• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II. LANASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II. LANASAN TEORI. A. Tinjauan Pustaka"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

4

A. Tinjauan Pustaka 1. Debu

a. Definisi Debu

Debu adalah partikel benda padat yang terapung di udara, biasanya, debu dihasilkan oleh proses mekanik seperti penggosokan, pengeboran, pemecahan benda padat, serta cara pengolahan benda padat lainnya, misalnya asbestos dan silika (Harrianto, 2009).

Debu adalah partikel padat yang terbentuk oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis yang mengakibatkan pemecahan atau penghancuran atau pelembutan sehingga terjadi pengecilan ukuran, contohnya kekuatan mekanis; crusher, kekuatan alami; letusan gunung api (Sudirman, 2012).

Debu adalah partikel dengan diameter kurang dari 420 mikron atau partikel dapat melewati saringan standar US No. 40 (OSHA 3371-08, 2009).

Debu adalah partikel-partikel zat padat yang mempunyai ukuran diamater diatas 1,0 µm yang ditimbulkan oleh kekuatan-kekuatan alami atau mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan yang cepat, peledakan dan lain-lain dari bahan organik maupun anorganik (ILO, 1967; Suma'mur, 1998).

b. Mekanisme Penimbunan Debu Dalam Paru dan Reaksi Paru

Udara mengandung debu masuk ke dalam paru pada saat orang menarik nafas, apa yang terjadi dengan debu tersebut sangat tergantung kepada ukuran besarnya debu. Debu yang berukuran antara 5< debu <10 mikron akan ditahan oleh saluran pernafasan bagian atas, sedangkan yang berukuran 3< debu <5 mikron ditahan oleh bagian tengah jalan pernafasan. Partikel-partikel yang besarnya antara 1< debu <3 mikron akan ditempatkan langsung di permukaan alveoli paru. Partikel-partikel yang berukuran 0.1 mikron tidak begitu hinggap pada permukaan alveoli, oleh karena partikel dengan ukuran demikian tidak mengendap di permukaan. Debu dengan partikel–partikelnya berukuran kurang dari 0.1 mikron bermassa terlalu kecil, sehingga tidak mengendap di permukaan

(2)

alveoli atau selaput lendir, oleh karena gerakan brown, yang menyebabkan debu demikian bergerak keluar masuk alveoli (Suma’mur, 2014).

Debu hinggap dan tertimbunnya debu dalam paru terdapat beberapa mekanisme. Salah satu mekanisme adalah Inertia atau kelembaman dari partikel-partikel debu yang bergerak, yaitu pada waktu udara membelok ketika melalui pernafasan yang tidak lurus, maka partikel-partikel debu yang bersama cukup besar tidak dapat membelok mengikuti aliran udara. Debu terus lurus dan akhirya menumbuk selaput lendir dan mengendap. Mekanisme sedimentasi, terutama pada bronkhi sangat kecil dan bronhioli, sebab di tempat itu kecepatan udara pernafasan pernafasan sangat kurang 1 cm/detik sehingga gaya tarik dapat bekerja terhadap partikel-partikel debu dan mengendapkannya. Mekanisme gerakan brown, terutama berlaku bagi partikel-partikel yang berukuran sekitar atau kurang 0.1 mikron. Partikel-partikel yang kecil ini digerakkan oleh gerakan brown sehingga kemungkinan membentur permukaan alveoli dan hinggap disana (Suma’mur, 2014).

Partikel-partikel debu nasibnya tergantung dari tempatnya berada dalam paru dan sifat-sifat yang dimiliki oleh debu itu sendiri. Debu yang mengendap pada permukaan bronkhi dan bronkhioli akan dikembalikan kesaluran pernafasan atas dan akhirnya digerakkan keluar oleh rambut–rambut (cilia-cilia) yang bergetar, dengan kecepatan 3 cm/jam pada saluran pernafasan bagian atas dan 1 cm/jam di dalam bronkhus tertius dan bronkhioli. Selain itu, juga batuk merupakan satu mekanisme untuk mengeluarkan debu dari saluran pernafasan. Selanjutnya debu yang berada di alveoli dapat mengalami proses mengikuti beberapa kemungkinan (Suma’mur, 2014).

