• Tidak ada hasil yang ditemukan

KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT WULANG REH. Oleh: Muchson AR Prodi PKn-FISE UNY BAB I PENDAHULUAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT WULANG REH. Oleh: Muchson AR Prodi PKn-FISE UNY BAB I PENDAHULUAN"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

KANDUNGAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM SERAT WULANG REH

Oleh: Muchson AR Prodi PKn-FISE UNY

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Pendidikan dalam sistem persekolahan selama ini lebih menekankan pengembangan kemampuan intelektual akademis dan kurang memberi perhatian pada aspek yang sangat fundamental, yakni pengembangan karakter (watak). Sedangkan karakter itu merupakan aspek yang sangat penting dalam penilaian kualitas sumber daya manusia. Seseorang dengan kemampuan intelektual yang tinggi dapat saja menjadi orang yang tidak berguna atau bahkan membahayakan masyarakat jika karakternya rendah. Oleh sebab itu pendidikan karakter seharusnya ditempatkan sebagai bagian penting dalam sistem pendidikan nasional. Pasal 3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah merumuskan : ”Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Akan tetapi dalam hal pembentukan watak (karakter), rumusan yang bersifat normatif tersebut tidak secara nyata diimplementasikan dalam kurikulum maupun kebijakan pendidikan nasional kita.

(2)

Berbagai kasus yang bertentangan dengan nilai-nilai moral, yang hal itu sekaligus menunjukkan rendahnya karakter, telah sedemikian marak dalam masyarakat. Lebih memprihatinkan lagi, perbuatan itu tidak sedikit melibatkan orang-orang yang terdidik. Ini menunjukkan bahwa pendidikan kurang berhasil dalam membentuk watak (karakter) yang terpuji. Dalam kondisi yang demikian, kiranya cukup relevan untuk diungkapkan kembali “paradigma lama” tentang pendidikan, yakni pendidikan sebagai pewarisan nilai-nilai. Warisan nilai-nilai budaya masa lalu itu tidak sedikit yang merupakan nilai-nilai moral. Paradigma pendidikan seperti itu sering dianggap kuno, konservatif, dan tidak sesuai dengan tuntutan zaman. Namun hal itu tidak berarti bahwa nilai-nilai warisan masa lalu, lebih-lebih nilai-nilai moral dan sopan santun, adalah sesuatu yang usang dan harus dibuang.

Serat Wulang Reh, sebuah buku kumpulan tembang karya

Susuhunan Paku Buwana IV [1768-1820, naik tahta 1788] adalah warisan budaya yang di dalamnya terkandung nilai-nilai moral yang sangat berharga. Kandungan nilai-nilai moral itu sangat relevan untuk diteliti dan diungkapkan kembali dalam situasi masyarakat yang moralitasnya carut marut seperti sekarang ini. Nilai-nilai moral dalam Surat Wulang Reh itu sangat berguna untuk pengembangan pendidikan karakter yang saat ini sering diwacanakan. Serat Wulang Reh dapat memberikan sumbangan dan menjadi tawaran alternatif bagi upaya perbaikan moralitas bangsa.

B. Identifikasi Masalah

Terdapat banyak masalah yang dapat diidentifikasi dalam kajian tentang kandungan nilai-nilai pendidikan karakter Serat Wulang Reh. Berbagai masalah yang dapat diidentikasi di sini adalah :

1. Masih kurang dikenalnya Serat Wulang Reh serta sosok pribadi Paku Buwana IV sebagai pengarangnya.

(3)

2. Masih kurangnya pengungkapan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh.

3. Masih belum jelasnya makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh.

4. Masih belum adanya pengklasifikasian nilai-nilai moral yang bersifat universal dan yang bersifat kultural dari kandungan Serat Wulang Reh.

5. Masih belum diungkapkannya kondisi sosial budaya yang melatar-belakangi munculnya Serat Wulang Reh.

6. Masih belum diungkapkannya kondisi politik di sekitar karaton Surakarta yang melatarbelakangi munculnya Serat Wulang Reh.

C. Pertanyaan Penelitian

Dari beberapa masalah yang diidentifikasi tersebut, pertanyaan

penelitian yang diajukan dalam penelitian ini adalah :

1. Apakah buku Serat Wulang Reh itu dan siapakah sosok pribadi Paku Buwana IV, pengarang buku tersebut?

2. Apa saja nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh?

3. Apa makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh?

D. Tujuan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis). Sebagaimana dikemukakan Carney (1972) yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (1993: 12), tujuan penelitian analisis isi dibedakan menjadi dua, yaitu : deskriptif dan inferensial. Sejalan dengan pendapat tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk :

1. Mengenal buku Serat Wulang Reh dan sosok pribadi Paku Buwana IV, pengarang buku tersebut.

(4)

2. Mendeskripsikan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh.

3. Mengungkapkan makna nilai-nilai moral yang terkandung di dalam Serat Wulang Reh.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Secara teoritis bermanfaat bagi uapaya pengembangan konsep isi

pendidikan karakter yang memuat ajaran-ajaran moral, yang antara lain bersumber pada sosio kultural bangsa.

2. Secara praktis bermanfaat bagi para guru, pemuka masyarakat, pemimpin formal maupun warga masyarakat pada umumnya yang memerlukan acuan dalam internalisasi nilai-nilai moral guna pembentukan karakter.

(5)

BAB II

KAJIAN TEORITIK A. Pemahaman tentang Nilai

Sejak zaman Yunani Kuno, nilai sudah dibicarakan dalam kerangka filsafati. Nilai sudah ditempatkan dalam hierarki ide atau gagasan pemikiran. Hakikat kebenaran, kebaikan, dan keindahan sudah menjadi objek pemikiran secara mendalam (radikal). Pada akhir abad ke-19 kajian tentang nilai semakin mantap menjadi salah satu bidang filsafat yang disebut aksiologi (filsafat nilai). Persoalan aksiologi meliputi nilai logis (benar-salah), nilai etis (baik-buruk), dan nilai estetis (indah-tidak indah). Namun beberapa ahli, termasuk Fraenkel (1977: 6), mengatakan bahwa the study of values ussually is divided into the areas of aesthetics and ethics. Jadi, persoalan aksiologi hanya meliputi estetika dan etika. Dalam pembagian cabang-cabang filsafat, etika merupakan salah satu cabang filsafat yang membicarakan persoalan moral atau tingkah laku yang baik.

Nilai (value) adalah harga atau penghargaan yang melekat pada suatu objek. Fraenkel (1977: 6) mengatakan tentang nilai sebagai berikut.

a value is an idea –a concept- about what someone thinks is important in life. When a person values something, he or she deems it worthwhile –worth having, worth doing, or worth trying to obtain.

(6)

Seorang antropolog melihat nilai sebagai ‘harga’ yang melekat pada pola budaya masyarakat seperti dalam bahasa, adat kebiasaan, keyakinan dan lain-lain. Menurut Kuperman (1983), seorang sosiolog, nilai adalah patokan normatif yang mempengaruhi manusia dalam menentukan pilihannya. Menurut Gordon Allport (1964), ahli psikologi kepribadian, nilai adalah keyakinan yang mendorong tindakan dan pilihan seseorang. Dalam psikologi, keyakinan ditempatkan pada hierarki tertinggi di atas hasrat, motif, sikap, keinginan, dan kebutuhan (Rohmat Mulyana, 2004: 7-9).

Selain pengertian, pemahaman yang lebih pelik tentang nilai menyangkut kompleksitas nilai, baik mengenai macam-macam nilai, konflik nilai, hierarki nilai dan lain-lain. Adanya bermacam-macam nilai dapat menimbulkan dilema nilai atau bahkan konflik nilai. Konflik nilai dapat terjadi dalam hubungan antar individu dan dapat juga hanya terjadi dalam diri seorang individu. Fraenkel (1977: 9) mengatakan : ’value conflict may not only be interpersonal (between individuals), but also intra personal- within one person’. Dengan memahami hierarki nilai, maka ketika seeorang dihadapkan pada konflik nilai, yang kadang-kadang memaksanya untuk melakukan pilihan nilai, ia akan tahu nilai mana yang lebih tinggi tingkatannya.

Menurut Max Scheler, sebagaimana dikutip oleh Rohmat Mulyana (2004: 38-39), hierarki nilai dapat dikelompokkan ke dalam empat tingkatan, yaitu :

1. Nilai kenikmatan. Pada tingkatan ini terdapat sederetan nilai yang menyenangkan atau sebaliknya, yang kemudian orang merasa bahagia atau menderita.

2. Niliai kehidupan. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang penting bagi kehidupan, misalnya kesehatan, kesegaran badan, kesejahteraan umum dan seterusnya.

(7)

Nilai-nilai semacam ini adalah keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai melalui filsafat.

