• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gender, Feminisme, dan Peranan Media Oleh : Ifan Luthfian Noor

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Gender, Feminisme, dan Peranan Media Oleh : Ifan Luthfian Noor"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh : Ifan Luthfian Noor Abstrak

Diskursus tentang gender dan feminisme dalam beberapa dasawarsa terakhir semakin mendapat tempat. Hal tersebut disebabkan karena semakin banyaknya tuntutan akan kesempatan bagi kaum perempuan untuk tampil di hadapan publik sebagaimana halnya kaum laki-laki. Gender dan feminisme pada dasarnya adalah suatu usaha untuk memahami bagaimana perempuan diposisikan, dan pada gilirannya mengubah ketidakadilan yang terjadi yang melibatkan berbagai unsur seperti media, agama, nilai-nilai budaya, dan bahkan politik. Diskusi mengeai gender biasanya diawali dengan penjelasan definitif mengenai hal itu. Untuk itu, tulisan ini dimulai dengan pembahasan eksploratif mengenai gender dan seksualitas. Istilah gender harus dibedakan dari istilah seks. Gender merujuk pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya yang berkaitan dengan sifat, status, posisi, dan perannya dalam masyarakat. Sedangkan istilah seks berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis terutama yang terkait dengan prokreasi dan reproduksi. Tulisan ini selanjutnya juga akan memaparkan diskursus tentang gender dan feminisme yang selama ini marak, asumsi-asumsi dominan yang menindas kaum perempuan, serta peranan media dalam mengukuhkan konstruksi yang dominatif tersebut. Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Akan tetapi peranan media selama ini jauh dari idealitas di atas. Penulis selanjutnya menguraikan kekurangan dan potensi media dalam menumbuhkan relasi gender yang lebih adil dan konstruktif di masa-masa yang akan datang.

Kata kunci : Gender, Feminisme, media A. Pendahuluan

Studi tentang perempuan dalam dasawarsa terakhir semakin banyak diminati, terutama ketika wacana gender dan feminisme mendapatkan porsi yang besar dalam wacana keilmuan, kesadaran sosial, serta opini publik masyarakat. Tidak mengherankan jika kemudian muncul banyak tuntutan akan kesempatan bagi kaum perempuan untuk tampil di hadapan publik sebagaimana halnya kaum laki-laki. Studi perempuan tidak sekedar usaha untuk memahami perempuan itu sendiri, ataupun laki-laki, tetapi

Dosen Universitas Mulawarman Kal-Tim

(2)

juga memahami bagaimana suatu masyarakat terorganisir. Perempuan tidak terlepas dari sistem sosial di mana mereka menjadi bagian. Nilai-nilai yang melekat pada perempuan atau bagaimana perempuan diposisikan merupakan konstruksi sosial yang melibatkan berbagai kekuatan, baik itu media, agama, nilai-nilai budaya, bahkan politik. Usaha memahami hal itu karenanya juga merupakan usaha memahami masyarakat, yang tidak akan pernah berhasil tanpa membongkar asumsi-asumsi yang selama ini mengungkung peranan kaum perempuan.

Oleh sebab itu, tulisan ini selanjutnya akan memaparkan diskursus tentang gender dan feminisme yang selama ini marak, asumsi-asumsi dominan yang menindas kaum perempuan, serta peranan media dalam menumbuhkan relasi gender yang lebih adil dan konstruktif. Relasi yang bias gender selama ini telah mengejawantah dalam hubungan sehari-hari. Nilai dan harga perempuan karenanya telah dimapankan dalam suatu ruang material dan simbolik.

Ketimpangan yang terjadi itu seringkali berakar dari pemaknaan dan pemahaman masyarakat tentang realitas yang akhirnya terejawantah dalam perilaku agama, sosial-budaya, ekonomi, politik, dan media. Dunia pemaknaan sama sekali tidak netral. Tidak saja dari dari berbagai kepentingan politik dan ekonomi yang melatarbelakanginya, namun juga dari nilai-nilai budaya dan agama yang dominan dalam masyarakat. Ketika faktor-faktor tersebut bersifat patriakhis dan bias gender, maka pandangan dan perilaku masyarakat cenderung mengukuhkan bias gender itu.

Pada akhirnya yang muncul adalah produksi dan reproduksi ketimpangan hubungan antara laki-laki dan perempuan, yang salah satunya menyebabkan pemilahan sektor-sektor berdasarkan jenis kelamin. Perempuan dianggap sebagai orang yang berkiprah dalam sektor domestik, sementara laki-laki ditempatkan sebagai kelompok yang berhak mengisi sektor publik. Ideologi semacam itu telah disahkan dalam berbagai pranata dan lembaga sosial, yang kemudian menjadi fakta sosial tentang status dan peran yang dimainkan oleh perempuan.1 Proses ini

pada gilirannya tidak saja menyebabkan marjinalisasi peranan perempuan dalam kehidupan publik, tetapi juga pengekangan terhadap aktualisasi potensi diri yang dimilikinya.

B. Gender, Seksualitas, dan Perempuan

Dalam mengkaji persoalan perempuan, ada dua konsep yang harus diperjelas lebih dahulu, yaitu gender dan seksualitas. Pemahaman dan

1 Lihat Irwan Abdullah (ed), Sangkan Paran Gender, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

(3)

pembedaan terhadap dua konsep tersebut sangat diperlukan karena hal itu penting dalam melakukan analisis terhadap persoalan ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan. Hal ini disebabkan karena ada kaitan yang erat antara perbedaan gender (gender differences) dan ketidakadilan gender (gender inequalities).

