• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teknik Pengelolaan Gulma Padi Sawah Dalam Pengendalian Tungro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Teknik Pengelolaan Gulma Padi Sawah Dalam Pengendalian Tungro"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Teknik Pengelolaan Gulma Padi Sawah Dalam Pengendalian Tungro

Wasis Senoaji1 dan R. Heru Praptana2

1 Loka Penelitian Penyakit Tungro

2 Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Abstract

Tungro is one of the important disease on rice are still a problem in achieving productivity. to pressure the distribution and spread of virus tungro and green leafhoppers need to early control is to eradicate the inoculum sources such as volunteer and weeds as alternative hosts. Needed some techniques for managing rice weeds and volunteer potential as a source of inoculum to early control of tungro disease. The goal of this research is to get a major weed and volunteer managing techniques what effective in reducing of tungro incidence. The study was conducted in an experimental field of Tungro Disease Research Station, Lanrang and farmers' fields during the rainy season and the dry season of 2014. The experimental design is used randomized Block complete include 8 treatment and 4 replications. The result: 1. eradication of weeds at tillage before seedlings, followed by eradication of both mechanical and herbicide application after planting, could to press the green leafhopper populations of migrants in the Seedling and planting to minimize transmission of the virus Tungro; 2. eradication of weeds and volunteer synchronized with the pattern of green leafhopper population dynamics, effective in controlling the disease early tungro; 3. Weeds major potential as a source of inoculum were found in the field, include: Cyperus rotundus, C. iria, Fimbristylis miliacea, and E. colona need to be monitored, because the presence of high dominance in the field; 4. Application herbicide to eradicate the major weeds and volunteer is needed attention to procedures application. its to reduce the toxic effects on plants and the effectiveness of weed eradication.

Keywords: tungro virus, green leafhopper, weed, eradication. Abstrak

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada komoditas padi yang masih menjadi kendala dalam pencapaian produktivitas. Upaya menekan perkembangan dan penyebaran virus tungro dan wereng hijau perlu dilakukan secara dini yaitu dengan eradikasi sumber inokulum virus tungro diantaranya ratun dan gulma sebagai inang alternatifnya. diperlukan beberapa teknik pengelolaan gulma-gulma padi sawah dan ratun berpotensi sebagai sumber inokulum dalam pengendalian dini penyakit tungro. Maka tujuan penelitian ini adalah mendapatkan teknik pengelolaan gulma utama dan ratun yang efektif dalam mengurangi insidensi tungro. Penelitian dilakukan di kebun percobaan Loka Penelitian Penyakit Tungro Lanrang dan lahan petani di luar KP pada musim hujan dan musim kemarau 2014. Rancangan acak kelompok lengkap digunakan meliputi 8 perlakuan eradikasi dan 4 ulangan. Hasilnya: 1. Eradikasi gulma bersamaan dengan olah lahan sebelum semai diikuti dengan eradikasi setelah tanam baik secara mekanis maupun aplikasi herbisida, cenderung menekan populasi wereng hijau migran di persemaian dan pertanaman guna meminimalisir penularan virus tungro; 2. Eradikasi gulma dan ratun yang disinkronkan dengan pola dinamika populasi wereng hijau, efektif dalam pengendalian dini penyakit tungro; 3. Gulma utama berpotensi sebagai sumber inokulum yang ditemukan di lapangan yaitu: Cyperus rotundus, Cyperus iria, Fimbristylis miliacea, dan Echinochloa colona perlu dimonitoring, karena dominansi keberadaan yang tinggi di lapangan; 4. Eradikasi gulma utama dan ratun dengan aplikasi herbisida perlu memperhatikan prosedur aplikasi guna mengurangi efek toksik pada tanaman dan efektifitas eradikasi gulma.

(2)

PENDAHULUAN

Gulma merupakan salah satu kendala dalam budidaya padi. Keberadaan gulma di pertanaman apabila tidak dikendalikan dapat mengakibatkan kehilangan hasil padi hingga 74%. Akibat keberadaan gulma-gulma dipertanaman yang berkompetisi dengan tanaman utama dalam hal serapan nutrisi, diperkirakan bahwa infestasi sekitar 35 malai gulma per m2 menyebabkan kehilangan hasil sekitar 1 ton per ha (Chauhan, 2013; Antralina, 2012). Selain mekanisme kompetisi nutrisi, beberapa jenis gulma dapat menjadi inang alternatif bagi hama, musuh alami maupun penyakit.

