• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER Periode 1953-1959

Cakupan :

Halaman 1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode

1953-1959

2

2. Pengerahan Dana Masyarakat 1953-1959 4

3. Sistem Kebijakan Devisa Tahun 1953-1959 10

4. Arah kebijakan 1953-1959 16

5. Langkah-langkah strategis 1953-1959 17

6. Kebijakan Nilai Tukar 1953-1959 18

7. Kebijakan Utang Luar Negeri 1953-1959 19

(2)

1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 1953 - 1959

Setelah kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tanggal 17 Agustus 1950, Indonesia langsung dihadapkan oleh beberapa masalah penting, termasuk masalah ekonomi. Perang kemerdekaan telah mewariskan buruknya kondisi ekonomi yang segera menjadi beban yang harus dipikul oleh republik muda ini. Jatuhnya nilai rupiah dan merosotnya kegiatan ekspor telah meningkatkan laju inflasi dan krisis devisa yang terus berlanjut, bahkan semakin memuncak pada tahun 1954. Sementara itu, pengeluaran pemerintah untuk kegiatan non pembangunan cukup besar. Hal ini berkaitan dengan usaha mengatasi ketegangan antara pusat dan daerah, gerakan separatis DI/TII, serta perseteruan dengan Belanda untuk merebut Irian Barat. Posisi devisa mulai memburuk sejak pertengahan tahun 1951. Posisi tersebut terus berlanjut dan mencapai puncaknya pada bulan April-Mei 1954. Untuk memperbaiki posisi cadangan devisa, pemerintah menempuh beberapa kebijakan yang terfokus pada penggalakan kegiatan ekspor dengan memberikan kemudahan kepada beberapa eksportir. Pemerintah juga melakukan pembatasan impor secara kuantitatif pada pertengahan tahun 1954 dan tahun-tahun berikutnya. Pembatasan impor ini dilaksanakan, antara lain, dengan cara mempertinggi pungutan-pungutan tambahan atas impor. Upaya tersebut berhasil meningkatkan posisi cadangan devisa dari Rp 1,549 miliar pada kurun waktu April-Mei 1954 menjadi Rp 2,731 miliar pada akhir Maret 1955. Peningkatan tersebut juga ditunjang dengan adanya impor-impor tertentu yang dibiayai dengan kredit luar negeri.

Pada kurun waktu 1957-1958, perekonomian Indonesia menghadapi masalah yang semakin berat. Laju inflasi terus meningkat dan terus memperbesar tekanan terhadap posisi cadangan devisa. Secara eksternal, hal tersebut disebabkan oleh resesi di negara-negara industri yang mengakibatkan turunnya permintaan harga bahan mentah sehingga pendapatan hasil ekspor merosot. Secara internal, kondisi ekonomi Indonesia dipengaruhi oleh ketegangan politik dalam negeri yang memuncak pada kurun waktu 1957-1958 serta keterlibatan Indonesia dalam konfrontasi dengan Belanda berkaitan dengan masalah Irian Barat. Oleh karena permasalahan tersebut, agar pemerintahan dapat terus berjalan, Bank Indonesia (BI) terus melakukan pembiayaan deficit spending pemerintah yang terus meningkat.

Pada akhir tahun 1958, beberapa negara di Eropa Barat, yang dipelopori oleh Inggris, Jerman Barat, dan Perancis, mengambil keputusan bahwa mata uang mereka convertible terhadap dollar Amerika. Keputusan itu dibarengi dengan pembubaran European Payments Union (EPU). Perkembangan tersebut menimbulkan dampak negatif bagi Indonesia yang sebelumnya secara tidak langsung ikut serta

(3)

dalam Inter European Convertibility -bagian dari sistem EPU. Sejak saat itu, Indonesia masuk di pasar valuta asing Eropa Barat secara langsung.

(4)

2.Pengerahan Dana Masyarakat 1953-1959

Setelah periode perang kemerdekaan, keadaan ekonomi Indonesia yang memprihatinkan menjadi beban berat bagi bangsa Indonesia pada periode 1950-an. Pada periode itu, dunia perbankan telah mengelola beberapa dana masyarakat dalam bentuk giro, deposito berjangka dan tabungan. Geliat pengerahan dana masyarakat pada periode ini mulai terlihat dalam bentuk transaksi saham atau obligasi pada pasar modal atau bursa efek. Pada periode 1953–1959, secara umum pengerahan dana masyarakat menunjukkan tren meningkat. Peningkatan tersebut disebabkan oleh meningkatnya pendapatan sebagian masyarakat yang juga didukung dengan bertambah luasnya jaringan perbankan. Meskipun terjadi peningkatan, jumlah pengerahan dana masyarakat pada periode ini, secara kuantitatif belum cukup signifikan. Hal tersebut disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor kebiasaan masyarakat yang lebih gemar menanamkan dananya pada suatu aset tertentu dan faktor belum adanya kampanye yang dilakukan oleh pemerintah untuk menggalakkan tabungan. Untuk situasi pasar modal, pada periode ini relatif masih sangat sepi, meski ada beberapa transaksi yang dilakukan.

Dengan luas wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, dengan jumlah penduduk yang besar, serta dengan kekayaan alam yang melimpah, Indonesia membutuhkan dana yang sangat besar untuk membiayai pembangunan. Namun, keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, menyebabkan pengerahan dana masyarakat menjadi sangat penting bagi terlaksananya pembangunan.

Pada artikel ini akan dijelaskan mengenai definisi dana masyarakat dan kondisinya pada periode 1953-1959.