4. Nilai kerohanian. Pada tingkatan ini terdapat nilai-nilai yang suci, yang sumber utamanya dari nilai ketuhanan sebagai nilai tertinggi. Hierarkhi nilai itu ditetapkan urutannya oleh Scheler dengan menggunakan empat kriteria, yaitu : semakin bertahan lama, semakin tinggi tingkatannya; semakin dapat dibagikan dengan tanpa mengurangi maknanya, semakin tinggi nilainya; semakin tidak tergantung pada nilai-nilai lain, semakin tinggi esensinya; semakin membahagiakan, semakin tinggi fungsinya.

Tentang macam-macam nilai, ada beberapa penggolongan, klasifikasi, atau kategori nilai, yang kadang-kadang tidak jelas dasar penggolongannnya. Notonagoro mengemukakan tiga macam nilai, yaitu (1) nilai material, (2) nilai vital, dan (3) nilai kerohanian yang meliputi (a) nilai kebenaran, (b) nilai keindahan, (c) nilai kebaikan, dan (c) nilai relegius, yang merupakan nilai tertinggi dan bersifat mutlak (Roestandi, 1988: 38-39). Ada yang menyebut klasifikasi nilai itu meliputi : nilai terminal dan nilai instrumental; nilai intrinsik dan nilai ekstrinsik; nilai personal (pribadi) dan nilai sosial. Selain itu ada yang menyebut kategori nilai itu meliputi nilai teoritis, nilai ekonomis, nilai estetik, nilai sosial, nilai politik, dan nilai agama (Rohmat Mulyana, 2004: 25-35).

Jika mengacu pada term klasifikasi nilai, ada pula yang menyebut nilai fundamental, nilai instrumental, dan nilai praksis. Jika mengacu pada term kategori nilai, masih banyak macam yang belum disebut, antara lain nilai moral (etis), nilai historis, nilai sosiologis, nilai psikologis, nilai kultural dan sebagainya. Di antara bermacam-macam nilai tersebut, nilai moral menempati posisi yang sangat tinggi dalam hierakhi nilai.

(8)

Kata ’moral’ sering disinonimkan dengan kata-kata : akhlak, budi pekerti, atau susila (Kamus Besar Bahasa Indonesia 1989: 592). Poespoprodjo (1986: 102) menyatakan bahwa moralitas adalah kualitas dalam perbuatan manusia yang dengan itu kita berkata bahwa perbuatan itu benar atau salah, baik atau buruk. Moralitas mencakup pengertian baik-buruknya perbuatan manusia. Widjaja (1985: 154) mengatakan bawa moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan. Persoalan moral dalam pembahasan etika meliputi tata susila dan tata sopan santun. Tata susila mendorong orang untuk berbuat baik, karena hati nuraninya mengatakan baik. Dengan demikian nilai-nilai kesusilaan itu bersumber dari hati nurani manusia yang sifatnya universal. Adapun tata sopan santun mendorong untuk berbuat, terutama yang bersifat lahiriah, tidak bersumber dari hati nurani, melainkan untuk sekedar menghargai orang lain dalam pergaulan. Dengan demikian nilai-nilai kesopanan bersumber lingkungan sosial yang sifatnya kultural-kontekstual.

Dalam pembicaraan sehari-hari, istilah moral sering dikacaukan dengan etika. Secara akademis, etika adalah filsafat moral atau setidak-tidaknya ilmu tentang moral. Dengan demikian etika itu berada pada wilayah teoritis, bukan berada pada wilayah praksis. Moral pun dapat berada pada wilayah teoritis, jika yang dimaksud adalah filsafat moral, ajaran moral, atau konsep moral, bukan perilaku atau sikap moral. Berbicara tentang etika, Musa Asya’ari (2002: 117-129) mengemukakan macam-macam etika yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya.

Konsep moral yang bersumber dari berbagai literatur Barat perlu dikritisi, agar tidak menyesatkan. Pandangan Barat tentang moral berkembang seiring dengan sejarah perkembangan intelektual mereka.

(9)

disusul dengan zaman afklarung membawa perubahan besar dalam pemikiran manusia, bukan saja dalam pemikiran intelektual, namun juga dalam pemikiran moral. Pemikiran intelektual Barat yang membawa kemajuan luar biasa di bidang sain berbasis pada pandangan yang bersifat naturalistik-sekularistik, rasionalistik, empiris, relativistik, dan probabelistik. Basis pandangan tersebut juga mendasari pemikiran mereka tentang moral. Dalam pandangan modern, baik dan buruk itu merupakan persoalan duniawi, naturalistik, dan sekularistik semata. Baik dan buruknya suatu perbuatan didasarkan atas pertimbangan rasional dan kenyataan empirisnya. Jika secara rasional dianggap baik dan secara empiris terbukti baik, maka baik lah tindakan itu. Dengan demikian sifatnya relatif, tidak absolut, dan probabelistik, sehingga tidak ada kepastian moral. Anggapan yang bersifat relatif itu juga mempunyai konotasi bahwa moral itu bersifat kultural, kontekstual, bahkan kondisional dan individual. Dalam tradisi Timur, jika persoalan etis yang direlatifkan itu sebatas persoalan kesopanan, hal itu dapat diterima. Akan tetapi jika persoalan etis yang direlatifkan itu juga menyangkut kesusilaan, hal itu tentu harus ditolak (Muchson AR, 2000: 13-15).

Berbicara tentang pendidikan moral pada dasarnya menyangkut proses internalisasi nilai-nilai moral. Jika nilai-nilai moral itu berhasil diinternalisasikan dalam diri seseorang, maka nilai-nilai itu akan menjadi norma atau acuan hidup yang menuntun sikap dan tindakan seseorang. Pendidikan moral ini lah yang merupakan inti dan wajah utama pendidikan pada masa awal perkembangannya. Dengan demikian, jika orang berbicara tentang pendidikan, pendidik, orang yang terdidik, maka gambaran yang paling menonjol adalah aspek moralitas, kepribadian, karakter dan sebagainya. Pendidik dan orang yang terdidik dianggap identik dengan orang yang moralitasnya tinggi. Bahwa pendidikan moral merupakan inti pendidikan dikemukakan oleh Downey & Kelly (1978: 8) sebagai berikut.

(10)

From earleist times in educational theory and practice moral education has been seen as the very core of the educational process, and moral upbringing has been regarded, almost without question, as the central feature of education itself”.

Pandangan semacam itu sering dianggap tidak sejalan dengan paradigma pendidikan modern, yakni pendidikan untuk perubahan. Menurut pandangan modern, pendidikan yang fungsional adalah pendidikan yang mampu menjawab tantangan masa kini dan tantangan masa depan. Memang, paradigma pendidikan di masa lalu bukanlah pendidikan untuk perubahan, bahkan sebaliknya, yakni pendidikan untuk pewarisan dan pelestarian nilai-nilai. Durkheim, seorang ahli sosiologi moralitas menyebutnya sebagai the conservation of a culture inherited from the past (Bourdieu dalam Karabel and Halsey, 1977: 488). Meskipun paradigma pendidikan sebagai pewarisan dan pelestarian nilai-nilai itu dianggap kuno atau konservatif, namun pendidikan seperti itu sangat relevan untuk solusi perbaikan moralitas bangsa.

Di Amerika Serikat sendiri, sebagaimana dikemukakan oleh Kirschenbaum yang dikutip oleh Darmiyati Zuchdi (2001: 1-2), sejak sebelum tahun 1990 telah dikembangkan pendidikan moral yang bagus, untuk mengajarkan nilai-nilai tradisional, dengan dukungan para orang tua, pemuka agama, guru, dan politisi. Usaha itu guna mengatasai masalah minuman keras, kriminilitas, kekerasan, disintegrasi keluarga, meningkatnya jumlah remaja yang bunuh diri dan remaja putri yang mengandung, menurunnya tanggung jawab masyarakat, tumbuhnya pertentangan rasial dan etnis, serta tidak terkendalinya jumlah skandal pada tahun 1980-an.

Pendidikan moral atau internalisasi nilai-nilai moral inilah yang menjadi esensi dari pendidikan karakter (watak). Hakikat pendidikan karakter tidak lain adalah penanaman nilai-nilai moral, baik moral kesusilaan maupun kesopanan. Parkay and Stanford (1998: 280)

(11)

mengemukakan kaitan antara pembelajaran nilai, (penalaran) moral, dan pendidikan karakter sebagi berikut.

One approach to teaching values and moral reasoning is known as character education, a movement that stresses a development of students “good character”.

Yudi Latif menyatakan bahwa karakter mencerminkan kepribadian seseorang atau sekelompok orang yang terkait dengan basis moralitas, kekhasan kualitas, serta ketegaran dalam krisis. Ia merupakan jangkar jati diri karena merupakan aspek evaluatif yang menentukan sikap dasar manusia terhadap diri dan dunianya (Kompas, Selasa 9 Juni 2009). Karakter memang mencerminkan kepribadian yang berkaitan dengan moralitas, namun kualitas moralnya itu sedemikian khas, sehingga berbeda kualitas dengan orang lain atau kelompok masyarakat yang lain. Dengan kekhasan kualitas moralnya itu, misalnya sangat kuat atau di atas rata-rata, seseorang atau suatu kelompok masyarakat akan mampu tegar dalam menghadapi krisis. Sementara itu Edgar F Puryear Jr, sebagaimana dikutip oleh Kiki Syahnakri, menyatakan dalam American Generalship bahwa character is everything bagi seorang pemimpin. Pentingnya karakter dinyatakan dalam adagium klasik, “If the wealth is lost, nothing lost. If the health is lost, something is lost. If the character is lost, everything is lost” (Kompas, Selasa 2 Juni 2009).

