• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA MELAYU DI TANJUNG BALAI. penjelasan tentang kata Melayu menjadi penting, sebagai upaya kita dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA MELAYU DI TANJUNG BALAI. penjelasan tentang kata Melayu menjadi penting, sebagai upaya kita dalam"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM MASYARAKAT DAN BUDAYA MELAYU DI TANJUNG BALAI

2.1 Suku Melayu

Dalam usaha memberikan gambaran tentang kesenian gubang, maka penjelasan tentang kata Melayu menjadi penting, sebagai upaya kita dalam memahami keberadaan Gubang. Sampai saat ini defenisi kata Melayu memiliki banyak pengertian dan makna yang berbeda dari masing-masing pendapat. Kata Melayu memiliki arti yang berbeda sesuai dengan konteks di dalam penggunaannya. Hal ini disebabkan karena ada beberapa pengertian berdasarkan “bahasa,” pengertian “ras,” pengertian etnis “suku bangsa,” dan ada pula pengertian Melayu berdasarkan kepercayaan atau religi (Lukcman Sinar, 2005:1).

Menurut berbagai sumber sejarah yang dapat disimpulkan, kata Melayu dikatakan sebagai sebuah kelompok etnik,yang dapat ditelusuri melalui munculnya istilah Melayu. Istilah ini muncul berdasarkan cerita dari sebuah kerajaan di daerah Jambi yang ada pada masa kerajaan Sriwijaya. Pada masa itu kata Melayu dipakai sebagai nama tempat yang menunjukkan daerah Jambi sekarang, hal ini dapat ditelusuri dan sudah disebut dalam catatan I-Tsing yang mengunjungi Sriwijaya pada tahun 685 M. Berdasarkan kronik dinasti I-Tsing di Cina, terdapat nama kerajaan di Sumatera yang disebut Mo-Lo-Yue. I-Tsing adalah seorang pendeta Budha yang dalam perjalanannya menuju India pernah tinggal di kerajaan Sriwijaya untuk mempelajari bahasa Sansekerta selama enam bulan. Setelah itu ia kemudian

(2)

pergi ke kerajaan Melayu dan tinggal disana selama enam bulan sebelum melanjutkan perjalanannya ke Keddah dan India. ( Luckman Sinar: 2002:1)

Pemahaman selanjutnya tentang kata Melayu adalah sebagai ras, budaya dan orang yang menganut ajaran Islam atau agama Islam. Istilah Melayu biasanya dipergunakan untuk mengidentifikasi semua orang dalam rumpun Melayu Austronesia yang meliputi wilayah Semenanjung Malaya, kepulauan nusantara, kepulauan Filipina dan pulau-pulau di lautan Fasipik Selatan. Dalam pengertian umum orang Melayu adalah mereka yang memiliki ras Melayu. Suku Melayu adalah golongan bangsa, yang menyatukan dirinya dalam perbauran ikatan perkawinan antar suku bangsa dan dalam kehidupan sehari-hari mereka menjalankan adat resam dan bahasa Melayu secara sadar dan berkelanjutan (T. Lah Husni, 1975:7).

Sejalan dengan itu, menurut Sinar (2002:17), definisi Melayu sejak peng-Islamannya di abad ke 15 M sebagaimana dikemukakan oleh penguasa kolonial Belanda dan Inggris serta para sarjana asing lainnya adalah sebagai berikut: “seseorang disebut Melayu apabila ia beragama Islam, berbahasa Melayu sehari-hari dan beradat istiadat Melayu”. Adapun adat Melayu itu adalah “adat bersendi hukum syarak, syarak bersendi kitabullah”. Sehingga orang Melayu adalah etnis yang ada karena adanya persamaan budaya yang dilakukannya dalam kehidupan, dan bukan harus secara geneologis atau keturunan.

Dalam menjalani kehidupannya, suku Melayu berazaskan pada lima falsafah dasar yakni:

1. Melayu itu Islam, yang sifatnya universal dan demokratis bermusyawarah. 2. Melayu itu berbudaya, yang sifatnya nasional dalam bahasa, sastra, musik, tari,

(3)

3. Melayu itu beradat, yang sifatnya regional (kedaerahan) dalam Bhinneka Tunggal Ika, dengan tepung tawar, balai pulut kuning6

4. Melayu itu terurai, yang tersusun dalam masyarakat yang rukun dan tertib mengutamakan ketentraman dan kerukunan, hidup berdampingan dengan harga menghargai timbal balik, bebas tapi terikat dalam masyarakat.

, dan lain-lain yang mengikat tua dan muda

5. Melayu itu berilmu, artinya pribadi yang di arahkan kepada ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan agar bermarwah dan disegani orang untuk kebaikan umum

Ke lima falsafah dasar ini menjadi pegangan bagi orang Melayu, dengan menjadikan Islam sebagai agama yang dianut menjadi dasar, pedoman dalam setiap sendi-sendi kehidupan. Ajaran Islam tidak bertentangan dengan adat dan kebiasaan kehidupan masyarakat, berdampingan dengan pola berprikemanusiaan dan ber-Tuhan. Dalam budaya tidak bertentangan dengan masyarakat yang ingin beradab dan meningkatkan lahiriah dan batiniah. Adat tidak bertentangan dengan masyarakat yang ada rasa kekeluargaan dan bukan individualistis. Berurai tidak bertentangan dengan masyarakat yang tahu harga diri yang ingin kebenaran, keadilan, dan kemakmuran yang merata dalam kehidupan. Berilmu tidak bertentangan dengan masyarakat yang ingin maju untuk kepentingan diri dan

6

Tepung tawar adalah acara dalam memberikan ucapan doa, pada seseorang dengan

menaburkan bunga dan percikan air di kepala dan tangan. Biasanya yang memberikan adalah orang tua ataupun keluarga dari penerima tepung tawar. Balai atau bale adalah sebuah kotak yang terbuat dari kayu berbentuk segi empat bersusun tiga buah (kotak kecil disusun paling atas, lalu kotak sedang dan terakhir kotak besar dan diberi penyangga di bawahnya) yang diberi ornament motif Melayu di sekeliling kotak, digunakan sebagai tempat meletakkan pulut (ketan), serta diberi hiasan berupa kertas warna warni yang dibuat seperti bendera dan ditusukkan di pulut serta diberi hiasan berupa wadah telur (kadang-kadang di atas pulut diberi daging atau ayam yang sudah di masak).