Beberapa arthropoda yang berperan sebagai hama biasa melakukan peletakan telur, bahkan berkembang dengan baik hingga fase larva dan nimfa masih berada pada inang alternatifnya (Showler et al. 2011). Demikian halnya dengan arthropoda yang berperan sebagai musuh alami juga memanfaatkan gulma-gulma tertentu sebagai inang alternatif di ekosistem padi sawah. Gulma-gulma diantaranya Monochoria vaginalis, Cyperus rotundus, C. iria, Echinochloa colonum, E. crusgalli, Eleusine indica, Fimbristylis miliacea, Imperata cylindrica, Limnocharis flava sering dimanfaatkan sebagai tempat bertelur (Karindah et al. 2011), bahkan Leersia hexandra menjadi tempat berkembang yang baik bagi musuh alami dengan indikasi tingginya populasi dan keragaman musuh alami (Masfiyah et al. 2014). Kecenderungan populasi hama ditemukan lebih tinggi pada lahan-lahan dengan keberadaan gulma-gulma tertentu yang tumbuh bersamaan dengan tanaman utama dibanding dengan lahan yang bersih dari gulma (Srinivasan et al. 2013). Interaksi gulma sebagai inang alternatif bagi hama juga berkorelasi dengan keberadaan patogen yang dapat berkembang dalam inang alternatif (Smith et al. 2012; Khan et al. 1991).

Beberapa patogen yang disebabkan oleh virus, dalam menginfeksi inangnya dibantu oleh vektor. Serangkaian mekanisme terkait penularan, pencarian inang (sebelum hinggap), penetrasi alat mulut vektor, dan kompatibel virus-vektor terjadi terhadap vektor dan virus (Foreres and Moreno, 2009). Virus tungro hanya dapat ditularkan oleh wereng hijau secara semipersisten dan terjadi dalam suatu interaksi yang sangat kompleks dalam proses penularannya. Penularan virus tungro dapat terjadi apabila vektor telah memperoleh virus dari tanaman terinfeksi, kemudian berpindah dan menghisap tanaman sehat tanpa periode laten (Calleja 2010). Telah diinventarisasi terhadap gulma-gulma padi sawah yang dapat ditulari maupun menularkan virus tungro pada tanaman padi. Eleusine indica, Echinochloa crusgallie, E. glabrescens, E. colona, Leptochloa chinensis, Leersia hexandra, Panicum repens, Cyperus

(3)

rotundus mampu menularkan virus masing-masing, RTBV (rice tungro bacilliform virus) dan RTSV (rice tungro spherical virus), maupun keduanya (Khan, 1991).

Tungro merupakan salah satu penyakit penting pada komoditas padi yang masih menjadi kendala dalam pencapaian produktivitas. Kehilangan hasil akibat penularan tungro dapat bervariasi 5-70%, tergantung intensitas penularan, fluktuasi populasi vektor, dan fase tanaman terinfeksi. Di Indonesia, luas serangan akibat tungro berturut-turut dalam 10 musim tanam pada MT 2009/10 hingga MT 2014 rata-rata mencapai 4418 Ha yang tersebar di 33 Provinsi. Pada MT 2014/15 dan MT 2015, ada kecenderungan terjadi penurunan luasan serangan, masing-masing sebesar 3575 Ha dan 2744 Ha (Gabriel et al. 2015).

Upaya menekan perkembangan dan penyebaran virus tungro dan wereng hijau perlu dilakukan secara dini yaitu dengan eradikasi sumber inokulum virus tungro diantaranya ratun dan gulma sebagai inang alternatifnya. Gulma-gulma utama yang menjadi inang virus tungro harus dipantau keberadaannya sejak awal pengolahan maupun disekitar areal pertanaman. Eradikasi ratun terinfeksi dan gulma disekitar lahan akan mengeleminasi keberadaan virus tungro dan menghilangkan tempat bertahan hidup vektor setelah tidak tersedia pertanaman padi (Praptana dan Yasin, 2008). Eradikasi gulma-gulma utama dan ratun tanaman padi yang terinfeksi tungro sebelum atau bersamaan pengolahan sebelum dilakukan penyemaian akan meminimalisir ketersediaan sumber inokulum dan menekan terjadinya infeksi virus tungro pada awal vegetatif. Pemantauan ratun dan gulma utama inang virus tungro perlu disinkronkan dengan pemantauan keberadaan dan dominasi populasi wereng hijau. Walaupun kepadatan populasi wereng hijau rendah, namun akan terjadi penularan tungro jika tersedia sumber inokulum (Widiarta, 2005).

