ASPEK DESAIN PEMECAH GELOMBANG DAN DERMAGA TERAPUNG
DENGAN MENGGUNAKAN SISTEM MODULAR
I
rham Adrie Hakiki
1I Putu Samskerta
2Penelaah Standar dan Pedoman
1Kepala Seksi Layanan
2Balai Penelitian dan Pengembangan Pantai,
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat
1,2Email: adriehakiki@gmail.com
1, samskerta@gmail.com
2 AbstractFloating breakwater and floating dock are kind of structures that will be constructed with floating modular system. Floating structures are still a new field for Ministry of Public Works and People Housing, so there are many important factors that still not known. Therefore a guide needed for supporting the Ministry. For starter, the guide need to cover about design criteria of floating structures, especially for breakwater and dock. The guide made by doing literature study and adopting from international standard. Criteria for breakwater consist of material usage, dimension determination, and performance of floating breakwater. Criteria for floating dock consist of dimension of target ships, component needed, and dock dimension determination. Also mooring system needed for station keeping and one of the most important component.
Keyword: criteria of floating breakwater, criteria of floating dock, modular floating system, mooring system Abstrak
Pemecah gelombang terapung dan dermaga terapung merupakan bagian dari struktur yang akan dibuat dengan menggunakan sistem modular wahana terapung. Struktur terapung masih merupakan hal baru bagi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) sehingga belum banyak yang mengetahui faktor-faktor yang diperlukan dalam merencakan struktur terapung. Maka diperlukan sebuah pedoman yang sudah disesuaikan bagi kebutuhan Kementerian PUPR. Pada tahap awal, pedoman yang diperlukan adalah pedoman mengenai kriteria struktur terapung, terutama bagi pemecah gelombang dan dermaga. Penyusunan pedoman dengan melakukan kajian literatur dan mengadopsi kriteria-kriteria yang telah lazim digunakan di dunia internasional. Kriteria bagi pemecah gelombang terapung antara lain berkaitan dengan penggunaan material, penentuan dimensi, dan performa dari pemecah gelombang terapung. Kriteria bagi dermaga apung antara lain penentuan target kapal, komponen-komponen yang diperlukan, serta penentuan dimensi. Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi dari struktur terapung ini dan merupakan salah satu komponen terpenting.
Kata Kunci: kriteria pemecah gelombang terapung, kriteria dermaga terapung, sistem modular wahana
1. PENDAHULUAN
Sistem modular wahana apung merupakan salah satu kegiatan terpadu yang mulai diinissiasi Balitbang pada tahun 2015. Kegiatan ini merupakan konsep pengembangan suatu kawasan pesisir dengan mengapungkan infrastruktur pada kawasan tersebut, jadi pondasi yang digunakan untuk struktur berdiri adalah air. Infrastruktur yang dimaksud adalah jembatan, hunian, dan dermaga. Struktur tersebut akan ditaruh pada ponton yang disusun dari modul-modul terapung (Balai Pantai, 2015). Akan tetapi membuat struktur terapung di laut bukanlah perkara mudah, gaya-gaya yang ada di laut seperti gelombang, arus, dan angin sangat rentan untuk membuat struktur tidak stabil. Struktur yang tidak stabil dapat mengalami pergerakan yang sangat besar sehingga menyebabkan struktur terguling dan tenggelam. Selain itu, gaya yang terjadi secara terus menerus ini, dapat menyebabkan struktur lelah dan akhirnya mengalami kegagalan baik pada sttuktur utamanya ataupun pada sambungannya. (Watanabe, Wang, Utsunomiya, & Moan, 2004) Balai Litbang Pantai berperan untuk melakukan penelitian struktur apung untuk penggunaanya sebagai dermaga dan pemecah gelombang. Dermaga merupakan fasilitas bersandar bagi kapal dan dalam operasinya aspek keselamatan sangat penting untuk diperhatikan. Bila dermaga dijadikan terapung maka penting bagi dermaga untuk tidak tenggelam karena kelebihan beban ataupun mengalami kegagalan karena perencanaan yang tidak tepat. Bila digunakan sebagai pemecah gelombang maka perlu dipahami bagaimana cara perencanaan struktur tersebut agar dapat berfungsi untuk mengurangi energi gelombang. Dan bagi kedua struktur tersebut sangat penting untuk tetap bertahan pada posisinya (tidak berpindah tempat) dalam menerima beban lingkungan yang terjad serta tidak mengalami kegagalan seperti yang telah diutarakan sebelumnya.