Partikel debu terdapat kemungkinan tidak mengendap di permukaan alveoli dan tetap berada dalam udara pernafasan setelah berada dekat batas bronkhioli tertangkap oleh cilia, yang lalu debu tersebut dikembalikan ke saluran pernafasan tengah dan atas, lalu dikeluarkan ke rongga mulut atau ke udara luar. Zat kimia penyusun debu yang mudah larut dalam air, maka zat tersebut akan larut dan langsung masuk pembuluh darah kapiler alveoli. Zat penyusun debu tidak mudah larut tetapi ukurannya kecil, maka partikel-partikel dapat menembus dinding alveoli, lalu masuk ke dalam saluran limfa atau ruang

(3)

peribronkhial, kemungkinan lain adalah ditelannya partikel oleh sel fagosit (phagocyte), yang biasanya histiosit (histiocyte) atau inti atau sel mesenkhim (mesenchym) yang tidak berdiferensiasi. Sel-sel fagosit mungkin masuk ke dalam saluran limfa atau melalui dinding alveoli masuk ke ruang peribronkhial atau ke luar dari tempat tersebut ke bronkhioli, yang kemudian oleh rambut-rambut getar (cilia) dipindahkan ke saluran pernafasan atas (Suma’mur, 2014). c. Debu Kayu

Debu kayu dihasilkan akibat proses penggergajian, penyerutan dan pengampelasan dapat menyebabkan lingkungan kerja terjadi pencemaran udara dan berbahaya bagi tenaga kerja. Untuk mengantisipasi efek negatif paparan debu kayu di tempat kerja, maka perlu dilakukan upaya pencegahan dan perlindungan terhadap keselamatan dan kesehatan tenaga kerja. Salah satu upaya pencegahan tersebut adalah menetapkan Nilai Ambang Batas (NAB) zat kimia di udara tempat kerja menjadi Standar Nasional Indonesia (SNI) sehingga para pengusaha dapat mengendalikan lingkungan kerja perusahaannya dengan mengacu pada Standar ini. Standar ini memuat tentang Nilai Ambang Batas rata-rata tertimbang waktu (time weighted average/TWA) zat kimia di udara tempat kerja, di mana terdapat tenaga kerja yang dapat terpapar zat kimia sehari-hari selama tidak lebih dari 8 jam per hari atau 40 jam per minggu, serta cara untuk menentukan Nilai Ambang Batas campuran untuk udara tempat kerja yang mengandung lebih dari satu macam zat kimia (Yunus , 2006).

Debu Kayu masuk daftar klasifikasi debu keras dan kayu lunak telah ditentukan TWA selama delapan jam kerja untuk debu kayu lunak maksimal 5 mg/m3 dan 2 mg/m3 TWA selama 12 jam kerja (Workplace Exposure Standards and Biological Exposure, 2013)

Penelitian mengenai debu kayu respirabel yang ditimbulkan oleh pengolahan kayu ( wood working equipment ) telah dilakukan oleh Vanwiclen dan Beard (1993), membuktikan bahwa prosentase terbesar dari debu kayu respirabel partikelnya berdiameter antara 1 sampai 2 mikron, sedangkan prosentase terbesar kedua ditempati dengan diameter 0.5 sampai 0.7 mikron (Suma’mur, PK, 2002).

(4)

2. Gangguan Fungsi Paru

a. Penyakit Paru Akibat Kerja

Penyakit paru akibat kerja merupakan salah satu kelompok penyakit akibat kerja yang organ sasarannya dari penyakit tersebut adalah paru. Istilah lain bagi penyakit akibat kerja adalah penyakit yang timbul berhubung dengan hubungan kerja, atas dasar hal tersebut, maka untuk penyakit paru akibat kerja dapat pula dipakai istilah penyakit paru yang timbul karena hubungan kerja atau penyakit yang timbul berhubung dengan hubungan kerja. Namun untuk selanjutnya, dalam uraian ini akan lebih banyak digunakan istilah penyakit paru akibat kerja (Suma’mur, 2014).

Penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja yang pengertiannya adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja, maka penyakit paru akibat kerja atau penyakit paru yang timbul karena hubungan kerja diartikan sebagai penyakit paru yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja. Pekerjaan atau lingkungan kerja adalah penyebab dari penyakit akibat kerja termasuk penyakit paru akibat kerja. Antara pekerjaan atau lingkungan kerja dengan penyakit akibat kerja termasuk penyakit paru akibat kerja terdapat hubungan kausalitas, hubungan sebab-akibat. Pekerjaan atau lingkungan kerja bagi penyakit akibat kerja atau penyakit yang timbul karena hubungan kerja merupakan penyebab penyakit (agent of disease) (Suma’mur, 2014).

b. Pneumokoniosis

Pneumokoniosis istilah berasal dari bahasa Yunani (pneumos berarti paru; konois berarti debu), yang dipublikasikan oleh Zenker (1867), menyatakan bahwa pneumokoniosis merupakan suatu kondisi gangguan paru akibat menginhalasi debu, definisi pneumokoniosis diartikan lebih jelas, yaitu sebagai suaru reaksi non neoplastik paru akibat menginhalasi debu mineral atau debu organik sehingga mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan arsitektur struktur jaringan perenkim paru.

Jenis debu penyebab yang sering menimbulkan pneumokoniosis yaitu siliki, batubara, dan asbes. Umumnya, gejala pneumokoniosis baru terjadi setelah

(5)

terpajan oleh debu kerja setelah bekerja paling sedikit 10-20 tahun. Beratnya gejala yang timbul bergantung pada intensitas dan lamanya pajanan yang terjadi. Kondisi ini harus dibedakan dengan inhalasi debu inert, yang tidak menyebabkan terjadinya pneumokoniosis yaitu debu kerja yang tergolong dalam PNOC (particulates not otherwise classified) (Harrianto, 2010).

Pneumokoniosis istilah yang digunakan untuk penyakit yang berhubungan dengan pemajanan debu mineral. Sementara itu debu dengan spectrum luas dapat ditemui di lingkungan umum, ditempat pekerjaan banyak terjadi sebagai akibat dari proses industry. Oleh karena itu, berbagai reaksi paru dapat terjadi sebagai akibat dari pajanan ditempat kerja. pneumoconiosis dapat disebabkan oleh industri skala kecil yang tidak mengatur tempat kerja di gudang dengan berventilasi yang buruk (Vinaya S, 2013)

Jaringan parenkim paru pada pneumokoniosis bergantung reaksi yang terjadi tergantung jenis debu kerja terinhalasi dan besarnya partikel debu. Hanya dalam jumlah yang bermakna dan kebanyakan partikel tersebut berukuran <0.1 µm. Bronkiolus yang seakan-akan merupakan lorong yang lebih lebar diatasnya (bronkus sekunder dan primer) menjadi tempat mengendapnya debu-debu kerja yang terinhalasi. Hal inilah yang menjadi alasan mengapa pada pneumokoniosis yang masih dini, debu kerja akan ditemukan sebagi fokus-fokus di jaringan parenkim paru. Fokus di jaringan tersebut menggambarkan terjadinya akumulasi debu kerja di alveolus, bronkiolus yang melebar, dan di jaringan paru di dekatnya. Biasanya, alveoli di antara fokus-fokus ini bebas debu. Pajanan debu kerja terus berlanjut, debu yang mengendap makin lama makin bertambah, sehingga fokus-fokus bertambah besar dan akhirnya akan menyatu dengan lainnya menjadi beberapa lesi multifokal yang besar.