Istilah gender harus dibedakan dari istilah seks. Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris, merupakan orang yang mula-mula memberikan pembedaan dua istilah itu. Istilah gender merujuk pada perbedaan karakter laki-laki dan perempuan berdasarkan konstruksi sosial budaya, yang berkaitan dengan sifat, status, posisi, dan perannya dalam masyarakat.2 Senada dengan itu Hilary M. Lips mengartikan gender sebagai harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan perempuan.3 Pendapat ini juga

sejalan dengan pendapat umumnya kaum feminis seperti Linda L. Lindsey yang menganggap semua ketetapan masyarakat perihal ketentuan seseorang sebagai laki-laki atau perempuan termasuk bidang kajian gender.4

Berikutnya adalah ilmuwan H.T Wilson yang memahami gender sebagai suatu dasar untuk menentukan pembedaan sumbangan laki-laki dan perempuan pada kebudayaan dan kehidupan kolektif, yang sebagai akibatnya menjadikan mereka laki-laki dan perempuan. Penggunaan istilah gender itu sebenarnya belum terlalu lama. Wacana gender mulai ramai diperbincangkan di awal tahun 1977 ketika kelompok feminis di London tidak lagi memakai isu-isu lama seperti patriarchal atau sexist. Belakangan isu gender marak dan dibicarakan di mana-mana. Seminar, konferensi, dan penelitian semakin sering dilaksanakan baik pada tingkat lokal, nasional, ataupun internasional.

Sedangkan istilah seks berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin laki-laki dan perempuan secara biologis terutama yang terkait dengan prokreasi dan reproduksi. Laki-laki dicirikan dengan adanya sperma dan penis, sedangkan perempuan dicirikan dengan sel telur, rahim, vagina, dan payudara. Ciri jenis kelamin secara biologis tersebut bersifat bawaan, permanen, dan tidak dapat dipertukarkan. 5

2 Ratna Saptari & Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti, 1997), p. 89.

3 Hilary M. Lips, Sex and Gender: An Introdoction, (London: Mayfield Publishing

Company, 1993), p. 4.

4 Linda L. Lindsey, Gender Rules: a Sociological Perspektive, (New Jersey: Prentice

Hall, 1990), p. 2.

5 H.T. Wilson, Sex and Gender: Making Cultural Sense of Civilization, (Leiden: EJ.

Brill, 1989), p. 2, Lihat juga dalam Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, (Jakarta: Paramadina, 2001), p. 35.

(4)

Perbedaan gender, yang juga disebut perbedaan jenis kelamin berdasarkan konstruksi sosial budaya, terkait erat dengan perbedaan secara seksual karena ia terkait dengan pemaknaan masyarakat sosial budaya tertentu tentang sifat, status, posisi, dan peran laki-laki dan perempuan dengan ciri-ciri biologisnya. Laki-laki sebagai pemilik sperma dianggap mempunyai sifat kuat dan tegas, menjadi pelindung, bertugas mencari nafkah, menjadi pemiliki dunia publik, dan sebagai orang pertama karenanya lebih berhak menjadi pemimpin. Di sisi lain, perempuan sebagai pemilik sel telur dan rahim dianggap bersifat lemah lembut, perlu dilindungi, sebagai orang nomor dua, mendapat tugas mengurusi rumah tangga serta tanggungjawab domestik lainnya. Oleh sebab itu, sifat dan peran gender merupakan konstruksi sosial budaya yang tidak permanen dan bisa dipertukarkan.

Dengan demikian, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi melalui proses yang sangat panjang. Terbentuknya perbedaan-perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksikan melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap menjadi ketentuan Tuhan, seolah-olah bersifat biologis yang tidak bisa diubah lagi sehingga perbedaan-perbedaan gender dianggap dan dipahami sebagai kodrat laki-laki dan kodrat perempuan. Sebaliknya konstruksi sosial gender yang tersosialisasikan secara evolusional dan perlahan-lahan sangat mempengaruhi potensi biologis masing-masing jenis kelamin. Misalnya karena konstruksi sosial gender kaum laki-laki harus kuat dan agresif, maka kaum laki-laki kemudian terlatih, tersosisalisasi, serta termotivasi untuk menuju ke sifat gender yang dinginkan oleh masyarakat, yakni secara fisik lebih kuat dan lebih besar.

Sedangkan kaum perempuan dipandang harus lebih lemah lembut, maka sejak bayi proses sosialisasi tersebut tidak saja berpengaruh terhadap perkembangan emosi, visi, serta ideologi kaum perempuan, tetapi juga mempengaruhi perkembangan fisik dan biologis selanjutnya. Karena proses sosialisasi dan konstruksi berlangsung sangat lama dan mapan maka akhirnya menjadi sulit dibedakan apakah sifat-sifat gender itu, seperti kaum perempuan lemah lembut dan laki-laki kuat dan perkasa, dikonstruksi dan dibentuk secara kultural atau merupakan kodrat biologis yang ditetapkan Tuhan. Namun dengan menggunakan prinsip bahwa setiap sifat biasanya melekat pada jenis kelamin tertentu dan sepanjang

(5)

sifat-sifat tersebut bisa dipertukarkan, maka sifat tersebut adalah hasil konstruksi masyarakat dan sama sekali bukan kodrat dari Tuhan.6

Persoalan utama dalam melakukan pembedaan terhadap konsep gender dan seks adalah terjadinya pemutarbalikan makna tentang apa yang disebut gender dan seks. Dewasa ini terjadi peneguhan yang tidak pada tempatnya di masyarakat. Adakalanya persoalan gender justru didentifikasi sebagai persoalan seksualitas, seperti misalnya mendidik anak, merawat keindahan dan kebersihan rumah tangga, serta berbagai urusan domestik dianggap sebagai kodrat wanita. Padahal kenyataannya pekerjaan-pekerjaan itu bisa juga dilakukan oleh kaum laki-laki. Oleh karena jenis pekerjaan itu bisa dipertukarkan dan tidak permanen maka sesunguhnya yang demikian itu adalah konstruksi gender.

