ORIGINAL RESEARCH
Hubungan Peran Orang Tua dengan Kemandirian Anak Retardasi Mental Di SLBN Dharma Asih Pontianak
Nuniek Setyo Wardani, S.Kep., Ns. M.Kep2 , DR. Suriadi, MSN.AWCS2 , Muhammad Fauzi1
1 Mahasiswa STIK Muhammadiyah Pontianak 2 Dosen STIK Muhammadiyah Pontianak
Sekolah Tinggi Ilmu Keperawatan Muhammadiyah Pontianak ABSTRACT
Background: Mental health can be seen from the behavior of a person, because a person's behavior can be interpreted differently by others, which depend on the values and beliefs. Many children who experience mental health problems such as learning disorders, mental retardation (mild, moderate, severe and very severe), impaired motor skills and other disturbances, so that parents have a very important role in shaping the child's independence.
Objective: To determine the role of parental relationship with a mentally retarded child interaction capabilities.
Methods: This study used observational analytic design with cross sectional approach. Sampling technique is a non-probability sampling is the total sampling approach in accordance with the predetermined inclusion criteria and distributed to 82 respondents. To examine the relationship between independent and dependent variables using chi-analysis squere
Results: The results of the analysis showed no significant relationship between the roles of parents with mentally retarded child's independence with p value = 0.000.
Conclusion: there is a relationship between the roles of parents with mentally retarded children independence. So the role of independence in the elderly with special needs children is very important to improve children's skills and independence in children.
Pendahuluan
Kesehatan jiwa menurut undang-undang No 3 tahun 1966, adalah suatu kondisi yang memungkinkan perkembangan fisik, intelektual dan emosional (Riyadi, & Purwanto, 2009). Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa sangat sulit didefinisikan. Orang dianggap sehat jika mereka mampu memainkan peran dalam masyarakat dan perilaku mereka pantas dan adaptif (Videbeck, 2012).
Kesehatan mental merupakan salah satu bidang keperawatan jiwa yang terintegrasi dalam kesehatan jiwa. Kesehatan jiwa dapat dilihat dari perilaku seseorang, karena perilaku seseorang dapat ditafsirkan berbeda oleh orang lain, yang bergantung pada nilai dan keyakinan (Videbeck, 2012).
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang diantaranya sebagai faktor individual, interpersonal, dan sosial/budaya. Masalah kesehatan jiwa merupakan masalah sosial dan emosional terkini seperti dukacita kehilangan, penganiayaan, kekerasan, gangguan kepribadian, gangguan pada anak (retardasi mental, autis, hiperaktif), dan banyak lagi bentuk gangguan kesehatan jiwa lainnya (Videbeck, 2012).
esehatan mental merupakan salah satu bidang keperawatan jiwa yang terintegrasi dalam kesehatan jiwa. Organisasi kesehatan dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan jiwa sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Videbeck, 2012).
Retardasi mental adalah salah satu gangguan yang paling sering di antara anak-anak. Retardasi mental merupakan masalah di bidang kesehatan masyarakat, kesejahteraan sosial dan pendidikan baik pada anak yang mengalami retardasi mental tersebut maupun keluarga dan masyarakat (WHO, 1998 dalam, Sularyo & Kadim, 2000). Terdapat beberapa faktor yang dapat menyebabkan retardasi mental terutama lingkungan, genetik, selain itu faktor perilaku atau masyarakat seperti
kemiskinan, kekurangan gizi, obat ibu dan alkohol juga berkontribusi menyebabkan retardasi mental (Armatas, 2009).
Tanggung jawab dan peran orang tua sangat penting terhadap kemandirian pada anak yang mengalami gangguan kesehatan mental. Penelitian menunjukkan bahwa individu dengan retardasi dengan berbagai kemampuan intelektual berfungsi secara efektif di masyarakat (Randolph, 2003). Untuk orang tua, setiap anak adalah istimewa dengan caranya sendiri. Tetapi beberapa anak memiliki kebutuhan khusus termasuk anak dengan retardasi mental, sehingga menjadi tantangan orang tua untuk menemukan cara terbaik untuk mempersiapkan anak-anak untuk masa depan dan untuk menangani masalah yang mungkin muncul (Ravindranadan & Raju, 2007).