Maka untuk dapat memperoleh struktur dermaga dan pemecah gelombang terapung yang tepat guna perlu diketahui komponen-komponen pada
struktur, batasan-batasan dalam perencanaan, dan kriteria-kriteria yang perlu diperhitungkan dalam perencanaan struktur.
Penelitian ini bertujuan untuk memetakan komponen-komponen penting pada perencanaan struktur apung, kriteria dan batasan dalam perencanaan dimensi dan pemilihan material, dan aspek-aspek perencanaan yang tidak boleh dilewatkan untuk membangun dermaga dan pemecah gelombang terapung.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Prinsip Pemecah Gelombang Apung
Pemecah gelombang apung meredam gelombang dengan prinsip interferensi yaitu dengan membuat gelombang yang berbeda fasa bertemu dengan gelombang datang sehingga saling meniadakan dan atau menggunakan gesekan atau turbulensi untuk mengilangkan energi gelombang datang (van Tol, 2008).
Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, tipe pemecah gelombang terapung dibagi menjadi (van Tol, 2008): A. Reflecting
Dinding vertikal didukung dengan rangka A terapung. Refleksi energi tergantung draft dinding vertikal dan pergerakan lateral pemecah gelombang terapung. Sway dibuat menjadi roll untuk mengurangi gaya tali.
B. Displacement
Struktur menyerap energi gelombang dan ditransmisikan kembali dengan fasa yang diubah. Struktur lebih stabil bisa dicapai pada tipe ini
C. Dissipative
Energi gelombang didisipasi ke dalam turbulensi. Pada struktur tipe displacement, pemecah gelombang terapung akan mengalami pergerakan akibat gelombang datang. Struktur yang terapung bebas memiliki 6 derajat kebebasan (Gambar 1).
Gambar 1. Derajat kebebasan struktur terapung
Pergerakan struktur akan menghasilkan gelombang. Selain itu terdapat juga energi yang mengalir dari bawah struktur (underflow). Maka gelombang yang ditransmisikan adalah penjumlahan dari gelombang
yang dibangkitkan oleh pergerakan struktur dan gelombang akibat underflow. Ilustrasi dari prinsip keja pemecah gelombang terapung ditunjukkan pada Gambar 2. Selain itu sistem mooring yang semakin kaku dapat meredam gelombang dengan lebih baik (Gaythwaite, 1990).
2.1. Bentuk Dermaga Terapung
Kapal akan berlabuh pada modul terapung yang dibentuk menjadi dermaga dengan layout menjari (pier). Dermaga disusun dari modul terapung yang dijaga posisinya dengan sistem mooring, dapat berupa rangkaian dari ponton-ponton dan dihubungkan ke darat dengan jembatan akses (OCDI, 2002). Sistem mooring Ilustrasi dermaga apung dengan sistem modul terapung ditunjukkan Gambar 3.
3. METODE PENELITIAN
Sebagai kajian awal penelitian, penyusunan aspek desain ini dilakukan dengan melakukan studi literatur dan adopsi dari berbagai kriteria dari standar-standar
yang sudah ada tentang perencanaan struktur terapung bagi pemecah gelombang dan dermaga. Sumber yang digunakan antara lain mengacu dari tesis-tesis penelitian tentang pemecah gelombang dan dermaga terapung dan standar-standar resmi yang dikeluarkan oleh instansi-instansi yang telah mendapatkan pengakuan dunia. Tesis-tesis yang digunakan antara lain master tesis oleh (Fousert , 2006) dan (van Tol, 2008) yang berfokuskan pada studi redaman struktur terapung, serta (Saleh, 2010) yang membahas mengenai struktur masif yang terapung. Standar yang digunakan antara lain (OCDI, 2002) yang merupakan standar teknis untuk perencanaan fasilias pelabuhan dan dermaga di Jepang dan telah banyak diterapkan juga dalam pekerjaan dermaga di Indonesia.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pemecah Gelombang Apung
4.1.1. Kondisi Batas Pemecah Gelombang Apung
Dalam perencanaan pemecah gelombang terapung (Gambar 4) perlu diidentifikasi batasan-batasan yang ada bagi struktur tersebut. Batasan yang diidentifikasi ditinjau dari aspek interaksi struktur terhadap lingkungan, interaksi struktur terhadap sistem mooring (penjagaan posisi), dan interaksi struktur terhadap sambungan. Selain itu didefinisikan juga batasan bagi struktur itu sendiri, yaitu (Van Tol, 2008):
A. Lingkungan
Beban lingkungan terhadap struktur adalah (Tirimanna & Falbr):
1. Gaya angin 2. Gaya gelombang 3. Gaya arus 4. Gaya hidrostatik
Kondisi batas pada lingkungan antara lain:
1. Struktur hanya dapat meredam gelombang pada frekuensi terbatas
2. Batas frekuensi ditentukan dari batas aman diizinkannya operasi (berkaitan dengan pergerakan yang boleh terjadi pada struktur yang dilindungi)
Gambar 2. Prinsip pemecah gelombang
terapung
Gambar 3. Dermaga apung
(OCDI, 2002)
3. Kegiatan operasi dihentkan saat gelombang lebih besar dari batas izin, sehingga gelombang ini tidak perlu diredam
4. Bila gelombang transmisi oleh 1 struktur masih terlalu besar, dapat digunakan sistem 2 struktur untuk menghasilkan redaman yang lebih kecil.