C. Bias dan Ketimpangan dalam Konstruksi Gender

Perbedaan gender sesungguhnya tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan gender. Akan tetapi yang menjadi persoalan ternyata perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidakadilan, baik terhadap kaum laki-laki dan terutama sekali bagi kaum perempuan. Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana kaum laki-laki dan perempuan menjadi korban dari sistem tersebut. Ketidakadilan gender itu bisa dilihat pada berbagai manifestasinya dalam berbagai bidang kehidupan. Di antaranya adalah marginalisasi atau proses pemiskinan ekonomi, subordinasi atau anggapan tidak penting dalam keputusan politik, pembentukan streotipe negatif, kekerasan, beban kerja lebih panjang, serta sosialisasi nilai dan peran gender.

Manifestasi ketidakadilan gender tidak bisa dipisahkan satu sama lain karena saling berhubungan dalam proses dialektis. Contohnya marginalisasi ekonomi kaum perempuan justru terjadi karena streotipe negatif yang disematkan kepadanya dan itu menyumbang pada proses kekerasan terhadapnya, yang akhirnya tersosialisasikan dalam keyakinan, ideologi, dan visi kaum perempuan sendiri. Prosesnya bisa dipertukarkan dalam suatu lingkaran yang rumit dan tumpang tindih. Dengan demikian tidak bisa dinyatakan bahwa marginalisasi ekonomi merupakan faktor yang paling penting dan menentukan, atau kekerasan fisik merupakan aspek yang paling mendasar yang harus dipecahkan lebih dahulu.

Predikat laki-laki dan perempuan dianggap sebagai simbol status. Laki-laki diidentifikasi sebagai orang yang memiliki karakteristik kejantanan (maskulinitas), sedangkan perempuan diidentifikasi sebagai

6 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformsi Sosial, (Yogyakarta: Pustaka

(6)

orang yang memiliki karakteristik kewanitaan (feminitas). Perempuan dipersepsikan sebagai manusia cantik, langsing, dan lembut. Sebaliknya laki-laki dipersepsikan sebagai manusia perkasa, tegar, dan agresif. Laki-laki dianggap lebih cerdas dalam banyak hal, lebih kuat, lebih berani daripada perempuan. Anggapan-anggapan seperti itu dengan sendirinya memberikan peran lebih luas kepada laki-laki sehingga membuatnya memiliki status sosial yang lebih tinggi.7

Bagi Allan G. status lebih tinggi yang dimiliki laki-laki bukan hanya karena mereka lebih jantan, tetapi karena mereka mempunyai akses yang lebih banyak terhadap kekuasaan. Laki-laki misalnya mengontrol lembaga legislatif, dominan di lembaga hukum dan peradilan, pemilik sumber-sumber produksi, menguasai organisasi keagamaan, organisasi profesi, partai politik, dan perguruan tinggi. Sedangkan perempuan ditempatkan pada posisi inferior. Akses mereka pada kekuasaan lebih terbatas sehingga status sosial mereka lebih rendah. Sebagai ibu atau istri, mereka terbatas berkarya di luar rumah sehingga penghasilannya tergantung pada laki-laki.8

Konstruksi tersebut tidak berdiri sendiri melainkan terkait erat dengan identitas dan karakteristik yang dilekatkan masyarakat kepada laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan sehari-hari seringkali terjadi benturan gender. Perempuan tetap memiliki kemauan untuk bergerak secara leluasa guna meningkatkan status dan rasa percaya diri, tetapi ruang gerak mereka terbatas. Apalagi ketika perempuan sudah kawin dan memiliki anak. Pada saat itu seorang perempuan memiliki beban ganda. Dari satu segi mereka tetap memerlukan ruang untuk aktualisasi diri, dan di sisi lain mereka harus lebih konsisten mengasuh anak dan mengurus keluarga. Laki-laki lebih leluasa melakukan berbagai aktifitas, selain karena fungsi reproduksi mereka lebih sederhana juga sistem kemasyarakatan mengharuskan mereka berkiprah lebih besar di luar keluarga.

Di antara ketimpangan yang diakibatkan oleh gender adalah kemiskinan. Ancaman kemiskinan memang tidak hanya monopoli kaum perempuan, tetapi merekalah yang sesungguhnya lebih menderita. Misalnya kasus swasembada pangan atau revolusi hijau pada masa Orde Baru secara ekonomis telah menyingkirkan kaum perempuan dari pekerjaannya sehingga memiskinkan mereka. Di Jawa misalnya, program penanaman jenis padi unggul yang tumbuh lebih rendah serta penggunaan alat-alat modern tidak memungkinkan lagi panenan dengan ani-ani. Padahal alat tersebut merupakan spesialisasi kaum perempuan. Akibatnya

7 Suzanne J. Kessler & Wenndy McKenna, Gender: An Ethnomethodological

Approach, (New York: John Wiley & Sons, 1977), p. 11

8 Allan G. Johnson, Human Arrangements an Introdoction to Sociology, (New York:

(7)

banyak kaum perempuan menjadi lebih miskin karena sumber pendapatan mereka menjadi hilang. Dalam pembagian harta warisan perempuan juga seringkali dirugikan. Sebagian adat dan tradisi keagamaan memberikan bagian yang minimal, dan bahkan tidak memberikan sama sekali, dari harta warisan terhadapnya.

