• Tidak ada hasil yang ditemukan

FAKTOR DETERMINAN STUNTING PADA ANAK USIA BULAN DI INDONESIA ADITIANTI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FAKTOR DETERMINAN STUNTING PADA ANAK USIA BULAN DI INDONESIA ADITIANTI"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR DETERMINAN “STUNTING” PADA

ANAK USIA 24 – 59 BULAN DI INDONESIA

ADITIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 Bulan di Indonesia adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

Aditianti NRP I151080141

(3)

ABSTRACT

ADITIANTI Determinants Factors of Stunting in Children 24-59 Month in Indonesia Supervised by ALI KHOMSAN and DADANG SUKANDAR

Age under five year old is one of the most important periods for a child’s growth and development. This period is important for placing health and intelectual development for a child’s future. Based on that, nutrition problems in childhood are needed to be eliminated. There are many problems in childhood related to nutrition .According to Ministry of Health (2008), there are 36,8% of children were stunted. It is larger than the number of undernourished and wasted children. The objective of this study were : (1) study the family characteristics, infectious diseases, environmental sanitation, hygiene behaviour, access and healthcare utilization, parents’ height and nutritional status according to height-for-age in children; (2) to analyze the relationship between environmental sanitation and healthcare utilization, and between hygiene behaviour and infectious diseases; and (3) to analyze determinant factors of 24-59 months old stunted children. This study used secondary data taken from Basic Health Research 2007 with cross sectional design. Sample size of 42042 children were taken. Pearson’s correlation were used to test relationship among variables. Determinants factors were revealed using SAS program with stepwise method. The results showed that there was a significant relationship (p<0,05) between infectious diseases and sanitation; among infectious diseases and access and healthcare utilization and hygiene behaviour. Factors affecting stunting significantly (p<0,05) were father’s height, mother’s height, age, gender, neighborhood, social and economic status, mother’s education, infectious diseases, personal hygiene, and environmental sanitation.

(4)

RINGKASAN

ADITIANTI. Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 di Indonesia. Dibimbing oleh ALI KHOMSAN dan DADANG SUKANDAR

Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan perhatian. Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita.

Menurut Depkes (2008) di Indonesia terdapat 13% anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3 % anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada anak adalah pendek (stunting). Jumlah anak stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus.

Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009).

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak balita usia 24 – 59 bulan. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah : (1) Mempelajari karakteristik anak usia 24 – 59 bulan dan keluarganya; (2) Mempelajari penyakit infeksi, sanitasi lingkungan, perilaku higienis, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan tinggi badan orang tua; (3) Mempelajari status gizi menurut indikator tinggi badan menurut umur (TB/U); (4) Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan, perilaku higienis dan akses dan pemanfaatan kesehatan dengan penyakit infeksi ; (5) Menganalisis faktor determinan stunting pada anak usia 24 – 59 bulan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007). Riskesdas merupakan survei dengan desain cross sectional yang dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesahatan penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif.

Populasi dalam analisis ini adalah seluruh anak balita di Indonesia yang telah terdata oleh BPS. Sampel yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59 bulan menjadi responden Riskesdas 2007. Sample rumah tangga Riskesdas identik dengan two statge sampling yang digunakan dalam Susenas 2006. Pada setiap kabupaten atau kota diambil sejumlah blok sensus terhadap jumlah rumah tangga di kota atau kabupaten tersebut, kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak

(5)

sederhana. Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah usia anak 24-59 bulan dan memiliki hubungan kandung dengan orang tua. Jumlah keseluruhan sample dalam penelitian ini adalah 42.062 orang.

Pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 dan SAS. Pengolahan data dilakukan terhadap karakteristik keluarga (tempat tinggal, besar keluarga, status ekonomi, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua), sanitasi lingkungan, akses dan pelayanan kesehatan dan perilaku higienis, penyakit infeksi, tinggi badan orang tua dan status gizi menurut TB/U.

Tempat tinggal adalah tempat responden tinggal pada saat dilakukan penelitian yang dikategorikan menjadi desa dan kota berdasarkan BPS. Jumlah anggota rumah tangga adalah banyaknya individu yang tinggal dalam satu rumah tangga. Status ekonomi adalah pengeluaran rumah tangga berdasarkan BPS yang dibagi menjadi 5 kuantil. Setiap kuantil menggambarkan tingkat kemiskinan berjenjang yang kemudian dikategorikan menjadi miskin (kuantil 1 dan 2) dan tidak miskin (kuantil 3, 4 dan 5). Pendidikan ayah dan ibu adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah diikuti dan ditamatkan oleh orang tua yang selanjutnya dikategorikan menjadi tidak sekolah, rendah, menengah dan tinggi. Pekerjaan ayah dan ibu adalah kegiatan atau pekerjaan orang tua selain pekerjaan rutin dalam rumah tangga dan memperoleh gaji/upah/uang untuk menambah penghasilan keluarga.

Perilaku higienis adalah perilaku hidup bersih dan sehat yang dilakukan ibu, yang meliputi kebiasaan mencuci tangan Penyakit infeksi adalah penyakit yang diderita anak yang dinilai berdasarkan penyakit ISPA, pneumonia (radang paru), demam typhoid, campak, malaria, diare, tuberkulosis paru (TB paru) dan demam berdarah. Sanitasi lingkungan adalah keadaan lingkungan tempat tinggal yang diantaranya mencangkup air yang digunakan, tempat pembuangan limbah, dan lokasi sumber pencemaran. Akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan adalah tingkat kemudahan dalam mengakses dan memanfaatan pelayanan kesehatan yang diukur berdasarkan jarak dan waktu yang diperlukan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan serta pemanfaatan pelayanan yang telah tersedia. Status gizi anak adalah keadaan gizi anak balita umur 24-59 bulan yang diukur dengan antropometri berdasarkan indeks TB/U yang dikategorikan menjadi stunting dan normal. Tinggi badan orang tua adalah tinggi badan dari ayah dan ibu, yang diukur menggunakan alat pengukur tinggi badan microtoice. Stunting adalah keadaan fisik anak usia 24-59 bulan yang memiliki z score TB/U kurang dari -2 SD berdasarkan referensi WHO 2005.

Analisis univariat dilakukan untuk memperoleh gambaran distribusi dan frekuensi dari berbagai variabel yang diteliti.. Untuk menguji hubungan antar variable digunakan uji korelasi spearman dan uji Chi Square. Untuk menentukan faktor determinan stunting dilakukan dengan analisis regresi linear berganda dengan metode stepwise

Sebagian besar anak, baik yang berada dalam keadaan stunting maupun normal berada dalam rentang usia 24 - 35 bulan, yaitu masing-masing 19,7% dan 24,4 Berdasarkan tempat tinggalnya, anak yang tinggal di desa lebih banyak jumlahnya daripada yang tinggal di kota baik anak dengan kategori stunting maupun normal. Proporsi terbanyak pendidikan kepala keluarga dan pendidikan ibu adalah pendidikan dasar. Sebagian besar kepala keluarga memiliki pekerjaan,

(6)

sebaliknya sebagian besar ibu tidak bekerja. Sebagian besar ayah dan ibu bekerja sebagai petani.

Jumlah anak yang mengidap penyakit infeksi baik pada kelompok stunting dan normal jumlahnya tidak jauh berbeda yaitu masing-masing 50,5% yang mengidap penyakit infeksi dan 49,5% yang tidak mengidap penyakit. Jenis penyakit infeksi yang terbanyak diderita anak adalah ISPA dan diare. Sebagian besar ibu (71%), baik yang memiliki anak stunting maupu n normal mempunyai perilaku higienis kurang. Sisanya (29%) ibu berperilaku higienis baik. Sebagian besar (75%) lingkungan anak baik paada kelompok stunting maupun normal berada dalam kategori sanitasi lingkungan sedang. Hanya sebagian kecil (7%) responden berada dalam kategori sanitasi lingkungan baik.

Rumah tangga pada kedua kelompok dengan akses dan pemanfaatan baik dan sedang jumlahnya tidak jauh berbeda, yaitu masing-masing, yaitu sebesar 36.6 dan 37.7%. Sementara rumah tangga dengan akses dan pemanfaatan kesehatan kurang sebesar 26.7%. Anak dengan status gizi normal menurut TB/U berjumlah 53, 3% dan anak dengan z-score yang lebih rendah dengan -2 atau stunting berjumlah 46, 7%.

Berdasarkan uji statistik, penyakit infeksi berhubungan dengan sanitasi lingkungan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan (p<0.05). Sementara dengan variabel perilaku higienis tidak terdapat hubungan yang nyata.

Hasil regresi linier berganda menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan. Secara keseluruhan ke-9 variabel tersebut memberikan kontribusi pada status gizi sebesar 4,58%.

Faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap stunting adalah tinggi badan ayah, tinggi badan ibu, umur, tempat tinggal, status sosial ekonomi, pendidikan ibu, penyakit infeksi, personal higiene dan sanitasi lingkungan.

