• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahwa di dalam praja Mangkunegaran terdapat pimpinan yang kekuasaannya seperti

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. bahwa di dalam praja Mangkunegaran terdapat pimpinan yang kekuasaannya seperti"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam berbagai literatur dan pembicaraan praja Mangkunegaran sering disebut sebagai kerajaan.1 Pendapat-pendapat seperti itu didasarkan pada kenyataan bahwa di dalam praja Mangkunegaran terdapat pimpinan yang kekuasaannya seperti raja, disertai dengan perlengkapan struktur birokrasinya seperti patih, wedana sampai pejabat terendah. Praja Mangkunegaran selain itu juga memiliki wewenang dalam membuat hukum, kepolisian, keprajuritan dan peradilan2, sehingga mereka menyebut sebagai kerajaan Mangkunegaran. Adapula yang menyebut Mangkunegaran sebagai Kadipaten3, dan ada juga yang menyebut sebagai pura Mangkunegaran.4 Dalam konteks lisan sering dapat juga disebut dengan istana Mangkunegaran. Pada akhirnya kesemuaanya menunjukan pada objek yang sama yaitu praja Mangkunegaran.

Pada hakekatnya praja Mangkunegaran merupakan wilayah kadipaten yang kedudukannya di bawah Kasunanan Surakarta, maka praja Mangkunegaran tidak dapat disebut kerajaan. Hal ini disebabkan praja Mangkunegaran tidak diperbolehkan membuat alun-alun, menanam pohon waringin kurung sakembaran, duduk di dampar

1

Heather Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, (Jakarta: Penerbit Sinar Harapan, 1983), hlm. 69.

2

Moh. Dalyono, Ketataprajaan Mangkunegaran, (Surakarta: Reksa Pustaka Mangkunegaran, 1977), hlm. 19-49.

3

Radjiman, Sejarah Surakarta, (Surakarta: Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret, 1989), hlm. 43.

4

Titah Rahayu, “Mangkunegaran Ngalami Transisi”, Dalam majalah Jaya

(2)

(singgasana), dan tidak diperkenankan membuat balai winata dan menjatuhkan hukuman mati. Selain itu pada hari-hari tertentu harus menghadap di Kasunanan Surakarta.5 Dengan demikian, praja Mangkunegaran hanya dapat disebut sebagai wilayah kadipaten saja.

Sejak berdirinya praja Mangkunegaran pada tahun 1757, pola pemerintahan dan kepermimpinan praja selalu berusaha menuju ke arah tercapainya praja sejati6, yaitu pemerintahan Mangkunegaran yang selalu berusaha hidup dan berkembang dengan kekuatan sendiri. Dalam perkembangannya, pemerintahan Mangkunegaran selalu mengalami perubahan disesuaikan dengan perkembangan zaman.

Praja Mangkunegaran terdapat suatu kelas yang mengatur masyarakatnya. Kelas sosial tertinggi yang umumnya juga bertempat tinggal di pusat pemerintahan, terdiri dari pegawai negeri (dibaca Mangkunegaran) yang disebut dengan istilah priyayi. Adanya pegawai-pegawai yang bekerja di praja Mangkunegaran sekaligus merupakan syarat utama kelangsungan hidup suatu praja. Bagi mereka, bekerja di keraton merupakan tanggung jawab moral, sehingga mereka tidak pernah memperhitungkan masalah untung rugi. Mangkunegaran selalu mengutamakan susunan pegawai yang sederhana, yang tidak banyak jumlahnya tetapi cukup untuk menjalankan pemerintahan.

Kelompok priyayi merupakan suatu elit kelompok budaya, yang basis kekuasaan terakhir terletak pada pengawasan mereka atas pusat sumber-sumber

5

Radjiman, Op. cit., hlm. 44-46.

6

A.K. Pringgodigdo, Lahir, Tumbuh dan Berkembangnya Praja

(3)

simbolis masyarakat yakni agama, filsafat, seni, dan penulisan. Kelompok ini masih dapat dibagi lagi menjadi dua yaitu priyayi berdasarkan darah atau keturunan (raja serta para bendara7) dan priyayi berdasarkan pada pekerjaan atau golongan terpelajar yang biasanya berasal dari daerah golongan tiyang alit berhasil mencapai kedudukan pegawai negeri melalui pendidikan. Kelompok pertama juga sering disebut sebagai priyayi tradisional, sedangkan yang kedua disebut priyayi modern.