Indonesia dengan luas wilayah yang membentang dari Sabang sampai Merauke, dengan populasi jumlah penduduk yang sangat besar, serta kekayaan alamnya yang melimpah, memerlukan dana yang cukup besar untuk membangun perekonomiannya, agar Indonesia sebagai negara dapat tumbuh dan maju sejalan dengan perkembangan negara lainnya. Namun, keterbatasan dana yang dimiliki pemerintah, tidaklah cukup untuk membiayai usaha pembangunan di Indonesia. Oleh karena itu, diperlukan pengerahan dana masyarakat dan tabungan pemerintah. Dana masyarakat diperoleh melalui simpanan pada lembaga keuangan yang berupa. 1. Giro, simpanan masyarakat pada bank yang penarikannya dapat dilakukan

setiap saat, baik dengan menggunakan cek atau surat perintah pembayaran, atau dengan cara pemindahbukuan.

2. Tabungan, simpanan pihak ketiga pada bank yang penarikannya hanya dilakukan berdasarkan atas syarat-syarat tertentu.

3. Deposito, simpanan dari pihak ketiga pada bank yang penarikannya dilakukan dalam jangka waktu tertentu sesuai perjanjian.

Dana lainnya juga dapat berupa dana yang ditarik oleh perbankan melalui pengeluaran surat-surat berharga dan setoran jaminan.

(5)

Tabungan pemerintah adalah penerimaan rutin yang berasal dari pajak, yang merupakan surplus anggaran rutin. Besarnya bergantung pada besarnya pengeluaran rutin dan kebijakan fiskal. Tabungan pemerintah ini dipergunakan untuk membiayai investasi-investasi pemerintah.

Pasar uang merupakan suatu tempat perdagangan dana-dana jangka pendek berupa surat berharga yang memiliki jangka waktu kurang dari 1 tahun dan dikelompokkan dalam.

1. Pasar kertas-kertas perbendaharaan negara

2. Pasar diskonto: wesel, promes, aksep, sertifikat deposito dengan transaksi atas dasar diskonto

3. Pasar call money: transaksi pinjaman sewaktu-waktu dapat ditagih dan berjangka waktu kurang dari 7 hari

4. Prolongasi: pinjaman kurang dari 1 bulan dengan jaminan efek atau surat berharga

5. Pasar modal adalah suatu tempat penawaran dan permintaan dana jangka panjang, atau tempat saham dan obligasi diperjualbelikan. Di Indonesia, pasar modal dikenal sebagai "bursa efek". Kegiatan bursa efek dapat dibedakan dalam dua golongan, yaitu pasar primer dan pasar sekunder.

Dilihat dari jenis surat berharga yang diperjualbelikan, pasar dapat dibedakan dalam pasar obligasi dan pasar saham. Pasar obligasi memperjualbelikan surat-surat utang, baik yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun badan-badan hukum dengan jangka waktu lebih dari 1 tahun. Adapun pasar saham memperdagangkan surat-surat bukti penyertaan modal dalam suatu perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT). Pengerahan dana masyarakat periode tahun 1953-1959 ini merupakan babak awal Indonesia membangun perekonomiannya melalui pengerahan dana masyarakat dan tabungan pemerintah sebagai modal untuk membiayai pembangunan. Perekonomian Indonesia pada awal periode ini begitu memprihatinkan. Namun, pendapatan sebagian masyarakat meningkat dari tahun ke tahun meskipun pada tahun 1954 mengalami sedikit penurunan.

Peningkatan dana masyarakat di sektor perbankan berupa simpanan giro, tabungan, dan deposito, pada tahun 1953 berjumlah Rp2.637 juta dan pada tahun 1959 berjumlah Rp7.695 juta, atau mengalami peningkatan rata-rata 31,97% per tahun. Latar belakang peningkatan tersebut adalah bertambah luasnya jaringan dan jangkauan bank-bank.

Berdasarkan grafik di atas, terlihat bahwa pada tahun 1959 simpanan dana masyarakat adalah sebesar Rp7.695 juta, turun 18,93% dari tahun 1958 (Rp 9.401 juta). Penurunan ini diakibatkan oleh adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 2 dan No. 3 Tahun 1959, yang membekukan sementara saldo rekening koran dan deposito berjangka dari bank pemerintah dan bank swasta, serta adanya penurunan nilai uang rupiah. Jumlah dana simpanan tabungan dan deposito yang berhasil dihimpun oleh bank-bank pada periode ini sangat kecil. Penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat yang lebih menyukai menanamkan dananya pada aset bergerak maupun yang tidak bergerak. Selain itu, kampanye untuk menggalakkan tabungan masyarakat belum dapat dilakukan secara efektif.

(6)

Anggaran pemerintah pada periode 1953-1959 selalu menunjukkan angka yang defisit. Defisit anggaran ini (ditandai warna merah tua pada grafik di samping) membuat pemerintah tidak dapat membiayai investasi yang tidak bersifat inflatoir. Sebagai upaya menutup kekurangan kas, pemerintah menggunakan pinjaman dari bank sentral yang bersifat inflatoir, dengan catatan :

1. Tidak ada tambahan utang pada tahun 1955, karena adanya peraturan baru tentang bea impor

2. Utang pemerintah kepada Bank Indonesia tahun 1959 lebih kecil daripada tahun sebelumnya, karena adanya perolehan penghasilan dari penurunan nilai uang kertas bank Rp1.000 dan Rp500 menjadi Rp100 dan Rp 50 sebagai dampak dari kebijakan pemerintah pada waktu itu

Deficit spending yang dibiayai dengan pinjaman dari bank sentral telah mengakibatkan terjadinya tingkat inflasi yang cukup tinggi. Bila dilihat dari tingkat harga 19 bahan makanan di Jakarta (indeks 1953 = 100) tampak tingkat inflasi sebagai berikut :

Tabel 1

Tingkat Inflasi Periode 1953-1959 (dalam persen) Tahun Tingkat Inflasi (%)

1954 6 1955 33 1956 14 1957 10 1958 46 1959 21

Sementara itu, kegiatan perdagangan efek di Indonesia telah dimulai sejak sebelum kemerdekaan, bertempat di Jakarta (1912), Surabaya (Januari 1925) dan Semarang (Agustus 1925).