Permukaan alveolus yang tertutupi partikel-partikel debu secara luas akan menghambat sekresi surfaktan, yang biasanya dilaksanakan oleh sel-sel di permukaan alveolus. Akibatnya, alveolus-alveolus ini menjadi kolaps sehingga bagian jaringan paru di tempat ini tidak berfungsi lagi. Reaksi jaringan parenkim paru, dengan adanya partikel-partikel debu yang menyelimuti permukaan alveoli, juga akan mengakibatkan terjadinya multiplikasi sel-sel permukaan alveoli menjadi serabut jaringan ikat. Intensitas reaksi jaringan ini bervariasi bergantung

(6)

pada jenis debu yang diinhalasi (Harrianto, 2010).

Jenis pneumokoniosis diberi nama berdasarkan jenis debu kerja yang diinhalasi, misalnya silikosis, pneumokoniosis batubara, asbestosis, dan lain-lain. Debu kerja dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kerja fibrogenik dan debu kerja nonfibrogenik. Namun perbedaan diantara kedua kelompok ini tidak terlalu signifikan. Misalnya, silika merupakan debu campuran (fibrogenik dan nonfibrogenik) atau para pekerja yang menginhalasi beberapa jenis debu kerja dapat berpotensi menghasilkan lebih banyak fibrosis (jaringan ikat paru). Inhalasi debu kerja yang nonfibrogenik hanya akan mengakibatkan bertambahnya jaringan ikat paru dalam jumlah yang sangat sedikit. Debu ini biasanya disebut debu inert, misalnya koalin, titanium oksida, stannous oksida, barium sulfat, ferrioksida dan gelas. Pada akumulasi debu inert dalam paru, alveoli tetap utuh, tidak terbentuk jaringan ikat, dan umumnya bersifat sementara (Harrianto, 2010).

Pneumokoniosis mengakibatkan tidak berfungsinya jaringan paru bergantung pada banyaknya akumulasi debu, atau bergantung pada banyaknya jaringan ikat yang terbentuk akibat pneumokoniosis. Debu kerja yang berpotensi fibrogenetik tinggi memiliki kapasitas untuk menimbulkan kegagalan fungsi paru keterpajanan yang lebih singkat dibandingkan debu kerja yang berpotensi fibrogenetik rendah. Umumnya, sangat sedikit para pekerja yang terpajan debu kerja yang berpotensi fibrogenik rendah (mis, batu bara) mengalami kegagalan fungsi paru yang bermakna, karena jenis debu kerja ini hanya akan menimbulkan gangguan fungsi paru yang ringan, biasa disebut pneumokoniosis sederhana. Pada pajanan terus berjalan pneumokoniosis sederhana dapat berubah menjadi fibrosis masif progesif sehingga gejala sesak napas dan kegagalan paru lainnya dapat terjadi dengan sangat cepat (Harrianto, 2010).

c. Faktor-Faktor Internal yang Mempengaruhi Gangguan Fungsi Paru

Gangguan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sebagai akibat frekuensi, lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, paparan debu kayu, status gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan olah raga, dan lama paparan. Gangguan fungsi paru dapat terjadi secara bertahap dan bersifat kronis sebagai akibat frekuensi,

(7)

lamanya seseorang bekerja pada lingkungan yang berdebu dan faktor-faktor internal yang terdapat dalam pekerja seperti jenis kelamin, usia, masa kerja, paparan debu kayu, status gizi, kebiasaan merokok, alat pelindung diri, kebiasaan olah raga, dan lama paparan (Triatmo, dkk, 2006).

Pneumokoniosis merupakan penyakit paru akibat kerja yang disebabkan oleh deposisi debu di dalam paru dan reaksi jaringan paru akibat pajanan debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis. Faktor utama yang berperan pada patogenesis. Pneumokoniosis adalah karakteristik partikel debu, jumlah, lama pajanan dan respons saluran napas terhadap partikel debu ( Susanto, 2011).

