• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kata kunci : Sapi Bali, Mikrosatelit Gen BoLA DRB3, Immunoglobulin M dan Immunoglobulin G.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Kata kunci : Sapi Bali, Mikrosatelit Gen BoLA DRB3, Immunoglobulin M dan Immunoglobulin G."

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan variabilitas genetik mikrosatelit gen BoLA DRB3 dengan respon imun humoral (Immunoglobulin M dan Immunoglobulin G) pada sapi bali yang divaksinasi denganvaksin anti Septicaemia Epizootica (SE). Sampel yang diuji dalam penelitian ini adalah serum dan darah dari 38 ekor sapi bali betina yang dipelihara peternak binaan BPTU di Kabupaten Bangli. Sampel darah tersebut diekstraksi menggunakan QIAamp DNA Mini Kit (Qiagen). Primers mikrosatelit DRB3 yang digunakan dalam penelitian ini adalah DRB3 -Forward - 5' GAG AGT TTC ACT GTG CAG 3', Reverse - 5' CGC GAA TTC CCA GAG TGA GTG AAG TAT CT 3'.Reaksi amplifikasi pada PCR dilakukan pada PCT 100 (MJ Research, Inc, Watertown, Mass,USA) sebanyak 30 siklus dengan program sebagai berikut : denaturasi pada 950C (5 menit), annealing pada 56oC selama 30 menit dan extension pada 720 C selama 10 menit.Hasil amplifikasi dipisahkan dengan gel bis-Acrylamide 6% dan visualisasi dilakukan dengan pewarnaan perak. DNA typing dilakukan dengan mengukur jarak migrasi masing-masing pita DNA pada gel dibandingkan dengan pita-pita DNA standar 100 pb ladder. Frekuensi allel, jumlah alel, Ho (observed heterozygosities), dan He (expected heterozigosities) dihitung dengan menggunakan program MICROSATELLITE TOOLKIT V.3.1. Pemeriksaan Kadar IgM dan IgG pada serum yang didapat dari sebelum dan sesudah vaksinasi SE menggunakan uji ELISA. Hubungan variabilitas genetik mikrosatelit gen BoLA DRB3 baik dengan kadar IgM dan IgG diuji dengan menggunakan Uji Sidik Ragam (ANOVA).

Hasil genotipe marka mikrosatelit gen BoLA DRB3 menunjukkan bahwa pada sapi bali teridentifikasi sebanyak 4 alel. Ukuran alel terkecil adalah 176 bp dengan frekuensi sebanyak 13,16% dan terbesar adalah 208 bp dengan frekuensi 9,21%. Keempat alel tersebut, yaitu alel 1 berukuran 176 bp, alel 2 berukuran 192 bp, alel 3 berukuran 200 bp, dan alel 4 berukuran 208 bp. Frekuensi alel paling tinggi terdapat pada ukuran alel 200 (52,63%) diikuti oleh 192 (25,0%). Sedangkan alel dengan frekuensi sangat rendah didapat pada alel 208 (9,21%). Heterozigositas untuk lokus mikrosatelit DRB3 pada sapi bali adalah 0,643 untuk Expected Heterozigositas (He), 0,684 untuk Observed Heterozygositas (Ho), dan Polymorphic Information Content (PIC) sebesar 0,582. Dari hasil genotip di atas terlihat bahwa lokus mikrosatelite gen BoLADRB3 yang digunakan dalam penelitian ini bersifat polimorfik. Hasil pemeriksaan kadar IgM dan IgG menunjukkan bahwa Kadar IgM terendah adalah 0,617 μg/ml dan tertinggi adalah 2,133 μg/ml dengan rata rata 1,404 ± 0,437µ/ml . Kadar IgG terendah adalah 0,589 μg/ml dan tertinggi adalah 0,972 μg/ml dengan rata-rata 0,852 ± 0,079µg/ml. Kadar rata-rata IgM tertinggi setelah vaksinasi terdapat pada kelompok sapi dengan genotipe DRB3 200/200, yaitu sebesar 1,5925±0,4225 µg/ml. Kadar rata-rata IgG tertinggi setelah vaksinasi terdapat pada sapi dengan genotipe DRB3200/208, yaitu sebesar 0,9200±0,0195 µg/ml. Hasil analisis dengan Uji Sidik Ragam menunjukkan bahwa ada perbedaan hasil dari pengukuran IgG sebagai hasil vaksinasi dihubungkan dengan hasil genotip pada lokus DRB3 pada sapi bali yang divaksinasi SE(p<0,05).

(2)

Kata kunci : Sapi Bali, Mikrosatelit Gen BoLA DRB3, Immunoglobulin M dan Immunoglobulin G.