Bias gender itu juga tampak pada kenyataan seringnya kaum perempuan menjadi korban kekerasan. Hal itu terjadi dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah; pertama, pemerkosaan termasuk pemerkosaan dalam rumah tangga. Kedua, tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga. Ketiga, bentuk penyiksaan yang mengarah pada organ kelamin seperti penyunatan terhadap anak perempuan. Keempat, kekerasan dalam bentuk pelacuran, dan yang kelima, pornografi.9

Ketidakadilan gender dengan berbagai kategorinya tersebut banyak terjadi di masyarakat dan merupakan keadaan yang socially, culturally, dan historically constructed dalam kurun waktu yang lama sehingga seakan-akan menjadi sesuatu yang dianggap natural. Bahkan terjadi proses pelanggengan terhadap keadaan itu melalui proses sosialisasi nilai-nilai dalam masyarakat, pendidikan, tafsir agama, dan peraturan pemerintah. Hal tersebut dapat ditemui dalam berbagai tingkatan pranata dan sistem kemasyarakatan. Pertama, ketidakadilan gender terjadi pada tingkat negara maupun lembaga antar negara seperti PBB. Banyak kebijakan dan hukum negara, perundang-undangan, dan program kebijakan yang mencerminkan ketidakadilan gender. Kedua, ketidakadilan gender juga terjadi pada tempat kerja, organisasi, maupun lembaga pendidikan. Banyak aturan kerja, manejemen, kebijakan keorganisasian, serta kurikulum pendidikan yang masih melanggengkan ketidakadilan tersebut. Ketiga, ketidakadilan gender terjadi dalam adat istiadat masyarakat di banyak kelompok etnik, dan dalam tafsiran keagamaan. Bagaimanapun mekanisme interaksi dan pengambilan keputusan masih banyak mencerminkan ketidakadilan gender. Ketidakadilan gender juga terjadi dalam lingkungan rumah tangga. Walau demikian keadaan tersebut perlu dan dapat diubah dengan usaha yang sistematis. Untuk itu gender dapat dipahami sebagai sebuah alat analisis dalam melihat, mengungkap, dan menguraikan adanya fenomena gender dalam masyarakat beserta persoalan-persoalan yang muncul karenanya. Penggunaan konsep gender sebagai alat analisis dalam memandang masalah sosial-budaya berarti menjadikan sebagai sebuah paradigma, lengkap dengan asumsi dasar, model, serta konsep-konsepnya. Hal itu diperlukan untuk melihat ketidakadilan gender yang kemudian

9 Mansour Fakih, Analisis Gender dan Transformsi Sosial, p. 17

(8)

digunakan sebagai dasar untuk membangun relasi gender yang adil dan setara.10

D. Gerakan Feminisme

Feminisme dalam kamus Oxford didefinisikan sebagai advocacy of women’s right and sexual equality atau pembelaan terhadap hak perempuan dan kesetaraan pria-wanita. Feminisme lahir di Eropa, berawal dari sebuah perkumpulan perempuan-perempuan terpelajar kalangan bangsawan di Middelburg, Belanda pada 1785. Dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet, perkumpulan yang memperjuangkan universal sisterhood ini menjadi gerakan yang cukup menarik perhatian wanita Eropa. Tapi walaupun menyandang nama universal, perjuangan mereka pada awalnya hanya untuk perempuan kulit putih saja, sedangkan perempuan negeri jajahan bagi mereka tidak lebih dari seorang budak. Pergerakan dari Eropa ini kemudian berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill.

Gerakan feminisme merupakan gerakan untuk memperjuangkan hak-hak perempuan sebagai manusia yang tidak dapat dibedakan dengan laki-laki. Perempuan dianggap memiliki kewajiban dan hak yang sama dalam relasi sosial. Gerakan feminisme memiliki berbagai macam aliran yang masing-masing memiliki titik tekan dalam memperjuangkan tujuan sosial yang ingin dicapainya. Menurut Gerda Lerner, terdapat beberapa definisi mengenai istilah feminisme. Di antaranya: (a) feminisme adalah sebuah doktrin yang menyokong hak-hak sosial dan politik yang setara bagi perempuan; (b) menyusun suatu deklarasi perempuan sebagai sebuah kelompok dan sejumlah teori yang telah diciptakan oleh perempuan; (c) kepercayaan pada perlunya perubahan sosial yang luas yang berfungsi untuk meningkatkan daya perempuan.11

Gerakan feminisme berangkat dari fakta ketertindasan dan penindasan terhadap kaum perempuan oleh struktur sosial yang ada dan diikuti dengan kesadaran yang dimunculkannya untuk melanggengkan posisi perempuan yang terpinggirkan. Struktur sosial yang tidak adil bagi kaum perempuan diikuti dengan penyebaran ideologi patriarkis dan pandangan misoginis (benci terhadap perempuan), sehingga dalam sejarahnya kaum perempuan, berbeda dengan laki-laki, seakan-akan hadir

10 Heddy Ahimsa Putra, Enam Pemaknaan Gender, (Makalah tidak diterbitkan:

2001), p. 7

11 Ken Ratih Indri Hapsari, Reformasi Memundurkan Gerakan Perempuan,

(9)

di dunia sebagai “jenis kelamin kedua” (second sex), serta hanya menjadi pelayan laki-laki serta dieksploitasi dalam hubungan sosialnya.12

Salah satu buktimya hingga saat ini adalah pengendalian laki-laki atas reproduksi perempuan. Hal itu menjadikan kaum perempuan tidak punya kebebasan menentukan kapan harus hamil dan melahirkan, berapa anak yang diinginkan, kontrasepsi apa yang cocok dipakai. Pengendalian atas gerak perempuan berbentuk diberlakukannya pembatasan untuk meninggalkan wilayah rumah tangga, pemisahan yang ketat sektor publik dan domestik, pembatasan interaksi antar dua jenis kelamin. Sedang kontrol atas harta milik pada kenyataan sebagian besar harta milik dan sumberdaya produktif dikendalikan dan diwariskan laki-laki kepada anak laki-laki karena menganggap laki-laki adalah pencari nafkah utama.

Gerakan feminisme sesungguhnya dapat dibagi dalam beberapa perkembangan sejak kemunculannya pada abad ke-18 sampai perkembangannya di abad ke-21. Fase itu dapat dibagi sebagaimana berikut;13

Gelombang pertama

Pada gelombang pertama ini sebagaimana disinggung di atas, feminisme lahir di Eropa dan menjadi gerakan yang memperjuangkan apa yang mereka sebut sebagai universal sisterhood. Kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh aktivis sosialis utopis, Charles Fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill, the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran feminisme.

