• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Pemikiran tentang korporasi yang lebih beradap dipelopori oleh masalahmasalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Pemikiran tentang korporasi yang lebih beradap dipelopori oleh masalahmasalah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI II.1 EVOLUSI CSR

Pemikiran tentang korporasi yang lebih beradap dipelopori oleh masalah-masalah sosial yang terjadi pada awal abad 18 di Inggris bersamaan dengan kemunculan revolusi Industri (Solomon, 2005). Pada era ini, CSR diwujudkan dalam philanthropic actions yang dilakukan oleh businessmen yang sukses dan kaya (Steiner and Steiner, 2000). Istilah Philanthropy sendiri berasal dari bahasa Yunani, philein yang berarti cinta dan anthropos yang berarti manusia. Filantropi perusaahaan bisa diartikan sebagai derma perusahaan untuk kemanusiaan.

Gema CSR semakin terasa pada tahun 1960-an saat di mana secara global, masyarakat dunia telah pulih dari Perang Dunia II, dan mulai menapaki jalan menuju kesejahteraan. Pada saat itu, persoalan-persoalan kemiskinan dan keterbelakangan yang semula terabaikan mulai mendapatkan perhatian lebih luas dari berbagai kalangan (Wibisono, 2007).

Tahun 1971, Committee for Economic Development (CED) menerbitkan “Social Responsibilities of Business Corporations”. Penerbitan yang dapat dianggap sebagai code of conduct bisnis tersebut dipicu adanya anggapan bahwa kegiatan usaha memiliki tujuan dasar untuk memberikan pelayanan yang konstruktif untuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan masyarakat. CED merumuskan CSR dengan menggambarkannya dalam lingkaran konsentris. Lingkaran dalam merupakan tanggungjawab dasar dari korporasi untuk penerapan kebijakan yang efektif atas pertimbangan ekonomi (profit dan pertumbuhan); Lingkaran tengah menggambarkan tanggung jawab korporasi untuk lebih sensitif terhadap nilai-nilai dan prioritas sosial yang berlaku dalam menentukan

(2)

kebijakan mana yang akan diambil; Lingkaran luar menggambarkan tanggung jawab yang mungkin akan muncul seiring dengan meningkatnya peran serta korporasi dalam menjaga lingkungan dan masyarakat.

Tahun 1987, Persatuan Bangsa-Bangsa melalui World Commission on Environment and Development (WECD) menerbitkan laporan yang berjudul “Our Common Future” (yang juga dikenal sebagai “Brundtland Report”). Laporan tersebut menjadikan isu-isu lingkungan sebagai agenda politik yang pada akhirnya bertujuan mendorong pengambilan kebijakan pembangunan yang lebih sensitif pada isu-isu lingkungan. Laporan ini menjadi dasar kerjasama multilateral dalam rangka melakukan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Kemudian pada tataran global selanjutnya, pada tahun 1992 diselenggarakan KTT Bumi (Earth Summit) yang diadakan di Rio de Jenairo, Brazil. KTT ini menegaskan konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang didasarkan atas perlindungan lingkungan hidup, pembangunan ekonomi dan sosial sebagai hal yang harus dilakukan.

Terobosan besar dalam konteks CSR dilakukan oleh John Elkington melalui konsep ”3P” (profit, people dan planet) yang dituangkan dalam bukunya ”Cannibals with Forks, the Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”. Mengacu pada Elkington (1997) bila perusahaan ingin sustain maka perusahaan tidak hanya memburu profit namun juga harus memberikan kontribusi positif kepada masyarakat (people) dan ikut aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet). Menurutnya, masyarakat sekitar perusahaan merupakan salah satu stakeholder penting bagi perusahaan karena dukungan masyarakat sekitar sangat diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup, dan perkembangan perusahaan. Sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat

(3)

dan lingkungan, perusahaan perlu berkomitmen untuk berupaya memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat dan dalam menjalankan operasinya perusahaan harus memberikan dampak yang baik bagi masyarakat. Sedangkan planet atau lingkungan adalah sesuatu yang terkait dengan seluruh bidang kehidupan manusia. Hubungan manusia dengan lingkungan adalah hubungan sebab akibat, di mana jika kita merawat lingkungan maka lingkungan pun akan memberikan manfaat bagi kita dan demikian juga bila sebaliknya. Dengan alasan itulah maka selain mementingkan peningkatan laba, perusahaan juga harus memperhatikan masyarakat dan lingkungan dan menjadikan ketiganya sebagai ’jantung hati’ bisnis mereka.