Pendidikan karakter yang esensinya adalah internalisasi nilai-nilai moral termasuk dalam pengembangan domain afektif. Domain afektif berkaitan dengan aspek batiniah (the internal side) yang tidak dapat diamati, maka dalam pemahamannya sering ditemukan konsep yang tumpang-tindih. Domain afektif berhubungan dengan perasaan, emosi, rasa senang-tidak senang, apresiasi, sikap, nilai-nilai, moral, karakter dan lain-lain. Adanya tumpang-tindih konsep terlihat dalam pendapat Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut.

The affective domain includes all behavior connected with feelings and emotions. Thus, as was earlier stated, emotions,

(12)

tastes and preferences, appreciations, attitudes and values, morals and character, and aspects of personality adjustment or mental health are included.

Proses internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif meliputi beberapa jenjang dan jenjang afeksi yang paling dalam adalah karakterisasi (pembentukan karakter). Krathwohl dkk (1964) mengemukakan Taksonomi Domain Afektif yang cakupannya secara hirarkhis meliputi (1) Receiving, (2) Responding, (3) Valuing, (4) Organization, and (5) Characterization (Bloom, et al, 1981: 301-302; Ringness, 1975: 21). Dengan demikian, karakterisasi adalah proses internalisasi nilai yang telah mencapai tingkatan paling tinggi atau paling dalam. Penghayatan terhadap suatu nilai jika telah sampai pada tingkatan yang sangat dalam, maka nilai itu telah mengkarakter atau menjadi penanda khas kepribadian orang yang bersangkutan.

Internalisasi nilai-nilai moral ke dalam domain afektif siswa melalui jalur pendidikan formal bukan merupakan persoalan yang mudah. Persoalannya bukan semata-mata terletak pada persoalan pedagogis yang prosesnya memang rumit, tetapi lebih terkait dengan persoalan kebijakan dan implementasinya. Secara formal pengembangan kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotor sudah kerap kali dirumuskan dalam kebijakan pendidikan di Indonesia, setidak-tidaknya dalam kebijakan yang bersifat umum. Wacana tentang pengembangan kemampuan afektif juga sering disinggung dalam berbagai forum pendidikan. Namun kemudian, semua itu tidak jelas implementasinya. Dalam kenyataannya, kuatnya penekanan pada pengembangan kognitif dan lemahnya pengembangan afektif sangat mewarnai praktik-praktik pendidikan kita selama ini. Kenyataan ini sesuai dengan persoalan yang diangkat oleh Ringness (1975: 5) yang menyatakan sebagai berikut.

One finds affective behavior in any school situation –indeed, in any situation- but compared to cognitive learning, relatively little

(13)

affective learning has been deliberately introduced into the curriculum.

Keseimbangan antara ketiga aspek tersebut sangat penting, setidak-tidaknya aspek kognitif dan afektif, guna membangun kepribadian yang lebih utuh. Berbagai ketimpangan sosial yang muncul selama ini, jika dirunut akar permasalahannya, sangat mungkin disebabkan karena ketidakseimbangan itu. William Chang dalam artikelnya yang berjudul Normalisasi Sosial menyatakan bahwa sebuah proses normalisasi sangat diperlukan karena seluruh globus sedang sakit dan mengalami great warning. Asas normalisasi sosial itu ditemukan dalam hati (heart) dan pikiran (head) setiap manusia yang berkehendak baik untuk mereformasi tatanan sosial yang menderita sakit melalui usaha terkecil dalam lingkup hidup masing-masing (Kompas, 22 Desember 2008).

(14)

BAB III

METODE PENELITIAN A. Jenis Penelitian dan Langkah-Langkah Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian analisis isi (content analysis), yakni penelitian yang berusaha mengungkapkan isi buku, naskah, dokumen dan lain-lain. Krippendorff (1980: 22) mengatakan bahwa analisis isi dapat dikarekterisasikan sebagai metode penelitian yang berusaha menangkap makna simbolik pesan-pesan. Makna simbolik pesan-pesan itu diungkapkan dari data yang ditemukan dalam buku, naskah, atau dokumen yang diteliti. Dalam penelitian ini, analisis isi dilakukan terhadap Serat Wulang Reh, yang direproduksi dalam :

1. Buku Serat Wulang Reh, tanpa nama penulis, terbitan Toko Buku Indah Jaya Surakarta, tahun 1977.

2. Buku Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV, yang ditulis oleh Darusuprapto, Penerbit Citra Jaya Surabaya, tahun 1982.

Langkah-langkah penelitian analisis isi yang dilakukan menurut rancangan Krippendorff (1980: 61) meliputi :

1. Pengadaan data : a. Unitisasi b. Sampling

(15)

c. Pencatatan 2. Reduksi data

3. Penarikan inferensi 4. Analisis

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini pada dasarnya mengacu pada rancangan tersebut, dengan sedikit penyesuaian. Sampling tidak dilakukan dalam penelitian ini karena setiap unit macam tembang (pupuh) tidak dapat mewakili populasi. Demikian pula setiap bait (pada) tidak dapat mewakili macam tembang (pupuh) tertentu. Dengan demikian, penelitian ini bukan merupakan penelitian sampel, melainkan penelitian populasi. Reduksi data dilakukan secara fleksibel pada setiap langkah penelitian, terutama ketika deskripsi data berlangsung. Penarikan inferensi diintegrasikan dalam langkah analisis, yakni ketika analisis inferensial. Langkah lain yang perlu dilakukan adalah validitas data, yang meskipun tidak dicantumkan dalam deskripsi langkah-langkah penelitian, namun oleh Krippendorff juga ditekankan pentingnya langkah tersebut (1980: 159-166). Langkah uji validitas data dilakukan mengiringi langkah analisis data. Dengan demikian langkah-langkah penelitian ini meliputi : pengadaan data, validitas data, dan analisis data.

B. Pengadaan Data

Darmiyati Zuchdi (1993: 14) mengatakan bahwa kelebihan penelitian analisis isi adalah telah tersedianya data yang akan dianalisis, sehingga tidak terkontaminasi oleh kesalahan prosedur pengumpulan data. Dalam penelitian ini data sudah tersedia di dalam kedua buku Serat Wulang Reh tersebut. Data tersebut berupa kata-kata yang bernilai pendidikan karakter, yang tersebar di setiap macam tembang (pupuh), sehingga merupakan data yang tak terstruktur. Dalam proses

(16)

pengadaan data, oleh karena datanya sudah tersedia, maka kegiatan yang dilakukan adalah penentuan unit dan pencatatan.

1. Penentuan unit dalam penelitian ini meliputi unit referensi, unit sintaksis, dan unit tematik.

a. Unit referensi diberi batasan menurut objek, kejadian, pribadi, tindakan, negara, atau ide yang dirujuk oleh suatu ungkapan. Unit ini untuk menemukan profil-profil kelompok individu, seperti pahlawan, guru, atau suku (Krippendorff, 1980: 61). Dalam penelitian ini unit referensi dibatasi pada Serat Wulang Reh sebagai sebuah ide dan Paku Buwana IV sebagai pribadi pengarangnya. Tujuannya untuk mendapatkan gambaran profil Serat Wulang Reh dan Paku Buwana IV.

b. Unit sintaksis berkaitan dengan tata bahasa dari suatu medium komunikasi. Unit ini tidak menghendaki judgement makna. Unit sintaksis yang paling kecil adalah kata (Krippendorff, 1980: 61). Unit yang lebih besar adalah frasa, kalimat, paragraf, dan wacana (Darmiyati Zuchdi, 1993: 30). Dalam penelitian ini, unit sintaksisnya adalah kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh).

c. Unit tematik diidentifikasi berdasar definisi struktural isi. Unit tematik yang satu dengan yang lain dibedakan berdasarkan landasan konseptualnya (Krippendorff, 1980: 62). Dalam penelitian ini, unit tematiknya didasarkan pada konsep yang mengklasifikasikan nilai menjadi nilai pribadi dan nilai sosial (Rohmat Mulyana 2004: 30) serta konsep tentang macam-macam etika, yang meliputi : etika hubungan manusia dengan Tuhan, etika hubungan manusia dengan sesamanya, etika hubungan manusia dengan alam, dan etika hubungan manusia dengan ciptaannya (Musa Asya’ari, 2002: 117-129). Dengan mengadaptasi kedua landasan konseptual itu dikembangkan empat unit tematik,

(17)

Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Struktur isi nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wulang Reh terdiri dari empat unit tematik tersebut.