Berbagai cara pengendalian gulma telah dilakukan baik secara mekanis maupun penggunaan herbisida. Pengendalian gulma secara mekanis biasanya dilakukan bersamaan dengan pengolahan lahan, dapat memperlambat penumpukan populasi gulma yang akan muncul (Chauhan and Johnson, 2009), diikuti pada saat pertumbuhan fase vegetatif. Sedangkan pertimbangan penggunaan herbisida didorong oleh faktor rendahnya ketersediaan air dan keterbatasan tenaga kerja (Chauhan et al. 2015). Oleh karena itu, diperlukan beberapa teknik pengelolaan gulma-gulma padi sawah dan ratun berpotensi sebagai sumber inokulum dalam pengendalian dini penyakit tungro. Maka tujuan penelitian ini adalah mendapatkan teknik pengelolaan gulma utama dan ratun yang efektif dalam mengurangi insidensi tungro.

(4)

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di kebun percobaan (KP) Loka Penelitian Penyakit Tungro Lanrang dan lahan petani di luar KP pada musim hujan (MH) dan musim kemarau (MK) 2014.Bahan tanaman yang digunakan adalah varietas Ciherang. Rancangan acak kelompok lengkap digunakan dalam penelitian yang meliputi 8 perlakuan dan 4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah: A) eradikasi gulma utama dan ratun secara mekanis bersamaan dengan pengolahan lahan sebelum tanam semai ; B) eradikasi gulma utama dan ratun dengan herbisida sebelum pengolahan lahan dan semai; C) eradikasi gulma utama dan ratun secara mekanis bersamaan dengan pengolahan lahan setelah semai; D) eradikasi gulma utama dan ratun dengan herbisida setelah pengolahan lahan dan semai (herbisida pra tumbuh); E) eradikasi gulma utama secara mekanis setelah tanam ; F) eradikasi gulma utama setelah tanam (herbisida pasca tumbuh); G) eradikasi gulma utama dan ratun secara mekanis sebelum pengolahan lahan dan semai, setelah semai bersamaan dengan pengolahan lahan dan setelah tanam; dan K) tanpa perlakuan eradikasi gulma (Gambar 1). Setiap ulangan berupa petak berukuran 4m x3m dengan jarak antar petak 1m. Bibit tanaman umur 21 hari ditanam pada masing-masing petak dengan jarak 25cm x 25cm. Pertanaman tidak diperlakukan pestisida apapun selain herbisida yang digunakan. Pemeliharaan pertanaman dilakukan dengan mengatur ketersediaan air dan pemupukan. Pemupukan dilakukan sebanyak 3 kali dengan dosis 50kg/ha Urea dan 200kg/ha ponska(pemupukan I), 150 kg/ha Urea dan 200kg/ha ponska (pemupukan II), serta 100/ha Urea dan 200kg/ha ponska (pemupukan III).

Sebagai data pembanding ditentukan 3 petak lahan petani yang sebelumnya telah disurvei keberadaan gulma utamanya dengan ukuran yang sama dalam penelitian tanpa memperdulikan perlakuan yang diterapkan oleh petani sejak persiapan sampai dengan di pertanaman tersebut (dicatat setiap kegiatan yang dilakukan petani dalam setiap tahap budidayanya). Parameter pengamatan meliputi kepadatan populasi wereng hijau dan persentase insidensi tungro. Pengamatan di pertanaman dilakukan pada 2,4,6,8 minggu setelah tanam (MST). Pengamatan populasi wereng hijau juga dilakukan pada singgang dan gulma di pematang sebelum dilakukan dilakukan eradikasi. Sebelum dilakukan eradikasi, dilakukan deteksi keberadaan virus tungro pada empat gulma utama dengan uji penularan buatan (metode test tube).

(5)

Gambar 1. Ilustrasi tahapan perlakuan eradikasi ratun dan gulma berpotensi sebagai sumber inokulum. Data jumlah wereng hijau, jumlah insidensi tungro, dan hasil kering sawah dianalisis variannya mengunakan uji F, Apabila menunjukkan berbeda nyata, dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT) pada taraf 5%.

(6)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh eradikasi gulma utama dan ratun terhadap populasi wereng hijau

Keberadaan wereng hijau pada MH dan MK menunjukkan kepadatan populasi yang rendah. Pada saat pra tanam, yaitu sebelum olah lahan dan masih terdapat keberadaan ratun dan gulma-gulma dipematang rata-rata kepadatan populasinya sebanyak 1 ekor/ petak. Demikian juga, kepadatan populasi setelah tanam pada 2 dan 4 MST masih menunjukkan tingkat kepadatan populasi rendah, terjadi pada keseluruhan perlakuan eradikasi yang tidak berbeda nyata dengan tanpa eradikasi (K), baik terjadi di MH maupun MK (Tabel 1.).