Prevalensi kejadian anak dengan retardasi mental diperkirakan lebih dari 120 juta orang di seluruh dunia menderita kelainan ini (WHO, 1998). Retardasi mental juga merupakan masalah dunia dengan implikasi yang besar terutama begi Negara berkembang. Diperkirakan angka kejadian retardasi mental berat sekitar 0.3% dari seluruh populasi, dan hampir 3% mempunyai IQ dibawah 70 (Taghavi,et.al. 2012).
Menurut data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Sussenas) tahun 2003, di Indonesia terdapat 679.048 anak usia sekolah berkebutuhan khusus atau 21,42 % dari seluruh jumlah anak berkebutuhan khusus. Menurut WHO jumlah anak berkebutuhan khusus di Indonesia adalah sekitar 7% dari total jumlah anak usia 0-18 tahun atau sebesar 6.230.000 pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2010).
Belum ada data yang jelas mengenai prevalensi kejadian retardasi mental di provinsi Kalimantan Barat. Menurut data persemester di SLBN Dharma Asih Kota Pontianak, sampai pada bulan Juli tahun 2013 jumlah anak berkebutuhan khusus adalah 82 anak mengalami retardasi mental. Jika masalah anak dengan retardasi mental ini ditangani secara dini dengan tepat, maka
beban keluarga, masyarakat dan negara dapat dikurangi. Sebaliknya jika tidak diatasi secara benar, maka dampaknya akan memperberat beban keluarga dan Negara.
Agar pelayanan kesehatan pada anak dapat diberikan sesuai haknya, kita dapat memberdayakan dan meningkatkan kemampuan secara dini dengan baik dan keterampilan mereka ditingkatkan sesuai minat. Kesehatan sekolah diselenggarakan untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat peserta didik dalam lingkungan hidup sehat sehingga peserta didik dapat belajar, tumbuh, dan berkembang secara harmonis dan setinggi-tingginya menjadi sumber daya manusia yang berkualitas. Sumber daya yang berkualitas dapat diselenggarakan melalui sekolah formal dan informal atau melalui lembaga pendidikan lain (Kemenkes RI, 2010).
Undang – Undang Republik Indonesia No.4 tahun 1997, tentang Penyandang Cacat, menyatakan bahwa penyandang cacat mempunyai hak dan kesempatan yang sama dalam berbagai aspek kehidupan dan penghidupan. Hak tersebut diperjelas dalam Undang – Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang menegaskan bahwa semua anak termasuk anak penyandang cacat mempunyai hak untuk kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi serta hak untuk didengar pendapatnya. Oleh karena itu untuk mencapai pelayanan kesehatan dan keandirian terhadap anak dengan retardasi mental yang maka Sekolah Luar Biasa (SLB) harus dilaksanakan sama dan setara seperti yang diberikan pada anak-anak lainnya (Kemenkes, RI, 2010). Dari hasil wawancara dengan lima responden yang berada di SLBN Dharma Asih Pontianak didapatkan bahwa anak mereka mampu melakukan kegiatan seperti makan secara mandiri, mandi dengan dibantu dan biasnya tidur ditemani.
Berdasarkan data di atas, tanggung jawab dan peran orang tua sangat penting bagi anak dengan retardasi mental, yang akhirnya pembangunan sosial memiliki implikasi untuk
tingkat dukungan yang diperlukan dalam penyusunan keaksaraan dan integrasi mereka dalam masyarakat. Berdasarkan kenyataan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti tentang “hubungan peran orang tua dengan kemandirian pada anak retardasi mental di SLBN Dharma Asih Pontianak”.
