• Tidak ada hasil yang ditemukan

Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok Mendukung Swasembada Beras"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

65

Pendahuluan

Indonesia telah menyatakan komitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kela-paran, kekurangan gizi serta kemiskinan di dunia. Dalam Millenium Development Goals (MDGs) , ditegaskan untuk mengurangi angka kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan di dunia sampai setengahnya di tahun 2015. Keta -hanan pangan yang dibangun di Indonesia, disamping sebagai prasyarat untuk memenuhi hak azasi pangan masyarakat juga merupakan pilar bagi eksistensi dan kedaulatan suatu bangsa. (Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Pembangunan ketahanan pangan menuju ke-mandirian pangan diarahkan untuk menopang kekuatan ekonomi domestik sehingga mampu menyediakan pangan yang cukup secara

ber-kelanjutan bagi seluruh penduduk terutama dari produksi dalam negeri, dalam jumlah dan keragaman yang cukup, aman dan terjangkau dari waktu ke waktu.

Indonesia dalam pemenuhan konsum-si masyarakat menghadapi tantangan cukup besar karena jumlah penduduknya yang cu-kup besar. Pada tahun 2010 diperkirakan jum-lah penduduk Indonesia sekitar 235 juta jiwa dan terus bertambah dari tahun ke tahun. Penduduk yang besar ini akan berdampak tidak hanya pada aspek pendidikan, lapangan pekerjaan dan yang utama adalah pangan. Ka-rena pangan adalah kebutuhan dasar manusia yang dibutuhkan setiap hari. Sering terjadi gejolak politik karena dipicu oleh kelangkaan dan naiknya harga pangan. Oleh karena itu

Diversifikasi Konsumsi Pangan Pokok

Mendukung Swasembada Beras

Mewa Ariani

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Banten

Abstrak

Terkait dengan MDGs, Indonesia berkomitmen untuk melaksanakan aksi-aksi mengatasi kelaparan, kekurangan gizi serta kemiskinan. Disisi lain, upaya pemenuhan konsumsi pangan dihadaplan pada tantangan besar karena jumlah penduduk yang terus meningkat dan terjadinya pergeseran pola pangan pokok. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis sejauhmana pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pangan pokok di Indonesia. Data yang digunakan adalah data Survey Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) tahun 2002, 2005 dan 2008, yang dikumpulkan oleh BPS dan diolah oleh Departemen Pertanian serta dari instansi terkait lainnya. Data dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel-tabel. Hasil analisis menunjukkan bahwa: 1) Pola konsumsi pangan pokok di Indonesia cenderung pola pangan tunggal yaitu beras. Selain itu pola pangan pokok kedua, yang semula dari umbi-umbian dan jagung bergeser ke terigu dan produknya seperti mi instan, 2). Tingkat konsumsi beras langsung untuk rumahtangga masih tinggi yaitu 104,9 kg/kap/tahun. Untuk pangan pokok lainnya relatif kecil (jagung: 2,9 kg; terigu: 11,2 kg; ubikayu: 12,9 kg; ubijalar: 2,8 kg/ kap/tahun), 3) Dari segi diversifikasi pangan dalam konsep Pola Pangan Harapan (PPH), konsumsi beras perlu diturunkan, sebaliknya konsumsi jagung dan umbi-umbian ditingkatkan. Oleh karena itu, diversifikasi pangan termasuk pangan pokok yang telah dicanangkan oleh pemerintah diimple-mentasikan secara konsisten dan berkelanjutan oleh semua elemen masyarakat. Keberhasilan diversifikasi pangan pokok akan mengurangi konsumsi beras, dan pada gilirannya mempermudah pencapaian swasembada beras.

(2)

66

tidaklah mengherankan jika pangan bukan sekedar komoditas ekonomi tetapi juga men-jadi komoditas politik yang memiliki dimensi sosial yang luas (Sambutan Menko Pereko-nomian, 2005)