Gaung CSR kian bergema setelah diselenggarakannya World Summit on Sustainable Development (WSSD) tahun 2002 di Jogannesburg Afrika Selatan. Sejak saat itulah, CSR mulai berkembang.

II.2 Definisi CSR

Tidak ada definisi yang resmi mengenai CSR, definisi CSR selalu berkembang dari masa ke masa, namun ada beberapa definisi yang sudah banyak dikenal dan memiliki beberapa pengaruh.

Howen (1953) seperti yang ditulis oleh Prayoga (2007) memberikan definisi yang paling tua mengenai CSR yaitu kewajiban dari seorang pebisnis untuk mengusahakan dan melaksanakan tindakan-tindakan dalam kerangka tujuan dan nilai-nilai sosial kemasyarakatan.

A+ CSR Indonesia mendefiniskan CSR sebagai upaya manajemen yang dijalankan entitas bisnis untuk mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan berdasar

(4)

keseimbangan ekonomi, sosial, dan lingkungan, dengan meminimumkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positif tiap pilar (www.csrindonesia.multiply.com).

The World Business Council for Sustainable Development (WBCSD) dalam Sulistyowati (2005) mendifinisikan CSR sebagai komitmen dari suatu bisnis untuk memberikan kontribusi kepada pengembangan komunitas yang berkelanjutan bekerja sama dengan karyawan, keluarga karyawan tersebut, komunitas, masyarakat sekitar, dan masyarakat secara keseluruhan untuk meningkatkan kualitas kehidupan, dimana dapat berguna bagi bisnis itu sendiri dan pembangunan komunitas. Sedangkan Anderson dalam O’Connor (2006) mendifinisikan CSR sebagai pengoperasian kegiatan bisnis yang terefleksi dalam penilaian etika, masyarakat, komunitas dan lingkungan.

World Bank seperti yang ditulis oleh Kiroyan (2006) mendefinisikan CSR sebagai komitmen bisnis untuk memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi berkelanjutan, melalui kerjasama dengan para karyawan serta perwakilan mereka, keluarga mereka, komunitas setempat maupun masyarakat umum untuk meningkatkan kualitas hidup, dengan cara-cara yang bermanfaat baik bagi bisnis sendiri maupun untuk pembangunan.

CSR forum memberikan definisi CSR sebagai praktik bisnis yang terbuka dan transparan berdasarkan nilai-nilai etika dan penghargaan kepada pegawai, komunitas dan lingkungan (www.csrforum.com).

Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri mengenai CSR. Uni Eropa (EU Green Paper on CSR) mengemukakan bahwa ”CSR is a concept whereby companies integrate social and environmental concerns in their business operations and in their interaction with their stakeholders on a voluntary basic” (Wibisono, 2007).

(5)

Sampai saat ini memang tidak ada definisi yang tunggal mengenai CSR, namun dari semua definisi yang ada kita dapat menarik benang merahnya, yaitu bahwa CSR merupakan bagian strategi bisnis korporasi yang berkaitan dengan kelangsungan usaha dalam jangka panjang. Selain itu, semua konsep CSR menawarkan sebuah kesamaan, yaitu keseimbangan antara perhatian terhadap aspek ekonomis dan perhatian terhadap aspek sosial serta lingkungan.

Selain uraian definisi mengenai CSR, ada pula banyak terminologi yang sering disamakan dengan CSR ataupun merupakan pengejewantahan dari CSR antara lain social investing, corporate sustainability, corporate citizenship, community development, corporate community, corporate charity, corporate philanthropy dan lain sebagainya, namun semuanya tetap menuju satu muara yaitu sustainability development / pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan sendiri pun secara sederhana bisa diartikan sebagai pembangunan atau perkembangan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (Wibisono et al.).

