• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Principle of Anatomy and Physiology, 2009

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. Sumber : Principle of Anatomy and Physiology, 2009"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Ginjal

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Sumber : Principle of Anatomy and Physiology, 2009

Ginjal merupakan organ berbentuk seperti kacang yang terletak di kedua sisi kolumna vertebralis. Ginjal kanan sedikit lebih rendah dibandingkan ginjal kiri, karena tertekan kebawah oleh hati. Kutub atasnya terletak setinggi iga keduabelas, sedangkan kutub atas ginjal kiri terletak setinggi iga kesebelas. (Price,

et al.,2005)

Ginjal terletak di bagian atas belakang abdomen, di belakang peritoneum, di depan iga 11 dan 12, dan terletak diantara tiga otot besar, yaitu transversus abdominis, kuadratus lumborum, dan psoas mayor. Ginjal difiksasi oleh bantalan lemak yang tebal sehingga posisinya akan tetap stabil. Ginjal dilindungi oleh iga dan otot-otot, sedangkan di anterior bawah ginjal dilindungi oleh bantalan usus yang tebal. (Aziz, et al, 2008)

(2)

2.2. Fisiologi Ginjal

Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara membuang sisa-sisa metabolisme dan menahan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Fungsi ini amat penting bagi tubuh untuk menjaga hemostasis, walupun ginjal tidak selalu bisa mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal harus mengeluarkan minimal 0,5 liter air per hari untuk kebutuhan pembuangan racun. (Sherwood, 2001)

Terdapat 3 proses dasar yang mendasari, yaitu Filtrasi Glomerulus, Reabsorbsi Tubulus, dan Sekresi Tubulus.

2.2.1. Filtrasi Glomerulus

Darah mengalir melalui glomerulus, terjadi yang namanya filtrasi plasma bebas protein menembus kapiler glomerulus ke dalam kapsula bowman. Setiap hari kira-kira 180 liter filtrat glomerulus , dengan menganggap bahwa volume plasma rata-rata orang dewasa sekitar 2, 75 liter, berarti seluruh plasma yang di filtrasi enam puluh lima kali oleh ginjal setiap harinya. Oleh karena itu, jika semua volume cairan dikeluarkan melalui urin, maka volume plasma total akan habis dalam waktu setengah jam setelah berkemih. (Sherwood, 2001)

2.2.2. Reabsorbsi Tubulus

Hasil filtrasi berupa zat-zat yang masih bermanfaat bagi tubuh akan dikembalikan ke plasma kapiler peritubulus. Zat-zat yang direabsorbsi tadi nantinya tidak akan dikeluarkan melalui urin, tapi diangkut ke sistem vena dan ke jantung untuk kembali diedarkan. Dari 180 liter plasma yang difiltrasi, rata-rata 178,5 liter yang diserap kembali, dengan sisa 1,5 liter terus mengalir ke pelvis ginjal untuk dikeluarkan sebagai urin. (Sherwood, 2001)

2.2.3. Sekresi Tubulus

Dalam proses ini terjadi perpindahan selektif zat-zat dari darah kapiler peritubulus ke dalam lumen tubuus. Dimana hanya sekitar 20 % dari plasma mengalir melalui kapiler glomerulus disaring ke dalam kapsul bowman,

(3)

sedangkan sisanya 80 % mengalir melalui arteriol eferen ke dalam kapiler peritubulus. (Sherwood, 2001)

2.2.4. Pengukuran Glomerular Filtration Rate (GFR)

Untuk mengetahui nilai GFR/Creatinine clearance, dapat dilakukan pengukuran berdasarkan; TB dan SCr. Dalam hal ini, rumus Schwartz merupakan rumus yang paling sering digunakan untuk estimasi GFR. (Schwartz, et al., 1976)

eGFR = k x L/PCr

eGFR : estimated GFR (ml/menit/ 1.73 m2)

L : tinggi badan (cm)

PCr : kreatinin plasma (mg/dl)

k : konstanta (bayi prematur: 0.33; bayi cukup bulan: 0.45; anak dan remaja putri: 0.55; remaja putra: 0.70)

2.2.5. Pengaruh Gangguan Fungsi Ginjal

Ada beberapa kelainan yang umum terjadi pada beberapa penyakit ginjal, seperti ditemukan adanya protein dalam urin, leukosit, sel darah merah, dan silinder, yaitu potongan protein yang mengendap dalam tubulus dan didorong oleh urin ke dalam kandung kemih. Akibat lain yang muncul dan penting untuk diketahui, seperti uremia dan asidosis dapat juga terjadi.

