• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ungkapan dalam berbagai aspek kehidupan sosial masyarakat kerap menjadi pilihan setiap penutur suatu bahasa untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Berkaitan dengan fungsi bahasa, Halliday (1978:11) menyatakan bahwa ungkapan digunakan untuk memberikan penekanan hubungan emosi di antara penutur karena ungkapan memiliki fungsi kontrol suatu tindakan untuk saling memengaruhi antarpartisipan. Menurut Keraf (2009: 112--113), ungkapan merupakan variasi gaya berkomunikasi agar situasi tutur tidak monoton dan kaku, tetapi berdampak khusus terhadap mitra tutur melalui penggunaan bentuk-bentuk bahasa yang bermakna kias. Hal ini disebabkan oleh masyarakat bahasa masih menganut sistem budaya tidak langsung. Artinya, penyampaian suatu maksud tidak secara tegas, lugas, atau langsung mengacu pada hal yang dimaksud (Hymes, 1964:5).

Dalam pergaulan sehari-hari, masyarakat penutur bahasa menggunakan ungkapan melalui dua saluran berbeda (Sumarlan, 2003:1). Dua macam saluran yang dimaksud adalah komunikasi bahasa lisan dan bahasa tulis. Komunikasi bahasa lisan merupakan proses penyampaian dan penerimaan informasi, baik secara verbal maupun nonverbal tanpa menggunakan perantara atau media. Komunikasi bahasa

(2)

tulis merupakan proses penyampaian dan penerimaan informasi dengan menggunakan perantara atau media. Salah satu di antara media tersebut adalah wacana tulis. Menurut Chaer (2006:1), wacana tulis merupakan ungkapan pengalaman batin seseorang yang berfungsi mewujudkan ide yang ada di dalam pikiran manusia yang berbentuk karya sastra.

Karya sastra merupakan salah satu wacana naratif lahir dari imajinasi dan keinginan pengarang untuk mengungkapkan pengalaman batin melalui untaian kata-kata yang mengandung makna, baik makna denotatif atau makna pusat maupun makna konotatif atau makna samping (Bloomfield, 1976: 149). Misalnya dalam bahasa Indonesia, kupu-kupu memiliki makna denotatif (literal) dengan fitur semantik, yaitu ‘sejenis serangga, bersayap indah yang hinggap dari bunga satu ke

bunga lainnya untuk mengisap madu bunga’. Sebaliknya, kupu-kupumalam memiliki makna konotatif (nonliteral), yaitu wanita yang bercinta dengan laki-laki hidung belang untuk menguras isi kantongnya.

Seorang pengarang mengemukakan obsesinya terhadap lingkungan di sekitarnya sebagai perbandingan karakter atau keadaan dengan kehidupannya untuk mengekspresikan kegundahan, pengalaman diri, pemikiran, pandangan hidup, dan keinginan-keinginan dalam jiwanya, baik yang bersifat nyata maupun imajinatif. Daya imajinatif berarti pengarang dapat menggambarkan keadaan di luar kehidupan nyata, kemudian ditangkap, baik oleh pembaca maupun pendengar karya sastra atau fiksi sebagai karya seni (Nurgiyantoro, 2000:3).

(3)

Menurut ragamnya, karya sastra dibedakan atas prosa, puisi, dan drama (Pradopo, 2007:49). Puisi, baik yang tradisional maupun modern merupakan ekspresi pengalaman batin pengarang atau penyair mengenai kehidupan manusia, alam, dan Tuhan melalui media bahasa dengan estetika yang padu, utuh dan kata-kata yang dipadatkan. Menurut Pradopo (2007:49), puisi merupakan salah satu karya sastra yang menggunakan bahasa yang khas, yakni majas. Bahasa khas berarti bahasa yang digunakan dalam puisi dapat melukiskan apa yang dialami jiwa pengarang, sedangkan bahasa sehari-hari tidak bisa mencakup imaji dalam ranah-ranah di luar bahasa.