Tabel 1. Rata-rata Kepadatan populasi wereng hijau per petak* pada MH dan MK 2014 Perlakuan MH MK Pra tanam 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST Pra tanam 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST A 1.18a 1.21a 1.21a 1.87a 2.53ab 1.10a 1.21a 1.50a 3.91a 2.53a B 1.10a 1.31a 1.21a 1.49ab 2.42ab 1.10a 1.00a 1.61a 4.21a 3.51a C 1.18a 1.93a 1.46a 1.56ab 2.74a 1.00a 1.10a 1.50a 4.93a 3.27a K 1.31a 1.41a 1.41a 1.53ab 2.82a 1.00a 1.31a 1.10a 4.02a 3.22a D 1.18a 1.45a 1.36a 1.28b 2.32ab 1.00a 1.00a 1.56a 1.00b 1.21b E 1.20a 1.45a 1.21a 1.60ab 1.88b 1.00a 1.00a 1.10a 1.00b 1.29b F 1.10a 1.49a 1.10a 1.72ab 2.02ab 1.10a 1.21a 1.10a 1.10b 1.21b G 1.10a 1.49a 1.56a 1.78ab 2.38ab 1.00a 1.00a 1.00a 1.21b 1.21b BNT

0,05 tn tn tn 0,53 0,26 tn tn tn 3,51 2,09

KK 22,29 35,3 23,3 24,1 23,1 12,76 14,33 37,45 30,38 17,64 Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 ; *data ditranformasi akar kuadrat.

Kecenderungan kepadatan populasi yang stabil tetap rendah, disebabkan oleh pola dinamika populasi wereng hijau secara menyeluruh di wilayah tertentu. Hasil sinkronisasi rata-rata kepadatan populasi pada berbagai perlakuan eradikasi dan tahapan pertumbuhan tanaman terhadap pola dinamika populasi wereng hijau menunjukkan ada persamaan tingkat kepadatan populasi wereng hijau, dimana dinamika populasi wereng hijau pada pertanaman MH dan MK adalah posisi rendah (kurang dari 10 ekor/ 10 ayunan ganda pada petak 9m x 9m) (Gambar 2.). Ada kecenderungan populasi meningkat mulai 6 MST yang terjadi pada MH dan MK, meskipun peningkatan kepadatan populasi masih tergolong rendah. Kepadatan populasi wereng hijau umumnya rendah (kurang dari 1 ekor imago/rumpun) dan hanya meningkat sekali selama satu periode pertanaman padi, terutama pada pola tanam tidak serempak. Namun apabila ada sumber virus, penyebaran tungro akan berlangsung meskipun kepadatan vektor rendah (Widiarta, 2005).

(7)

Gambar 2. Grafik dinamika populasi wereng hijau pada November 2013 - Desember 2014 di KP. Lolittungro, Lanrang disinkronkan dengan waktu tanam pada petak berbagai perlakuan eradikasi; 1. semai, 2. tanam, 3. 2 MST, 4. 4 MST, 5. 6 MST, 6. 8 MST.

Kelompok perlakuan eradikasi gulma dan ratun berpengaruh nyata terhadap populasi wereng hijau di MH dan MK yang tampak pada 8 MST. Eradikasi gulma utama dan ratun secara mekanis bersamaan dengan pengolahan lahan setelah semai (C) tidak berbeda nyata dengan perlakuan tanpa eradikasi (K) pada MH. Namun, kepadatan populasi pada eradikasi sebelum semai (A) dan (B) cenderung lebih rendah dibanding tanpa eradikasi (K). Hal ini menunjukkan bahwa lahan yang bersih atau perlakuan eradikasi gulma dan ratun sebelum semai baik dilakukan secara mekanis maupun penggunaan herbisida dapat menghindari pembentukan populasi awal, sehingga menunda peletakan telur oleh imago pada stadia semai. Di daerah dengan pola tanam serempak, waktu hambur benih yang tepat merupakan strategi awal untuk menghindari infeksi tungro di persemaian. Hambur benih/ semai sebelum terjadi peningkatan populasi vektor akan mengurangi terjadinya infeksi virus di persemaian (Praptana dan Yasin, 2008). Penggunaan alternatif budidaya, yaitu dengan sistem Tabela. lahan dibersihkan dan diratakan terlebih dahulu sebelum benih ditabur. Dengan demikan, inokulum tungro telah berkurang pada awal pertumbuhan tanaman. sistem tabela akan lebih efektif mengurangi penularan tungro bila dilakukan serempak minimal 20 ha (Muhsin dan Widiarta, 2009).

