• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III SKETSA KEHIDUPAN TOKOH APUNG S. WIRATMADJA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III SKETSA KEHIDUPAN TOKOH APUNG S. WIRATMADJA"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

SKETSA KEHIDUPAN TOKOH

APUNG S. WIRATMADJA

Pada bab ini penulis akan memaparkan tentang latar belakang kehidupan, pendidikan, dan cara belajar Apung S. Wiratmadja dalam menggeluti dunia seni, khususnya seni tembang Sunda Cianjuran. Kajian ini dilakukan untuk menjawab pertanyaan pertama dan kedua dalam penelitian ini. Dengan demikian, diharapkan proses Apung S. Wiratmadja dalam belajar dan mengenal seni, serta faktor-faktor yang memengaruhi kehidupan Apung S. Wiratmadja dalam belajar dan berkarya seni dapat diketahui secara jelas.

A. LATAR BELAKANG KEHIDUPAN KELUARGA DAN LINGKUNGAN

1. Sebelum Berkeluarga

Apung S. Wiratmadja dilahirkan di Kampung Parakan Muncang, dekat Cicalengka, Kabupaten Sumedang pada tanggal 7 April 1936 dari pasangan Gandawinata dan Eharia. Ia merupakan putra kelima dari sepuluh bersaudara. Kesembilan saudaranya antara lain (1) Lengkasih (Alm), (2) Atang Rukmana, (3) Tingting, (4) Anang Yuhana, (5) Dedeh Sudayatin, (6) Eman Ratmana, (7) E. Kurnia, (8) Euis Supriatin, dan (9) Rubayat.

Ayahanda Apung S.W adalah seorang guru di sekolah rakyat (SR), sementara ibunya adalah seorang ibu rumah tangga. Salah satu pekerjaan yang dilakukan oleh Ayahnya adalah diantaranya mengajar lagu-lagu pupuh pada siswa SR. Artinya, Gandawinata memiliki keterampilan dalam bernyanyi, khususnya dalam melantunkan

(2)

lagu-lagu pupuh. Pada saat itu guru SR dituntut untuk dapat mengajar dalam berbagai mata pelajaran (membaca, menulis, berhitung) termasuk di antaranya mata pelajaran kesenian (seni suara). Seperti umumnya yang terjadi pada guru sekolah dasar (SD) sekarang, yaitu biasa mengajar dalam beberapa mata pelajaran.

Sekitar tahun 1940-an, Gandawinata dipindahkan tugas mengajarnya dari SR Parakan Muncang ke SR Cibunar di Kecamatan Ranca Kalong-Sumedang, di sana ia bertugas pula sebagai kepala sekolah. Oleh karena itu, Apung S.W pun turut berpindah tempat bersama ayahnya dari Parakan Muncang ke Cibunar. Pada saat itu Apung S.W. berusia sekitar enam tahunan. Daerah Cibunar merupakan daerah pedesaan, yang berpengaruh terhadap pola kehidupan sosial keluarga Apung S.W. yang meliputi cara belajar dan mengenal seni seni, berperilaku seni, kegiatan di sekolah khususnya di SR, dan hubungan kekeluargaan diantara keluarga Apung S.W. Di sana, Apung S.W banyak memperoleh pengalaman-pengalaman yang berkaitan dengan dunia kesenimanannya, sehingga dapat dikatakan bahwa perjalanan seni Apung S.W dimulai dari Cibunar kecamatan Rancakalong Sumedang.

Kemampuan Gandawinata dalam melantunkan pupuh juga sering diekspresikan di lingkungan keluarga. Kadang-kadang ia menyanyikan pupuh di rumahnya sendiri, sehingga anggota keluarganya termasuk Apung S.W sering mendengar lagu-lagu yang dilantunkan oleh ayahnya. Gandawinata kerap mengajarkan lagu-lagu pupuh kepada anak-anaknya. Dari ke sepuluh anaknya menurut salah seorang saudaranaya Epep Kurnia, pada dasarnya pengajaran pupuh yang dilakukan oleh ayahnya, mendapat respon dari semua anaknya. Namun, respon tersebut tidak memotivasi untuk mempelajarinya lebih mendalam, padahal semua anaknya tersebut mempunyai bakat seni. Lain halnya dengan Apung S.W. selain ia mempunyai bakat, dari pembelajaran pupuh tersebut ia termotivasi untuk mempelajarinya dengan Serius. Oleh karena itu,

(3)

dari keseriusan disertai dengan keinginan yang tinggi, sejak kecil Apung S.W. telah mengenal beberapa lagu pupuh.

Pada usia delapan tahunan, Apung S.W. memiliki beberapa kegiatan yang bersentuhan dengan dunia seni. Hal itu dilakukan pada saat-saat tertentu seperti, saat mengembala domba, saat bermain ke rumah tetangga, saat bermain di lingkungan kediamannya, saat menonton kegiatan seni, saat mendengarkan lagu-lagu dari gramofon. Berikut penjelasan mengenai kegiatan-kegiatan Apung S.W. dalam mengenal dan mempelajari seni. Pertama, saat menggembala domba. Hal ini dilakukan karena ayahnya memiliki binatang peliharaan domba. Sebagaimana layaknya anak desa, Apung S.W. seringkali ditugaskan untuk menyabit rumput dan menggembala domba-domba ayahnya itu di padang rumput, setelah pulang sekolah sekitar pukul 10.00. Apung S.W. merasa senang dengan tugasnya tersebut, karena pada saat menggembala domba atau menyabit rumput, ia memiliki kesempatan untuk

hahariringan (bernyanyi dengan suara pelan/bersenandung) dan hahaleuangan

(bernyanyi dengan suara agak keras). Menurutnya, bernyanyi di tempat penggembalaan lebih nyaman bila dibandingkan dengan di rumah, karena ia lebih leluasa berekspresi dalam olah vokal. Hal ini pun ia lakukan sebagai salah satu cara untuk menghapal lagu-lagu pupuh yang diajarkan oleh Ayahnya.

Kegiatan Apung S.W. mengembala domba tidak pernah diikuti oleh saudara yang lain, karena dari kesepuluh anak Gandawinata hanya Apung S.W saja yang ditugaskan untuk menggembala domba. Sehingga keahliannya itu berbeda dibandingkan dengan saudara-saudaranya misalnya, pandai menyabit rumput, memelihara ternak domba, sehingga sikap ulet Apung S.W. dalam mengisi kegiatan tersebut digunakan untuk mengembangkan potensi dirinya dalam berlatih vokal.

(4)

Beberapa lagu pupuh yang biasa dilantunkan pada saat menggembala domba, antara lain lagu pupuh Kinanti, Asmarandana, Maskumambang, dan Sinom. Lirik-lirik lagu tersebut adalah sebagai berikut.

Pupuh Kinanti: Terjemahan:

Rusdi ku Ramlan dituntun Rusdi dan Ramlan berpegang tangan

dikaleng diajak balik dipeluk, diajak pulang

diupahan ku tiluan dinasehati bertiga

ku Ramlan paman jeung bibi oleh Ramlan, Paman, dan Bibi

dipapaler dibubungah dibuat hatinya gembira

ulah nyantel ka nu balik agar tak senantiasa ingat yang (baru)

pulang

Pupuh Asmarandana: Terjemahan:

Eling-eling mangka eling Ingat, ingatlah

rumingkang di bumi alam bahwa hidup di dunia

darma wawayangan bae hanyalah sekedar wayang

raga taya pangawasa raga tak berdaya

lamun kasasar (nya) lampah apabila salah langkah

napsu nu matak kaduhung napsu yang membuat sesal

badan anu katempuhan badanlah yang menanggung akibatnya

Pupuh Maskumambang: Terjemahan:

He barudak kudu mikir ti leuleutik Anak-anak, berpikirlah sejak kecil

maneh kahutangan engkau berhutang budi

ku kolot ti barang lahir kepada kedua orang tuamu

nepi ka ayeuna pisan semenjak kau dilahirkan hingga kini

Pupuh. Magatru : Terjemahan:

Peuyeum sampeu dagangan ti

Rancapurut

Tape singkong jualan dari Rancapurut

dijual dua saduit harga duapotong satu duit

dibungkusan daun waru dibungkus daun waru

dituruban daun jati ditutup daun jati

(5)

Pupuh Pangkur: Terjemahan:

Seja nyaba ngalalana Niat berkelana

ngitung lembur ngajajah milang (an) kori

menghitung kampung, menjelajah pintu

henteu puguh nu di jugjug tak tahu kemana tujuan

balik paman sadaya (lalu bertanya)

nu ti mana tiluan semu rarusuh anda dari mana, bertiga seperti

tergesa-gesa

lurah begal ngawalonan kepala penyamun pun menjawab

aing ngaran Jayengpati namaku Jayengpati

Pupuh Sinom Terjemahan:

Aya hiji rupa kembang Ada sekuntum bunga

raranggeuyan tapi leutik berantai kecil mungil

rupana bodas kacida warnanya putih bersih

Matak lucu liwat saking amatlah lucu

hanjakalna (hen) teu seungit sayang bunga tersebut tak harum

Lamun ku urang diambung apabila kita cium

kitu soteh ti beurang itupun bila siang hari

ari seug mungguh ti peuting sebab jika malam tiba

sumeleber nyambuang sapakarangan semerbaklah wanginya ke seluruh

halaman Sumber: Wiratmadja, 1996, 4-5 (diadaptasi)

Menyimak dan memperhatikan dari lirik-lirik tersebut di atas, Apung S.W. menuturkan, pada saat itu ia belum dapat memaknai isi dari lirik tersebut, ia hanya dapat merasakan alunan melodi lagu-lagu pupuh yang enak didengar (Wawancara, 12 Desember 2008). Namun demikian, pada saat ia menginjak usia sekitar 12 tahun sesuai dengan perkembangan pemikirannya, dengan bimbingan ayahnya ia mulai dapat memahami isi lirik dari lagu-lagu pupuh yang telah dipelajarinya. Bahkan, ia dapat merasakannya hingga ia dewasa, ternyata dari lirik-lirik lagu tersebut di antaranya banyak mengandung keagungan Tuhan, keindahan alam, nasihat dan pendidikan. Sehingga tanpa disadarinya lirik-lirik tersebut telah berpengaruh besar terhadap kepribadian Apung S.W. yang baik, sopan dan rendah hati.