Indonesia sangat kaya dengan beragam karya sastra daerah yang menunjukkan ciri khas adat istiadat, budaya, serta sejarah tiap-tiap daerah. Ungkapan yang menghiasi karya sastra dapat ditemukan di semua bahasa daerah, termasuk bahasa Bali. Karya sastra bahasa Bali memendam kekayaan intelektual dengan nilai-nilai estetis, pendidikan, dan budaya yang tertuang dalam karya sastra. Salah satu karya sastra tradisional Bali berbentuk prosa yang ditulis dalam daun lontar adalah geguritan. Geguritan merupakan sarana penyampaian pesan untuk memahami alam pikir dan dunia imajinasi orang Bali dengan gaya bahasa atau majas yang lugas, mudah dimengerti, dan sangat menyentuh daya imaji pembaca (Simpen, 1980).

Rangkaian ungkapan dalam karya sastra geguritan tersusun melalui kaidah-kaidah penulisan bait dan jenis pupuh atau tembang yang berbeda (Simpen, 1980). Geguritan biasanya berisi tentang cerita atau rekaman peristiwa dalam periode tertentu yang melegenda, Sebagai contoh, Geguritan Sampik-Ingtai. Geguritan

(4)

Sampik-Ingtai (GSI) merupakan hasil karya sastra dalam versi bahasa Bali. Ungkapan yang terdapat dalam karya sastra ini tersusun dari bentuk majas (trope) sehingga kekhasan daya estetis karya ini dapat memukau pemirsa yang secara tidak langsung semua nilai-nilai dapat terpatri dalam ingatan dan perilaku mereka.

Majas termasuk salah satu gaya bahasa. Pengertian tentang gaya bahasa (style) menurut penjelasan Kridalaksana (1982) adalah pemanfaatan atas kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur untuk memperoleh efek-efek tertentu serta keseluruhan ciri-ciri bahasa sekelompok penulis sastra. Dalam tulisan ini pengertian gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu, oleh orang tertentu, dan untuk tujuan tertentu. Kemudian muncul pertanyaan, apakah sebenarnya fungsi penggunaan majas atau gaya bahasa?

Pertama-tama, bila dilihat dari fungsi bahasa, gaya bahasa termasuk fungsi wacana estetik, yakni wacana yang bersumber pada tekanan keindahan pesan, seperti wacana puisi dan lagu (Leech, 1974: 52). Ditambahkan oleh Jakobson dalam Vanoye (1971: 59) bahwa penggunaan gaya bahasa termasuk ke dalam fungsi puitik, yaitu menjadikan pesan lebih berbobot. Pemakaian gaya bahasa yang tepat disesuaikan dengan konteks, baik konteks budaya maupun konteks situasi (Malinowski, 1935). Menurut Halliday dan Hasan (1985: 17), bila penggunaan konteks tidak tepat, maka penggunaan gaya bahasa akan sia-sia belaka karena tidak menarik, bahkan menimbulkan kesalahpahaman pembaca.

Majas atau gaya bahasa berdasarkan perbandingan makna adalah simile dan metafora yang dalam bahasa Bali dapat berupa sesawangan, pepindan, dan

(5)

sesenggakan. Majas ini ditonjolkan oleh pengarang karena maknanya yang bersifat eksplisit, artinya perbandingan yang langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal yang lain (Mulyono, 1979: 175). Sebagai contoh, sesawangan: Seledetne makadi tatit ‘lirikannya seperti kilat’. Unsur yang dibandingkan adalah seledetne ‘lirikannya’

dengan tatit ‘kilat’. Majas perbandingan ini tidak menimbulkan kesulitan pemahaman karena kata yang dibandingkan muncul bersamaan dengan kata pembanding, yaitu sekadi ‘seperti’, tan bina sekadi ‘tiada bedanya dengan; waluya ‘ibarat’, dan lain-lain.

