembesar, sedangkan lantai emper untuk duduk para abdi dalem. Dalem ageng berfungsi sebagai ruang keluarga bangsawan, yang di dalamnya terdapat tiga senthong. Senthong tengah atau petanen, selain digunakan untuk pemujaan Dewi Sri, juga sebagai tempat

menyimpan benda-benda pusaka.78

Di belakang senthong terdapat serambi belakang yang menghadap ke taman. Serambi belakang biasanya digunakan untuk membatik putri-putri pangeran. Di sebelah dalem ageng terdapat sebagai gandhok yang berbentuk memanjang di kiri kanan dalem ageng, yang berisi kamar-kamar yang dihuni anggota keluarga. Di belakang dalem ageng di bangun taman yang teratur baik. Disekeliling taman terdapat kamar-kamar yang dihuni magersari, yaitu

77

Ibid., hlm. 61.

78

(30)

orang yang biasanya mengabdi pada keluarga bangsawan yang jumlahnya

mencapai puluhan orang.79 Di taman belakang biasanya terdapat sumur, yang

digunakan untuk memenuhi kebutuhan air. Selain tanaman hias, taman belakang juga diberi tanaman seperti sayur-sayuran dan pohon buah-buahan yang dapat

memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari.80

Dalem Kepangeranan terletak di luar dan dalam beteng keraton atau Baluwarti. Dalem Kepangeranan yang berada di dalam tembok Baluwarti sebagian besar dimiliki oleh pangeran sengkan atau pangeran menantu dan pejabat pemerintahan, tetapi beberapa juga dimiliki oleh pangeran putra.

Sebagian besar pangeran putra tinggal di luar tembok Baluwarti.81 Dalam tradisi,

pangeran yang diwajibkan tinggal di dalam tembok Baluwarti adalah pangeran adipati anom dan Pangeran Hangabehi. Pangeran adipati anom sebagai pewaris tahta berkedudukan di Kadipaten, yang terletak di sebelah timur Kedhaton. Hal ini menunjukkan bahwa pangeran adipati anom atau putra mahkota adalah orang

kedua yang berkuasa di keraton setelah raja.82 Pangeran Hangabehi bertempat

tinggal di Dalem Ngabean. Sebagai putra tertua raja yang lahir dari selir, dia harus tinggal di dalam tembok Baluwarti. Seperti yang dijelaskan sebelumnya, Pangeran Hangabehi adalah calon pengganti raja, apabila raja tidak memiliki putra dari

permaisuri.83 Dalem Ngabean awalnya terletak di utara cepuri keraton, pada masa

79

Ibid., hlm. 31-32.

80

Marleen Heins (ed.), op.cit., hlm. 239.

81

Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 93.

82

Ibid., hlm. 93.

83

(31)

Sunan Paku Buwana XI Dalem Ngabean pindah di selatan cepuri keraton, sedangkan Dalem Ngabean lama dijadikan Sasana Pahargyan. Pada masa Sunan Paku Buwana XII namanya diubah menjadi Dalem Sasana Mulya.

Dalem Kepangeranan yang berada di dalam tembok Baluwarti antara lain Dalem Mangkubumen, Dalem Suryahamijayan, Dalem Sasana Mulya, Dalem

Mlayakusuman, Dalem Suryaningratan, Dalem Natanegaran, Dalem

Cakranegaran atau Cakradiningratan, Dalem Ngabean, dan Dalem

Brotodingratan.84 Dalem Kepangeranan di dalam Baluwarti yang dimiliki oleh

pangeran putra adalah Dalem Mangkubumen dihuni oleh K.G.P.Ad. Harya Mangkubumi, putra Sunan Paku Buwana XI, Dalem Suryahamijayan dihuni oleh K.P.H. Suryahamijaya, putra Sunan Paku Buwana X, Dalem Mlayakusuman dihuni oleh K.P.H. Mlayakusuma, putra Sunan Paku Buwana IX, Dalem Sasana Mulya, dihuni pangeran putra yang bergelar Hangabehi sampai masa Sunan Paku Buwana X, Dalem Ngabean, dihuni pangeran putra yang bergelar Hangabehi sejak masa Sunan Paku Buwana XI. Dalem Kepangeranan lainnya di dalam tembok Baluwarti dimiliki oleh pangeran sengkan atau pangeran menantu.