(6)

Kedua, belajar lagu saat Apung S.W. main ke rumah tetangga. Salah seorang

tetangga Apung S.W di Sumedang, memiliki pekerjaan sebagai pembuat tali tambang, yakni Edeng (yang dipanggil Apung S.W.=Ua Edeng). Sambil bekerja membuat tali tambang, Ua Edeng sering melantunkan lagu-lagu kawih Sunda. Kebiasaan inilah yang mengundang ketertarikan Apung S.W untuk bermain di rumah Edeng, dan hal terpenting lainnya adalah karena minatnya untuk belajar lagu kawih Sunda dari Ua Edeng. Salah satu lagu yang dipelajari Apung S.W dari Ua Edeng adalah lagu Oray

Welang (laras salendro) Cara-cara Apung S.W. mempelajari lagu tersebut antara lain

dengan menirukan dan menghapalkannya. Lirik lagu tersebut yaitu sebagai berikut.

Lagu Oray Welang: Terjemahan:

Oray welang oray hideung

0 0 2 1 .2 1 51 1 .2 1 54 12 2 2 1

Ular belang ular hitam

oray sanca digawingkeun

0 02 1 5 4 2 . 3 4 3 4 4

Ular sanca digantungkan

moal melang moal nineung

0 02 1 .2 1 51 1 .2 1 54 .1 2 21 234

Jangan bimbang jangan bimbang

salasa ge dikawinkeun

0544 4 .4 3.21 0 2 3 4 34 4

selasa kau dikawinkan

Sumber: Wiratmadja, 1996, 7 (diadaptasi)

Ketiga, saat bermain di warung (kios). Disekitar kediaman Apung S.W.

terdapat jalan cagak (pertigaan) yang menanjak. Di daerah tersebut ada warung kecil yang menyediakan beraneka ragam makanan gorengan dan bumbu-bumbu dapur. Pada waktu-waktu tertentu, warung tersebut sering didatangi oleh Epe (panggil=Mang Epe), Uyung (panggil=Mang Uyung) yang bekerja sebagai pegawai kehutanan, dan Usar

(7)

(panggil=Mang Usar). Mereka adalah penduduk setempat yang memiliki kemampuan dalam memainkan kecapi dan melantunkan lagu. Biasanya, mereka datang ke warung pada sore hari untuk beristirahat. Sambil ngaso di warung mereka (kakacapian) memainkan kacapi sambil (kakawihan) melantunkan lagu. Apung S.W sering datang ke warung tersebut untuk mendengarkan mereka memainkan kacapi dan melantunkan lagu. Lagu yang dimainkan adalah lagu-lagu kawih yang diiringi dengan kecapi ataupun vokal umumnya berlaras salendro. Kemampuan mereka dalam memainkan kecapi dan lagu-lagu kawih tampak memiliki perbedaan yang cukup signifikan. Permainan kecapi Mang Epe relatif lembut, sehingga terkesan bermain kacapi untuk diri sendiri. Mang Uyung, permainan kecapinya relatif keras dan atraktif, sehingga terkesan berisik dan ramai. Sementara Mang Usar, permainan kecapinya telah terorganisir, sehingga terkesan rapih. Hal ini disebabkan karena Mang Usar merupakan seorang seniman kecapi yang sering manggung bersama grupnya.

Kegiatan mengapresiasi ketiga permainan kecapi tersebut berlangsung kurang-lebih selama tiga tahunan. Dari kegiatan ini, walaupun hanya sebatas informasi saja tidak melakukan praktek latihan, namun Apung S.W mendapatkan pengetahuan tentang permainan kacapi kawih, yakni sedikitnya ikut membangun aspek musikal pada dirinya, seperti pengenalan terhadap nada-nada fentatonis. Seperti dikatakan oleh Djohan (160), bahwa kemampuan dalam bidang khusus seperti musik adalah hasil dari sebuah pengalaman, latihan, dan kerja keras. Dapat diidentifikasi pula, bahwa dalam usia delapan tahunan Apung S.W telah memiliki kemampuan untuk membedakan kualitas permainan kecapi.

Keempat, saat nonton hiburan. Kegemaran Apung S.W. adalah pergi

menonton ke tempat-tempat hiburan, seperti menonton di tempat hajatan (perayaan) pernikahan, khitanan, upacara ritual (tarawangsa dan rengkong), sandiwara, dan

(8)

tempat-tempat lainnya yang menyelenggarakan acara hiburan. Seperti umumnya anak-anak desa, Apung S.W. bersama teman-temannya menonton hiburan tersebut, ia berada di barisan penonton yang paling depan karena pada saat itu belum ada pengeras suara. Menurutnya, dengan menonton lebih dekat ia merasa lebih puas menikmatinya. Lagu yang disajikan adalah lagu-lagu kawih dengan diiringi dua buah kecapi, seorang memainkan kecapi sambil ngahaleuang (menyanyi), seorang lagi nyegakan atau

ngalokan sambil sesekali melawak. Pada kegiatan menonton ini, ada dua cara yang

dilakukan Apung S.W. pertama, ia hanya melakukannya demi kesenangan saja, tidak berupaya untuk mempelajari dan menghapal lagu-lagu yang dipertunjukkan. Meskipun demikian, secara tidak langsung kepekaan musikalnya dapat terkonstruksi dengan baik karena banyak mendengarkan melodi-melodi lagu dan irama musik. Kedua, ia menyimak dan menghapalkannya. Artinya, Apung S.W memiliki keinginan untuk mempelajari lagu yang ia sukai. Salah satu contohnya, ia menghapalkan lagu Bale

Desa (laras sorog) yang biasa disajikan pada acara sandiwara Sunda. Ia mampu

menghapalkan lagu, setelah sekitar tiga kali melihat dan mendengarkan pertunjukan sandiwara Sunda.

Lirik lagu tersebut adalah sebagai berikut.

Lagu Bale Desa : Terjemahan :

Bale desa teu dibilik

0 0 2 1 5 5 . 3 4 5 . 5 4 3

Balai desa tak berdinding

sanes pipantoeunana

. 5 4 4 4 4 3 2 3 4 4

bagaimanalah pintunya

dipaksa ge sanes milik

. 0 5 4 4 4 . 3 4 5 . 5 4 3

walau dipaksa bukanlah milik

sanes pijodoeunana

0 2 1 5 5 . 4 3 2 3 4 5

karena bukanlah jodohnya

(9)

Salah satu implikasi dari mempelajari lagu Bale Desa adalah, Apung S.W seringkali disuruh untuk melantunkan lagu tersebut oleh salah seorang tetangganya yang biasa nonton bersama dirinya, yaitu Aang1 (panggil = Mang Aang). Setiap kali disuruh melantunkan lagu Bale Desa, Apung S.W biasa diberi imbalan yang berupa uang oleh Mang Aang. Apung S.W pun merasa senang dan bahagia dengan perlakuan Mang Aang tersebut, karena menurutnya, dengan imbalan yang diberikan oleh Mang Aang, ia dapat membeli makanan kue serabi kesukaannya sebanyak dua biji.

Perlakuan serupa ia dapatkan juga dari tetangganya yang lain, yaitu Bapak

Ajengan (ustad) Kardia. Namun, tugas yang diberikan Ustad Kardia bukan disuruh

melantunkan lagu, tapi untuk mengumandangkan adzan. Apung S.W pun merasa senang karena selalu mendapat imbalan. Dari perilaku Apung S.W tersebut, dapat diidentifikasi bahwa pola sosial Apung S.W sangat dipengaruhi oleh motivasi eksternal. Yakni motivasi yang timbul dan dipengaruhi oleh orang lain, bukanlah motivasi internal yang berasal dari dalam diri sendiri dan tidak dipengaruhi oleh orang lain (Dariyo, 2007:219). Dalam hal ini, yang menjadi stimulasi bagi Apung S.W adalah berupa uang (rewards).

Kelima, mendengarkan lagu dari gramofon. Sejak kecil, Apung S.W suka

mendengarkan lagu-lagu kawih Sunda yang diperdengarkan melalui media elektronik yang bernama gramofon (sejenis piringan hitam). Ia melakukan hal tersebut di rumah tetangganya. Lagu yang didengarkannya adalah sejenis jenaka Sunda. Menurutnya, yang menarik dalam penyajian jenaka Sunda ini adalah tehnik olah vokalnya yang bervariasi. Dari kegiatan ini, dapat menunjukkan bahwa Apung S.W memiliki tanda-tanda sebagai orang yang apresiatif, khususnya terhadap lagu-lagu dalam seni tradisi Sunda.

(10)

Keenam, mendengarkan wawacan. Suatu ketika Apung S.W. diajak oleh kedua

orang tuanya untuk menginap di rumah bibinya yang baru beberapa hari melahirkan yang bertempat di kampung Cikuray desa Pasir Biru. Pada kesempata itu diadakan kenduri kecil sehubungan dengan usia bayinya yang telah mencapai 40 hari. Kegiatan tersebut sudah menjadi tradisi yang turun temurun dengan diadakannya acara membaca dan menembangkan wawacan. Acara tersebut biasa di selenggarakan di ruangan tengah rumah, dan dilaksanakan setelah sholat isya sekitar pukul 19.30. Para pelaku dari acara tersebut terdiri dari bapak-bapak yang tinggal di sekitar perkempungan yang umumnya mereka buta aksara. Sehingga mereka ditugaskan untuk menembangkan pupuh yang dibacakan oleh seorang guru ataupun juru tulis desa, sebagai juru ilo.

