• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IV. KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

4.1. Kondisi Geografis dan Administrasi 4.1.1. Kondisi Geografis

Pulau Bintan merupakan salah satu bagian gugusan pulau yang berada di wilayah Provinsi Kepulauan Riau. Wilayah administrasi gugus Pulau Bintan terdiri dari Kabupaten Bintan dan Kota Tanjung Pinang. Kota Tanjung Pinang yang terletak di Pulau Bintan dan sangat berdekatan dengan Negara Singapura yang merupakan transit dan lintas perdagangan dunia dan juga Malaysia dengan pelabuhan Tanjung Pelepas. Selain itu Pulau Bintan dan sekitarnya mempunyai potensi sumberdaya alam yang kaya, diantaranya pertambangan (bauksit), perikanan dan pariwisata. Pulau Bintan mempunyai luas 13.903,75 km2

Secara geografis gugus Pulau Bintan terletak pada 104° 00’ BT- 104° 53’ BT dan 0° 40’ LU - 1° 15’ LU. Pulau Bintan merupakan pulau yang langsung berbatasan dengan negara Singapura dan Malaysia. Adapun batas tersebut adalah: sebelah utara berbatasan dengan Selat Singapura/Selat Malaka, sebelah selatan dengan Provinsi Jambi, sebelah barat dengan Provinsi Riau, dan sebelah timur dengan Selat Karimata, laut Cina Selatan.

atau sekitar 11,4% dari total luas seluruh pulau di Provinsi Kepulauan Riau.

Jika dilihat dari letak geografisnya, Pulau Bintan memiliki nilai strategis dan berada dekat dengan jalur pelayaran dunia yang merupakan salah satu simpul dari pusat distribusi barang dunia. Kedekatan ini merupakan salah satu keunggulan komparatif yang dimiliki Kabupaten Bintan dalam menghadapi pasar bebas.

Pulau Bintan dapat dijangkau dengan pesawat udara dari kota-kota besar Indonesia maupun seluruh dunia, melalui bandara udara Hang Nadim Batam dan dilanjutkan dengan kapal ferry menuju ke Pulau Bintan. Dari Singapura dan Johor, Pulau Bintan dapat ditempuh dengan waktu 2 jam menggunakan kapal ferry ke Pelabuhan Bintan Telani Lagoi ataupun Pelabuhan Sri Bintan Pura di Tanjung Pinang.

4.1.2. Wilayah Administrasi

Secara administrasi Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Bintan Timur berada di dua kecamatan, yaitu Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan

(2)

Bintan Pesisir. Luas KKLD tersebut adalah 116.000 ha. Adapun luas dua kecamatan tersebut disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Luas wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur

No Kecamatan Desa/Kelurahan Luas (km

2 )

Darat Laut Total 1 Bintan Pesisir 4 234,00 1.940,00 2.174,00

2 Gunung Kijang 4 376,99 4.426,61 4.803,60

Jumlah 8 610,99 6.366,61 6.977,60

Sumber: BPS Kabupaten Bintan Tahun 2009

Dari Tabel 11 di atas terlihat bahwa luas wilayah perairan laut kedua kecamatan tersebut adalah 6.366,61 km2

4.2. Topografi dan Iklim

(636.661 ha) atau 91% dari total luas wilayah. Dengan demikian perbandingan antara luas KKLD dengan perairan laut adalah 1 : 5 atau 20 % dari luas perairan laut di kedua kecamatan tersebut adalah menjadi wilayah konservasi. Hal ini tentu sangat membantu dalam pelestarian sumberdaya hayati laut termasuk terumbu karang yang terkandung di dalamnya.

4.2.1. Topografi

Gugus Pulau Bintan pada umumnya merupakan daerah dengan dataran landai di bagian pantai. Pulau Bintan memiliki topografi yang bervariatif dan bergelombang dengan kemiringan lereng berkisar dari 0-3 % hingga diatas 40 % pada wilayah pegunungan. Sedangkan ketinggian wilayah pada Pulau Bintan dan pulau-pulau lainnya berkisar antara 0 – 50 meter diatas permukaan laut hingga mencapai ketinggian 400 meter diatas permukaan laut.