B. Sistem mooring
Kondisi batas pada sistem mooring antara lain: 1. Sistem mooring berperan untuk menjaga
posisi struktur
2. Sistem mooring jangan membatasi perilaku dinamik pemecah gelombang terapung yang menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung (terutama heave). 3. Sistem mooring boleh membatasi, meski
tidak harus, perilaku dinamik yang tidak menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung.
C. Sambungan
Kondisi batas pada sambungan antara lain: 1. Tidak boleh terjadi damage, baik akibat fatigue atau benturan antar unit struktur 2. Sambungan jangan membatasi perilaku
dinamik pemecah gelombang terapung yang menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung (terutama heave). 3. Sambungan boleh membatasi, meski
tidak harus, perilaku dinamik yang tidak menguntungkan bagi performa pemecah gelombang terapung.
4. Sambungan mampu menyalurkan gaya antar elemen
5. Sambungan tetap menyambung pada kondisi gelombang ekstrim
D. Struktur
Kondisi batas bagi struktur antara lain:
1. Struktur berbentuk balok dan merupakan tipe pemecah gelombang dengan prinsip displacement.
2. Struktur terapung akibat gaya hidrostatik 3. Badan struktur harus dapat menahan
penjumlahan dari tekanan hidrostatik, tekanan gelombang, dan gaya akibat percepatan
4.1.2. Parameter Desain
Dengan telah diketahuinya batasan dari struktur maka berikutnya perlu diidentifikasi parameter-parameter desain agar memenuhi batasan tersebut.
Parameter desain ini akan berpengaruh kepada komponen-komponen struktur yang digunakan, dimensi, dan pemilihan material untuk menghasilkan struktur yang efisien. Parameter desain yang ditinjau untuk perencanaan struktur pemecah gelombang terapung adalah (Fousert , 2006):
A. Dimensi
Dimensi berkaitan dengan ukuran penampang struktur (lebar dan tinggi). Dimensi akan menentukan perilaku struktur pada gelombang. B. Material
Material berkaitan dengan massa struktur dan permeabilitas struktur yang akan menentukan performa dari pemecah gelombang terapung. Material yang dapat digunakan antara lain: 1. Baja
2. Beton 3. Komposit
Faktor penentuan material:
1. Kondisi struktur yang berada di air 2. Lokasi center of gravity (COG) yang
ditentukan oleh massa dan distribusi massanya
C. Sistem mooring
Sistem mooring berkaitan dengan penjagaan posisi dari struktur. Faktor penentuan sistem mooring:
1. Tidak membatasi pergerakan yang menungtungkan performa struktur 2. Ketersediaan ruang dalam penggunaan
sistem mooring
3. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring
D. Sambungan
Sambungan berkaitan dengan konstruksi satu sistem pemecah gelombang terapung (struktur pemecah gelombang terapung dan mooring-nya). Dalam satu sistem pemecah gelombang dapat terdiri dari beberapa unit yang dihubungkan dengan sambungan. Tipe sambungan yang dapat digunakan antara lain:
1. Sambungan kaku
Tidak memungkinkan pergerakan 2. Sambungan lunak
Memungkinkan pergerakan dan memiliki koefisien pegas
3. Tidak disambung
Memungkinkan pergerakan, tidak memiliki koefisien pegas
Faktor penentuan sambungan:
1. Daerah yang dilindungi oleh satu sistem pemecah gelombang terapung
2. Performa struktur yang diinginkan dari satu sistem pemecah gelombang terapung
3. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem struktur dan mooring
E. Panjang struktur
Panjang struktur berkaitan dengan panjang satu sistem pemecah gelombang terapung. Faktor penentuan panjang elemen:
