• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis, konsep hemodialisis, konsep caregiver keluarga, peran caregiver keluarga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kronis, konsep hemodialisis, konsep caregiver keluarga, peran caregiver keluarga"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

9 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini akan memaparkan teori dan konsep serta penelitian terdahulu terkait dengan masalah penelitian sebagai bahan rujukan dalam penelitian ini dan saat dilakukan pembahasan. Uraian tinjauan pustaka meliputi : konsep penyakit ginjal kronis, konsep hemodialisis, konsep caregiver keluarga, peran caregiver keluarga dalam memberikan perawatan di rumah pada pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis, dampak pasien PGK bagi caregiver keluarga, dan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.

2.1 Konsep Penyakit Ginjal Kronis (PGK) 2.1.1 Pengertian

Penyakit ginjal kronis (PGK) atau penyakit ginjal tahap akhir merupakan gangguan fungsi ginjal yang progresif dan irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, yang akan menyebabkan retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah (Smeltzer & Bare, 2002). Penyakit ginjal kronik adalah penurunan fungsi ginjal yang progresif dan ireversible dengan penurunan laju filtrasi glomerulus yang dapat digolongkan ringan, sedang dan berat. Kondisi ini harus dibantu dengan dialisis atau transplantasi (Mansjoer, 2001 : 533). Penyakit ginjal kronis disebabkan oleh hilangnya sejumlah besar nefron fungsional yang progresif dan irreversible (Guyton & Hall, 2007:426).

(2)

2.1.2 Etiologi

Penyebab penyakit ginjal kronik (Price,2002) : a. Infeksi Saluran Kemih

Infeksi saluran kemih umumnya dibagi dalam dua kategori : Infeksi saaluran kemih bagian bawah (uretritis, sistitis, prostatis) dan infeksi saluran kencing bagian atas (pielonepritis akut).

b. Penyakit Peradangan

Kematian yang diakibatkan oleh penyakit ginjal umumnya disebabnya oleh glomerulonepritis Kronik. Pada glomerulonepritis kronik, akan terjadi kerusakan glomerulus secara progresif yang pada akhirnya akan menyebabkan terjadinya gagal ginjal (Price,2002).

c. Nifrosklerosis Hipertensif

Hipertensi merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan pada ginjal, sebaliknya penyakit ginjal kronik dapat menyebabkan hipertensi atau ikut berperan pada hipertensi melalui mekanisme retensi natrium dan air, serta pengaruh vasopresor dari sistem renin angitensin (Price,2002).

d. Gangguan Kongenital dan Herediter

Asidosis tubulus ginjal dan penyakit polikistik ginjal merupakan penyakit herediter yang terutama mengenai tubulus ginjal. Keduanya dapat berakhir dengan gagal ginjal meskipun lebih sering di jumpai pada penyakit polikistik (Price,2002).

(3)

e. Gangguan Metabolik

Penyakit metabolik yang dapat mengakibatkan penyakit ginjal kronik antara lain diabetes melitus, gout, hiperparatiroidisme primer dan amiloidosis (Price, 2002).

f. Nefropati Toksik

Ginjal rentan terhadap efek toksik, obat-obatan dan bahan-bahan kimia karena ginjal menerima 25% dari curah jantung, sehingga sering dan mudah kontak dengan zat kimia dalam jumlah yang besar. Ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk kebanyakan obat sehingga insufisiensi ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus (Price,2002).

2.1.3 Manifestasi Klinis

Pada penyakit ginjal kronis setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi uremia, oleh karena itu pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Berikut merupakan tanda dan gejala penyakit ginjal kronis (Smeltzer & Bare, 2002):

a. Kardiovaskuler, yang ditandai dengan adanya hipertensi, pitting edema (kaki, tangan, sacrum), edema periorbital, friction rub pericardial, serta pembesaran vena leher.

b. Integumen, yang ditandai dengan warna kulit abu-abu mengkilat, kulit kering dan bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh serta rambut tipis dan kasar.

(4)

c. Pulmoner, yang ditandai dengan krekeis, sputum kental dan liat, napas dangkal seta pernapasan kussmaul.

d. Gastrointestinal, yang ditandai dengan napas berbau ammonia, ulserasi dan perdarahan pada mulut, anoreksia, mual dan muntah, konstipasi dan diare, serta perdarahan dari saluran GI.

e. Neurologi, yang ditandai dengan kelemahan dan keletihan, konfusi, disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, serta perubahan perilaku.

f. Muskuloskletal, yang ditandai dengan kram otot, kekuatan otot hilang, fraktur tulang serta foot drop.

g. Reproduksi, yang ditandai dengan amenore dan atrofi testikuler.