Beberapa dalem di dalam tembok beteng Baluwarti dimiliki oleh pejabat bupati. Dalem Kepangeranan di Baluwarti yang dimiliki pejabat bupati antara lain Dalem Purwadiningratan milik Bupati Nayaka Purwadiningrat, Dalem Mangkuyudan milik bupati arsitek Mangkuyuda, Dalem Wiryadiningratan milik Bupati Wiryadiningrat, dan Dalem Widhaningratan milik Bupati Hurdenas Widhaningrat. Dalem Wiryadiningratan pada masa Sunan Paku Buwana X,

84

(32)

diberikan kepada Bupati Jayadiningrat, sehingga berubah nama menjadi Dalem

Jayadiningratan.85 Keluarga Bupati Hurdenas Widhaningrat semula memiliki tiga

buah dalem di dalam tembok beteng Baluwarti, sehingga kawasan sekitarnya disebut kampung Hurdenasan. Dari tiga dalem tersebut, sebuah didiami oleh Bupati Hurdenas Widhaningrat dan dua dalem lainnya didiami putra dan menantunya. Salah satu putranya, K.R.M.T. Bratadiningrat menikah dengan G.R.Aj. Kusdinah, putri Sunan Paku Buwana X dengan selir R.Ay. Pandamrukmi II, kemudian dalem tersebut bernama Dalem Bratadiningratan. Pada masa Sunan Paku Buwana XI, Dalem Widhaningratan diambil alih dan diberikan kepada K.G.P.Ad. Mangkubumi, putra Sunan Paku Buwana XI, yang kemudian disebut Dalem Mangkubumen.86

Dalem Kepangeranan yang terletak di luar tembok Baluwarti biasanya dimiliki oleh pangeran putra dan dibeli dengan harta pangeran sendiri. Dalem Kepangeranan di luar Baluwarti antara lain Dalem Sumabratan atau Kusumabratan, Dalem Jayasuman atau Jayakusuman, Dalem Hadiwijayan, Dalem

Suryabratan, Dalem Wuryaningratan, dan Dalem Kusumayudan.87 Sebagian besar

Dalem Kepangeranan yang disebutkan terletak di Kampung Gajahan atau sekitar Alun-Alun Kidul. Dalem Kepangeranan yang disebutjan di atas, semua dimiliki

85

Setelah rumah bupati Wiryadiningrat diserahkan kepada Bupati Jayadiningrat, bupati Wiryadiningrat mendapatkan ganti rugi bekas Dalem Natapuran di Kampung Gading dari Sunan Paku Buwana X, lihat: Darsiti Soeratman, op.cit., hlm. 109.

86

Ibid.

87

(33)

oleh putra Sunan Paku Buwana X, kecuali Dalem Wuryaningratan, yang dihuni K.R.M.T.H. Wuryaningrat, menantu Sunan Paku Buwana X.

D. Status Kepemilikan Dalem Kepangeranan

Status kepemilikan Dalem Kepangeranan tidak terlepas dari peraturan keraton terhadap kepemilikan tanah. Dalam Rijksblad Surakarta tahun 1938 no. 9 dan 10, hak guna dan kepemilikan tanah dibagi menjadi lima kelompok. Wewenang anggaduh yaitu tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja. Wewenang anggaduh run temurun yaitu kepemilikan tanah yang diberikan kepada rakyat swapraja secara turun temurun atau diwariskan. Tanah lungguh yaitu kepemilikan tanah yang diberikan sebagai gaji kepada lurah dan dan perangkat desa dibawahnya. Tanah pituwas yaitu kepemilikan tanah yang diberikan kepada perangkat desa yang sudah pensiun, bila orang tersebut sudah meninggal, maka tanah akan menjadi milik kas desa. Tanah kas desa, yaitu seluruh tanah sawah, tegalan, dan pekarangan yang tidak termasuk tanah lungguh dan tanah pituwas,

yang berfungsi untuk penghasilan desa.8889

Menurut G.P.H. Dipakusuma, kepemilikan tanah di Keraton Surakarta dibagi menjadi lima kelompok yaitu tanah nagara, tanah pamijen, Sunan Grond, tanah leluhur, dan tanah keraton yang disewakan. Tanah nagara atau Domein Recht Karaton Surakarta adalah tanah yang menjadi milik pemerintah Keraton Kasunanan Surakarta yang tersebar di wilayah kekuasaan Keraton Surakarta. Tanah nagara biasanya digunakan untuk kepentingan rakyat seperti hutan, pasar,

88

Rijksblad Surakarta no. 9 tahun 1938.