Pada pelaksanaannya, pupuh-pupuh tersebut ditembangkan sebaris demi sebaris, secara bergiliran, setelah terlebih dahulu wawacan dibaca oleh seorang juru ilo. Biasanya satu buku wawacan dibaca tamat/selesai menjelang subuh. Dari pengalaman tersebut, Apung S.W. dapat mengapresiasi karya seni wawacan ini. Satu hal yang amat disayangkan pada pengalaman tersebut di antaranya, ia tidak ingat lagi

wawacan apa yang ditembangkan malam itu, tetapi yang masih dingatnya bahwa lagu

lagu pupuh yang ditembangkan malam itu berbeda dengan lagu pupuh ketika Apung S.W. mempelajarinya di bangku sekolah. Lagi pula para penembang malam itu lebih terkesan memainkan kemahiran suaranya, dalam nada-nada tinggi dengan alunan yang meliuk-liuk, sehingga kata- kata yang diucapkan tidak jelas. Pada saat menyaksikan acara tersebut, ayahnya menjelaskan kepada Apung S.W. bahwa acara membaca dan menembangkan wawacan seperti malam itu disebut macapat.

Ketujuh, menyaksikan upacara ritual Rengkong dan Tarawangsa. Rengkong

(11)

padi, yang akan disimpan ke tempat penyimpanan padi yang disebut lumbung padi (leuit). Hal yang menarik bagi Apung S.W. pada waktu itu di antaranya, ia menyenangi bunyi dari alat pemikul padi yang dipadu dengan suara angklung. Ia bersama teman-temannya selalu mengikuti iring-iringan upacara tersebut sampai pada tempat lumbung padi. Selain itu, upacara tersebut bagi anak-anak desa merupakan acara yang sangat di nanti-nantikan, karena pada saat itu anak-anak mendapat makanan khas daerah setempat seperti, tangtang angin, ranginang, opak, dan lain-lain.

Setelah upacara rengkong, pada malam harinya diselenggarakan kesenian

tarawangsa, pada waktu itu anak-anak menyebutnya dengan kesenian ngek-ngek.

Istilah ini muncul dikarenakan bunyi yang berasal dari gesekan tarawangsa (salah satu alat yang digunakan pada penyajian tersebut ) menurut pendengaran anak-anak setempat terdengar bunyi ngek-ngek. Penyajian kesenian tarawangsa ini merupakan ungkapan masyarakat sebagai rasa syukur pada yang Maha Pencipta, karena telah mendapatkan hasil panen yang memuaskan. Kesan Apung S.W. pada waktu itu berbeda dengan kegiatan menonton hiburan yang lainnya, ia merasa ingin cepat-cepat pulang. Hal tersebut terjadi karena selain musiknya dirasakan tidak bervariasi, ia pun merasa takut karena pada penyajian kesenian tersebut sering ditemukan orang yang kemasukan roh halus (kasurupan). Namun demikian, dari berbagai pengalaman memerhatikan setiap sajian, dapat diidentifikasi bahwa Apung S.W. telah memiliki kemampuan untuk dapat membedakan berbagai kesenian yang hidup di sekitar lingkungannya.

Pada tahun 1946, yaitu pada saat Apung S.W berusia sepuluh tahun, Gandawinata dipindahkan lagi tugas mengajarnya dari SR Cibunar ke SR Citungku. Hal ini terjadi seiring dengan adanya perubahan sistem sekolah, yaitu yang semula

(12)

hanya sampai kelas tiga, berubah menjadi sampai kelas enam. Apung S.W pun turut ayahnya yang harus menunaikan tugas di daerah Citungku.

Di daerah Citungku, Apung S.W banyak melakukan kegiatan membaca buku

wawacan2 buku ini ia dapatkan dari ayahnya. Cerita dalam buku wawacan disajikan

dalam bentuk pupuh. Lirik pupuh pada wawacan tersebut dicoba dinyanyikan oleh Apung S.W. disesuaikan dengan melodi pupuh yang pernah ia pelajari. Dengan kata lain, Apung S.W mulai mencoba untuk mengeskplorasi lagu pupuh dengan menggunakan atau memasukan lirik-lirik baru.

Pada tahun 1949, Apung S.W berusia 13 tahun, keluarga Gandawinata kembali pindah rumah ke kota Sumedang. Perpindahan tersebut disebabkan oleh adanya ketakutan keluarga Gandawinata terhadap gerombolan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang tengah merajalela. Pada saat itu, gerombolan DI/TII melakukan pembunuhan terhadap kalangan tertentu. Salah satu korban dari pembunuhan tersebut adalah Wiria, yaitu seorang guru SR yang kebetulan temannya Gandawinata. Bahkan, dengan adanya kejadian tersebut, SR pun dibubarkan, karena semua komponen sekolah merasa terancam dan ketakutan.

Keluarga Gandawinata tinggal menetap di kota Sumedang. Pekerjaan Gandawinata pun dialihkan ke kantor dinas pendidikan dan kebudayaan (P & K). Di sana ia ditugaskan sebagai karyawan kurang-lebih selama 4 tahun, sampai ia pensiun tahun 1955. Kegiatan Apung S.W pada waktu itu, tidak lagi membaca buku wawacan dan melantunkan pupuh, kadang-kadang ia hanya menonton kegiatan latihan tari klasik. Tempat latihan tersebut adalah di Pendopo kewadanaan Tanjung Sari-Sumedang. Jarak tempat tersebut cukup jauh dari rumah Apung S.W, yaitu sekitar

2

Buku wawacan merupakan salah satu jenis buku yang berisi cerita-cerita atau dongeng tentang kerajaan-kerajaan, seperti cerita kerajaan pajajaran.

(13)

belasan kilo, karena melalui jalan Cadas Pangeran3. Ia biasa berangkat sendiri dengan menggunakan sepeda. Guru tari di Kewadanaan tersebut adalah Juragan Ono, yang juga menjabat sebagai Wedana di tempat tersebut, sedangkan para pembelajar tari kebanyakan terdiri atas orang dewasa. Kegiatan ini Apung S.W lakukan semata-mata karena rasa suka saja terhadap tari klasik. Pada saat itu, belum ada ketertarikan bagi Apung S.W untuk mempelajari tari klasik.

Pada tahun 1954, menginjak usia 18 tahun, keluarga Gandawinata kemudian pindah ke Sindang Jati-Sumedang, yaitu di rumah kakaknya Gandawinata. Alasan perpindahan tersebut disebabkan oleh situasi politik dan tuntutan biaya hidup di kota yang cukup tinggi. Sementara itu, Apung S.W pindah ke kota Bandung, dan bertempat tinggal di jalan Pandawa nomor 414. Kepergian Apung S.W. ke Bandung tujuannya adalah untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat sekolah menengah atas (SMA). Kehidupan Apung S.W pada saat itu, banyak diwarnai dengan kegiatan yang berhubungan dengan kesenian. Di antaranya, Pertama, menonton latihan keroncong5. Kegiatan tersebut dilakukan di jalan Bima-Bandung, setiap hari Jum’at sore. Ia melakukannya atas dasar keinginan sendiri, karena ia cukup menyenangi lagu-lagu keroncong. Dikarenakan seringnya mendengarkan latihan keroncong, Apung S.W berhasil menghapalkan beberapa lagu, di antara lagu-lagu keroncong tersebut yang masih dihapalnya adalah lagu yang berjudul “Bandar Jakarta” dan “Telaga Sarangan”.

Kedua, menonton latihan tari klasik. Kegiatan ini dilakukan di SMPN 1 Jalan

Kesatriyan Bandung. Orang-orang yang melakukan latihan tersebut adalah para siswa/siswi SMPN 1 Bandung. Sementara pelatihnya, adalah seorang mahasiswa

3 Cadas Pangeran adalah jalan yang menghubungkan antara Bandung dan Sumedang.

4 Kediaman Bapak Djadja Sunardja, yaitu seorang inspektur Polisi (sekarang Polda) pada waktu itu. 5 Pimpinan keroncong tersebut bernama Tan Ke Sun.

(14)

Akademi Teknik Pekerjaan Umum (ATPU), yaitu Enoch Ahmadibrata6. Apung S.W melakukan apresiasi ini karena merasa suka terhadap seni tari klasik. Hasilnya, Apung S.W cukup mengenal sekilas tentang seni tari klasik.

Ketiga, mendengarkan siaran dari RRI Bandung. Salah satu kegiatan yang

biasa dilakukan oleh Apung S.W adalah mendengarkan siaran hiburan dari RRI Bandung. Ada dua program siaran kesayangannya, yaitu pada malam Jum’at siaran seni tembang Sunda Cianjuran, dan pada malam Minggu siaran wayang golek. Seringkali Apung S.W. menyempatkan diri pergi ke RRI Bandung Jalan Cianjur no 6, untuk melihat secara langsung siaran tembang Sunda Cianjuran pada malam Jum’at. Biasanya, ia melakukan hal tersebut dengan cara memerhatikan dari luar kaca studio, karena tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam ruangan siaran. Lagipula, pada saat itu ia belum mengenal para praktisi tembang Sunda Cianjuran yang melakukan siaran tersebut di antaranya, Nyimas Saodah, A. Tjitjah, Euis Kartini, Engkos dan lain-lain. Implikasi dari mendengarkan siaran tembang Sunda Cianjuran, yaitu munculnya ketertarikan Apung S.W. untuk mempelajari seni tersebut. Apung S.W. memandang, bahwa iringan lagu panambih dalam seni tembang Sunda Cianjuran memiliki kemiripan dengan iringan lagu pada seni keroncong. Oleh karena itu, ia merasa tertarik dan merasa optimis untuk mempelajari dan menguasai lagu tembang Sunda Cianjuran.

Keempat, belajar bersama dengan teman sekelasnya. Dekat kosannya di jalan

Pandawa, ada seorang tetangga yang menyukai tembang Sunda Cianjuran, namanya adalah Okeh. Ia adalah seorang guru bahasa Sunda di SMPN 2 Bandung. Kebetulan, anaknya Okeh yang bernama Saleh, berteman dengan Apung S.W karena satu sekolah bahkan sekelas di SMAN 3 Bandung. Apung S.W biasa mengerjakan tugas-tugas sekolah dengan Saleh di rumah Okeh. Okeh adalah seorang guru bahasa Sunda dan

(15)

kebetulan menyukai tembang Sunda Cianjuran. Pada saat itulah Apung S.W. disarankan untuk mendalami tembang Sunda Cianjuran. Apung S.W pun menyambut dengan gembira saran dari Okeh tersebut.

Atas saran Okeh dengan semangat kepemudaannya, Apung S.W. selalu berusaha mencari tempat-tempat untuk menambah ilmu dan menemukan hal yang berkaitan kesenian. Menurutnya, di kota Bandung merupakan pusat perkembangan kesenian yang ada di Jawa Barat. Sejak saat itu Apung S.W. mulai belajar tembang Sunda Cianjuran.