Produksi pangan memang mengalami peningkatan, antara lain ditunjukkan dengan peningkatan produksi padi pada kurun waktu 2004-2009 dari 54,1 ribu ton menjadi 63,8 juta ton tahun 2009 atau naik sebesar 5,83%. Pencapaian tersebut telah menjadikan Indo-nesia berswasembada beras (Kementerian Pertanian, 2010). Namun demikian tantangan peningkatan produksi pangan (khususnya pa-di) ke depan nampaknya masih mengalami kesulitan, karena berbagai faktor, diantara-nya : 1). Penurunan luas baku lahan sawah, 2) Penurunan kesuburan lahan, 3). Penurunan kualitas dan luas layanan sistem irigasi, 4). Lambannya adopsi teknologi petani, 5). Pe-ningkatan jumlah petani gurem, dan 7). Masih tingginya kehilangan hasil (Simatupang dan Maulana, 2006; Badan Litbang Pertanian, 2005; Dewan Ketahanan Pangan, 2006). Selain hal tersebut, adanya pengaruh perubahan iklim global antara lain berdampak pada menyebarnya serangan OPT, bergesernya pe-riode waktu musim kering dan basah, kerusa-kan lahan dan tanaman juga berpengaruh pada produksi pangan (Kementerian Perta-nian, 2010).

Disisi lain, pelaksanaan program di-versifikasi atau penganekaragaman pangan di Indonesia telah mempunyai dasar hukum yang kuat melalui UU Pangan No. 7 tahun 2006 tentang Pangan, PP No. 68 tahun 2002 tentang Ketahanan Pangan dan Perpres No. 22 tahun 2009 tentang Kebijakan Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan ber-basis Sumberdaya Lokal. Kementerian

Per-tanian yang dituangkan dalam Rencana Strategis 2010-2014 mencanangkan empat target utama diantaranya adalah 1) Penca-paian swasembada dan swasembada berke-lanjutan dan 2) Peningkatan diversifikasi pa-ngan (Kementerian Pertanian, 2009). Maka-lah ini bertujuan menganalisis sejauhmana pola diversifikasi dan tingkat konsumsi pa-ngan pokok di Indonesia.

Bahan dan Metode

Data yang digunakan bersumber dari Survey Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2002, 2005 dan 2008 yang dikumpul-kan oleh Badan Pusat Statistik dan diolah oleh Departemen Pertanian (Badan Ketahanan Pa-ngan, 2009). Pola konsumsi pangan pokok dianalisis berdasarkan pangsa energi dari masing-masing pangan (beras, jagung, terigu, ubikayu, ubijalar, sagu, dan umbi lainnya) terhadap total energi dari pangan tersebut. Selain itu juga digunakan data dan informasi terkait yang diperoleh dari berbagai instansi. Analisis dilakukan secara deskriptif kualitatif dengan menggunakan tabel-tabel.

Hasil dan Pembahasan

Pola Konsumsi Pangan Pokok

Selain beras, komoditas yang berperan sebagai pangan pokok adalah umbi-umbian, jagung, sagu dan pisang. Pola pangan pokok yang beragam ini sebetulnya sudah terjadi sejak dahulu, seperti sagu banyak dikonsumsi oleh masyarakat di Papua dan Maluku, serta jagung dikonsumsi oleh masyarakat di NTT. Namun akibat terlalu dominan dan intensifnya kebijakan pemerintah di bidang perberasan secara berkelanjutan, mulai dari industri hulu sampai industri hilir mengakibatkan

(3)

pergese-67

ran pangan pokok dari pangan lokal seperti jagung dan umbi-umbian ke pangan pokok nasional yaitu beras.

Hasil analisis dengan menggunakan data Susenas 1979 (Pusat Penelitian Agro Ekonomi, 1989) dan 1996 (Rachman, 2001) di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) me-nunjukkan bahwa : 1) semua propinsi di In-donesia pada tahun 1979 mempunyai pola pangan pokok utama beras. Pada tahun 1996, posisi tersebut masih tetap, kalaupun berubah

hanya terjadi pada pangan kedua yaitu antara jagung dan umbi-umbian; 2) pola tunggal beras pada tahun 1979 hanya terjadi di satu propinsi yaitu Kalsel, maka pada tahun 1996 terjadi di 8 propinsi yaitu Kalsel, Kalbar, Kalteng, Kaltim, NTB, Sulsel, Sulut dan Sulteng (Ariani, 2010). Ini berarti telah terjadi pening-katan preferensi dan jumlah konsumsi beras yang signifikan di propinsi tersebut, sehingga mampu menggeser peran jagung dan

umbi-Tabel 1. Distribusi Propinsi Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984, dan 1996

Keterangan : Propinsi dengan huruf tebal adalah propinsi KTI

Sumber: a. Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989.