2.1.4 Patofisiologi

Perjalanan umum penyakit ginjal kronis dikutip dari Smeltzer dan Bare (2002) dapat dibagi menjadi beberapa tahapan:

a. Fungsi ginjal menurun.

Produk akhir metabolisme protein tertimbun dalam darah (uremia) dan mempengaruhi setiap sistem tubuh. Semakin banyak timbunan produk sampah, maka gejala akan semakin berat.

b. Gangguan klirens ginjal.

Banyak masalah muncul pada gagal ginjal sebagai akibat dari penurunan jumlah glomerulus yang berfungsi, yang menyebabkan penurunan klirens substansi darah yang seharusnya dibersihkan oleh ginjal. Menurunnya filtrasi glomerulus klirens kreatinin akan menurun dan kadar kreatinin

(5)

serum akan meningkat. Selain itu, kadar nitrogen urea darah (BUN) biasanya meningkat.

c. Retensi cairan dan natrium.

Ginjal juga tidak mampu untuk mengkonsentrasikan atau mengencerkan urin secara normal pada penyakit ginjal tahap akhir, respon ginjal yang sesuai terhadap perubahan masukan cairan dan elektrolit sehari-hari, tidak terjadi.

d. Asidosis.

Perkembangan penyakit ginjal akan menyebabkan asidosis metabolik seiring dengan ketidakmampuan ginjal mengekskresikan muatan asam (H+) yang berlebihan.

e. Anemia.

Anemia terjadi sebagai akibat dari produksi eritropoetin yang tidak adekuat, memendeknya usia sel darah merah, defisiensi nutrisi, dan kecenderungan untuk mengalami perdarahan akibat status uremik pasien, terutama dari saluran gastrointestinal.

f. Ketidak seimbangan kalsium dan fosfat.

Kadar serum kalsium dan fosfat tubuh memiliki hubungan saling timbal balik, jika salah satunya meningkat, yang lain akan turun. Dengan menurunnya filtrasi melalui glomerulus ginjal, terdapat peningkatan kadar fosfat serum dan sebaliknya penurunan kadar serum kalsium.

(6)

2.1.5 Klasifikasi Penyakit Ginjal Kronis

Kidney Disease Outcome Quality Initiative (KDOQI), pada tahun

2002 menerbitkan klasifikasi tahapan penyakit ginjal kronik, sebagai berikut:

a. Tahap 1 : kerusakan ginjal dengan LFG (Laju Filtrasi Glomerulus) normal atau meningkat (>90 mL/min/1,73 m2)

b. Tahap 2 : kerusakan ginjal dengan penurunan ringan pada LFG (60-89 mL/min/1,73 m2)

c. Tahap 3 : kerusakan ginjal dengan penurunan LFG sedang (30-59 mL/min/1,73 m2)

d. Tahap 4 : kerusakan ginjal dengan penurunan LFG berat (15-29 mL/min/1,73 m2)

e. Tahap 5 : kegagalan fungsi ginjal (LFG<15 mL/min/1,73 m2)

2.1.6 Penatalaksanaan Penyakit Ginjal Kronis

Rencana penatalaksanaan penyakit ginjal kronik sesuai derajatnya, antara lain :

Tabel 1. Rencana penatalaksanaan PGK sesuai derajatnya

Derajat LFG (mL/min/1,73 m2) Rencana Penatalaksanaan

1 >90 Terapi penyakit dasar, kondisi komorbid,

evaluasi perburukan fungsi ginjal, memperkecil risiko komplikasi kardiovaskuler

2 60-89 Menghambat perburukan fungsi ginjal

(7)

Lanjutan Tabel…

4 15-29 Persiapan untuk terapi pengganti ginjal

5 <15 Terapi pengganti ginjal

Sumber : KDOQI, 2002

Terapi pengganti ginjal dilakukan pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5, yaitu pada LFG kurang dari 15ml/mnt. Terapi pengganti tersebut dapat berupa hemodialisis, peritoneal dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo, 2006).

