• Tidak ada hasil yang ditemukan

POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (F 43.1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (F 43.1)"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

1 POST TRAUMATIC STRESS DISORDER (F 43.1)

PENDAHULUAN

Kejadian trauma adalah kejadian yang melibatkan ancaman atau suatu kejadian nyata dari kematian atau luka yang serius (secara nyata ataupun melalui persepsi) terhadap diri sendiri ataupun orang lain yang kemudian menimbulkan perasaan takut, ketidakberdayaan atau perasaan horror. Beberapa kejadian (contohnya : kekerasan interpersonal, kejadian yang mengancam hidup secara langsung atau yang berlangsung lama) sangat mungkin mengakibatkan terjadinya respon trauma.[2]

Kejadian traumatik mempengaruhi jutaan orang setiap tahunnya. Kesadaran masyarakat mengenai akibat dari suatu kejadian trauma. Kesadaran masyarakat mengenai dampak trauma dari suatu kejadian telah meningkat dalam dekade terakhir ini. Kejadian-kejadian besar yang terjadi seperti perang, bersamaan dengan adanya bencana alam atau bencana akibat manusia. Atau kejadian-kejadian kecil lainnya yang sering terjadi seperti kecelakaan kendaraan bermotor, pelecehan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan perkelahian di jalanan. Setiap orang dapat mengalami trauma baik saat melihat orang lain yang mengalami trauma, memahami trauma yang dirasakan oleh anggota keluarga atau kenalan dekat, ataupun secara langsung.[1]

Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) diklasifikasikan dalam gangguan anxietas. Gangguan anxietas atau kecemasan adalah bentuk penyakit psikiatri yang paling banyak diderita. Gangguan anxietas memiliki banyak tanda dan gejala dari rasa takut. Anxietas dapat bertahan lama meski stressor yang menstimulasi telah dihilangkan dan ancamannya telah berlalu. Seperti rasa nyeri kronik yang tidak memiliki makna yang berarti lagi, demikian juga rasa cemas/anxietas tidak memiliki makna yang berarti. [3]

(2)

2 Pengalaman traumatic adalah pengalaman yang umum. Jika mempertimbangkan kejadian yang lebih besar dari individu-individu yang mengalami serangan-serangan seksual ataupun non seksual, bencana alam, kecelakaan dan perang. Studi epidemiologi telah mengindikasikan prevalensi kejadian traumatic yang dialami selama hidup adalah sebesar 40%-90%. Dan angka kejadian prevalensi PTSD dalam suatu komunitas adalah sebesar 1%-9%. Ini mengindikasikan bahwa tidak semua orang yang mengalami trauma akan memiliki gangguan ini. Factor-faktor tambahan seperti kerentanan masing-masing dan variable-variabel post trauma pasti sangat berpengaruh. Ada hubungan yang sangat kuat antara tingkatan bahaya yang dipersepsi oleh seseorang terhadap suatu kejadian trauma dengan kemungkinan timbulnya PTSD.[4]

DEFINISI

PTSD adalah saalah satu gangguan anxietas yang dialami setelah pasien mengalami suatu kejadian traumatic yang memberi ancaman kematian atau yang menurut persepsi pasien mengancam nyawa atau memberi kesengsaraan. PTSD dibatasi jika gangguan ini terjadi dalam kurun waktu 6 bulan. Sebagai bukti tambahan selain trauma, harus didapatkan baying-bayang atau mimpi-mimpi dari kejadian traumatic tersebut secara berulang-ulang kembali, dan reaksi menghindar yang bertahan lama terhadap stimulus yang dapat memunculkan ingatan terhadap trauma tersebut. [3] [9]

EPIDEMIOLOGI

Gangguan PTSD sudah sering terjadi. Dari studi yang dilakukan, ditemukan prevalensi PTSD sebesar 7,8% selama masa hidup ( wanita 10,4% dan pria 5,0%), menggunakan kriteria DSM-III. Perkiraan untuk prevalensi 12 bulan berkisar antara 1,3% dan 3,6%. Perkiraan untuk prevalensi 1 bulan berkisar antara 1,5%-1,8% menggunakan kriteria DSM-IV dan 3,4% menggunakan kriteria ICD-10. Kessler et al (1995) menemukan bahwa resiko terjadinya PTSD setelah suatu kejadian traumatic adalah sebesar 8,1% untuk pria dan 20,4% untuk wanita.