Tepak Sirih adalah sebuah kotak yang berbentuk empat persegi panjang terbuat dari kayu, berisi, dan

bersekat-sekat sebagai tempat sirih dan kelengkapannya, tepak sirih ini ditujukan bagi tamu-tamu sebagai penghormatan.

(4)

masyarakatnya. pengabdian adalah pada Allah, manusia dan lingkungan, untuk kebahagiaan diri sekarang dan nanti.

Selanjutnya menurut Husni (1975:100), sebutan bagi orang Melayu Sumatera Timur, adalah turunan campuran antara orang Melayu yang datang dari Johor, Malaka, Riau dan sukubangsa yang datang dari Aceh, Karo, Mandailing, Jawa, Bugis, Minang dan lainnya seperti Arab, India yang merasa dan mengamalkan adat resam Melayu serta beragama Islam. kelompok-kelompok etnik ini memakai bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dalam pergaulan antara sesamanya dan dengan orang daerah lain. Demikian juga dengan masyarakat kota Tanjung Balai yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam menyebut dirinya dengan suku Melayu atau biasa disebut dengan suku Melayu Asahan.

2.2 Struktur Masyarakat Melayu

Masyarakat Melayu menjalani kehidupan tidak terlepas dengan system dalam struktur masyarakat berkaitan dengan adat dan kebiaaan yang sudah berjalan secara turun temurun. Struktur kehidupan masyarakat Melayu pada umumnya, di bagi dalam dua golongan, yaitu golongan bangsawan dan golongan rakyat atau orang kebanyakan. Golongan bangsawan sudah ada sejak adanya kerajaan yang kemudian membedakan antara golongan bangsawan dengan golongan rakyat atau kebanyakan. Kita dapat melihat melihat status seseorang apakah dari golongan bangsawan atau dari rakyat dari gelar yang ada di depan namanya. Masing-masing urutan gelar diberikan berdasarkan martabat dan kedudukannya dalam masyarakat seperti Tengku, Raja, Wan, Datuk,/Jaya, Orang Kaya, Encek/Tuan. Gelar Tengku yang berhak memakainya adalah dari turunan Sultan dan kerabatnya, dan turunan yang datu-nininya dulu mempunyai daerah otonom sendiri serta biasa dipanggil

(5)

dengan sebutan tuanku. Pengertian Tengku sendiri dapat diartikan dengan berbagai arti seperti pemimpin atau guru, baik dalam akhlak, agama serta adat. Sementara dalam konteks kebangsawanan seseorang dapat memakai gelar Tengku apabila ayah dan ibunya bergelar Tengku, atau ayahnya bergelar Tengku dan ibunya tidak Tengku, jadi gelar Tengku diwariskan berdasarkan hubungan darah, atau keturunan. Gelar raja yang diberikan untuk melihat status seseorang adalah sebuah gelar dalam pengertian golongan bangsawan, dalam hal ini gelar raja bukan dalam pengertian sebagai kedudukan dalam pemerintahan untuk memimpin sebuah kerajaan. Raja adalah gelar yang dibawa oleh bangsawan Indragiri (siak) ataupun anak bangsawan dari daerah Labuhan Batu, Bilah, Panai, Kualuh dan Kota Pinang. Pengertian Raja di daerah Melayu tersebut adalah sebagai gelar yang diturunkan secara hubungan darah, bukan seperti yang diberikan oleh colonial Belanda. Oleh pihak Belanda gelar raja tersebut diberikan baik kepada mereka yang mempunyai wilayah pemerintahan hukum yang luas ataupun hanya mengepalai sebuah kampung kecil saja, yang sebenarnya hanya kepala atau ketua saja. Menurut keterangan sultan Deli, Tengku Amaludidin II, yang termaktub dalam suratnya yang ditujukan kepada Gubernur Sumatera Timur tahun 1933, bahwa kalau seorang perempuan dengan gekar Tengku menikah dengan seorang bergelar Raden dari Tanah Jawa atau seorang yang bergelar Sutan dari Pagaruyung Sumatera Barat, maka gelar Raja, berhak dipakai bagi keturuna atau anak-anak yang lahir dari pernikahan tersebut.

Selanjutnya gelar wan didapat jika seorang perempuan Melayu bergelar

Tengku kawin dengan seorang yang bulan Tengku atau dengan orang kebanyakan,

maka anak-anaknya berhak mekakai gelar wan. Begitu juga dengan anak-anak laki-laki keturunan mereka seterusnya berhak memakai gelar ini. Sedangkan untuk anak

(6)

wanita tergantung dengan siapa dia menikah, jika martabat suaminya lebih rendah dari wan, maka gelar ini akan hilang dan tidak berhak dipakai anaknya dan keturunannya, karena keturunannya akan mengikuti gelar suaminya.