Pada zaman kolonial, orang-orang priyayi disebut kawula (hamba raja). Kedudukan mereka berada di antara raja, para bangsawan, dan para pangeran di satu pihak serta rakyat di pihak lain.8 Hubungan erat antara kawula dan gusti (pemimpin atau raja) sudah terlihat jelas sejak berdirinya praja Mangkunegaran. Dalam perjuangannya, Raden Mas Said (nantinya akan bergelar K. G. P. A. A. Mangkunegara I) bersama para pembantu utamanya mempunyai ikrar Tiji Tibeh yang berarti mati siji mati kabeh, mukti siji mukti kabeh. Ikrar bersama ini kemudian dikenal dengan Sumpah Kawula Gusti atau Pamoring Kawulo Gusti maksudnya yaitu berdiri sama tinggi, duduk sama rendah, berat sama di pikul, ringan sama di jinjing.9

Pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, prinsip Pamoring Kawulo Gusti masih dipertahankan di praja Mangkunegaran. Hal itu ditandai dengan kemunculan perkumpulan-perkumpulan atau organisasi-organisasi beranggotakan kawula.

7

Para bangsawan Jawa atau para bendara, mempunyai hubungan kekeluargaan dengan para kerabat dari salah satu dari keempat kraton di daerah Negarigung, yakni kraton Yogyakarta, Surakarta, Mangkunegaran, dan Paku Alam. Lihat Koentjaraningrat, Kebudayaan Jawa, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), hlm. 234.

8

Ibid., hlm. 278.

9

RIW Dwidjosunana, R. Ng. Sastradihardjo, RMF Dwidjosaputra, Sejarah

(4)

Organisasi-organisasi beranggotakan kawula seperti Javansche Paadvinders

Organisatie (JPO), Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKMN), dan Krida Muda.

Organisasi-organisasi tersebut merupakan organisasi milik praja Mangkunegaran yang berfungsi sebagai salah satu alat, wadah dan sarana untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh Mangkunegara VII dan pemerintah praja Mangkunegaran, baik dalam bidang sosial, budaya dan politik. Organisasi-organisasi tersebut juga berfungsi untuk memajukan kawula atau masyarakat Mangkunegaran. Organisasi-organisasi tersebut tumbuh dan berkembang di wilayah praja Mangkunegaran.

Organisasi-organisasi milik Mangkunegaran adalah bagian atau unsur-unsur dari struktur kehidupan sosial kawula atau masyarakat Mangkunegaran. JPO dan

Krida Muda memiliki fungsi untuk mendidik dan memimpin anggotanya (golongan kawula Mangkunegaran) dalam hal watak dan kecakapan badan dengan berlandaskan

pada metode kepanduan. PKMN, JPO dan Krida Muda juga memiliki fungsi yang sama dan bekerja sama pula dalam rangka menciptakan suatu keseimbangan, mempertahankan eksistensi dan memajukan kawula atau masyarakat Mangkunegaran sebagai suatu sistem. Fungsi utama ini dilakukan sesuai dengan beberapa tujuan, kepentingan dan kebutuhan tertentu dari Mangkunegara VII serta pemerintah praja Mangkunegaran dan kawula Mangkunegaran, baik di bidang sosial, politik, militer, maupun budaya.10

Rumpun kehidupan orang-orang Mangkunegaran yang akrab penuh persaudaraan nebu sauyun adalah kepribadian yang dibentuk atas nilai atau dasar

10

Rahmawati, “Organisasi Sosial Di Gubernemen Surakarta Tahun 1932-1942”, Dalam Skripsi Program Studi Ilmu Sejarah, (Surakarta: UNS, 2008), hlm. 4.