2.2 Hemodialisis 2.2.1 Pengertian

Dialisis adalah suatu proses dimana solute dan air mengalami difusi secara pasif melalui suatu membran berpori dari kompartemen cair menuju kompartemen lainnya (Price, 2006). Hemodialisis didefinisikan sebagai pergerakan larutan dan air dari darah pasien melewati membran semipermeabel (dializer) ke dalam dialisat (Tisher & Wilcox, 1997). Terapi hemodialisis merupakan teknologi tinggi sebagai terapi pengganti untuk mengeluarkan sisa-sisa metabolisme atau racun tertentu dari peredaran darah manusia seperti air, natrium, kalium, hidrogen, urea, kreatinin, asam urat, dan zat-zat lain melalui membran semi permiabel sebagai pemisah darah dan cairan dialisat pada ginjal buatan dimana terjadi proses difusi, osmosis dan ultra filtrasi (Smeltzer & Bare, 2002). Hemodialisis bertujuan sebagai pengganti ginjal untuk memindahkan produk-produk limbah yang terakumulasi dalam sirkulasi pasien dan dikeluarakan dalam mesin dialisis

(8)

(Mutaqqin & Sari, 2012). Pada pasien penyakit ginjal kronis, hemodialisis merupakan tindakan yang akan menurunkan risiko kerusakan organ-organ vital lainnya akibat akumulasi zat toksik dalam sirkulasi. Tindakan hemodialisis tidak menyembuhkan atau mengembalikan fungsi ginjal secara permanen, sehingga pasien penyakit ginjal kronis harus menjalani terapi dialiis seumur hidupnya (umumnya tiga kali seminggu, minimal 3 atau 4 jem per terapi) (Mutaqqin & Sari, 2012).

2.2.2 Indikasi

Hemodialisis umumnya dimulai ketika bersihan kreatinin menurun dibawah 15 mL/menit. Pasien yang terdapat gejala-gejala uremia dan secara mental dapat membahayakan dirinya juga dianjurkan dilakukan hemodialisis. Indikasi relatif dari hemodialisis adalah azotemia simtomatis berupa ensefalopati, dan toksin yang dapat didialisis. Sedangkan indikasi khusus adalah perikarditis uremia, hiperkalemia, kelebihan cairan yang tidak responsif dengan diuretik (oedem pulmonum), dan asidosis yang tidak dapat diatasi (Thiser & Wilcox, 1997).

2.2.3 Prinsip Dasar Hemodialisis

Dalam Hemodialisis terdapat 2 prinsip dasar yang bekerja bersamaan (Febriyani, 2011), yaitu:

a. Difusi adalah pergerakan molekul dalam larutan dengan konsentarsi tinggi ke konsentasi yang lebih rendah. Pada Hemodialisis, pergerakan

(9)

molekul ini melalui suatu membran semipermeabel, yang membatasi kompartemen darah dengan kompartemen dialisat dalam suatu dializer. b. Ultafiltasi adalah pergerakan dalam mmHg yang memaksa air keluar dari

kompartemen darah ke dialisat dengan adanya tekanan positif di kompartemen darah dan tekanan negatif dalam kompartemen dialisat, atau Trans Membrane Pressure (TMP).

2.2.4 Komplikasi

Proses hemodialisis sering sekali menimbulkan komplikasi akut, antara lain: kram otot, hipotensi, aritmia, sindrom ketidakseimbangan dialisa, hipoksemia, perdarahan, ganguan pencernaan, infeksi atau peradangan, dan pembekuan darah (Havens & Terra, 2005).

Pasien PGK stadium akhir harus menjalani terapi hemodialisis dalam jangka waktu yang lama. Komplikasi jangka panjang yang dihadapi pasien PGK dengan terapi hemodialisis adalah penurunan motivasi dalam menjalani pengobatan, seperti : pasien tidak mau melakukan hemodialisis sesuai jadwal, tidak mau membatasi cairan dan diit, tidak mempunyai gairah hidup, pesimis dan mempunyai perasaan yang negatif terhadap diri sendiri (Wahyuningsih, 2011).

(10)

2.3 Konsep Caregiver Keluarga 2.3.1 Definisi Caregiver Keluarga

Definisi caregiver dalam Merriam-Webster Dictionary (2012) adalah orang yang memberikan perawatan langsung pada anak atau dewasa yang berpenyakit kronis. Defenisi caregiver dari literatur bahasa Indonesia yang dikemukakan oleh Subroto (2012) adalah seseorang yang bertugas untuk membantu orang-orang yang ada hambatan untuk melakukan kegiatan fisik sehari-hari baik yang bersifat kegiatan harian personal seperti makan, minum, berjalan, atau kegiatan harian yang bersifat instrumental seperti memakai pakaian, mandi, menelpon atau belanja (Fatmadona, 2013).