Gelar kebangsawanan datuk awalnya dari kesultanan aceh baik langsung maupun melalui perantara Sultan Aceh di Deli. Gelar ini diberikan kepada seseorang yang mempunyai kekuasaan daerah pemerintahan otonomi yang dibatasi oleh dua aliran sungai. Batas-batas ini disebut dengan kedatuan atau kejeruan. Anak laki-laki turunan dari datuk berhak atas gelar datuk pula, sedangkan untuk anak datuk yang perempuan berhak mendapat gelar aja. Sultan atau raja dapat memberikan gelar datuk kepada seseorang yang dianggap berjasa untuk kerajaannya. Adapaun encik atau tuan merupakan panggilan kehormatan untuk masyarakat biasa.

2.3 Sejarah Kota Tanjung Balai

Kota Tanjung Balai merupakan salah satu kota yang ada di Propinsi Sumatera Utara, yang awalnya masuk dalam wilayah Kabupaten Asahan. Kota Tanjung Balai berawal dari Sejarah Kerajaan Asahan yang dimulai dengan penobatan raja pertama kerajaan Asahan bertempat di Kampung Tanjung. Penobatan raja yang terjadi pada tanggal 27 Desember 1962 kemudian ditetapkan menjadi “Hari Jadi Kota Tanjung Balai” yang ditetapkan dengan surat keputusan DPRD Kota Tanjung Balai Nomor: 4/DPRD/TB/1986 tanggal 25 November 1986. Penetapan tanggl 27 Desember merupakan penghargaan dan kenangan atas jasa Sultan Iskandar Muda sebagi pendiri Kota Tanjung Balai yang wafat pada tanggal 27 Desember tahun 1636.

(7)

Asal mula nama Kota Tanjung Balai, bermula dari sebuah kampung yang ada disekitar Ujung Tanjung di muara Sungai Silau dan aliran Sungai Asahan. Ujung Tanjung ini memiliki sebuah Bandar kecil tempat persinggahan orang-orang yang ingin bepergian ke hulu Sungai Silau. Lama kelamaan Bandar kecil ini semakin ramai karena tempatnya yang strategis sebagai tempat melintas orang-orang yang ingin bepergian. Akhirnya kesibukan dari sebuah tempat persinggahan ini dinamai dengan Kampung Tanjung, dan orang biasa menyebutnya dengan

balai “di Tanjung”. Ditemukannya Kampung Tanjung kemudian menjadikan

daerah ini menjadi semakin ramai dan berkembang menjadi sebuah negeri. Penabalan Sultan Abdul Jalil sebagai raja pertama Kerajaan Asahan di Kampung Tanjung menjadi awalnya sejarah pemerintahan Kerajaan Asahan pada tahun 1620.

Kota Tanjung Balai yang semula sebuah kota kecil, lama kelamaan menjadi kota yang padat, dikarenakan adanya pelabuhan dan menjadi kota perdagangan yang cukup ramai karena adanya pelabuhan yang menjadi pintu masuk ke daerah Asahan. Akhirnya kota ini menjadi daerah yang penting dalam perkembangan perekonomian, dan menjadi daya tarik bagi pendatang untuk tinggal menetap. Selain sebagai kota pelabuhan kota ini juga menjadi tempat kedudukan Asisten Resident untuk memperlancar kegiatan perkebunan, maskapai Belanda, sehingga mereka membuka kantor dagangnya di kota ini. Kota Tanjung Balai juga menjadi tempat kedudukan Sultan Kerajaan Asahan.

(8)

Gambar 2.1Kantor perusahaan guntzel & Schumacher di Jalan Heerenstraat di Tanjung Balai tahun 1917 (sumber: www.google.com)

Gambar 2.2. Pelabuhan di Kota Tanjung Balai yang sudah ada sejak masa pemerintahan Belanda (sumber

(9)

Kota Tanjung Balai sebelumnya masuk dalam wilayah Kabupaten Asahan, namun pada tahun 1956 dikeluarkan Undang-undang Darurat No 9 dengan mengganti nama Haminte Tanjung Balai menjadi kota kecil Tanjung Balai dan Jabatan Walikota terpisah dari Bupati Asahan berdasarkan surat Menteri Dalam Negeri tanggal 18 September 1956. Selanjutnya dengan UU No. 1 Tahun 1957 kota Kecil Tanjung Balai diganti menjadi Kotapraja Tanjung Balai. Sementara itu tercatat 17 Kepala daerah yang pernah memimpin Kota Tanjungalai sejak tahun 1946 sampai sekarang.

Perkembangan kota Tanjung Balai sangat pesat dan jumlah penduduk cukup padat, bahkan kota ini pernah menjadi kota terpadat di Asia Tenggara dengan jumlah penduduk lebih kurang 40.000 orang dengan kepadatan penduduk lebih kurang 20.000 jiwa per Km², dengan luas wilayah hanya 199 Ha (2 Km²) menjadi 60 Km². Jumlah penduduk yang padat, menjadikan kota ini daerah yang berkembang dengan ditunjang adanya pelabuhan. Akhirnya kemudian kota ini diperluas menjadi 60 Km² dengan terbitnya peraturan pemerintah RI No. 20 Tahun 1987 tentang perubahan batas wilayah Kota Tanjung Balai dan Kabupaten Asahan. Akhirnya berdasarkan Sk Gubsu No. 146.1/3372/SK/1993 tanggal 28 Oktober 1993, desa dan kecamatan yang ada dimekarkan serta seluruh desa berubah status menjadi kelurahan, berdasarkan Perda No 23 tahun 2001. Kemudian pada tahun 2005 dikeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Kota Tanjung Balai No 4 tanggal 4 Agustus tentang pembentukan kecamatan Datuk Bandar Timur dan No 3 tahun 2006 tanggal 22 Pebruari tentang Pembentukan Kelurahan pantai Johor di Kecamatan Datuk Bandar, maka Kota Tanjung Balai yang semula memiliki 5 Kecamatan berubah menjadi 6 Kecamatan dan 31 Kelurahan. yaitu:

(10)

1. Kecamatan Datuk Bandar 2. Kecamatan Datuk Bandar Timur 3. Kecamatan Tanjung Balai Selatan 4. Kecamatan Tanjung Balai Utara 5. Kecamatan Sei. Tualang Raso 6. Kecamatan Teluk Nibung.