Metode
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif menggunakan desain
observasional analitik dengan pendekatan
crosssectional. Desain crosssectional adalah desain penelitian dengan pengukuran variabel-variabel dilakukan hanya satu kali. Populasi pada penelitian ini adalah orang tua yang mempunyai anak retardasi mental yang berada di SLBN Dharma Asih Ponntianak. Jumlah populasi terjangkau berdasarkan studi pendahuluan adalah sebesar 82 orang. Penentuan jumlah sampel yang akan diteliti menggunakan non probability sampling
dengan pendekatan Total Sampling. Maka total sampel yang akan dipilih dalam penelitian ini adalah sebanyak 82 lansia responden sesuai dengan kriteria penelitian.
Hasil Penelitian
Karakteristik responden pada penelitian ini merupakan bagian dari usia responden, tingkat pendidikan, pekerjaan, usia anak dan jenis kelamin anak. Gambaran karakteritik dari setiap variabel dapat dilihat pada tabel 1. Tabel 1 Karakteristik responden (n=82)
Hubungan antara usia anak, jenis kelamin anak dan peran orang tua dengan kemandirian anak dapat di lihat pada tabel 2 sebagai berikut :
Tabel 2. Hubungan antara usia anak, jenis kelamin anak dan peran orang tua dengan kemandirian anak (n=82)
Hasil analisis antara hubungan antara usia dengan dengan kemandirian anak diperoleh hasil bahwa kategori usia anak >10 anak lebih mandiri sebanyak 21 anak
(60.0%), sedangkan usia >10 tahun yang tidak mandiri sebanyak 14 orang (40%). Analisis lebih lanjut pada kategori usia dengan variabel terikat yakni kemandirian anak dengan nilai alph 5% diperoleh hasil yaitu p=0.562 (> 0,05). Hasil analisis menunjukan nilai yang tidak signifikan, ini berarti kategori usia anak tidak memiliki pengaruh dengan kemandirian pada anak dengan retardasi mental.
Hasil analisis antara hubungan antara jenis kelamin dengan kemandirian anak, terlihat bahwa proporsi anak dengan jenis kelamin perempuan lebih mandiri sebanyak 20 anak atau sebesar 60.6%. Sedangkan sisanya 13 anak tidak mandiri dengan persentasi 39.4%. Analisis lebih lanjut pada kategori jenis kelamin dengan variabel terikat yakni kemandirian anak dengan nilai alph 5% diperoleh hasil yaitu yaitu p= .529 (>0,05). Hasil analisis menunjukan nilai yang tidak signifikan, ini berarti kategori usia anak tidak
No Variabel Jumlah Persentase (%) 1 Usia (tahun) 15-25 26-35 36-45 46-50 >50 8 21 22 19 12 9.8 25.6 26.8 23.2 14.6 2 Tingkat pendidikan Rendah Sedang Tinggi 3 61 18 3.7 74.4 22.0 3 Pekerjaan Ibu Rumah Tangga Swasta/ Wiraswasta Buruh/petani PNS 54 19 8 1 65.9 23.2 9.8 1.2 4 Usia Anak (tahun) < 10 >10 47 35 57.3 42.7 5 Jenis Kelamin Anak Laki-laki perempuan 49 33 59.8 40.2 Katego ri Gambaran Kemandirian anak Total X2 P V al ue O R (95 % CI) Tidak mand iri Mand iri n % N % n % <10 tahun >10 tahun 2 3 1 4 3 7 4 8. 9 4 0. 0 4 5. 1 2 4 2 1 4 5 5 1. 1 6 0. 0 5 4. 9 4 7 3 5 8 2 5 7. 3 4 2. 7 1 0 0 0. 3 3 .5 6 2 1.4 38 .53 9-3.4 85 Laki-laki Perem puan 2 4 1 3 3 7 4 9 3 9. 4 4 5. 1 2 5 2 0 4 5 5 1 6 0. 6 5 4. 9 4 9 3 3 8 2 5 9. 8 4 0. 2 1 0 0 .3 9 .52 9 1.4 77 .60 3-3.6 15 kurang baik baik 2 3 1 4 3 7 8 5. 2 2 5. 5 4 5. 1 4 4 1 4 5 1 4. 8 7 4. 5 5 4. 9 2 7 5 5 8 2 3 2. 9 6 7. 1 1 0 0 2 3. 7 .0 0 0 7.4 79 4.9 67-57. 20 3
memiliki pengaruh dengan kemandirian pada anak dengan retardasi mental.