Pada awalnya gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, di mana ada pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Sejarah dunia menunjukkan bahwa secara umum kaum perempuan (feminin) merasa dirugikan dalam semua bidang dan dinomor duakan oleh kaum laki-laki (maskulin) khususnya dalam masyarakat yang patriarki sifatnya. Dalam bidang-bidang sosial, pekerjaan, pendidikan, dan lebih-lebih politik hak-hak kaum ini biasanya memang lebih inferior ketimbang apa yang dapat dinikmati oleh laki-laki, apalagi masyarakat tradisional yang berorientasi agraris cenderung menempatkan kaum laki-laki di depan, di luar rumah dan kaum perempuan di rumah. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Perancis di abad XVIII yang gemanya kemudian melanda Amerika Serikat dan ke seluruh dunia. Suasana demikian diperparah dengan adanya

12 Valerie Bryson, Feminist Political Theory, (MacMillan, 1992), p. 2

13 Sejourner Truth, dalam Susan Alice Wakins et. Al, Introducing Feminism, (Icon

(10)

fundamentalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Di lingkungan agama Kristen pun ada praktik-praktik dan khotbah-khotbah yang menunjang situasi demikian.

Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk ´menaikkan derajat kaum perempuan´ tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap hak-hak kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Woman yang isinya dapat dikata meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme di kemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840 sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki dan mereka diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki.

Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal yang menjadi pokok perjuangannya adalah gender inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme dengan begitu adalah gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotyping, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme.

Gelombang kedua

Setelah berakhirnya Perang Dunia kedua yang ditandai dengan munculnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajahan, lahirlah feminisme gelombang kedua. Dalam gelombang kedua ini feminisme dipelopori oleh para feminis Perancis seperti Helene Cixous (seorang Yahudi kelahiran Algeria yang kemudian menetap di Perancis) dan Julia Kristeva (seorang Bulgaria yang kemudian menetap di Perancis). Dalam the Laugh of the Medusa, Cixous mengkritik logosentrisme yang banyak didominasi oleh nilai-nilai maskulin. Karena bukan white-Anglo-American-Feminist, Cixous menolak esensialisme yang sedang marak di Amerika pada waktu itu. Sedangkan Julia Kristeva memiliki pengaruh kuat dalam wacana pos-strukturalis yang sangat dipengaruhi oleh Foucault dan Derrida.

Secara lebih spesifik, banyak feminis-individualis kulit putih pada periode ini mengarahkan perhatiannya pada perempuan-perempuan dunia ketiga, meliputi Afrika, Asia dan Amerika Selatan. Banyak kasus menempatkan perempuan dunia ketiga dalam konteks "all women". Perempuan dunia ketiga tenggelam sebagai subaltern yang tidak memiliki politik agensi selama sebelum dan sesudah Perang Dunia kedua. Sebelum PD II, banyak pejuang tanah terjajah Eropa yang lebih mementingkan

(11)

kemerdekaan bagi laki-laki saja. Terbukti kebangkitan semua negara-negara terjajah dipimpin oleh elit nasionalis dari kalangan pendidikan, politik dan militer yang kesemuanya adalah laki-laki. Pada era itu kelahiran feminisme gelombang kedua mengalami puncaknya. Tetapi perempuan dunia ketiga masih dalam kelompok yang bisu.

Dengan keberhasilan gelombang kedua ini, perempuan dunia pertama melihat bahwa mereka perlu menyelamatkan perempuan-perempuan dunia ketiga, dengan asumsi bahwa semua perempuan-perempuan adalah sama. Dengan asumsi ini, perempuan dunia ketiga menjadi obyek analisis yang dipisah dari sejarah kolonialisasi, rasisme, seksisme, dan relasi sosial.

Perkembangan di Amerika Serikat

Gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas, lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966 gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan. Dalam bidang perundangan, tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama, dan Equal Right Act (1964) di mana kaum perempuan mempunyai hak pilih secara penuh dalam segala bidang.14

Gerakan feminisme yang mendapatkan momentum sejarah pada 1960-an menunjukan bahwa sistem sosial masyarakat modern memiliki struktur yang pincang akibat budaya patriarkal yang sangat kental. Marginalisasi peran perempuan dalam berbagai aspek kehidupan, khususnya ekonomi dan politik, merupakan bukti konkret yang diberikan kaum feminis.

Gerakan perempuan atau feminisme berjalan terus sekalipun mengalami banyak halangan. Di tahun 1967 dibentuklah Student for a Democratic Society (SDS) yang mengadakan konvensi nasional di Ann Arbor kemudian dilanjutkan di Chicago pada tahun yang sama, dari sinilah mulai muncul kelompok "feminisme radikal" dengan membentuk Women´s Liberation Workshop yang lebih dikenal dengan singkatan "Women´s Lib". Women´s Lib mengamati bahwa peran kaum perempuan dalam hubungannya dengan kaum laki-laki dalam masyarakat kapitalis terutama Amerika Serikat tidak lebih seperti hubungan yang dijajah dan penjajah. Di

14 Lihat Alison M. Jaggar, Feminist Politics and Human Nature, (USA: Rowman &

(12)

tahun 1968 kelompok ini secara terbuka memprotes diadakannya "Miss America Pegeant" di Atlantic City yang mereka anggap sebagai "pelecehan terhadap kaum wanita dan komersialisasi tubuh perempuan". Gema ´pembebasan kaum perempuan´ ini kemudian mendapat sambutan di mana-mana di seluruh dunia..

