• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini disusun untuk menggambarkan dinamika partisipasi politik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Tesis ini disusun untuk menggambarkan dinamika partisipasi politik"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tesis ini disusun untuk menggambarkan dinamika partisipasi politik perempuan sebagai anggota Badan Permusyawaratan Desa (BPD) pada 3 (tiga) desa di Kabupaten Gunungkidul dalam menjalankan fungsinya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Sebagaimana kita ketahui undang-undang tersebut merupakan salah satu bentuk pengakuan Negara terhadap otonomi desa yang memiliki hak asal usul dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Dalam rangka mendukung penyelenggaraan otonomi desa maka pemerintah memberikan dana desa yang dapat digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat agar desa dapat menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis. Pemerintah daerah juga wajib untuk memberikan tambahan sumber-sumber pendapatan desa antara lain berupa Alokasi Dana Desa, Dana Bagi Hasil dan dana bantuan lainnya kepada desa. Semakin besarnya dana yang dikelola oleh desa setelah diberlakukannya undang-undang desa semestinya dapat dikelola dengan baik dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera. Jangan sampai desentralisasi keuangan hingga ke tingkat desa hanya dimanfaatkan untuk

(2)

2 keuntungan elit lokal tertentu sehingga tidak dinikmati manfaatnya secara adil merata oleh seluruh warganya.

Untuk mewujudkan keadilan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa tentunya harus memperhatikan aspirasi dari seluruh komponen masyarakat yang ada di desa yang bersangkutan, salah satunya kaum perempuan.1

Sayangnya peran perempuan dalam wilayah publik selama ini banyak mengalami hambatan. Salah satu penyebabnya adalah pengaruh budaya patriarki yang menganggap laki-laki mempunyai kedudukan lebih tinggi dari perempuan dan membedakan dengan jelas mengenai tugas serta peranan laki-laki dan Dan agar aspirasi kaum perempuan bisa terakomodir menjadi kebijakan publik desa maka sangat membutuhkan adanya partisipasi khususnya dari pihak-pihak yang terlibat dalam lembaga perumus kebijakan publik itu sendiri terutama dari anggota BPD perempuan dari mulai tahap perencanaan, pelaksanaan, maupun pengawasannya. Hal ini sesuai dengan salah satu asas penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 yaitu “partisipatif” dimana penyelenggaraan Pemerintahan Desa mengikutsertakan kelembagaan Desa dan unsur masyarakat Desa. Oleh karena itu partisipasi perempuan dalam politik sangatlah penting sebab keberadaan mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dengan mewakili, mengawal dan mempengaruhi agenda dan proses pembuatan kebijakan, serta turut serta dalam proses pembangunan.

1 Secara spesifik kaum perempuan memiliki kebutuhan yang berbeda dengan laki-laki seperti:

melahirkan, menyusui, menstruasi dan lain sebagainya sehingga karena perbedaan yang spesifik tersebut maka sudah seharusnya berbagai kebijakan yang akan dilahirkan mampu memperhatikan kebutuhan kaum perempuan (Indriyati Suparno, Kelik Ismunandar, dan Trihastuti Nur Rochimah. 2005. Masih dalam Posisi Pinggiran; Membaca Tingkat Partisipasi Politik Perempuan di Kota Surakarta. Solo: Solidaritas Perempuan untuk Kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia (SPEK-HAM) Solo dengan dukungan Uniting Chrurch in Netherlands (UCN) dan Finland Embassy bekerja sama dengan Pustaka Pelajar. Pada catatan kaki hal. 4).

(3)

3 perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Faham ibuisme mendudukkan perempuan untuk bertugas dan bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga. Laki-laki diberi tugas di luar rumah untuk mencari penghasilan. Terjadilah pembagian tugas “di dalam” keluarga (domestic) dan “di luar” keluarga (public). Perempuan mendapatkan peran domestik dan laki-laki mendapatkan peran publik. Pembagian peran ini sangat besar pengaruhnya terhadap keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan, khususnya keputusan-keputusan dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam menentukan tatanan kehidupan bermasyarakat atau dalam memecahkan masalah sosial kemasyarakatan (public), dominasi masih ada pada kaum laki-laki. Perempuan jarang, bahkan tidak pernah diajak bermusyawarah dan mufakat dalam mengambil keputusan hal-hal semacam tersebut di atas.2