89

(34)

kuburan, tempat jagal, dan lain-lain Tanah pamijen atau Domein Karaton Surakarta adalah tanah yang menjadi milik pihak Keraton Kasunanan Surakarta. Tanah pamijen yang berada di dalam kuthanagara (kota) antara lain Alun-Alun Lor, Masjid Agung, Siti Hinggil, Baluwarti, dan Alun-Alun Kidul. Tanah pamijen yang berada di luar kuthanagara (kota) adalah kompleks pesanggrahan. Sunan Grond adalah tanah yang dimiliki secara pribadi oleh Sunan yang berkuasa dan keluarganya. Tanah leluhur adalah tanah yang dimiliki oleh Sunan yang berkuasa sebelumnya, seperti petilasan, dan makam-makam. Tanah dan bangunan milik Keraton Kasunanan Surakarta yang disewakan atau Recht van Gebruik (hak pakai) dan Recht van Eigendom (hak milik), contohnya tanah yang disewakan

kepada pengusaha Belanda untuk lahan perkebunan.90

Dalem Kepangeranan yang berada di dalam tembok Baluwarti berdiri di atas Tanah Pamijen, tanah milik pihak Keraton Kasunanan Surakarta, sehingga Sunan yang berkuasa berhak memberikan dan juga mengambil kembali Dalem

Kepangeranan di dalam tembok Baluwarti.91 Pada masa Sunan Paku Buwana X,

beliau memberikan Dalem Kepangeranan yang kosong kepada putra-putranya. Dalem Kepangeranan yang dahulu didiami K.G.P.A. Purbaya, putra Sunan Paku Buwana IV diberikan kepada G.P.H. Suryahamijaya, putra Sunan Paku Buwana X. Selain itu juga Dalem Ngabean yang dahulu didiami K.G.P.Ad. Hangabehi, putra Sunan Paku Buwana IV diberikan kepada K.G.P.H. Hangabehi, putra Sunan Paku Buwana X.

90

Wawancara dengan G.P.H. Dipakusuma, pada 25 Juni 2016.

91

(35)

Selain memberikan Dalem Kepangeranan, Sunan Paku Buwana X juga memgambil alih Dalem Kepangeranan. Sunan Paku Buwana X mengambil alih Dalem Wiryadiningratan milik Bupati Wiryadiningrat dan memberikannya kepada Bupati Jayaningrat, suami R.A. Kusiyah, putri Sunan Paku Buwana X

dengan R.Ay. Susilarukmi 92 Bupati Wiryadiningrat diberi ganti rugi bekas Dalem

Natapuran di selatan Kampung Gading. Pada masa Sunan Paku Buwana XI, Dalem Widhaningratan diambil alih dengan ganti rugi dan diberikan kepada K.G.P.Ad. Mangkubumi, putra Sunan Paku Buwana XI dengan G.K.R.

Kencana.93 Sejak saat itu Dalem Widhaningratan menjadi Dalem

Mangkubumen.94

Pada masa Sunan Paku Buwana XII, juga terjadi pengambilalihan Dalem Kepangeranan yaitu pengambilalihan Dalem Bratadiningratan dan Dalem Cakradiningratan. Dalem Bratadiningratan, yang didiami G.R.Aj. Kusdinah atau G.R.Ay. Bratadiningrat, putri Sunan Paku Buwana X dengan R.Ay. Pandamrukmi II, diambil alih oleh pihak Keraton Kasunanan Surakarta dengan diberi ganti rugi. Dalem Bratadiningratan kemudian diberikan kepada G.R.Aj. Koes Kristiyah atau G.R.Ay. Purwahamijaya, putri Sunan Paku Buwana XII dengan R.Ay. Pujaningrum. Saat ini Dalem Bratadiningratan beralih nama menjadi Dalem

Purwahamijayan. 95 96 Dalem Cakradiningratan, awalnya didiami G.R.Aj.

92

Padmasoesastra,op.cit., hlm. 91.