(3)

ABSTRACT

The purpose of this research was to study relationship between genetic variability of microsatellite gen BoLA DRB3 and humoral immune response in bali cattle that had been vaccinated against Septicaemia epizootica (SE). Samples used in the study were serum and blood collected from 38 femalesbali cattle kept by farmers which were under supervision of BPTU in Bangli Region. Blood samples were extracted using QIAamp DNA Mini Kit (Qiagen) by following the procedure as stated by the manufacture. Primers of microsatellite DRB3 used were DRB3 – FORWARD –5' GAG AGT TTC ACT GTG CAG 3', REVERSE - 5' CGC GAA TTC CCA GAG TGA GTG AAG TAT CT 3'. Amplification reaction on PCR was conducted at PCT 100 (MJ Research Inc, Watertown, Mass, USA) at 30 cycles under the following program: denaturation at 95oC (5 minutes), annealing at 56oC for 30 minutes and extension at 72oC for 10 minutes. Substance obtained from amplification was then separated using 6% gel bis-acrylamide and visualization was performed using silver staining. DNA typing was conducted by measuring migration distance for each DNA tape in gel which then was compared to the standard DNA tapes 100 pb ladder. The frequency of allele, the number of allele, Ho (observed heterozygosities) and He (expected heterozygosities) was counted using the program of MICROSATELLITE TOOLKIT V.3.1. Examination of level of IgM and IgG in serum prior and after vaccination against SE was conducted using ELISA test. Relationship between genetic variability of microsatellite gen BoLA DRB3 and either IgM level or IgG level used Analysis of Varian (ANOVA).

Results on genotyping markers of microsatellite DNA gen BoLA DRB3 showed that in bali cattle it was identified 4 alleles. The smallest allele was 176 bp with frequency of 13.16% and the biggest was 208 bp with frequency of 9.21%. The four alleles observed in the present work were allele 1 measuring 172 bp, Allele 2 measuring 192 bp, allele 3 measuring 200 bp, and allele 4 measuring 208 bp. The highest allele frequency was recorded on allele measuring 200 bp (52.63%) followed by allele 192 bp (25.0%). On the other hand, the lowest allele frequency was noted on allele 208 bp (9.21%). Heterozygosity for locus of microsatellite DRB3 in bali cattle was 0.643 for expected heterozygosity (He), 0.684 for observed heterozygosity (Ho), and Polymorphic Information Content (PIC) was 0.582. The present results on genotyping showed that locus of microsatellite gen BoLA DRB3 used were polymorphic in nature. Examination of level of IgM and IgG indicated that the lowest level of IgM was 0.617 ug/ml while the highest was 2.133 ug/ml with an average of 1.404 ± 0.437ug/ml. Moreover, the lowest level of IgG was 0.589 ug/ml and the highest was 0.972 ug/ml with an average of 0,852 ± 0,079µg/ml.The highest average level of IgG after vaccination was recorded on cattle with genotype DRB3 200/208 at 0,9200±0,0195 µg/ml. Finally, this data indicated that there were differences in results on measurement of level of IgG due to vaccination when related to results on genotyping on locus DRB3, suggesting there was a positive effect of measurement of allele on level of IgG. Moreover, analysis using ANOVA showed that there was a significant effect of allele substitution on level of IgG as a response of vaccination against SE.

Keywords: Bali Cattle, Microsatellite gen BoLA DRB3, Immunoglobulin M and Immunoglobulin G

(4)

DAFTAR ISI

UCAPAN TERIMA KASIH ... v

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xii

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR SINGKATAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 13

1.3 Tujuan Penelitian ... 14

1.4 Manfaat Penelitian ... 14

BAB II TINJAUAN PUSTAKA…. ... 15

2.1 Sapi Bali ... 15

2.2 Kajian Genetik Ketahanan Terhadap Penyakit ... 17

2.3 MHC Pada Sapi ... 19

2.4 Mikrostelit ... 27

2.5 Peran Mikrosatelit dalam Identifikasi dan Kontrol Penyakit ... 29

2.6 Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) ... 31

2.7 Immunoglobulin ... 34 2.7.1 Klasifikasi Imunoglobulin ... 35 2.7.2 Immunoglobulin G ... 36 2.7.3 Immunoglobulin A (IgA) ... 37 2.7.4 Immunoglobulin M (IgM) ... 38 2.7.5 ImmunoglobulinE (IgE) ... 39 2.7.6 Immunoglobulin D (IgD) ... 40

BAB III KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS PENELITIAN . 41 3.1 Kerangka Berpikir ... 41

3.2 Kerangka Konsep ... 44

3.3 Hipotesis Penelitian ... 45

BAB IV METODE PENELITIAN ... 46

4.1 Rancangan Penelitian ... 46

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 46

4.3 Penentuan Sumber Data ... 47

4.4 Variabel Penelitian ... 48

4.5 Bahan Penelitian ... 49

4.6 Instrumen Penelitian ... 50

(5)

4.8 Alur Penelitian ... 54

4.9 Analisis Data ... 55

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 56

5.1 Hasil Penelitian ... 56

5.1.1 Genotiping Lokus Gen BoLA DRB3 ... 56

5.1.2 Kosentrasi IgM dan IgG Sebelum dan Sesudah Vaksinasi ... 57

5.1.3 Asosiasi Polimorfisme Lokus DRB3 dengan Kadar IgM dan IgG ... 58

5.2 Pembahasan ... 61

5.2.1 Genotipe Lokus Gen BoLA DRB3 ... 61

5.3 Kebaharuan Penelitian (Novelty) ... 68

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ... 69

6.1 Simpulan ... 69

6.2 Saran ... 70

DAFTAR PUSTAKA ... 71

(6)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Gen dan molekul MHC (Playfair& Chain, 2009) ... 20 Gambar 2. Peta Genetik Major Histocompatibility Complex

(MHC) pada Sapi ( Amillset al. 1998). ... 21 Gambar 3. Pengolahan dan Penyajian Antigen oleh MHC.