Pandangan terhadap perempuan diidentikkan dengan tugas hanya untuk mengurusi wilayah domestik keluarga seperti pekerjaan rumah tangga, mengurus suami, dan mengurus anak telah membatasi kaum perempuan untuk terlibat dalam kegiatan wilayah publik salah satunya di bidang politik. Ternalem (2007) menyampaikan bahwa aktivitas-aktivitas partai dianggap tidak layak untuk perempuan, karena sifat-sifatnya yang berjauhan dari citra perempuan. Dunia politik dianggap keras, kotor dan penuh muslihat sehingga dianggap tidak cocok untuk citra perempuan. Pandangan ini membuat pemahaman perempuan terhadap politik itu bias, bahkan dianggap tabu untuk perempuan. Konsekuensi lebih lanjut

2 A.P. Murniati: Perempuan Indonesia dan Pola Ketergantungan dalam Budi Susanto, dkk. Ed.

2000. Citra Wanita dan Kekuasaan (Jawa). Yogyakarta: Penerbit Kanisius dan Lembaga Studi Realindo.

(4)

4 perempuan menjadi enggan memasukinya, akhirnya perempuan menjadi pasif dalam berpolitik.3

Kurangnya peran serta perempuan dalam politik, terutama di lembaga-lembaga politik, secara tidak langsung berhubungan dengan faktor-faktor ideologis dan psikologis yang fundamental. Karena alasan psikologis itulah, bahkan kaum perempuan yang aktif bergerak di lembaga politik pun enggan memegang peran sebagai pimpinan karena mereka memandang partai politik sebagai arena yang dikuasai laki-laki. Sidang-sidang partai yang sarat konflik dan sesekali diwarnai kekerasan fisik, serta pergulatan tanpa henti untuk memperebutkan kedudukan dan kekuasaan merupakan beberapa hal yang menciutkan nyali mereka. Mereka lebih suka menjauhkan diri dari politik kotor seperti itu. (Soetjipto dalam Permatasari, 2009)

4

UNDP (2010) mengungkapkan bahwa perempuan di Indonesia secara umum bukanlah pengambil keputusan di keluarga maupun di tataran masyarakat. Jajak pendapat yang dilakukan oleh UNDP tentang perilaku dan persepsi terhadap partisipasi perempuan secara sosial, ekonomi dan politis mengungkapkan bahwa 77,6% responden laki-laki maupun perempuan memandang bahwa laki-laki harus menjadi pengambil keputusan dan pemimpin di kalangan masyarakat, sementara 95% responden mengatakan bahwa laki-laki harus menjadi kepala rumah tangga. 94% dari responden berpendapat perempuan tidak boleh bekerja tanpa ijin dari suami mereka. Temuan dalam survey itu menunjukkan bahwa bias gender dalam

3 Ternalem PA. 2007. Hak Politik Perempuan (Studi Tentang Keterwakilan Perempuan di DPRD

Kabupaten Gunungkidul). Tesis Program Studi S2 Sosiologi Konsentrasi Kebijakan dan Kesejahteraan Sosial. Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

4 Ane Permatasari, S.IP. 2009. Hambatan-hambatan Partisipasi Politik Perempuan (Studi Kasus

di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta). Tesis: Program Studi S2 Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

(5)

5 pengetahuan, perilaku dan praktik di tengah-tengah masyarakat terus bercokol secara nasional di kalangan masyarakat Indonesia.5

Salah satu jalan yang bisa ditempuh agar perempuan mempunyai posisi yang sejajar dan diharapkan mampu memunculkan kesadaran bahwa antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yang sama tanpa ada perasaan minder dari pihak perempuan karena merasa dirinya hanya menjadi warga negara kelas dua menurut Santi Wijaya Hesti Utami (2001) antara lain dilakukan dengan mengikutsertakan para perempuan untuk masuk dalam proses pengambilan keputusan.6 Senada dengan hal tersebut Nugroho (2008) juga menyebutkan bahwa ada dua bentuk kesetaraan gender dalam kepemerintahan yang baik yaitu: pertama kebijakan publik yang sensitif gender dan representasi perempuan dalam lembaga-lembaga pembuat kebijakan publik tersebut.7

Untuk memperlancar akses dan meningkatkan representasi perempuan dalam bidang politik pasca pergantian regim pemerintahan dari Orde Baru ke orde reformasi, pemerintah telah mengeluarkan paket kebijakan afirmatif (affirmative

action)8

5

UNDP. 2010. Partisipasi Perempuan Dalam Politik dan Pemerintah. Makalah Kebijakan. UNDP Indonesia. Hal: 22

6

Tim IP4. 2001. Perempuan dalam Pusaran Demokrasi: dari Pintu Otonomi ke Pemberdayaan. Bantul: IP4 Lappera bekerja sama dengan The Asia Foundation.