Secara keseluruhan kemiringan lereng di Pulau Bintan relatif datar, umumnya didominasi oleh kemiringan lereng yang berkisar antara 0% - 15% dengan luas mencapai 55,98 % (untuk wilayah dengan kemiringan 0 – 3% mencapai 37,83% dan wilayah dengan kemiringan 3 – 15% mencapai 18,15%). Sedangkan luas wilayah dengan kemiringan 15 – 40% mencapai 36,09% dan wilayah dengan kemiringan > 40% mencapai 7,92%.

(3)

4.2.2. Iklim

Cuaca di wilayah Kabupaten Bintan dipengaruhi oleh angin musim yang berubah arah sesuai dengan posisi matahari terhadap bumi dengan dua musim yaitu musim kemarau dan musim hujan. Pada umumnya daerah Kabupaten Bintan beriklim tropis basah dengan curah hujan tertinggi terjadi pada bulan September sampai dengan bulan Februari. Sedangkan musim kemarau terjadi antar bulan Maret sampai dengan bulan Agustus.

Temperatur rata-rata bulanan berkisar antara 24,8°C sampai dengan 26,6°C dengan temperatur udara maksimum antara 29,0°C - 31,3°C, sedangkan temperatur udara minimum berkisar antara 22,2°C - 23,3°C.

Gugusan Kabupaten Bintan mempunyai curah hujan cukup dengan iklim basah, berkisar antara 2000 – 2500 mm/tahun. Rata-rata curah hujan per tahun ± 2.214 milimeter, dengan hari hujan sebanyak 110 hari. Curah hujan tertinggi pada umumnya terjadi pada bulan Desember (347 mm), sedangkan curah hujan terendah terjadi pada bulan Agustus (101 mm). Temperatur rata-rata terendah 22,5°C dengan kelembaban udara 83%-89%.

Kabupaten Bintan mempunyai 4 macam perubahan arah angin yaitu : • Bulan Desember-Februari : angin utara

• Bulan Maret-Mei : angin timur • Bulan Juni-Agustus : angin selatan • Bulan September-November : angin barat

Kecepatan angin terbesar adalah 9 knot pada bulan Desember-Januari, sedangkan kecepatan angin terendah pada bulan Maret - Mei. Kondisi angin pada umumnya dalam satu tahun terjadi empat kali perubahan angin; bulan Desember - Februari bertiup angin utara, bulan Maret – Mei bertiup angin timur, bulan Juni – Agustus bertiup angin selatan dan bulan September – Nopember bertiup angin barat. Angin dari arah utara dan selatan yang sangat berpengaruh terhadap gelombang laut menjadi besar. Sedangkan angin timur dan barat terhadap gelombang laut yang timbul relatif kecil.

(4)

Kondisi tiupan angin di atas perairan Pulau Bintan yang menyebabkan gelombang dan arus adalah angin utara dan barat laut dimana angin tersebut umumnya bertiup pada bulan Juni hingga Agustus. Gelombang di perairan Bintan Timur sebelah utara pada musim angin utara bisa mencapai ketinggian 2 meter. (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007)

4.3. Hidrooseanografi 4.3.1. Sungai dan Laut

Sungai-sungai di Pulau Bintan pada umumnya kecil dan dangkal, hampir semua tidak digunakan untuk lalu lintas pelayaran. Pada umumnya hanya digunakan untuk saluran pembuangan air dari daerah rawa-rawa. Sungai yang agak besar terdapat di Pulau Bintan terdiri dari beberapa Daerah Aliran Sungai (DAS), dua diantaranya DAS besar yaitu DAS Jago seluas 135,8 km² dan DAS Kawal seluas 93,0 km² dan hanya digunakan sebagai sumber air minum, (BP DAS Kepulauan Riau, 2010).