Ungkapan yang digunakan masyarakat bahasa tidak terlepas dari fenomena sosial dan sistem budaya masyarakat yang menaunginya (Bagus, 1979). Salah satu di antaranya adalah bias gender dalam bahasa. Budaya berperan langsung mengkonstruksi bentuk-bentuk bahasa laki-laki dan perempuan dalam menunjukkan dominasi terhadap perempuan, baik dalam tataran leksikal, semantik, maupun sintaksis. Misalnya, dalam pola urutan, yaitu urutan pertama mengacu laki-laki bersifat generik dan urutan kedua untuk perempuan bersifat spesifik, putra-putri, pemuda-pemudi, Dewa-dewi, Lingga-Yoni atau dalam bahasa Bali, truna-truni ‘muda-mudi’, lanang-istri, ‘laki-laki perempuan’ Widyadara-widyadari, ‘bidadari’,

Betara-betari ‘Dewa-dewi’, dan lain-lain. Perbedaan acuan dalam majas untuk menggambarkan laki-laki dan perempuan juga terdapat dalam tataran leksikal yang merupakan kesepakatan budaya Bali dan kepercayaan penutur. Sebagai contoh, Bulan bulan’ mengacu pada perempuan, sedangakan Kala Rawu ‘Dewa Kala Rawu’ mengacu pada laki-laki. Tentu muncul pertanyaan, bagaimanakah pembaca

(6)

menentukan makna yang tersusun dalam majas yang mengacu bentuk laki-laki atau perempuan?

Setiap kata mempunyai wilayah makna tertentu yang terdiri atas sejumlah komponen makna, yaitu satuan makna terkecil (Tutescu, 1979: 84-87). Contoh ungkapan bias gender bahasa Bali pada tataran klausa, Sekar harum dalu, tambulilingane pasliab ‘Bunga harum semerbak, kumbang berterbangan’. Kata tambulilingan ‘kumbang’ mengacu pada jenis serangga yang mengisap sari bunga satu ke bunga lainnya. Berdasarkan komponen makna penyama, kata ini menunjukkan pergeseran acuan, yaitu laki-laki, sedangkan bunga identik dengan perempuan.

Dari penjabaran di atas, dapat disimpulkan bahwa ungkapan bahasa Bali yang terdiri atas bentuk-bentuk majas dapat memperindah karya sastra geguritan berupa imaji, baik dari dalam maupun di luar dirinya. Bentuk ungkapan tersusun dari majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan yang menunjukkan fungsi estetis, poetik, direktif, dan ekspresif. Pengarang GSI tidak hanya menuangkan nilai-nilai pendidikan dan agama, tetapi juga fenomena sosial dalam sistem budaya dalam masyarakat, yaitu bias gender dalam ungkapan BB.

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik pada fenomena kebahasaan dan pengaruh sistem budaya pada bahasa yang digunakan oleh pengarang geguritan sebagai bentuk kreativitas mereka untuk memikat hati para pembaca dan pendengarnya. Dari sekian jumlah karya sastra tradisional geguritan BB yang ada, dipilih dan dikaji fenomena-fenomena kebahasaan yang terdapat dalam GSI sebagai

(7)

topik penelitian. Hal ini dipilih karena dari pengamatan awal, diketahui bahwa dalam karya sastra ini terdapat majas bernuansa bias gender yang perlu digali dari tataran leksikal, semantik dan aspek komunikatif. Majas yang dimaksud, antara lain majas perbandingan (simile dan metafora), majas pertentangan (antitesis, ironi, hiperbola), dan majas pertautan (litotes, eufemisme). Selain itu, topik ini dipilih karena adanya strategi linguistik yang dibangun oleh pengarang melalui wacana percakapan di antara tokoh lak-laki dan perempuan untuk menunjukkan kuasa dan solidaritas atau menjaga hubungan.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas, ada empat masalah pokok yang perlu dicari jawabannya. Keempat masalah tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut.

(1) Bagaimanakah bentuk UBB bias gender dalam GSI?

(2) Apa fungsi UBB biasgender dalam GSI?

(3) Bagaimanakah makna pemakaian majas UBB bias gender dalam GSI?