7 Riant Nugroho. 2008. Gender dan Administrasi Publik: Studi tentang Kualitas Kesetaraan

Gender dalam Administrasi Publik Indonesia Pasca Reformasi 1998-2002, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

30% (tiga puluh persen) keterwakilan perempuan bidang politik, diawali dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik pada Pasal 13 ayat (3) yang mengamanatkan kepengurusan partai politik di setiap tingkatan

8 Affirmative action adalah kebijakan yang diambil yang bertujuan agar kelompok/golongan

tertentu (gender ataupun profesi) memperoleh peluang yang setara dengan kelompok/golongan lain dalam bidang yang sama. Bisa juga diartikan sebagai kebijakan yang memberi keistimewaan pada kelompok tertentu. (www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6904/affirmative-action diakses tanggal 14-09-2016)

(6)

6 dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Disusul dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah pada Pasal 65 ayat (1) yang mengatur setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon Anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%.

Setelah penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 kebijakan afirmatif dilengkapi dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yang mengamanatkan komposisi keanggotaan penyelenggara pemilu mulai dari tingkat pusat sampai tingkat kecamatan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Dalam perkembangan selanjutnya undang-undang tentang Partai Politik kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 (diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011). Sedangkan undang-undang tentang pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD diganti dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012. Dalam undang-undang yang disebutkan tadi semuanya memuat ketentuan mengenai kebijakan afirmatif representasi perempuan minimal 30%.

Dengan adanya kebijakan afirmatif dalam bidang politik diharapkan peran perempuan dapat terus ditingkatkan dan diperluas pada bidang-bidang yang lain. Namun dalam kenyataannya adanya peluang untuk meningkatkan representasi politik perempuan di lembaga legislatif di Indonesia belum dapat dimanfaatkan dengan optimal termasuk oleh kaum perempuan sendiri dengan indikasi jumlah

(7)

7 perempuan pada anggota legislatif pusat dari setiap hasil pemilihan umum yang masih tetap dibawah 30% meskipun cenderung mengalami peningkatan dibandingkan sebelum keluarnya kebijakan afirmatif tersebut. Sebagai gambaran mengenai perkembangan perbandingan jumlah anggota DPR-RI laki-laki dan perempuan di Indonesia sejak pemilihan umum tahun 1955 sampai tahun 2014 dapat kita amati pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1. Jumlah Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Menurut Jenis Kelamin Tahun 1955-2014

Tahun Pemilu

Laki-Laki Perempuan Laki-Laki +

Perempuan Jumlah Persentase Jumlah Persentase Jumlah Persentase

1955 256 94,12 16 5,88 272 100,00 1971 429 93,26 31 6,74 460 100,00 1977 423 91,96 37 8,04 460 100,00 1982 418 90,87 42 9,13 460 100,00 1987 441 88,20 59 11,80 500 100,00 1992 438 87,60 62 12,40 500 100,00 1997 442 88,40 58 11,60 500 100,00 1999 456 91,20 44 8,80 500 100,00 2004 485 88,18 65 11,82 550 100,00 2009 460 82,14 100 17,86 560 100,00 2014 463 82,68 97 17,32 560 100,00

Sumber: Komisi Pemilihan Umum

Data dikutip dari Publikasi Statistik Indonesia 2015.9

Tidak terpenuhinya kuota minimal 30% keterwakilan perempuan dalam lembaga legislatif di tingkat pusat juga terjadi pada lembaga legislatif tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota hampir di seluruh Indonesia. Pada pemilihan umum tahun 2014 baru mampu menghasilkan keterwakilan perempuan rata-rata 16,14% di DPRD provinsi, serta 14% di DPRD kabupaten/kota.10

9https://www.bps.go.id/index.php/linkTabelStatis/1172 diakses tanggal 18 September 2016.