(3)

3 Breslau et al (1997) menemukan resiko sebesar 13% untuk pria dan 30,2% untuk wanita. [5]

ETIOLOGI

Kejadian trauma adalah penyebab terbesar dari gejala-gejala PTSD. DSM-IV menekankan bahwa ancaman terhadap integritas fisik sebagai elemen yang lazim di trauma dan memperhitungkan bahwa respon subjektif seseorang terhadap suatu kejadian sangat penting untuk menentukan apakah kejadian tersebut dialami sebagai suatu trauma, dengan menekankan bahwa orang tersebut harus mengalami ketakutan yang besar, rasa tidak berdaya, atau horror selama kejadian tersebut. ICD-10 menekankan bahwa kejadian tersebut harus berupa ‘kejadian katastrofik atau yang amat sangat mengancam’ [5]

. Etiologi-etiologi lainnya adalah[5] :

 Ingatan terhadap trauma (individu mengalami kembali pengalaman trauma yang sudah lalu, seperti baru terjadi saat ini)

 Pengkondisian rasa takut (stimuli yang dialami sewaktu trauma dihubungkan degan rasa takut alami oleh individu)

 Interpretasi seseorang terhadap suatu kejadian trauma

 Dukungan sosial yang kurang dari orang-orang sekitar individu yang mengalami trauma

 Abnormalitas axis hipotalamik-pituitari-adrenal (kadar kortisol lebih rendah pada pasien PTSD disbanding orang normal)

 Faktor kerentanan pasien

PATOFISIOLOGI

Pemahaman mengenai patofisiologi yang mengatur berbagai jalur yang berhubungan dengan respon ekstrim terhadap stress masih kurang. Pemahaman yang ada dari patofisiologi PTSD didasarkan dari fungsi etiologis noradrenergic, serotonergic, cannabinoid endogen dan system opioid maupun axis hipotalamik-pituitary-adrenal.[6]

(4)

4 1. System noradrenergictransporter (NET) adalah target potensial untuk studi tentang patofisiologi PTSD oleh noradrenalin. NET adalah bagian dari Na+/Cl- neurotransmitter yang memiliki konsentrasi tinggi di locus coeruleus dan kadar yang tidak terlalu tinggi di regio kortikal termasuk korteks frontal, hipokampus, amygdala, thalamus dan korteks cerebellar. NET memiliki hubungan dengan pengaturan dari reuptake dopamine, sehingga disregulasi NET dapat berhubungan dengan gangguan mood dan stress. Bukti preklnik telah mendemosntrasikan bahwa pemaparan stress secara kronik akan menyebabkan disregulasi system adrenoreseptor dan menurunkan kadar NET di lokus coeuruleus. Berkurangnya kadar NET pada pasien PTSD akan menyebabkan gejala depresi dan cemas yang menggambarkan PTSD.[6]

2. Reseptor serotonergic (5-HT1A, 5-HT1B)

System reseptor 5-HT terlibat dalam proses kognisi, emosional dan pengaturan kebiasaan. Percobaan pada hewan dan manusia telah menunjukkan bahwa system reseptor 5-HT terlibat dalam patofisiologi dari beberapa gangguan psikiatrik, termasuk depresi, alkoholisme dan PTSD. Pengaturan rasa takut dan respon terhadap ancaman telah dihubungkan aktivasi reseptor 5-HT di amygdala. Agonis 5-HT daapt secara selektif menginduksi serangan kecemasan dan ingatan masa lalu sehubungan dengan trauma di penderita PTSD.[6]

3. Reseptor Endokannabinoid dan cannabinoid CB1

Berbagai bukti telah menyatakan bahwa cannabinoid endogen, anandamid dan 2-arachidonolyflycerol yang banyak berikatan dengan reseptor cannabinoid (CB1 dan CB2), memiliki peranan penting dalam perkembangandan fungsi dari sirkuit PTSD, secara spesifik di respon terhadap stress.[6]

4. Axis hipotalamik-pituitary-adrenal (axis HPA) dan corticotropin releasing factor (CRF)

System endogenous cannabinoid dipercaya berhubungan kuat dengan axis HPA, neurosirkuit lain yang terlibat dalam respon stress. Axis HPA adalh

(5)