Salah satu issue yang sering pula dikaitkan dengan CSR adalah GCG (good corporate governance) atau tata kelola perusahaan yang baik. GCG merupakan suatu sistem, dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak yang berkepentingan terutama dalam arti sempit hubungan antara pemegang saham dan dewan komisaris serta dewan direksi demi tercapainya tujuan korporasi. Penerapan CSR merupakan salah satu langkah nyata dari perusahaan yang menjalankan GCG dengan beberapa pilarnya adalah transparansi dan akuntabilitas, di mana dilakukan oleh manajemen perusahaan dan pelaku bisnis yang bertanggung jawab dan professional terhadap seluruh stakeholder.

(6)

II.3 Standar dan Prisip-Prinsip Pelaksanaan CSR

Melihat perkembangan CSR yang pesat selama beberapa dekade ini, saat ini telah ada banyak standar atau insiatif implementasi CSR dan juga prinsip-prinsip yang dapat digunakan sebagai acuan pelaksanaan CSR.

II.3.1 Standar CSR

1. ISO 26000: Guidence Strandard on Social Responsibility yang dibuat oleh ISO (International Standard Organization) pada bulan September 2004. ISO 26000 hanya memuat guidelines (panduan) saja dan bukan requirements (umumnya bersifat pemenuhan terhadap persyaratan-persyaratan).

2. AA1000 yang dibuat oleh Institute of Social and Ethical Accountability pada tahun 1999. Standar ini memiliki tujuan untuk meningkatkan akuntabilitas dan kinerja organisasi secara keseluruhan melalui manajemen sistem, sikap individual dan pengaruhnya kepada stakeholders. AA1000 adalah standar dasar yang digunakan untuk menyajikan kualitas pelaporan akuntansi, auditing dan etika dan sosial perusahaan.

3. SA8000 yang diciptakan oleh Social Accountability International pada tahun 2001. SA8000 membahas mengenai hak pekerja, kondisi kerja dan juga masalah tenaga kerja di bawah umur.

4. Australian Corporate Social Responsibility draft standard DR03208 yang dibuat oleh The Standards Australian Committee MB004, Business Governance pada tahun 2003

(7)

6. ISO CSR management system standard yang dibuat oleh International Organization for Standarisation tahun 2002.

II.3.2 Prinsip-Prinsip CSR

Warhurst (1998) seperti yang ditulis oleh Wibisono et al. (2007) mengajukan prinsip-prinsip CSR sebagai berikut:

1. Prioritas corporate. Mengakui tanggung jawab sosial sebagai prioritas tertinggi korporat dan penentu utama pembangunan berkelanjutan. Dengan begitu korporat bisa membuat kebijakan, program dan praktek dalam menjalankan bisnisnya dengan cara yang bertanggung jawab secara sosial. 2. Manajemen terpadu. Mengintegrasikan kebijakan, program dan praktek ke

dalam setiap kegiatan bisnis sebagai suatu unsur manajemen dalam semua fungsi manajemen.

3. Proses perbaikan. Secara bersinambungan memperbaiki kebijakan, program dan kinerja sosial korporat, berdasar temuan riset mutakhir dan memahami kebutuhan sosial serta menerapkan kriteria sosial tersebut secara internasional.

4. Pendidikan karyawan. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan serta memotivasi karyawan.

5. Pengkajian. Melakukan kajian dampak sosial sebelum memulai kegiatan atau proyek baru dan sebelum menutup satu fasilitas atau meninggalkan lokasi pabrik.

6. Produk dan jasa. Mengembangkan produk dan jasa yang tak berdampak negatif secara sosial.

(8)

7. Informasi publik. Memberi informasi dan (bila diperlukan) mendidik pelanggan, distributor dan publik tentang penggunaan yang aman, transportasi, penyimpanan dan pembuangan produk, dan begitu pula dengan jasa.

8. Fasilitas dan operasi. Mengembangkan, merancang dan mengoperasikan fasilitas serta menjalankan kegiatan yang mempertimbangkan temuan kajian dampak sosial.