1. Stabilitas struktur bila struktur diperpanjang 2. Gaya maksimum yang diizinkan pada sistem
struktur dan mooring
3. Daerah yang dilindungi oleh satu sistem pemecah gelombang terapung
F. Pembagian elemen
Pembagian elemen berkaitan dengan konstruksi
satu unit struktur. Tipe pembagian elemen (Gambar 5) yang dapat digunakan antara lain: 1. Tidak dibagi
2. Pembagian memanjang 3. Pembagian melintang
Faktor penentuan pembagian elemen: 1. Kemudahan dan kecepatan konstruksi 2. Stabilitas pada saat instalasi
4.1.3. Perilaku Struktur pada Gelombang
Desain dari struktur akan berpengaruh terhadap perilaku struktur tersebut apabila terkena gelombang yang berimplikasi juga dengan performa pemecah gelombang terapung dalam meredam gelombang. Dengan memahami perilaku struktur bila terkena gelombang, maka perencana dapat menghasilkan suatu struktur yang optimal.
Perilaku struktur pada gelombang ditentukan oleh 3 hal di berikut (van Tol, 2008):
A. Lokasi Center of Gravity (COG)
COG menentukan periode natural roll struktur. Periode natural roll dapat diubah dengan menggeser COG. Periode natural roll tidak boleh
sama dengan periode natural heave untuk mendapat performa yang baik, maka COG harus dibuat setinggi atau serendah mungkin selama kestabilan mengizinkan dari center of buoyancy (COB). Namun COG harus diletakkan setinggi mungkin untuk menghindari pengaruh buruk dari gabungan pergerakan sway dan roll dalam meredam gelombang.
B. Rasio lebar/draft
Rasio lebar/draft menentukan range periode gelombang yang dapat diredam. Struktur mampu meredam gelombang pada rentang terlebar pada rasio lebar/draft sama dengan 5 (lima).
C. Ukuran
Dalam rasio lebar/draft yang sama, struktur yang lebih besar dapat meredam gelombang yang lebih panjang. Selain itu ukuran struktur ditentukan dari gelombang terpanjang yang ingin diredam.
4.2. Dermaga Apung
Perbedaan utama dermaga apung dan dermaga konvensional berada pada desain strukturnya.
Dengan mengapungkan struktur dermaga maka pembebanan yang perlu diperhitungkan juga berbeda. Selain itu desain struktur juga perlu memperhitungkan masalah stabilitas. Namun untuk perencanaan prasarana dermaga pada prinsipnya masih banyak kemiripan dengan dermaga konvensional. Dalam aspek desain ini dibahas kriteria-kriteria yang perlu dipenuhi dalam perencanaan dermaga apung.
a. Tidak dibagi; b. Pembagian memanjang; c. Pembagian melintang
4.2.1. Dimensi Kapal
Target dimensi kapal yang akan berlabuh di dermaga dapat mengacu pada Tabel 1.
4.2.2. Alur Pelayaran Dan Kolam Pelabuhan 4.2.2.1. Alur pelayaran
Pada perairan dengan arus dan angin yang kencang, arah alur pelayaran dibuat agar tidak mempersulit navigasi kapal (OCDI, 2002). Lebar alur pelayaran adalah lebih dari dua kali panjang kapal pesiar terbesar yang menggunakan mesin dan lebih dari lima kali panjang kapal persiar terbesar yang tidak menggunakan mesin. Kedalaman alur pelayaran adalah draft kapal terbesar ditambah 0.6 m sampai 1 m. Sudut belokan diharuskan tidak lebih dari 30°. Bila melebihi 30°, maka harus dibuat dalam lengkungan dengan radius lebih dari empat kali panjang kapal. Bila kapal mempunyai mobilitas tinggi, maka belokan dapat disesuaikan dengan kemampuan manuver kapal. Panjang alur pelayaran dari pintu pelabuhan ke daerah kolam pelabuhan ditentukan berdasarkan jarak berhenti kapal. Alur pelayaran di desain agar gelombang pada alur tidak
memiliki periode yang sama dengan periode natural roll kapal dan panjang gelombang tidak menyamai panjang kapal.