Kelima, Sebagai anggota organisasi Nonoman Sunda. Salah satu ketertarikan

Apung S.W. adalah berorganisasi. Organisasi pertama yang diikutinya adalah organisasi Nonoman Sunda. Organisasi ini merupakan organisasi pemuda yang bergerak di berbagai bidang, salah satunya bidang kesenian. Pada awalnya, Apung S.W. aktif pada organisasi ini adalah untuk mengisi kesibukan harinya, dengan mendalami bidang kesenian. Salah satu hal positif yang didapat dari kegiatan berorganisasi, adalah Apung S.W. bertemu dengan beberapa orang yang ikut mewarnai kehidupannya dalam berkesenian, antara lain R. Ace Hasan Su’eb, Adjam Samsupradja, dan Dudi Efendi. Mereka adalah aktifis mahasiswa yang banyak perhatiannya terhadap kesenian Sunda.

Pada tahun 1957, yakni pada usia 21 tahun, Apung S.W. berpindah alamat di jalan Dr. Rajiman no.13A atas ajakan R. Ace Hasan Su’eb, yakni rumah kediaman mertuanya7. Tujuannya adalah agar dekat dengan kampus Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP)8 di jalan Dr. Setiabudhi. Pada saat itu, R. Ace Hasan Su’eb merupakan salah seorang mahasiswa IKIP jurusan ilmu pengetahuan alam (IPA) yang

7 Kediaman Bapak Cuandi.

(16)

juga memiliki keahlian sebagai penembang dalam seni tembang Sunda Cianjuran. Ia pun telah memenangkan pasanggiri tembang Sunda Cianjuran pada tahun 1954 sebagai juara I yang diselenggarakan oleh organisasi Nonoman Sunda I.

Di tempat tersebut, Apung S.W. sering mengadakan latihan tembang Sunda Cianjuran bersama teman-temannya, antara lain Ahmad Abas, Aam Taram, Karna, dan R. Ace Hasan Su’eb. Dalam kesempatan ini, teknik dan ornamen tembang Apung S.W, sering dikoreksi oleh R. Ace Hasan Su’eb. Hal ini disebabkan karena R. Ace. Hasan Su’eb merupakan senior dalam tembang Sunda Cianjuran yang telah menguasai teknik dan ornamen tembang Sunda dengan baik.

Bahkan, R. Ace Hasan Su’eb seringkali mendatangkan seniman-seniman tembang Sunda Cianjuran untuk melakukan latihan bersama di kediamannya. Para seniman tersebut di antaranya Rahmat Sukmasaputra, Ebar Sobari, Engkos (Mang Engkos), dan Aisyah Tjitjah (A. Tjitjah). R. Ace Hasan Su’eb pun sering mengundang Kalsum, yaitu seorang seniman jenaka Sunda dari Bandung, untuk mempertunjukkan kemampuannya dalam memainkan kecapi dan melantunkan lagu dalam jenis lagu

jenaka Sunda. Kegiatan ini semakin membuka dan memberikan wawasan khususnya

dalam jagat tembang Sunda Cianjuran bagi Apung S.W. Dengan demikian, pertemuannya dengan R. Ace Hasan Su’eb, memberikan pengaruh tersendiri terhadap perkembangan berkesenian bagi Apung S.W.

Pertemuan lainnya yakni dengan Rahmat Sukmasaputra yang telah memberikan pengaruh yang cukup besar bagi kehidupan Apung S.W. sebagai seniman. Salah satu buktinya adalah keberhasilan Apung S.W. dalam meraih prestasi sebagai juara pertama pada pasanggiri tembang Sunda Cianjuran Nonoman Sunda III tahun 1958. Dalam pasanggiri tersebut, Apung S.W. mewakili mahasiswa IKIP Bandung.

(17)

Pada saat akan mengikuti pasanggiri, Apung S.W. banyak belajar tembang Sunda Cianjuran kepada Rahmat Sukmasaputra.

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi Apung S.W. dalam belajar dan mengenal seni, antara lain faktor lingkungan keluarga yang sengaja diterapkan oleh ayahnya sendiri, lingkungan sekitar yang membuat Apung S.W. memiliki motivasi internal dan eksternal, dan seringnya melakukan apresiasi sehingga dapat mengenal serta membedakan jenis kesenian yang satu dengan yang lainnya.

2. Setelah Berkeluarga

Pada tahun 1959, tepatnya pada usia 23 tahun, Apung S.W menempuh hidup baru dengan menikahi wanita pilihannya, yaitu Aisjah Tjijah (A.Tjtjah) yang berusia 20 tahun dan merupakan putri dari Engkos. Ia merupakan seorang penembang yang sering dijumpainya di RRI Bandung dan di rumah mertua R. Ace Hasan Su’eb. Dari pernikahannya tersebut, Apung S.W memiliki tiga orang anak laki-laki dan dua orang anak perempuan, yaitu Dadang Gantina (48), Kurnia Sari (46), Asep Priatna (44), Maya Sarimaya (38), dan Hendi Kurniawan (28).

Gambar 3.1

Apung S.W dan istri (dokumentasi Apung S.W., 1959)

(18)

Sejak mulai berkeluarga, Apung S.W. tinggal di jalan Caladi Dalam No 10 Bandung, turut dengan mertuanya. Ia tinggal di sana karena A.Tjitjah merupakan anak Engkos satu-satunya, sehingga mereka diminta untuk tinggal bersama agar dapat menemani Engkos dan Istrinya.

Kehidupan keluarga Apung S.W. dapat dikategorikan sebagai keluarga yang harmonis dan cukup berhasil. Ia dapat mengarahkan pendidikan anak-anaknya hingga mencapai sarjana dan telah mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam hal kesenimanan, Apung S.W. tidak memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Namun demikian, nilai-nilai seni dan budaya Sunda selalu ia terapkan dalam kehidupan sahari-hari. Di antaranya dengan belajar mencintai, menghargai serta dapat mengapresiasi karya seni. Dalam arti Apung S.W. memberikan kebebasan kepada anak-anaknya dalam memilih keahlian pada bidang seni. Menurutnya, seseorang yang telah mengabdikan dirinya menjadi seorang seniman, harus disertai dengan pendidikan yang tinggi agar mendapatkan kehidupan yang layak (Wawancara 15 Pebruari 2009). Pendapat dari Apung S.W. tersebut sangat rasional, hal ini dapat dilihat dari kenyataan bahwa pada saat ini, penghargaan pemerintah dirasakan masih kurang perhatian terhadap para seniman.

Kesenimanan Apung S.W. setelah berumah tangga, didasari dengan adanya dukungan dari keluarga, mertua (Engkos), istri (A.Tjitjah) dan anak-anaknya. Ia kerap berdiskusi dengan mertuanya, ataupun meminta pendapat dari istrinya. Seperti dikemukakan oleh A. Tjitjah, setelah hasil karyanya baik berupa karya lagu ataupun tulisan, Apung S.W. selalu meminta pendapatnmya untuk saling mengoreksi (Wawancara Pebruari 2009). Sementara dukungan yang sifatnya berupa penghargaan/pujian terhadap seorang kepala rumah tangga didapat dari anak-anaknya. Seperti dikemukakan oleh anak keempatnya Maya Sarimaya bahwa, kami bangga

(19)

terhadap bapak bukan hanya ia sebagai seniman yang berhasil, namun juga ia adalah seorang bapak yang patut dianut, dicontoh sebagai bapak yang sabar, bijaksana, penuh dengan rasa cinta kasih dan sayang (Wawancara Pebruari 2009).

Gambar 3.2

Apung S.W dan Keluarga (Foto dokumentasi Apung S.W, 1986)

Dari paparan diatas dapat diketahui bahwa kesenimanan Apung S.W. selain didasari bakat dan minatnya sejak kecil, setelah dewasa dan berumah tangga pun diimbangi pula dengan adanya dukungan dari semua keluarga. Sehingga ia lebih leluasa dalam mengembangkan potensi, ide, dan gagasannya pada perkembangan tembang Sunda Cianjuran.

Selain itu kehidupan Apung S.W setelah berkeluarga sangat kompleks dan berliku-liku, namun demikian kegiatan berkeseniannya tidak pernah ia tinggalkan. Hal ini dapat dilihat dari beberapa pekerjaan yang dilakukannya, yaitu sebagai berikut. a. Sebagai Guru

b. Sebagai Redaktur Majalah c. Sebagai Pegawai Negri Sipil d. Sebagai Camat

(20)

a) Sebagai Guru di Beberapa Sekolah

Mulai tahun 1960, kemampuan Apung S.W. dalam hal tembang dan bahasa, (lulusan sastra Sunda IKIP Bandung), ia aplikasikan dengan cara mengajar di beberapa sekolah. Pertama, mengajar di Konservatori Karawitan (KOKAR) di jalan Buah Batu-Bandung. Di Sekolah ini Apung S.W. mengajar beberapa mata pelajaran, yakni tembang Sunda, bahasa Indonesia, dan bahasa Sunda. Pada awalnya, pelajaran tembang Sunda Cianjuran di sekolah tersebut ditugaskan kepada Nyimas Saodah oleh Kepala Sekolah KOKAR9. Namun ia menolaknya dikarenakan merasa kurang mampu dalam hal teoretisnya. Artinya, ia berpandangan bahwa untuk mengajar di lembaga pendidikan diperlukan pula keahlian dalam hal teori, dan tidak hanya kemampuan dalam hal prakteknya saja. Oleh karena itu, Nyimas Saodah merekomendasikan Apung S.W. sebagai pengganti untuk mengajar vokal tembang Sunda Cianjuran di KOKAR.

Mendapat tawaran ini, Apung S.W. merasa senang sekaligus khawatir. Senangnya, ia merasa bangga karena dipercaya oleh Nyimas Saodah untuk menggantikannya, padahal pada waktu itu banyak penembang yang lebih senior daripada Apung S.W. Sementara rasa khawatir muncul karena disebabkan oleh beberapa hal. (1) merasa kurang wawasan dalam persoalan tembang Sunda Cianjuran. (2) merasa kurang wawasan dalam persoalan karawitan Sunda. (3) kurangnya referensi yang berupa tulisan dalam hal tembang Sunda Cianjuran. Adanya kekhawatiran ini, telah memicu Apung S.W. untuk mempelajari dan mendalami tulisan-tulisan yang berkaitan dengan karawitan Sunda.