9. Penelitian. Melakukan atau mendukung penelitian dampak sosial bahan baku, produk, proses, emisi dan limbah yang terkait dengan kegiatan usaha dan penelitian yang menjadi sarana untuk mengurangi dampak negatif.

10. Prinsip pencegahan. Memodifikasi manufaktur, pemasaran atau penggunaan produk atau jasa, sejalan dengan penelitian mutakhir, untuk mencegah dampak sosial yang bersifat negatif.

11. Kontraktor dan pemasok. Mendorong penggunaan prinsip-prinsip tanggung jawab sosial korporat yang dijalankan kalangan kontraktor dan pemasok, disamping itu bila diperlukan mensyaratkan perbaikan dalam praktik bisnis yang dilakukan kontraktor dan pemasok.

12. Siaga menghadapi darurat. Menyusun dan merumuskan rencana menghadapi keadaan darurat, dan bila terjadi keadaan berbahaya bekerja sama dengan layanan gawat darurat, instansi berwenang dan komunitas lokal. Sekaligus mengenali potensi bahaya yang muncul.

13. Transfer best practice. Berkontribusi pada pengembangan dan transfer praktik bisnis yang bertanggung jawab secara sosial pada semua industri dan sektor publik.

(9)

14. Memberi sumbangan. Sumbangan untuk usaha bersama, pengembangan kebijakan publik dan bisnis, lembaga pemerintah dan lintas departemen pemerintah serta lembaga pendidikan yang akan meningkatkan kesadaran tentang tanggung jawab sosial.

15. Keterbukaan. Menumbuhkembangkan keterbukaan dan dialog dengan pekerja dan publik, mengantisipasi dan member respons terhadap potencial hazard, dan dampak operasi, produk, limbah atau jasa.

16. Pencapaian dan pelaporan. Mengevaluasi kinerja sosial, melaksanakan audit secara berkala dan mengkaji pencapaian berdasarkan kriteria korporat dan peraturan perundang-undangan dan menyampaikan informasi tersebut pada dewan direksi, pemegang saham, pekerja dan publik.

II.4 Cara Pandang Perusahaan Terhadap CSR

Shiraz (1998) seperti yang dikutip oleh Hartanti (2006) menuliskan bahwa secara philosophy, konsep CSR dapat dikategorikan dalam tiga paradigma; Pristine Capitalist, Enlightened Self-Interest dan Social Contract. Pandangan yang pertama merupakan perwakilan sistem ekonomi liberal dan kapitalis, dengan Milton Friedman sebagai tokohnya. Menurut pandangan ini, satu-satunya tanggung jawab sosial bagi sebuah bisnis adalah menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham, untuk tumbuh, berkembang dan melaksanakan efisiensi ekonomi dengan penggunaan sumberdaya sedemikian rupa selama tetap menaati peraturan, yaitu tidak berlaku curang dalam sebuah kompetisi bebas dan terbuka. Di sisi pandang yang lain, Social Contract berpendapat bahwa sebuah perusahaan dapat berusaha dalam perekonomian karena adanya kontrak sosial (social contract) dengan masyarakat dan oleh karenanya

(10)

bertanggung jawab atau terikat dengan keinginan masyarakat tersebut. Dalam pandangan kelompok ini, perusahaan bertindak sebagai agen moral (moral agent), dan konsekuensinya adalah perusahaan harus memaksimumkan manfaat / keuntungan sosial bagi masyarakat. Dalam paradigma yang ketiga atau yang berada di sisi pertengahan, Enlightened Self-Interest, memandang bahwa stabilitas dapat dicapai jika perusahaan juga memasukkan unsur tanggung jawab sosial kepada masyarakat paling tidak dalam tingkat yang minimal.