Timonen (2009) menyebutkan terdapat dua jenis caregiver, yaitu formal dan informal. Caregiver formal atau disebut juga penyedia layanan kesehatan adalah anggota suatu organisasi yang dibayar dan dapat menjelaskan norma praktek, professional, perawat atau relawan. Informal caregiver bukanlah anggota suatu organisasi, tidak memiliki pelatihan formal dan tidak bertanggungjawab terhadap standar praktek, dapat berupa anggota keluarga ataupun teman, dengan demikian caregiver keluarga merupakan bagian dari informal caregiver.

Family caregiver atau Caregiver keluarga menurut Wenberg (2011)

adalah pasangan, anak dewasa, kenalan pasangan atau teman yang memiliki hubungan pribadi dan memberikan berbagai bantuan yang tidak dibayar untuk orang dewasa yang lebih tua dengan kondisi kronis atau lemah.

(11)

Caregiver keluarga harus berinteraksi dengan tenaga kesehatan untuk

mendapatkan informasi, pelayanan dan peralatan terkait perawatan pasien.

Caregiver tidak hanya mendampingi pasien, namun turut membantu dalam

pemenuhan kebutuhan fisik, sosial dan emosional mereka (Fatmadona, 2013).

Dengan demikian dapat disimpukan bahwa caregiver keluarga merupakan anggota keluarga pasien yang bertanggung jawab merawat serta memberikan dukungan penuh pada pasien, khususnya pasien yang mengidap penyakit kronis.

2.3.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keluarga sebagai Caregiver

Kemampuan keluarga memberikan perawatan kepada pasien dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Green (1980) dalam Notoatmodjo, (2007), faktor-faktor yang mempengaruhi kesehatan meliputi : a) Predisposing factor atau faktor predisposisi mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap kesehatan, tradisi dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kesehatan, sistem nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan, tingkat sosial ekonomi (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2007); b) Enabling faktor (faktor pemungkin) yaitu mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas kesehatan bagi masyarakat termasuk fasilitas pelayanan kesehatan seperti rumah sakit, puskesmas, poliklinik, posyandu, posbindu, pos obat desa, dokter atau bidan praktek swasta. Faktor ini pada dasarnya mendukung terwujudnya perilaku kesehatan; c) Reinforcing factor (faktor penguat) meliputi sikap dan

(12)

perilaku tokoh masyarakat (toma), tokoh agama (toga), para petugas kesehatan yang ada di masyarakat, termasuk undang-undang dan peraturan-peraturan baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan kesehatan.

Menurut Williams (2007) dalam penelitian Fatmadona (2013) proses interaksi caregiver dan pasien dipengaruhi oleh faktor:

a) Komitmen

Perawatan anggota keluarga dengan penyakit kronis memerlukan komitmen jangka panjang. Komitmen merupakan penanda suatu hubungan yang erat dengan seseorang, terutama hubungan antara pasien dengan keluarga sebagai caregiver. Terdapat 4 dimensi komitmen, yaitu: tanggung jawab, memprioritaskan pasien, memberikan dukungan, keyakinan adanya kasih sayang.

b) Harapan

Harapan berhubungan dengan pandangan pasien dan keluarga di masa mendatang. Harapan terhadap kenyataan perlu dibangun oleh caregiver dalam membina hubungan caregiver dengan pasien.

c) Penentuan Peran

Dalam merawat pasien dengan penyakit kronis, keluarga akan menghadapi perawatan kompleks pasien yang memerlukan pembagian tanggung jawab. Dalam hal tersebut caregiver memerlukan penentuan peran dalam merawat pasien.

(13)

Keberhasilan proses perawatan juga ditentukan dengan hubungan yang terjalin antara keluarga sebagai caregiver dengan pasien.

2.4 Peran Caregiver Keluarga dalam Memberikan Perawatan di Rumah pada Pasien PGK yang Menjalani Terapi Hemodialisis

Peran keluarga sebagai caregiver dalam proses perawatan pasien PGK dengan terapi hemodialisis sangat diperlukan terutama dalam memberikan perawatan yang mengatasi masalah fisik, psikologi, sosial, ekonomi dan spiritual pasien. Keluarga sebagai caregiver atau pemberi perawatan harus memahami prosedur dan dampak yang dialami pada pasien penyakit ginjal kronis yang menjalani hemodialisis.

Caregiver keluarga selaku pemberi perawatan di rumah harus

memahami prosedur hemodialisis dan dampaknya bagi pasien melakukan hemodialisis sesuai instruksi dokter, minum obat yang telah diresepkan, pemeriksaan rutin di laboratorium, pemantauan diet/nutrisi, cairan, berat badan, gejala-gejala PGK seperti oliguri, lemas, tidak nafsu makan, mual, muntah, sesak nafas, gatal, dan pucat/anemia (Nugraha, 2010).