Secara geografis kota Tanjung Balai terletak diantara 2⁰ 58’ LU dan 99⁰ 48’ BT, dengan luas wilayah 60,529 Km² (6.052,9 Ha), berada dikelilingi oleh wilayah Kabupaten Asahan terdiri dari:

1. Sebelah Selatan dengan Kecamatan Simpang Empat 2. Sebelah Utara dengan Kecamatah Tanjung Balai 3. Sebelah Timur dengan Kecamatan Sei Kepayang 4. Sebelah Barat dengan Kecamatan Simpang empat

(11)

Gambar 2.1: Peta Kota Tanjung Balai

(12)

Topografi daerah ini terdiri dari Asahan Bawah berupa dataran rendah dengan ketinggian dari permukaan laut 0-25 meter. Asahan Tengah berbukit-bukit dengan ketinggian 25-50 meter dari permukaan laut. Asahan Atas yang berbatas dengan Kabupaten Simalungun dan Tapanuli Utara, yang merupakan dataran tinggi. Kota Tanjung Balai sendiri dialiri dengan sungai Asahan dan Sungai Silau serta beberapa sungai yang kecil-kecil. Keadaan topografi datar, berawa-rawa dan sekeliling kota terdapat persawahan pasang surut (sumber data statistik kota Tanjung Balai 2010).

2.4 Masyarakat Kota Tanjung Balai

Berdasarkan cerita rakyat dan kepercayaan masyarakat setempat, penjelasan tentang masyarakat Tanjung Balai juga membicarakan tentang masyarakat Asahan. Daerah Asahan dahulu didiami oleh “orang Hulu”7

Berdasarkan sejarah yang diungkapkan dalam buku “Hari Jadi Kota Medan”, tulisan dari Arifin. Masayarakat Tanjung Balai dari awal terdiri dari 4

dibawah dipimpin seorang Raja Putri yang bernama raga Simargolang. Kerajaan ini Asahan ini berkedudukan di Huta Bayu atau Pulu raja (sekarang Pulau Rakyat). Raja Simargolang memerintah dengan sangat bijaksana dan disukai oleh rakyatnya. Dengan berjalannya waktu, kemudian wilayah Asahan dipimpin oleh Kesultanan Asahan I yaitu Sultan Abdul jalil, seorang putra dari Sultan Aceh Iskandar Muda,. Pada masa pemerintahan Sultan Abdul Jalil, pusat pemerintahan dipindah dari Sei Asahan ke Tanjung Balai, yang mengakibatkan berpindahnya penduduk dari Hulu Sei Asahan ke Tanjung Balai sebagai ibukota Kesultanan.

7

Tentang “Orang Hulu” dikatakan berasal dari etnis Batak yang masih menganut kepercayaan Animisme/Dinamisme. Namun penjelasan tentang hal ini masih perlu penelitian lebih lanjut, penulis belum mendapatkan sumber lain yang dapat mengungkap tentang “Orang Hulu” ini.

(13)

etnis yaitu: Siti Ungu dari keturunan Minang Kabau (Pagaruyung), Abdul jalil dari Aceh, Bayak Lingga/karo-karo (Karo) dan Simargolang dari Batak. Keempat suku inilah yang kemudian melahirkan etnis/suku Melayu sebagai suku setempat Kota Tanjung Balai sampai sekarang. Selain dari keempat suku ini, suku Melayu di Tanjung Balai juga berasal dari suku-suku pendatang dari hasil perkawinan dengan penduduk setempat, maupun berdasarkan keinginan dari etnis pendatang untuk menjadi etnius Melayu.. Saat ini perkembangan penduduk di Tanjung Balai sangat cepat dan jumlah suku yang ada juga sangat beragam dengan segala macam adat budayanya, yang menyatu dengan budaya setempat, yang menjadikan keberagaman dari segala adat dan budayanya.

Tabel 2.1: Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa

NO ETNIK JUMLAH 1. Jawa 17,06 2. Melayu 15,29 3. China 9,33 4. Madina 8,39 5. Minang 3,58

6. Batak (Simalungun, Toba, Pakpak) 42,56

7. Aceh 1,11

8. Nias 0,15

9. Karo 0,73

10. Lainnya 1,68

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Balai (Thn 2010)

Dilihat dari tabel di atas, masyarakat Kota Tanjung Balai terdiri dari beragam suku pribumi yang ada di Sumatera Utara, ditambah dengan suku pendatang, yang berbaur dengan suku setempat yang bersuku Melayu. Dominan suku yang paling banyak adalah dihuni oleh suku Jawa, kemudian suku Melayu diikuti suku China, Tapanuli Selatan, Minang, Aceh, Toba, Karo, Nias, sementara suku Batak (Simalungun, Toba, Pak-pak) menjadi satu dengan jumlah 42,56%, suku lainnya

(14)

berjumlah 1,68%. Kesemua suku-suku yang ada ini berinteraksi secara baik, dengan saling menghargai adat-istiadat yang dimiliki oleh masing-masing suku, dan menghormati perbedaan yang ada. Mereka hidup secara berdampingan, rukun, dan saling membantu diantara yang membutuhkan. Interaksi yang demikian ini bisa dilihat, setelah mereka berada bersama masyarakat setempat yang bersuku Melayu, dimana perlahan-lahan banyak suku di luar Melayu yang mengikuti adat budaya Melayu, terutama bagi mereka yang memeluk agama Islam. Hal ini juga dimungkinkan karena suku Melayu bukan hanya berdasarkan keturunan, tetapi ada juga yang berdasarkan dengan keakuan dari masyarakat sendiri yang menginginkan menjadi Melayu dengan ciri-ciri, berbahasa Melayu, beragama Islam dan mengikuti adat budaya Melayu. Hal ini bisa dipahami apabila kita melihat peta di bawah ini yang menunjukkan kota Tanjung Balai berada dipesisir pantai, dimana umumnya masyarakat bersuku Melayu, sehingga masyarakat pendatang dengan keikhlasannya menjadikan dirinya sebagai suku Melayu.