(5)

mulat sarira hangrasa wani. Mereka merasa memiliki kesamaan adat-istiadat,

nilai-nilai dan asal usul (baik darah maupun daerah) yang mengikat. Kemudian, perkumpulan-perkumpulan berdasar rasa persaudaraan muncul tidak hanya di antara beberapa keluarga bangsawan, tetapi juga di antara beberapa keluarga priyayi.11

Perkumpulan oleh bersatunya kawula juga muncul di praja Mangkunegaran dengan dasar persaudaraan atau kekerabatan. Para kawula dihimpun dan dilembagakan dalam bentuk sebuah organisasi berdasar pada kekerabatan yang sama, terorganisasi dengan baik, dan memiliki kelengkapan organisasi seperti layaknya sebuah organisasi modern. Salah satu perkumpulan atas bersatunya kawula adalah Pagoejoeban Moelat Sarira. Di dalam kalangan kerabat Mangkunegaran kata-kata

moelat sarira adalah kata yang sangat tenar, banyak dikenal dan sering terdengar. Moelat sarira adalah suatu gubahan kata yang menjiwai praja dan kerabat

Mangkunegaran.

Pagoejoeban Moelat Sarira berdiri pada tahun 1935. Paguyuban ini merupakan perkumpulan para kawula atas dasar rasa persaudaraan. Sikap kawula yang cinta terhadap pemimpin dan kemajuan di praja Mangkunegaran tercetus dalam asas berdirinya paguyuban ini, yaitu janji untuk berbakti dan percaya akan perintah pemimpin (raja) yang menduduki tahta, berdasarkan cinta dengan segala lahir dan batin demi kemajuan para kawula. Pada awal berdirinya, paguyuban ini memiliki pemahaman tentang organisasi Jawa, yaitu tentang tanah air adalah tanah tumpah

11

(6)

darah Jawa. Paguyuban ini mendukung penuh pemerintahan K. G. P. A. A. Mangkunegara VII, termasuk hubungannya dalam organisasi Budi Utomo.

Pagoejoeban Moelat Sarira membawa pengaruh besar terhadap kehidupan masyarakat di wilayah Surakarta pada umumnya serta Mangkunegaran pada khususnya. Paguyuban ini memiliki program-program kegiatan, seperti mengelola perpustakaan Sonopoestoko dan penerbitan majalah Soerya. Paguyuban ini melalui kegiatannya tersebut juga mempunyai pengaruh dalam menumbuhkan nasionalisme masyarakat.

B. Rumusan Masalah Perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apa latar belakang munculnya Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942?

2. Bagaimana sejarah Pagojoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942?

3. Bagaimana peranan Pagoejoeban Moelat Sarira dalam menumbuhkan nasionalisme masyarakat di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942?

C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang munculnya Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942.

(7)

2. Untuk mengetahui sejarah Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942.

3. Untuk mengetahui peranan Pagoejoeban Moelat Sarira dalam menumbuhkan nasionalisme masyarakat di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik teoritis maupun praktis.

Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat teoritis mengenai sebuah gambaran situasi politik, sosial, dan budaya di praja Mangkunegaran pada tahun 1935-1942 terlebih dengan adanya perkumpulan kawula, yaitu Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran. Kajian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi kepentingan pendidikan dan penelitian selanjutnya.

Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat praktis dengan menambah tulisan sejarah baru dan memperkaya kajian di dalam perbendaharaan Ilmu Sejarah, khususnya penelitian mengenai sejarah sosial, budaya dan politik masyarakat di praja Mangkunegaran.

E. Kajian Pustaka

Pada penelitian ini, untuk menunjang tema yang dikaji digunakan beberapa literatur dan referensi yang relevan. Literatur tersebut akan dijadikan bahan acuan

(8)

untuk mengkaji, menelusuri, dan mengungkapkan pokok permasalahan. Adapun literatur yang menjadi bahan acuan adalah sebagai berikut:

Buku yang berjudul Masa Menjelang Revolusi, Keraton, dan Kehidupan

Politik di Surakarta tahun 1912-1942 karya George D. Larson menjelaskan

kehidupan di Mangkunegaran tahun 1912-1942. Menurut Larson di dalam bukunya bahwa masyarakat Jawa secara tradisional terbagi dalam tiga kelompok sosial yaitu keluarga raja, pegawai atau pejabat kerajaan dan rakyat biasa. Pada abad ke 20, Mangkunegaran mengadakan reorganisasi dalam berbagai bidang. Selain struktur pemerintahan yang dibenahi juga masalah keuangan dan kelembagaan yang ada di Mangkunegaran. Buku ini menjelaskan hubungan Mangkunegara VII dengan organisasi Budi Utomo yang bergerak pada bidang pendidikan dan mengembangkan kebudayaan Jawa. Buku ini menjadi bahan acuan skripsi dalam menjelaskan perkembangan politik praja Mangkunegaran.