Pekerja yang terpajan debu kayu secara kontinyu pada usia 15 sampai dengan 25 tahun akan terjadi menurunan kemampuan kerja, usia 25 sampai dengan 35 tahun timbul batuk produktif dan penurunan VEP 1 (volume ekspirasi paksa 1 detik atau Force Expiratory Volume 1 second (FEV 1), usia 45 sampai dengan 55 tahun terjadi sesak dan hipoksemia, usia 55 sampai dengan 65 tahun terjadi cor pulmonal sampai kegagalan pernapasan dan kematian, hal ini dapat dideteksi dengan pemeriksaan spirometer (Triatmo, dkk, 2006).

d. Tes Fungsi Paru

Tes fungsi paru merupakan tes kuantitatif dari faal paru, digunakan untuk menentukan kapasitas fungsi paru dan kemampuannya untuk melakukan pekerjaan. Dengan demikian dapat digunakan untuk pula untuk membantu menentukan ciri-ciri dan beratnya penyakit paru akibat kerja.

1) Spirometri

Spirometri dapat dihasilkan pengukuran volume ekspirasi dan inspirasi individu. Membandingkan hasilnya dengan nilai normal populasi individu yang sehat, berguna untuk menilai kegagalan fungsi paru, serta untuk menentukan jenis-jenis penyakit paru yang berbeda.

a) Spirometri Konvensional

Spirometri konvensional hanya mengukur udara yang masuk dan keluar dari mulut selama inspirasi dan ekspirasi maksimal, yaitu volume paru statis, yang meliputi :

(8)

(1) Kapasitas Vital (Vital capacity, VC) adalah volume ekspirasi maksimal setelah individu melakukan inspirasi maksimal.

(2) Kapasitas vital paksa (forced vitas capacity) ditentukan dengan cara mengukur volume ekspirasi maksimal yang dimulai secepatnya secara paksa setelah individu melakukan inspirasi maksimal.

Vital Capacity dan Forced Vital Capacity keadaan normal adalah > 80 % nilai prediksi, pada kasus obstruksi paru (asma akibat kerja) maupun kasus penyakit paru retriktif (asbestosis), hasil pengukuran FVC keduanya berkurang,Untuk membedakan keduanya dengan lebih akurat, di butuhkan nilai volume paru statis lainnya, yaitu pengukuran kapasitas total paru (total lung capacity, TLC), kapasitas residu (Residual Volume, RV) dengan cara mengukur body plethysmography, atau dengan bantuan dilusi gas inert. Pada kasus penyakit paru restriktif, hasil pengukuran TLC dan volume paru lainnya akan berkurang, sedangkan pada kasus penyakit paru obstruksi terjadi hiperinflasi, maka TLC dan rasio RV/TLC hasilnya meningkat (Harrianto, 2010).

b) Spirometri Modern

Spirometri yang lebih modern (pneumotakograf) dapat dinilai volume paru dinamik, yang meliputi volume ekspirasi paksa detik pertama (FEV-1) dan Maximal Voluntary Ventilation (MVV).

Forced Expiration Volume-1 keadaan normal adalah > 80% nilai prediksi dan FEV-1/FVC > 75 % nilai prediksi. Pada kasus penyakit paru obstruksi hasil pengukuran FEV-1 berkurang lebih banyak dibanding dengan FVC, maka rasio FEV1/FVC hasilnya menurun. Sedangkan pada kasus penyakit paru restriktif, baik hasil pengukuran FEV-1 maupun FVC, sama-sama berkurang sedikit sehingga rasio FEV-1/FVC hasilnya dapat kembali normal atau meningkat, menjamin keakuratannya, pengukuran paling sedikit dilaksanakan 3 kali dan hasilnya diambil dari 2 pengukuran yang menghasilkan hasil tertinggi (Harrianto, 2010).

