• Tidak ada hasil yang ditemukan

Strategi Komunikasi Lisan: Why bother teaching it?

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Strategi Komunikasi Lisan: Why bother teaching it?"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Strategi Komunikasi Lisan: Why bother teaching it?

Abid*)

Abstrak

Apakah Strategi Komunikasi Lisan (SKL) penting dan relevan untuk diajarkan di dalam kelas telah lama menjadi bahan diskusi. Namun, seberapa penting dan relevan pengajaran SKL di konteks pendidikan guru Bahasa Inggris di Indonesia menjadi sebuah pertanyaan penelitian yang konstruktif, utamanya dalam konteks mengembangkan kemampuan komunikasi lisan dan tulis para calon guru Bahasa Inggris di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa guru Bahasa Inggris yang memiliki kemampuan komunikasi lisan dan tulis yang baik, didukung oleh kemampuan pedagogis, akan menjadi resep yang ampuh untuk mendorong siswanya menemukan cara mengembangkan kemampuan komunikasi lisan dan tulis yang baik pula. SKL, sebagai sebuah konsep alternative untuk mengatasi kendala komunikasi yang muncul saat berinteraksi menggunakan Bahasa yang sedang dipelajari bisa menjadi solusi bagi para pelajar yang memiliki motivasi mempelajari bahasa asing, namun masih menemukan sejumlah kendala ketika berkomunikasi secara lisan dalam bahasa asing tersebut.

Pendahuluan

Salah satu tujuan mempelajari bahasa asing adalah agar mampu menggunakan bahasa tersebut secara lisan dan tulis di berbagai konteks komunikasi secara efektif. Efektif berarti pesan yang disampaikan dapat dipahami dengan baik oleh penerima pesan. Seringkali, penyampaian pesan menggunakan bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, oleh mereka yang sedang belajar bahasa menjadi hal yang rumit karena berbagai macam faktor, di antaranya keterbatasan kemampuan linguistik dan tingkat kecemasan berbicara. Dua faktor ini dapat menjadi pemicu terjadinya kesalah pahaman di dalam memahami pesan yang disampaikan, bahkan mengakibatkan terhentinya proses komunikasi.

Di dalam berbagai literatur, upaya untuk membantu para pelajar bahasa mengatasi kedua faktor tersebut di atas telah sering dibahas. Salah satu konsep yang mengemuka adalah penggunaan strategi komunikasi lisan atau oral communication strategies. Strategi ini dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul

(2)

contoh dari strategi ini adalah code-switch atau menggunakan dua bahasa secara bergantian ketika berkomunikasi.

Kajian tentang konsep strategi komunikasi lisan ini telah banyak dilakukan baik di dalam konteks monolingual maupun multilingual, misalnya oleh Brett (2001); Dornyei (1995); Rababah dan Bulut (2007). Salah satu temuan dari kajian ini adalah bahwa pengajaran strategi komunikasi lisan di dalam kelas mampu membantu para pelajar bahasa untuk menyampaikan pesan dan mempertahankan keterlibatan mereka dalam berkomunikasi menggunakan bahasa yang sedang mereka pelajari. Artinya, penggunaan strategi komunikasi lisan ini mampu mendorong para pelajar tersebut untuk berani mengambil resiko ketika berkomunikasi dengan segala keterbatasan kemampuan linguistik yang mereka miliki. Dengan kata lain, pengajaran strategi komunikasi lisan berdampak positif terhadap perkembangan kemampuan para pelajar bahasa dalam menyampaikan pesan dan meningkatkan kualitas keterlibatan mereka ketika berinterakasi secara lisan.

Namun, dari sekian banyak kajian pustaka yang membahas konsep strategi komunikasi lisan, sedikit sekali yang fokus membahas tentang persepsi para pendidik guru bahasa Inggris terhadap urgensi dan relevansi pengajaran strategi tersebut, khususnya di konteks pendidikan guru bahasa Inggris di Indonesia. Apakah pengajaran strategi ini penting dalam konteks di mana bahasa Inggris dipelajari sebagai sebuah bahasa asing? Sejauh mana relevansi pengajaran strategi tersebut di tingkat perguruan tinggi, utamanya di lingkup pendidikan guru bahasa Inggris? Oleh sebab itu, penelitian dengan topik “Strategi Komunikasi Lisan: Why bother teaching it?” menjadi penting dilakukan dengan salah satu tujuannya adalah untuk memperkaya khasanah penelitian dalam domain communicative competence, sekaligus menjawab kedua pertanyaan tersebut.