Salah satu penyebab kematian pada pasien PGK dengan hemodialisis adalah karena masalah asupan nutrisi dan cairan yang tidak terkontrol (Smeltzer & Bare, 2002). Kebutuhan nutrisi pasien penyakit ginjal kronis berbeda dengan kebutuhan orang normal karena disebabkan sejumlah faktor, antara lain faktor katabolisme yang tinggi, toksin uremia yang berlebihan, serta gangguan ekskresi toksin dan cairan

(14)

akibat kerusakan fungsi filtrasi ginjal (NKDEP, 2011) jurnal. Hal ini dapat dicegah dengan melibatkan dukungan caregiver keluarga dalam pembatasan asupan nutrisi dan cairan bagi pasien PGK (Rini, dkk, 2013) jurnal.

Menurut panduan National Kidney Foundation/Kidney Dialysis

Outcomes Quality Initiative (NKF K/DOQI, 2002), anjuran asupan

karbohidrat untuk pasien penyakit ginjal kronis adalah 35 kkal/kgBB/hari untuk pasien dewasa dan 30-35 kkal/kgBB/hari untuk pasien kelompok usia lanjut. Prinsip pemberian protein pada pasien yang sudah menjalani dialisis, baik hemodialisis maupun dialisis peritoneal, asupan protein justru harus ditambah untuk mengimbangi jumlah protein yang hilang pada saat proses dialisis dilakukan (NKF K/DOQI, 2002). European Best Practice

Guidelines (EBPG, 2007) menganjurkan agar asupan lemak diatur

sedemikian sehingga kadar kolesterol total pasien tidak kurang dari 150 mg/dL, sedangkan untuk mineral perlu seperti natrium, kalium, dan fosfor merupakan contoh mineral yang perlu dibatasi. Asupan air pada pasien PGK dengan juga harus sangat diperhatikan agar tidak memperberat kerja jantung dan ginjal. Anjuran asupan air adalah tidak lebih dari 1500 mL per hari. Asupan air untuk pasien penyakit ginjal kronis tahap dialisis dihitung berdasarkan keluaran urine per 24 jam terakhir, ditambah dengan 500 mL. Cairan tidak hanya diperhitungkan dari air yang diminum, tetapi juga dari makanan yang kandungan airnya tinggi (EBPG, 2007).

(15)

Peran penting caregiver keluarga lainnya adalah pemantauan pemberian obat pada pasien PGK. Obat-obatan yang diberikan dimaksudkan untuk mempertahankan kondisi tubuh, dengan memberikan vitamin, obat anti mual, obat untuk tulang, serta obat yang diberikan untuk mengobati penyakit yang menyertainya seperti hipertensi, penyakit jantung, asam urat serta diabetes mellitus (Nugraha, 2010). Pemberian jenis dan dosis obat yang salah dapat mempengaruhi proses eliminasi dan interaksi obat, sehingga menambah beban kerja ginjal (NKF K/DOQI, 2002).

Berdasarkan aspek psikologis, caregiver keluarga berperan penuh dalam memberikan dukungan sosial. Bentuk dukungan sosial yang diberikan adalah dukungan pemeliharaan dan emosi bagi anggota keluarga yang sakit. Dukungan spiritual, keyakinan terhadap Tuhan dan berdoa didefinisikan oleh keluarga sebagai cara paling penting bagi keluarga mengatasi stressor yang berkaitan dengan kesehatan, selain itu dukungan spiritual juga membantu keluarga mentoleransi adanya ketegangan yang kronis dan lama dalam keluarga (Friedman, 1998, dalam Ngadiran, 2010).

2.5 Dampak Pasien PGK bagi Caregiver Keluarga

Caregiver keluarga mempunyai strategi koping untuk mengatasi

ketidakpastian hidup dari penderita PGK yang menjalani terapi hemodialisis, namun keluarga yang memberikan perawatan pada pasien PGK dengan hemodialisis pada awalnya akan mengalami tahap berduka/kehilangan (Brunier, 2001, dalam Nugraha, 2010). Kehilangan

(16)

yang dimaksud adalah kehilangan peran dan rasa takut kehilangan karena adanya kematian (Nugraha, 2010).