 Proteinuria

Proteinuria dapat terjadi pada beberapa penyakit ginjal dan pada satu kelainan ginjal yang tidak bahaya, permeabilitas kapiler glomeulus meningkat, dan protein dapat ditemukan di urin dalam jumlah yang lebih besar daripada normal.

Pada kelainan seperti albuminuria ortostatik, dapat juga terjadi proteinuria, namun kelainan yang timbul tidaklah membahayakan, karena protein pada urin ditemukan bila mereka dalam posisi berdiri pada orang sehat. Mekanisme yang terjadi belum sepenuhnya dimengerti. (Ganong, 2008)

(4)

 Uremia

Uremia dapat terjadi bila pemecahan metabolisme protein menumpuk didalam darah. Gejala yang muncul seperti letargi, anoreksia, mual, dan muntah, deteriorasi mental, kedutan otot, kejang, dan akhirnya kejang. Ada kemungkinan bahwa bukan ureum dan kreatinin saja yang menimbulkan gejala-gejala ini, namun juga karena penumpukan zat-zat toksik. Zat toksik tersebut dapat dihilangkan dengan melakukan hemodialisa darah. (Ganong, 2008)

 Asidosis

Asidosis dapat terjadi pada penyakit ginjal menahun akibat kegagalan ginjal untuk mengekskresikan asam-asam hasil pencernaan dan metabolisme. Sebagai contoh, pada asidosis tubulus ginjal, terjadi gangguan spesifik pada kemampuan pembentukan urin yang asam, dan biasanya fungsi ginjal lainnya normal.(Ganong, 2008)

Pada kasus seperti acute kidney injury, gangguan fungsi ginjal seperti yang sudah disebutkan diatas rentan terjadi, oleh karena pengawasan akan status hemodinamik dan faal ginjal tidak dimonitor secara ketat, sehingga dapat menimbulkan prognosis yang buruk apabila tidak ditangani dengan segera.

2.3. Acute Kidney Injury (AKI) 2.3.1. Definisi

AKI disebut juga Gagal Ginjal Akut atau Acute Tubular Necrosis, namun beberapa tahun kemudian Komite Ginjal Internasional melakukan perubahan terhadap definisi AKI berdasarkan RIFLE criteria, dimana istilah tersebut sudah mencakup semua sindroma akut pada ginjal yang mengalami gangguan untuk menentukan Renal Replacement Therapy (RRT). (Mehta et al., 2007)

Pada tahun 2004, Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI) mempublikasikan RIFLE Criteria dengan kriteria sebagai berikut:

(5)

Tabel 1. Definisi AKI berdasarkan RIFLE Criteria dan AKIN

Sumber : (International Journal of Nephrology and Neurovascular

Disease, 2010)

Dalam hal ini AKI bersifat umum namun berbahaya, tetapi masih dapat diobati. Bahkan gangguan akut yang minor dalam fungsi ginjal memiliki prognosis buruk. Oleh karena itu deteksi dini dan pengobatan AKI dapat meningkatkan hasil yang cukup efektif dalam menentukan Renal Replacement

Therapy (RRT). (KDIGO, 2012)

Penggunaan definisi AKI berdasarkan serum kreatinin (SCr) dan urine

output (RIFLE dan AKIN) telah diusulkan dan divalidasi terutama untuk

kebutuhan dalam pelatihan, penelitian, dan kesehatan masyarakat. (KDIGO, 2012)

Kriteria Serum Cr

Kriteria GFR Kriteria Urine output RIFLE R (Risk) I (Injury) F (Failure) L (Loss) E (ESKD) AKIN Stage 1 Stage 2 Stage 3