Rekomendasi yang dapat diberikan diantaranya adalah : (1) Perbaikan ekonomi keluarga diantaranya dengan mendorong pengusaha atau pemerintah setempat untuk menggalakan potensi daerah setempat dengan menggunakan tenaga lokal seperti ibu rumah tangga, khususnya di desa; (2) Perbaikan kesehatan lingkungan diantaranya fasilitas air bersih tempat sampah, dan saluran pembuangan limbah rumah tangga; (3) Meningkatkan KIE khususnya pada ibu rumah tangga diantaranya tentang pentingnya menjaga kesehatan anak balita dan perilaku higienis dan pentingnya menjaga kebersihan lingkungan; dan (4) Untuk bidang kesehatan, kegiatan yang dapat dilakukan adalah melakukan revitalisasi Posyandu dan meningkatkan akses dan pelayanan kesehatan di masyarakat.

(7)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

(8)

FAKTOR DETERMINAN “STUNTING” PADA

ANAK USIA 24 – 59 BULAN DI INDONESIA

ADITIANTI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Mayor Gizi Masyarakat

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(9)
(10)

Judul Tesis : Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24 – 59 Bulan

di Indonesia Nama : Aditianti

NRP : I151080141

Program Studi : Ilmu Gizi Masyarakat

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc

Ketua Anggota

Diketahui

Koordinator Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Gizi Masyarakat

drh. M. Rizal M. Damanik, MRepSc, PhD Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada AllahSWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang bejudul Faktor Determinan Stunting pada Anak Usia 24-59 bulan di Indonesia. Tesis ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar master (S2) pada program study Ilmu Gizi, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Dari lubuk hati yang paling dalam penulis menghaturkan terimakasih yang tulus dan penghargaan yang tinggi kepada kepada Prof. Dr. Ir. Ali Khomsan, MS dan Prof. Dr. Ir. Dadang Sukandar, MSc yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang sangat berharga dalam penyusunan tesis ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hadi Riyadi, MS sebagai dosen penguji luar komisi dan kepada Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS selaku moderator yang telah memandu jalannya sidang tesis.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Badan Litbangkes, Kementrian Kesehatan RI yang telah mengizinkan penulis untuk memanfaatkan data hasil Riskesdas 2007 sebagai bahan analisis penelitian ini dan telah memberi beasiswa sehingga dapat menempuh pendidikan S2 di Institut Pertanian Bogor Mayor Ilmu Gizi Masyarakat. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada seluruh staf pengajar program studi Gizi Masyarakat Sekolah Pascasarjana IPB yang telah memberikan ilmunya selama penulis menempuh studi, serta seluruh staf administrasi program studi Gizi Masyarakat dan Sekolah Pascasarjana IPB atas pelayanan yang telah diberikan.

Kepada DR Abas Basuni Jahari, MSc selaku ketua Kelompok Kerja Penelitian Gizi Masyarakat (KPP-GM) penulis menyampaikan terimakasih atas izinnya untuk melanjutkan sekolah dan arahan dalam menyelesaikan tesis ini.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada teman- teman GM angkatan 2008 atas kebersamaan, bantuan dan dukungannya selama menempuh pendidikan di program studi Gizi Masyarakat IPB. Kita telah melewati masa-masa indah di bangku kuliah. Terima kasih pula kepada Pera atas diskusi statistiknya dan teman-teman di Puslitbang Gizi dan makanan, khususnya Kelompok Kerja Penelitian Komunikasi Informasi dan Edukasi (KPP KIE).

Kepada suami tercinta, Reza Mulyawan dan anakku M. Alif Satria Adiza, terima kasih atas semua do’a, dukungan, pengertian dan kasih sayang selama penulis menempuh pendidikan. Terima kasih tak terhingga kepada kepada Ayahanda Bambang Mandoyoreno dan Ibunda Hj. Sriwiati dan adiku Danti Astrini serta kepada keluarga H. Oyok Sukardi yang tak putus-putusnya selalu memberikan dukungan dan mendoakan untuk kelancaran dan keberhasilan penulis.

Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah berpartisipasi dalam menyelesaikan studi ini, penulis ucapkan terimakasih, semoga Allah SWT memberikan balasan atas semua kebaikannya. Akhir kata, semoga tesis ini dapat memberikan manfaat bagi pengembangan keilmuan, khususnya terkait dengan stunting pada anak.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat

Bogor, Agustus 2010 Aditianti

(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 10 Maret 1981 dari ayah H. Bambang Mandoyoreno dan Ibu Hj. Sriwiati. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara.

Pada tahun 1996 penulis menamatkan pendidikan di SMP Negeri 4 Bogor dan melanjutkan sekolah di SMA Negeri 3 Bogor. Tahun 1999 penulis lulus dan pada tahun yang sama penulis diterima di Insitut Pertanian Bogor jurusan Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga melalui jalur PMDK dan berhasil lulus pada tahun 2003. Tahun 2008 penulis menempuh pendidikan Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor.

Pada tahun 2004 penulis diterima bekerja sebagai ahli gizi pada Rumah Sakit Bogor Medical Center (BMC) selanjutnya pada tahun 2005 penulis bekerja sebagai PNS di Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi dan Makanan, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Kementrian Kesehatan hingga saat ini.

(13)

i DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... i

DAFTAR TABEL ... iii

DAFTAR GAMBAR ... iv PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1 Tujuan ... 4 Kegunaan ... 4 TINJAUAN PUSTAKA... 5

Gangguan Pertumbuhan Linier... ... 5

Indeks Antropometri menurut TB/U... ... 5

Status Gizi... ... 7

Karaktristik Keluarga... ... 8

Besar Keluarga………... ... 8

Pendidikan Orang Tu………... . 9

Pekerjaan Orang Tua………... ... 10

Pengeluaran ... 11 Penyakit Infeksi………. ... 11 Sanitasi Lingkungan………... 12 Pelayanan Kesehatan... ... 15 Puskesmas………... 16 Polindes……… ... 16 Posyandu………... 17 Perilaku Higienis... ... 17 KERANGKA PEMIKIRAN ………. ... 18 METODE PENELITIAN……….. ... 22

Data yang Digunakan... ... 22

Desain dan Lokasi Penelitian ………...… ... 23

Cara Pengumpulan Data Penelitian... ... 23

Populasi dan Sampel... 24

Keterbatasan Penelitian ... 25

(14)

ii

Analisis Data... ... 28

Definisi Operasional ……… ... . 29

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. ... 31

Gambaran Umum Indonesia……….. ... 31

Karakteristik Anak... ... 31

Karakteristik Keluarga... ... 32

Status Gizi menurut TB/U... ... 36

Penyakit Infeksi……… ... 38

Perilaku Higienis... ... 40

Sanitasi Lingkungan... ... 42

Akses dan Pemanfaan Pelayanan Kesehatan... ... 45

Tinggi Badan Orang Tua... ... 48

Hubungan sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan perilaku higienis dengan penyakit infeksi... ... 50

Faktor Determinan Stunting... ... 52

KESIMPULAN DAN SARAN………,, ... 58

Simpulan……… ... 58

Saran……….. ... 59

(15)

iii

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Pengkategorian variabel penelitian…………..…………... ... 27

Tabel 2 Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia……... ... 31

Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karekteristik keluarga…………. ... 34

Tabel 4. Sebaran jenis pekerjaan ayah………... 35

Tabel 5. Sebaran jenis pekerjaan ibu………. ... 36

Tabel 6 Sebaran prevalensi stunting ……….. ... 37

Tabel 7 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi……….. ... 39

Tabel 8 Sebaran anak berdasarkan variabel sanitasi lingkungan….. ... 44

Tabel 9 Sebaran anak berdasarkan variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan………. ... 47

Tabel 10 Sebaran tinggi badan ayah………. ... 49

Tabel 11 Sebaran tinggi badan ibu………. ... 49

Tabel 10 Sebaran penyakit infeksi berdasarkan personal higiene, sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ……… ... 50

Tabel 11 Hasil uji F bagi peubah bebas terhadap TB/U……… ... 53

Tabel 12 Sebaran penyakit infeksi beerdasarkan sanitasi lingkungan, Personal higiene dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ... 50

(16)

iv

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi

status gizi anak menurut TB/U.…………..…………... ... 21

Gambar 2 Sebaran anak berdasarkan status gizi menurut TB/U ... 38

Gambar 3 Sebaran anak berdasarkan jenis penyakit infeksi………… ... 39

Gambar 4 Sebaran anak berdasarkan perilaku higienis ibu…………. ... 41

Gambar 5 Sebaran anak berdasarkan jenis perilaku higienis ... 41

Gambar 6 Sebaran anak berdasarkan sanitasi lingkungan………. ... 42

Gambar 7 Sebaran anak berdasarkan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan ... 46

(17)
(18)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh ketersediaan sumberdaya manusia (SDM) yang berkualitas, yaitu SDM yang memiliki fisik yang tangguh, mental yang kuat, kesehatan yang prima, serta cerdas. Sebagai generasi penerus bangsa, anak diharapkan menjadi sumberdaya manusia yang berkualitas. Untuk mewujudkannya, di samping dibutuhkan pendidikan yang baik, faktor gizi pun penting untuk diperhatikan.