Buku terjemahan koleksi Reksopustoko Mangkunegaran karangan Madelon Djajadiningrat dan Nieuwenhuis yang berjudul Noto Soeroto : Gagasannya dan Iklim

Intelektual Pada Akhir Zaman Penjajahan menjelaskan tentang kiprah Raden Mas

Noto Soeroto di berbagai bidang. Noto Soeroto adalah seorang bangsawan keturunan kadipaten Paku Alaman. Noto Soeroto adalah orang terkenal di puro Mangkunegaran antara tahun 1931-1951. Ia juga menjadi sekretaris pribadi Sri Mangkunegara VII. Mereka berkenalan di negeri Belanda tahun 1913, ketika Sri Mangkunegoro VII, yang saat itu masih disebut Bandara Raden Mas Suryo Soeparto, belajar Indologi di Univesitas Leiden, sedangkan Noto Soeroto adalah mahasiswa fakultas hukum.

(9)

Kepiawaiannya dalam menulis membuatnya menghasilkan syair-syair yang indah (dalam bahasa Belanda) membuat dia menjadi seorang penyair yang terkemuka. Ia juga sering menuangkan ide-ide atau gagasannya dalam tulisan di surat kabar dan majalah. Buku ini sebagai bahan acuan menjelaskan peran Noto Soeroto di bidang politik. Hubungan Noto Soeroto dengan Pagoejoeban Moelat Sarira terjalin erat sejak ia menjadi ketua pengelola perpustakaan Sonopustoko dan kepala atau pemimpin redaksi majalah Soerya yang dibuat oleh paguyuban itu sendiri.

Buku terjemahan koleksi Reksopustoko Mangkunegaran karangan Dr. Th. M. Metz yang berjudul Seorang Raja Jawa: Beberapa Pandangan, Sehubungan Dengan

Jubileum Pemerintahan Sri Mangkunegara VII menjelaskan mengenai masa kejayaan

Praja Mangkunegaran yang dipimpin oleh Mangkunegara VII. Pembangunan Praja Mangkunegaran yang mengalami pembangunan dalam berbagai bidang membuat rakyat semakin cinta dan patuh kepada pemimpinnya. Hal ini dikarenakan Mangkunegara VII mementingkan kepentingan rakyatnya dengan membangun irigasi, dinas kesehatan, perhutanan, perkebunan dan lain sebagainya. Selain itu, Mangkunegara VII juga seorang seniman dengan melestarikan kebudayaan Jawa seperti tari dan wayang. Buku ini merupakan bahan acuan skripsi dalam menjelaskan perkembangan kebudayaan di praja Mangkunegaran ketika masa Mangkunegara VII.

Skripsi karangan Rahmawati yang berjudul ”Organisasi Sosial Di

Gubernemen Surakarta Tahun 1932-1942” menjelaskan tentang munculnya organisasi-organisasi yang beranggotakan kawula di praja Mangkunegaran. Organisasi-organisasi tersebut misalnya Javansche Padvinders Organisatie (JPO),

(10)

Pakempalan Kawula Mangkunegaran (PKMN), dan Krida Muda.

Organisasi-organisasi tersebut mempunyai fungsi sebagai salah satu alat, wadah dan sarana untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi oleh Mangkunegara VII baik dalam bidang sosial, budaya dan politik. Organisasi-organisasi tersebut muncul akibat reaksi terhadap usaha Kasunanan yang ingin merebut kekuasaan Mangkunegaran. Organisasi-organisasi tersebut juga berfungsi untuk memajukan kawula atau masyarakat Mangkunegaran. Organisasi-organisasi sosial yang dijelaskan dalam skripsi ini memiliki hubungan dengan Pagoejoeban Moelat Sarira, khususnya dalam hal kerja sama untuk memajukan praja Mangkunegaran.

Tesis Insiwi Febriary Setiasih yang berjudul “Pemikiran K. G. P. A. A.