Peningkatan serum kreatinin 1.5x atau Penurunan GFR> 25%

Peningkatan serum kreatinin 2x atau Penurunan GFR> 50%

Peningkatan serum kreatinin 3x atau Penurunan GFR> 75% atau serum kreatinin meningkat > 4mg/dl (Peningkatan akut > 0.5 mg/dl)

Gangguan fungsi ginjal persisten > 4 minggu ESKD > 3 Bulan

Peningkatan serum kreatinin ≥0.3 mg/dL atau Peningktan ≥150–200% dari baseline

Peningkatan serum kreatinin >200–300% dari baseline

Peningkatan serum kreatinin >300% baseline (atau serum Cr ≥4.0 mg/dL dengan peningkatan akut≥0.5 mg/dL)

<0.5 mL/kg/h selama 6 jam <0.5 mL/kg/h selama 12 jam <0.3 mL/kg/h selama 24 jam atau anuria selama 12 jam <0.5 mL/kg/h selama >6 jam <0.5 mL/kg/h selama >12 jam <0.3 mL/kg/h selama 24 jam atau anuria selama 12 jam

(6)

2.3.2. Etiologi

2.3.2.1. Faktor Prarenal

Semua faktor yang menyebabkan peredaran darah ke ginjal berkurang yang menyebabkan terdapatnya hipovolemia, misalnya:

a. Perdarahan karena trauma operasi

b. Dehidrasi atau berkurangnya volume cairan ekstraselluler (dehidrasi pada diare)

c. Berkumpulnya cairan insterstitial di suatu daerah luka

Bila faktor prarenal dapat diatasi, faal ginjal akan menjadi normal kembali, tetapi jika hipovolemia berlangsung lama, maka akan terjadi kerusakan pada parenkim ginjal. (Ngastiyah, 2005)

2.3.2.2. Faktor Renal

Faktor ini merupakan penyebab terjadinya gagal ginjal akut terbanyak. Kerusakan yang timbul di glomerulus atau tubulus menyebabkan faal ginjal langsung terganggu. Prosesnya dapat berlangsung secara cepat atau mendadak, atau dapat juga berlangsung perlahan-lahan dan akhirnya mencapai stadium uremia. Kelainan di ginjal ini dapat merupakan kelanjutan dari hipoperfusi prarenal dan iskemia yang kemudian menyebabkan nekrosis jaringan ginjal. (Ngastiyah, 2005)

2.3.2.3. Faktor Pascarenal

Semua faktor pascarenal yang menyebabkan obstruksi pada saluran kemih seperti kelainan bawaan, tumor, nefrolitiasis, dan keracunan jengkol harus bersifat bilateral. (Ngastiyah, 2005)

Sistem klasifikasi yang telah ditetapkan menyederhanakan tumpang tindih mekanisme yang patologis yang mendasari terjadinya AKI. Hipoperfusi jaringan parenkim pada ginjal akibat hipovolemia atau hipotensi awalnya menyebabkan peningkatan scara reversibel pada SCr. Oleh karena disfungsi sel secara terus

(7)

menerus, sel tubulus ginjal mengalami cedera iskemik yang dapat bertahan setelah koreksi awal hipoperfusi. (Case, et al., 2013)

Pada pasien Intensive Care Unit (ICU) dengan AKI dan rasio Blood

Ureum Nitrogen (BUN) : Cr lebih besar dari 20:1 mengalami peningkatan

mortalitas lebih signifikan. (Rachoin et al., 2012)

2.3.3. Patogenesis

Patogenesis AKI bersifat kompleks. Yang mendasari terjadinya AKI adalah iskemia dan toksin yang merupakan faktor utama memicu terjadinya cedera, meskipun kejadian awal mungkin berbeda, cedera yang timbul berikutnya akan melibatkan jalur yang sama. Sebagai contoh, AKI yang berhubungan dengan iskemia disebabkan penurunan aliran darah ginjal di bawah batas autoregulasi aliran darah. Berbagai tanggapan molekul yang "maladaptif" dan stereotip kemudian terjadi, respon ini menyebabkan cedera sel endotel dan epitel setelah onset reperfusi. (Sutton, et al., 2002)