Pada 1975, "Gender, development, dan equality" sudah dicanangkan sejak Konferensi Perempuan Sedunia Pertama di Mexico City tahun 1975. Hasil penelitian kaum feminis sosialis telah membuka wawasan jender untuk dipertimbangkan dalam pembangunan bangsa. Sejak itu, pengarusutamaan jender atau gender mainstreaming melanda dunia. Memasuki era 1990-an, kritik feminisme masuk dalam institusi sains yang merupakan salah satu struktur penting dalam masyarakat modern. Termarginalisasinya peran perempuan dalam institusi sains dianggap sebagai dampak dari karakteristik patriarkal yang menempel erat dalam institusi sains. Tetapi, kritik kaum feminis terhadap institusi sains tidak berhenti pada masalah termarginalisasinya peran perempuan. Kaum feminis telah berani masuk dalam wilayah epistemologi sains untuk membongkar ideologi sains yang sangat patriarkal. Dalam kacamata eko-feminisme, sains modern merupakan representasi kaum laki-laki yang dipenuhi nafsu eksploitasi terhadap alam. Alam merupakan representasi dari kaum perempuan yang lemah, pasif, dan tak berdaya. Dengan relasi patriarkal demikian, sains modern merupakan refleksi dari sifat maskulinitas dalam memproduksi pengetahuan yang cenderung eksploitatif dan destruktif. Berangkat dari kritik tersebut, tokoh feminis seperti Hilary Rose, Evelyn Fox Keller, Sandra Harding, dan Donna Haraway menawarkan suatu kemungkinan terbentuknya genre sains yang berlandas pada nilai-nilai perempuan yang antieksploitasi dan bersifat egaliter. Gagasan itu mereka sebut sebagai sains feminis (feminist science).15

Memasuki abad 21, gerakan feminisme menghadapi problem dan tantangan yang lebih kompleks. Kemajuan yang luar biasa yang dicapai oleh teknologi media dan informasi memang telah mempermudah gerakan feminisme, akan tetapi di sisi lain teknologi media dan informasi itu tidak bebas dari ketimpangan gender. Eksploitasi dan penindasan terhadap kaum perempuan kini berjalan dalam suatu mekanisme yang lebih rapi dan halus.

15 Nancy F. Cott, The Grounding of Modern Feminism, (New Haven: Yale University

(13)

E. Peranan Media

Realitas menurut Berger tidak di bentuk secara alamiah. Tidak juga sesuatu yang diturunkan oleh Tuhan. Tetapi dibentuk dan di konstruksi. Dengan pemahaman ini maka realitas sesungguhya berwujud ganda/prural. Setiap orang mempunyai konstruksi yang berbeda-beda atas suatu realitas, berdasarkan pengalaman, preferensi, pendidikan dan lingkungan sosial, yang dimiliki masing-masing individu. Lebih lanjut jika gagasan Berger diaplikasikan pada media maka yang tergambar di dalamnya harus dipandang sebagai konstruksi atas realitas. Karenanya sangat potensial bila peristiwa yang sama dikonstruksi secara berbeda oleh media yang berlainan.16

Media adalah salah satu instrumen utama dalam membentuk konstruksi gender pada masyarakat. Media yang memiliki karakteristik dengan jangkauannya yang luas, bisa menjadi alat yang efektif dalam menyebarluaskan konstruksi gender kepada masyarakat. Pentingnya institusi media dan jurnalis yang mempunyai sensitifitas yang tinggi dalam permasalahan perempuan tidak diragukan lagi.17 Setidaknya ada beberapa prinsip dasar yang perlu diperhatikan dan seringkali menjadi kekurangan media, khususnya di Indonesia, yaitu:

Pertama, kemampuan profesional, etika dan perspektif pelaku media massa terhadap permasalahan gender masih rendah. Akibatnya hasil penyiaran belum sepenuhnya mampu mengangkat permasalahan perempuan pada arus utama (mainstream). Penumbuhan rasa empati terhadap ketidakadilan yang dialami perempuan, merupakan salah satu jalan bagi media untuk bertindak fair, proposinal serta berimbang dalam memberitakan kasus-kasus yang melibatkan perempuan. Kedua, media massa belum mampu melepaskan diri dari perannya sebagai medium ekonomi kekuasaan baik yang datang dari penguasa, otoritas intelektual, ideologi politik, ataupun pemilik modal. Media massa yang seharusnya menjadi watchdog bagi kekuasaan, justru terjerumus menjadi pelestari kekuasaan hanya karena lemahnya kemampuan profesional dan etika media massa. Akibatnya perempuan akhirnya menjadi korban dari aroganisme pelanggengan kekuasaan. Ketiga, kurangnya peran aktif dan representasi perempuan dalam media massa menjadikan perempuan sulit untuk keluar dari posisi keterpurukannya saat ini. Debra Yatim mengungkapkan bahwa media massa Indonesia dikuasai oleh budaya patriarki dan kapitalisme dengan dominasi laki–laki di dalamnya. Media

16 Ibnu Hamad, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Jurnal Pantau, ISAI,

Oktober-November 1999, p. 55.

17 Eryanto, Analisis Framing; Konstruksi, ideologi, dan politik media, (Yogyakarta:LkiS,

(14)

seharusnya meningkatkan jumlah praktisi perempuan serta menempatkan perempuan tidak lagi sebagai objek namun berperan aktif sebagai subjek. Keempat, perlu pengubahan paradigma pada media massa berkaitan dengan pencitraan perempuan yang selama ini dipakai. Pencitraan perempuan dalam media, yang selama ini cenderung seksis, objek iklan, objek pelecehan dan ratu dalam ruang publik, perlu diperluas wacananya menjadi perempuan yang mampu menjadi subjek dan mampu menjalankan peran–perannya dalam ruang publik.18

Keempat persyaratan itu belum sepenuhnya dipenuhi oleh organisasi media. Media masih menjadi lahan subur bagi eksploitasi dan penindasan berdasarkan gender. Perjuangan untuk mencapai keadilan gender melalui pemberitaan dalam media massa masih membutuhkan waktu teramat panjang. Kekerasan terhadap perempuan dalam media massa tidak bisa dilepaskan dari posisi perempuan dalam masyarakat, karena struktur dan pemberitaan media massa sebenarnya adalah cermin situasi masyarakat itu sendiri. Dalam masyarakat terlanjur meyakini persepsi palsu yang mengatakan bahwa secara kodrati perempuan kurang pandai dan secara fisik lebih lemah dibandingkan dengan laki-laki.19