Mangkunegara VII Tentang Pendidikan Wanita Dan Kebudayaan (1916-1944)” menjelaskan secara mendetail mengenai pembangunan dalam berbagai bidang di Praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII. Tulisan ini menitikberatkan mengenai masalah pendidikan dan kebudayaan. Kemajuan pendidikan merupakan salah satu politik kolonialisme Belanda untuk mengeliminasi pemikiran Timur dan menanamkan pengaruhnya di negeri-negeri koloninya. Di tengah kondisi yang demikian, wacana tentang pendidikan yang berbasis budaya Jawa, menjadi terobosan yang cukup menarik. Apalagi, sekolah-sekolah wanita rintisan Mangkunegara VII juga dijiwai oleh pendahulunya, yaitu Taman Siswa dan Sekolah Kartini. Dengan kata lain, Mangkunegara VII tidak ingin generasi muda, khususnya wanita kehilangan akar budayanya sebagai bangsa Jawa. Selain itu, Mangkunegara VII juga menunjukkan sejauh mana perhatian dan kecintaannya

(11)

kepada budaya Jawa. Mangkunegara VII mengembangkan budaya Jawa, seperti melestarikan bahasa Jawa, tarian Jawa dan wayang. Intinya, tulisan ini dapat menjadi bahan acuan mengenai pembangunan praja Mangkunegaran pada masa pemerintahan Mangkunegara VII, khususnya dalam perkembangan bidang budaya.

F. Metode Penelitian

Suatu penelitian ilmiah perlu didukung dengan metode agar apa yang dibuat dan dikerjakan masuk dalam suatu sistem yang terencana dan teratur. Metode sejarah memerlukan beberapa tahapan yang harus dilakukan agar hasil dari penelitian dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Metode juga erat kaitannya dengan prosedur, proses atau teknik yang sistematis untuk melakukan penelitian disiplin tertentu. Hal itu bertujuan agar mendapat objek penelitian.12

Dalam memahami berbagai fakta-fakta sejarah yang ada, diperlukan adanya sebuah proses tertentu. Penelitian sejarah menggunakan pandangan yang didasarkan pada metode sejarah. Metode sejarah merupakan metode kegiatan mungumpulkan, menguji, dan menganalisis secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau, kemudian merekonstruksi data-data yang diperoleh tersebut sehingga menghasilkan suatu historiografi (penulisan sejarah). Berasal dari data-data itulah fakta dapat

12

Suhartono W. Pranoto, Teori & Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: Graha ilmu, 2010), hlm. 11.

(12)

ditemukan setelah melalui proses intepretasi, sedangkan data baru dapat ditemukan setelah melalui penelusuran terhadap sumber-sumber sejarah. 13

Dalam penelitian ini sesuai dengan bidang ilmunya, maka digunakan Mrtode Sejarah. Metode sejarah memiliki empat tahapan, yaitu: heuristik, kritik sumber, interpretasi, dan historiografi.

1. Heuristik

Tahapan heuristik adalah tahapan pencarian, penemuan, pengumpulan sumber atau data-data yang diperlukan. Penelitian dan penulisan skripsi ini menggunakan metode pengumpulan sumber melalui studi dokumen (arsip) dan studi pustaka. Sumber tersebut tentunya yang berkaitan dengan Paguyuban Mulat Sarira, praja Mangkunegaran dan juga segala yang berhubungan dengan sejarah sosial, budaya, dan politik di Mangkunegaran.

a. Studi Arsip

Fokus penelitian dan penulisan skripsi ini adalah peristiwa yang sudah lampau, maka salah satu sumber yang digunakan adalah sumber arsip. Studi ini menggunakan arsip karena dalam metodologi disiplin sejarah, posisi arsip sebagai sumber sejarah menempati kedudukan yang tertinggi dibanding sumber lainnya, dan bisa dikatakan sebagai sumber primer (Primary

13

Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu-ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta: Gramedia,1992), hlm. 90.