Rachman, H.P.S. 2001

No. Pola Makanan Pokok 1979a 1984a 1996b

1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. Beras Beras+umbi-umbian Beras+jagung+umbi-umbian Beras+umbi-umbian+jagung Beras+umbi-umbian+sagu+ pisang Beras+sagu+umbi-umbian Beras+umbi-umbian+sagu+ jagung Beras + sagu Beras + jagung Beras+jagung+sagu+umbi-umbian Beras+sagu+umbi-umbian+ jagung

Kalsel, DKI, NAD, Sumbar

Kaltim, NTB, Kalteng, Kalbar, Bali, DIY, Lampung, Bengkulu, Jambi, Riau, Sumsel, Sumut, Jabar Sulut, NTT

Sulsel, Jateng, Jatim Maluku Papua - Sulteng - Sultra -

DKI, NAD, Sumbar, Bengkulu

Kaltim, Kalteng, Kalbar, Kalsel, Su-mut, Sumsel, Riau, Jambi, Jabar Sulut, Jateng, Tim-Tim, Jatim NTT, Lampung, DIY, Bali Maluku - Papua - NTB,Sulsel, Sultra - Sulteng NTB, Kalbar, Kalteng, Kalsel, Kaltim, Sulut, Sulteng, Sulsel - Sultra - - - - Maluku, Papua NTT, Tim-Tim - -

(4)

68

umbian sebagai pangan pokok seperti pada Tabel 1.

Hasil analisis terhadap data Susenas tahun 1990 (Ariani dan Ashari, 2003) sudah menunjukkan tingkat partisipasi konsumsi beras (persentase jumlah orang yang meng-konsumsi beras) di berbagai wilayah cukup tinggi hampir mencapai 100 persen, yang ber-arti hampir semua rumah tangga telah meng-konsumsi beras. Kecenderungan tersebut ti-dak hanya terjadi pada rumah tangga perko-taan tetapi juga rumah tangga di pedesaan, wa -laupun umumnya tingkat partisipasi di desa masih lebih rendah daripada di kota. Bila dili-hat antar pulau, maka tingkat partisipasi kon-sumsi beras tidak jauh berbeda antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, yaitu ham-pir 100 persen. Partisipasi konsumsi beras yang masih rendah hanya terjadi di pedesaan Maluku dan Papua (yang dikenal wilayah den-gan ekologi sagu yaitu sekitar 80 persen).

Dengan menggunakan data yang tera-khir yaitu Susenas 2002, 2005 dan 2008 menunjukkan semakin nyata bahwa pola kon-sumsi pangan pokok masyarakat di Indonesia telah bergeser dari pola beragam menjadi pola tunggal yaitu beras. Dari Tabel 2 terlihat bahwa pola konsumsi tunggal beras terjadi pada semua tingkatan pendapatan, dari masyarakat miskin sampai masyarakat kaya. Dominasi beras sebagai pola pangan pokok utama terus berlangsung di setiap propinsi dan tidak tergantikan oleh jenis pangan pokok lain. Perubahan jenis pangan pokok hanya terjadi pada komoditas bukan beras, seperti antara jagung dengan umbi dan sebaliknya.

Tingkat Konsumsi Pangan Pokok

Beras selain sumber energi dan pro-tein utama dalam pola konsumsi masyarakat, juga sebagai wage goods dan political goods.

Kel. Pengeluaran (Rp/kap/bl) 2002 2005 2008

< 60.000 B,J,UK B, T - 60.000-79.999 B,J,UK,T B,T - 80.000-99.999 B,T,UK B,T - 100.000-149.999 B,T B,T B,T,J 150.000-199.999 B,T B,T B,T 200.000-299.999 B,T B,T B,T 300.000-499.999 B,T B,T B,T 500.000 – 749.999 B,T B,T B,T 750.000 – 999.999 B,T B,T B,T > 1000.000 B,T B,T B,T

Tabel 2. Pola Konsumsi Pangan Pokok di Indonesia Menurut Kelompok Pengeluaran, Indonesia

Keterangan : B = Beras, T=Terigu (termasuk produknya), J=Jagung, UK=Ubikayu, Sumber : Susenas 2002, 2005, 2008 (diolah), BKP (2009)

(5)