10 http://www.beritasatu.com/politik/210327-kuota-30-keterwakilan-perempuan-di-parlemen-gagal-tercapai.html diakses tanggal 2 April 2016

(8)

8 Kurang optimalnya perempuan dalam memanfaatkan akses yang telah disediakan pemerintah melalui kebijakan afirmatif untuk memenuhi kuota 30% keterwakilan dalam lembaga legislatif, berbanding lurus dengan kurang optimalnya partisipasi perempuan yang telah terpilih menjadi anggota legislatif di beberapa daerah untuk memperjuangkan aspirasi dan kepentingan khususnya dari kaum perempuan. Hal ini terungkap dari gambaran kesimpulan beberapa penelitian yang dilakukan oleh beberapa pihak pada beberapa daerah. Angela Debbie Prabawati Suwito (2011)11

Penelitian lain yang dilakukan oleh Anis Izdiha (2015)

dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa proses politik dan mekanisme representasi politik yang ada di DPRD Klaten, Jawa Tengah masih belum berhasil mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan. Agenda-agenda politik di DPRD masih meletakkan isu perempuan dan hak-hak politiknya dalam posisi marjinal, kesadaran kolektif perempuan terhadap representasi juga belum bisa mendorong tumbuhnya representasi substantif.

12

11 Angela Debbie Prabawati Suwito. 2011. Jalan Panjang Politik Keterwakilan Perempuan:

Kajian Proses Politik dan Kebijakan di Klaten, Jawa Tengah. Tesis: Program Studi S2 Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

12 Anis Izdiha. 2015. “Politik Perempuan” Studi Kasus Perempuan Politik Daerah Istimewa

Yogyakarta Pada Pemilu 2014. Skripsi: Program Studi S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

tentang perempuan politik Daerah Istimewa Yogyakarta pada Pemilu 2014 antara lain menyimpulkan bahwa keterlibatan perempuan di dalam politik masih sebatas merespon adanya sistem, masuk ke partai politik oleh alasan kuat kebijakan kuota. Politik bagi seorang perempuan politik Jawa belum mampu mengentaskan wacana

the second sex bagi seorang perempuan di dalam keluarga. Aktivitas dan orientasi

(9)

9 yang mereka pahami. Sementara itu Wa Ode Sitti Ulfah (2015)13

Yopi Pranoto (2015)

dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa pemberian kuota 30% perempuan di DPRD belum memberikan dampak terhadap pelaksanaan anggaran responsif gender pada struktur APBD Kota Kendari TA. 2009-2013. Selain itu, tingkat partisipasi anggota legislatif perempuan dinilai masih rendah.

14

Kabupaten Gunungkidul yang meskipun saat ini dipimpin oleh bupati perempuan, merupakan daerah yang rentan terhadap rendahnya partisipasi perempuan dalam wilayah publik. Sebagai bagian dari masyarakat Jawa di wilayah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana simbol-simbol kerajaan/keraton masih dihormati dan keberadaannya tetap dilestarikan sampai saat ini, kultur masyarakat khususnya generasi tua di wilayah perdesaan masih banyak dipengaruhi oleh budaya yang sangat menghormati dan mematuhi segala kebijakan yang ditetapkan penguasa. Budaya patriarki juga masih mewarnai berbagai bidang kehidupan masyarakatnya yang cenderung mengutamakan posisi laki-laki secara berlebihan. Hal ini menjadikan kaum perempuan mengalami

dalam penelitiannya juga menyimpulkan bahwa peran partisipasi politik anggota dewan perempuan DPRD Provinsi Riau masa jabatan 2009-2014 belum berjalan efektif. Anggota dewan perempuan kurang menguasai isu perempuan, dari 5 (lima) peraturan daerah yang menyangkut kebutuhan dan kepentingan perempuan, hanya 1 (satu) yang berasal dari inisiatif DPRD Provinsi Riau.

13 Wa Ode Sitti Ulfah. 2015. Dampak Kuota 30% Perempuan di DPRD Kota Kendari Terhadap

Anggaran Responsif Gender Pada APBD TA. 2009-2013. Tesis: Program Studi S2 Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

14 Yopi Pranoto. 2015. Peran Partisipasi Politik Perempuan Anggota DPRD Provinsi Riau Masa

Bakti 2009-2014. Jom FISIP Volume 2 No. 1 - Februari 2015 www.unri.ac.id diakses tanggal 8 September 2016

(10)

10 subordinasi peran dari laki-laki dan menerima apapun kebijakan yang diputuskan oleh pengambil kebijakan publik yang kebanyakan dipimpin oleh laki-laki.

Posisi subordinasi perempuan di Kabupaten Gunungkidul dalam bidang politik bisa dilihat dari masih kecilnya representasi keterwakilan perempuan pada lembaga legislatif daerah. Dalam dua kali penyelenggaraan Pemilu terakhir pasca adanya kebijakan afirmatif, dari total 45 orang anggota DPRD Kabupaten Gunungkidul hanya terdapat wakil perempuan sebanyak 6 orang (13,33%) pada Pemilu 200915 dan 7 orang (15,56%) pada Pemilu 201416

Tabel 1.2. Rekapitulasi Data Pilah Anggota BPD Per-Kecamatan

. Demikian pula kondisi keanggotaan lembaga permusyawaratan di tingkat desa, berdasarkan data yang penulis peroleh jumlah anggota BPD perempuan di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015 hanya mencapai 7,81%. Sebaran anggota BPD perempuan menurut kecamatan di Kabupaten Gunungkidul sebagaimana dapat dilihat pada Tabel 1.2.