Tujuan

Penelitian yang disajikan di dalam artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana urgensi dan relevansi model penelitian yang mengkaji persepsi para pendidik guru bahasa Inggris terhadap pengajaran strategi komunikasi lisan dalam konteks pendidikan guru bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi di salah satu propinsi di Indonesia. Selain itu, di dalam artikel ini juga akan dipaparkan implikasi teoritis dan praktis dari penelitian yang saat

(3)

ini sedang dilakukan. Untuk mengawali pembahasan di dalam artikel ini, berikut disajikan konsep strategi komunikasi lisan.

Konsep Strategi Komunikasi Lisan (SKL): Definisi dan Fungsi SKL

Strategi komunikasi lisan bisa diartikan sebagai cara yang dipakai oleh seorang pelajar bahasa untuk meningkatkan keefektifitasan komunikasi lisannya. Strategi ini telah diklasifikasikan ke dalam beragam model. Salah satunya seperti yang dikembangkan oleh Tarone (1977) di dalam Tarone (1981, hal. 429), seperti berikut ini.

1. Paraphrasing 1.1 Approximation 1.2 Word coinage 1.3 Circumlocution 2. Borrowing 2.1 Literal translation 2.2 Language switch 3. Appeal for assistance 4. Mime

5. Avoidance

5.1 Message abandonment

Di dalam konteks komunikasi bahasa tambahan, misalnya, tujuan dari penggunaan strategi ini adalah untuk mengatasi kendala dari sisi linguistik yang belum memadai (Littlemore, 2003). Menurut Tarone (1981), seseorang dikatakan menggunakan strategi komunikasi lisan apabila tiga prasyaratnya terpenuhi. Prasyarat tersebut adalah sebagai berikut.

1. Penutur tersebut memiliki keinginan untuk mengkomunikasikan pesan X.

2. Penutur tersebut yakin bahwa konstruksi linguistik maupun non-linguistik yang ia miliki tidak memadai untuk mengkomunikasikan pesan X atau tidak sama dengan yang dimiliki oleh lawan bicara.

3. Penutur tersebut memutuskan untuk:

a. Menghindar, dengan cara tidak mengkomunikasikan pesan X, atau

b. Mencoba cara lain untuk mengkomunikasikan pesan X. Jika kemudian tercapai persamaan pemahaman pesan, maka penutur tersebut tidak lagi mencoba cara lain.

(4)

Menurut Tarone (1981), di dalam PS tidak terdapat upaya negosiasi makna karena tujuan utama menggunakan PS adalah untuk menghasilkan ujaran-ujaran dalam bahasa yang sedang dipelajari. Demikian juga dengan LS, yang di dalam penggunaannya tidak ada terdapat keinginan untuk mengkomunikasikan sebuah pesan, karena tujuan menggunakan LS adalah semata-mata untuk belajar. Artinya adalah seseorang dikatakan menggunakan strategi komunikasi lisan jika di dalam praktek berkomunikasinya terdapat ketiga prasyarat ini.