69

Banyak kepentingan publik dihasilkan oleh beras, dan beras berperanan dalam ketahanan pangan, stabilitas ekonomi dan lapangan ker-ja. Sebagian besar masyarakat tetap menghen-daki adanya pasokan dan harga beras yang stabil, tersedia sepanjang waktu dan dengan harga yang terjangkau. Kebijakan pemerintah seperti penetapan harga dasar gabah dan pengendalian harga di tingkat konsumen mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi beras. Walaupun tingkat konsumi beras cende -rung menurun, namun volume konsumsi beras masih jauh lebih tinggi dibandingkan dengan umbi-umbian dan jagung (Tabel 3). Belum lagi adanya kebijakan program Raskin dalam bentuk beras, yang penyalurannya un-tuk seluruh masyarakat tanpa memperhatikan pola konsumsi pangan pokok setempat, jelas menyalahi konsep diversifikasi konsumsi

pa-ngan yang selama ini juga menjadi program pemerintah.

Sebagai gambaran konsumsi beras pada tahun 2008 mencapai 104,9 kg, yang berarti 36,2 kali lebih besar dibandingkan konsumsi jagung ( 2005 : 31,9 kali), daripada konsumsi jagung; 9,4 kali konsumsi terigu dan 8,1 kali konsumsi ubikayu dan 37,5 kali konsumsi ubijalar. Pada Tabel 3 terlihat bah-wa dari tahun ke tahun, konsumsi terigu dan turunannya, ini juga berarti devisa Indonesia semakin terkuras karena untuk mengimpor

gandum. Perbedaan yang sangat mencolok ini, mengakibatkan beras sebagai pola pangan po-kok utama di berbagai wilayah dan kelompok pendapatan. Konsumsi beras memang cende-rung menurun dari tahun ke tahun, namun tingkat konsumsi tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan beberapa negara lain-nya. Konsumsi beras di Jepang hanya sekitar 60 kg/kapita/tahun, sedangkan di Thailand, China dan India sekitar 100 kg/kapita/tahun. Di Laos dan Myanmar, konsumsi beras masih tinggi yaitu masing-masing sebesar 179 kg dan 190 kg/kapita/tahun (Pambudy,dkk; 2002).

Bukti empiris menunjukkan beras te-lah menjadi pangan pokok utama dan cen-derung tunggal di berbagai propinsi termasuk propinsi yang sebelumnya mempunyai pola pangan pokok sagu, jagung atau umbi-umbian.

Pangan lokal telah ditinggalkan oleh masyara-kat dan beralih ke pangan nasional berupa beras bahkan ke pangan internasional seperti mi instan. Beras memang mempunyai banyak kelebihan dibandingkan sumber karbohidrat lainnya diantaranya adalah mempunyai cita rasa yang lebih enak, lebih mudah diolah dan komposisi zat gizi lebih baik dibandingkan dengan pangan lokal lainnya.

Berkembangnya mi instan sebagai ma-kanan utama setelah beras didorong oleh ke-bijakan jaman orde baru yang Tabel 3. Perubahan Konsumsi Pangan Pokok (Kg/kapita/tahun)

Sumber : SUSENAS, dioleh Pusat PKP, Badan Ketahanan Pangan

Tahun Beras Jagung Terigu Ubikayu Ubijalar Sagu

2002 115,5 3,4 8,5 12,8 2,8 0,3

2005 105,2 3,3 8,4 15,0 4,0 0,5

(6)

70

emas”kan terigu selain beras. Adanya kebija-kan impor gandum untuk diproses menjadi tepung di dalam negeri yang berlangsung lama dan subsidi harga terigu oleh pemerintah, ma-ka harga terigu menjadi murah (50% lebih rendah dari harga internasional). Selain itu adanya kampanye yang intensif melalui ber-bagai jenis media seperti media elektronik,

product development yang diperluas dengan

harga yang bervariasi dan mudah diperoleh, turut mendorong peningkatan partisipasi konsumsi produk gandum terutama berupa mi dan roti. Banyaknya ragam jenis, bentuk dan cara masak komoditas mie, seperti mie basah, mie kuah, mie instant dan produk mie lainnya.