5 system neuroendokrin untuk respon stress yang menghubungkan system saraf pusat ke system endokrin. Axis HPA membantu adapatasi terhadap stress dan mengatur homeostasis tubuh setelah terpapar suatu kejadian yang menantang, tapi juga vital untuk membantu fungsi-fungsi dasar tubuh. CRF adalah molekul signal neuron yang diproduksi oleh sel di hipotalamus untuk merespon terhadap stress fisik maupun psikologik. Peningkatan CRF di hipotalamus mengakibatkan aktivasi axis HPA yang kemudian meningkatkan kadar kortisol. Dipercaya bahwa peningkatan CRF pasca trauma dapat memunculkan ingtan traumatic dan mempertahankan gejala cemas pada pasien.[6]

MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang paling khas dai PTSD adalah gejala re-experiencing (mengalami kembali). Penderita secara involunter mengalami kembali aspek dari kejadian trauma secara jelas dan menyengsarakan. Ini termasuk kilas balik dimana pasien bertindak atau merasa sekan-akan kejadian tersebut sedang terjadi; mimpi buruk; dan khayalan-khayalan yang berulang dan menyengsarakan atau impresi sensori lainnya dari kejadian tersebut.

Menghindar dari hal-hal yang mengingatkannya terhadap trauma merupakan salah satu gejala inti dari PTSD. Pengingat-pengingat ini termasuk orang lain, situasi atau kondisi yang menyerupai atau berhubungan dengan kejadian tersebut. Penderita PTSD seringkali mendorong keluar ingatan terhadap kejadian tersebut dari pikirannya dan menghindari untuk memikirkan atau membicarakn mengenai hal tersebut secara detail. Sebalikya, banyak merenungkan mengapa kejadian tersebut terjadi, cara-cara mencegahnya atau bagaimana mereka membalas dendam.

Gejala-gejala yang berlebihan seperti kewaspadaan yang sangat berlebih terhadap ancaman, respon kaget yang berlebihan, gelisah, kesulitan berkonsentrasi dan gangguan tidur.

Penderita PTSD juga menggambarkan gejala-gejala seperti kelumpuhan emosional. Ini termasuk ketidakmampuan untuk memiliki perasaan, merasa

(6)

6 terpisah dari orang lain, dan amnesia terhadap bagian-bagian penting dari kejadian traumanya.

Banyak penderita PTSD mengalami gejala-gejala lainnya, seperti depresi, kecemasan menyeluruh, rasa malu, bersalah dan penurunan libido, yang mana berakibat terhadap kesengsaraan dan mempengaruhi fungsi hidup pasien.

(7)

7  Gambaran klinis dibawah ini adalah esensial untuk diagnosis pasti :

a) Pasien harus telah terpapar suatu kejadian atau situasi yang membuat stress (kejadian yang cepat ataupun lama) yang mana sangat mengancam atau bersifat katastrofik, yang mana sangat mungkin menjadi penyebab distress berat hamper ke semua orang.

b) Harus ada ingatan yang menetap atau seperti mengalami kembali stressor dalam bentuk kilas balik, ingatan yang jelas, atau mimpi yang berulang-ulang, atau mengalami distress saat dipaparkan ke situasi yang menyerupai atau berhubungan dengan stressor.

c) Pasien harus menunjukkan gejala pengelakan/menghindar dari situasi yang menyerupai atau berhubungan dengan stressor, yang mana tidak muncul sebelum pemaparan terhadap stressor.

d) Salah satu dari kedua hal ini haruslah ada :

- ketidakmampuan untuk mengingat kembali, baik secara parsial atau menyeluruh, beberapa aspek penting saat terjadinya stressor.

- gejala yang persisten dari peningkatan sensitivittas psikologik (yang tidak ada sebelum pemaparan terhadap stressor), yang ditunjukkan minimal 2 dari hal-hal berikut:

1. kesulitan untuk tidur

2. rasa gelisah atau kemarahan yang meledak-ledak 3. kesulitan berkonsentrasi

4. kewaspadaan berlebihan 5. respon kaget yang berlebihan

e) Kriteria b, c dan d harus ada dalam kurun waktu 6 bulan mulai dari kejadian traumatic atau akhir dari kejadian tersebut. (untuk beberapa alasan, onset yang lebih dari 6 bulan bias termasuk, namun benar-benar harus jelas sesuai dengan kriteria diagnosis)

Diagnosis menurut DSM-IV lebih menekankan pada reaksi menghindar dan mati rasa emosional. Diagnosis DSM-IV memerlukan kombinasi berbagai gejala berupa minimal 1 gejala ‘re-experiencing’, 3 gejala menghindar dan mati rasa emosional, dan dua gejala reaksi berlebihan.