Masa balita merupakan salah satu masa penting untuk kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak. Masa ini merupakan salah satu masa yang paling penting untuk meletakan dasar-dasar kesehatan dan intelektual anak untuk kehidupan yang akan datang. Menurut Syarief (1997), tahun-tahun pertama kehidupan seorang anak, merupakan periode yang sangat menentukan masa depannya. Kekurangan gizi pada periode ini dapat mengakibatkan terganggunya perkembangan mental dan kemampuan motorik anak. Gangguan tersebut sulit diperbaiki hingga periode berikutnya.

Berdasarkan hal tersebut, masalah gizi anak perlu mendapatkan perhatian. Namun pada kenyataannya, masih terdapat masalah yang berhubungan dengan keadaan gizi pada masa balita. Menurut Depkes (2008) yang diperoleh melalui penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007 di Indonesia terdapat 13% anak balita dengan status gizi kurang bahkan terdapat 5,4 % anak balita berstatus gizi buruk dan 4,3 % anak mempunyai status gizi lebih. Sebesar 7,4% anak mempunyai status gizi kurus bahkan 6,2% anak sangat kurus dan 12,2% anak gemuk. Keadaan gizi lain yang dapat ditemukan pada anak adalah pendek (stunting). Jumlah anak stunting sebesar 36,8% atau berjumlah 9,3 juta anak. Jumlah ini jauh lebih besar daripada jumlah anak yang berstatus gizi kurang dan berstatus gizi kurus.

Di Indonesia, seperti negara berkembang lainnya masalah gizi pada balita adalah wasting, anemia, berat badan lahir rendah dan stunting. Prevalensi stunting tertinggi terjadi pada anak saat anak berusia 24 – 59 bulan (Ramli et al. 2009). Stunting mengindikasikan masalah kesehatan masyarakat karena

(19)

2 berhubungan dengan meningkatknya risiko morbiditas dan mortalitas, terhambatnya perkembangan dan fungsi motorik dan mental serta mengurangi kapasitas fisik. Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunting (Ricci & Becker 1996). Dampaknya pada masa dewasa diantaranya adalah terbatasnya kapasitas kerja karena terjadi pengurangan aktivitas tubuh dan pada wanita dapat menyebabkan terjadinya risiko komplikasi kandungan karena memiliki ukuran panggul yang kecil serta berisiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah (Shrimpton 2006). Sementara Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting

Pada keadaan stunting, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009).

Penilaian status gizi pada anak dapat dilakukan dengan metode antropometri. Dengan menggunakan indeks antropometri, di samping mudah penggunaannya biaya operasionalnya pun lebih murah dibandingkan dengan cara lengkap yang menggunakan pemeriksaan laboratorium dan klinis (Jahari 1988). Menurut Faber & Benade (1998) antropometri mudah diterima, tidak mahal, cepat dan merupakan indikator kesehatan yang objektif. Terdapat beberapa indeks antropometri yang umum dikenal yaitu berat badan menurut umur (BB/U), panjang badan atau tinggi badan menurut umur (PB/U atau TB/U), dan berat badan menurut tinggi badan (BB/TB).

(20)

3 Status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan penyakit infeksi saja yang disebut dengan determinan langsung. Faktor lainnya adalah lingkungan rumah atau disebut dengan determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan (UNICEF 1990). Menurut Kilimbira et al. (2006), faktor yang menyebabkan terjadinya kekurangan gizi pada anak adalah kurangnya akses untuk mendapatkan pangan, pola asuh yang tidak tepat, sanitasi yang buruk dan kurangnya pelayanan kesehatan.

Banyak anak yang berasal dari keluarga miskin di negara berkembang yang mengalami stunting sejak bayi dikarenakan penyakit infeksi dan kurangnya asupan makanan yang bergizi (Faber & Benade 1998). Penelitian di Sudan melaporkan melaporkan konsumsi zat gizi, jenis kelamin, status pemberian ASI dan status sosial ekonomi merupakan fakor yang berkorelasi positif dengan kejadian stunting pada anak usia 6-72 bulan (Sedgh et al. 2000). Menurut Ramli et al. (2009) yang melakukan penelitian tentang faktor risiko stunting di Maluku menyatakan bahwa faktor risiko stunting pada anak adalah usia anak, jenis kelamin dan rendahnya status sosial ekonomi. Sementara menurut Schmidt et al (2002) berat badan dan tinggi badan bayi lahir adalah faktor yang paling mempengaruhi tinggi badan bayi hingga berusia 15 bulan.

Anak adalah generasi penerus bangsa. Untuk mewujudkan bangsa besar, keadaan gizi anak perlu diperhatikan. Sejak lahir hingga berusia lima tahun merupakan periode yang penting dalam pertumbuhan anak, karena masa tersebut adalah masa yang rentan dan akan menentukan masa depannya.

Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang status gizi menurut TB/U pada anak berusia 24-59 bulan dan faktor determinan yang mempengaruhinya dengan menggunakan data Riskesdas 2007.

(21)

4 Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor –faktor yang menyebabkan terjadinya stunting pada anak balita usia 24 – 59 bulan. Sementara itu, tujuan khusus penelitian ini adalah :

1. Mempelajari karakteristik anak usia 24 – 59 bulan dan keluarganya

2. Mempelajari penyakit infeksi, sanitasi lingkungan, perilaku higienis, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan tinggi badan orang tua 3. Mempelajari status gizi menurut indikator tinggi badan menurut umur

(TB/U)

4. Menganalisis hubungan antara sanitasi lingkungan, perilaku higienis dan akses dan pemanfaatan kesehatan dengan penyakit infeksi.

5. Menganalisis faktor determinan stunting pada anak usia 24 – 59 bulan

Kegunaan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang faktor determinan stunting pada anak. Bagi pemerintah penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan informasi untuk perencanaan program tentang penanganan masalah stunting

Bagi bidang pendidikan penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan khususnya masalah stunting. Sementara bagi penulis, penelitian ini dapatt menambah pengetahuan dan pengalaman khususnya di bidang gizi masyarakat, sekaligus sebagai media untuk menerapkan ilmu pengetahuan yang telah diperoleh di bangku kuliah.

(22)

5

TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Pertumbuhan Linier (Stunting)

Gangguan pertumbuhan linier yang tidak sesuai dengan umur merefleksikan masalah gizi kurang. Gangguan pertumbuhan linier (stunting) mengakibatkan anak tidak mampu mencapai potensi genetik, mengindikasikan kejadian jangka panjang dan dampak kumulatif dari ketidakcukupan konsumsi zat gizi, kondisi kesehatan dan pengasuhan yang tidak memadai (Shrimpton 2006).

Pada keadaan stunted, tinggi badan anak tidak memenuhi tinggi badan normal menurut umurnya. Anak yang pendek berkaitan erat dengan kondisi yang terjadi dalam waktu yang lama seperti kemiskinan, perilaku hidup bersih dan sehat yang kurang, kesehatan lingkungan yang kurang baik, pola asuh yang kurang baik dan rendahnya tingkat pendidikan. Oleh karena itu masalah balita pendek merupakan cerminan dari keadaan sosial ekonomi masyarakat. Karena masalah gizi pendek diakibatkan oleh keadaan yang berlangsung lama, maka ciri masalah gizi yang ditunjukkan oleh balita pendek adalah masalah gizi yang sifatnya kronis (Depkes 2009).

Menurut Nurmiati (2006) yang melakukan penelitian tentang pertumbuhan dan perkembangan pada anak balita yang mengalami stunting menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan kelompok anak normal lebih baik daripada kelompok anak stunting. Menurut WHO 2005, indikator tinggi badan menurut umur kurang dari -2 SD median National Center for Health Statistic/ World Health Organization (NCHS/WHO) didefinisikan sebagai kejadian stunting.

Indeks Antropometri Tinggi Badan menurut Umur (TB/U)

Indeks antropometri lebih praktis, cukup teliti, dan mudah dilakukan oleh siapa saja dengan bekal latihan sederhana. Menurut Gibson (1990) antropometri berarti ukuran tubuh manusia, sehingga antropometri gizi berhubungan dengan

(23)

6 berbagai macam pengukuran dimensi tubuh dan komposisi tubuh dari berbagai tingkat umur dan tingkat gizi.