Dalam menjalankan kehidupan, masyarakat pendatang juga mengikuti adat budaya Melayu dikarenakan begitu kuatnya adat dan resam Melayu dalam kehidupan masyarakat di Tanjung Balai. Mereka dalam melaksanakan atau melakukan acara-acara adatnya, memasukkan unsur adat budaya Melayu dalam pelaksanaan kegiatan mereka. Penyertaan tepung tawar, balai, tepak sirih, dalam kebiasaan adat Melayu yang digunakan dalam acara pinang meminang, upacara perkawinan, penabalan anak (aqiqah), juga digunakan dalam acara adat suku lain, yang menunjukkan kebersamaan, dan keikutseretaan mereka sebagai suku pendantang, dengan menjadikannya sebagai adat mereka juga. Selain ketiga unsur Melayu ini, dalam setiap acara adat, masyarakat menambahkannya dengan kesenian seperti penyertaan kesenian (tari, musik) yang digunakan sebagai hiburan, dengan

(15)

kesenian Melayu sebagai materi utama dalam hal ini tari persembahan dengan musik makan siring sebagai pengiring tarian. Selain itu ada juga qasidah, bordah, hadrah, yang sangat kental dengan unsur-unsur islam.

2.5 Sistem Kekerabatan

System kekerabatan pada masyarakat melayu dalam prinsip keturunan, yang mengikat kelompok sosial di Kota Tanjung Balai adalah prinsip bilateral yang menghitungkan hubungan kekerabatan melalui pria ,maupun wanita. Dalam sistem kekerabatan pada masyarakat Kota Tanjung Balai juga dikenal adanya istilah menyebut dan istilah menyapa atau panggilan dalam hubungan antar keluarga, maupun dengan orang lain. Hubungan ini bisa kita lihat apabila Seorang suami menyapa istrinya dengan hoi, ahoi yang artinya dia, bisa juga dengan langsung menyebut namanya atau nama kecilnya. Sebaliknya istrinya dapat memanggil dengan kebiasaan dionyo, yang artinya dianya. Jika sudah mempunyai anak, maka keduanya beralih dengan adat teknonimi, suami menyapa dengan ibumu, sedang istrinya menyapa dengan ayah.

Dalam memberikan sebutan untuk anak laki-laki biasa dipanggil dengan ucok, sedangkan sebutan untuk anak perempuan adalah butet. Panggilan untuk saudara sekandung mempunyai cara tersendiri, yaitru untuk saudara laki-laki yang senior biasa dipanggil abah, sama artinya dengan abang. Ini yang membedakan panggilan untuk saudara tidak sekandung. Sedangkan untuk panggilan saudara perempuan yang senior adalah kakak. Panggilan untuk saudara sekandung yang laki-laki maupun yang perempuan ada Sembilan tahapan, anak yang pertama dipanggil ulong, kedua ongah, ketiga alang, keempat uteh, kelima iyong, keenam

(16)

angga, ketujuh busu, kedepalan uncu, kesembilan ocik (yang paling kecil),

kemudian anak kesepuluh kembali lagi istilahnya kepada anak yang pertama yaitu

ulong dan seterusnya.

Sebutan atau sapaan untuk saudara sekandung dari pihak ayah adalah uwak untuk saudara laki-laki atau saudara perempuan yang senior, sedangkan pakcik untuk saudara laki-laki, bunde untuk saudara perempuan yang yunior. Sebutan untuk saudara sekandung dari pihak ibu yang senior baik laki-laki maupun perempuan adalah uwak, kepada adik laki-laki incek, untuk adik perempuan dipanggil ibu. Di sini anak bunde yang laki-laki boleh kawin dengan anak uwak laki-laki yang perempuan yang biasa disebut dengan peseloroan, sama dengan

pariban pada suku Batak.

Tahap-tahap sepanjang hidup individu pada massyarakat Tanjung Balai dikenal dengan istilah masa bayi, penyapihan, kanak-kanak, remaja, perkawinan dan hidup sesudah nikah, masa tua dan kematian. Masa bayi biasyanya orang tuanya mendatangi rumah dan memperkenalkan kepada tetangga atau kaum kerabat yang belum pernah melihatnya. Kemudian kaun kerabat atau tetangga yang didatangio tersebut langsung memberikan gula kemulut bayi atau menyapukan bedak kemukanya. Kemudian mereka akan memberikan berupa uang yang langsung diikatkan diujung kaiin gendingan si bayi.

Memasuki masa remaja bagi laki-laki adalah ditanai dengan peristiwa sunatan. Upacara sunatan bagi keluarga yang mampu seringkali diadakan pesta besar-besaran disertai dengan pertunjukan berupa kesenian silat, gubang, hadrah, atau nassid. Peertun jukan silat biasnaya digunakan untuk mengarak ketempat guru mengaji karena secara tiudak langsung laki-laki yang akan disunat tersebut harus selesai khatam Al Quran.