Kubler-Ross (1969, dalam Nugraha, 2010) mendefinisikan kehilangan sebagai situasi saat ini atau yang akan terjadi, dimana sesuatu yang berbeda nilainya karena hilang keberadaannya. Respon kehilangan dibagi menjadi lima tahap dalam proses berduka :

a. Denial (menolak). Ditunjukkan dengan perilaku menolak untuk percaya bahwa sedang mengalami kehilangan, tidak siap menghadapi masalah-masalah yang akan terjadi.

b. Anger (marah). Individu atau keluarga secara langsung menunjukkan reaksi marah kepada orang-orang disekitarnya. Kemarahan tersebut sehubungan dengan masalah yang dalam keadaan normal tidak mengganggu mereka.

c. Bargaining (tawar-menawar). Ditunjukkan dengan perilaku mulai menawarkan diri untuk menghindari kesulitan, belajar menerima kepedihan, dan terkadang merasa cemas.

d. Depression (depresi). Ditunjukkan dengan respon perilaku sedih dan mendalam terhadap apa yang telah berlalu dan apa yang tidak dapat terjadi lagi.

e. Acceptance (menerima). Tahap akhir dari proses berduka. Respon yang ditampilkan berupa pengontrolan atau pengendalian diri, menyadari realitas, mempunyai harapan tentang masa depan, merasakan kondisi

(17)

diri sendiri sudah lebih baik dan dapat melanjutkan kepada fungsi dan perannya.

Caregiver keluarga pasien PGK yang menjalani terapi hemodialisis

memberikan perawatan dalam jangka waktu lama, sehingga sangat logis proses caregiving dapat memberikan dampak tersendiri pada individu atau kelompok caregiver. Pasien yang menderita penyakit kronis seumur hidup dapat menjadi beban bagi keluarga. Frank-Stromborg, dan Baird, (1996, dalam Fatmadona, 2013) mengartikan beban caregiver dan distress sebagai suatu reaksi multidimensional biopsikososial yang menghasilkan keseimbangan permintaan perawatan dan kebutuhan fisik, sosial, emosional dan keuangan yang tersedia untuk individu yang memberikan perawatan dan dukungan pada anggota keluarga yang mempunyai efek langsung pada kesejahteraan caregiver.

WHO (2001, dalam Ngadiran, 2010), beban keluarga keluarga diklasifikasikan menjadi 2 jenis yaitu undefined burden dan hidden burden.

a. Undefined burden (beban yang sulit diukur) adalah beban keluarga yang berhubungan dengan sosial dan ekonomi keluarga, masyarakat, dan negara. Beban ini cukup substansial, tetapi tidak dapat diukur secara pasti karena tidak ada data yang pasti, contohnya kehilangan produktifitas dari anggota keluarga karena harus merawat anggota keluarga yang sakit, berkurangnya produktivitas dari anggota keluarga yang sakit, ketergantungan anggota keluarga yang sakit terhadap

(18)

dukungan dari orang yang merawatnya, biaya secara finansial baik langsung maupun tidak langsun anggota keluarga yang sakit

b. Hidden burden (beban tersembunyi). Beban ini berhubungan dengan stigma, hak seseorang dan kebebasan. Beban ini sulit untuk diukur, contohnya dijauhi oleh teman, relasi, tetangga dan pimpinan tempat bekerja, diperlakukan tidak adil diantara anggota keluarga yang lain, dan stigma dari masyarakat.

Lefley (1996, dalam Fatmadona, 2013), menjabarkan beban

caregiver dengan penyakit kronis secara rinci sebagai berikut:

a. Ketergantungan ekonomik pasien b. Gangguan rutinitas harian

c. Manajemen prilaku

d. Permintaan waktu dan energi

e. Interaksi yang membingungkan dengan layanan kesehatan f. Biaya pengobatan dan perawatan

g. Penyimpangan kebutuhan anggota keluarga lain h. Gangguan bersosialisasi

i. Ketidakmampuan menemukan perawatan yang memuaskan Stuart (2009), menyatakan beban caregiver terbagi 2 yaitu:

a. Beban objektif, sehubungan dengan prilaku pasien, peran, efek samping pada keluarga, kebutuhan dukungan dan biaya finansial penyakit. Beban objektif termasuk pembatasan aktivitas, waktu yang dihabiskan selama perawatan dan tugas yang diberikan, serta biaya yang dikeluarkan.

(19)

b. Beban subjektif, yaitu perasaan caregiver keluarga yang dibebankan, ketegangan, sangat individual dan tidak konsisten sehubungan dengan elemen beban objektif, seperti status emosional, status fisik, finansial dan pekerjaan.