Ketiga pandangan di atas turut mempengaruhi perkembangan dan perubahan konsep dan definisi CSR, baik perubahan dari sisi masyarakat bisnis maupun akademisi. Alasan perbedaan tersebut adalah karena adanya pengaruh dari ketiga pandangan di atas dan juga karena berubahnya permintaan / harapan dari masyarakat terhadap peranan perusahaan terkait dengan tanggung jawab sosialnya. Sebagai contoh di Amerika, karena pengaruh pandangan Milton Friedman dalam hal tanggung jawab sosial, selama beberapa periode adalah sebuah hal yang ilegal bagi perusahaan untuk melakukan sumbangan / donasi bagi kegiatan-kegiatan sosial (Hartanti et al.).

Di Indonesia, CSR acapkali dianggap identik dengan community development (comdev). Adanya pandangan ini ditegaskan oleh penelitian yang dilakukan oleh organisasi nirlaba, Indonesia Business Links, yang bergerak dalam penyebarluasan gagasan tentang CSR di Indonesia (Kiroyan et al.)

Haman and Acutt (2003) menelaah motivasi kalangan bisnis menerima konsep CSR. Motivasi pertama adalah akomodasi, yaitu kebijakan bisnis yang hanya bersifat kosmetik, parsial dan superfacial. CSR dilakukan untuk memberi citra kepada pengusaha sebagai korporasi yang tanggap pada kepentingan sosial. Motivasi ke dua adalah legitimasi, yaitu motivasi yang bertujuan mempengaruhi wacana. Motivasi ini

(11)

berargumentasi wacana CSR mampu memenuhi fungsi utama yang memberikan keabsahan pada sistem kapitalis, dan lebih khusus, kiprah korporasi raksasa. Mengacu pada Solomon (2004), persepsi dan pandangan perusahaan terhadap CSR tidak seragam sebagai contoh persepsi yang dangkal bahwa CSR sebagai cara untuk membangun image baik perusahaan atau sebagai ‘marketing ploy’.

II.5 Keuntungan Penerapan CSR Bagi Perusahaan

Wibisono et al. menyatakan bahwa penerapan CSR memberikan dampak positif bagi perusahaan yang beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

1. Mempertahankan dan mendongkrak reputasi dan brand image perusahaan. Di era yang semakin maju ini, masyarakat konsumen kini telah semakin kritis. Masyarakat kini lebih memperhatikan kontribusi yang diberikan oleh perusahaan. Bila perusahaan memberikan kontribusi yang negatif, hal tersebut tentu akan banyak menuai protes dari masyarakat dan mereka juga akan cenderung membenci produk yang dihasilkan perusahaan. Namun bila perusahaan memberikan kontribusi yang positif, secara otomatis reputasi perusahaan di mata masyarakat akan semakin baik dan hal itu akan berdampak terhadap naiknya volume penjualan dan bertahannya loyalitas konsumen lama. 2. Perusahaan layak mendapatkan social license to operate. Masyarakat sekitar

perusahaan merupakan komunitas utama perusahaan. Ketika mereka mendapatkan benefit dari keberadaan perusahaan, maka pasti dengan sendirinya mereka akan ikut merasa memiliki perusahaan. Sebagai imbalan dari masyarakat tentu saja adalah keleluasaan bagi perusahaan untuk menjalankan roda bisnisnya di wilayah tersebut.

(12)

3. Mengurangi resiko bisnis perusahaan. Dalam mengelola bisnisnya, perusahaan dihadapkan pada satu kewajiban untuk memenuhi ekspektasi stakeholders. Bila perusahaan gagal memenuhi ekspektasi tersebut, tentu saja akan ada banyak resiko yang harus dihadapi perusahaan. Misalnya disharmoni dengan stakeholders hingga pembatalan atau penghentian operasi yang akhirnya akan menurunkan kinerja perusahaan. Karena itu, menempuh langkah antisipatif dan preventif melalui penerapan CSR merupakan upaya investatif yang dapat menurunkan resiko bisnis perusahaan.

4. Melebarkan akses sumber daya. Track record yang baik dalam mengelola CSR merupakan keunggulan bersaing bagi perusahaan yang dapat membantu untuk memuluskan jalan menuju sumber daya yang diperlukan perusahaan.