(9)

c) Tes Pernafasan Tunggal (Single-Breath Test)

Mini-wright peak–flow meter portable peralatan yang dapat digunakan untuk tes pernafasan tunggal, yang merefleksikan beratnya obstruksi saluran pernapasan, dengan mengukur kecepatan hembusan ekspirasi paksa (peak expiratory, Flow rate, PEFR). Pengukuran serial PEFR mencatat hembusan ekspirasi paksa sebelum, selama, dan setelah jam kerja, serta selama liburan, paling tidak selama 1 minggu. Setiap pengukuran diambil data maksimum, minimum, dan rata-ratanya, yang tercatat dalam grafik. Metode ini sangat penting dalam mendiagnosis kasus asma akibat kerja dan bisinosis. Karena pengukuran PEFR dilaksanakan oleh pasien sendiri, ada kemungkinan pasien berbohong sehingga hasilnya sering kali kurang dapat dipercaya. Bila dilaksanakan dengan benar dan jujur, sesungguhnya tes ini sangat berguna dalam mendeteksi perubahan obstruksi saluran pernafasan dari waktu kewaktu. Variasi diurnal atau perbedaan data maksimum dan mimimum yang berkisar 20% atau lebih akan menggambarkan adanya gejala asma (Harrianto, 2010).

d) Kapasistas Difusi CO (DLCO)

Kapasistas di fusi CO ini pasien menginhalasi dosis rendah gas CO dengan menggunakan nebulizer dengan tarikan napas tunggal ataupun multipel yang sesuai protokol yang sudah di siapkan. Prinsip penilaian hasilnya berdasarkan gas CO yang diabsorbsi O2. Dengan demikian, berkurangnya nilai DLCO menggambarkan terjadinya kegagalan pertukaran gas di alveoli yang dapat terjadi pada kelainan paru obstruksi, restriktif atau akibat gangguan vaskuler (Harrianto, 2010).

e) Tes Provokasi Bronkus (Bronchial Provocation Test)

Pasien asma memiliki hipertensitivitas bronkus yang nonspesifik, sehingga akan terjadi obstruksi bronkus bila menginhalasi dosis rendah matakolin klorida atau hastamin. Hasilnya dinyatakan positif (+) bila terjadi penurunan FEV-1 sebesar 20 % atau lebih. Tes dengan menggunakan antigen spesifik merupakan tes yang spesifik untuk

(10)

diagnosis asma akibat kerja dan pneumonitis hipersensitivitas, tetapi memakan biaya dan berbahaya. Selain itu, tes ini juga harus dilaksanakan di rumah sakit. Pada pasien asma akibat kerja. Bronkokonstriksi dapat terjadi dini (10-20 menit) atau lambat (4-8 jam), sedangkan pada kasus pneumonitis hipersensitivitas hanya akan terjadi sesak napas ringan dan batuk (Harrianto, 2010).

e. Pegendalian Paparan Debu

Jenis alat pengumpul (collectors) didasarkan atas pengurangan kadar debu saja atau kadar debu dan gas. Prinsip pengurangan kadar debu dalam aliran gas yang dibebaskan ke lingkungan diantaranya:

1) Pemisah Brown

Pemisahan brown menerapkan gerakan partikel menurut Brown. Alat ini dapat memisahkan debu dengan rentang ukuran 0.01-0.05 mikron. Alat yang dipatenkan dibentuk dengan susunan filament gelas dengan jarak antar filament yang lebih kecil dari lintasan bebas rata-rata partikel (Harrianto, 2010).

2) Penapisan

Deretan penapis atau penapis kantung (filter bag) dapat menghilangkan debu hingga ukuran diameter 0.1 mikron. Penapis ini dibatasi oleh pembebanan yang rendah, karena pembersihan membutuhkan waktu dan biaya yang tinggi. Susunan penapis yang bisa digunakan untuk gas buang yang mengandung minyak atau debu higroskopik. Temperature gas buang dibatasi oleh komposisi bahan penapis (Suma’mur, 2009).

3) Pengendap Elektrostatik

Pengendap elektrostatik memberikan tegangan tinggi pada aliran gas berkecepatan rendah. Debu yang telah menempel dapat dihilangkan secara beraturan dengan cara getaran. Keuntungan yang diperoleh adalah debu yang kering dengan ukuran rentang 0.3-0.5 mikron. Tetapi secara teoritik ukuran partikel yang dapat dikumpulkan tidak memiliki batas minimum (Harrianto, 2010).