(17)

Masa peralihan terpenting dalam hidup adalah perkawinan. Tahapan-tahapan upacara yang dilalui dalam perkawinan cukup banyak, mulai dari menentukan jodoh, merisik, melamar, menentukan hari baik, upacara perkawinan,

mebat (mengunjungi mertua) dan yangh terakhir adalah menetap. khusus disini adat

yang paling unik adalah sesudah perkawinan, karena malam pengantin orang tua dari pihak laki-laki memberikan kain putih untuk alas tidur, ini membuktikan apakan pengantin perempuan masih perawan atau tidak, esok harinya pada pagi hari mertua perempuan mendatangi kamar pengantin untuk menaburkan bunga rampai di tempat tidur, lalu kedua telinga menantunya dipegang oleh mertuanya dengan mengucapkan gurus semangatnyo, yang maksudnya adalah biar jangan terkejut semangatnya. Kemudian mertua perempuan memberikan bahan dapur atau bahan belanjaan yang mentah agar dimasak menantunya, setelah masal lalu dianatar oleh kedua pengantin kerumah mertuanya diiringi oleh beberapa anggota keluarga perempuan.

Pelaksanaan mebat, adalah berkunjung kerumah mertua dan kerabat yang dekat. Keluarga yang didatangi biasanya selalu memberikan bekal berupa uang ataupun bakal baju atau kain sarung ataupun kain panjang, ini diberikan agar pulangnya pengantin baru tersebut jangan disapo jalan (ketegutran).

Adat menetap setelah perkawinan yang ideal bagi masyarakat adalah menetap sendiri dalam sebuah rumah tangga. Adat ini umumnya dilakukan pasangan yang sudah mempunyai penghasilan sendiri, misalnya menjadi pegawai negeri, menjadi pedagang atau yang lainnya. Pasangan berusia muda biasanya menetap dulu di rumah orang tua secara virilokal atau uxorilokal, tergantung tempat yang lebih memungkinkan untuk ditinggali. Anak yang kawin belakangan, biasanya anak bungsu, juga menjadikan rumah orang tua sebagai pilihan tenmpat tinggal

(18)

sementara, namun kadang-kadang akan ditinggali selamanya apabila orang tua kedua belah pihak mengehendaki mereka untuk menempati rumah orang tuanya.

2.6 Mata Pencaharian

Seperti yang sudah di jelaskan di awal bab II, wilayah Kota Tanjung Balai dikelilingi oleh dua sungai besar dan sungai kecil serta menjadi tempat pelabuhan yang cukup sibuk bagi lalu lintas perdagangan. Wilayah yang demikian ini menjadikan sektor kelautan sebagai tempat sebahagian besar masyarakat dalam mencari kebutuhan hidup yaitu sebagai nelayan. Hal ini dikarenakan banyaknya hasil tangkapan yang mereka dapatkan dari laut, serta sebagai pedagang dikarenakan adanya pelabuhan besar yang berada di Tanjung Balai. Namun saat ini sekitar 64 % sebagian besar penduduknya hidup dari sektor pertanian, dan sebagaian lain memilih pekerjaan sebagai nelayan, buruh, pegawai negeri, TNI/Polri, yang pada umumnya dipilih oleh suku pribumi, sedangkan pedagang menjadi mata pencaharian yang mayoritas dikuasai oleh suku China. Sumber mata pencaharian yang beragam ini, menjadi pilihan bagi masyarakat Tanjung Balai dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Wilayah Tanjung Balai yang dialiri Sungai Asahan dan Sungai Silau serta sungai-sungai kecil menyebabkan banyaknya terdapat tanaman pantai seperti, bakau, nipah dan lain-lain, yang ditanam dan tumbuh sendiri sebagai penguat tanah dari terjadinya erosi. Tanaman-tanaman pantai ini kemudian dimanfaatkan oleh masyarakat terutama pengusaha, yang jeli dengan sumber yang bisa didapat dari tanaman ini. Tanaman ini kemudian mengilhami pengusaha untuk mendirikan pabrik rokok, dengan daun nipah sebagai bahan utama, dan menjadi sumber tambahan bagi kaum wanita dalam membantu pendapatan suami mereka. Kaum

(19)

wanita ini kebanyakan bekerja sebagai buruh pabrik yang ada di kota Tanjung Balai, atau berjualan dengan membuka warung di rumah. Salah satu pabrik yang ada di Kota Tanjung Balai yang berada di Kecamatan Teluk Nibung pada saat itu adalah pabrik rokok, yang dibuat dari daun nipah. Pekerjaan di pabrik rokok dibutuhkan karyawan yang banyak, disebabkan banyak pekerjaan yang masih dilakukan secara manual, sehingga membuka peluang bagi masyarakat untuk bekerja dan menambah penghasilan.

Kehidupan nelayan sangat menjanjikan bagi masyarakat Kota Tanjung Balai, walau di satu sisi sumber laut yang melimpah membuat sebahagian masyarakat tidak menjadikan sekolah sebagai hal yang utama bagi anak-anak mereka. Anak-anak usia sekolah lebih memilih bekerja di laut dari pada harus belajar di sekolah. Mereka dengan mudahnya mendapatkan uang hanya dengan memungut hasil tangkapan para nelayan yang terjatuh atau tercecer, atau membantu mengangkat kerangjang ikan. Disisi lain, kehidupan nelayan menjadi satu insfirasi bagi para seniman dalam mendapatkan ide-ide baru untuk menciptakan berbagai karya seni yang juga dapat menjadi sumber pendapatan bagi mereka.