Strategi komunikasi lisan memiliki fungsi yang beragam. Tarone (1981), misalnya, melihat SKL ini dari sisi interaksi, dan mengatakan bahwa SKL merupakan upaya dari dua penutur bahasa asing untuk menyamakan persepsi atas sebuah makna yang diakibatkan perbedaan struktur linguistik yang dimiliki. Sependapat dengan Tarone, Ghout-Khenoune (2012) mengatakan bahwa SKL adalah alat verbal dan non-verbal yang digunakan oleh seorang penutur Bahasa asing untuk mengatasi kendala komunikasi, menyamakan pendapat, dan tetap terlibat di dalam interaksi menggunakan bahasa asing tersebut. Dornyei (1995) menambahkan bahwa SKL ini juga dapat digunakan untuk mengatasi himpitan waktu yang dibutuhkan untuk berkomunikasi secara efektif, dengan menggunakan apa yang ia sebut dengan, misalnya, “fillers”, “hesitation devices”, dan “self-repetition”. Meskipun banyak fungsi yang dikaitkan dengan penggunaan SKL, Jamhsidnejad (2011) menyimpulkan bahwa alasan utama dari penggunaan SKL ini adalah untuk mencapai tujuan berkomunikasi dengan cara mengatasi kendala linguistik yang ada.

SKL di dalam Kurikulum Bahasa Inggris

Perlu atau tidaknya SKL diajarkan di dalam kelas bahasa telah lama dibahas oleh para peneliti linguistik. Beberapa peneliti, misalnya Kellerman (1991) dan Bialystok (1990), melihat bahwa SKL tidak perlu diajarkan di dalam kelas. Kellerman (1991) beralasan bahwa para pelajar bahasa ini bisa dengan mudah mentransfer kemampuan SKL dari bahasa pertama ke dalam bahasa yang sedang dipelajari (baca: bahasa kedua) ketika berinteraksi di dalam bahasa kedua tersebut. Bialystok (1990) pun menambahkan bahwa tujuan yang harus dicapai oleh para guru bahasa adalah untuk mengajarkan bahasa, bukan strategi. Namun, pada kenyataannya, para pelajar bahasa ini seringkali menemukan situasi komunikasi di mana mereka bahkan harus memaksimalkan kemampuan SKL bahasa pertama untuk mengatasi persoalan komunikasi di dalam bahasa kedua. Ini artinya mengajarkan para

(5)

pelajar bahasa ini tentang cara untuk memobilisasi SKL dari bahasa pertama ke bahasa kedua memang penting dan relevan dengan tujuan membantu mereka menjadi mahir menggunakan bahasa kedua tersebut dalam komunikasi lisan.

Lantas, apakah perlu untuk mengajarkan strategi ini di dalam kelas Bahasa Inggris, khususnya di konteks pendidikan guru Bahasa Inggris di Indonesia? Seberapa relevan kebutuhan untuk mengajarkan strategi tersebut? Untuk menjawab kedua pertanyaan ini, secara singkat akan dipaparkan kondisi pembelajaran Bahasa Inggris di Indonesia.

Bahasa Inggris di Indonesia menjadi mata pelajaran wajib di tingkat sekolah menengah dan di perguruan tinggi. Meskipun menjadi mata pelajaran wajib dan dipelajari selama minimal enam tahun di tingkat sekolah menengah, kualitas lulusan siswa bahkan sarjana tidak cukup memuaskan, khususnya dalam domain komunikasi lisan (Lie, 2007). Salah satu penyebab utamanya adalah fokus pembelajaran Bahasa Inggris di dalam kelas yang cenderung “textbook oriented”, sebagaimana yang pernah dikemukakan oleh Coleman et al. (2004) seperti dikutip oleh Lamb dan Coleman (2008, hal. 195):

‘by far the most common approach which we observed was an almost uniform one in which the teacher reads aloud from a book, or dictates the content of a book, or writes on the blackboard . . . or extemporizes at length on a particular topic.’

Sejatinya, kurikulum Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) yang digunakan saat ini menuntut para guru untuk mampu mendorong siswa mengembangkan kemampuan komunikasi mereka, khususnya komunikasi lisan. Namun, beragam isu yang muncul, seperti profil akademis guru, profil siswa, metode dan fasilitas pembelajaran, serta kesempatan untuk menggunakan Bahasa Inggris di luar kelas, menjadi tantangan yang besar bagi para guru untuk mampu mengimplementasikan pendekatan ‘communicative competence’ di dalam kelas. Namun, hal ini tidak berarti bahwa upaya meningkatkan kemampuan komunikasi lisan lantas dikesampingkan. Ada beragam cara lain yang bisa ditempuh oleh para guru untuk membantu mengembangkan kemampuan komunikasi lisan para siswa, terutama meningkatkan kepercayaan diri mereka ketika berkomunikasi menggunakan Bahasa Inggris, terlepas dari kemampuan linguistik mereka yang belum memadai. Salah satu cara tersebut adalah dengan memperkenalkan kepada siswa konsep SKL dan cara menggunakannya ketika berkomunikasi.