Caregiver keluarga harus mengawasi dan memberikan perawatan

pada pasien PGK, sehingga aktifitas keluarga sebagai juga menjadi terbatas. Terbatasnya aktifitas caregiver dapat menimbulkan konflik peran pada diri

caregiver. Konflik peran merupakan konflik yang terjadi karena

ketidaksesuaian harapan individu akibat perubahan-perubahan yang dialami dan dapat mengarahkan individu ke tahap stress peran (Hardi dan Hardi, 1998 dalam Wahyuningsih, 2011).

Masalah fisik pada caregiver yang biasa muncul adalah kelelahan pada caregiver, kelelahan akan mengarah ke berbagai penyakit penurunan sistem imunitas tubuh (Frank dan Baird, 1996 dalam Fatmadona, 2013).

Caregiver keluarga bagi pasien PGK stadium akhir diharapkan

mampu memberikan perawatan fisik, menjaga kenyamanan pasien dan memenuhi kebutuhan emosional pasien. Anggota keluarga membutuhkan informasi terus menerus terkait kondisi perkembangan pasien dan prognosis penyakitnya. Ketegangan emosional dan kurangnya sumber dalam memenuhi kebutuhan pasien menjadi penyebab distress caregiver. Untuk mengatasi aspek psikologis tersebut perlu diperhatikan aspek sosial yaitu pentingnya memberikan dukungan sosial bagi caregiver.

(20)

Friedman, Bowden dan Jones (2010), menyatakan dukungan sosial merupakan suatu kenyamanan fisik dan emosional yang diberikan kepada seseorang dan berasal dari keluarga, teman, teman kerja dan orang lain dilingkungan sekitar kita. Dukungan sosial dibagi dalam empat macam yaitu dukungan informasional, dukungan emosional, dukungan penghargaan dan dukungan instrumental. Dukungan informasional diwujudkan dengan pemberian informasi, nasehat, petunjuk, saran dan umpan balik terhadap keadaan yang dialami oleh keluarga yang merawat pasien hemodialisis.

Dukungan emosional diberikan dengan mengungkapkan kepedulian, perwujudan empati, dan memberikan perhatian terhadap kondisi keluarga yang merawat pasien hemodialisis. Dukungan penghargaan dilakukan dengan memberikan dorongan untuk tetap maju, menyetujui gagasan dan ide untuk mengambil suatu keputusan terhadap perawatan pasien hemodialisis. Dukungan instrumental merupakan perwujudan pemberian bantuan secara langsung, seperti memberikan bantuan keuangan untuk melanjutkan proses terapi hemodialisis. Seluruh dukungan sosial tersebut bisa diperoleh baik secara formal maupun informal. Dukungan formal bagi keluarga/caregiver didapatkan dari guru sekolah, dokter, perawat, psikolog dan tenaga profesi lainnya yang mendukung terapi hemodialisis. Dukungan informal diperoleh melalui jaringan orangtua/caregiver yang merawat pasien dengan terapi hemodialisis,

(21)

kelompok teman sekolah, tetangga, teman kerja, maupun kerabat keluarga (Friedman, Bowden & Jones, 2010).

2.6 Penelitian Kualitatif dengan Pendekatan Fenomenologi

Penelitian kualitatif adalah proses meneliti pemahaman dengan menggunakan tradisi metodologi yang berbeda dalam mengeksplorasi masalah sosial atau manusia. Peneliti menyusun gambaran yang kompleks holistik, menganalisis kata-kata, melaporkan pandangan informan secara rinci, dan melakukan penelitian dalam kondisi alaminya (Creswell, 2012). Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang digunakan untuk menggambarkan dan menjelaskan kualitas dari pengaruh sosial yang tidak dapat dijelaskan atau diukur dengan pendekatan kuantitatif (Saryono & Anggraeni, 2013). Penelitian kualitatif merupakan fokus penelitian dengan metode yang beragam, dimana mencakup pendekatan intrepretatif dan naturalistik pada subjek yang akan diteliti (Patilima, 2011). Penelitian kualitatif ini sangat tepat dipakai untuk mengetahui keadaan sosial dari partisipan. Salah satu metode yang tepat digunakan adalah pendekatan fenomenologi.

Pendekatan fenomenologi bertujuan untuk menggambarkan secara penuh tentang pengalaman seseorang mengenai perilaku. Peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitannya terhadap orang-orang yang berada dalam situasi tertentu (Moleong, 2010). Studi fenomenologi merupakan suatu metode penelitian yang kritis dimana pada metode ini peneliti meneliti tentang pengalaman manusia melalui deskripsi dari orang

(22)

yang menjadi partisipan penelitian, sehingga peneliti dapat memahami pengalaman hidup dari partisipan (Saryono & Anggraeni, 2013).