5. Membentangkan akses menuju market. Investasi yang ditanamkan untuk program CSR dapat menjadi tiket perusahaan menuju peluang pasar yang terbuka lebar. Sudah banyak terdapat bukti akan resistensi konsumen terhadap produk-produk yang tidak taat pada aturan dan tidak tanggap terhadap isu sosial dan lingkungan.

6. Mengurangi biaya. Contoh sederhana dari efek positif CSR terhadap reduksi biaya perusahaan adalah upaya perusahaan untuk mereduksi limbah melalui proses recycle / daur ulang ke dalam proses produksi. Hal ini dapat mereduksi biaya dan juga dapat mereduksi buangan ke luar sehingga menjadi lebih aman. 7. Memperbaiki hubungan dengan stakeholders. Implementasi program CSR

tetunya akan menambah frekuensi komunikasi dengan stakeholders.

8. Memperbaiki hubungan dengan regulator. Perusahaan yang menerapkan program CSR ada dasarnya merupakan upaya untuk meringankan beban

(13)

pemerintah sebagai regulator, karena pemerintahlah yang menjadi penanggungjawab utama untuk mensejahterakan masyarakat dan melestarikan lingkungan. Tanpa bantuan dari perusahaan, umumnya terlalu berat bagi pemerintah untuk menanggung beban tersebut.

9. Meningkatkan semangat dan produktivitas karyawan. Kegiatan dan reputasi perusahaan yang baik merupakan pendorong semangat kerja karyawan.

10. Peluang mendapatkan penghargaan. Banyak reward ditawarkan bagi penggiat CSR. Sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghargaan mempunyai kans yang cukup tinggi.

II.6 Pelaporan CSR

Saat ini sejumlah institusi telah berinisiatif menciptakan sistem pelaporan atau guidelines yang bisa berlaku universal untuk semua perusahaan. Beberapa di antaranya adalah:

1. Global Compact yang dirintis PBB

2. Global Reporting Initiative Guidelines on Sustainability Reporting

3. The Equator Principles based on the International Finance Corporation’s Environmental dan Social Screening Process

4. IBRD & IDA Safeguard Policies

5. The Aarhus Convention, UN Economic Commission for Europe 6. Publish What You Pay, Global Witness, UK

Guideline yang paling banyak dijadikan rujukan dalam CSR reporting (dan yang telah diadopsi di Indonesia) saat ini adalah Global Reporting Initiative (GRI). GRI merupakan buah inisiatif bersama antara koalisi LSM di Boston Amerika Serikat,

(14)

Coalition for Environmentally Responsible Economies (CERES) dengan United Nation Environment Programme (UNEP).

Tahun 2000 untuk pertama kalinya GRI mempublikasikan guidelines-nya disusul publikasi untuk expanded versionnya pada agustus 2002. Saat ini tidak kurang dari 460 perusahaan dari 45 negara termasuk Indonesia telah menggunakan sebagian atau total GRI sebagai pedoman pembuatan sustainability report pada perusahaannya. Guidelines GRI tahun 2002 dibagi menjadi 4 bagian:

1. Penggunaan Guidelines

Berisi tentang informasi sekitar pedoman, termasuk diskripsi, siapa yang seharusnya memanfaatkan, dan bagaimana mempersiapkan report

2. Prinsip-prinsip reporting

Berisi tentang prinsip-prinsip reporting dan bagaimana pengorganisasiannya 3. Isi report

Terdiri dari visi dan strategi, profil, struktur dan sistem manajemen, indikator kinerja (ekonomi, lingkungan dan sosial)

4. Glossary dan lampiran-lampiran

II.7 CSR di Indonesia

Pelaksanaan CSR di Indonesia sampai saat ini memang masih dalam tahap implementasi awal. Kalla (2006) menuliskan bahwa di Indonesia isu CSR baru ditekankan pada aspek keamanan dan kenyaman operasional. Pelaporan CSR pun masih bersikap sukarela, karena untuk mewajibkan penyusunan laporan CSR masih perlu waktu terutama kesiapan dalam sistem pendukung seperti adanya standar pelaporan yang berterima umum dan ketersediaan tenaga yang berkompeten untuk menyusun