Banyak produk mie yang dengan cepat diolah, disajikan dan dikonsumsi dengan ke-masan yang bagus dan dengan variasi harga yang memungkinkan masyarakat untuk me-lakukan pilihan-pilihan produk mie sesuai dengan kemampuannya. Konsumen produk mie meliputi semua golongan, tidak hanya go-longan atas tetapi juga menengah dan bawah. Selain itu mie juga dengan mudah dijumpai di berbagai tempat, tidak hanya di swalayan tetapi juga di pasar tradisional atau warung kecil di pedesaan. Menurut Sawit (2003) di Indonesia, pada kelompok rendah dan mene-ngah, beralihnya pangan dari non terigu ke terigu atau produk olahannya begitu cepat dibandingkan di negara-negara Asia.

Percepatan Diversifikasi Pangan Pokok

Diversifikasi konsumsi pangan pokok tidak dimaksudkan untuk mengganti beras se-cara total tetapi mengubah pola konsumsi pangan masyarakat sehingga masyarakat akan mengkonsumsi lebih banyak jenis pangan dan lebih baik gizinya. Pangan yang dikonsumsi

akan beragam, bergizi dan berimbang. Di Indonesia terdapat pedoman untuk mengukur diversifikasi konsumsi pangan termasuk pa-ngan pokok yang dikenal depa-ngan Pola Papa-ngan Harapan (PPH). PPH yang diharapkan menca-pai angka 100, namun PPH penduduk Indone-sia sampai pada tahun 2008 baru sebesar 81,9. Pemerintah menetapkan melalui PP No. 22 tahun 2009, pada tahun 2015, PPH menca-pai 95, yang berarti setiap tahun harus me-ningkat sekitar 2,5. Dalam konsep PPH, setiap orang untuk setiap hari dianjurkan mengkon-sumsi pangan seperti berikut : a) Padi-padian : 275 gr, b) Umbi-umbian : 100 gr, c) Pangan hewani : 150 gr, d) Minyak+Lemak : 20 gr, e) Buah/biji berminyak ; 10 gr, f) Kacang-kaca-ngan : 35 gr, g) Gula : 30,0 gr dan h) Sayur + buah : 250 gr (Pusat Konsumsi dan Keamanan Pangan 2004 dalam Badan Ketahanan Pangan, 2009).

Ini berarti dalam setahun kebutuhan dari kelompok padi-padian yang terdiri beras, jagung dan terigu untuk konsumsi langsung penduduk sebesar 99 kg/kapita. Memper-hatikan data pada Tabel 3 dengan menjumlah konsumsi beras, jagung dan terigu untuk ta-hun 2008 mencapai 119 kg/kapita, yang ber-arti lebih besar dari seharusnya. Belum lagi bila dilihat proporsi dari ketiga jenis pangan tersebut yang sangat bisa pada beras. Upaya diversifikasi konsumsi pangan dari padi-pa-dian dapat dilakukan dengan mengurangi kon-sumsi beras dan meningkatkan konkon-sumsi pa-ngan dari komoditas jagung. Untuk terigu, ka-rena bahan baku gandum harus diimpor maka sebaiknya konsumsi terigu dan turunannya dikurangi. Sementara konsumsi dari umbi-umbian seharusnya sebesar 36 kg/kapita/ta-hun yang berasal dari ubikayu, ubijalar, sagu dan umbi-umbi lainnya. Namun kenyataannya

(7)

71

baru 16,2 kg/kapita/tahun yang berarti masih kurang dari setengahnya.

Upaya pencapaian diversifikasi pangan sebetulnya sudah dirintis sejak awal dasawar-sa 60-an, dimana pemerintah telah menyadari pentingnya dilakukan diversifikasi tersebut. Saat itu pemerintah mulai menganjurkan kon-sumsi bahan-bahan pangan pokok selain be-ras. Yang menonjol adalah anjuran untuk mengkombinasikan beras dengan jagung, se-hingga pernah populer istilah”beras-jagung”. Ada dua arti dari istilah itu, yaitu 1) campuran beras dengan jagung, dan 2) penggantian kon-sumsi beras pada waktu-waktu tertentu dengan jagung. Dan pada tahun-tahun ber-ikutnya pemerintah melalui Departemen Per-tanian dan departemen yang lain melaksa-nakan program tersebut, namun memang hasilnya belum sesuai yang diharapkan.