Di Kabupaten Gunungkidul Tahun 2015

No. Kecamatan Laki-laki Perempuan

Laki-laki + Perempuan

Jumlah % Jumlah % Jumlah %

1 Ponjong 114 95,80 5 4,20 119 100,00 2 Patuk 98 88,29 13 11,71 111 100,00 3 Rongkop 74 90,24 8 9,76 82 100,00 4 Gedangsari 73 94,81 4 5,19 77 100,00 5 Girisubo 71 88,75 9 11,25 80 100,00 6 Playen 131 94,24 8 5,76 139 100,00 7 Tanjungsari 47 85,45 8 14,55 55 100,00 8 Semanu 50 90,91 5 9,09 55 100,00 9 Saptosari 70 90,91 7 9,09 77 100,00 10 Purwosari 45 91,84 4 8,16 49 100,00 11 Semin 103 93,64 7 6,36 110 100,00 15http://www.jariungu.com/parlemen_profil.php?pageNum_rsAnggotaParlemen1=0&totalRows_rs AnggotaParlemen1=45&idJenisParlemen=4&idParlemen=136&idKabKota=103&cariAnggotaParl emenDaerah=y&maxRows_rsAnggotaParlemen1=45 diakses tanggal 10 September 2016.

16 http://kpu-gunungkidulkab.go.id/files/arsip/2014/12/58_Profil-Anggota-DPRD-Kabupaten-Gunungkidul-Periode-2014-2019.pdf diakses tanggal 10 September 2016.

(11)

11 12 Ngawen 58 87,88 8 12,12 66 100,00 13 Wonosari 144 94,74 8 5,26 152 100,00 14 Karangmojo 91 95,79 4 4,21 95 100,00 15 Tepus 55 100,00 0 0,00 55 100,00 16 Paliyan 70 95,89 3 4,11 73 100,00 17 Panggang 58 90,63 6 9,38 64 100,00 18 Nglipar 64 83,12 13 16,88 77 100,00 Jumlah 1.416 120 1.536

Sumber: Bagian Administrasi Pemerintahan Desa Sekretariat Daerah Kabupaten Gunungkidul (data diolah penulis)

Sedikitnya keterwakilan perempuan pada lembaga perumus kebijakan publik dapat berpotensi untuk merugikan kaum perempuan karena tidak terpenuhinya kebutuhan dan tidak tertanganinya persoalan yang berkaitan dengan masalah perempuan. Sebagai pihak yang benar-benar mengerti mengenai aspirasi, kebutuhan, dan masalah perempuan, selama ini anggota legislatif perempuan menjadi pihak yang jumlah suaranya minoritas dalam mengawal kebijakan untuk menjadi prioritas dalam perencanaan, dalam pelaksanaan, dan evaluasi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kondisi seperti ini dapat menyebabkan terjadinya marjinalisasi terhadap perempuan dalam mendapatkan pelayanan publik.

Akses bagi perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa, pelaksanaan pembangunan, pembinaan kemasyarakatan, dan pemberdayaan masyarakat telah dijamin dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa antara lain mengenai kebijakan afirmatif untuk menjamin keterwakilan perempuan pada lembaga perwakilan rakyat di tingkat desa (dalam hal ini BPD). Jumlah anggota BPD ditetapkan dengan jumlah gasal, paling sedikit 5 (lima) orang dan paling banyak 9 (sembilan) orang, dengan memperhatikan wilayah, perempuan, penduduk, dan kemampuan Keuangan Desa. Kemudian dipertegas

(12)

12 lagi dalam Pasal 72 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 yang berbunyi:

“Pengisian keanggotaan Badan Permusyawaratan Desa dilaksanakan secara demokratis melalui proses pemilihan secara langsung atau musyawarah perwakilan dengan menjamin keterwakilan perempuan”. Namun semakin terbukanya akses tersebut tidak serta merta dapat menghilangkan dominasi laki-laki terhadap perempuan baik dari sisi jumlah maupun tingkat partisipasi anggota BPD untuk menjalankan fungsinya dalam penyelenggaraan pemerintahan desa yaitu membahas dan menyepakati Rancangan Peraturan Desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat desa, dan melakukan pengawasan kinerja Kepala Desa.