Pengaruh eradikasi gulma dan ratun terhadap populasi wereng hijau pada MK terjadi pola yang berbeda dibandingkan pada MH. Populasi wereng hijau pada MK di 6 dan 8 MST antar kelompok, dimana perlakuan dengan eradikasi setelah tanam (D, E, F, dan G), berbeda

(8)

nyata lebih rendah dibandingkan dengan kelompok perlakuan tanpa eradikasi setelah tanam (A, B,C, dan K). Perlakuan eradikasi gulma setelah tanam baik secara mekanis maupun dengan aplikasi herbisida (pra dan pasca tumbuh) secara tidak langsung menekan kepadatan populasi wereng hijau. Eradikasi gulma setelah tanam (mekanis dan aplikasi herbisida pra/purna tumbuh) merupakan upaya pengendalian gulma-gulma di pertanaman dengan tujuan menghilangkan atau meminimalkan keberadaan gulma-gulma. Populasi gulma di pertanaman dan pematang pada MK terjadi peningkatan yang kentara, terutama pada petak lahan yang tidak dilakukan perlakuan eradikasi gulma. Hal ini dipicu oleh penurunan tingkat curah hujan atau keterbatasan ketersediaan air, memungkinkan petak lahan dalam kondisi kering atau kurang tergenang. Kondisi lahan yang demikian sangat mendukung pertumbuhan dan perkembangan gulma-gulma dipertanaman. Pada MK total populasi gulma rerumputan, berdaun lebar, dan teki- tekian per m2 pada 6 MST lebih tinggi yaitu 116 rumpun, dibandingkan pada MH sebesar 99 rumpun (Tabel 2.). Pengukuran terhadap total bobot basah 4 jenis gulma per m2 pada 14, 28, 42 hari setelah sebar di musim basah masing-masing sebesar 3,1g; 3,3g; 4,3g dibandingkan di musim kering masing-masing sebesar 4,0g; 4,0g; 4,2g (Johnson, 2004). Serangga familia Cicadellidae, termasuk wereng hijau ditemukan pada gulma-gulma: Brachiaria sp., Leptochloa chinensis, padi, cesim, Digitaria nuda, Echinochloa colonum, Monochoria vaginalis, Amaranthus spp., Cyperus rotundus, Portulaca oleracea, kacang tanah, Phyllanthus niruri, cabai hijau. Gulma berperan sebagai tanaman perangkap atau inang alternatif, dan masih diperlukan uji khusus untuk memastikan bahwa suatu serangga yang ditemukan pada gulma tersebut sebagai inang atau pakannya (Aminatun et al. 2011).

Pengaruh eradikasi gulma utama dan ratun terhadap insidensi tungro

Insidensi tungro pada petak-petak perlakuan eradikasi adalah rendah. Eradikasi gulma dan ratun dengan beberapa perlakuan tidak berpengaruh secara langsung terhadap insidensi tungro di pertanaman. beberapa teknik eradikasi gulma dan ratun tidak berbeda nyata dibandingkan dengan tanpa eradikasi baik pada MH maupun MK (Tabel 3.). Insidensi tungro di lapangan terjadi tergantung pada dua variabel, yaitu varietas yang ditanam dan waktu penanaman (Cabunagan et al. 2001). Insidensi tungro rendah dapat dikaitkan dengan waktu tanam yang bertepatan saat fase kritis penularan virus tungro bukan pada puncak populasi wereng hijau sebagai vektor. Mengingat bahwa respon tanaman bergejala tungro memiliki ciri-ciri: daun menguning hingga berwarna jingga, pertumbuhan terhambat, daun terpelintir

(9)

disebabkan oleh interaksi kedua virus yaitu RTBV dan RTSV. Namun, infeksi RTSV saja juga dapat ditularkan meskipun tidak menimbulkan gejala menguning, dan akan nampak bergejala apabila interaksi kembali vektor dengan tanaman menemukan RTBV (cruz et al. 2003).

Tabel 2. Jenis gulma dan rata-rata populasi per m2 yang tumbuh di pertanaman dan pematang saat 6

MST pada MH dan MK 2014.

No. Gulma Jenis Perlakuan eradikasi

A B C K D E F G Jumlah MH 2014 1 Echinocloa colona 1 2 1 2 3 2 2 2 15 2 Leptochloa chinensis 1 0 1 1 2 3 2 2 12 3 Ludwigia octovalvis 2 1 1 3 1 1 3 1 13 4 Cyperus Sp. 1 2 6 2 3 2 3 1 20 5 Fimbristylis miliacea 3 3 2 4 1 3 1 3 20 6 Alternanthera sesialis 2 1 0 1 2 1 1 1 9 7 Eclipta prostata 0 1 2 1 1 1 3 1 10 Jumlah 10 10 13 14 13 14 15 12 99 MK 2014 1 Echinocloa colona 3 4 4 4 2 1 1 1 20 2 Leptochloa chinensis 2 0 1 1 3 0 1 0 8 3 Ludwigia octovalvis 3 2 2 3 2 1 0 0 13 4 Cyperus Sp. 6 6 6 4 1 0 0 1 24 5 Fimbristylis miliacea 1 8 7 8 1 1 1 0 27 6 Alternanthera sesialis 3 1 0 1 1 1 1 1 9 7 Eclipta prostata 0 4 4 2 2 1 1 1 15 Jumlah 18 25 24 23 12 5 5 4 116