Menurut Jahari & Abunain (1986) indeks antropometri untuk memantau status gizi merupakan suatu pilihan alternatif cara yang termudah. Disamping mudah penggunaannya, biaya operasionalnya pun lebih mudah dibandingkan pemeriksaan laboratorium dan klinis. Untuk mengukur status gizi secara antropometri dianjurkan menggunakan tiga ukuran yaitu berat badan, tinggi badan dan umur. Selanjutnya, ketiga ukuran tersebut dikombinasikan membentuk tiga indikator status gizi yaitu berat badan menurut umur (BB/U), tinggi badan menurut umur (TB/U), berat badan menurut tinggi badan (BB/TB). Indikator-indikator tersebut lalu dibandingkan dengan standar baku yang ditetapkan. Menurut Husaini (1988) masing-masing indikator mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan indikator TB/U adalah :

1. Merupakan indikator yang baik untuk mengetahui kurang gizi pada masa lampau

2. Pengukuran objektif dan memberikan hasil yang sama jika dilakukan berulang-ulang

3. Alat pengukuran mudah dibawa dan dapat dibuat secara lokal 4. Ibu yang keberatan jika anaknya diukur sangat jarang

5. Paling baik untuk anak yang berusia lebih dari 2 tahun Kekurangan indikator TB/U adalah :

1. Dalam menilai intervensi, harus disertai dengan indikator lain seperti BB/U 2. Membutuhkan beberapa tekhnik pengukuran seperti : alat ukur panjang

badan untuk anak umur < 2 tahun dan alat ukur TB untuk anak umur > 2 tahun

3. Lebih sulit untuk dilakukan, bila kader/pertugas belum mempunyai pengalaman

4. Memerlukan dua orang untuk mengukur anak

5. Umur kadang-kadang sulit untuk didapatkan secara pasti

Jahari (1988) menambahkan bahwa tinggi badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Pertumbuhan tinggi badan relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek.

(24)

7 Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap tinggi badan akan tampak pada saat yang cukup lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi masa lalu. Indeks TB/U di samping dapat memberikan gambaran tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dalam masalah sosial ekonomi (Martorell 1985 dalam Jahari 1988). Oleh karena itu indeks TB/U, di samping digunakan sebagai indikator status gizi dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat.

Tinggi Badan tidak terpengaruh oleh keadaan yang terjadi dalam waktu singkat. Tinggi badan juga merupakan indikator yang baik bagi pertumbuhan kerangka tubuh. Gangguan pertumbuhan merupakan salah satu tanda yang ditemukan pada penderita KEP. Ketinggalan pertumbuhan akibat gangguan gizi yang terjadi pada masa anak-anak sulit dikejar dan akan terlihat akibatnya pada umur-umur selanjutnya bahkan pada waktu dewasa. Dengan demikian, tinggi badan merupakan indikator yang baik untuk status energi dan protein masa lalu (Abunain & Jahari 1987).

Status Gizi

Status gizi merupakan keadaan kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh konsumsi, penyerapan (absorpsi) dan penggunaan (utilisasi) zat gizi makanan (Riyadi 2001). Kekurangan konsumsi pangan dan gizi pada balita dapat menyebabkan berbagai macam penyakit yang disebabkan kurangnya asupan gizi. Kekurangan energi dan protein dalam jangka panjang dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan balita (Hardinsyah & Martianto 1992).

Menurut UNICEF (1990) status gizi balita tidak hanya dipengaruhi oleh konsumsi pangan saja, melainkan secara garis besar disebabkan oleh dua determinan utama, yaitu determinan langsumg dan determinan tidak langsung. Determinan langsung merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari individu itu sendiri. Hal ini meliputi intik makanan (energi, protein, lemak dan zat gizi mikro) dan adanya penyakit infeksi, sedangkan yang dimaksud determinan tidak langsung adalah faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi yang berasal dari lingkungan rumah. Determinan tidak langsung terdiri dari ketahanan pangan, pola pengasuhan, pelayanan kesehatan dan

(25)

8 kesehatan lingkungan. Keempat hal tersebut berkaitan dengan pendidikan, keterampilan, dan pengasuhan. Namun, faktor yang mendasarinya adalah kemiskinan.

Karakteristik Keluarga Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga mempengaruhi jumlah pangan yang dikonsumsi. Kualitas maupun kuantitas pangan secara langsung akan menentukan status gizi keluarga dan individu. Besar keluarga mempengaruhi pengeluaran pangan (Sanjur 1982).

Menurut Suhardjo (1989) besarnya jumlah keluarga menentukan pemenuhan kebutuhan makanan. Apabila jumlah anggota keluarga semakin banyak maka kebutuhan pangan pun semakin banyak pula. Jumlah anggota keluarga juga akan mempengaruhi jumlah dan jenis makanan yang tersedia dalam keluarga. Keluarga yang memiliki anggota keluarga dalam jumlah banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga.

Besar keluarga turut mempengaruhi pola pengasuhan yang diberikan kepada anak. Makin besar keluarga diduga semakin sedikit waktu dan perhatian ibu terhadap anak karena harus berbagi dengan anggota keluarga lainnya. Sebaliknya, pada keluarga kecil memungkinkan bagi ibu untuk merawat dan mengurus anak-anaknya dengan lebih baik. Dengan semakin bertambahnya anggota keluarga, jika pangan yang tersedia terbatas akan menyebabkan berkurangnya pangan yang didapat anak, sehingga dapat menimbulkan gangguan status gizi pada anak balita. Selain itu, keluarga yang memiliki anggota keluarga yang jumlahnya banyak akan berusaha membagi makanan yang terbatas sehingga makanan yang dikonsumsi tidak sesuai dengan kebutuhan masing-masing anggota keluarga. Anak-anak yang sedang tumbuh dari suatu keluarga miskin adalah kelompok yang paling rawan terhadap gizi

(26)

9 kurang diantara semua anggota keluarga, anak yang paling kecil biasanya yang paling terpengaruh oleh kekurangan pangan (Suhardjo 1989).

Situasi semacam ini sering terjadi sebab seandainya besar keluarga bertambah, maka pangan untuk setiap anak berkurang dan banyak orang tua tidak menyadari bahwa anak-anak yang sedang tumbuh memerlukan pangan yang relatif lebih tinggi daripada golongan yang lebih tua. Jumlah anggota keluarga berperngaruh terhadap terjadinya stunting pada anak. Semakin bertambahnya jumlah anggota keluarga, terjadinya stunting semakin besar (Soehardjo 1989)

Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa dengan bertambahnya jumlah anggota keluarga, maka pengaturan pengeluaran pangan sehari-hari semakin sulit. Hal ini mengakibatkan kualitas dan kuantitas pangan yang diperoleh semakin tidak mencukupi untuk anggota keluarga termasuk anak balita. Besar keluarga merupakan faktor risiko terjadinya kurang gizi pada anak di negara berkembang

Menurut Adeladza (2009) besarnya keluarga dapat menjadi faktor risiko terjadinya malnutrisi pada anak di negara berkembang. Penelitian ini menemukan bahwa anak-anak dari rumah tangga yang besar lebih banyak yang mengalami kurang gizi. Sumberdaya yang tersedia jika anggota keluarga tersebut besar tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anak seperti terbatasnya asupan makanan pada anak.

Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi (Rahmawati 2006). Pendidikan memiliki peranan yang sangat penting dalam meningkatkan kualitas hidup seseorang. Tingkat pendidikan orang tua marupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi anak (Madanijah 2003). Dalam pengasuhan anak, pendidikan orang tua terutama pendidikan ibu penting diperhatikan karena turut menentukan dalam kualitas pengasuhan anak. Pendidikan formal yang lebih tinggi pada ibu

(27)

10 membuat pengetahuan gizi dan pola pengasuhan seorang ibu akan bertambah baik (Amelia 2001).

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk pemberian makan, pola konsumsi pangan dan status gizi. Umumnya pendidikan seseorang akan mempengaruhi sikap dan perilakunya dalam kehidupan sehari-hari. Ibu yang memiliki tingkat pendidikan tinggi akan lebih mudah menerima pesan dan informasi mengenai gizi dan kesehatan anak (Rahmawati 2006).

Menurut Madanijah (2003), terdapat hubungan positif antara pendidikan ibu dengan pengetahuan gizi, kesehatan dan pengasuhan anak. Ibu yang memiliki pendidikan tinggi cenderung mempunyai pengetahuan gizi, kesehatan, dan pengasuhan anak yang baik. Pendidikan ibu merupakan salah satu faktor penentu mortalitas bayi dan anak, karena tingkat pendidikan ibu berpengaruh terhadap tingkat pemahamannya terhadap perawatan kesehatan, higiene, dan kesadarannya terhadap kesehatan anak dan keluarga. Menurut Adeladza (2009), pendidikan ibu berhubungan dengan status gizi anak. Anak yang berasal dari ibu yang tidak berpendidikan lebih berisiko untuk mengalami underweight dibandingkan dengan ibu yang berpendidikan. Tingkat pendidikan merupakan faktor yang mempengaruhi kualitas dan kuantitas makanan, karena dengan tingkat pendidikan tinggi diharapkan pengetahuan dan informasi yang dimiliki tentang gizi menjadi lebih baik.

Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan seseorang sangat berhubungan dengan pendapatan yang didapatnya. Pekerjaan yang baik dan sesuai dengan bidangnya akan mendapatkan pendapatan yang sesuai. Menurut Patrick & Nicklas (2005), pendapatan sangat berhubungan dengan pola makan. Pendapatan yang tinggi berhubungan dengan konsumsi vitamin pada anak dan pola makan keluarga Anak yang berasal dari keluarga sosial ekonomi rendah di Inggris memiliki asupan energi dan zat gizi lainya banyak yang berasal dari makanan selingan

Saat ini, kaum wanita yang memasuki dunia kerja semakin besar. Ibu yang bekerja di luar rumah cenderung memiliki waktu yang lebih terbatas untuk

(28)

11 melaksanakan tugas rumah tangga dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja. Bila ini terjadi pada keluarga yang berpenghasilan rendah maka pola asuh makan anak akan terpengaruh dan pada akhirnya pertumbuhan dan perkembangan anak akan terganggu terutama pada masa usia prasekolah (Lusiasari & Susanto 1990).

Pengeluaran

Salah satu cara untuk melihat tingkat kesejahteraan atau status ekonomi rumah tangga adalah dengan mengetahui rata-rata pengeluaran rumah tangga yang bersangkutan. Salah satu hukum ekonomi yang dinyatakan oleh Ernest Engel menyatakan bahwa bila selera tidak berbeda maka persentase pengeluaran untuk makanan menurun dengan meningkatnya pendapatan (BPS 2008). Sementara itu Suhardjo (1989) menjelaskan bahwa dari hasil analisis data sekunder SUSENAS ditemukan adanya kecenderungan bahwa samakin besar pengeluaran pangan rumah tangga maka akan semakin rendah proporsi energi dari pangan padi-padian, lemak/minyak, serta buah-buahan.

Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Makin tinggi tingkat penghasilan rumah tangga, makin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap seluruh pengeluaran rumah tangga. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil dibandingkan persentase pengeluaran untuk non makanan (BPS 2008).

Penyakit Infeksi

Infeksi dapat berhubungan dengan gangguan gizi melalui beberapa cara yaitu mempengaruhi nafsu makan, dapat juga menyebabkan kehilangan bahan makanan karena diare/muntah atau pengaruh metabolisme makanan dan banyak cara lain lagi. Secara umum definisi gizi sering merupakan awal dari gangguan defisiensi sistem kekebalan (Suhardjo 1989). Keadaan gizi kurang dan infeksi bermula dari kemiskinan dan lingkungan yang tidak sehat dengan sanitasi yang buruk. Selain itu juga diketahui bahwa infeksi manghambat reaksi imunologis yang normal dengan menghabiskan sumber-sumber energi dalam tubuh.

(29)

12 Antara infeksi dan status gizi kurang terdapat interaksi timbal balik. Orang yang mengalami gizi kurang, daya tahan tubuh terhadap penyakit lebih rendah dan lebih mudah terkena serangan penyakit infeksi. Demikian pula sebaliknya infeksi yang akut mengakibatkan kurangnya nafsu makan dan toleransi terhadap makanan, sehingga orang yang terkena penyakit infeksi dapat mengalami kurang gizi. Anak balita sebagai golongan yang rawan, dengan kondisi tubuh yang lemah, akan mudah terserang penyakit menular. Hal ini mengakibatkan semakin lemahnya kondisi tubuh dan kehilangan nafsu makan, sehingga lama kelamaan status gizinya akan memburuk (Suhardjo 1989).

Adeladza

Lingkungan yang baik merupakan prakondisi untuk hidup sehat bagi masyarakat (Depkes 1991). Menurut Notoatmodjo (1997), kesehatan lingkungan pada hakekatnya adalah kondisi atau keadaan lingkungan yang optimum sehingga berpengaruh positif terhadap terwujudnya status kesehatan yang optimum. Ruang lingkup sanitasi lingkungan antara lain meliputi perumahan, pembuangan tinja, penyediaan air bersih, pembuangan sampah dan sebagainya. Menurut Sukarni (1989) melalui faktor lingkungan, seseorang yang keadaan

(2009) menyatakan terdapat interaksi antara penyakit infeksi dengan status gizi. Infeksi penyakit dapat menjadi penyebab menurunnya intake makanan. Sedikitnya intake makanan, berkurangnya nutrient akibat muntah, diare, malabsorpsi dan demam yang berkepanjangan dapat menyebabkan defisiensi nutrisi sehingga konsekuensinya adalah pertumbuhan dan sistem imunitas bayi dan anak akan terganggu.

Salah satu penyakit infeksi yang sering terjadi pada anak adalah diare. Menurut Faber & Benade (1998), selain asupan makanan, penyakit diare dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan anak. Penyakit diare yang dialami pada awal masa kanak-kanak dapat memberikan konsekuensi jangka panjang terhadap tinggi badan menurut umur. Sementara itu, menurut Bomela (2007), rendahnya kualitas air berhubungan dengan terjadinya water borne disease seperti diare, yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi dan kehilangan berat badan. Lokasi toilet juga berhubungan dengan higiene lingkungan di rumah.

(30)

13 fisik atau daya tahannya terhadap penyakit kurang, akan mudah terserang penyakit.

Sanitasi lingkungan erat kaitannya dengan status gizi seseorang. Syarief (1997) mengatakan status gizi selain ditentukan oleh jumlah dan mutu pangan yang dikonsumsi secara langsung juga dipengaruhi oleh faktor kesehatan dan sanitasi termasuk sanitasi lingkungan pemukiman. Pemukiman yang sanitasi lingkungannya tidak baik, seperti tidak tersedianya air bersih, jamban, tempat pembuangan sampah, tidak tersedia saluran pembuangan air kotor memungkinkan seseorang dapat menderita penyakit infeksi yang menyebabkan seseorang dapat menderita kurang gizi. Penyakit infeksi tersebut antara lain diare dan cacingan. Sediaoetama (1993) menambahkan bahwa penyakit infeksi dari infeksi cacing dapat memberikan hambatan absorpsi dan hambatan utilisasi zat gizi yang menjadi dasar timbulnya penyakit kurang energi protein. Menurut Bomela (2007) faktor lingkungan yang turut mempengaruhi status gizi adalah sumber air, tipe rumah dan lokasi toilet.

Menurut Sukarni (1989) keadaan perumahan mempunyai hubungan yang erat dengan status kesehatan penghuninya. Air bersih merupakan faktor utama yang menentukan bagi proses kehidupan dan kesehatan. Air yang bersih berperan penting dalam menjaga kesehatan karena beberapa bibit penyakit tertentu dapat ditularkan oleh air yang terkontaminasi. Air bersih dapat diperolah melalui : (1) sumur pompa tangan, (2) penampungan air hujan jika sumber mata air yang lain tidak ada, (3) mata air yang dirawat, dan (4) sumur gali tertutup. Agar memenuhi syarat kesehatan sebagai sumber air utama rumah tangga, maka sumber air harus dilindung dari bahaya-bahaya pengotoran.

Syarat air minum ditentukan oleh syarat fisik, kimia dan bakteriologis. Syarat fisik dikatakan baik, jika air tidak berwarna, berbau, tidak berasa, jernih dan suhu sebaiknya berada di bawah suhu udaha sehingga terasa nyaman. Syarat kimia dikatakan baik, jika tidak mengandung zat kimia atau mineral yang berbahaya bagi kesehatan misalnya CO2, H2S, NH4, dan lain-lain. Syarat bakteriologi dikatakan baik jika tidak mengandung bakteri E. coli yang melampaui batas yang ditentukan (Sukarni 1989).

(31)

14 Salah satu elemen penting untuk menunjang kesehatan manusia ialah air bersih dan sanitasi yang baik. Menurut situs resmi organisasi kesehatan dunia (WHO), dampak kesehatan dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar terhadap air bersih dan sanitasi diantarnya terlihat pada anak-anak sebagai kelompok usia rentan yang secara khusus berisiko terhadap penyakit bersumber air seperti diare, dan penyakit akibat parasit. Penyakit diare, secara spesifik, sebagian besar diakibatkan oleh air yang tidak bersih, sanitasi, dan higiene yang buruk (Anonymous 2007).

Sampah adalah semua zat atau benda yang sudah tidak terpakai baik yang berasal dari rumah tangga atau hasil proses industri. Agar sampah tidak membahayakan manusia, maka perlu pengaturan yaitu dalam hal penyimpanan, pengumpulan dan pembuangan. Untuk penyimpanannya, diperlukan tempat sampah di setiap rumah. Sementara itu, yang dimaksud dengan air limbah terdiri dari kotoran manusia, dapur dan kamar mandi termasuk air kotor dari permukaan tanah. Pengaturan air limbah sangat diperlukan diantaranya agar : (1) mencegah pengotoran sumber air rumah tangga, (2) menjaga kebersihan makanan agar tidak terkontaminasi, (3) melindungi air minum dari ternak dan (4) mencegah berkembangbiaknya bibit penyakit (Sukarni 1989).