(6)

Dornyei (1995, hal. 63-65) mengatakan jika guru bahasa menganggap bahwa SKL ini memang penting dan relevan untuk diajarkan, maka beberapa poin berikut ini sebaiknya dijadikan perhatian.

1. Mengenalkan konsep SKL kepada para pelajar bahasa dengan cara menunjukkan kemampuan SKL yang mereka miliki di dalam bahasa pertama dan bagaimana SKL ini bisa diterapkan di situasi tertentu ketika berkomunikasi dalam bahasa kedua. 2. Mendorong pelajar bahasa untuk berani mengambil resiko ketika berkomunikasi

dengan menggunakan SKL yang mereka miliki.

3. Mengenalkan model SKL tertentu dari bahasa kedua. Salah satu cara yang bisa dipakai adalah dengan menunjukkan sebuah video dan meminta para pelajar menganalisis penggunaan SKL di dalam video tersebut.

4. Menitik beratkan pemahaman konsep cross-cultural differences di dalam penggunaan SKL. Hal ini berarti para guru bahasa hendaknya mempertimbangkan perbedaan penggunaan SKL dari beragam bahasa pertama yang dimiliki oleh para pelajar bahasa.

5. Mengajarkan SKL secara langsung. Hal ini bisa dilakukan dengan cara, misalnya, memberikan sebuah kata dari bahasa kedua, lalu meminta para pelajar bahasa untuk mendefinisikan kata tersebut dengan menggambarkan bentuk, ukuran, atau sifatnya. Cara ini dilakukan untuk memperkenalkan penggunaan SKL Circumlocution. 6. Memberi kesempatan seluas-luasnya kepada para pelajar bahasa untuk dapat

menggunakan SKL di dalam komunikasi menggunakan bahasa kedua.

Kesimpulan

Apakah SKL penting dan relevan untuk diajarkan di dalam kelas telah lama menjadi bahan diskusi. Namun, seberapa penting dan relevan pengajaran SKL di konteks pendidikan guru Bahasa Inggris di Indonesia menjadi sebuah pertanyaan penelitian yang konstruktif, utamanya dalam konteks mengembangkan kemampuan komunikasi lisan dan tulis para calon guru Bahasa Inggris di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa guru Bahasa Inggris yang memiliki kemampuan komunikasi lisan dan tulis yang baik, didukung oleh kemampuan pedagogis, akan menjadi resep yang ampuh untuk mendorong siswanya menemukan cara mengembangkan kemampuan komunikasi lisan dan tulis yang baik pula. SKL, sebagai sebuah konsep alternative untuk mengatasi kendala komunikasi yang muncul

(7)

saat berinteraksi menggunakan Bahasa yang sedang dipelajari bisa menjadi solusi bagi para pelajar yang memiliki motivasi mempelajari bahasa asing, namun masih menemukan sejumlah kendala ketika berkomunikasi secara lisan dalam bahasa asing tersebut.

Implikasi teoritis dari model penelitian yang dipaparkan di dalam artikel ini adalah bahwa hasil penelitian ini diharapkan akan ikut melengkapi khasanah penelitian dalam domain communicative competence, khususnya di Indonesia dalam konteks pendidikan guru bahasa Inggris di tingkat perguruan tinggi. Implikasi praktisnya adalah, pertama, penerapan SKL di dalam kurikulum pendidikan Bahasa Inggris diharapkan mampu memberikan ruang pembelajaran yang maksimal bagi para calon guru Bahasa Inggris untuk meningkatkan kemampuan komunikasi lisan. Kedua, penelitian ini diharapkan menjadi parameter yang jelas untuk mengukur sejauh mana kurikulum program pendidikan Bahasa Inggris sejalan dengan kurikulum Bahasa Inggris di tingkat sekolah menengah, terutama di dalam upaya mengembangkan kemampuan komunikasi lisan para pelajar di dalam berbagai situasi komunikasi.