2.7 Agama dan Kepercayaan

Menurut Wilkinson dalam Takari dan Dewi (2008:46), “Seorang Melayu adalah beragama Islam. Misalnya masuk Melayu berarti masuk Islam.” Ciri kemelayuan yang identik dengan Islam ini masih dipertahankan hingga sekarang. Oleh karena itu, Kota Tanjung Balai masih dipandang sebagai daerah Melayu karena mayoritas penduduknya beragama Islam (81,99%), seperti dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

(20)

Tabel 2.2: Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama NO Agama JUMLAH 1. Islam 81,99 2. Protestan 7,78 3. Katholik 1,06 4. Budha 9,07 5. Hindu 0,08 6. Lainnya 0,02

Sumber: Badan Pusat Statistik Kota Tanjung Balai

Pada awalnya masyarakat Tanjung Balai sebelum Kota Tanjung Balai menjadi pusat pemerintahan Negeri Asahan, mereka menganut kepercayaan Animisme dan Dinamisme, yang percaya pada segala sesuatu yang dianggap memiliki kekuatan dan dapat membantu mereka. Masuknya Islam, dimana ajarannya tidak bertentangan dengan kehidupan masyarakatyang kemudian banyak dianut oleh masyarakat, kemudian perlahan berkembang, dan dimasa pemerintahan Sultan Abdul Jalil, Agama Islam kemudian mulai berkembang dan menjadikan agama mayoritas yang dianut oleh masyarakatnya. Pada masa ini mulailah kebudayaan Islam mempengaruhi kebudayaan yang dimiliki oleh masyarakat Asahan termasuk masyarakat Tanjung Balai. Pengaruh Islam ini begitu kuat dalam kehidupan masyarakat, dan menjadikannya sebagai pedoman dalam mengembangkan kebudayaan termasuk kesenian. walaupun pengaruh Islam sangat besar, namun bentuk-bentuk kesenian yang lama tetap dilakukan dengan memasukkan unsure-unsur dalam ajaran islam, sehingga kesenian-kesenian ini bisa diterima oleh masyarakat, terutama oleh kaum ulama. Pengaruh budaya Islam dapat ditemukan dalam peristiwa budaya yaitu:

(21)

1. Apabila seseorang pendatang masuk Islam, maka ia akan disebut “masuk Melayu”, karena orang Melayu harus beragama Islam.

2. Anak laki-laki yang berkhitan maka ia disebut “masuk Melayu”

3. Masuknya penduduk suku Minangkabau, Mandailing dan Jawa yang sudah menganut agama Islam, makin memperkuat pengaruh Islam di Asahan.

4. Berkembangnya ajaran Tuan Syekh Hasyim Tua yang berasal dari Tapanuli yang mendirikan ASIT (Asahan Syariat Islam Tapanuli) pada 14 Desember 1914 5. Berkembang ajaran Muhammadiyah yang dibawa oleh Guru Besar Ustaz Abdul

Hamid yang berasal dari Tanjungbali mendirikan “Madrasatul Ulumil Arabiyah” sebagai pusat pendidikan Agama Islam.

6. Adat istiadat dan seni budaya yang semula dipengaruhi mistik, kemudian berubah, dengan munculnya kesenian yang bernuansa Islam (kaligrafi, qasidah, music gambus dan rebana) sebagai media penyebaran agama Islam, yang akhirnya menjadi budaya masayarakat Asahan sampai sekarang.

2.8 Kesenian

Kesenian di Tanjung Balai digunakan untuk berbagai kegiatan yang berfungsi sebagai upacara, hiburan maupun pertunjukan. Pada awalnya kesenian yang ada dipengaruhi oleh adanya mistik yang dipercayai dapat membantu masyarakat dalam mencapai apa yang diinginkan. Namun lama kelamaan seiring dengan berjalannya waktu dan kedatangan pedagang bangsa Arab yang berdagang sambil berdakwah menyebarkan agama Islam, menyebabkan bentuk-bentuk kesenian yang dipengaruhi mistik, perlahan-lahan hilang. Kemudian muncul kesenian-kesenian yang bernafaskan Islam seperti seni Qasidah, musik Gambus, tari Japin yang

(22)

disertakan sebagai media dakwah dalam penyebaran agama Islam. Kesenian-kesenian ini mendapat sambutan cukup baik yang kemudian banyak orang mempelajarinya dan menyebarkannya kembali, yang akhirnya menjadi milik budaya masyarakat Tanjung Balai hingga sekarang.

Selain kesenian-kesenian yang bernafaskan Islam, ada lagi kesenian tradisional milik masyarakat yang berkembang seperti nyanyian Didong dan nyanyian Sinandong. Nyanyian Didong merupakan nyanyian memanggil angin, berasal dari kalangan nelayan yang kematian angin di tengah laut. Nyanyian sinandong beirisi ratapan nasib dan duka percintaan. Asal kata dasarnya “andung: dari bahasa Batak yang berisi ratapan atau tangisan. Nyanyian-nyanyian ini pada awalnya digunakan pada kegiatan ritual yang mengandung unsur-unsur magis, yang kemudian dengan masuknya Islam digunakan sebagai hiburan dengan menghilang unsur-unsur magis.

2.8.1 Seni Musik

Musik sebagai sebuah ekspresi budaya bersifat universal dan memiliki banyak peranan dan arti di dalam kehidupan suku-suku bangsa. Bagi masyarakat Melayu, musik tidak hanya sekedar kreasi artistik, tidak juga sekedar hiburan, tetapi musik ada dalam berbagai aspek kebudayaan. Musik adalah alat komunikasi sosial dan memiliki peranan penting didalam interaksi bermasyarakat bagi pendukungnya, dalam berbagai kegiatan.