Pada 10 Mei 1940, bersamaan dengan penyerbuan tentara Jerman ke Belanda, bursa efek di Jakarta, Surabaya dan Semarang ditutup. Penutupan bursa tersebut cukup meresahkan para pedagang efek. Maka, pada 23 Desember 1940 bursa efek di Jakarta dibuka kembali. Namun, pendudukan Jepang di Indonesia tahun 1942 menyebabkan bursa efek di Jakarta, Semarang maupun Surabaya ditutup kembali selama kurang lebih 3 ½ tahun.

Kondisi keamanan setelah kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, masih belum stabil dan baru dua tahun kemudian Indonesia mulai memikirkan kembali kegiatan

(7)

bursa efeknya. Pada 3 Juni 1952, bursa efek di Jakarta secara resmi dibuka kembali dengan memperdagangkan:

1. Saham-saham dari perusahaan atau perkebunan Belanda

2. Sertifikat saham perusahaan Amerika yang dikeluarkan oleh kantor administrasi di Belanda

Pada awal tahun 1953, perusahaan bursa di Indonesia masih belum berkembang, karena masyarakat pada umumnya belum mengetahui keuntungan yang dapat diperoleh dari kegiatan bursa. Sebagian besar masyarakat masih memilih menabung dengan membeli barang bergerak maupun tidak bergerak.

Pada masa ini, bursa efek di Jakarta memperjualbelikan obligasi 3% RI 1950 kurang lebih sebesar Rp236 juta nominal. Sementara itu perputaran efek yang paling utama dalam pasar saham adalah saham Escompto Bank N.V., sebanyak kurang lebih Rp4 juta.

Bank Industri Negara mengeluarkan tranche pertama pada 1 Mei 1954, sebanyak Rp50 juta. Sedangkan tranche kedua dengan jumlah yang sama, dikeluarkan pada 1 Desember 1954. Kedua tranche ini hanya disediakan bagi pemegang simpanan rupiah yang dibekukan, yang bukan penduduk Indonesia.

Pengeluaran obligasi BIN ini sukses, karena

1. Dapat diperdagangkan di bursa Jakarta maupun Amsterdam.

2. Pemegang obligasi ini diberikan ijin umum oleh Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) untuk mentransfer bunga dan pelunasannya ke luar negeri, sehingga mereka memperoleh kepastian untuk dapat memindahkan miliknya dalam rupiah ke valuta lain sebagai upaya pelunasan pinjamannya.

Emisi-emisi biasa, baik dari pemerintah maupun dari pihak swasta, dalam tahun 1954 tak terjadi, kecuali emisi saham N.V. Grand Hotel Preanger sebesar Rp80.000. Hasil perdagangan efek di bursa Jakarta pada tahun 1954 mencapai nilai nominal Rp200 juta, sebagian besar berasal dari obligasi 3% RI tahun 1950. Sementara itu, hasil perdagangan saham masih tetap kecil.

Selama tahun 1955 hingga 1956, tidak terdapat pengeluaran saham baik berasal dari pihak pemerintah maupun swasta. Kesulitan untuk memperoleh saham di bursa, memberi peluang bagi lembaga-lembaga penanaman modal untuk meminjamkan kredit jangka panjangnya secara di bawah tangan. Akibatnya, permintaan obligasi berkurang dan memberi dampak pada turunnya penjualan.

Memasuki tahun 1956, perkembangan bursa efek di Indonesia belum menunjukkan perkembangan yang berarti, tetapi Bank Industri Negara tetap menerbitkan obligasi 3% sebesar Rp 100 juta yang hanya dapat dimiliki masyarakat yang bukan penduduk Indonesia.

Sebagai akibat dari pembatalan persetujuan Konferensi Meja Bundar, sesuai dengan UU No. 13 tanggal 15 Februari 1956, Indonesia menyatakan tidak akan membayar

(8)

kembali pinjaman-pinjaman obligasi Belanda dan pinjaman Kotapraja dari masa sebelum perang.

Mengingat bahwa pinjaman tersebut mendapat jaminan dari Kerajaan Belanda, maka pelunasan dan pembayaran bunganya dilakukan dengan mata uang Belanda. Hal ini juga berlaku bagi surat obligasi yang masih berada di Indonesia, kecuali surat-surat yang sejak tanggal 3 Desember 1956 telah menjadi milik Republik Indonesia atau salah satu dari badan-badannya.

Sejak bulan Februari 1955, pemasukan efek ke Indonesia dikenakan bea impor (yang disebut TPI efek) sebesar 33 1/3%. Pada akhir bulan Maret 1957, pendapatan TPI efek, yang telah dikumpulkan semenjak tahun 1955, adalah sebesar Rp 40 juta. Hal ini menunjukkan bahwa pada periode Februari 1955 hingga April 1957, telah diimpor efek-efek yang mempunyai nilai riil kurang lebih sebesar Rp 120 juta. Bagian terbesar dari efek tersebut terdiri dari obligasi 3% Bank Industri Negara.

Sejak tahun 1957, masyarakat Indonesia telah mulai menggunakan jasa bursa efek untuk memperoleh modal jangka panjang. Hal ini dimungkinkan karena BIN telah menempatkan dua dari empat tranche-nya masing-masing sebesar Rp25 juta, berupa pinjaman obligasi 5 1/2% yang jatuh tempo pada tahun 1972 dan terbuka untuk umum.

Di luar bursa masih saja dijual obligasi-obligasi yang menawarkan bunga yang tinggi antara 12%-18%. Kadang-kadang dengan syarat tambahan bahwa di samping bunga tetap, pemegang obligasi berhak atas hak pembagian deviden dari laba perusahaan.