93

K.P.H. S. Puspaningrat, Putra Putri Dalem Karaton Surakarta (Sukoharjo: CV. Cendrawasih, 2006), hlm. 54.

94

Darsiti Soeratman, loc.cit.

95

(36)

Kusindinah atau G.R.Ay. Cakradiningrat, putri Sunan Paku Buwana X dengan

R.Ay. Renggarukmi dan suaminya B.P.H. Cakradiningrat.97 B.P.H.

Cakradiningrat tewas dalam Gerakan Anti Swapraja di Solo pada tahun 1946, sehingga Dalem Cakradiningratan dibiarkan kosong, hingga diambil alih oleh Keraton Kasunanan Surakarta. Dalem Cakradiningratan kemudian diberikan kepada G.R.Aj. Koes Indriyah atau G.R.Ay. Cahya Mataram, putri Sunan Paku Buwana XII dan R.Ay. Pradapaningrum. Dalem Cakradiningratan diubah

namanya menjadi Dalem Kekayon.98

Di dalam tembok Baluwarti, hak penggunaan tanah dibagi menjadi lima kelompok, yaitu tanah paringan dalem, tanah palilah anggadhuh, tanah palilah anggadhuh run temurun, tanah palilah magersari, dan tanah tenggan. Tanah paringan dalem, adalah tanah yang diberikan Sunan kepada para pangeran yang sudah dewasa. Tanah dapat diambil alih oleh Sunan, apabila pangeran sudah meninggal atau pangeran sudah tidak membutuhkan lagi. Tanah palilah anggadhuh, adalah tanah yang diberikan keraton kepada sentana dalem dan abdi dalem keraton yang tidak dapat diwariskan. Tanah palilah anggadhuh run temurun, adalah tanah yang diberikan keraton kepada sentana dalem dan abdi dalem keraton yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Tanah palilah magersari, adalah tanah yang diberikan kepada abdi dalem keraton atau abdi dalem pangeran yang berada dalam pekarangan yang sama. Tanah tenggan,

96

Darsiti Soeratman, loc.cit.

97

Padmasoesastra, op.cit. hlm. 92.

98

(37)

adalah tanah yang diberikan kepada seseorang untuk menjaga tanah tersebut,

namun tidak dapat memilikinya.99

Sebagian besar dari Dalem Kepangeranan di dalam tembok Baluwarti berstatus tanah paringan dalem. Hak untuk menghuni Dalem Kepangeranan yang berada di dalam tembok Baluwarti adalah pemberian Sunan yang berkuasa. Dua Dalem Kepangeranan yang tidak berstatus tanah paringan dalem adalah Dalem

Purwadiningratan dan Dalem Mlayakusuman. Bukti bahwa Dalem

Purwadiningratan dan Dalem Mlayakusuman tidak berstatus tanah paringan dalem adalah bahwa dalem tersebut sudah diwariskan turun temurun sejak lama. Dalem Purwadiningratan pertama kali didiami oleh R.Ay. Sekar Kedhaton atau G.K.R. Pembayun, putri Sunan Paku Buwana IV dengan permaisuri G.K.R.

Kencana II, dengan suaminya K.G.P.H. Mangkubumi II.100 Dalam

perkembangannya, dalem tersebut diwariskan kepada keturunannya hingga saat

ini.101 Dalem Mlayakusuman didiami oleh K.P.H. Mlayakusuma, putra Sunan

Paku Buwana IX dengan selir R.Ay. Pujakusuma.102 Sesudah K.P.H.

Mlayakusuma meninggal, Dalem Mlayakusuman diwariskan kepada putranya, K.P.H. Mlayaluhur. Saat ini Dalem Mlayakusuman dihuni oleh cucu-cucu K.P.H.

Mlayakusuma.103

99

Wawancara dengan G.P.H. Dipakusuma, pada 25 Juni 2016.

100

Padmasoesastra, op.cit. hlm. 92.

101

Wawancara dengan K.R.Ay. Natakusuma, pada 1 Juni 2016.

102

Padmasoesastra, op.cit. hlm. 86.