2. Pencatatan dilakukan terhadap semua kata yang bernilai pendidikan karakter yang tersebar di semua macam tembang (pupuh). Kata-kata yang bernilai pendidikan karakter tersebut tidak lain adalah kata-kata tentang moralitas atau budi pekerti. Semua kata-kata itu dicatat dalam catatan unit sintaksis. Selanjutnya semua kata dalam catatan unit sintaksis itu dikelompokkan ke dalam unit-unit tematik yang relevan, yaitu tema etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas kultural Jawa.

C. Validitas

Validitas yang digunakan dalam penelitian ini adalah validitas semantik dan validitas prediktif. Validitas semantik dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan dalam mengartikan setiap kata yang telah dicatat dalam unit sintaksis. Data yang berupa kata-kata dalam Bahasa Jawa tersebut semua diartikan ke dalam Bahasa Indonesia, sehingga dapat lebih diketahui apakah kata-kata itu bernilai pendidikan karakter atau tidak. Validitas prediktif dimaksudkan untuk mengetahui ketepatan dalam memaknai secara mendalam (prediksi makna) kata-kata yang sudah dikelompokkan dalam unit tematik.

Untuk mendapatkan validitas semantik dan validitas prediktif digunakan rujukan buku atau tulisan tentang Bahasa Jawa, moralitas Jawa, dan falsafah Jawa. Selain itu juga dilakukan validasi dan konsultasi dengan seseorang yang mempunyai pengetahuan yang luas dalam bidang bahasa dan satra Jawa, yaitu Bapak H. Mitrasuwarno B.A., 87 tahun, pensiunan penilik sekolah, mantan guru Bahasa Jawa di salah satu SPG swasta, ahli kerawitan, yang mengenyam pendidikan

(18)

D. Analisis

Sesuai dengan tujuan penelitian, analisis isi dalam penelitian ini meliputi analisis deskriptif dan analisis inferensial. Analisis deskriptif dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dicatat dalam unit sintaksis. Dalam deskripsi itu data dideskripsikan menjadi dua kategori, yaitu karakter yang baik dan karakter yang buruk. Analisis inferensial atau pemaknaan dilakukan terhadap data kata-kata yang bernilai pendidikan karakter yang sudah dikonstruk ke dalam unit tematik.

Menurut Darmiyati Zuchdi (1993: 15; 23; 53), tidak ada aturan-aturan yang pasti untuk membuat inferensi. Namun yang perlu diperhatikan dalam inferensi adalah : (1) tidak mengurangi makna simboliknya, dan (2) menggunakan konstruk analisis yang menggambarkan konteks data. Dikemukakan pula, logika inferensi itu didasarkan pada suatu kerangka teoritis dan merupakan penuntun bagi peneliti dalam membuat kategori-kategori. Logika inferensi yang dikonstruk menjadi kategori-kategori itu merupakan standar untuk menganalisis data. Lebih lanjut ditegaskan bahwa inferensi dalam analisis isi bersifat kontekstual, sehingga peneliti tidak mungkin mengabaikan konteks, baik konteks tempat, waktu, dan situasi berlakunya suatu peritiwa.

Dalam penelitian ini, logika inferensi didasarkan pada kategori-kategori tema yang meliputi empat unit tematik, yaitu tema : etika pribadi, etika sosial, etika terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa, dan etika khas Jawa. Analisis inferensial dilakukan dengan memilah-milah nilai-nilai pendidikan karakter dalam Serat Wulang Reh menjadi empat kategori tersebut. Dalam analisis inferensial itu juga dikaitkan dengan konteks ruang dan waktu, baik yang bersifat historis, sosiologis, maupun kultural, agar diperoleh makna yang lebih mendalam.

(19)

BAB IV

HASIL PENELITIAN A. Serat Wulang Reh Sebagai Tembang Macapat

Pada bagian akhir Serat Wulang Reh dinyatakan bahwa buku tersebut selesai ditulis pada hari Ahad Kliwon, 19 Besar Tahun Dal, dengan candra sangkala yang berbunyi tata guna swareng nata. Candra sangkala tersebut merupakan bahasa sandi, cara membacanya dari belakang, yang menunjukkan angka tahun Jawa 1735 bertepatan dengan tahun Masehi 1808 (Harsono, 2005: 17). Serat Wulang Reh ditulis dalam bentuk tembang, sebagaimana dinyatakan dalam pupuh Girisa pada/bait 22, yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Mulane sun muruk marang kabehing hatmajaningwang sun tulis sun wehi tembang

darapon padha rahapa hanggone padha hamaca

sarta ngrasakken carita haja bosen den hapalna hing rina wengi helinga

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Maka saya menasehati pada

semua anakku

(20)

agar kalian lahap dalam kalian membaca

serta merenungkan isi cerita (nasehat) jangan bosan dan hafalkan

hendaknya kalian ingat siang dan malam

Naskah asli Serat Wulang Reh ditulis dengan tulisan tangan dalam huruf Jawa, sehingga sangat mungkin hanya ada satu buah naskah dan tidak mudah didapatkan. Selain itu juga tidak mudah untuk membacanya secara tuntas, kecuali oleh para ahli. Dengan demikian buku-buku Serat Wulang Reh yang beredar hingga saat ini merupakan hasil reproduksi. Menurut Darusuprapto (1982: 11-12), hanya ada enam buku capan (cetakan atau terbitan) yang ia ketahui, yaitu : (1) cap-capan Tuan Vogel der Heyder ing Surakarta tahun 1900; (2) cap-cap-capan Gr. C.T. Van Dorp & Co Semarang-Surabaya tahun 1913; (3) cap-capan Kolff-Buning Jogja tahun 1937; (4) capan Penerbit Sabubudi Sala; (5) cap-capan Penerbit Tan Khoen Swie Kediri; (6) Wulang Reh Winardi cap-cap-capan Percetakan M.K. Sala. Adapun buku reproduksi Serat Wulang Reh yang diteliti dalam penelitian ini, sebagaimana dikemukakan pada Bab III, adalah : (1) Buku Serat Wulang Reh, tanpa nama penulis, terbitan Toko Buku Indah Jaya Surakarta, tahun 1977; dan (2) Buku Serat Wulang Reh Anggitan Sri Paku Buwana IV, yang ditulis oleh Darusuprapto, terbitan Penerbit Citra Jaya Surabaya, tahun 1982.

(21)

Keterangan : Copy bagian paling depan naskah asli Serat Wulang Reh (Darusuprapto, 1982: 94).

Meskipun hasil reproduksi, isi tembang dalam buku-buku itu hampir sepenuhnya sama, karena sudah sangat baku. Oleh karena sedemikian bakunya isi tembang itu, maka tidak sedikit pupuh yang cukup populer telah dihafal liriknya di kalangan masyarakat. Sebagai kumpulan tembang Jawa, keaslian lirik dalam Serat Wulang Reh relatif terjaga, karena adanya paugeran (kaidah) yang ketat dalam penulisan tembang. Kaidah itu menetapkan batasan tentang guru gatra (banyaknya baris kalimat/larik/gatra dalam setiap bait/pada); guru wilangan (banyaknya suku kata/wanda pada setiap gatra); dan guru lagu (bunyi vokal pada akhir setiap gatra ; dhong-dhing atau a-i-u nya). Setiap macam tembang mempunyai kaidah sendiri-sendiri.

Tembang-tembang dalam Serat Wulang Reh dikategorikan dalam jenis tembang macapat. Menurut Suwarno (2008: 4-7) dan Suwardi Endraswara (2006: 87), ada beberapa pendapat tentang pengertian tembang macapat. Pertama, tembang macapat dibaca per empat wanda (suku kata) untuk setiap penggalan. Penggalan terakhir jika tidak genap

(22)

empat wanda dibaca sisa wanda yang ada. Contoh : bapak pocung/dudu watu/dudu gunung/ asal saka/ Plembang/; Ngon- ingone/sang bupati/yen lumampah/si pocung lem-/beyan grana. Dalam Serat Wulang Reh juga demikian, misalnya pada pupuh Pocung pada/bait 7 yang berbunyi : lamun bener/lan pinter pa-/momongipun/kang ginawe/ tuwa/haja nganggo/habot sisih/ dipun padha/ pamengkune/mring santana. Kedua, tembang macapat itu berasal dari kata maca cepet (cara membacanya dengan cepat). Akronimnya adalah macapet, namun dalam perkembangannya agar enak didengar menjadi macapat. Ketiga, tembang macapat termasuk jenis sekar (tembang) klasisifikasi empat. Klasifikasi satu adalah sekar ageng sapadaswara. Klasifikasi dua adalah sekar ageng sapadadirga. Klasifikasi tiga adalah sekar tengahan.