Kedua, selain mengajar di KOKAR, Apung S.W. pun mengajar pula di SMA

Taman Madya di jalan Bonteng nomor 2 Bandung. Di sini Apung S.W. mengajar

(21)

bahasa Indonesia. Ketiga, mengajar di SMA Yayasan Bina Pendidikan Umum (YBPU) di depan Stadion Siliwangi-Bandung. Di sini Apung S.W. mengajar bahasa Indonesia. Keempat, mengajar di SMP Parki 210 di jalan Balong Gede-Bandung. Di sini Apung S.W. mengajar bahasa Sunda.

Hasil dari pekerjaan dan pengalamannya sebagai guru, Apung S.W. mendapatkan kontribusi yang sangat berharga antara lain. (1) berupa materi. Dalam hal ini, Apung S.W. mendapatkan penghasilan berupa honorarium. Meskipun penghasilannya tersebut tidak begitu besar, namun Apung S.W. merasa terbantu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dalam berkeluarga. (2) non materi. Dalam hal ini, Apung S.W. mendapatkan kepuasan batin. Ia merasa bangga apabila; berdiri di hadapan para murid, ilmu yang diberikannya dapat dipahami dengan baik, muridnya berprestasi dan dapat mengembangkan ilmu yang diberikan oleh Apung S.W.

Pada tahun 1963, Apung S.W. melepaskan pekerjaannya sebagai guru honor. Pada dasarnya, Walaupun Apung S.W. sangat mencintai pekerjaan tersebut. Namun, dikarenakan tuntutan hidup berumah tangga yang terus meningkat, sementara penghasilannya dari mengajar di beberapa sekolah ternyata tidak mencukupi untuk menutupi kebutuhan hidup sehari-hari, akhirnya dengan sangat berat hati Apung S.W. melepaskan pekerjaannya ini dan berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih baik.

b) Sebagai Redaktur di Majalah Sari

Pada tahun 1963, Apung S.W bekerja di PT. Purnama Sari, yaitu sebuah perusahaan yang bergerak di bidang perdagangan umum, salah satunya adalah penerbitan Majalah. Ia bekerja pada perusahaan tersebut dikarenakan sering mengikuti kegiatan kesenian di Bale Kesenian Sunda (BKS) pimpinan R. Ondo

10 Sekarang adalah SMP Pasundan.

(22)

Kartadinata, yang merupakan pemilik dari PT. Purnama Sari. Dengan kata lain, Apung S.W. masuk pada perusahaan tersebut atas dasar ajakan dari pimpinan perusahaan. Di sana mula-mula Apung S.W. ditempatkan sebagai staf redaktur majalah Sari. Pada saat itu pimpinan redaksinya adalah M.A Salmun11. Tugas Apung S.W. yaitu sebagai penerima naskah atau karangan, membuat agenda, dan mengklasifikasikan jenis tulisan, yang akan diperiksa oleh pimpinan redaksi.

Salah satu pengalaman yang tidak dapat Apung S.W. lupakan, adalah kesalahannya dalam mengklasifikasikan jenis-jenis tulisan yang akan diperiksa oleh pimpinan redaksi. Akibat peristiwa ini, pimpinan redaksi melemparkan sejumlah karangan yang telah diklasifikasikan oleh Apung S.W. hampir mengenai wajahnya. Dari kejadian ini, Apung S.W. merasa terpukul, namun tidak mematahkan semangatnya untuk terus bekerja di perusahaan tersebut. Sebaliknya, ia justru termotivasi untuk mempelajari jenis-jenis tulisan. Hal ini ia buktikan dengan lebih sering lagi membaca jenis-jenis tulisan dan mencoba memahaminya secara mendalam agar dapat diketahui perbedaannya. Hasilnya, Apung S.W. secara bertahap mengetahui tentang perbedaan-perbedaan klasifikasi tulisan, seperti carpon, dongeng, bahasan, dan lain-lain.

Salah satu implikasi yang sangat positif dari kejadian di atas, Apung S.W. menjadi termotivasi untuk belajar menulis. Oleh karena itu, pada masa-masa tersebut Apung S.W. mulai mencoba untuk menulis artikel dalam bentuk karangan bebas, sajak, dan carpon. Kebetulan, pada suatu saat Apung S.W. ditugaskan oleh M.A Salmun untuk menulis carpon yang bertemakan tentang Ceurik Oma. Apung S.W. pun mencoba menulisnya, dan berhasil menyelesaikannya dalam waktu dua minggu. Tulisan tersebut kemudian diberikan kepada pimpinan redaksi untuk diperiksa.

(23)

Hasilnya, dalam waktu yang relatif singkat tulisan dikembalikan dengan dibubuhi coretan-coretan yang berisi koreksian dan makian. Bahkan, M. A Salmun menyarankan untuk melakukan observasi terkait dengan tema tulisan yang memiliki cerita sejarah. Karenanya, Apung S.W. pun melakukan observasi ke daerah Selakopi-Cianjur, yaitu tempat kediaman Oma.

Setelah observasi, Apung S.W. kembali membenahi tulisannya. Dalam waktu sekitar satu minggu, tulisan selesai direvisi dan disetorkan kembali. Ternyata, menurut pimpinan redaksi tulisan yang telah direvisi tersebut dinilai layak untuk dimuat. Akhirnya, tulisan Apung S.W tersebut dimuat di majalah sari nomor 6 pada bulan Agustus 1996, dengan menggunakan nama samaran12. Maksudnya adalah agar Apung S.W. mendapatkan honor, karena menurut peraturan perusahaan, para staf karyawan yang mempublikasikan tulisannya tidak akan mendapat honor. Tulisan tersebut menjadi kebanggaan tersendiri bagi Apung S.W, karena merupakan salah satu tulisan yang dimuat di dalam majalah, setelah tulisan pertamanya pada saat di SMP yang berbentuk sajak dimuat di majalah Warga/Bogor.

Pekerjaan Apung S.W di PT. Purnama Sari berakhir pada tahun 1966. Satu hal yang menyebabkan Apung S.W. mengundurkan diri dari perusahaan tersebut adalah karena persoalan finansial. Kejadiannya, pada saat itu hampir di seluruh PT telah melakukan penaikan gaji. Sementara itu, di PT Purnama Sari belum ada kenaikan. Sebagai seorang redaktur, Apung S.W. merasa bertanggung jawab terhadap para anggotanya untuk memperjuangkan dalam menaikkan gaji. Karenanya, Apung S.W. pun menghadap pimpinan perusahaan untuk mengurus persoalan tersebut. Hasilnya, pimpinan perusahaan menolak usul kenaikan gaji yang diharapkan.

(24)

Akibat upaya tersebut, Apung S.W. mendapat ancaman agar ia atau anggotanya mengundurkan diri apabila tetap ingin mendapatkan kenaikan gaji dengan jumlah yang sesuai dengan permintaan. Mendapat perlakuan seperti itu, Apung S.W. merasa kecewa. Oleh sebab itu, ia memutuskan untuk mengundurkan diri sendiri dari perusahaan, dan melarang pegawai lainnya untuk tidak mengundurkan diri. Tindakan ini memperlihatkan sosok Apung S.W. yang sangat mengutamakan kesejahteraan para anggotanya, sehingga ia berani mengorbankan pekerjaannya sendiri demi mempertahankan hak-hak para anggotanya. Hal ini dapat diidentifikasi sebagai salah satu sifat yang dimiliki oleh Apung S.W. sebagai seorang pemimpin yakni sifat-sifat seorang pemimpin. Menurut ajaran Asta Brata dalam Soekanto (1982:253), bahwa menurut ajaran Asta Brata salah satu syarat kepemimpinan yang berhasil adalah menunjukkan rasa tidak segan-segan untuk turut merasakan kesukaran-kesukaran pengikutnya.

Beberapa hari kemudian setelah mengundurkan diri, datanglah seorang perwakilan dari PT Purnama Sari ke rumahnya dengan tujuan untuk membujuk Apung S.W agar kembali bekerja, namun Apung S.W. menolaknya. Untuk kedua kalinya MA Salmun sebagai pimpinan redaksi datang ke rumahnya untuk membujuk kembali dan mengharapkan agar Apung S.W. tetap bekerja dan menjalankan perusahaan di bidang penerbitan majalah, yang telah dirintis bersamanya. Namun, Apung S.W. tetap pada pendiriannya sehingga tidak tertarik dengan ajakan tersebut dan memilih untuk tidak bekerja.

Apung S.W. tidak memberitahukan tentang persoalan di perusahaan maupun tentang pengunduran dirinya kepada istri ataupun mertuanya. Hal ini terjadi selama kurang-lebih satu minggu. Namun, karena Apung S.W. tidak pergi kerja dan diam di rumah, maka timbulah kecurigaan pada sang mertua. Karenanya, pada suatu hari

(25)

mertuanya menanyakan tentang pekerjaan Apung S.W. Ia pun akhirnya mengakui dan memberitahukan bahwa dirinya telah mengundurkan diri dari perusahaan. Mendengar penuturannya, mertua Apung S.W. dapat memahami dan tidak mempermasalahkannya. Bahkan, dengan penuh rasa kasih sayang, mertuanya Engkos berkata; “asal daek dibawa sangsara, keun bae teu digawe saumur-umur ge asal ulah

ninggalkeun tembang “. (asal mau dibawa sengsara, tidak apa-apa tak mempunyai

pekerjaan seumur hidup juga, asal jangan meninggalkan tembang) (Wawancara, 20 Mei 2008)

Mendengar ucapan dari mertuanya tersebut, Apung S.W. mencoba untuk bersabar dan tabah menjalaninya, meskipun di dalam hatinya tetap terbersit rasa malu. Akhirnya, dengan keteguhan pendiriannya, Apung S.W. memilih untuk tidak bekerja dan sempat menganggur selama satu tahun. Pengalamannya di perusahaan tersebut, cukup memberikan kontribusi terhadap pembentukan Apung S.W.menuju seorang seniman yang memiliki keterampilan menulis.