Hasil analisis antara hubungan peran orang tua dengan kemandirian anak bahwa sebanyak 41 orang tua berperan baik (74.5%) akan mendukung tingkat kemandirian anak. Sedangkan peran orang tua yang kurang baik dengan jumlah 4 orang responden tidak mendukung kemandirian anak (14.8%). Analisis lebih lanjut pada kategori peran orang tua dengan kemandirian anak dengan nilai alph 5% diperoleh hasil yaitu p= .000 (< 0,05). Hasil analisis menunjukan nilai signifikan, sehingga kesimpulannya Ho ditolak. Analisis keeratan hubungan anatara peran orang tua dengan kemandirian anak retardasi mental didapatkan nilai OR= 7.479, artinya responden yang mempersepsikan peran yang kurang baik 7.479 kali menyababkan anak tidak mandiri dibandingkan peran orang tua yang baik (OR: 95% CI: 4.96-57.2).
Pembahasan
Pengaruh usia terhadap kemandirian anak
Usia anak dalam penelitian ini paling banyak adalah anak berusia dibawah 10 tahun dengan jumlah anak 47 orang dan sisanya 35 anak berusia lebih dari 10 tahun. Menurut Wong (2009), pada anak usia sekolah umumnya secara fisik memiliki keseimbangan yang relative berkembang baik dan jiwa social yang baik. Pada penelitian ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Hakim, Soegiyanto dan Soekardi (2013), bahwa tidak ada pengaruh yang signifikan antara usia dengan kemandirian anak tunagrahita (keterbelakangan mental). Menurut Hakim, Soegiyanto dan Soekardi (2013), usia lebih banyak tidak menjamin bahwa kemampuan motorik anak akan menjadi lebih baik.
Pengaruh jenis kelamin terhadap
kemandirian anak
Jumlah anak berdasarkan jenis kelamin paling banyak adalah anak berjenis kelamin laki-laki dengan jumlah 49 laki-laki dan sisanya 33 anak berjenis kelamin perempuan. Terdapat perbedaan seks dalam jenis keterampilan dan kemandirian pada anak. Meskipun terdapat sejumlah perbedaan, setiap anak umumnya belajar
keterampilan-keterampilan tertentu (Hurlock, 2012). Penelitian yang di lakukan oleh Dewanggi, dkk (2012), mengungkapkan bahwa pola asuh orang tua berdasarkan jenis kelamin anak perempuan lebih tinggi kemandirian di bandingkan dengan anak laki-laki.
Hubungan peran orang tua dengan kemandirian anak
Hasil penelitian dari analisis bivariat menunjukan hasil yang signifikan antara hubungan peran orang tua dengan kemandirian anak, hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Wasis tahun 2008 bahwa hubungan anak dengan retardasi mental dengan orang tuanya sangat penting dibandingkan dengan hubungan anak yang intelegensinya normal dengan orang tuanya. Wasis (2008), menjelaskan, seorang ibu yang sangat perhatian (yang diukur dari seringnya ibu melihat mata anaknya, mengelus, menggendong, dan berbicara kepada anaknya), hal ini merupakan kebutuhan akan stimulasi mental yang merupakan aspek penting dalam pembentukan karakter anak. Hal ini juga di kemukakan oleh wasis (2008) bahwa kebutuhan fisik (asuh) merupakan kebutuhan untuk mencapai perkembangan fisik. Sangatlah penting bagi perkembangan anak yang meliputi kebutuhan akan pangan gizi yang merupakan kebutuhan terpenting karena tanpa adanya zat gizi yang mencukupi, maka tubuh tidak memiliki sumber daya untuk menjalankan fungsinya dengan baik termasuk fungsi untuk tumbuh dan berkembang.