Kebijakan terakhir, pemerintah mene-tapkan kebijakan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasisi sumberdaya lokal dengan dua strategi yaitu : 1) Internalisasi pe-nganekeragaman konsumi pangan dan Pe-ngembangan Bisnis dan Industri Pangan Lokal. Proses internalisasi dilakukan melalui dua cara : 1) Advokasi, kampanye dan sosia-lisasi tentang konsumsi pangan yang beragam, bergizi seimbang dan aman pada berbagai tingkatan kepada aparat dan masyarakat, dan 2) Pendidikan konsumsi pangan melalui pen-didikan formal dan non formal. Sementara, pengembangan bisnis dan industri pangan lokal dilakukan melalui: 1) Fasilitasi kepada UMKM untuk pengembangan bisnis pangan segar, industri bahan baku, industri pangan olahan dan pangan siap saji yang aman ber-basis sumberdaya lokal dan 2) Advokasi, sosi-alisasi dan penerapan standar mutu dan

kea-manan pangan bagi pelaku usaha pangan terutama usaha skala rumahtangga dan UMKM.

Apabila mengkaji diversifikasi kon-sumsi pangan pokok maka perlu kembali ke masalah desentralisasi pangan yaitu bahan pangan lokal. Meskipun konsumsi beras cen-derung menurun namun kontribusinya terha-dap total energi masih diatas 60 persen se-dangkan umbi-umbian baru menyumbang energi sekitar 3 persen. Aneka umbi-umbian mempunyai prospek yang cukup luas untuk dikembangkan sebagai substitusi beras dan untuk diolah menjadi makanan bergengsi. Kegiatan ini memerlukan dukungan pengem-bangan teknologi proses dan pengolahan serta strategi pemasaran yang baik untuk

mengu-bah image pangan inferior menjadi pangan

normal bahkan superior.

Seringkali pemerintah hanya meng-anjurkan masyarakat untuk melakukan diver-sifikasi konsumsi pangan dan bersifat hanya menyuruh tanpa didukung oleh ketersediaan bahannya yang dapat diperoleh secara mudah. Dalam memenuhi permintaan konsumen, sa-lah satu faktor yang sangat penting dalam mensukseskan program diversifikasi pangan adalah melaksanakan product development. Produk ini merupakan upaya menciptakan suatu produk baru yang memiliki sifat, antara lain sangat praktis, tersedia dalam segala ukuran, kalau digunakan tidak ada sisanya dan mudah diperoleh di mana saja. Dengan sema-kin sibuknya kehidupan setiap anggota rumah tangga dan tidak cukupnya waktu untuk me-masak makanan maka bentuk makanan yang siap olah dan siap santap merupakan pilihan yang terbaik.

(8)

72

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Pola konsumsi pangan pokok pendu-duk Indonesia mengalami pergeseran dari pola beragam berbasis sumberdaya lokal men-jadi pola beras dan terigu (termasuk turunan-nya). Akibatnya tingkat konsumsi beras masih diatas 100 kg/kapita/tahun, sebaliknya untuk pangan lokal seperti jagung hanya 2,9 kg dan umbi-umbian 12 kg/kapita/tahun. Diversifi-kasi pangan pokok masih belum sesuai dengan pola pangan ideal yang tertuang dalam PPH. Konsumsi dari padi-padian diatas yang dian-jurkan, sebaliknya untuk umbi-umbian masih lebih kecil dari yang seharusnya.

Pemerintah telah menetapkan kebija-kan percepatan diversifikasi konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal. Belajar dari penga -laman pelaksanaan diversifikasi konsumsi pangan selama ini, maka pelaksanaan kebija-kan tersebut harus dijadikebija-kan sebagai gerakebija-kan massa, bukan lagi sekedar program pemerin-tah, sehingga semua lapisan masyarakat baik di pusat maupun di daerah harus berparti-sipasi dan bertanggung jawab untuk mewu-judkannya. Selain itu perlu dukungan yang kuat dan konsisten dari pemerintah daerah dan DPRD untuk melaksanakan kebijakan tersebut.

Daftar Pustaka

Ariani, M dan Ashari. 2003. Arah, Kendala dan Pentingnya Diversifikasi Konsumsi Pangan di Indonesia. Forum Agro Ekonomi. Vol. 21, No. 2. Desember. Bogor.

Ariani,M . 2004. Dinamika Konsumsi Beras Rumahtangga dan Kaitannya dengan Diversifikasi Konsumsi Pangan. Dalam Ekonomi Padi dan Beras Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian.

Badan Penelitian dan Pengembangan Perta-nian. 2005. Prospek dan Arah Pengem-bangan Agribisnis Padi. Departemen Pertanian.