Pada tahun 1966, Apung S.W. menjadi seorang pengangguran. Kesempatan ini ia gunakan untuk lebih mendalami kesenimanannya sebagai penembang dalam dunia tembang Sunda Cianjuran bersama istri, mertua serta seniman-seniman yang lainnya. Beberapa kegiatan yang sering ia lakukan, antara lain, (1) siaran di RRI Bandung. (2) menulis dangding, dan (3) latihan tembang Sunda Cianjuran.

c) Sebagai Pegawai Negeri Sipil

Pada tahun 1967, setelah menganggur Apung S.W. mencoba untuk melamar pekerjaan ke beberapa tempat, antara lain ke Kimia Farma dan Pabrik Susu. Namun, di tengah perjalanan ia bertemu dengan Ir. Adjat Sudrajat, yakni seorang pegawai Pemda kota Bandung yang menjabat Kepala Biro III Dinas Pekerjaan Umum. Ia juga

(26)

merupakan murid tembang dari mertua Apung S.W. Kemudian, Adjat menyuruh Apung S.W. untuk melamar ke kantor Pemerintah Daerah (PEMDA) kota Bandung, karena kebetulan ia berteman dengan sekretaris pribadi (SEKPRI) Walikota13, yang bernama Parma. Parma adalah teman Apung S.W. sewaktu berorganisasi di Nonoman Sunda. Pada saat itu juga Apung S.W. menyetujuinya, dan langsung menyiapkan berkas lamarannya di kantor Adjat. Besoknya berkas lamaran tersebut diberikan oleh Adjat kepada SEKPRI Walikota. Hasilnya, dalam tempo dua hari, lamaran Apung S.W. diterima, dan Apung S.W. pun diangkat sebagai tenaga honorer, tepatnya pada bulan Apriltahun 1967.

Pekerjaan Apung S.W. sebagai tenaga honorer berlangsung selama dua tahun. Pada awal masa kerja, kehidupan Apung S.W. terfokus pada beberapa pekerjaan kantor. Seiring dengan waktu, Apung S.W. pun dipercaya oleh Walikota untuk membantu pekerjaan SEKPRI, yakni Parma. Hal ini terjadi atas dasar persetujuan Walikota dengan Parma, yang akhirnya Apung S.W ditempatkan di staf Tata Usaha (TU). Beberapa pekerjaan yang biasa dilakukan sebagai TU, antara lain, (1) mengagendakan keluar masuknya surat, (2) melakukan pengetikan, dan (3) membantu pekerjaan ajudan. Pekerjaan ini dijalaninya dengan baik dan senang hati, serta tidak mengalami kesulitan, karena sebelumnya telah ada pengalaman, tepatnya sewaktu menjadi redaktur Majalah Sari. Seperti halnya pegawai yang lain, Apung pun menjalani pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab serta disiplin yang tinggi, apalagi dalam pekerjaan ini ia punya keinginan untuk meraih posisi yang lebih baik lagi, yaitu dari tenaga honorer menjadi PNS.

Pada tahun 1968, Apung S.W. menderita sakit sehingga menyebabkan ia tidak masuk kerja dikarenakan harus beristirahat. Ia mengambil cuti sakit selama beberapa

(27)

hari. Pada saat yang sama, di tubuh pemerintahan kota Bandung terjadi pemutasian karyawan, yaitu meliputi hampir semua staf, termasuk Walikotanya sendiri. Waktu itu, Apung S.W. merasa khawatir karena besar kemungkinan ia juga akan terkena mutasi. Namun, setelah di wawancara oleh Hidayat Sukarmadidjaya (pejabat sementara Walikota Bandung), Apung S.W. dengan seorang karyawan lainnya, yaitu Etik, tidak dimutasi. Dengan kata lain, dua orang karyawan yang tidak terkena mutasi yaitu hanya Etik dan Apung S.W. saja.

Sejak saat itu, Apung S.W. dengan dibantu oleh Etik dipercaya untuk menempati kursi SEKPRI menggantikan Parma. Pada saat itu, tepatnya pada bulan April 1968, Apung S.W. telah berstatus sebagai PNS.

Salah satu tugas yang diemban Apung S.W. sebagai sekpri adalah harus selalu siap untuk mendampingi Walikota. Artinya, ia dituntut untuk bekerja dengan penuh tanggung jawab, sesuai dengan agenda kegiatan Walikota yang diperintahkan secara lisan ataupun tulisan. Selain itu juga ia harus mempersiapkan acara dinas harian. Hal ini membuat kegiatan Apung S.W. dalam dunia kesenimanannya seakan menjadi terganggu. Bahkan, karena kesibukannya dalam bekerja, eksistensi Apung S.W. dalam dunia tembang Sunda Cianjuran nyaris terhenti. Karenanya, pada masa ini ia hampir tidak pernah mengikuti kumpulan-kumpulan tembang Sunda Cianjuran, sehingga jarang pula melantunkan lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran (tetembangan) secara formal. Namun, di sela-sela kesibukannya ia masih sempat menulis carpon, dangding, dan sajak. Ia melakukannya sebagai salah satu cara untuk mengisi kekosongan waktu pada jam-jam kantor. Bahkan, Apung S.W. sering hahariringan di kantor tempat ia bekerja, sehingga para karyawan pun terbiasa mendengarkan suaranya melantunkan lagu-lagu tembang Sunda Cianjuran.

(28)

Karir Apung S.W. dalam bekerja sebagai SEKPRI ia jalani selama sebelas tahun (1968-1979), dengan empat kepemimpinan walikota, antara lain, Hidayat Sukarmadidjaya, Otje Djundjunan, Utju Djunaedi, dan Husen Wangsaatmadja. Untuk lebih jelasnya, berikut kegiatan Apung S.W pada keempat periode Walikota.

1)Periode Walikota Hidayat Sukarmadijaya

Periode ini berjalan dari tahun 1968 sampai 1970. Menjadi SEKPRI bagi Apung S.W. merupakan tugas yang sangat berat. Pada periode ini, Apung S.W. dihadapkan pada tugas-tugas baru, antara lain sebagai berikut. (1) ia harus selalu mendampingi tugas dinas Walikota baik di dalam maupun di luar kota. (2) ia harus membuat atau mengatur jadwal kegiatan Walikota dan Ibu Walikota. (3) ia harus membuat naskah atau konsep-konsep pidato bagi Walikota dan Ibu Walikota dalam berbagai konteks. Semua pekerjaan tersebut ia laksanakan dengan sebaik-baiknya.

Pada masa ini, Apung S.W. menemukan suka dan duka dalam bekerja. Sukanya, ia merasa gembira karena pengangkatan dirinya sebagai SEKPRI pada periode ini, bersamaan dengan diangkatnya ia menjadi PNS. Sementara dukanya, pekerjaan sekpri tidak hanya bertanggung jawab kepada Walikota saja, namun juga terhadap Ibu Walikota. Sehingga, sering terjadi kegiatan yang bersamaan antara Walikota dengan Ibu Walikota.

Ciri kepemimpinan Walikota pada periode ini diantaranya, beliau adalah seorang yang sangat dekat dengan stafnya, teliti dalam hal surat menyurat, redaksionil hingga Apung S.W.. pun banyak belajar dari kepemimpinannya.

Walikota Hidayat Sukarmadidjaya menjabat selama dua tahun, yaitu selama kurang dari setengah periode. Jabatan ini dipegang sebagai pejabat yang melanjutkan kepemimpinan Walikota sebelumnya.

(29)

2) Periode Walikota Otje Djundjunan

Periode ini berjalan dari tahun 1971 sampai 1976. Pada masa ini, pekerjaan Apung S.W. sama seperti pada periode Walikota sebelumnya. Perbedaannya, gaya kepemimpinannya seperti militer, memiliki kepribadian yang sifatnya tegas, dan selalu disiplin. Bahkan, sifat kedisiplinannya selalu diingatkan oleh istrinya kepada para staf Walikota.

Pada saat ini juga Apung S.W. pernah mendampingi tugas Walikota untuk memenuhi undangan ke Jerman dalam rangka Pekan Kebudayaan Bandung Brownsweigh sebagai pengamat. Walikota Otje Djundjunan menjabat selama lima tahun, yaitu selama satu periode.

3) Periode Walikota Utju Djunaedi

Periode ini berjalan dari tahun 1976 sampai 1978. Pada masa ini, pekerjaan Apung S.W. sama seperti pada periode Walikota sebelumnya. Perbedaannya, gaya kepemimpinannya tidak seperti militer walaupun beliau mantan seorang purnawirawan ABRI. Ia bersikap lebih kekeluargaan, banyak turun ke lapangan untuk mencari permasahan tanpa diketahui orang lain, bahkan sering berdiskusi tentang pekerjaannya diluar jam kantor. Situasi seperti ini Apung S.W. sebagai SEKPRI dituntut untuk dapat menyesuaikan dengan gaya kepemimpinan Walikota pada periode ini.

Walikota Utju Djunaedi menjabat selama dua tahun, yaitu selama kurang dari setengah periode. Jabatan ini dilepas karena ia dimutasikan ke instansi lain

4)Periode Walikota Husen Wangsaatmadja

Periode ini berjalan dari tahun 1978 sampai 1979. Pada masa ini, pekerjaan Apung S.W. sama seperti pada periode walikota sebelumnya. Perbedaannya, pada masa ini pengabdian Apung S.W. menjadi SEKPRI selama sepuluh tahun, mendapat perhatian khusus dinilai oleh Walikota di dalam melaksanakan tugas menjadi SEKPRI.

(30)

Kedisiplinan, kesetiaan di dalam menjalankan tugas, perlu untuk dipromosikan kepada jenjang yang lebih tinggi.