4.2.2.2. Kolam Pelabuhan
Kedalaman kolam pelabuhan adalah sama dengan kedalaman alur pelayaran. Tinggi gelombang (H1/3) yang diizinkan pada kolam adalah 0.3 m saat kondisi normal dan 0.5 m saat badai. Pada daerah kolam yang digunakan untuk berlabuh, dermaga yang digunakan berupa berupa tipe pier, maka diberikan jarak antar pier sebagai berikut:
A. Bila kapal yang berlabuh lebih kecil sama degan 3 = 1 L (L=panjang kapal)
B. Bila kapal yang berlabuh lebih besar sama degan 4 = 1.5 L
C. Pada daerah kolam yang digunakan untuk manuver (kolam putar) memiliki area sebesar lingkaran dengan diameter 3L.
4.2.3. Fasilitas Pelindung
Layout fasilitas pelindung harus dapat memfasilitasi keluar masuk yang aman bagi kapal pada saat terjadi perubahan cuaca secara mendadak dan menyediakan area kolam yang cukup (Thoresen, 2003). Arah pintu pelabuhan diatur agar dermaga tidak menerima gelombang dan arus secara langsung, dan juga pintu tidak boleh tertutup oleh sedimen yang terbawa arus. Pintu dermaga harus berada pada kisaran 45° - 90° dari arah datangnya angin untuk keamanan kapal masuk. Struktur pelindung harus mampu menyediakan perairan yang tenang dan ketinggian struktur juga harus mempertimbangkan jarak pandangan yang aman bagi kapal yang bernavigasi (OCDI, 2002).
4.2.4. Layout Fasilitas Mooring
Penyusunan layout fasilitas mooring berkaitan dengan penentuan jarak antar pier dengan dimensi kapal yang direncanakan. Penyusunan layout dapat mengacu pada Gambar 6.
4.2.5. Tinggi jagaan (freeboard)
Tinggi jagaan (freeboard) berkisar 30 – 50 cm dari permukaan air.
4.2.6. Pembebanan
Pembebanan yang ditinjau pada modul terapung untuk dermaga adalah:
1. Gaya arus 2. Gaya gelombang
3. Beban hidup (akibat pejalan kaki) 4. Beban fasilitas (bollard, fender) Tabel 1. Target dimensi kapal (OCDI, 2002)
5. Gaya akibat kapal (berthing & mooring) 6. Gaya hidrostatik
4.2.7. Kriteria Stabilitas
Kriteria stabilitas ini berkaitan dengan stabilitas stuktur ketika menerima beban pejalan kaki atasnya. Pembebanan difokuskan pada salah satu sisi struktur seperti ditunjukkan pada Gambar 7. Untuk mencapai kondisi stabil maka pada saat menerima beban maksimun pada kondisi diatas disyaratkan: 1. Kemiringan maksimum 1:10
2. Sisi struktur yang diberi beban tidak terendam air
4.2.8. Jembatan akses (access bridge)
1. Lebar minimum 75 cm. 2. Kemiringan maksimum 1:4
4.3. Sistem Mooring
Sistem mooring pada struktur apung diperlukan bukan hanya untuk menjaga posisi struktur tetapi juga menahan gaya-gaya akibat lingkungan. Gaya-gaya lingkungan akan menentukan jumlah dan posisi mooring. Posisi mooring direkomendasikan sesimetris mungkin untuk memastikan kesetimbangan horizontal dan respon struktur yang simetris (Saleh, 2010).Gaya pada sistem mooring ditentukan oleh: a. Jenis mooring b. Material mooring c. Ukuran mooring d. Kedalaman perairan e. Posisi mooring
Jenis-jenis mooring yang dapat digunakan antara lain (Saleh, 2010): 1. Dolphin-Frame guide 2. Pier/Quay Wall 3. Kabel/Rantai 4. Sliding piles 4.3.2. Kondisi Batas
Kondisi batas pada sistim mooring menyatakan syarat-syarat yang menjadi batasan dan perlu dipenuhi untuk meminimalisir pengaruh buruk dari gaya mooring pada struktur. Rekomendasi sebagai berikut:
1. Mooring pada dua sisi berada pada satu garis aksi yang sama (simetris)
2. Mooring pada struktur didistribusikan secara seragam
3. Penggunaan bearing spring dan atau dashpot pada titik sambungan untuk meredam efek amplifikasi dari respon dinamik
4. Penggunaan shock absorber pada titik
sambungan angkur untuk menguragi efek gaya gelombang
4.3.2. Jenis Mooring
4.3.2.1. Dolphin-Frame Guide
Sistem mooring ini menggunakan rangka batang yang dipancang pada dasar laut. Sistem ini
digunakan ketika pergerakan struktur apung secara pada sisi lateral yang diperlukan sangat kecil. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 8.