4.3.2. Arus Laut

Arus di perairan Kabupaten Bintan termasuk arus yang cukup kompleks sebagai hasil interaksi berbagai arus yang terdiri dari arus tetap musiman, serta faktor-faktor lain yang mempengaruhi arus seperti topografi perairan, situasi garis pantai dan sebagainya. Arus utama perairan Bintan dipengaruhi dan mengikuti pola arus Laut Natuna secara umum, yang sangat tergantung dari angin musim.

Pergerakan pasang surut suatu daerah memegang peranan sangat penting dalam mempertahankan sumberdaya alam seperti terumbu karang, magrove, lamun, daerah estuaria dan sebagainya. Selain arus dan kecepatan arus serta pasang surut juga mempengaruhi pergerakan berbagai polutan kimia, pencemaran, minyak dan lain-lain. Posisi geografis Kabupaten Bintan yang terletak pada pertemuan perambatan pasang surut Samudera Hindia melalui Selat Malaka dan dari Samudera Pasifik melalui Laut Cina Selatan menyebabkan perairan Kepulauan Riau memiliki arus pasang surut dengan pola bolak-balik.

Secara umum tidak terlihat adanya perbedaan mencolok kecepatan arus antara stasiun pengamatan. Hasil pengkuran kecepatan arus permukaan pada saat penelitian berkisar 0,12 – 0,22 m/detik. Nilai rata-rata kecepatan arus terendah ditemukan di perairan Pulau Manjin, Muara Kawal, Pulau Beralas Bakau dan

(5)

sekitar perairan Pulau Nikoi yaitu 0,12 m/detik, sedangkan kecepatan arus tertinggi ditemukan di sekitar perairan Pulau Gin, yaitu, 0,22 m/detik.

Pola arus laut utama di sekitar Pulau Bintan sangat dipengaruhi oleh angin musim. Pada dasarnya sepanjang tahun arus utama lewat perairan Bintan menuju Selat Malaka yang selanjutnya ke luar ke Luat Andaman. Namun pada musim utara arus datang dari arah Laut Cina Selatan, sedangkan pada musim Selatan arus utama datang dari arah Selat Karimata antara Sumatera dan Kalimantan. Kecepatan arus permukaan di perairan Pulau Bintan pada bulan-bulan tertentu lebih kuat terutama pada musim barat (Nopember- Februari). Kecepatan arus permukaan berkisar antara 0,15 -1,5 knot atau sekitar 0,15 – 0,75 m/detik.

4.4. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya 4.4.1. Kependudukan

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Bintan, pada tahun 2009 jumlah penduduk Kabupaten Bintan tercatat sebanyak 127.404 jiwa, dengan rincian 66.466 jiwa laki-laki dan 60.938 jiwa perempuan. Kepadatan penduduk Kabupaten Bintan adalah 64 jiwa/km² dengan pertumbuhan sebesar 2,63% per tahun. Sementara itu jumlah penduduk di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir adalah 18.339 jiwa yang terdiri dari laki-laki 9.797 jiwa dan perempuan 8.533 jiwa. Jumlah rumah tangga sebanyak 4.417 kepala keluarga (KK) dengan rata-rata jumlah anggota rumah tangga sebanyak 4 jiwa. 4.4.2. Mata Pencaharian Penduduk

Ditinjau dari mata pencaharian penduduk Kabupatan Bintan hingga saat ini masih didominasi oleh sektor pertanian secara umum (pertanian, perkebunan, kehutanan dan perikanan). Jumlah penduduk yang bergerak di sektor pertanian ini mencapai 29,10%, kemudian disusul oleh sektor industri 17,51%, sektor jasa 16,90%, perdagangan 12,93%, konstruksi 8,28%, angkutan dan komunikasi 8,18% dan sisanya bergerak di sektor pertambangan dan keuangan (BPS Kabupaten Bintan, 2009).