Gambar 3.3

Apung S.W. sebagai SEKPRI di PEMDA Kota Bandung. (Foto dokumentasi Apung S.W, 1973)

d) Sebagai Camat Regol Bandung

Pada tahun 1979, yakni sewaktu masih bekerja sebagai SEKPRI, Walikota Husen Wangsaatmadja merekomendasikan Apung S.W. untuk menjadi Camat di kecamatan Regol kotamadya Bandung. Hal ini dapat diprediksi sebagai buah hasil dari kedisiplinan serta tanggung jawab yang dijalankan Apung S.W. dengan sebaik-baiknya selama menjadi SEKPRI. Selain itu dapat pula dikatakan sebagai salah satu kepedulian Walikota Husen Wangsaatmadja terhadap karir dan prestasinya. Wangsaatmadja mengatakan, apabila Apung S.W tetap menjadi SEKPRI, maka prestasinya tidak akan meningkat. Hal ini terjadi karena SEKPRI bukan jabatan structural dan dibentuk berdasarkan kebutuhan Walikota. Artinya, apabila Walikota menghendaki tidak adanyaSEKPRI, maka SEKPRI tidak akan ada. Oleh karena itu, sekpri tidak ada

(31)

kenaikan pangkat, dan tidak ada penilaian pada Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) (Wawancara Apung S.W, 20 Mei 2008).

Pekerjaannya sebagai Camat, memberikan pengalaman tersendiri bagi Apung S.W. Salah satu pengalaman yang tidak terlupakan bagi Apung S.W. yaitu ia merasa minder pada saat dilantik menjadi camat tahun 1979. Alasannnya, di antara 16 orang Camat yang dilantik ternyata hanya ia sendiri yang memiliki kualifikasi pendidikan D3 dengan pangkat/golongan IIc, itu pun tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya, karena Apung S.W. adalah lulusan Diploma 3 dari IKIP Bandung jurusan sastra Sunda. Sementara itu, Camat yang lainnya memiliki kualifikasi pendidikan S1 atau dari Sekolah Tinggi Ilmu Pemerintahan (STIP) yang dicetak untuk menjadi pegawai pemerintahan dengan pangkat/golongan IIIa ke atas. Perbedaan kualifikasi akademik tersebut tidak menjadikan Apung S.W. berkecil hati seterusnya, hal ini justru dijadikan motivasi untuk lebih berkembang lagi dan dapat meraih prestasi selama mengemban tugas sebagai Camat.

Menurut Apung S.W. salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang camat adalah penguasaan terhadap wilayah. Oleh sebab itu, ia berupaya untuk mempelajari dan menguasai situasi dan kondisi wilayah kecamatan Regol yang dipimpinnya. Hal ini ia lakukan dengan cara banyak turun ke lapangan untuk mengobservasi atau melakukan pengamatan dan berkomunikasi secara langsung dengan penduduk di kecamatan Regol, baik dari segi perekonomian, tata wilayah, dan lain-lain. Tidak jarang apabila ia bekerja sampai 24 jam, karena harus mengontrol semua wilayah yang dipimpinnya. Apalagi, kecamatan Regol terdiri dari 4 kelurahan yang terdiri dari kelurahan Ancol, Balong Gede, Cigereleng, dan Pungkur. Luas wilayahnya, sebelah selatan berbatasan dengan kabupaten Bandung, sebelah barat Jalan Mohamad Toha dan Jalan Oto Iskandardinata, sebelah utara sampai perempatan

(32)

Jalan Jendral Sudirman dan sebelah timur berbatasan dengan kelurahan Lengkong (Pasirluyu), sehingga mengakibatkan waktu Apung S.W. banyak tersita hanya untuk memerhatikan semua kelurahan tersebut.

Salah satu pengalamannya yang cukup menarik dari hasil mengontrol ke lapangan, adalah Apung S.W. banyak menemukan masyarakatnya yang bekerja sebagai wanita tuna susila (WTS). Menghadapi persoalan ini, ia memiliki cara tersendiri yang dapat dikatakan membawa dampak positif bagi kehidupan masyarakatnya. Ia memberikan pengarahan terhadap mereka dan membekalinya dengan keterampilan-keterampilan, antara lain Apung S.W. mengkursuskan mereka pada bidang menjahit dan lain-lain. Dengan demikian, dapat diidentifikasi bahwa Apung S.W. memiliki kepedulian sosial yang cukup tinggi, tidak hanya pada persoalan tanggung jawab sebagai PNS saja, melainkan juga memiliki tanggung jawab moral sehingga berupaya mengubah mata pencaharian sebagian masyarakatnya dari WTS menjadi wiraswasta.

Apung S.W. pun merasa memiliki beban yang cukup berat pada saat menjabat sebagai Camat. Karena, ia harus menyelesaikan persoalan yang terjadi di wilayahnya, meskipun persoalan tersebut tidak termasuk pada pekerjaan Camat. Misalnya, apabila terjadi kebocoran pada ledeng air, maka Camat diperkenankan untuk menanggulanginya terlebih dahulu. Dalam arti, apabila Camat mampu untuk menanganinya, maka tidak usah menunggu dinas lainnya seperti dinas PDAM, yang merupakan dinas bagian penanganan air. Menyikapi hal ini, Apung S.W. tidak berkeberatan, bahkan menjadikan persoalan itu bukan sebagai halangan yang besar. Hal itu sesuai dengan undang-undang ilmu pemerintahan nomor 5 tahun 1979, tentang tugas dan wewenang serta tanggung jawab Camat sebagai pamong praja yaitu, “apa yang tidak bisa dikerjakan oleh dinas lain menjadi tanggung jawab Camat”.

(33)

Prestasi Apung S.W. sebagai Camat cukup bagus. Hal ini terbukti pada tahun 1979 tepatnya enam bulan setelah menjadi Camat, kecamatan Regol meraih juara I dalam kategori pencanangan Keluarga Berencana dan pemeliharaan Lingkungan Hidup. Implikasi dari prestasi ini, setiap ada kegiatan atau acara kunjungan dari pusat baik dari Pemda tingkat I atau Pemda tingkat II, sering dilimpahkan kepada kecamatan Regol sebagai penerima kunjungan. Atas dasar keberhasilan ini, karir Apung S.W. selama menjadi camat dalam waktu empat tahun mengalami peningkatan, yaitu ia dua kali naik golongan/pangkat dari IIc menjadi IIIa.

Dilihat dari sisi kesenimannnya, sebagai seorang seniman Apung S.W. pun sering diminta oleh warganya untuk nembang. Rupanya masyarakat tahu bahwa Camatnya adalah salah seorang penembang. Apung S.W. pun merasa senang dengan permintaan masyarakat tersebut dan sering memenuhinya. Hal ini terbukti dari salah satu pengalamannya, yaitu pada perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia (RI) yang ke-34 di daerah Pasirluyu. Saat itu Apung S.W. baru dilantik menjadi Camat ia diminta untuk tampil nembang. Apung S.W. pun menyanggupinya. Lagu yang dilantunkan pada waktu itu adalah pupuh Pucung.

Liriknya sebagai berikut. Terjemahan:

Utamana jalma kudu rea batur Utamanya setiap manusia harus banyak

teman

keur silih tulungan untuk saling tolong menolong

silih titipkeun nyadiri dan saling menitipkan diri sendiri

budi akal lantaran ti pada jalma budi akal karena dari sesama manusia

Ketika masih menjabat sebagai camat, yaitu pada tahun 1982, Apung S.W belajar tari kepada Abay Subarja14. Tempat pembelajarannya adalah di kantor

(34)

kecamatan Regol pada sore hari, setiap hari kamis selama kurang-lebih satu tahun. Salah satu alasan Apung S.W belajar tari yaitu agar ia dapat memenuhi permintaan para kerabatnya apabila ia diminta untuk menampilkan tari. Apung S.W sempat mempelajari tari tayuban. Ia mempelajarinya dengan cara langsung diarahkan oleh gurunya, dengan diiringi secara langsung oleh gamelan. Salah seorang pengiringnya adalah Tosin (pemain kendang). Kesempatan ini dimanfaatkan pula oleh Apung S.W. dengan mengajak para lurah untuk belajar tari.

Sekitar tahun 1980-an atas perintah Walikota Bandung Apung S.W. sebagai camat Regol, dipercaya untuk menerima tamu rombongan Ibu Mien Sugandi (mantan mentri UPW), bersama dengan Ibu-ibu Dharma Wanita Propinsi Jawa Barat dan Ibu Wali Kota Bandung. Maksud kedatangan tersebut adalah untuk mengetahui kegiatan PKK RW yang bertempat di Jalan Pungkur, Gang Ijan Bandung. Rombongan tamu selain disambut dengan lagu Mars PKK, dan lagu-lagu nasional lainnya, disajikan pula tembang Sunda Cianjuran yang sengaja ditampilkan Ibu camat (A. Tjitjah) sebagai penembang. Hasilnya respons dari para tamu, penampilan dari tembang Sunda Cianjuran tersebut mendapat perhatian yang sangat baik.

Pada saat masih menjabat sebagai camat Regol, bersama dengan camat Lengkong, Batununggal dan Kiaracondong, pernah mengadakan Pasanggiri Tembang Sunda se wilayah Karees. Kegiatan tersebut diupayakan agar masyarakat dapat menghargai dan mencintai seni melalui Pasanggiri tembang Sunda. Demikian juga ketika mengemukakan sambutannya pada acara Pisah Sambut, Apung S.W. membuat sendiri dalam bentuk dangding yang dilantunkan bersama istrinya melalui tembang. Sebagai partisipan dari masyarakat Regol, Nano.S yang juga merupakan salahseorang

(35)

murid Apung S.W. menampilkan karyanya dengan sajian Prakpilingkung (keprak,

kacapi, suling dan angklung).

Hal tersebut diatas dapat diidentifikasi bahwa Apung S.W. sebagai seniman, berusaha untuk mengembangkan dan melestarikan seni budaya sunda khususnya tembang Sunda Cianjuran.

Pekerjaan Apung S.W sebagai camat berakhir pada tahun 1983. Artinya, Apung S.W menjabat selama empat tahun. Keberhasilan Apung S.W dalam bekerja serta keberhasilannya dalam mengemban tugas, membuat walikota15 bangga dan akhirnya setelah Apung S.W menjabat selama empat tahun, ia dipromosikan untuk menjadi kepala seksi pajak di kantor pemda kotamadya Bandung.