DIAGNOSIS

(8)

8 DIAGNOSIS BANDING[5]

Gangguan lain akibat adanya trauma dapat berupa :

 Depresi (lebih dominan dalam mood yang rendah, kurang berenergi, kurang bergairah/bersemangat, berpikir untuk bunuh diri)

 Fobia spesifik ( rasa takut dan penghindaran yang terbatas pada hal-hal khusus)

 Gangguan penyesuaian diri (stressor tidak terlalu parah, mood depresi, cemas, perasaan tidak mampu untuk beradaptasi, merencanakan masa depan atau melanjutkan situasi sekarang, dan juga beberapa disabilitas dalam melakukan berbagai kegiatan harian)

 Gangguan disosiatif

 Gangguan kepribadian akibat kejadian katastrofik

 Kerusakan neurologis yang didapatkan saat kejadian traumatik

PENATALAKSANAAN

Terdapat 2 jenis pentalaksanaan untuk orang-prang yang mengalami PTSD, yaitu penatalaksanaan psikologik dan penatalaksanaan farmakologik. Namun untuk sekarang ini, tidak terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa intervensi farmakologik dapat mencegah PTSD. Karena itu, pemberian secara rutin tidak disarankan. Guideline NICE (The United Kingdom’s National Institute of Clinical and Health Excellence’s) menganjurkan bahwa penatalaksanaan farmakologik hanya dapat diberikan untuk mengatasi gejala fase akut, untuk contohnya, jika seseorang memiliki gejala insomnia.[7]

Terapi Psikologik

Terapi psikologik terdiri atas: [5] 1. Terapi kognitif-perilaku

Terapi ini mengajar pasien dan membuat pasien paham bahwa emosi, kepercayaan dan perilaku seseorang itu dapat diubah. Terapi ini menggunakan berbagai teknik yang bertujuan untuk mengubah

(9)

9 keadaan distress emosional yang dialami pasien dengan mengubah pola pikir, kepercayaan, dan/atau perilaku. Pendekatan ini terbukti efektif untuk banyak gangguan kecemasan.

2. Eye Movement Desensitisation and reprocessing (EMDR)

EMDR dikembangkan oleh Shapiro (1989). Hal ini didasarkan pada teori yang menyatakan bahwa gangguan disfungsional, emosi dan sensasi fisik yang dialami oleh korban trauma adalah karena penyimpanan yang tidak tepat dari peristiwa traumatis dalam memori implisit. Prosedur EMDR berdasar pada stimulasi terhadap kemampuan pengolahan informasi pasien untuk membantu mengintegrasikan peristiwa yang ditargetkan sebagai memori kontextual adaptif.

3. Terapi lainnya

Terapi-terapi lain dapat berupa terapi suportif atau terapi konseling yang berpusat pada pasien untuk mengeksplorasi pikiran, perasaan dan tingkah laku mereka untuk mencapai pengertian diri yang lebih jelas; mengambil keputusan-keputusan yang tepat; dan menyesuaikan diri dengan kehidupan pasca trauma.

Terapi yang lainnya lagi berupa hipnoterapi untuk membantu pasien mengontrol emosi akibat trauma yang mengakibakan penderitaan pada pasien,mengontrol gejala-gejala curiga berlebihan dan gejala-gejala gelisah yang dialami oleh pasien.

Terapi Farmakologik[2] [8] [3] Obat-obatan PTSD

1. Antidepresan SSRI (Sertraline, paroxetine, fluoxetine)

2. Antidepresan terbaru lainnya atau antridepresan trisiklik (amytriptillin, fluoxetine, imipripaine

(10)

10 Selective serotonin reuptake inhibitor (SSRI) dapat mengurangi atau menghilangkan gejala klinis dari 3 gejala PTSD (reexperiencing, menghindari / mati rasa, dan hyperarousal). Antidepresan lain termasuk antidepresan trisiklik, serotonin dan norepinefrin reuptake inhibitor (venlafaxine dan duloxetine), dan inhibitor monoamine oxidase mungkin bermanfaat dalam mengobati pasien dengan PTSD.