Jamban ialah tempat pembuangan tinja yang memenuhi syarat kesehatan sehingga tinja tidak kontak langsung dengan lingkungan sekitar. Jamban merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Pembuatan jamban merupakan usaha manusia untuk memelihara kesehatan dengan membuat lingkungan tempat hidup yang sehat (Sukarni 1989). Berdasarkan data BPS tentang aksesibilitas terhadap fasilitas sanitasi hingga tahun 2006 tingkat rumah tangga di Indonesia yang menggunakan jamban pribadi baru mencapai 60% atau sekitar 31,8 juta. Dari angka tersebut, kualitas jamban yang baik yang klosetnya berbentuk leher angsa baru mencapai 62% saja. Rumah tangga yang mempunyai tangki pembuangan tinja juga baru mencapai 41% (Permanasari, Luciasari & Purwanto 2009)

Perilaku pembuangan kotoran manusia masih merupakan suatu kebiasaan yang kurang menunjang upaya peningkatan kesehatan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Pembuangan yang tidak baik berperan dalam pencemaran tanah dan

(32)

15 sumber air bersih yang dibutuhkan manusia untuk minum, masak, mandi dan mencuci. Akibat langsung, yaitu meningkatnya insiden penyakit-penyakit tertentu seperti diare, kolera, serta tipus yang ditularkan melalui air yang terkontaminasi. Selain itu kotoran manusia di permukaan tanah lama-kelamaan menjadi kering. Setelah kering terbawa tiupan angin bersama-sama debu dan menyebar kemana-mana sambil membawa kuman penyakit seperti bakteri, telur cacing, kista amuba dan lain-lain. Di samping itu lalat dan insekta lainnya bisa hinggap di atas tinja dan selanjutnya hinggap di atas makanan sambil membawa kuman penyakit seperti tersebut di atas. Penurunan kondisi higiene lingkungan akan menyebabkan menurunnya kesejahteraan masyarakat (Kusnodiharjo 1997).

Pelayanan Kesehatan

Pelayanan kesehatan adalah upaya yang diselenggarakan sendiri atau bersama-sama dalam organisasi untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat (Levey & Loomba dalam Brotojoyo 2006). Pelayanan kesehatan yang ideal mengandung arti bahwa pelayanan sesuai dengan kondisi penyakit yang diderita dan keberadaan pasien, tanpa mengenal deskriminatif dari segi apapun dan menjangkau semua lapisan masyarakat di seluruh wilayah Indonesia (BPS 2004).

Pelayanan Kesehatan Dasar atau Primary Health Care di Indonesia dilakukan melalui Puskesmas, Posyandu, Dasawisma, yang kesemuanya mengkomunikasikan gagasan, nilai, dan perilaku yang menguntungkan kesehatan selain memberikan perawatan kuratif kepada penduduk yang umumnya lapisan bawah, maupun penduduk mayoritas pedesaan.

Pelayanan kesehatan adalah akses atau keterjangkauan anak dan keluarga terhadap upaya pencegahan penyakit dan pemeliharaan kesehatan seperti imunisasi, pemeriksaan kehamilan, pertolongan persalinan, penimbangan anak, penyuluhan kesehatan dan gizi, serta sarana kesehatan yang baik seperti posyandu, puskesmas, praktek bidan atau dokter, rumah sakit dan persediaan air bersih. Ketidakterjangkauan pelayanan kesehatan (karena jauh dan atau tidak mampu membayar), kurangnya pendidikan dan pengetahuan, merupakan

(33)

16 kendala masyarakat dan keluarga memanfaatkan secara baik pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini dapat berdampak juga pada status gizi anak.

Kejadian infeksi penyakit (morbiditas) erat kaitannya dengan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Selain itu pelayanan kesehatan dan sanitasi lingkungan juga berkaitan erat dengan morbiditas dan akhirnya berpengaruh terhadap status gizi. Upaya penurunan angka morbiditas dan meningkatkan status gizi bayi dan balita dapat diusahakan melalui memanfaatkan akses pelayanan kesehatan dan penatalaksanaan kasus penderita secara benar dan tepat waktu (Hidayat, Hermina & Fuada 2009).

Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS)

Puskesmas adalah organisasi fungsional yang menyelenggarakan upaya kesehatan yang bersifat menyeluruh, terpadu, merata, dapat diterima dan terjangkau oleh masyarakat, dengan peran serta aktif masyarakat dan menggunakan hasil pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna, dengan biaya yang dapat dipikul oleh pemerintah dan masyarakat. Upaya kesehatan tersebut diselenggarakan dengan menitikberatkan kepada pelayanan untuk masyarakat luas guna mencapai derajat kesehatan yang optimal, tanpa mengabaikan mutu pelayanan kepada perorangan. Pengelolaan Puskesmas umumnya berada di bawah dinas kesehatan kabupaten/kota.

Pondok Bersalin Desa (POLINDES)

Pondok Bersalin Desa (Polindes) adalah salah satu bentuk Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) yang merupakan wujud nyata bentuk peran serta masyarakat didalam menyediakan tempat pertolongan persalinan dan pelayanan kesehatan ibu dan anak lainnya, termasuk KB di desa. Latar belakang sebagai bentuk peranserta masyarakat, polindes seperti halnya posyandu, dikelola oleh pamong setempat, dalam hal ini kepala desa melalui Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM). Namun berbeda dengan posyandu yang pelaksanaan pelayanan dilakukan oleh kader dan didukung oleh petugas puskesmas, polindes dalam pelaksanaan pelayanannya sangat tergantung pada keberadaan bidan. Hal ini karena pelayanan di Polindes merupakan pelayanan

(34)

17 profesi kebidanan Faktor penghambat tumbuh kembang Polindes antara lain kesulitan mendapatkan lokasi yang strategis, kesulitan menggali peran serta masyarakat, bidan tidak tinggal di desa, budaya masyarakat melahirkan di tolong oleh dukun dan melahirkan dirumahnya sendiri (Depkes 2006).

Pos Pelayanan Terpadu (POSYANDU)

Pengertian Posyandu adalah suatu wadah komunikasi alih teknologi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat dengan dukungan pelayanan serta pembinaan teknis dari petugas kesehatan dan keluarga berencana yang mempunyai nilai strategis untuk pengembangan sumber daya manusia sejak dini. Sasaran Posyandu adalah bayi/Balita, ibu hamil/ibu menyusui dan wanita usia subur (WUS) dan pasangan usia subur (PUS) (Sembiring 2004).

Tujuan penyelenggaraan Posyandu adalah : (1) Menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB), Angka Kematian Ibu ( ibu Hamil, melahirkan dan nifas); (2) Membudayakan NKKBS; (3) Meningkatkan peran serta dan kemampuan masyarakat untuk mengembangkan kegiatan kesehatan dan KB beserta kegiatan lainnya yang menunjang untuk tercapainya masyarakat sehat sejahtera dan (4) Berfungsi sebagai Wahana Gerakan Reproduksi Keluarga Sejahtera, Gerakan Ketahanan Keluarga dan Gerakan Ekonomi Keluarga Sejahtera. Kegiatan Pokok Posyandu adalah : (1) KIA; (2) KB; (3) lmunisasi; (4) Gizi dan (5) Penggulangan Diare. Pelaksanaan posyandu umumnya setiap sebulan sekali Dalam pelaksanaannya, dilakukan pelayanan masyarakat dengan sistem 5 (lima) meja yaitu : (1) Meja I : Pendaftaran; (2) Meja II : Penimbangan ; (3) Meja III : Pengisian KMS ; (4) Meja IV : Penyuluhan perorangan berdasarkan KMS dan (5) Meja V : Pelayanan Keluarga berencana dan imunisasi (Sembiring 2004).

Perilaku Higienis

Cuci tangan merupakan salah satu kebiasaan yang tercakup dalam perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Meski terkesan sepele, cuci tangan memiliki manfaat besar. Mencuci tangan adalah kegiatan membersihkan bagian

(35)

18 telapak, punggung tangan dan jari agar bersih dari kotoran dan membunuh kuman penyebab penyakit yang merugikan kesehatan manusia serta membuat tangan menjadi harum baunya. Banyak orang yang menyepelekan dan melupakan aktifitas mencuci tangan setelah melakukan suatu pekerjaan dan sebelum makan sehingga mereka berisiko terserang penyakit yang berasal dari kuman di tangan (Adytama 2009).

Cuci tangan efektif mencegah penyakit dengan catatan dilakukan secara benar. Syaratnya menggunakan air dan sabun antiseptik yang bisa membunuh kuman, dilakukan pada seluruh bagian telapak dan jari-jari tangan, serta menggunakan air yang mengalir. Cuci tangan sebaiknya dilakukan pada saat sebelum makan, sesudah beraktivitas dari luar, sebelum menghidangkan makanan, sesudah dari toilet/kamar mandi, dan sesudah memegang hewan. Praktik cuci tangan pakai sabun pada waktu tertentu, yaitu sebelum makan, setelah buang air besar, sebelum memegang bayi, setelah menceboki pantat anak, dan sebelum menyiapkan makanan bisa mengurangi prevalensi diare sampai 40% (Adytama 2009).