Karena itu, sebagian besar masyarakat masih percaya pada pembagian kerja secara seksual yang mensubordinasikan perempuan, sektor "domestik" yang dikatakan sebagai sektor statis dan konsumtif sebagai milik perempuan. Sedangkan sektor "publik" yang dicirikan sebagai sektor dinamis dan memiliki sumber kekuasaan pada perbagai sektor kehidupan yang mengendalikan perubahan sosial sebagai milik laki-laki. Seluruh persoalan ini di dalam media massa juga tidak terlepas dari struktur modal yang kapitalistik. Industri media massa akan menempatkan berita-berita yang bersifat maskulin sebagai sesuatu yang utama karena lebih layak jual. Ciri kapitalistik juga nampak dari dikalahkannya pemuatan berita demi iklan, meski iklan dijadikan alasan utama suatu media massa dapat bertahan. Penulisan berita, artikel, gambar, atau tulisan apapun yang berperspektif perempuan juga mengandung kontradiksi, karena sebagiannya masih cenderung mengekalkan mitos masochisme perempuan, rasisme, narcisis, memalukan, buruk, efensif, dan menentang konsepsi tentang apa dan bagaimana seharusnya.

Suara perempuan adalah suara yang terbisukan. Sistem politik yang represif telah mengawasi perempuan secara ketat, mengontrol secara dominan, tidak memungkinkan cara berpikir lain daripada yang

18 Ashadi Siregar, dkk, Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme, (Yogyakarta: Galang

Printika,2002), p. 219.

(15)

dikehendaki penguasa, menyudutkan dan menyempitkan dan akhirnya menundukkan. Ini juga dilakukan melalui bahasa, karena membicarakan media sama artinya dengan membicarakan bahasa, baik bahasa tulis maupun visual. Sebagai wacana baru (newspeak), bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi. Ia merupakan kegiatan kegiatan sosial yang terstruktur dan terikat pada keadaan sosial tertentu.20

Dengan begitu upaya menghapuskan kekerasan dalam pemberitaan media bukan hal yang mudah, karena menyangkut perombakan kultur dan kerangka pikir pelaku media (wartawan, pembuat iklan, produser, pemilik modal, dan sebagainya). Apalagi bila bekerja pada wilayah mind set yang melahirkan suatu sikap tertentu, ideologi tertentu, yang dipelajari seorang manusia sejak ia bisa berpikir, ditambah dengan pola asuh yang bias gender. Pemberitaan wacana yang sensitif gender saja tidak cukup. Dibutuhkan suatu dinamisme dan progresifisme pada media untuk mengubah realitas yang berlaku di masyarakat.

Diskursus jurnalisme media harus diubah agar jurnalis tidak terjerumus menjadi pengguna kekerasan, pengabsah ketertindasan pada perempuan, dan pelanggengan kultur ketidakadilan yang selama ini melingkupi perempuan. Kalau selama ini pendekatan jurnalisme yang dipakai media berpola konservatif, maka tidak menutup kemungkinan mengembangkannya menjadi jurnalisme progresif atau jurnalisme empati. Jurnalisme yang mengajarkan masyarakat mengembangkan sikap–sikap yang emansipatoris, kritis, non eksploitatif , non diskriminatif, demokratis, tetap proposional, dengan tidak meninggalkan kaidah–kaidah dasar jurnalistik yang telah disepakati sebelumnya.

Dalam menjalankan fungsinya sehari–hari, media setidaknya mempertimbangkan kepentingan praktis ataupun strategis bagi perempuan. Terbentuknya pemahaman perspektif gender diharapkan tidak saja akan mengubah cara pandang masyarakat dalam menghadapi keberadaan kaum perempuan, namun juga diharapkan mampu menepis pandangan negatif yang cenderung diskriminatif dan berbias gender.21

Dimasukkannya media massa sebagai satu dari 12 landasan Aksi Deklarasi Beijing menunjukkan bahwa peran media massa menjadi sangat strategis untuk membantu perempuan lepas dari ketertindasannya selama ini. Media massa mampu menjadi kekuatan positif untuk mengangkat harkat dan status hukum perempuan dalam relasi gender. Hanya saja perlu diwaspadai, karena pada peluang yang sama media massa bisa sekaligus

20 Ahmad Junaedi Azhar, Pemberitaan Sensitif Gender, Sumbangan Besar Mewujudkan

Demokrasi, www.duniaesai.com , akses tanggal 26 Juli 2007

(16)

berubah menjadi virus yang justru semakin memperburuk posisi perempuan.

F. Catatan Akhir

Dari uraian dan analisis di atas telah dipaparkan dengan jelas bahwa perbedaan gender telah melahirkan ketidakadilan gender. Perbedaan itu ternyata telah mengakibatkan munculnya sifat dan streotipe yang oleh masyarakat dianggap sebagai ketentuan kodrati. Sifat dan streotipe yang pada dasarnya merupakan konstruksi atau rekayasa sosial akhirnya terkukuhkan menjadi kodrat kultural yang baku, sehingga dalam prosesnya yang panjang mengakibatkan marjinalisasi terhadap kaum perempuan. Ketidakadilan gender termanifestasikan dalam berbagai bentuk, di antaranya adalah perlakukan diskriminatif, kekerasan, marjinalisasi, objek seksual, beban kerja yang lebih panjang, dan lain sebagainya. Manifestasi ketidakadilan gender tersebut masing-masing tidak bisa dipisahkan, saling terkait dalam proses yang dialektis.