Menurut Suwarno (2008: 8-9), sebagian besar pendapat mengatakan bahwa tembang macapat terdiri dari 11 macam tembang. Sebagian ada yang mengatakan hanya 9 macam tembang, namun malah ada juga yang mengatakan 15 macam tembang. Macam-macam tembang menurut pendapat yang mengatakan 15 macam adalah : (1) Mijil; (2) Kinanthi; (3) Sinom; (4) Asmaradana; (5) Dhandanggula; (6) Maskumambang; (7) Durma; (8) Pangkur; (9) Pocung; (10) Gambuh; (11) Megatruh; (12) Balabak; (13) Wirangrong; (14) Jurudemung; (15) Girisa. Pendapat yang mengatakan 11 macam tembang menyebut tembang-tembang nomor (1) sampai dengan (11). Sedangkan pendapat yang mengatakan hanya 9 macam tembang menyebut tembang nomor (1) sampai (9).

Penamaan tembang-tembang tersebut menggambarkan tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Kehidupan manusia dimulai dari lahir (mijil) dan dilanjutkan masa kanak-kanak yang masih dibimbing atau digandeng (kinanthi) orang tua. Selanjutnya tahapan masa muda (sinom) dan mengenal asmara (asmaradana). Pada tahapan selanjutnya orang merancang kehidupan yang baik, manis, indah, sejahtera

(23)

(dandanggula). Pada perkembangan selanjutnya orang sudah memikirkan kebaikan atau keutamaan, namun belum mengendap (maskumambang). Perkembangan selanjutnya, orang memasuki masa tua, yang seharusnya sudah mundur dari ‘ma lima’ (durma). Tahapan selanjutnya ditandai dengan sikap yang menghindari (nyimpang) dan mengesampingkan atau membelakangi (mungkur) berbagai urusan duniawi (pangkur). Kehidupan manusia akan berakhir dengan kematian dan kemudian dikafani (pocung).

Tembang macapat dalam buku Serat Wulang Reh, baik yang diterbitkan oleh Penerbit Indah Jaya Surakarta, 1977 (tanpa nama penulis) maupun Penerbit Citra Jaya Surabaya, 1982 (ditulis oleh Darusuprapto) terdiri dari 13 macam tembang (pupuh). Susunan tembang kedua buku tersebut tidak diurutkan sesuai dengan tahap-tahap perkembangan hidup manusia. Jumlah pada/bait setiap macam tembang pada kedua buku tersebut tidak ada perbedaan, sebagaimana terlihat pada tabel berikut ini.

Tabel : Perbandingan Jumlah pada/bait Antara Dua Buku Yang Diteliti

No Nama Tembang

Jumlah pada/bait Pnbt Indah Jaya

Surakarta Pnbt Citra Jaya Surabaya

1 Dandanggula 8 8 2 Kinanthi 16 16 3 Gambuh 17 17 4 Pangkur 17 17 5 Maskumambang 34 34 6 Megatruh 17 17 7 Durma 12 12 8 Wirangrong 27 27

(24)

9 Pocung 23 23

10 Mijil 26 26

11 Asmaradana 28 28

12 Sinom 33 33

13 Girisa 25 25

B. Latar Belakang Pengarang

Serat Wulang Reh adalah kumpulan tembang karya Sri Susuhunan Paku Buwana IV, raja Surakarta. Hal itu dapat dibaca dalam pupuh Girisa pada/bait 24 yang syairnya sebagai berikut.

Titi tamat kang carita serat wawaler mring putra

kang yasa serat punika nenggih Kanjeng Susuhunan

Pakubuwana ping pat hing galih panedyanira kang hamaca kang miyarsa

yen lali muga helinga

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Telah tamat apa yang diceritakan

tulisan pantangan (aturan) kepada para putera yang membuat tulisan ini

adalah Kanjeng Susuhunan Paku Buwana keempat dalam hati diharapkan

bagi yang membaca dan mendengar jika lupa semoga menjadi ingat

Paku Buwana IV yang pada masa kecilnya bernama R.M. Subadya, lahir pada 2 September 1768. Beliau dikenal dengan sebutan Sinuhun Bagus, yang selain tampan secara lahiriah, juga ‘bagus’ secara batiniah. Dalam buku karya Daru Suprapto (1982: 23) figur Paku Buwana IV digambarkan sebagai brikut.

Pujangganipun priyayi luhur hingkang pantes pinundhi-pundhi, hingkang mberkahi lan nyawabi hing jagading bebrayan Jawi, hinggih punika Sri Paku Buwana IV hingkang kasuwur luruh

(25)

bagus hing budi, wimbuh bagus hing rupi, ngantos katelah pinaraban ‘Sinuhun Bagus’.

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah :

Pujangganya priyayi luhur (klas teratas dalam strata sosial masyarakat Jawa) yang pantas dihormati, yang memberi berkah kebaikan dalam kehidupan masyarakat Jawa, yakni Sri Paku Buawana IV yang terkenal mulia budinya, ditambah tampan rupanya, hingga populer dengan panggilan ‘Sinuhun Bagus’.

Paku Buwana IV bertahta sejak 29 November 1788 hingga akhir hayatnya pada 1 Oktober 1820. Beliau adalah raja Surakarta kedua, setelah kerajaan Mataram dibagi dua (palihan nagari) menjadi Surakarta Hadiningrat dan Ngayogyakarta Hadiningrat, yang sekaligus menandai berakhirnya Perang Suksesi Ketiga.

Paku Buwana IV dikenal sebagai raja yang berputera tiga orang raja (peputra tri narendra). Mereka adalah Paku Buwana V (R.M. Sugandi, bertahta 1820-1823), Paku Buwana VII (Pangeran Purubaya, bertahta 1830-1858), dan Paku Buwana VIII (Pangeran Hangabehi, bertahta 1858-1861) (Nurhajarini dkk, 1999: 106; Setiadi dkk, 2001: 200-206). Peristiwa yang kasuistik itu terjadi karena ketika Paku Buwana VI (cucu Paku Buwa IV yang nama kecilnya adalah R.M. Supardan) diasingkan ke Ambon, karena mendukung perjuangan Pangeran Diponegoro, ia belum mempunyai putra makhota. Setelah melalui proses yang rumit dan atas campur tangan residen Belanda ditetapkanlah Pangeran Purubaya sebagai pengganti raja yang kemudian bergelar Paku Buwana VII. Ketika Paku Buwana VII meninggal juga timbul persoalan, karena ia tidak mempunyai putra laki-laki. Sebagai penggantinya adalah Pangeran Hangabehi, kakak tiri Paku Buwana VII, yang kemudian bergelar Paku Buwana VIII (Darsiti Soeratman, 1989: 62-65).

Sehubungan dengan peristiwa yang unik tersebut terungkap cerita yang bersifat mitologis bahwa suatu ketika di bulan Ramadhan,

(26)

biji kurma. Hal itu dianggap sebagai firasat bahwa tiga orang putranya kelak akan menjadi raja. Konon, raja menjadi murung memikirkan firasat tersebut, sebab beliau mengira akan terjadi perebutan tahta di antara putra-putranya (Poespaningrat, 2008: 93). Cerita ini juga diungkapkan oleh Wasesowinoto (2006: 94), bahkan karena kemurungannya itu Susuhanan sempat berniat untuk lengser dan masanggrah di Cemani. Tetapi niat itu tidak sempat terlaksana, karena raja kemudian jatuh sakit yang menyebabkan kemangkatannya.

Dengan karyanya yang diberi nama Serat Wulang Reh itu, Paku Buwana IV menjadi sosok pribadi yang menarik untuk dibahas. Seorang raja telah menghasilkan sebuah karya sastra, apalagi berisi nilai-nilai pendidikan karakter yang tidak lain adalah tuntunan moral atau budi pekerti. Bahkan beliau juga menghasilkan banyak karya sastra lainnya, yaitu Serat Cipta Waskita, Serat Wulungsunu, Serat Wulang Dalem, Serat Serat Brata Sunu, Serat Wulang Putri, Serat Wulang Tatakrama, Serat Panji Raras, Serat Panji Sekar, Serat Panji Dhadhap, dan Serat Panji Blitar. Namun di antara karya-karya sastranya itu yang paling populer hingga kini adalah Serat Wulang Reh. Di dalamnya ditemukan ungkapan-ungkapan pesan moral, antara lain tentang pentingnya marsudeng budi (mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia); patrap tata krama (perilaku sopan). Di sisi lain, dalam perannya yang utama, ia adalah seorang raja yang menjalankan kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan pemerintahan, baik dalam tataran teoritik dan lebih-lebih dalam tataran praktik, pada umumnya jauh dari sentuhan-sentuhan moral.

Penganjur pesan moral dan pelaku kekuasaan pemeritahan seakan dua peran yang sulit dijalankan oleh sosok pribadi yang sama dalam kurun waktu yang bersamaan. Ini peran ganda yang kontradiktif, yang hanya mungkin dilakukan oleh seorang raja yang dalam terminologi

(27)

Jawa disebut raja pinandhita (raja yang berwatak pendeta). Dalam dunia pewayangan, yang tidak lain merupakan dunia ide, sosok seperti itu ditemukan pada diri Begawan Abiyasa. Setelah lengser dari kedudukannya sebagai raja Hastina, ia kemudian menjadi seorang begawan di Pertapan Wukiratawu atau Pertapan Sapta Arga. Presiden Soeharto, tampaknya dalam kesadaran spiritualnya, pernah mengobsesikan dirinya seperti itu, bahwa setelah lengser keprabon, ingin madeg pandhita.