(Plyfair &Chain 2009) ... 24 Gambar 4. Peran pengaturan mikrosatelit pada exon, 3’-UTRs,

5’-UTRs, dan introns(Li et al.,2002)... 30 Gambar 5. Bagan Kerangka Konsep Hubungan Variabilitas

Genetik Mikrosatelit Gen BoLA DRB3 dengan Respon Imun Humoral pada Sapi Bali Yang Divaksinasi dengan vaksin anti Septicaemia

Epizootica (SE) ... 45 Gambar 6. Alur Penelitian ... 54

(7)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Ukuran, Jumlah, Frekwensi allel lokus DRB3 pada sapi Bali Betina pada Instalasi Populasi Dasar Balai Pembibitan Ternak Unggul Sapi Bali Kabupaten Bangli ... Tabel 2. Genotipe, jumlah dan frekuensi alellokus DRB3 gen BoLA .. 57 Tabel 3. Nilai Deskriptif IgM dan IgG sapi Bali ... 58 Tabel 4. Hasil Uji T Kadar IgG Sapi Bali Sebelum dan Sesudah

Vaksinasi SE ... 58 Tabel 5. Perbedaan kadar IgM dan IgG dihubungkan dengan variasi

genotipe lokus mikrosatelit Gen BoLA lokus DRB3. ... 59 Tabel 6. Hasil Uji Sidik Ragam Variasi Genotipe Lokus Mikrosatelit

BoLA DRB3 dengan Kadar IgM Sapi Bali Yang Divaksinasi SE. ... 59 Tabel 7. Hasil Uji Sidik Ragam Variasi Genotipe Lokus Mikrosatelit

BoLA DRB3 dengan Kadar IgG Sapi Bali Yang Divaksinasi SE. ... 60 Tabel 8. Hasil Uji Beda Nyata Terkecil Variasi Genotipe Lokus

Mikrosatelit BoLA lokusDRB3 dengan Kadar IgG Sapi Bali Yang Divaksinasi SE. ... 61

(8)

DAFTAR ISTILAH / SINGKATAN

ADCC : Antibody Dependent Cellular Cytotoxicity Alel : Bentuk alternatif gen

APC : Antigen Presenting Cell

BLAD : Bovine Leucocyte Adhesion Defisiency BoLA DRB3 : Locus gen BoLA DR beta (ß) nomor 3

BoLA : Bovine Leucocyte Antigen

BPTU : Balai Pembibitan Ternak Unggul

BTA 23 : Bovine Taurus Autosom 23

CD : Cluster Diferentiation

CSF : Cerebrospinal Fluid/cairan serebrospinal

DNA : Deoxyribo Nucleic Acid

GLM : General Linier Model

GM-CSF : Granulosit Makrofag Cell Stimulating Factor H Chain : Heavy Chain/rantai berat

HE : Heterozygosities Expected

HLA : Human Leucocyte Antigen

HO : Heterozygosities Observed

Ig : Immunoglobulin

IL : Interleukin

INF : Interferon

L Chain : Ligth Chain/rantai ringan

LPS : Lipopolysacharida

m RNA : Mesenger Ribonucleic Acid

MAS : Marker Assisted Selection

MCF : Malignant Catharal Fever

MHC : Major Histocompatibility Complex MHS : Malignant Hyperthermia Syndrome

NK : Natural Killer

PBC : Peptide Binding Cleft

PCR : Polimerase Chain Reaction

PIC : Polimorphic Information Content QTL : Quantitatif Trait Loci

RER : Rough Endoplasmic Reticulum

SA-HRP : A Strepavidin-Horseradish Peroxidase

SE : Septicaemia Epizootica

SSLPs : Simple Sequence Length Polymorphism

SSRs : Simple Sequence Repeats

STRPs : Short Tandom Repeats Polymorphism TAP : Transporter of Antigen Peptide

TCR : T Cell Receptor

Th : Sel T helper

TNF : Tumor Necrosis Factor

(9)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebutuhan daging sapi dari tahun-ketahun terus meningkat. Untuk memenuhi kebutuhan daging tersebut, sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu Indonesia tidak hanya mengimpor daging sapi namun juga mengimpor sapi bakalan terutama dari Australia. Namun sejak tahun 2004, import sapi bakalan dari Australia merosot drastis dan bahkan bisa semakin sulit dilakukan, mengingat mahalnya harga sapi bakalan tersebut. Pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap protein hewani, khususnya daging perlu diimbangi dengan peningkatan populasi ternak.

Sapi bali adalah ternak lokal yang diharapkan menjadi hewan primadona dalam menyediakan kebutuhan daging.Hal ini disebabkan sapi bali memiliki beberapa keunggulan yaitu sebagai sapi potong, persentase karkasnya tinggi sekitar 54 s/d 56% dan daya adaptasinya sangat baik terhadap lingkungan. Sapi bali lebih toleran terhadap pakan yang kasar serta memiliki efisiensi penggunaan pakan yang lebih baik dibandingkan dengan sapi-sapi lokal lainnya. Sapi bali memiliki mutu genetik yang bagus. Namun, akhir-akhir ini terdapat persepsi umum mengenai penurunan kualitas genetik sapi balisebagai akibat dari adanya seleksi negatif (Oka,2010). Kinerja biologis sapi bali dinilai menurun seperti tingginya angka kematian anak, lambatnya pertumbuhan anak mencapai umur jual dan interval kelahiran yang panjang. Di samping itu, sapi bali rentan terhadap beberapa serangan penyakit menular seperti penyakit Jembrana, Malignant Catharal Fever (MCF) dan Septicaemia Epizootica (SE).