4.3.2.2. Pier/Quay Wall
Sistem ini digunakan untuk menahan pergerakan akibat arus pada satu arah. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 9.
4.3.2.3. Kabel/Rantai
Sistem Kabel/Rantai terdiri dua bagian, yaitu bagian tali mooring dan angkur. Tali mooring yang digunakan dapat memakai kabel, rantai, atau kombinasi keduanya. Tali mooring dihubungkan ke dasar laut dengan menggunakan angkur atau pancang. Ilustrasi ditunjukkan Gambar 10.
4.3.2.4. Jenis Tali/Rantai
Jenis tali mooring yang dapat digunakan adalah: A. Catenary line mooring
Bentuk tali melengkung karena dipengaruhi berat tali, gaya pengembali akibat berat tali B. Taut line mooring
Bentuk catenary dihilangkan akibat berat tali yang ringan, gaya pengembali diakibatkan oleh elastisitas tali.
C. Tension leg mooring
Tali mooring menahan struktur yang mempunyai kelebihan gaya apung sehingga pergerakan vertical dibatasi.
4.3.2.5. Metode Mooring Tali/Rantai
Metode mooring yang dapat dilakukan dengan sistem kabel/rantai adalah sebagai berikut (Saleh, 2010):
A. Single point mooring (SPM)
Struktur dijaga posisinya dengan satu tali mooring, akibatnya struktur dapat menyesuaikan posisi terhadap kondisi
gelombang, angin, dan arus. Namun gaya pada struktur akibat mooring sangat besar, selain itu memerlukan tempat yang luas untuk berubah posisi.
B. Multi-buoy mooring (MBM)/ Spread moorings Struktur dijaga posisinya dengan banyak tali sehingga stuktur tidak bisa bergerak bebas. Namun gaya pada struktur akibat mooring lebih terdistribusi.
C. Dynamic positioning system (DPS)
Posisi struktur dipertahankan menggunakan mesin thruster yang juga dikombinasikan dengan sistem mooring lainnya.
4.3.2.6. Sliding Piles
Pile berfungsi sebagai rel struktur yang dapat mengizinkan struktur untuk bergerak secara vertikal, namun pergerakan horizontal dibatasi.
4.3.2.7. Jenis Angkur
Jenis-jenis angkur yang dapat digunakan antara lain:
A. Soft soil anchors
Digunakan untuk diletakan pada perairan dalam dan tanah yang sangat lunak. Angkur berupa beton bertulang yang dilengkapi pipa untuk jet air. Angkur disimpar di dasar laut, kemudian jet air dihidupkan untuk membuat angkur tenggelam di lapisan tanah lunak dan mengunci angkur. Kapasitas angkur dipengaruhi oleh tekanan pasif tanah.
B. Pile anchors
Digunakan untuk perairan yang kurang dari 27 m dan berada di dasar yang keras. Angkur terdiri dari dua H-pile yang dipancang berbarengan dengan suatu kedalaman tertentu. Kedua pile disambung untuk meningkatkan kapasitas angkur.
C. Caisson gravity anchor
Digunakan untuk perairan dalam yang tanahnya keras. Dibuat dari beton bertulang dalam balok.
Gambar 9. Tipe Pier/Quay Wall
Gambar 10. Tipe kabel/rantai Gambar 8. Tipe Dolphin-Frame guide
D. Multi-slab gravity anchor
Angkur dibuat dari slab beton bertulang dan dipasang bertumpuk-tumpuk. Mirip dengan sistem caisson hanya saja dalam bentuk modular sehingga lebih mudah dibuat dan dipasang. Digunakan untuk perairan dalam dan dangkal yang bertanah keras.