(13)

sources).14 Hal itu didasarkan karena arsip diciptakan pada masa yang sezaman, juga sebagai first-hand knowledge yang kredibilitasnya dapat diandalkan. Dalam tahap ini, arsip-arsip yang diperoleh antara lain : Anggaran Dasar dari Pagoejoeban ”Moelat Sarira” Tahoen 1935, Kakantjinganipoen Panitya Agoeng ”Moelat Sarira” Tahoen 1935, Surat Permohonan Tambahnja Oeang Subsidie Sonopoestoko Mangkoenegaran Kepada Panitya Agoeng Moelat Sarira tanggal 28 Agustus 1936, Jaarverslag Sonopoestoko Pada Tahun 1936, 1939, 1940, 1941, dan 1942. Selain itu, adapula arsip dari Madjalah Soerya dan Swara Persatoean Moelat Sarira tahun 1940 hingga 1941.

b. Studi Pustaka

Studi pustaka ialah teknik pengumpulan data dengan menggunakan literatur dan referensi sebagai bahan informasi untuk mendapatkan teori dan data sekunder yang baru sebagai pelengkap data yang tidak dapat diperoleh melalui studi dokumen pada sumber data penelitian. Sumber studi pustaka berupa buku, majalah dan situs yang berkaitan dengan masalah penelitian, kemudian membaca, menyeleksi, menelaah dan mengolahnya untuk dituliskan ke dalam bentuk penulisan skripsi. Studi pustaka dilakukan di Reksopustoko Mangkunegaran, Perpustakaan Museum Radyapustaka, Perpustakaan pusat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Perpustakaan

14

Mona Lohanda, Membaca Sumber Menulis Sejarah, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hlm. 3.

(14)

Program Studi Ilmu Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sebelas Maret, Perpustakaan Pusat Universitas Sebelas Maret dan Monumen Pers Surakarta.

2. Kritik Sumber

Tahapan kritik sumber sendiri merupakan usaha mencari keotentikan data yang diperoleh melalui kritik intern maupun ekstern.15 Hal tersebut dilakukan dengan tujuan mencari kebenaran dari sumber-sumber sejarah yang terkumpul setelah sebelumya diklasifikasi sesuai dengan tujuan penelitian dan penulisan skripsi.

a. Kritik Intern

Kritik intern dilakukan untuk mencari kevalidan dari isi sumber sehingga nantinya dapat ditentukan layak tidaknya isi sumber tersebut untuk dijadikan sebagai bahan penelitian. Pengujian terhadap aspek isi dari sumber sangat menentukan agar nantinya diperoleh data-data yang terpercaya. Metode ini melakukan penyalinan arsip dari Reksopustoko Mangkunegaran Surakarta ke dalam sebuah narasi, kemudian juga melakukan penerjemahan dari bahasa Jawa, Belanda dan bahasa Melayu ke dalam bahasa Indonesia baku sesuai Ejaan Yang Disempurnakan. Penulis juga berusaha memahami situasi sosial, politik, dan kultur (keadaan budaya) pada saat dibuatnya sumber tersebut. Kemudian juga mempelajari keterkaitan sumber dengan sumber-sumber yang

15

Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), hlm. 58.

(15)

lain serta mengusut hubungan intrinsik antar berbagai fakta yang diperoleh dengan cara membandingkan sumber satu dengan sumber yang lain.

b. Kritik Ekstern

Kritik Ekstern digunakan untuk mencari keabsahan sumber atau otentitas. Kritik eksternal ini dimaksudkan sebagai kritik atas asal-usul dari sumber dan suatu pemeriksaan keaslian atas sumber sejarah apakah sumber itu telah diubah atau tidak. 16 Dalam melakukan kritik ekstern penulis melakukan beberapa hal seperti, membuktikan relevansi sumber, melacak apakah sumber tersebut otentik, asli, turunan, atau bahkan sumber yang dipalsukan, melacak latar belakang sumber yang digunakan apabila sumber itu turunan dan kemudian mengkaji kesalahan-kesalahan atau cacat-cacatnya kemudian membetulkannya sesuai dengan keperluan.

3. Interpretasi

Tahapan interpretasi yaitu penafsiran terhadap data-data yang dimunculkan dari sumber terseleksi melaui kritik sumber. Tujuan interpretasi ialah menyatukan fakta-fakta yang diperoleh melalui data dan sumber sejarah, kemudian fakta tersebut disusun bersama teori kedalam interpretasi yang integral atau menyeluruh. Dalam tahap ini, digunakan pendekatan interdisipliner yaitu bentuk pendekatan

16

(16)

dalam penelitian sejarah yang menggunakan bantuan disiplin ilmu lain dengan tujuan mempertajam analisis.