Penyakit Septicaemia Epizootica (SE) atau penyakit ngorok adalah penyakit hewan yang bersifat akut, fatal dan pada dasarnya hanya menyerang hewan kerbau dan sapi (Durani et

(10)

al., 2013). Penyakit SE disebabkan oleh Pasteurellamultocida. Bakteri Pasteurella multocida adalah bakteri golongan gram negatif, bersifat non motil dan peka terhadap penicilin (Karunasree,2016). Bakteri ini merupakan flora normal pada saluran pernafasan bagian atas pada beberapa spesies hewan (Jesse et al.,2013).Kemampuan bakteri ini untuk masuk dan berkembang pada host dipengaruhi oleh adanya kapsula. Kapsula atau membran sel bakteri adalah struktur polisakarida (Lipopolysaccharida/LPS) yang merupakan salah satu faktor paling penting pada keganasan bakteri ini (Furian et al.,2014). LPS merupakan antigen permukaan yang bertanggung jawab terhadap pathogenesis dari penyakit (Jal-eboori and Suhail,2015).

Penyakit yang menyerang ternak dapat berpengaruh secara signifikan pada produktivitas. Penyakit menular merupakan penyebab utama kerugian ekonomi pada industri peternakan (Jovanovic et al.,2009). Sekarang ini, penggunaan antibiotika untuk mengatasi penyakit harus lebih hati-hati karena konsumen takut residu antibiotika pada daging. Semakin berkembangnya penyakit pada ternak, pembatasan penggunaan antibiotika serta tingginya biaya produksi obat-obatan baru menyebabkan lebih sulitnya penanganan kesehatan ternak. Untuk menjawab permasalahan ini diperlukan pendekatan baru atau alternatif di dalam penanganan penyakit ternak. Salah satu pendekatannya adalah seleksi genetik kelompok ternak yang tahan terhadap penyakit. Seleksi genetik kelompok ternak yang tahan penyakit memerlukan pemahaman mengenai gen spesifik yang bertanggung jawab terhadap penyakit atau identifikasi marka genetik yang berhubungan dengan ketahanan terhadap penyakit. Peran genetik terhadap ketahanan penyakit sangat kompleks yang melibatkan beberapa sistem dalam tubuh dan interaksinya. Salah satu yang paling penting dari sistem tersebut adalah sistem imun. Secara genetik, sistem imun merupakan sistem pengatur dengan sifat unik yaitu mendeteksi dan

(11)

mengontrol agen infeksi serta mempunyai kemampuan merespon perubahan lingkungan (Woolhouse, 2002).

Salah satu upaya pencegahan penyakit SE pada sapi bali adalah dengan cara vaksinasi. Vaksin SE umumnya dibuat dari kuman yang diinaktifkan. Vaksinasi SE bertujuan untuk menginduksi respons antibodi pada sapi. Berbagai jenis vaksin telah tersedia untuk mencegah penyakit SE pada sapi. Peneltian menunjukkan bahwa imunitas sapi bali terhadap penyakit SE ditentukan oleh respons sel imun tubuh terhadap agen tersebut.

Sistem imun terdiri atas molekul dan sel yang terintegrasi dan secara genetik bertanggung jawab terhadap kontrol rangsangan baik dari luar tubuh maupun dari dalam tubuh termasuk didalamnya mikroorganisme. Pada vertebrata, ketahanan tubuh tergantung pada dua jenis pertahanan tubuh yaitu, respon imun bawaan (innate immune) dan respon imun didapat (adaptive immune). Respon immun bawaan diperankan oleh sel darah putih seperti netrofil, monosit, eosinofil, basofil, limfosit dan sel natual killer (NK), serta sel imun jaringan seperti makrofag, sel dendrit dan sel mast. Cara kerja sistem imun bawaan dengan menghancurkan patogen melalui proses inflamasi, fagositosis dan sekresi berbagai molekul aktif seperti komplemen, histamine, perforin dan granzyme. Selain itu, sel imun seperti monosit makrofag dan sel dendrit juga berperan dalam pengaturan sistem imun adaptif yang diperankan oleh sel T dan sel B. Limfosit T berperan sebagai sel T sitotoksik (CD8) dan sel T penolong (CD4), sedangkan sel B berperan dalam pembentukan antibodi. Sel T sitotoksik berperan dalam imunitas seluler untuk mengatasi infeksi mikroba intrasel dengan cara menghancurkan patogen secara intra seluler. Sementara itu, limfosit T helper ini berfungsi untuk membantu berbagai sistem imun di dalam tubuh yaitu membantu meningkatkan respon imun seluler (Th1) dan imunitas humoral (Th2), menekan respon imun (Treg) dan memperkuat respon inflamasi (Th17).