Pengambilan sampel dalam penelitian kualitatif umumnya menggunakan purposive sampling dengan pendekatan yang paling sesuai dengan penelitian kualitatif (Saryono & Anggraeni, 2013). Penentuan sumber data pada partisipan yang diwawancarai secara purposive sampling dipilih dengan pertimbangan dan tujuan tertentu sehingga sampel tidak akan diambil secara random (Sugiyono, 2013).

Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan metode wawancara mendalam (in-depth interview), dengan alat pengumpulan data yang paling utama yaitu peneliti sendiri dan dibantu oleh beberapa alat bantu lainnya seperti catatan lapangan, alat perekam suara, dan pedoman wawancara mendalam.

Proses analisa data dilakukan secara terus menerus dengan proses pengumpulan data sehingga akan ditemukan tema-tema yang akan dibahas berdasarkan jurnal dan literatur terkait. Data selanjutnya akan diuji melalui uji keabsahan data. Pengujian keabsahan data pada studi kualitatif dapat diperoleh dengan melakukan verifikasi data pada partisipan. Menurut Guba dan Lincoln (1994 dalam Saryono & Anggraeni, 2013) terdapat 4 (empat) kriteria untuk memperoleh keabsahan data dalam studi kualitatif yaitu :

a. Credibility, bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan terhadap penemuan yang dicapai (Moleong, 2007 dalam Saryono & Anggraeni, 2013). Credibility hasil penelitian dapat dicapai melalui upaya penilti

(23)

dalam mengklarifikasi hasil–hasil temuan dari partisipan. Peneliti merekam hasil wawancara dan mendengarkan secara berulang kali hasil wawancara. Hasil rekaman menjadi bukti keabsahan data dan bukan merupakan hasil rekayasa peneliti.

b. Transferability, merupakan cara membangun keteralihan untuk menilai keabsahan data peneliti kualitatif. Peneliti menguraikan secara rinci hasil temuan yang didapat ke dalam beberapa tema, kemudian diberikan penjelasan tentang hasil wawancara dalam bentuk naratif. Penjelasan hasil penelitian tersebut akan disertai pembahasan jurnal dan literatur yang sesuai dengan topik penelitian.

c. Dependability, merupakan suatu kestabilan data dari waktu ke waktu, untuk menjamin keabsahan hasil penelitian. Peneliti melakukan

auditing (pemeriksaan) dengan melibatkan seseorang yang berkompeten dibidangnya, yaitu pembimbing penelitian.

d. Confirmability, adalah kegiatan pengobjektifan hasil interpretasi data, sehingga tercapai kesepakatan tentang arti kata diantara 2 (dua) orang atau lebih. Peneliti melakukan wawancara tahap kedua kepada partisipan untuk mengkonfirmasi tema-tema sementara yang telah dibuat dalam deskripsi tekstural, dan peneliti akan melakukan pemeriksaan dengan melibatkan seseorang yang berkompeten dibidangnya yaitu pembimbing penelitian.

Referensi

Dokumen terkait

The Ecology and Microbiology of Black Band Disease and Brown Band Sydrome on The Great Barrier Reef.. James Cook University,

Strategi pembelajaran Guru Aqidah Akhlak dalam menanamkan sikap tawadu' pada peserta didik di Madrasah Tsanawiyah Negeri Ngantru Tulungagung ini sangat besar

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyiapkan skripsi ini dengan judul “Tingkat Kepuasan Pasien Pengguna BPJS

Sekalipun demikian kelemahan-kelemahan kurikulum ini ialah (1) beban sks keseluruhan besar yaitu: 160 sks (maksimal), (2) mata kuliah kurikulum inti terlalu banyak tetapi

Penelitian yang dilakukan yaitu pengembangan Lembar Kegiatan Siswa (LKS) berbasis Problem Based Learning (PBL) materi Perubahan Lingkungan untuk Melatihkan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan dapat diambil kesimpulan bahwa: (1) Penyebab terjadinya wanita hamil di luar nikah yang paling mempengaruhi pergaulan

SDS = parameter respons spektral percepatan disain pada perioda pendek SD1 = parameter respons spektral percepatan disain pada perioda 1 detik SMS = parameter spektrum

people won't get any closer to the bright future and so does the country, it will never be better, it will be even worse. To prevent this case, every goverment in each country