(36)

19 KERANGKA PEMIKIRAN

Masa balita merupakan masa emas dalam proses kehidupan manusia untuk meletakkan dasar-dasar kecerdasan, kepribadian, dan kemandirian dimana pertumbuhan mental dan intelektual berkembang dengan sangat cepat. Pada masa ini terbentuklah dasar-dasar kemampuan keindraan, berpikir dan berbicara serta pertumbuhan mental intelaktual yang intensif yang juga merupakan awal dari pertumbuhan moral (Mariani 2003).

Salah satu faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang balita adalah terpenuhinya asupan gizi pada anak. Kekurangan gizi yang terjadi pada masa tersebut dapat mengakibatkan terganggunya pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan spiritual. Bahkan pada bayi, gangguan tersebut dapat bersifat permanen dan sangat sulit untuk diperbaiki. Kekurangan gizi pada bayi dan balita, dengan demikian, akan mengakibatkan rendahnya kualitas sumber daya manusia (Satoto 1990).

Namun pada kenyataanya, masih terdapat adanya masalah gizi pada anak. Menurut Depkes (2008) jumlah balita berstatus gizi kurang adalah 13% bahkan terdapat 5,4% anak dengan status gizi buruk, 6,2% balita sangat kurus dan 7,4% balita berstatus gizi kurus. Jumlah balita pendek (stunting) adalah sebesar 36,8%. Jumlah balita pendek jauh lebih besar dibandingkan balita gizi kurang dan balita kurus. Berdasarkan batas masalah gizi masyarakat WHO, bila prevalensi stunting lebih dari 20%, hal tersebut menandakan adanya masalah gizi masyarakat (Depkes 2009).

Anak dengan keadaan stunting tidak mengalami potensi pertumbuhan secara maksimal dan dapat menjadi remaja dan dewasa yang stunted (Ricci & Becker 1996). Stunting diakibatkan oleh kekurangan makanan atau sakit dalam jangka waktu yang lama (Depkes 2009).

Menurut UNICEF (1990), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi status gizi pada anak. Faktor penyebab langsung pertama adalah penyakit infeksi dan makanan yang dikonsumsi harus memenuhi jumlah dan komposisi zat gizi yang memenuhi syarat gizi seimbang. Konsumsi pangan dipengaruhi oleh ketersediaan pangan, Ketersediaan pangan sepanjang waktu, dalam jumlah yang

(37)

20 cukup dan harga terjangkau sangat menentukan tingkat konsumsi pangan di tingkat rumah tangga.

Kedua faktor penyebab langsung tersebut dapat ditimbulkan oleh tiga faktor penyebab tidak langsung, yaitu: (i) ketersediaan dan pola konsumsi pangan dalam rumah tangga, (ii) pola pengasuhan anak, dan (iii) jangkauan dan mutu pelayanan kesehatan masyarakat. Ketiganya dapat berpengaruh pada kualitas konsumsi makanan anak dan frekuensi penyakit infeksi. Ketidakstabilan ekonomi, politik dan sosial, dapat berakibat pada rendahnya tingkat kesejahteraan rakyat yang antara lain tercermin pada maraknya masalah gizi kurang dan gizi buruk di masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, disusunlah kerangka pikir faktor determinan status gizi menurut TB/U bagi anak balita dengan menyesuaikan data yang terdapat dalam Riskesdas 2007.

Karakteristik keluarga yang meliputi tempat tinggal, besar keluarga, status ekonomi, pendidikan orang tua dan pekerjaan orang tua, akan mempengaruhi sanitasi lingkungan dan akses dan pemanfaatan kesehatan dan konsumsi gizi. Selanjutnya, sanitasi lingkungan serta akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan akan mempungaruhi penyakit infeksi. Penyakit infeksi dipengaruhi pula oleh perilaku higienis. Selanjutnya penyakit infeksi, konsumsi gizi dan tinggi badan orang tua akan mempengaruhi status gizi anak menurut TB/U. Namun, variabel konsumi gizi tidak diteliti dalam penelitian ini. Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi menurut TB/U dapat dilihat pada Gambar 1.

(38)

21 Gambar 1. Kerangka pemikiran faktor-faktor yang mempengaruhi status gizi

anak menurut TB/U Keterangan :

: variabel yang diteliti : variabel yang tidak diteliti : hubungan yang diteliti : hubungan yang tidak diteliti

Karakteristik Keluarga Tempat Tinggal Besar keluarga Status ekonomi Pendidikan orang tua Pekerjaan orang tua

Perilaku Higienis Sanitasi lingkungan Akses dan Pemanfaatan Pelayanan Kesehatan Konsumsi gizi Ketersediaan pangan Penyakit infeksi

Status Gizi menurut TB/U Tinggi badan orang tua

Pengetahuan gizi

(39)

22

METODE PENELITIAN

Data yang Digunakan

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2007. Riskesdas 2007 diselenggarakan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes), sebagai salah satu unit utama di lingkungan Departemen Kesehatan yang berfungsi menyediakan informasi kesehatan berbasis bukti. Pelaksanaan Riskesdas 2007 adalah upaya mengisi salah satu dari 4 (empat) grand strategi Departemen Kesehatan, yaitu berfungsinya sistem informasi kesehatan yang evidence-based di seluruh Indonesia. Data dasar yang dihasilkan Riskesdas 2007 diantaranya terdiri dari status kesehatan (termasuk data biomedis), status gizi, kesehatan lingkungan, perilaku kesehatan, dan berbagai aspek pelayanan kesehatan. Data dasar ini, bukan saja berskala nasional, tetapi juga menggambarkan berbagai indikator kesehatan sampai ke tingkat kota/kabupaten (Depkes 2008)

Riskesdas 2007 adalah riset berbasis komunitas dengan sampel rumah tangga dan anggota rumah tangga yang dapat mewakili populasi di tingkat kabupaten/kota. Riskesdas 2007 menyediakan informasi kesehatan dasar termasuk biomedis, dengan menggunakan sampel Susenas Kor. Riskesdas 2007 mencakup sampel yang lebih besar dari survei-survei kesehatan sebelumnya, dan mencangkup aspek kesehatan yang lebih luas. Tujuan Riskesdas 2007 adalah sebagai berikut :

a. Menyediakan informasi berbasis bukti untuk perumusan kebijakan pembangunan kesehatan di berbagai tingkat administratif

b. Menyediakan informasi untuk perencanaan kesehatan termasuk alokasi sumberdaya di berbagai tingkat administratif

c. Menyediakan peta status dan masalah kesehatan di tingkat nasional, propinsi dan kabupaten/kota

d. Membandingkan status kesehatan dan faktor-faktor yang melatarbelakangi antar propinsi dan antar kabupaten/kota

Manfaat bagi Riskesdas perencanaan pembangunan adalah : (1) Tersedianya data dasar dari berbagai indikator kesehatan di berbagai tingkat

(40)

23 administratif; (2) Stratifikasi indikator kesehatan menurut status sosial ekonomi sesuai hasil Susenas 2007 ; dan (3) Tersedianya informasi untuk perencanaan pembangunan kesehatan yang berkelanjutan

Desain dan Lokasi Penelitian Riskesdas

Riskesdas merupakan sebuah survei yang dilakukan secara cross sectional yang bersifat deskriptif. Desain Riskesdas terutama dimaksudkan untuk menggambarkan masalah kesehatan penduduk di Indonesia secara keseluruhan, akurat dan berorientasi pada kepentingan para pengambil keputusan di berbagai tingkat administratif.

Sampel Riskesdas 2007 terdapat di 17150 blok sensus yang terdapat kabupaten/kota yang berasal dari 440 kabupaten/kota (dari jumlah keseluruhan sebanyak 456 kabupaten/kota) yang tersebar di 33 propinsi di Indonesia. Kabupaten yang tidak termasuk dalam sampel Riskesdas dikarenakan kabupaten tersebut merupakan pengembangan dari kabupaten baru yang pada saat perencanaan Riskesdas belum diperhitungkan yaitu sebanyak 16 kabupaten. Waktu pelaksanaan Riskesdas dilakukan pada tahun 2007. Pengolahan dan analisis data dilakukan pada tahun 2008.

Dalam penelitian ini, data yang digunakan terdiri atas data keluarga yang memiliki balita yang terdiri atas data keluarga, data anak dan data orang tua anak. Data yang digunakan terdiri atas 32 propinsi. Propinsi yang tidak diikutsertakan dalam pengolahan data penelitian ini adalah propinsi Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan terdapatnya ketidaklengkapan data pada propinsi tersebut. Sementara untuk penelitian ini, pengolahan dan analisis data dilakukan pada bulan Maret-Mei 2010.