(12)

Respon imun adaptif yang diperankan oleh sel imun seperti sel dendrit, makrofag, sel B, sel T dan monosit melibatkan molekul pengikat dan penyaji antigen yang disebut major histocompatibility complex (MHC) yang dapat dibedakan menjadi MHC I, MHC II dan MHC III. Molekul MHC I berperan dalam menyajikan peptide antigen yang berasal dari dalam sel (endogen) seperti virus, bakteri intrasel, antigen kanker dan antigen lainnya yang berasal dari dalam sel. MHC I menyajkan peptide antigen ke sel efektor sitotoksik seperti sel CD8 yang berfungsi untuk menghancurkan sel yang membawa antigen asing yang dapat membahayakan kelangsungan hidup suatu individu. Sebagai respon atas adanya peptide antigen yang disajikan melalui molekul MHC I, sel T CD8 menghasilkan senyawa sitotosik seperti granzyme B dan FasL yang berfungsi untuk menghancurkan sel bermasalah melalui proses apoptosis. Makin asing peptida antigen bagi tubuh, makin kuat diikat oleh MHC I dan makin kuat pula respon imun sel CD8 yang diinduksinya.

Sementara itu, molekul MHC II berfungsi untuk menyajikan peptide antigen yang berasal dari antigen luar sel (eksogen). Antigen tersebut dapat memasuki sel melalui proses fagositosis atau endositosis yang diperankan oleh sel APC seperti monosit, makrofag, sel dendrit dan sel B. Sel APC memproses antigen dan menyajikan peptide antigen melalui molekul MHC II ke sel T CD4 atau sel T penolong (T-helper /Th). Respon imun yang dipicu oleh presentasi peptide antigen ke sel Th sangat bergantung pada sumber dan jenis antigen, jenis sel APC yang memproses antigen dan jenis Th yang teraktivasi oleh penyajian antigen melalui molekul MHC II. Sampai saat ini dikenal 5 jenis sel Th yang dapat teraktivasi oleh peptide antigen yang disajikan melalui molekul MHC II yaitu sel Th1, sel Th2, sel Treg, sel Th17 dan Tfh.

Sel Th1 dapat teraktivasi oleh agen infeksi intrasel atau antigen infeksi pro-inflamasi yang memicu polarisasi sel Th naif (Th0) menjadi Th1. Sel APC seperti sel dendrit myeloid

(13)

untuk menskresi IL-12 and sel NK untuk mensekresi IFN-γ diperlukan dalam polarisasi sel T CD4+ menjadi Th1. Sementara itu, agen infeksi ekstrasel dan anti-inflamasi cenderung memicu sel dendrit plasmositoid dan sel B untuk memicu produksi IL-4 yang memicu polarisasi CD4+ (Th naïf/Th0) menjadi Th2 yang menghasilkan IL-4 dan berbagai sitokin lainnya yang berfungsi untuk memicu proliferasi dan diferensiasi sel B menjadi sel plasma untuk menghasilkan antibodi. Pada infeksi dan inflamasi kronis, TGF-β menstimulasi dan IL-6 yang dihasilkan oleh berbagai sel imun dapat memicu sel T CD4+ menjadi Th17. Sementara itu,

TGF- tanpa keberadaan menginduksi polarisasi Th0 menjadi Treg untuk menghasilkan IL-10 yang berfungsi untuk meredam respon imun. Tfh diinduksi oleh IL-6 (mencit) atau IL-12 (manusia) untuk menghasilkan IL-21, yang menjadi umpan balik promosi pembentukan Tfh. Tfh berperan dalam diferensiasi sel T menjadi sel memori.

Salah satu komponen imun yang penting dalam system pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri ekstrasel seperti Pasteurella multocida adalah antibodi. Pembentukan antibodi dimulai dengan pemrosesan peptide antigen melalui MHC II ke sel Th2. Antigen atau peptide antigen yang disajikan melalui MHC pada sel B dapat berupa antigen utuh yang diikat oleh BCR pada permukaan sel B maupun fragmen antigen (peptide antigen) yang berasal dari sel fagosit seperti netrofil, makrofag dan sel dendrit. Antigen maupun peptide antigen yang diikat oleh BCR pada permukaan sel B kemudian mengalami proses endositosis dan pemrosesan antigen menjadi peptide antigenik. Peptida antigenik kemudian diikat oleh MHC II dan disajikan kepermukaan sel melalui proses endositosis. Peptide antigenic kemudian direspons oleh sel Th2 melalui molekul reseptor permukaan sel yang disebut TCR. Interaksi antara sel B dan sel Th2 memicu pelepasan berbagai sitokin seperti IL-4, IL-5 dan IL-13 yang memicu proliferasi sel B menjadi sel plasma untuk menghasilkan antibodi. Selanjutnya limfosit B akan mengalami aktivasi

(14)

menjadi sel plasma. Sel plasma ini akan memproduksi antibodi. Pembentukan sistem immun ini disebut respon immune humoral (Playfair and Chain, 2009).