Kekhawatiran terhadap potensi semakin tidak berpihaknya kebijakan publik terhadap perempuan di tengah kondisi meningkatnya kemampuan anggaran desa, akibat kurang aktifnya partisipasi perempuan yang duduk dalam lembaga pengambil kebijakan publik dengan keterwakilan yang relatif terbatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian mengenai partisipasi politik anggota BPD perempuan berdasarkan perbedaan karakteristik antar wilayah di Kabupaten Gunungkidul dalam upaya merumuskan, mempengaruhi, dan menentukan kebijakan publik tingkat desa sesuai aspirasi masyarakat khususnya dari kaum perempuan.

Perbedaan karakteristik wilayah dan tingkat kesulitan geografis pada Desa Baleharjo yang berstatus desa urban di wilayah perkotaan Wonosari, Desa Nglipar yang memiliki sifat semi urban karena menjadi ibu kota Kecamatan Nglipar, dan

(13)

13 Desa Petir Kecamatan Rongkop sebagai desa berstatus rural (pedesaan), serta adanya perbedaan kultur masyarakat dan jumlah anggota BPD perempuan diharapkan dapat memberikan gambaran perbedaan tingkat partisipasi anggota BPD perempuan pada masing-masing desa di Kabupaten Gunungkidul.

B. Rumusan Masalah

Dari latar belakang sebagaimana yang telah diuraikan tersebut, penulis melakukan penelitian dengan rumusan masalah sebagai berikut :

1. Bagaimanakah partisipasi politik anggota BPD perempuan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Gunungkidul dalam menjalankan fungsinya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?

2. Aspek-aspek apa yang mempengaruhi partisipasi politik anggota BPD perempuan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Gunungkidul dalam menjalankan fungsinya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian adalah sarana fundamental untuk memenuhi pemecahan masalah secara ilmiah, untuk itu penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui bagaimana partisipasi anggota BPD perempuan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Gunungkidul dalam menjalankan fungsinya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.

(14)

14 2. Untuk mengetahui aspek-aspek apa yang mempengaruhi partisipasi anggota

BPD perempuan berdasarkan karakteristik wilayah di Kabupaten Gunungkidul dalam menjalankan fungsinya sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sehingga dapat diidentifikasi dan dianalisis masalahnya.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat secara akademis dan praktis. Secara akademis diharapkan dapat menambah kekayaan keilmuan di bidang administrasi publik khususnya partisipasi perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi kepada pemerintah daerah dengan menyajikan gambaran partisipasi politik perempuan dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagai bahan pertimbangan dalam perumusan kebijakan untuk meningkatkan kualitas penyelenggaraan pemerintahan desa sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 khususnya melalui peningkatan partisipasi perempuan dalam keanggotaan BPD. Penelitian ini diharapkan juga dapat dijadikan sebagai referensi bagi siapa saja yang tertarik dengan permasalahan yang dibicarakan didalam penelitian ini.

E. Penelitian Terdahulu

Angela Debbie Prabawati Suwito pada tahun 2011 melakukan penelitian untuk penyusunan Tesis Program Studi Politik dan Pemerintahan Universitas

(15)

15 Gadjah Mada Yogyakarta, yang berjudul Jalan Panjang Politik Keterwakilan Perempuan: Kajian Proses Politik dan Kebijakan di Klaten, Jawa Tengah. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif studi kasus, pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam terhadap informan perempuan yang memiliki pengetahuan memadai mengenai persoalan perempuan dan politik, terhadap aktivis gerakan advokasi perempuan, serta anggota DPRD. Kemudian diskusi kelompok terfokus melibatkan lima peserta perempuan yang berbeda latar belakangnya. Penelitian menyimpulkan bahwa Proses politik dan mekanisme representasi politik yang ada saat ini masih belum berhasil mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan perempuan. Pemenuhan kebutuhan dan kepentingan perempuan untuk terlibat dalam proses politik masih jauh dari harapan. Agenda-agenda politik di DPRD masih meletakkan isu perempuan dan hak-hak politiknya dalam posisi marjinal. Dari perspektif representasi, kesadaran kolektif perempuan itu juga belum bisa mendorong tumbuhnya representasi substantif. Kendala kultural dan struktural masih mengikat perempuan untuk terus berada di dalam keterbatasan representasi deskriptif di tataran politik formal (melalui kehadiran anggota perempuan di parlemen) dan representasi simbolik pada tataran politik non-fomal (melalui peran laki-laki kepala rumah tangga di dalam forum-forum pertemuan warga).