Referensi

Bialystok, E. (1990). Communication strategies. Oxford: Blackwell

Brett, A. G. (2001). Teaching communication strategies to beginners. Language Learning Journal, 24, 53-61. doi: 10.1080/09571730185200251

Dörnyei, Z. (1995). On the teachability of communication strategies. TESOL Quarterly, 29(1), 55-85. Retrieved from http://www.jstor.org/stable/

Ghout-Khenoune, L. (2012) .The effects of task type on learners’ use of communication strategies. Procedia - Social and Behavioral Sciences, 69, 770 – 779. doi:

10.1016/j.sbspro.2012.11.472

Jamshidnejad, A. (2011). Functional approach to communication strategies: An analysis of language learners’ performance in interactional discourse. Journal of Pragmatics, 43, 3757-3769. doi: 10.1016/j.pragma.2011.09.017

Kellerman, E. (1991). Compensatory strategies in second language research: A critique, a revision, and some (non-) implications for the classroom. In R. Phillipson, E.

(8)

language pedagogy research: A commemorative volume for Claus Faerch, (pp. 142-161). Clevedon, England: Multilingual Matters.

Lamb, M. & Coleman, H. (2008). Literacy in English and the transformation of self and society in post-Soeharto Indonesia. International Journal of Bilingual Education and Bilingualism, 11(2), 189-205. doi: 10.2167/beb493.0

Lie, A. (2007). Education policy and EFL curriculum in Indonesia: Between the commitment to competence and the quest for high test scores. TEFLIN Journal, 18(1), 1-14.

Littlemore, J. (2003). The communicative effectiveness of different types of communication strategy. System, 31(3), 331-347.

Rabab’ah, G., & Bulut, D. (2007). Compensatory strategies in Arabic as a second language. Poznań Studies in Contemporary Linguistics, 43(2), 2007, pp. 83–106. doi:10.2478/v10010-007-0020-5

Tarone, E. (1981). Some thoughts on the notion of ‘communication strategy’. TESOL Quarterly, 15, 285–295. Retrieved from http://www.jstor.org/

*) Abid menekuni karir sebagai Dosen Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Negeri Gorontalo;

Kandidat Doktor di School of Education, Curtin University, Australia.

Referensi

Dokumen terkait

Disimpulkan dari penelitian bahwa tidak ada hubungan antara luas lesi foto toraks dengan kepositifan BTA pada pasien TB paru kategori 1 di Medan.. Penelitian ini

Diketahuinya hubungan antara faktor confounding (masa kerja, usia, jenis kelamin, riwayat penyakit kulit sebelumnya, personal hygiene dan penggunaan APD) dengan kejadian

Lampiran : Pengumuman Peringkat Teknis Pekerjaan Konsultan Pengawasan Pembangunan Ruang Perawatan Kelas I, II, VIP dan Super VIP. Nomor : 09-11329654/ULP-POKJA.02/2017 Tanggal

Pengambilan keputusan membeli pada konsumen sangat dipengaruhi oleh merek yang terkenal dan terpercaya karena kualitas produk yang dipasarkan. Bagi setiap konsumen yang

A MEDIUM IN TEACHING ENGLISH VOCABULARY (An Experimental Study at The Seventh Grade Students of SMP Muhammadiyah 1 Purwokerto in Academic Year 2013/2014)2. Name : BAGAS

Faktor apakah yang mempengaruhi perbedaan kosakata dasar Sunda di Desa. Surusunda Kecamatan Karangpucung, dan di Desa Majingklak

Setelah dilakukan pengecekan terhadap calon penyedia yang mendaftar dan memasukan dokumen penawaran Paket Makan Jaga Kawal Polres Pagar Alam yang mana

Tujuan dari penelitian ini adalah (1) mengetahui faktor ekonomi makro yang mempengaruhi konsumsi masyarakat Jawa Timur, (2) menganalisis kecenderungan mengkonsumsi