Pengujian gulma-gulma utama berpotensi sebagai sumber inokulum dilakukan sebelum eradikasi. Terdapat delapan gulma dan ratun yang ditemukan di lapangan. Namun, empat gulma utama dan ratun yang ditengarai dapat menjadi inang virus diuji penularannya ke tanaman padi varietas TN 1 yaitu: Cyperus rotundus, Cyperus iria, Fimbristylis miliacea, dan Echinocloa colona menunjukkan respon negatif (secara visual tanaman uji TN1 tidak bergejala). Terdapat empat jenis yang mampu menularkan kembali virus tungro meskipun dengan persentase yang rendah, yaitu Cyperus rotundus, Phyllanthus niruri, Fimbristylis miliaceae, dan Eulisine indica dengan persentase penularan 15-25% (Ladja, 2013).

(10)

Tabel 3. Rata-rata insidensi tungro per petak* pada MH dan MK 2014

Perlakuan MT I MT II

2 MST 4 MST 6 MST 8 MST 2 MST 4 MST 6 MST 8 MST A 0 1.00b 1.31ab 1.31ab 1.10a 1.79a 1.79a 1.79a B 0 1.10ab 1.10ab 1.10ab 1.00a 1.93a 1.93a 1.93a C 0 1.10ab 1.31ab 1.31ab 1.00a 1.60a 1.60a 1.60a K 0 1.18ab 1.00b 1.00b 1.00a 1.47a 1.47a 1.47a D 0 1.68a 1.10ab 1.10ab 1.00a 1.10a 1.41a 1.41a E 0 1.00b 1.10ab 1.10ab 1.00a 1.31a 1.71a 1.71a F 0 1.65a 1.47a 1.47a 1.00a 1.21a 1.25a 1.25a G 0 1.66a 1.39ab 1.39ab 1.00a 1.10a 1.36a 1.36a BNT 0,05 tn 0,08 0,35 0,35 tn tn tn tn

KK 33,03 25,25 25,25 7,22 39,9 48,89 48,89

Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 0,05 ; *data ditranformasi akar kuadrat.

Tabel 4. Pengujian sumber inokulum tungro berpotensi Gulma dan ratun MH Respon gejala TN1 MK

Ratun (-) (-)

Cyperus rotundus (-) (-)

Cyperus iria (-) (-)

Fimbristylis miliacea (-) (-) Echinocloa colona (-) (-)

Pengaruh eradikasi gulma utama dan ratun terhadap hasil panen

Pengaruh eradikasi gulma dan ratun terhadap hasil panen tidak berbeda nyata antar kelompok perlakuan eradikasi sebelum tanam (A, B, C, K), demikian juga pada kelompok perlakuan eradikasi setelah tanam (D, E, F, G). Namun, ada perbedaan hasil panen antar kelompok baik pada MH maupun MK (Tabel 5.). keberadaan gulma-gulma di pertanaman pada periode waktu tertentu dapat mempengaruhi hasil panen. Hasil panen pada petak lahan dengan kondisi lahan bersih dari gulma 14 hari setelah semai (HSS), 28 HSS, 42 HSS, dan 56 HSS berturut-turut sebesar: 4,2 t/ha; 5,9 t/ha; 6,2 t/ha; 6,2 t/ha (Johnson et al. 2004). Hasil panen ditinjau dari musim tanam menunjukkan hasil yang berbeda. Pada keseluruhan perlakuan di MH, hasil panen lebih tinggi dibandingkan MK. Perbedaan hasil gabah antar musim pada tanaman padi bersifat kompleks, dipengaruhi oleh faktor genetik dan lingkungan seperti teknik budi daya, kondisi iklim, dan potensi serangan hama/penyakit (Satoto et al. 2013).