Faktor seperti vasokonstriksi, leukostasis, hambatan vaskular, apoptosis, kelainan pada modulator imun dan faktor pertumbuhan merupakan bentuk dasar dari intervensi terapeutik rasional pada AKI. Namun, banyak dari terapi yang ditargetkan telah gagal, tidak dapat disimpulkan, atau belum dilakukan. (Ronco, 2003)

Mengingat beberapa jalur tumpang tindih pada AKI, terapi mungkin perlu ditargetkan pada mekanisme terjadinya AKI yang secara bersamaan dilakukan untuk mencapai keberhasilan. (Kelly, et al., 2004)

2.3.4. Diagnosis

(8)

2.3.4.1. Anamnesis

Dalam hal ini yang perlu diketahui dan ditanyakan kepada pasien adalah tanda vital (pengukuran tekanan darah), BB, data mengenai intake dan output pasien, pemeriksaan lab masa lampau dan sekarang, keseimbangan cairan, dan obat - obatan (NSAID, diuretik, agen radiokontras, serta antibiotik). (Akcay et al., 2010)

Pada penelitian Akcay et.al., (2010) dikatakan bahwa evaluasi selanjutnya, dapat dilakukan pada prerenal, postrenal, dan intrarenal azotemia, karena ini merupakan pendekatan yang paling penting dalam mendiagnosis penyebab terjadinya AKI.

Prerenal Azotemia

Terdapat 4 kriteria untuk mendiagnosis azotemia; Pertama, peningkatan secara akut BUN dan SCr. Kedua, penyebab hipoperfusi ginjal. Ketiga, sedimen urin (tidak ada cell cast) atau fractional excretion of sodium (FENa) kurang dari 1%. Keempat, setelah koreksi hipoperfusi, fungsi ginjal kembali normal dalam waktu 24–48 jam.

Postrenal Azotemia

Obstruksi pada kedua ureter, bladder/urethra, atau obstruksi pada salah satu ginjal dapat menyebabkan postrenal azotemia.

Intrarenal Azotemia

Intrarenal Azotemia dapat ditegakkan setelah kriteria ekslusi pada prerenal dan postrenal azotemia dilakukan.

2.3.4.2. Urinalisis

Pemeriksaan sedimen urin merupakan tindakan yang krusial dalam mendiagnosis AKI, seperti sel epitel tubular ginjal, debris selluler, “muddy brown” cellular cast mendukung diagnosis AKI. Selain itu protein urin dalam jumah besar (> 3.0 g/ 24 jam) dan cast sel darah merah merupakan indikasi sekunder AKI terhadap acute glomerulonephritis atau vasculitis. (Akcay et al., 2010)

(9)

2.3.4.3. Nephrotoxins

Nephrotoxin merupakan penyebab penting AKI, seperti antibiotik

aminoglikosida, agen radiokontras, NSAID, cisplatin, dan amphotericin B. Pada suatu penelitian dikatakan bahwa AKI timbul pada 80% pasien yang menggunakan amphotericin B dengan dosis kumulatif 3 – 4 g. (Akcay et al., 2010)

2.3.5. Penatalaksanaan

Pasien yang mengalami AKI memiliki perhatian khusus terhadap status hemodinamik. Pertama, karena hipotensi menyebabkan penurunan perfusi ginjal dan jika parah atau berkelanjutan, dapat mengakibatkan cedera ginjal. Kedua, cedera ginjal mengalami kehilangan autoregulasi dari aliran darah, suatu mekanisme yang mempertahankan aliran yang relatif konstan meskipun terjadi perubahan tekanan darah di atas titik tertentu (Sekitar 65 mmHg). (KDIGO, 2012)

2.3.5.1. Minocycline

Minocycline adalah generasi kedua antibiotik tetrasiklin. Minocycline

dikenal memiliki efek antiapoptotic dan anti-inflamasi. Ketika diberikan 36 jam sebelum iskemia ginjal, minocycline mengurangi apoptosis sel tubular dan pelepasan mitokondria sitokrom c, p53, dan bax. (Kelly et al., 2004)

2.3.5.2. Guanosine dan Pifithrin-α (p53 Inhibitor)

Pemberian guanosin eksogen mengurangi apoptosis sel tubular ginjal. Oleh karena efek yang ditimbulkan berkaitan dengan penghambatan ekspresi sitokrom p53. (Kelly, et al., 2001)