Model kerajaan di Jawa sebagaimana kerajaan-kerajaan pada umumnya sebetulnya merupakan penerapan teori kedaulatan raja (theokrasi). Secara teoritik, kekuasaan raja bersifat absolut dan dalam implementasinya tidak jarang disertai kesewenang-wenangan. Sepanjang sejarah Mataram, sifat itu secara ekstrim hanya ditemukan pada sosok raja Mataram keempat, Sunan Amangkurat I (1619-1677, naik tahta 1646) (baca buku De Graaf, 1987: Disintegrasi Mataram di bawah Mangkurat I ). Dalam kasus karaton Surakarta, termasuk pada masa Paku Buwana IV, kekuasaan yang absolut itu tidak mungkin dijalankan. Hal itu selain karena alasan ideal-normatif, juga alasan faktual-empiris. Secara ideal-normatif, sosok seorang raja dalam perspektif Jawa diformulasikan dalam ungkapan ratu gung binathara mbaudhendha nyakrawati, berbudi bawa leksana, ambeg adil para marta. Artinya, raja besar laksana dewa yang memiliki kekuatan sebagai penguasa dunia, penuh kebaikan budi dan memegang teguh ucapannya, bersifat adil dan bermurah hati (Moedjanto, 1994: 27; Soeratman, 1989: 5; Darban, 1998: 89). Secara faktual-empiris, Paku Buwana IV mewarisi kerajaan yang kekuasaannya sedang melemah, sejak palihan nagari tersebut. Pembagian kerajaan itu berlangsung pada masa pemerintahan ayahnya, yakni Paku Buwana III, berdasar Perjanjian Giyanti pada 13 Februari 1755. Dua tahun kemudian, berdasar Perjanjian Salatiga 17 Maret 1757, wilayah Surakarta dikurangi lagi untuk diserahkan kepada R.M.

(28)

Said (dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa), yang kemudian bergelar Mangku Nagara I.

Sesudah palihan nagari, kondisi karaton relatif aman dan tenteram, dalam arti sudah tidak adanya lagi pemberontakan-pemberontakan yang dipimpin oleh beberapa pangeran yang berpengaruh, terutama Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwana I) dan R.M. Said (Mangku Nagara I). Namun demikian, intrik-intrik di kalangan mereka tetap masih ada. Paku Buwana IV sendiri bahkan pernah menginginkan penyatuan kembali Mataram, namun keinginan itu tidak pernah terlaksana. Kebetulan, raja yang bertahta di Kasultanan Ngayogyakarta pada saat itu adalah Hamengku Buwana I (1717-1792, naik tahta 1755) dan Hamengku Buwana II (1750-1828, naik tahta 1792). Di antara raja-raja dinasti Mataram, keduanya termasuk raja yang kuat dan berani, setelah Sultan Agung. Sementara itu di Surakarta, posisi raja di depan VOC-Belanda semakin lemah, sebab sejak Paku Buwana III, untuk pengangkatan raja harus mendapat persetujuan Gubernur Jenderal Hindia Belanda.

Kondisi karaton yang aman dan tenteram namun memprihatinkan itu memungkinkan penerus tahta untuk melakukan refleksi dan kontempelasi atas berbagai benturan peristiwa di masa lalu. Kondisi seperti itu dapat menjadi faktor eksternal yang mendorong Paku Buwana IV menjadi orang yang lebih spiritualis. Sebagaimana dikemukakan Ilham Khoiri, bahwa konflik, kekerasan, teror, dan rutinitas hidup membuat orang galau, terasing, dan gersang. Sebagian orang lantas berusaha menekuni laku spiritual, yang dianggap bisa membantu menemukan jati diri serta menjalani hidup lebih harmonis (Kompas, Minggu 10 Mei 2009).

Selain faktor eksternal, yang tidak kalah berpengaruh tentu faktor internal Paku Buwana IV sendiri, yaitu kepribadian atau karakternya yang memiliki kecenderungan ke arah moralis-spiritualis. Faktor

(29)

faktor eksternal yang mempengaruhinya. Konon, Paku Buwana IV dikelilingi oleh penasehat-penasehat dan beberapa orang santri yang fanatik paham keislamannya. Darsiti Soeratman (1989: 99) yang disertasinya berjudul Kehidupan Dunia Kraton Surakarta 1830-1939, Dwi Ratna Nurhajarini dkk (1999: 134), dan Andi Harsono (2005: 8) menyebut penasehat Pabu Buwana IV itu bernama Haji Makali, dengan santri-santri utamanya adalah Kyai Bahman, R. Wiradigda, P. Panengah, Kyai Nursaleh, R. Santri, dan R. Kanduruhan. Mereka mempengaruhi Susuhunan agar melawan kekuasaan pemerintah Hindia-Belanda. Dalam pengamatan orang-orang Belanda, kata Poespaningrat (2008: 87), Paku Buwana IV menjadi ‘kacau’ dan menunjukkan secara demonstratif suatu ketaatan yang luar biasa dalam masalah-masalah agama setelah kematian dua orang isterinya secara berturut-turut.

Sesudah berakhirnya palihan nagari dan sekaligus berakhirnya perang suksesi itu merupakan zaman renaisans, yang melahirkan pujangga-pujangga besar. Mereka adalah Yasadipura I, Yasadipura II, dan Ranggawarsita. Karya-karya sastra yang yang dihasilkan oleh Yasadipura I dan Yasadipura II antara lain adalah Serat Darmasunya, Serat Wicara Keras, Serat Sasana Sunu, Serat Panitisastra Jarwa, Serat Arjuna Sasra, Serat Ambiya, Serat Dewaruci, Serat Babad Prayut, dan Serat Babad Pakepung. Karya Yasadipura II yang terkenal adalah Serat Centhini (Suluk Tambangraras). Adapun karya Ranggawarsita (cucu Yasadipura II) antara lain adalah Suluk Saloka Jiwa, Suluk Supanalaya, Suluk Sukma Lelana, Wirid Hidayat Jati, Serat Cemporet serta yang sangat dikenal adalah Serat Kalatida (Poespaningrat, 2008: 93; Darsiti Soeratman, 1989: 112-113). Masa kepujanggaan Surakarta itu berlangsung selama kurang lebih 120 tahun, dihitung sejak Perjanjian Salatiga 1757 hingga wafatnya Ranggawarsita pada 1873 atau mangkatnya Mangku Nagara IV pada 1881 (Hasanu Simon, 2004: 515).

(30)

C. Deskripsi Nilai-Nilai Pendidikan Karakterdalam Serat Wulang Reh Secara harfiah, Serat Wulang Reh berasal dari kata-kata : serat yang berarti tulisan; wulang yang berarti pelajaran atau pendidikan; dan reh yang berarti perintah. Maksudnya adalah tulisan mengenai pendidikan yang berisi pesan-pesan moral atau budi pekerti, yang menuntun ke arah sikap dan perilaku yang baik. Hal itu diungkapkan dalam berbagai ungkapan, seperti marsudeng budi (mengutamakan budi); jatmika hing budi (bagus budi pekertinya); patrap tata krama (perilaku sopan); tindak tanduk kang hutama (perilaku yang mulia); lelabetan kang hutama (pengorbanan yang mulia). Kebalikan dari itu adalah tindak tanduk kang nistha (perilaku yang hina). Dengan demikian kandungan buku tembang Serat Wulang Reh adalah nilai-nilai atau pesan-pesan moral, yang merupakan esensi dari pendidikan karakter (watak).

Dalam tradisi sastra Jawa, buku-buku tembang pada umumnya berisi ajaran moral atau tuntunan budi pekerti yang luhur. Hal itu berbeda dengan gendhing-gending dolanan yang isinya lebih bersifat hiburan. Dalam konteks masa kini, keinginan untuk menjadikan nyanyian atau lagu-lagu agar berfungsi sebagai media pendidikan nilai masih sering mengemuka, tidak hanya dari kalangan pemikir dan praktisi pendidikan, namun juga dari sebagian artis penyanyi itu sendiri. Dalam majalah Kognisia; Media Aspiratif Kritis & Humanis, Lembaga Eksekutif Mahasiswa Fakultas Psikologi UII, yang bertajuk “Mimpi Indah Masyarakat Etis” (No. 02 Tahun II, September 2000), Franky Sahilatua, pelantun lagu Bis Kota, Kereta Malam, Orang Pinggiran, dan Perahu Retak itu mengatakan bahwa ia lebih suka berbicara tentang nilai-nilai dan realitas sosial. Ketika ditanya pesannya untuk generasi muda yang bergelut di bidang seni musik, ia mengatakan : “Pesan saya hanya satu. Kita harus mampu mengangkat tema-tema lagu kita menjadi sarat dengan nilai-nilai. Pemahaman terhadap realitas sosial pun harus kita tingkatkan”.