103

(38)

Kepemilikan Dalem Purwadiningratan dan Dalem Mlayakusuman yang diwariskan kepada keturunannya menunjukkan bahwa tanah tersebut berstatus tanah palilah anggadhuh run temurun. Kedua Dalem Kepangeranan tersebut dapat memiliki status tanah tersebut karena kedua Dalem Kepangeranan tersebut merupakan petilasan yang cukup penting dalam perkembangan Keraton Kasunanan Surakarta. Dalem Purwadiningratan, yang dibangun pada masa Sunan Paku Buwana IV, sebelum diberikan kepada putrinya R.Ay. Sekar Kedhaton atau G.K.R. Pembayun, awalnya berfungsi sebagai pusat pemerintahan sementara,

karena keraton baru setengah jadi.104 Dalem Mlayakusuman terletak satu

kompleks dengan kompleks makam Kyai Gedhe Sala, penguasa Desa Sala yang

memberikan ijin pendirian Keraton Kasunanan Surakarta di Desa Sala.105

Dalem Kepangeranan yang berada di luar tembok Baluwarti sebagian

besar dengan harta kekayaan pribadi pangeran sendiri.106 Pada masa Sunan Paku

Buwana X banyak pangeran yang memilih untuk tinggal di luar tembok

Baluwarti. 107 Walaupun didirikan dengan dana dari harta kekayaan pribadi,

namun tidak berarti dalem tersebut mempunyai status wewenang anggaduh run temurun atau dapat diwariskan kepada keturunan. Dalem Kepangeranan juga sewaktu-waktu dapat diambil alih oleh pihak penguasa. Biasanya diambil alih bila pangeran yang menghuni sudah tidak membutuhkan atau sudah meninggal. Contoh pengambilalihan Dalem Kepangeranan di luar tembok Baluwarti adalah

104

Wawancara dengan K.R.Ay. Natakusuma, pada 1 Juni 2016.

105

R.M. Sajid, op.cit., hlm. 2.

106

Wawancara dengan K.P.H. Brotoadiningrat, pada 30 Agustus 2016.

107

(39)

pengambilalihan Dalem Jayakusuman. Dalem Jayakusuman dibangun pada tahun 1849. Terdapat tiga orang pangeran yang menghuni Dalem Jayakusuman, yaitu G.P.H. Surya Brata (putra Sunan Paku Buwana X), G.P.H. Jayaningrat (menantu Sunan Paku Buwana IX), dan K.G.P.H. Mr. Jayakusuma (putra Sunan Paku Buwana X). Sebelum diambil alih G.P.H. Jayaningrat, G.P.H. Surya Brata diberi ganti rugi berupa rumah baru bernama Dalem Suryabratan yang terletak di barat

daya Alun-Alun Kidul.108 109 Sepeninggal G.P.H Jayaningrat, dalem diberikan

kepada K.G.P.H. Mr. Jayakusuma.

Beberapa Dalem Kepangeranan di luar tembok Baluwarti juga merupakan pemberian dari penguasa, contohnya adalah Dalem Kusumayudan. Dalem Kusumayudan adalah Dalem Kepangeranan pemberian Sunan Paku Buwana X, kepada putranya K.G.P.H. Kusumayuda. Dalem Kepangeranan ini awalnya milik keluarga Kadipaten Mangkunegaran dan dibangun pada masa K.G.P.A.A. Mangkunegara IV. Dalem Kepangeranan ini kemudian dibeli oleh Sunan Paku Buwana X dan pada tahun 1909 dipugar oleh K.P.H. Hadiwijaya, putra K.G.P.A.A. Mangkunegara IV, yang juga kakak dari G.K.R. Paku Buwana,

permaisuri Sunan Paku Buwana X.110 Sunan Paku Buwana X memberikan Dalem

108

Marleen Heins (ed.), op.cit., hlm 240.

109

Dalem Suryabratan dibeli oleh PT Patra Jasa Pertamina dan sudah dirobohkan. Menurut G.P.H Dipakusuma, kayu-kayu dari Dalem Suryabratan dibangun ulang menjadi sebuah hotel di Panasan, dekat Bandara Internasional

Adisoemarmo.

110

(40)

Kepangeranan ini kepada K.G.P.H. Kusumayuda dan dinamai Dalem

Kusumayudan.111

111

http://www.suaramerdeka.com/harian/0306/18/slo6.htm, diakses pada 21 Juni 2016, pukul 22:38.

Referensi

Dokumen terkait