Sebaliknya, kurs saham secara umum menurun dan keadaan bursa efek tidak seramai tahun-tahun sebelumnya. Hal ini disebabkan karena memanasnya permasalahan Irian Barat yang mengakibatkan likuidasi serentak dari depot-depot efek para warga negara Belanda yang pulang ke negerinya dan putusnya lalu lintas efek antara Indonesia dan Belanda.

Sepinya bursa efek juga disebabkan oleh perubahan struktur perekonomian negara menjadi struktur yang bersifat nasional, sehingga jumlah perusahaan yang tercatat dalam bursa efek menurun karena harus mengadakan orientasi baru.

Pada bulan Januari 1959, Bank Industri Negara mengeluarkan tranche yang keempat yaitu obligasi 5 1/2 % yang jatuh tempo pada tahun 1974 sebesar Rp 250 juta. Namun hingga tahun 1960, pinjaman ini baru dapat dialokasikan sebesar Rp106 juta. Keistimewaan pinjaman ini tidak mewajibkan pembeli obligasi untuk menyimpan obligasinya pada salah satu bank penyimpan efek, serta meniadakan penyelidikan oleh jawatan pajak asal mulanya uang yang digunakan sebagai penyertaan pertama dalam setiap pinjaman dan untuk pembelian obligasi.

Memasuki tahun 1959, keadaan bursa efek di Jakarta tidak banyak menunjukkan perubahan. Makin berkurangnya investasi di bursa masih diakibatkan oleh nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, selain kebiasaan masyarakat yang masih memilih cara lama untuk menempatkan modalnya dan kebiasaan dunia perusahaan dalam memilih cara penarikan modal untuk perusahaannya, masih melalui pinjaman kredit jangka panjang dibawah tangan kepada lembaga

(9)

Sebagai upaya meningkatkan tambahan pada bahan investasi di bursa, pada tanggal 25 Agustus 1959, pemerintah melakukan tindakan moneter berupa pinjaman konsolidasi dengan bunga sebesar 3½% pertahun. Namun hingga tahun 1960 pengeluaran pinjamannya masih dalam taraf penyelesaian perhitungan keuangan, sedangkan pengeluaran obligasinya dan pendaftaran dalam buku besar pengakuan hutang masih dalam taraf persiapan. Akibat tindakan moneter tersebut, emisi obligasi 6% berhadiah tahun 1959 dari pemerintah yang direncanakan terbit pada bulan Oktober 1959 ditunda. Realisasinya baru dapat diwujudkan pada awal bulan Februari 1960. Harapan pemerintah dengan adanya pengeluaran kedua obligasi ini adalah perdagangan bursa efek di Indonesia dapat lebih maju dan berkembang. Periode 1953-1959 diwarnai oleh pembiayaan defisit anggaran pemerintah dengan uang muka dari Bank Indonesia. Sementara pengerahan dana masyarakat belum begitu berarti.

Periode 1953-1959 diwarnai oleh kontradiksi pengerahan dana dari sisi masyarakat dan pemerintah. Ketika pengerahan dana oleh masyarakat meningkat, pemerintah justru mengalami defisit anggaran. Sementara itu, kegiatan di lantai bursa belum menggairahkan akibat masih minimnya sosialisasi keuntungan bertransaksi di pasar modal kepada masyarakat

(10)

3. Sistem Kebijakan Devisa Tahun 1953-1959

Pada periode demokrasi parlementer pemerintah menganut "sistem devisa terkontrol" yang berdasarkan deviezen ordonnantie 1940 dan deviezen verordening1940. Kedua undang-undang devisa tersebut pada intinya telah menetapkan cara dan sistem untuk menguasai seluruh penghasilan devisa baik dari masyarakat maupun negara. Nederlandsch Indisch Deviezen Institut (NIDI) yang kemudian menjadi Lembaga Alat-Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN) merupakan badan pemerintah yang berwenang dalam mengatur sistem penyelenggaraan devisa pada saat itu. Selama periode tersebut, pemerintah telah mengambil beberapa kebijakan di bidang devisa dengan tujuan sedapat mungkin menghemat penggunaan devisa yang semakin berkurang. Kebijakan tersebut ditempuh melalui berbagai produk aturan yang berkaitan dengan transaksi pembayaran luar negeri terutama dalam sektor ekspor dan impor.

Dalam Undang-Undang No.11 tahun 1953 pasal 13 ayat 9, dinyatakan bahwa salah satu pekerjaan Bank Indonesia adalah “mengurus dan menyelenggarakan administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri Republik Indonesia.” Alat-alat tersebut dikenal dengan nama devisa.

Pada artikel ini akan dibahas mengenai kebijakan devisa yang diambil pemerintah di tengah-tengah kondisi dalam negeri yang tidak mendukung. Dimulai dengan pembentukan LAAPLN hingga dikeluarkannya “Sumitro Reform” pada bulan September 1955.

Dalam pasal 13 ayat 9 UU Pokok Bank Sentral No. 11 Tahun 1953, ditetapkan bahwa salah satu tugas Bank Indonesia adalah mengurus dan menyelenggarakan administrasi persediaan alat-alat pembayaran luar negeri Republik Indonesia yang dikenal dengan nama devisa.

Devisa dapat berupa antara lain valuta asing yang dimiliki oleh sebuah negara sebagai alat pembayaran internasional yang catatan kursnya tersedia di Bank Sentral.

Pada periode ini pemerintah menganut sistem devisa berdasarkan "Deviezen Ordonantie 1940 dan Deviezen Verordening 1940". Berdasarkan ketentuan tersebut pemerintah menganut sistem devisa terkontrol yang pada hakekatnya menetapkan penguasaan seluruh devisa masyarakat oleh pemerintah.

Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, sistem tersebut dikenal dengan istilah "Rezim Devisa Terkontrol". Dalam sistem ini segala perijinan dan lalu lintas devisa diatur oleh Nederlandsch Indisch Deviezen Instituut (NIDI) dengan sistem dan prosedur yang rumit. Kemudian, lembaga ini diganti menjadi Deviezen Instituut Voor Indonesie (DIVI) dan dipimpin oleh sebuah dewan yang diketuai oleh Direktur Perekonomian.