Adanya studi gender dan gerakan feminisme pada dasarnya bertujuan mengurangi dan bahkan menghilangkan ketidakadilan tersebut. Dengan kata lain ia hendak mewujudkan keadilan sosial. Keadilan yang dimaksud adalah pemberian kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Ini tidak berarti bahwa laki-laki dan perempuan sama dalam segala hal, namun yang dimaksud pemberian posisi dan kesempatan tidak tergantung pada jenis kelamin. Laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki kesempatan untuk merealisasikan hak dan potensinya untuk memberikan kontribusi pada perkembangan politik, ekonomi, sosial, dan budaya, serta sama-sama bisa menikmati hasil perkembangannya.

Oleh karenanya memecahkan masalah gender merupakan tugas yang sangat berat karena persoalannya kompleks. Masalah gender melibatkan spektrum persoalan yang luas sehingga pemecahannya membutuhkan pemikiran dan aksi yang matang. Feminisme sebagai gerakan dalam dua dasawarsa terakhir telah menunjukkan hasil-hasil yang spektakuler. Secara kuantitatif dan praktis dampak tersebut terlihat dengan adanya perbaikan yang menyangkut nasib perempuan secara global.

Fondasi perjuangan feminisme di masa depan harus diletakkan secara solid atas pemahaman kebutuhan untuk menghapuskan dasar-dasar budaya dan sosial yang patriarkhis, serta berbagai bentuk penindasan lainnya. Salah satunya adalah mengubah orientasi dan pola kerja media yang selama ini justru menjadi bumerang bagi gerakan perempuan. Tanpa mengubah struktur tersebut, maka tak akan ada upaya pembaruan yang akan memberikan dampak jangka panjang. Karena itu, saat ini menjadi penting untuk melakukan advokasi feminisme agar dipahami secara

(17)

kolektif sebagai bentuk perjuangan untuk mencapai kesetaraan perempuan dengan laki-laki di masyarakat. Dengan begitu gerakan feminisme tidak akan terus-menerus diselewengkan guna melayani kepentingan opurtunistik kelompok-kelompok kepentingan tertentu.

(18)

Daftar Pustaka

Abdullah, Irwan (ed), Sangkan Paran Gender, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.

Azhar, Ahmad Junaedi, Pemberitaan Sensitif Gender, Sumbangan Besar Mewujudkan Demokrasi, www.duniaesai.com , akses tanggal 26 Juli 2007.

Bryson, Valerie, Feminist Political Theory, MacMillan, 1992.

Cott, Nancy F., The Grounding of Modern Feminism, New Haven: Yale University Press, 1987.

Eryanto, Analisis Framing; Konstruksi, ideologi, dan politik media, Yogyakarta:LkiS, 2002.

Fakih, Mansour, Analisis Gender dan Transformsi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003.

Hapsari, Ken Ratih Indri, Reformasi Memundurkan Gerakan Perempuan, www.parasindonesia.com , akses 26 Juli 2007

Hamad, Ibnu, Media Massa dan Konstruksi Realitas, Jurnal Pantau, ISAI, Oktober-November 1999.

Jaggar, Alison M., Feminist Politics and Human Nature, USA: Rowman & Allanheld, 1983.

Johnson, Allan G., Human Arrangements an Introdoction to Sociology, New York: Harcourt Brace Jovanovich, 1986.

Kessler, Suzanne J. & Wenndy McKenna, Gender: An Ethnomethodological Approach, New York: John Wiley & Sons, 1977.

Lips, Hilary M., Sex and Gender: An Introdoction, London: Mayfield Publishing Company, 1993.

Lindsey, Linda L., Gender Rules: a Sociological Perspektive, New Jersey: Prentice Hall, 1990.

Putra, Heddy Ahimsa, Enam Pemaknaan Gender, Makalah tidak diterbitkan: 2001.

Saptari, Ratna & Halzner, Perempuan Kerja dan Perubahan Sosial, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1997.

(19)

Siregar, Ashadi, dkk, Eksplorasi Gender di Ranah Jurnalisme, Yogyakarta: Galang Printika,2002.

Sobur, Alex, Analisis Teks Media, Bandung: Remaja Rosda Karya, 2002. Truth, Sejourner, dalam Susan Alice Wakins et. Al, Introducing Feminism,

Icon Books, 1999.

Umar, Nasaruddin, Argumen Kesetaraan Gender Perspektif Al-Qur’an, Jakarta: Paramadina, 2001.

Wilson, H.T., Sex and Gender: Making Cultural Sense of Civilization, Leiden: EJ. Brill, 1989.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil yang diperoleh dari simulasi adalah pada setiap skenario yang telah dilakukan diperoleh kesimpulan bahwa mekanisme antrian yang CBQ-WRR lebih baik dalam menangani paket Video

(Alm)., (2) Fungsi tari Baris Katekok Jago yaitu sebagai Tari Wali yang ditarikan sebagai pengiring disetiap upacara Dewa Yadnya dan upacara Pitra Yadnya

Sundulan kerap dilakukan untuk menyongsong umpan silang dan memberi peluang dalam mencetak gol ke gawang lawan (Herdiansyah 2011: 66). Berdasarkan hasil observasi

Pedoman Sanitasi Rumah Sakit di Indonesia Jakarta Depkes RI 2003 Pedoman Pelayanan Gizi Rumah Sakit Hartono 2000 Asuhan Makanan Rumah Sakit?. DAFTAR PUSTAKA IPB Repository eBooks

Kesimpulan yang dapat diambil dari studi kasus klien dengan gangguan menelan pada kasus akalasia esophagus adalah setelah dilakukan pengkajian didapatkan diagnosa

indra para peserta didik sebanyak mungkin sesuai dengan materi belajar yang akan disampaikan. Mengingat pentingnya peranan media belajar sebagai alat bantu dalam

Hubungan Antara Dukungan Keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien Diabetes Mellitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah Sakit Umum Pusat Fatmawati.. Depok:

kegiatan inti (penguasaan materi pelajaran, penerapan strategi pembelajaran yang mendidik, pemanfaatan sumber belajar/ media pembelajaran, pelibatan peserta didik dalam