Departemen Pertanian. 2001. Kebijakan Umum Pemantapan Ketahanan Pangan Nasional. BBKP. Deptan. Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan. 2006. Kebijakan

Umum Ketahanan Pangan 2006-2009. Jakarta.

Kementerian Pertanian. 2009. Rencana Strate-gis Kementerian Pertanian Tahun 2010-2014. Jakarta

Kementerian Pertanian. 2010. Kinerja Pemba-ngunan Sektor Pertanian 2009. Jakarta Pusat Penelitian Agro Ekonomi. 1989. Pola Konsumsi Pangan, Proporsi dan Ciri Rumah Tangga Dengan Konsumsi Energi Dibawah Standar Kebutuhan. Kerjasama Direktorat Bina Gizi Masya-rakat, Depkes. dengan PAE, Deptan. Bogor.

Pambudy,R; T.E.Hari Basuki dan Mardianto,S. 2002. Resume Pertemuan Kebijakan Perberasan Asia. Hasil Pertemuan Re-gional di Bangkok, Thailand. Oktober. Sekretariat Dewan Ketahanan Pangan. Jakarta.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No-mor 68 Tahun 2002 tentang Ketaha-nan Pangan. Departemen Pertanian. Jakarta.

Peraturan Presiden Republik Indonesia. No. 22 Tahun 2009 tentang Kebijakan Per-cepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan Berbasis Sumberdaya Lokal. Jakarta.

Rachman, H.P.S. 2001. Kajian Pola Konsumsi dan Permintaan Pangan di Kawasan Timur Indonesia. Disertasi. Program Pascasarjana, IPB. Bogor.

Sawit, M.H. 2003. Kebijakan gandum/terigu: harus mampu menumbuhkembangkan industri pangan dalam negeri. Analisis Kebijakan Pertanian, Vol. 1 (2): 100-109. Pusat Penelitian dan Pengem-bangan Pertanian. Bogor.

(9)

73

Statistics Division. Millenium Development Goal Indicators Database. 30 July 2005. http://millennium indicators.un.org Sambutan Menko Bidang Perekonomian.

Ra-pat Koordinasi Evaluasi Inpres 2/2005 dan Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan Bidang Pangan. 20 Juli 2005. Jakarta

Simatupang, P. dan M. Maulana. 2006. Prospek Penawaran dan Permintaan Pangan Utama : Analisis Masalah, Kendala dan Opsi Kebijakan Revitalisasi Produksi. Seminar Hari Pangan Sedunia XXVI. Jakarta, 13 November.

Gambar

Tabel 1.   Distribusi Propinsi  Menurut Pola Konsumsi Makanan Pokok Tahun 1979, 1984, dan  1996
Tabel 2.  Pola Konsumsi Pangan Pokok  di Indonesia Menurut                      Kelompok Pengeluaran, Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Pada tatarn praktek, sejumlah diplomasi yang telah dilaksanakan banyak terkait dengan upaya mengurai konflik baik intra-agama islam (antar sunni- syiah), konflik

〔商法 四〇一〕経営が悪化した会社の資金捻出のため売れ残った販 売用不動産を時価より高額に購入したことにつき取締役の会社に対

Adapun saran-saran yang dapat diberikan sehubungan dengan penelitian yang telah dilakukan adalah sebagai berikut: 1.Penelitian berikutnya diharapkan menambah

Berdasarkan hasil pengamatan, diketahui bahwa empat isolat dapat memetabolisme fosfat yang terdapat dalam media Pikovskaya dan dua isolat dapat menyerap merah

Diterima 15 Januari 2020 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penghindaran pajak, net working capital, leverage, ukuran perusahaan, dan ukuran dewan

Seperti contoh daya dukung untuk populasi manusia pada hakekatnya adalah jumlah individu dalam keadaan sejahtera yang dapat didukung oleh suatu satuan sumberdaya dan

Klasifikasi konsetrasi spasial industri kecil dan kerajinan rumah berdasarkan jumlah unit usaha pada tingkat kecamatan di Kabupaten Tuban tahun 2009 dan tahun 2012.. ………

Sesuai dengan SKAKK kompetensi guru pembimbing meliputi (1) Dapat menguasai konsep dan praksis asessmen untuk memahami kondisi, kebutuhan dan masalah konseli