Terkait dengan partisipasi BPD, Drs. Sujatmiko (2012)17

17 Drs. Sujatmiko. 2012. Partisipasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Implementasi

Alokasi Dana Desa di Kecamatan Leksono Kabupaten Wonosobo. Tesis: Program Studi Administrasi Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

melakukan penelitian dalam Tesisnya yang berjudul Partisipasi Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Dalam Implementasi Alokasi Dana Desa (Studi Kasus Di Kecamatan Leksono Kabupaten Wonosobo). Menggunakan metode penelitian Kualitatif studi

(16)

16 kasus dengan analisis kualitatif. Informan terdiri dari 13 orang (Ketua BPD masing-masing desa ditambah dengan Camat dan Pejabat di BPMD Wonosobo). Teknik pengumpulan data menggunakan observasi langsung, observasi partisipatif dan wawancara bebas serta data sekunder. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa:

1. Kurang/rendahnya partisipasi BPD dalam implementasi ADD ditandai dengan tidak dilaksanakannya Pedoman pelaksanaan ADD Tahun 2008 secara konsisten (ketidaksesuaian waktu pencairan ADD Tahap I dan Tahap II dengan ketentuan).

2. Kualitas Sumber Daya Manusia BPD dapat menampung aspirasi masyarakat desa dan menyusun peraturan desa dengan baik melalui penetapan dan pedoman pelaksanaan ADD.

3. Struktur Organisasi implementasi ADD (Tim Fasilitasi tingkat kabupaten, Tim Pendamping kecamatan serta pemerintah desa dan BPD) mempengaruhi kemampuan dalam memperinci penggunaan ADD sesuai dengan ketentuan. 4. Pemerintah desa dan BPD tidak bisa mandiri menentukan implementasi ADD

sesuai aspirasi masyarakat karena sudah ditetapkan pedoman pelaksanaan ADD oleh kabupaten, maka aspirasi seringkali tidak bisa didanai melalui ADD.

Anis Izdiha dalam penelitian untuk menyusun Skripsi Program Studi S1 Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada Yogyakarta tahun 2015 yang berjudul “Politik Perempuan” Studi Kasus Perempuan Politik Daerah Istimewa Yogyakarta Pada Pemilu 2014 antara lain menyimpulkan bahwa keterlibatan perempuan di dalam politik masih sebatas merespon adanya sistem, masuk ke

(17)

17 partai politik oleh alasan kuat kebijakan kuota. Politik bagi seorang perempuan politik Jawa belum mampu mengentaskan wacana the second sex bagi seorang perempuan di dalam keluarga, izin keluarga masih menjadi modal awal kuat yang mesti dikantongi ketika akan nyaleg, suami memiliki otoritas penuh atas "izin" berpolitik bagi perempuan.

Penelitian lain dilakukan pada tahun 2015 oleh Wa Ode Sitti Ulfah dalam Tesis Program Studi Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berjudul Dampak Kuota 30% Perempuan di DPRD Kota Kendari Terhadap Anggaran Responsif Gender Pada APBD TA. 2009-2013. Tipe penelitiannya adalah evaluasi kebijakan dengan metode evaluasi summatif untuk mengukur bagaimana sebuah kebijakan atau program telah memberikan dampak terhadap masalah yang telah ditujukan di awal. Desain penelitian evaluasinya

single program after-only. Adapun key informannya yang dipilih melalui purposive sampling adalah anggota legislatif (2 perempuan dan 4 laki-laki),

Kasubbag Keuangan BPKAD, LSM (ALPEN dan YKPI masing-masing 1 orang), dan 1 orang akademisi. Analisa datanya menggunakan teknik analisis isi dan teknik analisis interaktif. Hasil kesimpulan penelitian menyatakan bahwa:

1. DPRD Kota Kendari belum mampu mengupayakan agar semua SKPD (108 instansi) melaksanakan anggaran responsif gender (paling banyak 7 SKPD setiap tahun)

2. (Dukungan politik) DPRD Kota Kendari belum membuat adanya kebijakan/regulasi atau perda tentang Pengarusutamaan Gender bahkan Anggaran Responsif Gender. Ini menunjukkan bahwa komitmen dalam penanganan isu gender masih lemah dan belum optimal.