(11)

Tabel 5. Hasil panen (Kg/ petak) Perlakuan MH MK A 3.07b 2.84ab B 3.07b 3.01a C 3.04b 2.87a K 3.11bc 2.93a D 3.40a 2.51c E 3.42a 2.48c F 3.48a 2.63bc G 3.56a 2.42c BNT 0,05 0,001 0,001 KK 5,05 5,74

Eradikasi gulma dan ratun berpengaruh pada umur panen atau penundaan waktu panen, terutama pada eradikasi gulma dengan mengunakan herbisida pra ataupun purna tumbuh. Eradikasi gulma yang dilakukan setelah tanam di pertanaman dengan aplikasi herbisida menimbulkan efek keracunan tanaman (phytotoxicity). Efek keracunan dapat mempengaruhi terhadap tinggi tanaman, daya tumbuh benih, kandungan klorofil, anakan dan jumlah daun, panjang dan jumlah perakaran. Umumnya gejala keracunan menunjukkan daun menguning dan tanaman tampak stagnan/stress dengan kadar ringan hingga berat. Untuk mengurangi efek toksik dan efektifitas eradikasi gulma, aplikasi herbisida pratumbuh seharusnya tidak pada kondisi lahan jenuh atau tergenang, pengairan ditunda minimal 1 minggu setelah aplikasi, kecuali dapat lebih cepat apabila bahan aktif dilengkapi dengan safener (Awan et al. 2016).

KESIMPULAN

1. Eradikasi gulma bersamaan dengan olah lahan sebelum semai diikuti dengan eradikasi setelah tanam baik secara mekanis maupun aplikasi herbisida, cenderung menekan populasi wereng hijau migran di persemaian dan pertanaman guna meminimalisir penularan virus tungro.

2. Eradikasi gulma dan ratun yang disinkronkan dengan pola dinamika populasi wereng hijau, efektif dalam pengendalian dini penyakit tungro.

3. Gulma utama berpotensi sebagai sumber inokulum yang ditemukan di lapangan yaitu: Cyperus rotundus, Cyperus iria, Fimbristylis miliacea, dan Echinochloa colona perlu dimonitoring, dikarenakan dominansi keberadaan yang tinggi di lapangan.

4. Eradikasi gulma utama dan ratun dengan aplikasi herbisida perlu memperhatikan prosedur aplikasi guna mengurangi efek toksik pada tanaman dan efektifitas eradikasi gulma.

(12)

DAFTAR PUSTAKA

Aminatun, T., E. Martono, S.Worosuprojo, S.D.Tandjung, J.Memmott. 2011. Pola Interaksi Serangga Herbivora-Gulma pada Ekosistem Sawah Surjan Organik dan Konvensional dalam Dua Musim Tanam. Prosiding Seminar Nasional Penelitian, Pendidikan dan Penerapan MIPA, Fakultas MIPA, Universitas Negeri Yogyakarta, 14 Mei 2011. Antralina, Merry. 2012. Karakteristik gulma dan komponen hasil tanaman padi sawah (Oryza

sativa L.) sistem sri pada waktu keberadaan gulma yang berbeda. CEFARS : Jurnal Agribisnis dan Pengembangan Wilayah (3): 9-17.

Awan, T.H., P.C. Sta Cruz, B.S.Chauhan. 2016. Effect of pre-emergence herbicides and timing of soil saturation on the control of six major rice weeds and their phytotoxic effects on rice seedlings. Crop Protection 83:37-47.

Cabunagan, R.C., N. Castilla, E.L. Coloquio, E.R. Tiongco, X.H. Truong, J. Fernandez, M.J. Du, B. Zaragosa, R.R. Hozak, S. Savary, O. Azzam. 2001. Synchrony of planting and proportions of susceptible varieties affect rice tungro disease epidemics in the Philippines. Crop Protection 20: 499-510

Calleja, D.O. 2010. Water shortage due to El Niño breeds

‘tungro’ in rice plantations. http://balita.ph/2010/02/17/tungro-rice-disease-alert-up-in-bicol/. diunduh 17 April 2016.

Chauhan, B.S., D.E. Johnson. 2009. Influence of tillage systems on weed seedling emergence pattern in rainfed rice. Soil & Tillage Research 106 :15–21.

Chauhan, Bhagirath Singh. 2013. Strategies to manage weedy rice in Asia. Crop Protection 48: 51-56.

Chauhan, B.S., T.H. Awan, S.B. Abugho, G. Evengelista, S. Yadav. 2015. Effect of crop establishment methods and weed control treatments on weed management, and rice yield. Field Crops Research 172:72–84.

Cruz, F. C. Sta, R. Hull, O. Azzam. 2003. Changes in level of virus accumulation and

incidence of infection are critical in the characterization of Rice tungro bacilliform virus (RTBV) resistance in rice. Archives of Virology 148 : 1465-1483.

Fereres A. and A. Moreno. 2009. Behavioural Aspects Influencing Plant Virus Transmission by Homopteran Insects. Virus Research 141(2):158-168.

Gabriel D.R., B.L. Ashar, D Darmadi, 2011. Prakiraan Serangan OPT Utama Padi pada MT 2015. Majalah Peramalan OPT, Vol.14/No.1/Mei/2015.