Pada tahun 1949, DIVI diganti lagi menjadi Lembaga Alat Alat Pembayaran Luar Negeri (LAAPLN). Sebelum 1 Juli 1953, LAAPLN berada dibawah De Javasche Bank,

(11)

Berkaitan dengan hal tersebut, semua valuta asing yang diperoleh dari hasil ekspor harus diserahkan kepada badan yang ditunjuk pemerintah saat itu bernama dana devisa dan berada di bawah pimpinan De Javasche Bank.

Pada awal berdirinya Bank Indonesia 1 Juli 1953, Indonesia masih menerapkan kebijakan devisa dengan sistem terkontrol. Dalam sitem ini devisa hanya boleh dikuasai dan diawasi oleh negara. Kebijakan devisa merupakan salah satu komponen kebijakan penting dalam pembangunan negara.

Sementara itu keadaan ini dalam negeri pada saat itu sangat tidak mendukung untuk meningkatkan perolehan devisa. Bahkan cadangan devisa Indonesia makin berkurang. Hal tersebut antara lain dipengaruhi oleh:

1. Jatuh bangunnya Sistem Pemerintahan Parlementer. 2. Produktivitas ekonomi yang rendah.

3. Pemogokan besar-besaran di sentra perkebunan. 4. Penyelundupan karet yang merajalela.

5. Inflasi diakibatkan oleh defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Pemerintah. 6. Impor makin meningkat.

Keadaan ini menyebabkan penerimaan devisa hanya bertumpu kepada volume ekspor, pajak ekspor, dan bea masuk Impor. Padahal volume ekspor sangat ditentukan oleh biaya produksi yang meningkat. Di samping itu, produksi dan kualitas komoditi ekspor Indonesia pada saat itu masih kurang menggembirakan. Pada tahun 1953, upaya merangsang ekspor dilanjutkan dengan memberlakukan system inducement. Dalam sistem ini, pemerintah memberikan rangsangan kepada eksportir hasil-hasil rakyat berupa premi sebesar 6%-10% dalam bentuk hak/bukti (inducement). Bukti (inducement) ini merupakan hak membeli atas sejumlah devisa yang dapat diperdagangkan.

Sebaliknya, jumlah impor dibatasi dengan cara memberlakukan biaya Tambahan Pembayaran Impor (TPI) untuk barang-barang impor. Besarnya TPI berkisar antara 33 1/3% sampai dengan 200%. Pada bulan April 1953, penghematan devisa semakin ditingkatkan dengan cara menaikkan uang muka impor dari 40% menjadi 75%, kecuali uang muka impor untuk bahan baku dan barang-barang modal sebesar 50%. Bulan September 1953, Indonesia melakukan perubahan hubungan dagang dengan Hongkong, yang dikenal kemudian dengan "Barter Hongkong". Eksportir diperkenankan mengimpor barang dari Hongkong maksimum sama dengan nilai ekspornya. Selain itu Kementerian Perekonomian memberi ijin kepada eksportir untuk mengadakan "Transaksi Paralel Istimewa" yng memungkinkan eksportir dapat mencantumkan harga dibawah harga pasar dunia dalam transaksi luar negeri.

Memasuki tahun 1954, tindakan penghematan devisa makin ditingkatkan. Bulan Januari 1954, pemerintah melakukan pembatasan jumlah dana yang boleh ditransfer pekerja asing hanya sebesar 20% dari penghasilannya. Selain itu, laba perusahaan asing yang boleh ditransfer maksimum 60%, sedangkan sisanya yang 40% disetorkan, ke dalam rekening yang dibekukan di Bank Indonesia. Untuk transfer penyusutan, tidak disediakan devisa.

(12)

Dana dan laba yang ditransfer tersebut dikenakan bea sebesar 66 2/3%. Disamping itu bagi pihak yang mengimpor surat berharga atau efek dikenakan Bea sebesar 33 1/3% .

Di lain pihak, selain melakukantindakan penghematan devisa, pemerintah juga meningkatkan usaha untuk memperoleh devisa. Pada Bulan November 1954, eksportir wajib menyerahkan uang jaminan sebesar 15% dari nilai kontrak valutanya, dengan maksud agar eksportir tersebut akan menjual devisanya kepada negara.

Usaha penghematan devisa pun terus berlangsung. Bulan Juli 1955 berlaku ketentuan bukti impor sementara yaitu sertifikat yang harus dimiliki importir untuk memperoleh ijin mendapatkan devisa.

Untuk meningkatkan penerimaan Negara sertifikat dimaksud dijual kepada importir dengan harga berkisar 25% sampai 100% dari harga barang yang akan diimpor. Pada bulan September 1955 diterbitkan Kebijakan dalam Bidang Impor yang dikenal dengan : "SUMITRO REFORM" yang bertujuan menyederhanakan, dan menghapuskan beberapa Ketentuan Impor yang berbelit-belit dan saling tumpang tindih.

Pada ketentuan baru, Importir yang akan mendapat lisensi impor dikenakan Bea Tambahan Pembayaran Impor 50%-400% dari nilai impor sebagai uang muka. Dengan rincian :

Golongan I = 50% Golongan II = 100% Golongan III = 200% Golongan IV = 400%

Beberapa ketentuan yang dihapus, yaitu ketentuan tentang Bukti Impor Sementara, Bukti Impor Tekstil, dan Transaksi Paralel Istimewa. Masih dalam bulan yang sama, pemerintah menerbitkan kebijakan bidang import yang terkait dengan Penanaman Modal Asing (PMA) dan Pinjaman Luar Negeri. Hal ini memang tidak berhubungan langsung dengan pemasukan devisa, tetapi menjadi sarana yang efektif dalam rangka penghematan devisa.