Cara Pengumpulan Data Penelitian Riskesdas

Pengumpulan data dalam Riskesdas 2007 dilakukan dengan teknik wawancara. Wawancara kuesioner rumah tangga dilakukan enumerator dengan kepala rumah tangga atau yang mewakilinya. Kuesioner rumah tangga terdiri atas pengenalan tempat, keterangan rumah tangga, keterangan anggota rumah

(41)

24 tangga, mortalitas, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan, sanitasi lingkungan, dan konsumsi. Selain kuesioner rumah tangga, terdapat pula kuesioner individu. Kuesioner individu terdiri atas identifikasi responden, penyakit, ketanggapan pelayanan kesehatan, pengetahuan, sikap dan perilaku, disabilitas, kesehatan mental, dan pengukuran antropomeri. Riskesdas 2007 melakukan pula pengukuran biomedis dan pada blok sensus pada kabupaten/kota terpilih dilakukan pula penarikan sampel iodium.

Populasi dan Sampel

Populasi adalah seluruh balita di Indonesia yang terdata oleh Biro Pusat Statistik. Sampel yang digunakan adalah anak yang berusia 24-59 bulan menjadi responden Riskesdas 2007. Metodologi perhitungan dan cara penarikan sampel untuk Riskesdas 2007 identik pula dengan two stage sampling yang digunakan dalam Susenas 2007. Berikut ini adalah uraian cara perhitungan dan penarikan sampel dalam Riskesdas:

a. Penarikan sampel blok sensus

Seperti telah disebutkan sebelumnya, Riskesdas menggunakan sepenuhnya sampel yang yang terpilih dalam Susenas 2007.

b. Penarikan sampel rumah tangga

Dari setiap blok sensus terpilih kemudian dipilih 16 rumah tangga secara acak sederhana (simple random sampling) yang menjadi sampel rumah tangga dengan jumlah rumah tangga di blok sensus tersebut

c. Penarikan sampel anggota rumah tangga

Selanjutnya, seluruh anggota rumah tangga dari setiap rumah tangga yang terpilih dari kedua proses penarikkan sampel tersebut diatas diambil sebagai sampel individu.

Selanjutnya, Riskesdas 2007 dapat mengumpulkan sampel sebanyak 258.284 rumah tangga, yang terdiri atas 972.989 individu. Namun, dalam penelitian ini ditetapkan kriteria inklusi yaitu sampel anak usia 24-59 bulan, memiliki hubungan ayah kandung/ibu kandung dengan kepala keluarga (ayah) dan ibu serta memiliki kelengkapan data. Sebanyak 567 sampel tidak memiliki

(42)

25 kelengkapan data, yaitu sampel yang terdapat di Propinsi Sulawesi Utara. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 42.062 anak. Berikut cara pemilihan data dalam penelitian ini :

diseleksi sampel yang berusia 24 - 59 bulan

diseleksi sampel yang memiliki hubungan kandung dengan orang tua

diseleksi sampel yang memiliki kelengkapan data

sampel untuk dianalisis

Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, sehingga hubungan atau perbedaan yang ditemukan antara variabel dependen dan independen bukan merupakan sebab akibat. Hal ini disebabkan kedua variabel tersebut diukur pada waktu yang bersamaan. Selain itu, data sekunder ini telah melalui proses editing dan cleaning sehingga bias penelitian kemungkinan dapat terjadi.

Pengolahan Data

Pada penelitian ini, pengolahan data dilakukan terhadap anak, orang tua (tinggi badan dan perilaku higienis ibu) dan keluarga yang meliputi sanitasi lingkungan, akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dan karakteristik keluarga. Pengolahan dan analisa data dalam penelitian ini menggunakan software Microsoft Office Excell 2007, SPSS versi 16.0 dan SAS.

Jumlah balita : 74.503 Jumlah balita : 47.732 Jumlah balita : 42.649 Jumlah balita : 42.062

(43)

26 Pendidikan ayah dan ibu dikategorikan tidak pernah bersekolah, rendah (SD dan SMP), menengah (SMA) dan tinggi (perguruan tinggi). Pengkategorian ini berdasarkan Undang-undang No 20 tahun 2003. Pekerjaan orang tua dikategorikan menjadi tidak bekerja dan bekerja. Tempat tinggal dikategorikan menjadi desa dan kota. Pengkategorian ini berdasarkan BPS, yaitu dengan melakukan perhitungan skor terhadap tiga variabel potensi desa yaitu : kepadatan penduduk, persentase rumah tangga pertanian dan akses terhadap fasilitas umum seperti sekolah, pasar, pertokoan dan rumah sakit.

Sanitasi lingkungan diukur dengan melakukan skoring jawaban yang didapatkan. Jawaban yang benar diberi nilai 1 dan jawaban yang salah diberi nilai 0. Cara yang sama dilakukan pula untuk mengukur variabel perilaku higienis dan variabel akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan. Cara perhitungan skor dilakukan dengan menggunakan rumus transformasi menggunakan program microsoft excell yaitu :

Skor total = X - nilai minimum

Status gizi anak diukur berdasarkan indikator TB/U dan dibagi menjadi stunting (nilai z score < -2 SD) dan normal (nilai z score ≥ -2 SD). Sementara

x 100% Nilai maksimal-nilai minimal

Keterangan : X = jumlah jawaban yang benar

Nilai minimal = jumlah nilai minimal dari 1 set pertanyaan Nilai maksimal = jumlah nilai maksimal dari 1 set pertanyaan

Selanjutnya, untuk variabel sanitasi dan akses dan pemanfaatan pelayanan kesehatan dikelompokan menjadi 3 kategori yaitu rendah (persentase jawaban benar < 60%), sedang (persentase jawaban benar 60-80%) dan tinggi (persentase jawaban benar > 80%). Pengkategorian ini berdasarkan Khomsan (2000). Untuk variabel perilaku higienis, dikelompokan menjadi baik (persentase jawaban benar 100%) dan kurang (persentase jawaban benar < 100%). Pengkategorian ini berdasarkan Permanasari, Luciasari & Purwanto (2009). Penyakit infeksi dikategorikan mengindap penyakit infeksi, bila mengindap salah satu atau lebih penyakit infeksi (ISPA, pneumonia, demam thypoid, malaria, campak, diare, tuberculosis paru (TB paru) dan demam berdarah.

(44)

27 itu, untuk analisis faktor determinan, data status gizi yang digunakan adalah data kontinyu. Adapun variabel penelitian dan pengkategoriannya disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Pengkategorian Variabel Penelitian

Variabel Kategori Pengukuran

Umur anak 24-35 bulan

36- 47 bulan 48-59 bulan Jenis kelamin Laki-laki

Perempuan Tempat Tinggal Desa

Kota

Jumlah anggota keluarga Besar jika jumlahnya ≥ 7 orang Sedang jika 5 – 6 orang

Kecil jika ≤ 4 orang Pendidikan ayah Tidak pernah sekolah

Dasar Menengah Tinggi

Pendidikan ibu Tidak pernah sekolah Dasar

Menengah Tinggi Pekerjaan ibu Tidak bekerja

Bekerja Pekerjaan ayah Tidak bekerja

Bekerja

Status ekonomi Miskin : pengeluaran keluarga berada pada kuantil 1 dan 2

Tidak miskin : pengeluaran keluarga berada pada kuantil 3, 4 dan 5

Status Gizi anak Stunting : Z-score <-2,0 Normal : Z-score ≥ -2,0

Gambar

Tabel 1 Pengkategorian Variabel Penelitian
Tabel 2  Sebaran anak berdasarkan jenis kelamin dan usia
Tabel 3 Sebaran anak berdasarkan karakteristik keluarga
Tabel 4  Jenis pekerjaan ayah
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil dari kegiatan pengumpulan data ini berupa artikel yang mengandung wacana tentang perempuan Islam dalam konten website swararahima.com dengan berfokus pada

Pemerintahan Daerah adalah Penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintah daerah dan dewan perwakilan ralryat daerah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan

Pembelajaran efektif adalah suatu pembelajaran yang memungkinkan siswa untuk belajar keterampilan spesifik, ilmu pengetahuan, dan sikap serta yang membuat siswa senang

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Setiawan Eko yang berjudul “Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian Stunting pada Anak Usia 24-59 Bulan di Wilayah Kerja

Begitu juga dalam karya tari Driasmara karya Sunarno yang didalamnya mengandung makna nilai kehidupan rohani pada seseorang yang sedang dilanda cinta seperti yang ditulis

Pengawet alami biasanya tidak terlalu lama dapat mengawetkan paling lama 1 bulan, harga mahal, dan aman. Sedangkan pengawet buatan harganya murah, dapat

Pada proses pengelolaan limbah radioaktif latar rendah, sifat- sifat migrasi atau perpindahan radionuklida pada lapisan tanah sangat renting diketahui untuk

Hal ini untuk mengidentikasi rute/jalur emergency access yang dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan dari sipengambil keputusan (atau komandannya situasi