Beberapa ilmu yang digunakan sebagai ilmu bantu dalam pembahasan tersebut yaitu diantaranya sosiologi, antropologi, dan politik. Bersama ilmu bantu tersebut digunakan juga beberapa konsep dan teori, yaitu konsep perkembangan organisasi Jawa dan konsep tentang nasionalisme Jawa. Penggunaan konsep dan teori tersebut membantu dalam menjelaskan tentang Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran tahun 1935-1942, sehingga dapat diperoleh kronologi dan gambaran rekonstruksi sejarah yang jelas kaitannya dengan perkembangan organisasi Jawa di praja Mangkunegaran.

4. Historiografi

Tahap yang terakhir dan keempat ini adalah Historiografi. Tahapan historiografi yaitu tahapan terakhir dari serangkaian tahapan, mulai dari tahap heuristik, kritik sumber, intepretasi sampai pada tahap penulisan sejarah. Penulisan sejarah dihasilkan melalui pemikiran kritis dan analisis dari fakta-fakta yang telah disusun melalui proses pengujian dan penelitian terhadap sumber-sumber sejarah, yang kemudian disajikan menjadi sebuah tulisan sejarah berupa skripsi. Tahapan ini merupakan rekonsruksi yang imajinatif dari masa lampau berdasarkan data yang diperoleh dengan menempuh suatu proses metode sejarah.

(17)

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran terperinci, tulisan ini disusun bab demi bab. Penyusunan ini dilandasi keinginan agar tulisan ini dapat menyajikan gambaran yang menunjukkan suatu kontinuitas perkembangan kejadian yang beruntun.

Bab I, dalam bab pendahuluan ini berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II, dalam bab ini menguraikan latar belakang munculnya Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran.

Bab III, dalam bab ini menjelaskan mengenai sejarah Pagoejoeban Moelat Sarira di praja Mangkunegaran tahun 1935-1942. Pagoejoeban Moelat Sarira berkembang menjadi sebuah organisasi Jawa yang memiliki sistem keorganisasian, serta mempunyai tugas dan fungsi.

Bab IV, dalam bab ini menguraikan tentang peranan Pagoejoeban Moelat Sarira dalam menumbuhkan nasionalisme masyarakat di praja Mangkunegaran tahun 1935-1942. Pada bab ini menjelaskan peranan Pagoejoeban Moelat Sarira di bidang kebudayaan dan pendidikan dalam menumbuhkan nasionalisme masyarakat, serta pembubaran paguyuban ini oleh pemerintah pendudukan militer Jepang.

Bab V, dalam bab ini merupakan penutup yang berisi kesimpulan. Bab ini merupakan rangkuman jawaban atas pertanyaan yang diajukan dalam penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian structur mikro dari benda uji yang diambil dari bagian retakan di dudukan poros – retakan 1 pada gambar 4.1 – seperti yang diperlihatkan pada gambar 4.22

Dalam penelitian ini Algoritma Latent Semantic Analysis (LSA) dapat melakukan proses reduksi kalimat dengan lebih baik dibandingkan algoritma Feature Based sehingga mendapatkan

Di dalam proses investigasi peneliti meneliti suatu fenomena sosial, dalam hal ini, yaitu alat transaksi luar negeri yang berupa transaksi Jasa Valuta Asing dalam bentuk teks di

Metode penelitian yang digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi-terbagi (RPTT), dengan 3 faktor perlakuan, yaitu: Aplikasi penimbunan bahan tanah mineral sebagai petak utama

290 Tahun 2008 (3) tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran pada Pasal 3 ayat 3 bahwa persetujuan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dibuat dalam bentuk

Untuk menggali keterangan yang lebih lanjut mengenai hubungan antara budaya organisasi dengan tingkat stres kerja karyawan, penulis juga mengadakan wawancara kepada beberapa

Perhitungan jalur pipa PG-0123-D-2” menggunakan metode manual mendapatkan nilai yang jauh dibawah tekanan desain dan juga hasil penghitungan dengan RSTRENG yaitu hanya

PENGARUH METODE GUIDED INQUIRY LEARNING DAN METODE PROBLEM SOLVING TERHADAP KEMAMPUAN BEPIKIR KRITIS SISWA DENGAN MODERATOR MOTIVASI BELAJAR SISWA (Studi Quasi Eksperimen Pada