Di lain pihak masih dalam koridor untuk meningkatkan penerimaan devisa dengan menumbuh kembangkan kemampuan eksportir komoditi Teh dan tembakau.

Pada bulan Oktober 1955 diberlakukan ketentuan pemberian premi ekspor sebesar 5%-10% dari harga ekspor komoditi lemah disamping dibebaskan dari pajak ekspor. Sedangkan ekspor komoditi kuat tetap dikenakan pajak ekspor, seperti kopra, minyak sawit, tembakau, gula dan karet.

Masih dalam rangka mendorong ekspor, pada bulan Maret 1956 pemerintah menaikan premi ekspor seperti komoditi Serat preminya sebesar 25%, untuk komoditi kapuk preminya sebesar 15%. Dan berlaku ketentuan ekspor tembakau berdasarkan konsinyasi.

(13)

Tahun yang sama bulan Agustus, kebijakan yang telah ditetapkan sebelumnya disempurnakan dengan tujuan untuk menggalakkan ekspor dan diberlakukan ketentuan Bukti Pendorong Ekspor (BPE), dengan rincian sebagai berikut:

1. BPE berupa sertifikat

2. Sertifikat dapat diperjual belikan dengan harga pasar

3. Eksportir memperoleh Premi bervariasi 2% ~ 20% dari F.O.B 4. Nilai Nominal Sertifikat dinyatakan dalam mata uang negara Ekpor

5. Jangka waktu sertifikat 4 bulan dan bulan ke 5 dapat diuangkan melalui Dana Devisa. Ketentuan tersebut tidak berlaku bagi Eksportir yang mengekspor Gula,Timah serta Minyak dan hasil olahan Minyak yang lain.

Permintaan sertifikat BPE sebagian besar datang dari importir sehingga mendorong kenaikan laju impor, pembatasan impor dilakukan dengan menyesuaikan penggolongan barang impor semula terdiri empat golongan dirobah menjadi sembilan golongan dengan catatan golongan golongan I bebas dari TPI sedangkan golongan II s.d golongan lX dikenakan TPI mulai dari 25% sampai dengan 400%. Sampai dengan pertengahan tahun 1957 Bukti Pendorong Ekspor memberi perkembangan positif, dengan meningkatnya nilai ekspor.

Permintaan sertifikat BPE sebagian besar datang dari importir sehingga mendorong kenaikan laju impor, pembatasan impor dilakukan dengan menyesuaikan penggolongan barang impor semula terdiri empat golongan dirobah menjadi sembilan golongan dengan catatan golongan golongan I bebas dari TPI sedangkan golongan II s.d golongan lX dikenakan TPI mulai dari 25% sampai dengan 400%. Sampai dengan pertengahan tahun 1957 Bukti Pendorong Ekspor memberi perkembangan positif, dengan meningkatnya nilai ekspor.

Pada tanggal 20 Juni 1957 Dewan Moneter mengeluarkan keputusan No.30 tentang pemberian sertifikat Bukti Ekspor kepada eksportir dengan ketentuan sebagai berikut:

1. Sertifikat berlaku selama dua bulan dan dapat diperdagangkan melalui bank dalam jangka waktu tersebut.

2. Pembeli sertifikat yang diizinkan hanya importir yang mempunyai izin impor dan atau mereka yang mempunyai izin transfer.

3. Semua penerima valuta asing yang berasal dari ekspor atau jasa dikenakan pajak atau Pembayaran Bukti Ekspor sebesar 20% dari harga efektif Bukti Ekspor. Bersamaan dengan itu, pemerintah melepaskan nilai rupiah dari kurs resmi dan membiarkan kurs terbentuk berdasarkan permintaan dan penawaran yang terpimpin, antara lain hanya pemegang izin impor yang dapat membeli devisa dan pembelian devisa untuk memindahkan modal tidak diizinkan. Melalui pelepasan nilai rupiah tersebut, maka nilai tukar rupiah di pasar bebas bergerak dari Rp 31 per US$ pada akhir tahun 1956 menjadi Rp 49 pada akhir tahun 1957 dan pada akhir tahun 1958 sebesar Rp 90.

Berkaitan dengan ketentuan tersebut importir diwajibkan membayar uang jaminan sebesar 20% dari harga c&f kepada Dana Devisa. Barang impor dibagi menjadi enam golongan. Masing-masing golongan barang impor ini dikenakan Tambahan Pembayaran Impor (TPI) sebesar 0% untuk golongan I, 20% untuk golongan II,

(14)

50% untuk golongan III, 100% untuk golongan IV, 140% untuk golongan V, dan 175% untuk golongan VI.

Disamping itu, kurs Bukti Ekspor (BE) meningkat dengan cepat. Jika pada Juni 1957 tercatat 220, tetapi pada Maret 1958 meningkat menjadi 322, sehingga permintaan devisa juga ikut betambah. Untuk menahan laju permintaan devisa tersebut, Dewan Moneter memutuskan sejak tanggal 19 April 1958, kurs maksimum BE dibekukan pada tingkat 332 dan kembali pda “fixed rate system”.

Nilai ekspor pada tahun 1957 yang tercatat sebesar Rp 11.052 juta merosot menjadi Rp 8.612 juta di tahun 1958. Hal ini disebabkan oleh:

1. Terjadinya gangguan keamanan dan dilaksanakannya operasi militer. 2. Terjadinya perdagangan barter di beberapa daerah di Indonesia. 3. Kesulitan pengangkutan

4. Terjadinya penyelundupan disebagian besar perairan Indonesia

Di sisi lain terjadi perkembangan politik yang kemudian berpengaruh pada Devisa Negara, yaitu ditandatanganinya Perjanjian Perdamaian antara Republik Indonesia dengan Pemerintah Jepang pada tanggal 20 Januari 1958, perjanjian ini secara resmi mengakhiri keadaan perang yang diwarisi dalam perang Dunia II sekaligus mengatur tentang pembayaran Pampasan perang oleh Jepang kepada Indonesia.