(15)

laporan tersebut, termasuk tenaga yang melakukan fungsi assurance (Darwin et al.) Walaupun begitu, Indonesia masih terus melakukan usaha pengembangan dan perbaikan implementasi CSR dari waktu ke waktu, seperti mengadopsi G3 GRI sebagai standar CSR reporting dan pembuatan UU Perseroan Terbatas (UU Nomor 40 Tahun 2007 Bab V Pasal 74) oleh pemerintah Indonesia yang mewajibkan perusahaan yang usahanya berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan CSR. Pada tahun 2005 IAI-KAM memprakarsai pendirian lembaga semacam G3 GRI yang diberi nama “National Center for Sustainability Reporting (NCSR)”. Lembaga independen ini memiliki misi menyusun dan menyebar luaskan pedoman penyusunan laporan keberlanjutan untuk organisasi / perusahaan di Indonesia (Darwin, 2007). Selain itu Ikatan Akuntan Indonesia Kompartemen Akuntan Manajemen sejak tahun 2005 mengadakan Indonesia Sustainability Award (ISRA). Secara umum ISRA bertujuan untuk mempromosikan voluntary reporting CSR kepada perusahaan di Indonesia dengan memberikan penghargaan kepada perusahaan yang membuat laporan terbaik mengenai aktivitas CSR. Kategori penghargaan yang diberikan adalah Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Environmental Reporting Award, dan Best Website. Pada 2006 kategori penghargaan ditambah menjadi Best Sustainability Reports Award, Best Social and Environmental Report Award, Best Social Reporting Award, Best Website, Impressive Sustainability Report Award, Progressive Social Responsibility Award, dan Impressive Website Award. Pada 2007 kategori diubah dengan menghilangkan kategori impressive dan progressive dan menambah penghargaan khusus berupa Commendation for Sustainability Reporting: First Time Sutainability Report. Sampai dengan ISRA 2007, perusahaan tambang, otomotif dan BUMN mendominasi keikutsertaan dalam ISRA (Prayoga et al.)

(16)

Selain itu, sudah ada beberapa perusahaan di Indonesia yang membuat laporan CSR secara terpisah di antaranya adalah PT Astra International Tbk (Astra’s Corporate Social Responsibility), PT Unilever Indonesia Tbk (CSR PT unilever Indonesia: Engaging with Community and Environment), Olympus (Environmental Report) , Exxon Mobil (Corporate Citizenship Report) dan lain sebagainya.

Referensi

Dokumen terkait

Karakterisasi gugus fungsi dengan spektrofotometer inframerah menunjukkan adanya ikatan O-H, C-H, dan C-O serta gugus metilen (CH 2 ) pada periderm umbi kuning dan putih

Dalam kerja praktek ini, penulis bertujuan untuk memahami dan mengetahui bagian-bagian serta ca pemeliharaan dari baterai dan peralatan pendukung suplai DC yang terpasang pada

Perubahan jam operasi bandar udara yang bersifat sementara harus 1 (satu) jam diNOTAMkan sebelum keberangkatan pesawat udara dari bandar udara asal oleh Kepala Badan Usaha Bandar

Surabaya merupakan daerah yang terletak di dataran rendah. Kondisi geofisik kawasan berdasarkan jenis tanah di Surabaya dikelompokkan atas : tanah bukan abu vulkanik,

Pada indikator ini dapat diinterpretasikan bahwa siswa telah memahami komponen dan alur kerja pembentukan bayangan pada mata, namun belum dapat memberi penjelasan

 Organisasi kecil, kelompok masyarakat atau organisasi yang memenuhi syarat lain namun kekurangan kapasitas untuk merumuskan atau melaksanakan rencana kerja dan

Kekhawatiran terhadap potensi semakin tidak berpihaknya kebijakan publik terhadap perempuan di tengah kondisi meningkatnya kemampuan anggaran desa, akibat kurang aktifnya

Dari total 25 sampel diantaranya 21 sampel feses kelelawar, 3 sampel feses sapi, dan 1 sampel buah yang tergigit kelelawar menunjukkan hasil yang negatif hasil deteksi