Wasis (2008), berpendapat bahwa kemandirian anak dalam perilaku sosial dalam bermain dan bersama orang tua, adanya perhatian dan kasih sayang merupakan kebutuhan mendasar bagi anak. Kedekatan hubungan antara orangtua dengan anak tentu saja akan berpengaruh secara emosional. Anak akan merasa dibutuhkan dan berharga dalam keluarga, apabila orangtua memberikan perhatiannya kepada anak. Dengan kata lain, peran orang tua memiliki pengaruh besar dalam perkembangan anak.
Hasil penelitian lain menurut Rambe (2010), dukungan orang tua sangat penting bagi kemandirian anak. Hasil penelitian Rambe (2010), mengungkapkan bahwa
semakin tinggi dukungan sosial orangtua maka akan semakin tinggi kemandirian belajar pada anak dan sebaliknya semakin rendah dukungan sosial orangtua maka akan semakin rendah kemandirian belajar pada anak. Hasil penelitian oleh Ronaldi (2013), menunjukan bahwa dukungan keluarga sangat penting pada kemandirian belajar pada anak.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukan terdapat hubungan antara peran orang tua dengan kemandirian anak retardasi mental. Sehingga peran orang tua dengan kemandirian pada anak yang berkebutuhan khusus sangatlah penting guna meningkatkan keterampilan anak dan kemandirian pada anak.
Keterbatasan dalam penelitian yaitu sampel penelitian yang terbatas. Penelitian ini belum optimal karena hanya bersifat wawancara dengan orang tua, lebih lanjut perlu dilakukan observasi kemampuan anak retardasi mental. Penelitian ini dilakukan hanya pada satu tempat sehingga karakteristik sampel dan hasilnya belum maksimal.
Referensi
Armatas. V. (2009). Mental retardation: definitions, etiology, epidemiology and diagnosis. Journal of Sport and Health Research, 1(2):112-122. Dewanggi, dkk. (2012). Pengasuhan orang tua
dan keamndirian anak 3-5 tahun berdasarkan gender di kampong adat Urug. Jurnal Ilmu Kel.&Kon. 5 (1), pp19-28.
Hakim, A.R., Soegiyanto, Soekardi (2013). Pengaruh usia dan latihan keseimbangan terhadap Kemampuan motorik kasar anak tunagrahita kelas Bawah mampu didik sekolah luar biasa. JPES. (2) (1).
Hurlock, E. B. (2012). Psikologi Perkembangan Suatu Pendekatan
Sepanjang Rentang Kehidupan. Edisi
5. Jakarta : Erlangga.
Kemenkes R.I. (2010). Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak di Sekolah Luar Biasa (SLB) Bagi Petugas Kesehatan.
Rambe (2010). Hubungan Antara Dukungan
Sosial Orangtua Dengan
Kemandirian Belajar Pada Siswa Sekolah Menengah Atas. Skripsi. Randolph. (2003). Information packet: parents
with mental retardation and their children. National Resource Center for Foster Care and Permanency
Planning. New York.
Ravindranadan, V., Raju. S. (2007). Adjustment and attitude of parents of children with mental retardation.
Journal of the Indian Academy of Applied Psychology, (33),(1), pp 137-141.
Riyadi, S. & Purwanto, T. (2009). Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta : Graha Ilmu
Sularyo, T.S., Kadim, M. (2000). Retardasi mental. Journal Seri Pediatri, (2), (3), pp170-177
Taghavi,et.al. (2012). Adaptation mothers of educable mentally retarded children
Nursing and Midwifery Studie, (1), (1), pp 41-44
WHO. (1998). Primary Prevention of Mental Neurological and Psychosocial disorder. Ganeva
Videbeck, S.L. (2012). Buku Ajar
Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Wasis. (2008). Pedoman Riset Untuk Profesi Perawat. Jakarta : EGC
Wong, et.al. (2009). Wong Essentials of Pediatric Nursing. Ed 6th, (alih
Buku Ajar Keperawatan Pediatrik).Volume 1. Jakarta : EGC