Dalam tahun itu terjadi lonjakan Penambahan Devisa, hingga mencapai sebesar Rp. 1.770 juta, hal ini diperoleh atas penghapusan hutang dagang yang terakumulasi sebesar Rp. 1.336 juta, sehingga posisi devisa pada akhir Juni 1958 sebesar Rp 4.464 juta,- Bersamaan dengan itu perkembangan perekonomian semakin kondusif karena :

1. Beberapa daerah pengekspor komoditi handalan yang dikuasai Pemberontak mampu dibebaskan sebelum pertengahan 1958.

2. Masalah pengambilalihan Perusahaan Belanda oleh Pemerintah Indonesia dapat diatasi dalam jangka waktu yang relatif pendek.

3. Secara berangsur-angsur produksi dalam negeri pulih kembali.

Dalam tahun ini Kebijakan Pembatasan Impor guna menghemat devisa masih terus dilaksanakan dengan diberlakukannya peraturan LAAPLN No. A. 80 tanggal 3 Februari 1958 mengenai uang Jaminan Impor harus dibayar Importir saat mengajukan Ijin Impor dan kenaikan Uang Jaminan Impor yaitu :

1. Tanggal 3 Februari 1958 dari 20% naik menjadi 100%

2. Tanggal 31 Desember 1958 dari 100% naik menjadi 133 1/3% 3. Tanggal 15 April 1959 dari 133 1/3% menjadi 230%

Dengan sistem dan kebijakan devisa yang dilaksanakan tahun 1959 dan tahun sebelumnya telah mampu menambah jumlah devisa dan pada tahun itu tercatat sebesar Rp. 10.599 juta atau bertambah sebanyak 51,69% dari tahun 1958.

Dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 tahun 1959 tentang Penghapusan Sistem Bukti Ekspor berlaku mulai tanggal 25 Agustus 1959, karena

(15)

sistem tersebut membawa dampak negatip pada tersedianya devisa dalam jumlah yang cukup disamping sertifikat mempunyai ciri floating rate sistem.

Di samping itu diterbitkan pula Peraturan Pemerintah No.42 tahun 1959 tentang Pungutan Ekspor dan Impor yaitu :

Bidang Impor

1. Pungutan impor ditetapkan atas dasar nilai C & F 2. Pungutan TPI mulai dari 0% s.d 200%

3. Kewajiban menyediakan jaminan dihapus Bidang Ekspor

1. Pungutan ekspor 20 % dari harga penjualan berdasarkan kurs baru.

Selain itu Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1959 tentang Devaluasi mata uang Rupiah semula US$ 1 = Rp 11,40 berobah menjadi US$ 1 = Rp 45 dengan sistem fixed rate. Dengan demikian, secara umum sistem dan kebijaksanaan devisa periode 1953-1959 ditandai dengan meningkatnya nilai ekspor, serta diterapkannya kebijakan yang dapat mendorong eksportir untuk meningkatkan ekspornya dan membatasi nilai impor. Meskipun dalam perjalanannya dari tahun ke tahun diwarnai dengan fluktuasi, namun pada akhirnya mampu meningkatkan devisa. Dengan demikian, hasil kebijakan devisa 1953-1959, telah memberikan harapan dan menghantarkan cita-cita menuju kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.

Secara umum, kebijakan devisa periode 1953-1959 berkonsentrasi untuk menambah devisa dari luar serta menghemat devisa yang berada di dalam negeri. Dalam pelaksanaannya, pemerintah berusaha menggiatkan ekspor dan membatasi impor. Hasilnya, jumlah devisa pada tahun 1959 tercatat sebesar Rp 10.599 juta, jauh meningkat dari posisi tahun 1953 yang sebesar Rp 764 juta.

(16)

4. Arah kebijakan 1953-1959

Pada periode ini kondisi ekonomi dan situasi politik kurang menguntungkan.

Pada periode ini kondisi ekonomi dan situasi politik kurang menguntungkan. Di bidang ekonomi, terdapat dua issue penting yang sangat berpengaruh ;

1. sisi supply (out-put riil) belum memenuhi kebutuhan karena pembangunan ekonomi belum tertangani secara memadai,

2. pembiayaan pembangunan masih didominasi Pemerintah, padahal pendapatan Pemerintah setiap tahunnya selalu lebih rendah dibanding pengeluarannya. Di bidang politik, persatuan nasional sebagaimana dicita-citakan bangsa Indonesia belum menjadi kenyataan, hal ini tercermin oleh masih terjadinya pemberontakan-pemberontakan maupun gangguan keamanan di berbagai wilayah. Kondisi-kondisi tersebut mengakibatkan peningkatan pada sisi pengeluaran Pemerintah yang jauh melebihi sisi penerimaan sehingga menimbulkan difisit APBN yang semakin membesar pula. Tidak diperolehnya solusi lain untuk mengatasinya mana defisit APBN tersebut ditutup dengan uang muka dari Bank Indonesia yang pemenuhannya dilakukan dengan cara pencetakan uang. Hal ini mengakibatkan pertambahan uang beredar yang tidak diimbangi oleh peningkatan out riil sehingga mendorong kenaikan harga (inflasi).

Oleh karena itu, kebijakan moneter diarahkan untuk menekan tingkat inflasi melalui kebijakan-kebijakan moneter yang kontraktif. Di bidang devisa, kebijakan-kebijakan devisa diarahkan untuk mendorong ekspor dan menekan impor.

(17)

5. Langkah-langkah strategis 1953-1959

Upaya menekan laju inflasi pada periode ini lebih banyak dilakukan melalui sektor moneter, yaitu berupa pembatasan pagu kredit dan larangan pemberian kredit bagi sektor ekonomi tertentu.