2.3.5.3. Diuretik (Manitol)

Manitol telah sering digunakan di masa lalu untuk pencegahan AKI. Namun pada sebagian besar studi retrospektif, tidak memenuhi kriteria dari kelompok kerja untuk dimasukkan dalam perumusan masalah yang direkomendasi. Manitol profilaksis telah dipromosikan pada pasien yang

(10)

menjalani operasi. Sementara di sebagian besar kasus, manitol meningkatkan aliran urin, itu sangat mungkin bahwa manitol tidak menimbulkan efek di luar hidrasi terhadap kejadian AKI. (KDIGO, 2012)

2.3.5.4. Penanganan Dehidrasi

Bila terdapat dehidrasi atau banyak kehilangan darah maka perlu diberikan cairan secara intravena. Sebaliknya diberikan cairan larutan glukosa 10 - 20 %, tetapi hendaknya diperhatikan kadar glukosa tidak tinggi karena dapat menimbulkan trombosis. Dianjurkan tempat venoklisis setiap 8 jam dipindahkan untuk mencegah timbulnya trombosis. Dapat ditambah heparin pada setiap 500 ml larutan glukosa 20 - 50 % untuk tujuan yang sama. Bila ada faal jantung, jumlah cairan tidak boleh terlalu banyak. (Ngastiyah, 2005)

2.3.5.5. Penanganan Asidosis

Asidosis disebabkan oleh retensi glomerulus dan reabsorbsi tubulus yang meninggi terhadap sulfat, laktat, fosfat, dan asam organik. Untuk mencegah terjadinya asidosis dapat diberikan bikarbonas natrikus atau laktat natrikus. (Ngastiyah, 2005)

2.3.6. Hubungan Penyakit Kritis Terhadap AKI

Data terbaru pediatrik tentang epidemiologi AKI untuk anak-anak sakit kritis menunjukkan pergeseran dari penyakit ginjal primer terhadap cedera sekunder pada penyakit sistemik dan penatalaksanaannya. (Hui-Stickle, et al., 2005)

Ketersediaan luas pilihan pengobatan agresif yang terjadi pada suatu penyakit, seperti kelainan sumsum tulang dan transplantasi organ pada anak-anak, telah menyebabkan meningkatnya paparan obat nefrotoksik dan meningkatnya penyakit kritis pada anak yang menerima perawatan intensif. Dalam hal lain, insidensi pediatrik AKI pada populasi beresiko penyakit kritis masih belum diketahui. (Akcan-Arikan, et al., 2007)

Gambar

Gambar 1. Anatomi Ginjal

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pendapatan juga terlihat ketika diinteraksikan dengan tingkat pendidikan dan tahun potensi pengalaman kerja, dimana pada tingkat pendidikan maupun tahun

Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data dalam penelitian ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa dari sebanyak 23 butir pertanyaan yang membentuk dimensi -

Puji Syukur Ibu Kasatlak dan Ibu Pengawas sangat senang dengan kegiatan SD KAI yang sangat kreatif dan tetap mengutamakan protokol kesehatan (covid), mereka juga

Malignant Fibrous Histiocytoma (MFH) adalah bagian sarcoma jaringan lunak, merupakan suatu massa yang tanpa rasa nyeri, paling sering terdapat pada ekstremitas,

Bab ketiga adalah berisi tentang pembahasan dari hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Kranji kecamatan Paciran kabupaten, yang meliputi praktik bilas

Hasil penelitian menunjukkan model pembelajaran serta gaya kognitif siswa terhadap hasil belajar sejarah terjadi interaksi yang sangat signifikan. Model pembelajaran TGT

Respon masyarakat.. Hasil pengamatan yaitu 1) keadaan kandang lembab dan becek, 2) kondisi ayam banyak ayam yang sudah selayaknya diafkir (tua) dan ayam yang masih dara yang masih

direktur rumah sakit didasarkan pada kinerja profesi di lapangan, misalnya profesi di lapangan, misalnya radiografer yang bersangkutan terganggu kesehatannya, baik fisik