Antibodi atau Immunoglobulin (Ig) merupakan molekul penting yang terdapat pada plasma (serum) yang dapat merespon secara khusus antigen yang merangsang produksinya. Molekul immunoglobulin merupakan molekul heterodimer yang mengandung empat rantai polipetida yang terdiri atas dua rantai panjang dinamakan rantai berat (H), sedangkan dua rantai yang pendek dinamakan rantai ringan (L) (Sun et al., 2012). Immunoglobulin M (IgM) adalah antibodi pertama yang dibentuk dalam respons imun. Dalam serum atau cairan tubuh lainnya, molekul IgM dijumpai dalam bentuk pentamer dan merupakan imunoglobulin terbesar dan umumnya disekresikan oleh sel infeksi maupun imunisasi primer. Selain itu, molekul IgM monomer ditemukan pada permukaan sel sebagai reseptor antigen pada sel B (B-cell receptor/BCR). IgM dibentuk paling dahulu pada respons imun primer dibanding dengan IgG, karena itu kadar IgM yang tinggi merupakan petunjuk adanya infeksi dini, akan tetapi respon IgM umumnya pendek yaitu hanya beberapa hari dan selanjutnya menurun (Kresno, 2010). Sementara IgG merupakan komponen utama imunoglobulin serum, merupakan 75% dari semua imunoglobulin. IgG ditemukan dalam berbagai cairan, antara lain cairan serebrospinal (CSF), darah, peritoneal, dan juga urin. Kehadiran IgG dalam serum darah biasanya mengindikasikan terjadinya infeksi, umumnya sekitar 3 minggu setelah infeksi dimulai.

Antibodi memainkan peran yang amat penting dalam mengatasi infeksi. Antibodi dapat berikatan secara langsung dengan partikel agen infeksi atau komponennya dan secara langsung menetralisasi kemampuannya untuk menginfeksi tubuh. Selain itu, antibodi (terutama IgG dan IgM) memiliki sifat opsonin yang efektif bagi sel fagosit, monosit dan makrofag sehingga sel imun tersebut mampu memfagositosis agen infeksi secara efektif. Sebagai opsonin, molekul IgG

(15)

dan IgM dapat berikatan dengan antigen yang homolog pada agen sasaran. Antibodi (fraksi Fc) berikatan dengan reseptornya (FcR) pada permukaan sel fagosit sehingga sel fagosit dapat memfagosit antigen sasaran secara efektif (Baratawidjaja dan Rengganis, 2009).

Selain sebagai opsonin yang efektif, molekul IgM dan IgG juga merupakan aktivator komplemen yang efektif untuk menghancurkan antigen berbahaya dalam tubuh. Aktivasi komplemen dimulai dengan ikatan antibody dengan antigen sasaran yang kemudian diikuti oleh kaskade komplemen melalui alur klasik. Aktivasi komplemen melaui jalur klasik oleh antibody memicu pembentukkan berbagai fragmen komplemen yang bertindak sebagai efektor imun yang efektif dalam mengatasi infeksi. Misalnya fragmen komplemen C3a dan C5a merupakan opsonin yang sangat efektif dalam proses fagositosis agen penyakit oleh sel fagosit. Selain itu, fragmen komplemen C5b yang terbentuk dalam proses aktivasi komplemen dapat melisiskan agen infeksi melalui pembentukan membrane attack complex (MAC). Akivasi komplemen juga dapat memicu sekresi histamine oleh sel mast yang berperan dalam reaksi alergi dan infeksi parasit.

Dalam proses pembentukan antibody oleh sel B, MHC II berperan dalam menyajikan antigen yang diperoses oleh sel APC ke sel Th (Darfour-Oduro and Schook, 2012). Pada hewan mamalia, MHC II hanya diekpresikan oleh sel imun tertentu seperti monossit/makrofag, sel dendrit dan sel B. Dalam menyajikan peptide antigen ke permukaan sel APC, protein MHC II membentuk heterodimer yang terdiri atas rantai α dan rantai β. Pada manusia, gen HLA-DRA menyandi protein MHC rantai α dan gen HLA-DRB menyandi protein MHC rantai β. Dalam menyajikan peptide antigen ke permukaan sel APC, heterodimer dari rantai α dan β membentang dari luar sel sampai ke dalam sel. Bagian di luar sel terdiri atas polipeptida rantai

(16)

β1 dan β2 untuk rantai β dan α1 dan α2 untuk rantai α. Celah pengikatan peptide antigen terletak di antara rantai α1 dan β1.

Pada sapi molekul MHC disebut Bovine Leukocyte Antigen (BoLA) (Untalan et al., 2007). BoLA dibedakan menjadi tiga klas yaitu BoLA klas I, klas II, dan klas III (Behl etal.,2012). BoLA klas II menjadi perhatian para peneliti karena pada klas II tersebut terdapat lokus gen yang berperanan dalam respon terhadap penyakit dan vaksinasi. Lokus yang dimaksud adalah DRB3. Gen DRB3 merupakan gen yang mengekspresikan glikprotein pada reseptor permukaan dari sel penyaji antigen (APC) terutama pada limfosit B, sel dendrite dan makrofag (Ibrahim et al.,2012). Seperti pada manusia, gen MHC II pada sapi bersifat sangat kompleks dan sangat polimorfik yang ditandai dengan besarnya jumlah alel yang besar pada setiap lokus dan perbedaan jumlah asam amino yang besar pada setiap alelnya. Polimorfisme tersebut terutama terjadi pada peptide binding cleft (PBC) dari gen BoLA-DR termasuk DRB3 yang perannya telah banyak diteliti terutama kaitannya dengan ketahanan inang terhadap agen penyakit. Variasi yang tinggi ini secara signifikan berhubungan dengan variasi respon imum pada berbagai antigen. Polimorfisme yang tinggi ini merupakan kunci dari kekuatan dan jenis respon imun yang terjadi.