Musik dalam masyarakat Melayu Tanjung Balai, terbagi dalam dua bagian besar, yaitu: a) musik vokal, dan b) musik instrumen. Dalam musik vokal tradisional pembagian ditentukan oleh kegunaan dan tujuan lagu tersebut yang dapat dilihat dari isi syairnya, yang berisi permohonan, doa, ungkapan harapan

(23)

yang tertuang dalam kata-kata dan nada-nada yang sesuai. Musik Vokal menjadi kekuatan bagi masyarakat Melayu untuk menyertakannya sebagai musik yang mengiringi acara-acara adat. Musik vokal ini selalu ada dan menjadi awal pengantar dalam setiap penyajiannya, sehingga menjadi penting untuk menyertakannya dalam berbagai kegiatan. Musik vocal antara lain nyanyian senandong, nyanyian didong, yang berirama lambat, menggunakan nada-nada tinggi, dan menjadi cirri khas dari nyanyian Melayu. Irama yang dihasilkan biasanya memunculkan suasana haru, sedih, sendu sesuai dengan tujuan nyanyian itu disampaikan.

Musik instrument yang ada, antara lain tawak-tawak (gong), gendang, biola, rebab, bansi, accordion. Sampai saat ini alat-alat instrument ini masih dipergunakan, kecuali alat musik bansi yang sudah jarang kita temukan. Penyebabnya karena tidak adanya penggenerasian dalam mempelajari alat-alat musik tradisi, yang akhirnya penggunaan bansi digantikan dengan biola atau accordion, dengan tidak meninggalkan aturan atau pola yang sudah ada dalam setiap penyajiannya.

Music vocal dan musik instrument ini digunakan dalam berbagai kegiatan adat maupun hiburan masyarakat Melayu yang biasanya dipakai dalam mengiringi nyanyian seperti didong, senandong, hadrah, nasyid, tarian dan lain sebagainya. selain musik tradisi, saat ini musik modern juga sudah digemari oleh masyarakat Kota Tanjung Balai, terutama oleh kaum muda. Pengaruh majunya zaman dan majunya teknologi, memungkinkan masyarakat mendapatkan bentuk-bentuk seni musik baru dan memungkinkan mereka untuk menikmati serta menjadikan sebagai krteatifitas bagi pemusik dalam menciptakan karya-karyanya dengan inovasi baru.

(24)

2.8.2 Seni Tari

Sebagai sebuah hasil yang dilakukan oleh masyarakat, seni tari juga menjadi bahagian yang disertakan dalam berbagai aktivitas kehidupan, baik upacara maupun hiburan, maupun dalam kegiatan adat. Tari-tari tradisi yang ada seperti Tari Patam-patam, Tari Gubang, Tari Gobuk, Tari persembahan, Tari Hadrah, dan lain sebagainya.

Tari-tari tradisional ini merupakan kekayaan yang dimiliki Kota Tanjung Balai selain sumber alamnya. Bentuk-bentuk tari yang ada saat ini selain tari tradisi juga terapat tari-tari kreasi yang bersumber dari tari tradisi. Tari-tari tradisi yang ada menjadi sumber penciptaan dari kreatifitas seniman-seniman yang ada di Tanjung Balai untuk menciptakan kesenian-kesenian baru seperti tari-tari kreasi Melayu. Tari-tari kreasi yang diciptakan selain bersumber pada tari tradisi, juga bersumber pada aktifitas masyarakat Tanjung Balai dalam kesehariannya, seperti terciptanya tari menguyak Pucuk, yang menceritakan tentang kaum wanita yang bekerja di pabrik pembuatan rokok. Dimana pekerja yang ada pada umumnya adalah kaum wanita, dan mereka bekerja untuk membantu kehidupan keluarganya.

Tari-tari kreasi Melayu ini diciptakan untuk mengisi berbagai acara yang menyertakan tarian dalam susunan acaranya. Dengan dilaksanakannya berbagai kegiatan seperti kegiatan adat maupun kegiatan pemerintahan, akhirnya bermunculan tari-tari baru dengan segala kreatifitas yang dimiliki para penciptanya. Karya tari yang dihasilkan oleh para seniman menambah perbendaharaan dokumentasi tarian yang dimiliki kota Tanjung Balai.

Gambar

Gambar 2.1 Kantor perusahaan guntzel & Schumacher di Jalan Heerenstraat  di Tanjung Balai tahun 1917 (sumber: www.google.com)
Tabel 2.1: Jumlah Penduduk Berdasarkan Suku Bangsa
Tabel 2.2: Jumlah Penduduk Berdasarkan Agama  NO  Agama  JUMLAH  1.  Islam  81,99  2.  Protestan  7,78  3

Referensi

Dokumen terkait

Untuk  merefresh  pemahaman  kita,  sebenarnya  dimana  titik  perbedaan  antara pengklusteran  kasar  dan  pengklasteran  halus?  Pengklusteran  kasar  akan

Di pihak agen, di samping mendapatkan komisi,mereka juga mendapatkan penggantian atas beban-beban yang telah dikeluarkan dalam menjual barang konsinyasi tersebut serta

Sebuah upaya yang dilakukan secara menyeluruh dan berkelanjutan untuk menjadikan sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang warganya literat. sepanjang hayat melalui

Dari kedua hasil ini dapat dikatakan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran

Setelah melakukan penelitian dan menganalisanya, penulis dapat menyimpulkan bahwa perusahaan belum berproduksi secara efisien sehingga dapat dikatakan selisih biaya bahan

Dalam kehidupan sehari-hari kita akan membutuhkan rasa aman ,oleh karenanya kita berharap kepada Dzat yang Maha pemberi rasa Aman yaitu Allah ,karena Dzat yang memiliki sifat....

Penelitian ini bertujuan mendiskripsikan penerapan model simulasi dalam meningkatkan keterampilan guru, aktivitas siswa, dan hasil belajar siswa pada mata pelajaran PKn

Panduan Lengkap Pekerjaan Sekretaris. Wacana