(11)

4) Pengumpul Sentrifugal

Pengumpul sentrifugal merupakan pemisah debu dari aliran gas didasarkan atas gaya sentrifugal yang dibangkitkan oleh bantik saluran masuk alat. Gaya ini melemparkan partikel ke dinding dan gas berputar (vortex) sehingga debu akan menempel di dinding serta terkumpul di dasar alat. Alat yang menggunakan prinsip ini dapat digunakan untuk pemisahan partikel besar dengan rentang ukuran diameter hingga 10 mikron (Harrianto, 2010). 5) Pemisah Inersia

Pemisah inersia bekerja atas gaya inersia yang dimiliki oleh partikel di dalam aliran gas. Pemisahan ini menggunakan susunan penyekat, sehingga partikel akan bertumbukan dengan penyekat ini dan akan dipisahkan dari aliran fasa gas. Kendala daya guna ditentukan oleh jarak antar penyekat. Alat yang didasarkan atas prinsip gaya inersia bekerja dengan baik untuk partikel yang memiliki ukuran diameter lebih besar daripada 20 mikron. Rancangan yang baru dapat memisahkan partikel yang berukuran hingga 5 mikron (Suma’mur, 2009).

6) Pengendapan Akibat Gaya Gravitasi

Alat ini dirancangan didasarkan perbedaan gaya gravitasi dan kecepatan yang dialami oleh partikel. Alat ini akan bekerja dengan baik untuk partikel dengan ukuran diameter yang lebih besar daripada 40 mikron dan tidak digunakan sebagai pemisah debu tingkat akhir.

Debu ditemui dalam berbagai ukuran, bentuk, komposisi kimia, densitas (trace, apparent, bulk density), daya kohesi, sifat higroskopik dan lain-lain. Variable yang aneka ragam ini mengakibatkan pemilihan alat dan system pengendalian pencemaran udara oleh debu dan gas harus berhubungan dengan sasaran masalah pembersihan gas dan watak kinerja alat disamping penilaian ekonomik (Harrianto, 2010).

(12)

3. Hasil-Hasil Penelitian yang Berkaitan Dengan Debu dengan Kapasitas Fungsi Paru

Hasil penelitian tentang hubungan antara kadar debu dan kapasitas paru pada karyawan PT Eastern Pearl Flour Mill Makasar yang telah dilakukan oleh Amaliyah, dkk (2013), menunjukan dari 42 orang pekerja yang diukur kapasitas parunya terdapat 28 orang (66.7%) yang mengalami penurunan kapasitas paru. Pengukuran debu di 6 lokasi menunjukan terdapat 2 lokasi yang memiliki kadar debu diatas NAB (4 mg/m3) yaitu bagian ware house dan bagian packing. Hasil uji chi-square menunjukan terdapat hubungan antara kadar debu dan kapasitas paru (p=0.003).

Hasil penelitian Hubungan Paparan Debu Dengan Kapasitas Vital Paru Pada Pekerja Penyapu Pasar Johar Kota Semarang yang dilakukan oleh meita (2012) menunjukan bahwa kadar debu terhirup tidak mempunyai hubungan yang kuat terhadap kapasitas vital paru (nilai VC, % FVC, % FEV-1) pekerja penyapu pasar johar kota semarang (0.959; 0.357; dan 0.269 dengan p-value >0.05) (Meita, 2012).

Vallières dkk, 2015 menyimpulkan bahwa terbukti adanya peningkatan risiko kanker paru-paru di antara pekerja dengan pajanan kumulatif besar dari serbuk kayu.