Gen DRB3 terdiri atas 6 ekson (1-6) yang mengandung sekuen penyandi protein dan 5 intron (sekuen yang tidak penyandi protein). Ekson 1, 2, 3 dan 4 menyandi domain ekstrasel dari molekul MHC II rantai , ekson 5 menyandi domain transmembran dan ekson 6 menyandi domain intrasel dari molekul MHC II. Ekson 2 mengandung sekuen penyandi asam amino pada situs pengikatan peptide rantai  bersama-sama dengan rantai  sehingga menjadi sasaran penelitian tentang peran genetik gen DRB3 dalam ketahanan tubuh terhadap penyakit.

Variasi antara ternak pada tingkat genetik untuk sifat-sifat tertentu diakibatkan adanya keragaman pada komposisi DNA. Berkembangnya teknik-teknik dalam biologi molekuler telah

(17)

memungkinkan untuk mengidentifikasi variasi genetik pada setiap lokus gen dan segmen kromosom yang mengandung lokus (QTL, quantitative trait loci) yang berperan dalam ekspresi ciri penting bernilai ekonomi pada hewan ternak (Tambasco et al.,2003; Erhardt and Weimann, 2007.; Nkrumah et al.,2007; Koopaei and Koshkoiyeh, 2011). Dengan demikian pendekatan lebih sistematis untuk menemukan gen-gen yang berhubungan dengan ketahanan penyakit dapat dilakukan antara lain dengan membuat peta QTL. Hal ini diupayakan melalui pemanfaatan informasi keterkaitan gen (linkage gen) serta mengkoleksi penciri genetik pada keseluruhan kromosom atau genom.

Sampai saat ini, mikrosatelit adalah marker yang digunakan untuk pemetaan QTL untuk produksi dan sifat fungsional pada hewan ternak (Hiendleder et al, 2003;. Kühn et al, 2003) dan marker yang digunakan untuk MAS (marker assisted selection). Mikrosatelit juga digunakan untuk identifikasi posisi dan kandidat gen fungsional yang bertanggung jawab untuk sifat kuantitatif. Mikrosatelit DNA sangat polimorfik dan terdapat banyak dalam DNA genom (Yang et al.,2012) termasuk di dalam regio MHC (Meagher and Potts,1997; Santucci et al.,2007)). Mikrosatelit DNA merupakan marka genetik yang menyediakan informasi mengenai keragaman alel pada lokus gen. Keragaman ini memungkinkan kita menganalisis dan mengevaluasi secara detail dan juga mendeteksi gen yang mempengaruhi sifat bernilai ekonomi tinggi (Erhardt and Weimann.,2007; Humblot et al.,2010). Mikrosatelit juga berpengaruh pada pengaturan gen (Schroth et al. 1992; Comings,1998). Mikrosatelit cenderung terkonsentrasi pada regio promoter dan pada intron dari suatu gen. Pada region promoter, mikrosatelit yang terdiri atas runutan yang kaya akan purin dan pirimidin dapat membentuk Z DNA (Comings,1998). Oleh karena itu, keberadaan mikrosatelit pada region promoter suatu gen sangat berperan dalam pengaturan transkrpsi dan translasi gen.

(18)

Mikrosatelit yang ditemukan di daerah intron suatu gen juga menentukan fenotipe suatu individu dengan cara yang belum sepenuhnya diketahui. Misalnya triplet GAA pada intron pertama X25 menggangu proses traskripsi dan menyebabkan Friedreich Ataxia (Bidichiandini et al.,1998). Tandem repeat pada intron pertama gen tersebut juga berkaitan dengan gen-gen penyandi enzim Asparagine synthetase yang banyak dikaitkan dengan acute lymphoblastic leukaemia (Akagi et al.,2008). Polimorfisme repeat intron 4 juga gen penyandi NOS3 yang banyak dikaitkan dengan hipertensi orang-orang Tunisia (Jemaa et al., 2008). Penurunan jumlah repeat dalam intron gen EFGR juga dikaitkan dengan osteosarkoma (Kersting et al., 2008).

Peran mikrosatelit di daerah intron terhadap ekspresi suatu gen sangat mungkin berkaitan dengan proses “splicing” dari pre-mRNA menjadi mRNA pasca-transkripsi suatu gen. Dalam hal ini, “splicing” berfungsi untuk menyingkirkan intron pada pre-mRNA menjadi RNA tanpa intron pada mRNA. Penyingkiran intron pada proses “splicing” dilakukan oleh kesatuan multienzim yang disebut splisosom. Diduga keberadaan mikroatelit di daerah intron suatu gen menentukan efektivitas dan efisiensi proses splicing sehingga berdampak pula terhadap tingkat ekspresi gen tersebut pasca-translasi (Elizabeth and Young, 2005; Lin et al.,2016).