(18)

18 3. (Kelembagaan) DPRD Kota Kendari belum mampu mengupayakan agar

dibentuk Group Focal Point atau kelompok kerja yang menangani permasalahan gender, sehingga dana kegiatan-kegiatan yang mengalir dari pemerintah daerah bisa lebih diarahkan responsif gender.

4. (Sistem Informasi) DPRD Kota Kendari belum maksimal dalam menegaskan adanya data terpilah (laki-laki dan perempuan) dalam penyusunan APBD. 5. (SDM) pemahaman anggota legislatif keliru mengenai gender, terlebih

kepada anggaran responsif gender.

Dalam kesimpulan akhir penelitiannya menyebutkan bahwa kuota 30% perempuan di DPRD Kota Kendari belum berdampak terhadap pelaksanaan anggaran responsif gender pada struktur APBD Kota Kendari TA. 2009-2013. Selain itu, tingkat partisipasi anggota legislatif perempuan dinilai masih rendah.

Yopi Pranoto melakukan penelitian tahun 2015 yang berjudul Peran Partisipasi Politik Perempuan Anggota DPRD Provinsi Riau Masa Bakti 2009-2014. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan informan utama 5 anggota perempuan DPRD Provinsi Riau masa bakti 2009-2014 dan informan kunci 5 orang anggota laki-laki DPRD Provinsi Riau masa bakti 2009-2014 yang memiliki jabatan strategis. Hasil penelitiannya juga menyimpulkan bahwa peran partisipasi politik anggota dewan perempuan DPRD Provinsi Riau masa jabatan 2009-2014 berjalan belum efektif. Ditandai dengan anggota dewan perempuan DPRD Provinsi Riau masa jabatan 2009-2014 kurang mengusai isu perempuan, banyak yang tidak mengetahui tentang program tujuan pembangunan millenium MDGs yang telah disepakati oleh PBB. Padahal dalam program MDGs salah satunya adalah mendorong kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

(19)

19 Bersama Pemerintah Provinsi Riau anggota dewan perempuan telah melahirkan Peraturan Daerah (Perda) yang menyangkut kebutuhan dan kepentingan perempuan. Namun, dari total lima (5) perda tersebut hanya satu (1) perda yang berasal dari inisiatif DPRD Provinsi Riau. Partisipasi dalam menjalankan fungsi budgeting yang dilakukan anggota dewan perempuan DPRD Provinsi Riau tidak berjalan dengan baik. Dimana anggaran kesehatan dan pendidikan dalam APBD Riau setiap tahunya tidak memenuhi amanah undang-undang.

F. Perbedaan dengan Penelitian Terdahulu

Dari hasil-hasil penelitian yang penulis amati, belum pernah ada yang menganalisis mengenai partisipasi politik anggota BPD perempuan dalam melaksanakan fungsinya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang penulis temukan sebagian besar obyek analisisnya mengenai anggota legislatif di tingkat pemerintah daerah (DPRD). Sedangkan terkait partisipasi BPD baru menganalisis mengenai partisipasi BPD secara kelembagaan bukan dari kapasitas anggota apalagi dikaitkan dengan partisipasi perempuan dalam lembaga politik tingkat desa. Lokasi penelitian yang diambil juga berbeda.

Referensi

Dokumen terkait

Membuat modifikasi motor bensin (genset) sehingga dapat digunakan untuk bahan bakar biogas. Menguji genset berbahan bakar biogas untuk menghasilkan listrik sampai beban

persyaratan berdasarkan Berita Acara Penelitian dan Verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3), segera ditindaklanjuti dengan penyerahan kendaraan dari Pengguna

Tebing Tinggi tempo dulu, kita tidak lepas dari kesan lama bahwa “kota itu kecil, bersih dan segalanya tertata dan disiapkan sebagai Kotapraja (Gemeete) kota yang dibangun untuk orang

Direct red-31 dye removal percentage by rice husk ash biosilica in various temperature.. From Table 4, with the increase of temperature, the removal percentage will also

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan bahasa Bali yang terdiri atas bentuk-bentuk majas dapat memperindah karya sastra geguritan berupa imaji, baik

Penilaian Tingkat Kesehatan Bank Sesuai dengan PJOK Nomor 4/PJOK.03/2016 Tentang Penilaian Tingkat Kesehatn Bank Umum wajib bagi Bank melakukan penilaian sendiri (selft

Gedung H, Kampus Sekaran-Gunungpati, Semarang 50229 Telepon: (024)

Berdasarkan data hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa media pembelajaran PowerPoint berbasis video dengan tampilan seperti beberapa contoh yang telah