Benzodiazepin dapat mengurangi kecemasan dan memperbaiki tidur di PTSD. Mereka mungkin tidak mengendalikan atau menghilangkan triad inti PTSD, namun. Keterbatasan utama kelas obat ini adalah bahwa subyek dengan PTSD yang rentan terhadap kecanduan dapat menyalahgunakan atau menjadi tergantung pada benzodiazepin. Juga, obat ini dapat mengganggu proses kognitif dari trauma yang diperlukan supaya intervensi psikoterapi menjadi sukses.

Obat-obatan psikotropika selain antidepresan dan agen anti ansietas mungkin diperlukan untuk menargetkan gejala dan tanda-tanda yang tersisa di PTSD . Generasi kedua (baru, atipikal) obat antipsikotik mungkin diperlukan untuk mengobati gejala tambahan menyerupai psikotik atau kecemasan yang sukar disembuhkan dengan agen lain. Agen generasi kedua ini meliputi clozapine, risperidone, olanzapine, quetiapine, ziprasidone, dan aripiprazole.

Saat penyakit tidak merespon terhadap pengobatan antidepresan, studi-studi yang lain telah menunjukkan adanya kentungan potensial dari dari obat-obatan anti-psikotik atipikal.

Tingkatkan dosis jika tidak ada respon, berhati-hati dengan efek samping obat. Jika efektif, diberikan selama 12 bulan fase inisial.

Menghentikan obat-obat antidepresan harus secara bertahap. Hanya digunakan sebagai terapi lini pertama jika terapi psikologik yang berpusat pada trauma tidak tersedia. Farmakoterapi harus selalu didukung oleh psikoterapi yang optimal.

(11)

11

DAFTAR PUSTAKA

1. Forneris, et al. Interventions to Prevent Post-Traumatic Stress Disorder. American Journal of Preventive Medicine. 2013;44(6):635– 650

2. Diagnostic and Statistial Manual for Mental Disorder, edition IV (DSM IV). American Psychiatric Association. Washington DC. 2000

3. Vieweg, et al. Posttraumatic Stress Disorder : Clinical Features, Pathophysiology and Treatment. The American Journal of Medicine . 2006 ; 119: 383-390

4. L. Sher. Recognizing Post Traumatic Stress Disorder. Q J Med. 2004; 97:1–5

5. Bisson, et al. Post Traumatic Stress Disorder. Gaskell and The British Psychological Society. Great Britain. 2005

6. Bailey, et al. Recent Progress In Understanding The Patophysiology of Post Traumatic Stress Disorder : Implication for Targeted Pharmacological Treatment. CNS Drugs. 2013 March ; 27(3): 221–232 7. Bisson, Jonathan I. Pharmacological Treatment To Prevent And Treat

Post-Traumatic Stress Disorder. Torture Vol. 18. 2008

8. Javier I, Paolo P, Negoita N, Francesco C. Post-Traumatic Stress Disorder: Evidence-Based Research For The Third Millennium. eCAM 2005;2(4)503–512.

9. Maslim R. Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ-III. Jakarta. 2003

Referensi

Dokumen terkait

penggunaan bahasa Jawa yang digunakan dalam khotbah Jumat oleh khatib.. Penelitian ini meng- ambil objek dari wacana lisan khotbah Jumat berbahasa |awa di Masjid Agi

Ferry Baso Rahim 1097 Indira Aisyah W 1098 Agustinus Tangyong 1099 Yosep Pantas..

- Bahwa, oleh karena beras Pengadaan Dalam Negeri (ADA DN) Tahun 2013 sudah mulai masuk ke dalam Gudang Bulog Baru (GBB) Singakerta II dan Gudang mulai penuh, tanpa pernah

(a) Tuan/ puan yang belum disahkan dalam perkhidmatan pada tarikh kuat kuasa pertukaran pelantikan akan ditawarkan matagaji tertinggi berhampiran dengan matagaji akhir

Penelitian yang dilakukan oleh penulis adalah bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai mekanisme dan pola penyelesaian yang telah dilakukan oleh Danamon Simpan Pinjam Solusi

Federal International Finance (FIFGROUP) Cabang Binjai untuk dapat mempertahankan nilai-nilai positif yang terkandung pada pengelolaan stres kerja dan konflik kerja

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa di Desa Sabangmawang, Kabupaten Natuna terdapat potensi energi listrik dari arus laut dengan estimasi

Pertemuan I siklus I ini dilaksanakan pada hari selasa tanggal 8 maret 2016 di kelas IV SD Negeri Kutowinangun 08 Kecamatan Tingkir Kota Salatiga dengan jumlah siswa