Pada sapi, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui peran gen BoLA dengan ketahanan terhadap penyakit. Kulberg et al.(2007) melaporkan bahwa terdapat hubungan antara kepekaan sapi terhadap penyakit dengan gen BoLA-DRB3. Caron et al.(1997) melaporkan bahwa MHC berhubungan dengan kepekaan terhadap infeksi parasit. Acosta-Rodríguezet al.(2005) melaporkan bahwa lokus mikrosatelit gen MHC klas II berhubungan dengan kepekaan sapi terhadap caplak. MHC klas II telah pula diketahui berhubungan dengan ketahanan sapi terhadap penyakit Bovine leukaemia virus (Juliarenaet

(19)

al., 2008). Pada beberapa program pengembangan ternak berbasis gen BoLA telah berhasil diimplementasikan untuk mempengaruhi kejadian penyakit (Maillard et al., 2003).

Pada sapi, sifat produksi dan sifat yang berhubungan dengan ketahanan penyakit telah dilaporkan berhubungan dengan polimorphisme alel pada gen BoLA (Firouzamandi et al.,2010). Polimorphisme pada alel gen BoLA tersebut juga berhubungan dengan respon immun, dan ketahanan penyakit (Nascimentoet al.,2006). Indikator dari ketahanan tubuh terhadap paparan suatu antigen dalam hal ini vaksinasi SE (Septicaemia Epizootica) antara lain dapat dilihat dari produksi IgM poliklonal dan konsentrasi 3-isotipe Ig (IgG1, IgG2 dan IgG3) dalam serum (Dietz et al., 1997).

Kerentanan terhadap penyakit sering menjadi permasalahan pada pengembangan sapi bali. Selain program vaksinasi, strategi pemilihan bibit yang tahan terhadap penyakit sangat perlu dilakukan. Pendekatan yang mampu mengungkap sistem immun bawaan dan didapat serta hubungannnya dengan parameter yang berhubungan dengan status kesehatan sangat diperlukan . Karena itu, marka immun yang berperan terhadap keragaman fenotipe daripada sistem kekebalan tubuh terhadap penyakit perlu diimplementasikan dalam usaha pemilihan bibit unggul tahan penyakit

Penelitian lebih lanjut dengan melibatkan populasi sapi bali sangat penting dilakukan untuk memperoleh data variabilitas genetikDNA mikrosatelit gen BoLAlokus DRB3 dan hubungannya dengan respon imun humoral sebagai indikasi dari sapi bali tahan penyakit.

1.2 Rumusan Masalah

(20)

1. Bagaimanakah gambaran variabilitas genetik mikrosatelit gen BoLA lokus DRB3 pada sapi bali yang divaksinasi Septicaemia Epizootica (SE).

2. Apakah ada hubungan antara alel mikrosatelit gen BoLA lokus DRB3 dengan respon imun humoral IgM dan IgG pada sapi bali yang divaksinasi Septicaemia Epizootica (SE).

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan Umum:

Secara umum penelitian ini bertujuan untuk investigasi peranan mikrosatelit gen BoLA lokus DRB3 terhadap respon imun humoral pada sapi bali.

Tujuan Khusus :

1. Identifikasi variabilitas mikrosatelit gen BoLA lokus DRB3 pada sapi bali yang divaksinasi Septicaemia Epizootica (SE).

2. Investigasi hubungan antara alel mikrosatelit gen BoLA lokus DRB3 dengan respon immun humoral IgM dan IgG pada sapi bali yang divaksinasi dengan vaksin anti Septicaemia Epizootica (SE).

1.4 Manfaat Penelitian

Informasi molekuler mengenai polimorfisme mikrosatelit gen BoLA lokus DRB3 sangat bermanfaat selain mencerminkan keanekaragaman hayati sapi bali pada tingkat genetik dan juga menggambarkan hubungan struktur genetik sapi bali dengan respon immun humoral sapi bali. Selanjutnya, informasi dasar ini dapat dijadikan pertimbangan dalam pengambilan keputusan pada proses seleksi bibit sapi bali yang mempunyai tingkat kekebalan tinggi terhadap penyakit serta keragaman alel tersebut dapat digunakan sebagai kandidat gen untuk ketahanan penyakit.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan: 1) Pemanfaatan media video senam lansia pada lansia di Panti Wredha GKJ Gondokusuman, Yogyakarta, 2)Pengaruh

Based on my apprenticeship, I think the three potential solutions are the best solutions for Kids 2 Success, as the material used there is monotonous and most of the

Praktik Pengalaman Lapangan atau PPL dilaksanakan kurang lebih selama 4 minggu dan berlokasi di SMK Negeri 3 Wonosari. Praktik Pengalaman Lapangan yang dilakuakan oleh

(3) Usaha guru membuat model pembelajaran sebagai referensi siswa. Lebih lanjut Thompson menyarankan bahwa pentingnya pengembangan profesional para pendidik yang

Berdasarkan hal-hal di atas, maka sangat penting bagi perusahaan untuk menganalisis seberapa jauh kualitas pelayanan, yang telah dan akan diberikan kepada konsumennya sebagai

Tunjukkan potongan bagian “leher” dari lampu meja dan jelaskan kepada anak- anak bahwa sekalipun bagian ini penting untuk lampu baca, tapi kalau hanya bagian

Perupa ingin membebaskan ekspresi dan efek emosional penciptaannya untuk mencapai purity of form (kemurnian bentuk), kepuasan estetik, serta menuangkan imajinasinya akan

• Pastikan kabel daya tidak terjepit di antara tembok dan rak atau meja tempat proyektor berada, dan jangan pernah menutupi kabel daya dengan bantalan atau benda lain.. •