Gambar 3.4

Apung S.W. (sebelah kanan, paling depan) sebagai Camat Regol Kota Bandung (Foto dokumentasi Apung S.W, 1983)

e) Sebagai Kepala Seksi Pajak

Tahun 1983, Apung S.W. diangkat sebagai kepala seksi pajak di Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Bandung. Pengangkatan dirinya sebagai Kasi

15 Pada tahun 1983 walikotanya adalah Bapak Ateng Wahyudi, yang menggantikan walikota Husen

(36)

Dispenda kota Bandung, sempat diragukan oleh salah seorang tokoh masyarakat. Bahkan, persoalan ini ditulis dan dipublikasikan pada salah satu media cetak tahun 1983. Isinya, bahwa Apung S.W. dinilai tidak layak untuk menempati jabatan tersebut. Menurut penulis dalam media cetak tersebut, seorang kepala pajak bukanlah harus orang yang jujur, tetapi harus orang yang tahu tentang pajak serta harus mampu meningkatkan pendapatan pajak. Menyikapi pernyataan tersebut, Apung S.W. menyadarinya. Namun, dengan keyakinan yang kuat dengan didukung oleh Walikota, Apung S.W. bertekad untuk membuktikannya kepada masyarakat luas bahwa ia mampu untuk mengurusi persoalan perpajakan.

Langkah awal yang ditempuh oleh Apung S.W. adalah, (1) mempelajari dengan cara membaca buku-buku yang berhubungan dengan perpajakan. Antaralain, apa yang disebut pajak, retrebusi, pajak pusat, pajak daerah dan ketentuan-ketentuan lainnya. (2) turun sendiri ke lapangan dalam memimpin operasi perpajakan. Di antaranya, meninjau langsung ke tempat restoran, hotel ataupun bioskop, untuk memeriksa tugas perusahaan tersebut yang berfungsi sebagai wajib pungut kepada para konsumennya. (3) melaksanakan perintah atasan yang dipercayakan kepadanya. Diantara perintahnya yaitu, tidak diperkenankan memegang uang, wajib lapor pendapatan, oleh karenanya Apung S.W. memberi perintah kepada stafnya bagian penerima setoran, untuk menyetorkan keuangan kepada bank setiap hari, sehingga tidak ada pendapatan yang di endapkan.

Selain itu Apung S.W. senantiasa berusaha untuk melewati target pendapatan yang dibebankan kepada seksi pajak. Hal ini menunjukkan bahwa Apung S.W. telah mampu meningkatkan pendapatan pajak di tubuh pemda kota Bandung.

(37)

Gambar 3.5

Apung S.W (paling kiri) sebagai Kepala Seksi Pajak pemda kota Bandung (Foto dokumentasi Apung S.W, 1986)

Pekerjaan Apung S.W. sebagai kepala seksi pajak pemda kota Bandung, berakhir pada tahun 1991 yakni ketika ia berusia 55 tahun. Artinya ia menjabat selama delapan tahun yaitu melebihi dari satu periode. Hal ini membuktikan bahwa Apung S.W. memiliki prestasi yang cukup baik bila dilihat dari masa kerja dibandingkan dengan pejabat-pejabat sebelumnya. Dengan berakhirnya kepemimpinan sebagai kepala seksi pajak pemda kota Bandung, berakhir pula masa kerja Apung S.W. sebagai PNS, artinya ia memasuki masa pensiun.

Sejak pensiun, Apung S.W. beserta istri dan anak keempatnya Maya Sarimaya menempati rumah yang bertempat di kampung Paniisan desa Pameungpeuk kecamatan Banjaran kabupaten Bandung. Rumah terserbut dibangun sekitar tahun 1987 dan telah dipersiapkan untuk menghabiskan masa pensiunnya. Di rumah ini ia merasa lebih leluasa dalam menuangkan ide ataupun gagasan untuk menciptakan suatu karya. Meskipun demikian, ia tidak melupakan rumah kediamannya, sering kali ia

(38)

mengunjungi rumah tersebut yang sekarang ditempati oleh anak pertamanya Dadang Gantina.

Dari paparan di atas, dapat diketahui bahwa Apung S.W. merupakan sosok pemimpin yang memiliki kharisma, yaitu suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang (Soekanto, 1982:244), sehingga ia dapat mencapai jenjang karir yang cukup tinggi. Menurut Soekanto (1982:244), kharismatis dapat berkurang bila ternyata individu yang memilikinya berbuat kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat, sehingga kepercayaan masyarakat terhadapnya menjadi berkurang. Oleh sebab itu, dapat dipastikan bahwa Apung S.W. adalah sosok pemimpin yang mampu menjaga kepercayaan masyarakat sehingga kharismatisnya tidak luntur. Selain itu, kesibukannya dalam bekerja tidak mematahkan semangatnya untuk terus berkarya, walaupun proses berkaryanya hanya sebatas menunggu kekosongan waktu di sela-sela pekerjaannya.

Gambar 3.6

Apung S.W. pada masa pensiun (Foto dokumentasi Apung S.W, 2009)

(39)

B. LATAR BELAKANG PENDIDIKAN 1. Pendidikan Formal

Meskipun Apung S.W. dapat dikatakan tokoh tua yang hidup pada masa-masa kemerdekaan, namun ia berhasil mengenyam pendidikan cukup tinggi. Untuk lebih jelasnya, berikut akan dipaparkan kegiatan-kegiatan Apung S.W. pada masa-masa sekolah.

a) Sekolah Rakyat (SR)

Pada tahun 1943, keberadaan Sekolah Dasar (dulu SR) terdiri atas tiga rombongan belajar (rombel) yaitu kelas I, II, dan III. Para pengajarnya terdiri dari dua orang dengan sebutan istilah Guru kahiji (Guru pertama) dan Guru kadua (Guru kedua). Guru pertama berperan sebagai kepala sekolah, sementara Guru kedua berperan sebagai guru kelas. Oleh sebab itu, guru kedualah yang sering berpindah-pindah dalam melaksanakan kegitan belajar mengajar. Namun, guru pertama juga sering berperan sebagai guru kelas terutama pada mata pelajaran yang kurang dikuasai oleh guru kedua. Dengan demikian, kedua guru biasa saling melengkapi dalam melaksanakan tugas mengajar.

Pendidikan Apung S.W. di SR ditempuh selama enam tahun di tiga sekolah, yaitu sebagai berikut.

 SR Cibunar

Pada tahun 1943, Apung S.W. memasuki SR Cibunar-Sumedang. Seperti murid-murid SR lainnya, di sekolah ini Apung S.W. pun mulai belajar menulis, membaca, serta mempelajari lagu-lagu pupuh. Apung S.W. diajarkan menulis, membaca dan berhitung oleh guru kedua, sedangkan lagu-lagu pupuh diajarkan oleh

(40)

guru pertama16. Pada masa ini, Apung S.W. telah menunjukkan adanya indikator-indikator bahwa ia memiliki bakat dalam dunia kesenimanan. Hal ini ditunjukkan dengan beberapa hal. Pertama, ia mampu mempelajari lagu-lagu pupuh dengan baik sesuai dengan materi yang diajarkan oleh guru SR, yaitu ayahnya sendiri. Beberapa lagu pupuh yang diajarkan, antara lain pupuh Kinanti, Asmarandana, Sinom,

Maskumambang, dan lain-lain. Kedua, karena kemampuannya dalam melantunkan

lagu-lagu pupuh cukup baik, maka dalam setiap kenaikan kelas ia selalu menampilkan lagu-lagu pupuh tersebut. Hal ini bagi Apung S.W. menjadi suatu kebanggaan tersendiri dalam mengarungi kehidupannya sebagai siswa SR.

Pendidikan di SR Cibunar ini berlangsung selama tiga tahun, tepatnya sampai Apung S.W menyelesaikan sekolah di kelas tiga. Pada saat Apung S.W akan naik ke kelas empat, keluarganya harus pindah sekolah karena mengikuti Ayahnya yang dialihtugaskan ke SR Citungku. Oleh karena itu, sekolah Apung S.W. pun secara langsung harus pindah juga. Dengan kata lain, Apung S.W. pindah sekolah pada saat naik ke kelas empat SR.

 SR Citungku

Pada tahun 1946, tepatnya setelah semua keluarga pindah dari kampung Cibunar ke Citungku, Apung S.W. melanjutkan pendidikannya ke SR Citungku. Pada masa ini, ia memasuki kelas empat dan sudah bisa membaca dan menulis, sehingga pada masa ini kreatifitas Apung S.W. pun sudah mulai nampak, antara lain, ia belajar mengaplikasikan lagu-lagu pupuh ke dalam rumpaka dangding yang ia baca pada buku

Wawacan17.

16 Guru pertamanya adalah Ayahnya sendiri. 17

Buku wawacan tersimpan di rumah Apung S.W, karena pada waktu itu perpustakaan sekolah ada di rumah kepala sekolah.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil studi (penelitian) menunjukkan bahwa (a) organisasi dan mekanisme pengelolaan unit produksi di BLPT Bandung telah berjalan dengan baik, karena telah disusun

Berdasarkan hasil penelitian, disimpulkan bahwa atribut produk serta citra merek berpengaruh positif dan signifikan terhadap keputusan pembelian Smartphone

Terdapat 320.627 pembacaan sekuen pada semua sampel kolom air yang terbaca dari hasil analisis mBRAVE dan teridentifikasi sebanyak 1.129 sekuen untuk spesies

In conducting this study, the writer used a narrative text entitled “Night Watch” and a descriptive one entitled “Flour Sack.” Those two texts were given to the second

Untuk tujuan (1) digunakan analisis deskriptif dengan cara menggambarkan dan menjelaskan faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan faktor eksternal (peluang dan

Hasil penyelesaian model MIP keseimbangan lintasan U-line dan straight line balancing pada permasalahan perakitan pompa air menujukkan bahwa U-line assembly membutuhkan

Berdasarkan hasil pengujian dapat disimpulkan bahwa metode analisi ini baik digunakan untuk penentuan kadar besi (Fe) dalam sampel poli aluminium klorida menggunakan

Pada bab ini, tidak hanya berisi mengenai perkembangan secara umum namun juga analisis secara singkat dari sebab dan akibat penurunan fungsi lingkungan hidup di dalam kasus