Upaya menekan laju inflasi pada periode ini lebih banyak dilakukan melalui sektor moneter, yaitu berupa pembatasan pagu kredit dan larangan pemberian kredit bagi sektor ekonomi tertentu. Sementara itu, upaya pencukupan suplai barang tidak dilakukan secara memadai. Dengan demikian maka kebijakan-kebijakan moneter tidak bisa berjalan secara efektif karena belum terarah ke peningkatan out-put rill. Di bidang devisa, arus devisa keluar dikontrol secara ketat baik melalui prosedur perizinan maupun melalui pemberlakuan nilai tukar di atas nilai tukar resmi. Sementara itu, ekspor didorong melalui pemberian insentif ekspor, namun kebijakan ini juga tidak efektif karena masih terbatasnya komoditas yang dapat diekspor.

(18)

6. Kebijakan Nilai Tukar 1953-1959

Pada awal periode ini, Indonesia mengalami kemerosotan cadangan devisa yang diatasi antara lain dengan memberlakukan System Bukti Ekspor (BE) sejak 20 Juni 1957.

Pada awal periode ini, Indonesia mengalami kemerosotan cadangan devisa yang diatasi antara lain dengan memberlakukan System Bukti Ekspor (BE) sejak 20 Juni 1957. Dalam system ini, eksportir memperoleh sertifikat BE dari bank pada saat menyerahkan devisa hasil ekspornya. BE ini dinyatakan dalam Rupiah sebesar Rp.11,40 setiap USD1,- dan harus dijual di bursa BE walaupun hanya boleh dibeli oleh importer yang mempunyai izin impor atau perorangan yang mempunyai izin transfer. Oleh karena itu indeks BE tersebut dapat berubah-ubah sesuai perkembangan di bursa BE. Dengan lain perkataan, nilai tukar Rupiah bagi devisa hasil ekspor pada dasarnya diambangkan secara terbatas.

Berhubung indeks BE tersebut meningkat dengan pesat hingga Maret 1958, hal mana mencerminkan permintaan lebih tinggi dari penawaran maka pada tanggal 18 April 1958 system BE dicabut dan Indonesia kembali menerapkan system nilai tukar tetap yaitu Rp.11,40 per USD1,-

Sementara itu, penerapan system devisa terkontrol yang antara lain berupa larangan pembelian devisa bagi pihak-pihak selain pemegang izin impor dan semua pihak untuk pemindahan modal, telah mendorong berkembangnya nilai tukar Rupiah di pasar bebas yang cukup cepat. Kondisi ini kurang memberikan dorongan bagi pengembangan ekspor.

(19)

7. Kebijakan Utang Luar Negeri 1953-1959

Sejalan dengan hasil keputusan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Negeri Belanda, bahwa jumlah utang luar negeri penguasa pendudukan Belanda dibebankan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang mencapai sebesar ƒ 1.559,7 juta.

Sejalan dengan hasil keputusan perundingan Konferensi Meja Bundar (KMB) di Negeri Belanda, bahwa jumlah utang luar negeri penguasa pendudukan Belanda dibebankan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang mencapai sebesar ƒ 1.559,7 juta. Selain itu Pemerintah Republik Indonesia juga dibebani utang jangka pendek sebesar ƒ 2.859 juta yang merupakan utang lancar Belanda untuk membiayai defisit keuangan negara sebelum tahun 1949. Dengan demikian keseluruhan utang yang menjadi beban Pemerintah Republik Indonesia mencapai ƒ 4.418,7 juta atau USD 1.159,1 juta. Dapat diinformasikan bahwa hutang tersebut diperoleh oleh penguasa pendudukan Belanda antara lain dari bantuan pinjaman program Marshall Aid dari Pemerintah Amerika Serikat , dan juga diperoleh utang-utang luar negeri dari negara-negara lainnya.

Dalam perkembangan selanjutnya, pada bulan April 1958 Pemerintah Jepang menghapus utang jangka pendek (hutang dagang) Indonesia setara Rp 1.336 juta, sebagai bentuk pembayaran pampasan perang. Penghapusan utang dagang tersebut telah mengurangi beban utang luar negeri yang menurun sangat tajam dari Rp 1,9 milyar pada akhir Maret menjadi Rp 578 juta pada akhir Juni 1958. Penghapusan utang tersebut menyebabkan dampak positif pada neraca pembayaran, serta menyebabkan posisi cadangan devisa resmi pada Bank Indonesia dan Dana Devisa meningkat tajam pada akhir tahun 1958.

Referensi

Dokumen terkait

Intra- sectoral linkages Inter- sectoral linkages Inter- sectoral linkages +1 +1 +1 +1 Infra- structure Employment 9/12/2013 LSB PEE DOSEN UB 75. Comprehensive and

Mengingat adanya dampak negatif yang ditimbulkan oleh adanya buangan cair tekstil yang merupakan masalah utama buangan cair yang dihasilkan oleh buangan industri yang

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya telah memberikan kekuatan pikiran dan kesehatan kepada penulis, sehingga penulis

Program pendidikan doktor diharapkan dapat berkontribusi pada peningkatan kualitas keskolaran dari mahasiswa, sehingga setelah lulus mampu menjadi pengajar, peneliti dan

Adapun faktor eksternal yang telah disurvai pada remaja di Indonesia adalah Peran orang terdekat yang meliputi teman, ibu, ayah, saudara, kerabat, guru, petugas kesehatan, to-

Hasil penelitian ini untuk selanjutnya dapat dijadikan dasar ilmiah, untuk kajian pelatihan manajemen stress Supernol, dalam mengatasi adanya tindak

Tidak lupa pula penulis ucapkan terima kasih kepada semua pihak, baik dari pihak STIE Perbanas Surabaya maupun Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Pratama Surabaya

Hasil Analysis Hierarchy Process (AHP) merumuskan lima prioritas alternatif sebagai formula dan rekomendasi Pemerintah Daerah Kabupaten Indramayu dalam upaya pengem-