(4) Bagaimanakah strategi linguistik tokoh lak-laki dan perempuan untuk menunjukkan kuasa dan solidaritas dalam wacana percakapan GSI?

(8)

1.3 Tujuan Penelitian

Setiap gerak dan aktivitas pasti memiliki tujuan tertentu, sehingga nantinya dapat memberikan arah dari aktivitas yang dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mencari jawaban dari permasalahan yang ditemukan. Tujuan ini dapat dirumuskan menjadi dua, yaitu tujuan umum dan tujuan khusus yang diuraikan secara terpisah berikut ini.

1.3.1 Tujuan Umum

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk ikut menggali, mengembangkan, dan melestarikan budaya yang terekam melalui bahasa dalam karya sastra tradisional Bali, khususnya geguritan sebagai warisan budaya bangsa. Penelitian ini juga dapat memberikan pandangan kepada masyarakat agar mengenal dan menikmati karya sastra puisi tradisional dengan harapan dapat menggugah rasa kecintaan masyarakat terhadap kesusastraan Bali yang tentunya secara langsung dapat mengajekkan budaya Bali.

1.3.2 Tujuan Khusus

(9)

(1) mendeskripsikan bentuk UBB yang terdapat dalam GSI yang bernuansa bias gender,

(2) mendeskripsikan fungsi UBB dalam GSI yang bernuansa biasgender,

(3) mengkaji makna pemakaian majas yang tersirat dari UBB dalam GSI yang bernuansa biasgender,

(4) mendeskripsikan strategi linguistik UBB dalam wacana percakapan GSI.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan beberapa manfaat, baik secara teoretis maupun praktis yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Secara teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat

(1) menjadi bahan pembuktian penerapan teori fungsional, teori majas, teori fungsi dan teori gender,

(2) membangun model kajian pengembangan linguistik pada majas perbandingan, majas pertentangan, dan majas pertautan dengan makna kias yang bersifat aplikatif.

(10)

1.4.2 Manfaat Praktis

Secara praktis, hasil penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran kepada dunia pendidikan, di antaranya adalah sebagai bahan acuan tambahan pembelajaran bagi guru, khususnya pembelajaran bahasa dan sastra daerah Bali. Di samping itu, sebagai pengetahuan baru bagi seniman, khususnya pengarang tentang penggunaan majas sebagai pengungkap makna dan menambah nilai estetika sebuah wacana. Untuk khalayak umum, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai media efektif untuk mengkritisi peranan sistem budaya patrilineal yang mengeksploitasi perempuan dalam kehidupan masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait

Kualitas bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP kelas IX adalah (1) bahan ajar menulis cerpen dengan media adobe flash untuk siswa SMP

Latumeten memiliki kelebihan faktor fasilitas kesehatan dan kondisi fisik bangunan, RS Sumber Hidup memiliki satu kelebihan yaitu faktor transparansi biaya, Rumah sakit

Peserta dari Kabupaten Minahasa Selatan memiliki pengetahuan awal lebih baik mengenai cempaka dibandingkan pengetahuan peserta dari Kabupaten Minahasa dan Minahasa Utara, sehingga

Yang dapat menggunakan aplikasi adalah sebagai berikut : a) Bagian Keuangan, yaitu yang menjalankan sistem aplikasi. b) Bagian Pimpinan, yaitu hanya dapat melihat laporan

BAB IV Analisis Data terhadap Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah untuk Peningkatan Mutu Belajar Siswa terdiri dari dua bagian, yaitu Analisis Terhadap Penerapan Manajemen

Teknik penyambungan jaring selain digunakan untuk membuat alat tangakap, teknik ini juga digunakan untuk memperbaiki jaring. Yang perlu kita perhatikan.. dalam perbaikan pada jaring

Application Design melibatkan proses perancangan User Interface dan program aplikasi yang akan digunakan untuk memproses database. Desain suatu user interface harus

sumber data adalah perannya dalam pertumbuhan, perkembangan dan kemajuan sastra Jawa modern. Adapun alasan pemilihan cerkak DPBLL sebagai objek penelitian adalah