(31)

Persoalan nilai dan realiatas sosial yang timpang juga mengganggu pikiran Bimbo, kelompok musikus yang melegenda, yang oleh Kompas diangkat dalam rubrik Tokoh Pilihan (Jumat, 11 Sepember 2009). Ia mengemukakan kegelisahannya dalam melihat karut-marut negeri ini. Ia merasakan bangsa Indonesia hari ini sudah kehilangan rasa (roh) Indonesianya. Ada perubahan nilai, perubahan karakter pada bangsa ini. Rasanya ini bukan bangsa Indonesia. Kita kehilangan akhlak santun, budi pekerti, kehilangan nuansa-nuansa filosofis, spiritual. Bangsa ini yang sudah kehilangan rasa saling menghargai, kehilangan rasa kebersamaan dan harmoni, kehilangan rujukan, kehilangan kecerdasan dan kecendekiwanan, dan kehilangan cita-cita besarnya. Terlalu banyak yang hilang dari bangsa ini. Yang tampak ke permukaan adalah individualis, egois, sektarian, maling-maling bergentayangan/ koruptor, kasar dan beringas, kehilangan sense of belonging, sense of responsibility, semangat profit dan percaloan, criminal creative, etos kerja yang rendah, pintar menuntut, pintar menyalahkan. Antar komponen masyarakat seolah-olah ada sekat, bahkan kesenjangan yang tajam. Adapun Serat Wulang Reh, di dalamnya terdapat kandungan nilai-nilai moral atau budi pekerti yang tersebar di 13 pupuh tembang yang ada. Nilai-nilai yang terkandung dalam masing-masing tembang dapat diungkapkan sebagai berikut.

1. Dandanggula

Pupuh Dandanggula terdiri dari 8 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.

o Pentingnya setiap orang memahami pesan, isyarat, atau pelajaran dalam hidupnya, agar manusia mampu menjalankan peran kemanusiaannya.

o Al Quran adalah sumber spirit yang benar, yang tidak semua orang mampu memahaminya kecuali atas petunjuk-Nya. Untuk

(32)

memahami kandungan Al Quran, orang tidak boleh ngawur, melainkan harus berguru.

o Seorang guru harus mempunyai karakter khusus, yaitu baik budi pekertinya, mematuhi hukum (aturan agama), beribadah, dan suka menolong. Lebih baik lagi jia ia seorang pertapa, yang sifatnya amungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi; tidak sombong), dan tidak memikirkan pemberian orang lain.

o Seseorang yang mengajarkan ngelmu (pengetahuan, wawasan, kebijaksanaan) harus bersumber pada dalil (Al Quran), Al Hadits, Ijma’, dan Qiyas.

o Sindiran terhadap kecenderungan yang sudah terjadi pada saat itu, yaitu guru mencari murid, sedangkan seharusnya murid mencari guru.

o Sindiran terhadap orang yang belum matang ruhaninya, namun telah menganggap dirinya setara pujangga. Omongannya tidak karuan, namun ia tak sadar bahwa orang lain mencibirnya. Terhadap orang seperti itu perlu dinasehati dengan halus, agar dapat menangkap pelajaran.

Dari 8 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait kelima, berisi tentang karakter ideal seorang guru, yang hingga kini masih sering dijadikan rujukan dalam wacana etika guru. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Lamun sira hanggeguru kaki hamiliha manungsa kang nyata

hingkang becik martabate sarta kang wruh hing kukum kang ngibadah lan kang wirangi

sukur oleh wong tapa hingkang wus hamungkul

tan mikir pawehing liyan iku pantes sira guranana kaki

(33)

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Jika kalian berguru, ananda

pilihlah manusia yang sunguh-sungguh (yang) baik martabatnya

serta yang tahu hukum (aturan agama) yang taat beribadah dan suka menolong akan lebih baik jika mendapati seorang pertapa

yang sudah menunduk (tidak melihat ke atas, tidak sombong) tidak mengharap pemberian orang lain

itulah orang yang pantas kau jadikan guru maka hendaknya kalian ketahui

Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut.

a. Karakter yang baik :

becik martabate (baik budi pekertinya); wruh ing kukum (mematuhi hukum/perintah agama); ngibadah (beribadah); wirangi (suka menolong); hamungkul (tidak melihat ke atas dalam urusan duniawi; tidak sombong); tan mikir pawehing liyan (tidak mengharap pemberian orang lain)

b. Karakter yang buruk :

cumanthaka (lancang); basa kang kalantur (pembicaraan yang tidak terkontrol).

2. Kinanthi

Pupuh Kinanthi terdiri dari 16 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.

o Pentingnya melatih ketajaman hati (kecerdasan emosional dan spiritual) agar mampu menerima petunjuk, pesan, atau pelajaran.

o Ketajaman hati itu dicapai melalui kebiasaan tidak terlalu banyak makan dan tidur, tidak menuruti segala kesenangan, hidup sederhana/ sesuai kebutuhan, menumbuhkan jiwa kesatria, dan mampu mengendalikan diri.

(34)

o Seorang pemimpin tidak boleh tinggi hati dan tidak berdekat-dekat dengan orang yang mentalnya buruk. Sementara itu, meskipun terhadap orang yang rendah kedudukannya, jika kelakuannya terpuji dan banyak wawasan, maka ia perlu didekati.

o Lingkungan sosial mempunyai pengaruh yang besar terhadap perkembangan kepribadian atau karakter anak-anak muda. Pengaruh yang buruk disebut sebagai panuntuning iblis.

o Anak-anak muda hendaknya suka jejagongan (bertukar fikiran) dengan orang-orang yang lebih tua, serta mendengarkan petuah atau cerita mereka.

o Kritik untuk anak-anak muda yang pada saat itu gejalanya telah mengabaikan sikap rendah hati (handap hasor), bahkan lebih menunjukkan sifat congkak, sombong, dan arogan.

Dari 16 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/bait pertama dan kedua tentang petuah untuk menahan (membatasi) makan dan tidur, yang diulang hingga tiga kali dalam dua pada/bait. Kebiasaan ’menahan makan dan tidur’ merupakan laku (perilaku yang baik, ritual, sikap hidup) yang sangat diutamakan dalam kehidupan orang Jawa. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Padha gulangen hing kalbu hing sasmita hamrih lantip haja pijer mangan nendra

kaprawiran den kaesthi pesunen sariranira sudanen dahar lan guling.

Dadiya lakunireku cegah dhahar lawan guling

lan haja hasukan-sukan hanganggoa sawetawis

(35)

nyuda prayitnaning batin

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Hendaklah kalian melatih hati

agar tajam dalam menangkap pesan/pelajaran jangan terlalu banyak makan dan tidur

pegang-teguhlah sifat kesatria tekanlah dirimu

kurangi makan dan tidur Jadikan kebiasaan hidupmu cegah (tahan; batasi) makan dan tidur

dan jangan menuruti kesenangan secara berlebihan lakukan menurut kepantasan

orang yang menuruti kesenangan secara berlebihan itu tidak baik mengurangi kewaspadaan batin

Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut.

a. Karakter yang baik :

gegulang ing kalbu (melatih hati); haja pijer mangan nendra (jangan banyak makan dan tidur); kaprawiran (perwira, kesatria); pesunen sariranira (tekanlah dirimu); haja asukan-sukan (jangan mengumbar kesenangan); hanganggoa sawetawis (hiduplah secara tidak berlebihan); haja raket lan wong ala (jangan berdekat-dekat dengan orang yang buruk budi pekertinya); handhap hasor (rendah hati); bekti mring wong tuwa (berbakti pada orang tua).

b. Karakter yang buruk :

aras-arasen (bermalas-malas); gunggung diri (mengagungkan diri sendiri; merasa klas tinggi); humuk (pamer); kumenthus klawan kumaki (merasa bisa tanpa memperhitungkan kemampuan); sapa sira sapa ingsun (merasa lebih tinggi derajatnya dibanding orang lain); panasten (berhati panas;

(36)

dengki); dahwen hopen (gemar memberi komentar negatif pada hal-hal yang tidak penting).

3. Gambuh

Pupuh Gambuh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.

o Perilaku yang tidak terkontrol (polah kang kalantur), termasuk perilaku tidak jujur, akan berakibat buruk bagi dirinya.

o Nasehat yang baik itu wajib diikiuti, meskipun berasal dari orang yang rendah status sosialnya (sudra papeki).

o Jangan memiliki sifat hadigang, hadigung, hadiguna. Sifat hadigang itu artinya memamerkan keberanian atau kekuatan phisiknya. Sifat hadigung itu artinya memamerkan kedudukan-nya yang tinggi. Sifat hadiguna itu artikedudukan-nya memamerkan kepandaian atau ketangkasannya.

o Hendaknya dibiasakan sikap tidak grusa-grusu, berhati-hati, bertindak dengan perhitungan, dan waspada.

o Jangan suka mengharap pujian, yang akibatnya justru dapat membuat diri sendiri terjatuh. Bahkan perlu waspada terhadap orang yang suka memuji-muji diri kita dengan motif-motif pribadi.

o Jangan mudah menyanggupi suatu tanggung jawab, sementara kemampuannya belum pernah teruji.