Hasil penelitian hubungan kadar debu terhirup (respirable) dengan kapasitas vital paksa paru pada pekerja mebel kayu di kota jayapura. Hasil uji statistik menggunakan uji statistik nonparametrik korelasi Kendall’s Tau menunjukan hubungan (p=0.05) antara kadar debu terhirup (p=0.050) dengan kapasitas vital paksa paru. Sebanyak 3 responden (7,5 %) yang memiliki kadar debu terhirup melebihi NAB yaitu 1.075 mg/m3; 1.201 mg/m3 dan 1.220 mg/m3 masing-masing bekerja di bagian pengamplasan sebanyak 2 responden dan 1 responden finishing (Irjayanti, 2012).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Osman E (2007) paparan pekerja dari debu Kayu dan Dampak Kesehatan pada System Pernafasan di Kawasan Industri Kecil di Bursa Turki diperoleh hasil rata-rata FEV-1 dan FVC nilai tukang kayu, antara perokok dan non perokok, yang secara signifikan rendah, meskipun nilai FEV1 FVC tinggi (p < 0.05).

Peningkatan keduanya nilai FEV1 dan FVC terdeteksi antara tukang kayu yang telah masa kerja kurang dari 10 tahun dan terkena debu kayu pada konsentrasi

(13)

lebih dari 4 mg/m3 dibandingkan dengan tukang kayu yang terkena debu kayu di kurang dari 4 mg/m3 (p < 0.05) Osman dan Pala (2009).

B. Kerangka Berpikir

Gambar 1. Kerangka berpikir Hubungan Pajanan Kadar Debu Kayu Lingkungan dengan Kapasitas Fungsi Paru Pada Karyawan Bagian Produksi di CV. Valasindo Sentra Usaha Gondangrejo Kabupaten Karanganyar.

C. Hipotesis

“Ada Hubungan Pajanan Kadar Debu Kayu Lingkungan dengan Kapasitas Fungsi Paru Pada Karyawan Bagian Produksi di CV. Valasindo Sentra Usaha Kabupaten Karanganyar”. Faktor Eksternal 1. Masa Kerja 2. Bagian/Unit kerja. Faktor Internal 1. Status Gizi 2. Umur 3. Riwayat Penyakit 4. Kebiasaan Berolah Raga

Pajanan kadar Debu Kayu Lingkungan

Pernafasan bagian tengah (rentang ukuran debu 3<-<5

mikron)

Pernafasan bagian atas (rentang ukuran debu 5<-<10

mikron)

Permukaan Alveoli Paru (rentang ukuran debu 1<-<3

mikron)

Keluar masuk Alveoli Paru (rentang ukuran debu 0.1 mikron)

Sedimentasi dan akumulasi pada bronkhi dan bronkhioli

Pneumukoniosis

Penurunan Kapasitas Fungsi Paru Karyawan

Gambar

Gambar  1.    Kerangka  berpikir  Hubungan  Pajanan  Kadar  Debu  Kayu  Lingkungan  dengan  Kapasitas  Fungsi  Paru  Pada  Karyawan  Bagian  Produksi    di   CV

Referensi

Dokumen terkait

fenomena kehidupan masyarakat urban yang dinamis dalam ranah kehidupan sosial sehari-hari / coba diangkat oleh Haryanto Basuki / melalui lukisannya bertajuk &#34;urban

Kegiatan yang berlangsung pada hari Rabu (21/3/2012) di Desa Kaye Kunyet ini dihadiri oleh kepala desa, perwakilan dari Dinas Peternakan Kabupaten Aceh Besar, serta 15

13 Tahun 2003, mengetahui bagaimana kebijakan penggunaan tenaga kerja asing di Provinsi Jawa Tengah dan mengetahui kendala yang dihadapi saat melakukan

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul: Pengembangan media pembelajaran papan analisis

KULIT Material ini tidak dianggap sebagai bahan berbahaya untuk menghasilkan iritasi kulit atau efek kesehatan yang kurang baik setelah terjadinya kontak

Edukasi pada program acara Asyik Belajar Biologi dalam Mata Pelajaran. IPA

KESATU : Indikator kinerja utama merupakan acuan ukuran kinerja yang dipergunakan oleh Kecamatan Megang Sakti Kabupaten Musi Rawas untuk:.menyusun Rencana Kerja

Pengaruh perlakuan bahan baku terhadap kadar gas metan yang dihasilkan dalam satuan persen volume dapat dilihat pada gambar di bawah ini :.. Jurnal Teknik