E. Suction pile anchor
Angkur dibuat dari kasing baja yang satu sisinya ditutup. Dipasang ke dasar oleh gaya hisap air. Panjang pile ditentukan dari besar gaya yang ingin ditahan. Digunakan pada tanah lunak.
4.4. Prosedur Perencanaan Mooring
Prosedur perencanaan mooring dapat mengikuti langkah-langkah berikut (Saleh, 2010):
A. Memilih jenis mooring
Direncakan jenis mooring yang akan dipakai untuk kemudian dicari beban mooring-nya untuk berbagai scenario.
B. Jumlah mooring dan layout
Perilaku struktur untuk berbagai kondisi beban diperiksa untuk mengetahui pergerakan struktur. Kemudian diskenariokan posisi dan jumlah mooring agar gaya mooring terdistribusi rata.
C. Perencanaan spesifikasi mooring
Penentuan spesifikasi dari jenis mooring yang dipilih dan beban mooring yang diskenariokan. D. Pemilihan material
Pemilihan jenis material ditentukan dari kondisi lingkungan, durabilitas, dan faktor ekonomi.
5. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan
Dalam perencanaan pemecah gelombang terapung batasan-batasan yang ada bagi struktur merupakan aspek pertama yang perlu ditinjau. Dengan telah diketahuinya batasan dari struktur maka dapat diturunkan parameter-parameter desain yang perlu diperhitungkan oleh perencana. Parameter desain ini akan menentukan komponen-komponen struktur yang digunakan, dimensi, dan pemilihan material bagi struktur rencana. Perilaku struktur apung rencana sangat terpengaruh oleh gelombang yang berimplikasikan pada performa pemecah gelombang terapung dalam meredam gelombang sehingga dengan memahami perilaku struktur bila terkena gelombang, maka perencana dapat menghasilkan suatu struktur yang optimal.
5.2. Saran
Dalam perencanaan dermaga apung perlu meninjau aspek stabilitas dari struktur dan syarat kemiringan saat dibebani dan freeboard agar struktur apung
dapat difungsikan sebagai dermaga. Selain itu aspek-aspek prasarana juga harus dipenuhi sesuai dengan rencana jenis kapal dan jumlah kapal yang berlabuh serta penyusunan denah dermaga dan fasilitasnya agar tidak mempersulit manuver kapal dan untuk operasi dan pemeliharaan dermaga. Sistem mooring diperlukan untuk menjaga posisi struktur terapung agar tidak terbawa oleh gaya-gaya lingkungan. Pemilihan jenis sistem mooring ditentukan dari kondisi geoteknik, kedalaman perairan, dan nilai ekonimis dari pekerjaan di daerah tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Balai Pantai. (2015). PROPOSAL KEGIATAN PENGEMBANGAN TEKNOLOGI SISTEM MODULAR WAHANA APUNG . Buleleng: Tidak dipublikasi.
Fousert , M. (2006). Floating Breakwater Theoretical study of a dynamic wave attenuating system. Master Thesis, Delft. Gaythwaite, J. W. (1990). Design of
Marine·Facilities , for the Berthing, Mooring, and Repair-of Vessels. New York: VAN NOSTRAND REINHOLD .
McCormick , M. E. (2010). Ocean Engineering Mechanics With Applications. New York: Cambridge University Press .
OCDI. (2002). Technical Standards And
Commentaries For Port And Harbour Facilities In Japan. Tokyo: Daikousha Printing Co., Ltd. Saleh, A. H. (2010). MEGA FLOATING CONCRETE
BRIDGES. Master Thesis, Delft.
Thoresen, C. (2003). Port Designer’s Handbook: Recommendations and Guidelines. London: ThomasTelford.
Tirimanna, D., & Falbr , J. (n.d.). CONCRETE FLOATING STRUCTURE TECHNOLOGY. Amsterdam.
van Tol, P. (2008). Floating breakwaters A
Theoretical Study and Preliminary Design of a Dynamic Wave Attenuating System (Master Thesis). Delft.
Watanabe, E., Wang, C., Utsunomiya, T., & Moan, T. (2004). VERY LARGE FLOATING STRUCTURES: APPLICATIONS, ANALYSIS AND DESIGN. Singapore: Centre for Offshore Research and Engineering National University of Singapore.