Dari 17 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/ bait keenam, berisi tentang sifat hadigung yang cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Hiku hupaminipun hangendelaken sira hiku

suteng nata hiya sapa hingkang wani hiku hambege wong digung

hing wusana dadi asor

(37)

Itu (maksudnya : bait-bait sebelumnya) suatu perumpamaan kalian menyombongkan diri

(sebagai) keluarga raja, siapa yang akan berani itu watak orang hadigung

yang akhirnya akan menjatuhkan (diri sendiri)

Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut.

a. Karakter yang baik :

rereh-ririh (bersikap tenang; tidak gusar); ngati-ati (hati-hati); waskitha (tahu sebelumnya; waspada).

b. Karakter yang buruk :

polah kang kalantur (perilaku yang tidak terkontrol); hadigang (merasa lebih kuat secara phisik); hadigung (merasa lebih tinggi klasnya); hadiguna (merasa lebih pandai).

4. Pangkur

Pupuh Pangkur terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.

o Dalam menjalani hidup (pengabdian), orang harus mampu membedakan baik dan buruk, memahami adat dan norma (aturan), serta mematuhi tata karma.

o Dalam bertindak hendaknya senantiasa disertai perhitungan dan pertimbangan kepantasan (deduga klawan prayoga).

o Watak seseorang itu dapat dilihat dari perilaku (solah bawa) dan ucapannya (muna-muni).

o Kritik tentang semakin sedikitnya orang yang ucapannya membawa kesalamatan. Sebaliknya yang (kadang kala) dijumpai adalah ucapan yang berisi kebencian, kebohongan, dan membuka kejelekan orang lain.

Dari 17 pada/bait tersebut, perlu diungkapkan di sini kutipan pada/ bait kesepuluh, berisi tentang sifat yang cenderung suka membuka

(38)

kejelekan orang lain dan memamerkan kebaikan diri sendiri. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Halaning liyan den handhar hing beciking liyan dipun simpeni

becike dhewe ginuggung kinarya pasamuwan

nora krasa halane katon ngendhukur wong kang mangkono wateknya

nora pantes den cedhaki

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Kejelekan orang lain diobral

adapun kebaikannya didimpan kebaikannya sendiri yang ditonjolkan

sebagai pameran

tidak merasa bahwa kejelekannya setumpuk orang yang demikian itu wataknya

tidak pantas didekati

Nilai-nilai pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut.

a. Karakter yang baik :

wruh hing adat waton (mengetahui adat dan norma); deduga klawan prayoga (memperhitungkan kepantasan); sumendhe karsane Hyang Agung (berserah diri pada Tuhan); basa kang basuki (pembicaraan yang membawa kesalamatan/ kebaikan; qaalu salaama).

b. Karakter yang buruk :

drengki, drehi (dengki, benci); dora (bohong); murka (rakus, tamak); nora hana mareme (tidak pernah puas, merasa kurang); lawamah (merasa kurang); amarah (pemarah); sungkan kasosor (pantang dibantah); lumuh kahungkulan (tidak mau ada orang lain yang melebihi dirinya); sujanma pangrasane (merasa sebagai manusia yang melebihi orang

(39)

lain); hangrasa luhur (merasa tinggi derajatnya); lonyo (mudah berubah pendirian); lemer (mudah tertarik).

5. Maskumambang

Pupuh Maskumambang terdiri dari 34 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.

o Anak yang tidak mematuhi petuah atau berani pada orang tua adalah anak durhaka, yang akan terlunta-lunta di dunia dan akhirat.

o Konsep tentang sembah lima (sembah di sini tidak selalu diartikan sebagai penghambaan seorang hamba terhadap Tuhan, melainkan dapat diartikan berbakti; kepada lima yang wajib ‘disembah’), yaitu : orang tua (bapak dan ibu), mertua, saudara tua, guru, dan Tuhan Yang Maha Kuasa.

o Dalam hidupnya di dunia, manusia hendaknya taat kepada Tuhan, meskipun telah mempunyai kedudukan terhormat. Tidak ada bedanya antara keluarga raja dengan wong cilik, jika berdosa hukumannya sama.

o Dalam mengabdi kepada raja hendaknya patuh pada perintahnya, rajin seba (menghadap ke karaton), rajin bekerja, setia lahir-batin, menjaga harta karaton, tidak boleh menentang dan tidak boleh membuka rahasia raja.

Dalam pupuh Dandanggula di muka telah diungkapkan karakter ideal seorang guru. Sedangkan dalam tembang Maskumambang yang terdiri dari 34 pada/bait itu digambarkan kedudukan dan peranan guru dalam perspektif filosofi Jawa pada pada 16-17. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Hing sawarah wuruke hingkang prayogi sembah kaping pat

ya marang guru sayekti marmane guru sinembah

(40)

Kang hatuduh marang sampurnaning urip tumekeng hantaka

madhangken pepeteng ati hambeberken marga mulya

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Dalam segala petuahnya yang baik

sembah keempat terhadap guru (sebenarnya)

maka guru disembah

Yang menunjukkan pada hidup yang sempurna hingga akhir hayat

menerangi hati yang gelap mengajarkan jalan kemliaan

Nilai-nilai esensial pendidikan karakter yang terkandung dalam pupuh tersebut adalah sebagai berikut.

a. Karakter yang baik :

ngestokken (memenuhi kesanggupan); prayitna (waspada, hati-hati); haja dupeh wus hawirya (jangan berubah sikap karena sudah berpangkat);gemi nastiti (hemat cermat).

b. Karakter yang buruk :

duraka (bohong); kumawani mring bapa-biyung (berani pada ayah-ibu); ngungasaken (memamerkan); mengeng hing parentah (tidak segera menjalankan perintah); sungkan (pemalas); mlincur ing kardi (malas dalam pekerjaan); ngepluk (terlambat bangun tidur); hangediraken (membanggakan kelebihan).

6. Megatruh

Pupuh Megatruh terdiri dari 17 pada/bait yang berisi pesan-pesan atau ajaran-ajaran sebagai berikut.

o Dalam mengabdi kepada raja hendaknya tidak setengah-hati, tetapi harus mantap, ikhlas lahir-batin, setia, dan patuh segala

(41)

perintahnya. Sikap melawan perintah raja ibarat melawan perintah Yang Maha Agung.

o Bagi mereka yang belum siap mengabdi dengan sepenuh hati, lebih baik membaca kidung lebih dulu. Mereka tidak wajib seba (menghadap ke karaton) dan tungguk kemit (caos, bertugas jaga di karaton).

Semua pupuh Megatruh yang terdiri dari 17 pada/bait tersebut berisi tentang etika pengabdian pada seorang raja. Di sini perlu disajikan kutipan pada 2-3 yang menggambarkan kedudukan raja dalam perspektif filosofi Jawa. Adapun cakepan (bunyi lirik tembangnya) sebagai berikut.

Mapan ratu kinarya wakil Hyang Agung marentahken kukum hadil

pramila wajib den henut kang sapa tan manut hugi mring prentahe sang Katong

Haprasasat mbadal hing karsa Hyang Agung mulane babo wong hurip

saparsa ngawuleng ratu kudu heklas lahir batin haja nganti nemu hewoh

Terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia adalah : Berhubung ratu sebagai wakil dari Yang Agung

memerintahkan hukum adil maka wajib diikuti

barang siapa tidak mematuhi terhadap perintah sang Raja

Sama halnya membangkang terhadap kehendak Yang Agung maka hai semua orang

siapapun yang ingin menghamba ratu harus ikhlas lahir batin

Gambar

Tabel : Perbandingan Jumlah pada/bait  Antara Dua Buku Yang Diteliti

Referensi

Dokumen terkait

Gameplay adalah perpaduan dari konsep tantangan dan aksi dimana secara spesifik, gameplay merupakan aksi yang dapat dilakukan player untuk menyelesaikan tantangan

Sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 32 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 24 tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku

Kombinasi strategi yang dipilih sebagai strategi prioritas untuk pengembangan Sentra Tambak garam rakyat di kawasan pesisir selatan Kabupaten Sampang adalah: (1)

Setiap shift, saat mulai bertugas sehari hari perawat pelaksana diruangan berkeliling mengunjungi pasien yang sedang dirawat.hai ini untuk mengertahui ada tidaknya

Tidak pernah memperhatikan apa yang telah dilakukan oleh unit / karyawan dibawahnya dalam melaksanakan tugas yang ada.. Acuh tak acuh terhadap keberhasilan atau masalah

Perlakuan skarifikasi+KN03 0,5% yang direndam selama 36 jam+suhu 40°C, menghasilkan indeks vigor hipotetik kecambah aren yang semakin besar yaitu 5,52 bila secara

mengalokasikan sebagian besar dari biaya tidak langsung departemental adalah sulit dan bersifat arbitrer. Yang terbaik yan dapat dilakukan adalah melakukan..