Johnson, D.E., M.C.S. Wopereis, D. Mbodj, S.Diallo, S. Powers, S.M. Haefele. 2004. Timing of weed management and yield losses due to weeds in irrigated rice in the Sahel. Field Crops Research 85 : 31–42

(13)

Khan, M.A., H. Hibino, V.M. Aguiero, R.D. Daquioag. 1991. Rice and Weed Hosts of Rice Tungro-Associated Viruses and Leafhopper Vectors. Plant Disease 75: 926-930.

Ladja, Fausiah T. 2013. Gulma Inang Virus Tungro dan Kemampuan Penularannya ke Tanaman

Padi. PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 32 (3): 187-191.

Masfiyah, Evi., S. Karindah, R.D. Puspitarini. 2014. Asosiasi Serangga Predator dan Parasitoid dengan Beberapa Jenis Tumbuhan liar di Ekosistem Sawah. Jurnal HPT 2: 9-14. Muhsin, Muhammad. dan I.N. Widiarta. 2009. Patosistem, Strategi, dan Komponen Teknologi

Pengendalian Tungro pada Tanaman Padi. Iptek Tanaman Pangan 4(2) :202-221 Praptana R.H., M. Yasin. 2008. Epidemiologi dan Strategi Pengendalian Penyakit Tungro. Iptek

Tanaman Pangan 3(2):184-204.

Satoto, Y. Widyastuti, U. Susanto, M.J. Mejaya. 2013. Perbedaan Hasil Padi Antar musim di Lahan Sawah Irigasi. Iptek Tanaman Pangan 8(2): 55-61.

Showler, Allan T. Julien M. Beuzelin, Thomas E. Reagan. 2011. Alternate crop and weed host plant oviposition preferences by the Mexican rice borer (Lepidoptera: Crambidae). Crop Protection 30: 895-901.

Smith, E.A., A.D.Tommaso, M.Fuchs, A.M. Shelton, B.A. Nault. 2012. Abundance of weed hosts as potential sources of onion and potato viruses in western New York. Crop Protection 37 :91-96.

Srinivasan, R., J.M. Alvarez, F. Cervantes. 2013. The effect of an alternate weed host, hairy nightshade, Solanum sarrachoides (Sendtner) on green peach aphid distribution and Potato leafroll virus incidence in potato fields of the Pacific Northwest . Crop Protection 46: 52-56.

Widiarta, I.N. 2005. Wereng Hijau (Nephotettix virescens Distant): Dinamika Populasi dan Strategi Pengendaliannya Sebagai Vektor Penyakit Tungro. Jurnal Litbang Pertanian 24(3): 85-92.

Gambar

Gambar 1. Ilustrasi tahapan perlakuan eradikasi ratun dan gulma berpotensi sebagai sumber inokulum
Tabel 1. Rata-rata Kepadatan populasi wereng hijau per petak* pada MH dan MK 2014
Gambar 2. Grafik dinamika populasi wereng hijau pada November 2013 - Desember 2014 di KP
Tabel 2. Jenis gulma dan rata-rata populasi per m 2  yang tumbuh di pertanaman dan pematang saat 6  MST pada MH dan MK 2014
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai ujung tombak dalam memberikan pelayanan yang bersifat teknis peradilan kepada masyarakat pencari keadilan maka Seiring derap laju reformasi

Sesuai amanat PERMA No. 1 tahun 2016 setiap pihak yang berperkara di Pengadilan Agama wajib melaksanakan mediasi. Mediasi adalah cara penyelesaian sengketa melalui

Ketiganya ditembak lantaran mencoba kabur saat digerebek aparat Resmob Polda Jaya di sebuah rumah kos di Tangerang yang selama ini jadi markas kawanan bandit asal Lampung

R Square atau koefisien determinasi kecepatan perahu pada penambahan mesin outboard dan penambahan mesin inboard adalah sama sebesar 0,997, diartikan bahwa variasi

Dengan menggunakan elecktromagnet pada rpm 2500 CO2 semakn tinggi,maka akan semakin baik dalam ruang bakar pada engine, di karenakan kadar CO berpengaruh terhadap

Mengingat jumlah peserta yang mendaftar untuk diklat dimaksud hanya 47 orang, maka kami hanya akan menyelenggarakan Diklat Peran ATS Angkatan IX di Balai Diklat Medan dan Angkatan X

Beberapa alasan India dalam membentuk kerjasama dengan negara-negara anggota BRICS karena India ingin menjadikan negaranya sebagai major power ekonomi politik

Persegi panjang merupakan benda simetris karena mempunyai garis lipatan yang dapat mempertemukan sisi-sisi luarnya dengan tepat.. Sedangkan jajargenjang bukan merupakan