Sektor perikanan merupakan mata pencaharian dominan bagi penduduk yang bermukim di daerah pesisir Kabupaten Bintan. Khusus di Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir yang menjadi lokasi penelitian

(6)

mata pencaharian sebagai nelayan merupakan pekerjaan utama bagi sebagian besar penduduk. Di Kecamatan Bintan Pesisir lebih dari 20% (Desa Kelong, Mapur dan Air Glubi) penduduknya berprofesi sebagai nelayan tangkap, sedangkan di Kecamatan Gunung Kijang terutama di Desa Malang Rapat 40,96% dan Desa Gunung Kijang sekitar 20,03%.

Pendapatan nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir sangat dipengaruhi oleh musim angin, yaitu musim angin utara (gelombang kuat: bulan Desember, Januari dan Februari), musim angin timur (gelombang lemah: bulan Maret, April dan Mei) dan musim angin selatan dan barat (musim pancaroba: bulan Juni, Juli, Agustus, September, Oktober dan Nopember). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden diketahui pendapatan rata-rata responden sebulan sekitar Rp. 1.143.953,- atau sebesar Rp. 285.988,-/kapita/bulan. Adapun statistik pendapatan responden berdasarkan musim disajikan pada Tabel 12.

Tabel 12. Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan Kepulauan Riau

Kelompok Pendapatan

Musim

Ombak Kuat Pancaroba Ombak Tenang

Rata-rata 762.885 1.031.629 1.928.833

Median 500.000 750.000 1.500.000

Minimum 160.000 180.000 400.000

Maksimum 6.000.000 5.200.000 5.500.000

N 90 90 90

Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa rata-rata pendapatan nelayan tertinggi terjadi pada musim ombak tenang dan terendah pada musim ombak kuat. Pada musim ombak tenang nelayan dapat melaut setiap hari dengan menggunakan semua jenis alat tangkap yang dimiliki. Sebaliknya pada musim ombak kuat umumnya nelayan tidak dapat melaut. Kegiatan melaut hanya dilakukan oleh nelayan yang memiliki perahu motor dengan kapasitas mesin yang cukup besar.

Pendapatan rumah tangga nelayan pada umumnya masih tergolong rendah. Gambar 6 memperlihatkan distribusi rumah tangga menurut kelompok pendapatan dan musim.

(7)

85,9 73 21,1 60 10,313,5 47,8 23,9 2,5 7,9 17,8 9,4 1,3 5,6 13,3 6,7 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 % R u m a h T a n g g a ≤1.000.000 > 1.000.000-2.000.000 > 2.000.000-3.000.000 > 3.000.000

Ombak Kuat Pancaroba Ombak tenang Rata-rata

Gambar 6. Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir Kabupaten Bintan

Dari Gambar 6 terlihat bahwa terjadi perbedaan pendapatan yang sangat menonjol antara tiga musim angin. Pada musim angin kuat, sebagian besar (85,9%) rumah tangga nelayan berada pada kategori pendapatan terbawah (< Rp. 1.000.000,). Kondisi ini mengindikasikan bahwa musim angin kencang dan laut berombak besar merupakan masa sulit bagi nelayan. Sebaliknya pada musim ombak tenang terjadi peningkatan pendapatan sebagian besar rumah tangga nelayan (47,8%), yaitu dengan pendapatan > Rp.1.000.000 – Rp. 2.000.000,-. Selanjutnya juga terlihat bahwa ada sekitar 60% rumah tangga nelayan responden mempunyai pendapatan rata-rata < Rp 1.000.000,-. Adapun angka garis kemiskinan di Kabupaten Bintan pada tahun 2010 adalah sebesar Rp. 274.271,-/kapita/bulan. Menurut BPS Kabupaten Bintan (2009) jumlah anggota rumah tangga rata-rata empat orang, maka pendapatan rumah tangga kategori miskin adalah sebesar Rp. 1.099.084,-. Dengan demikian sebagian besar nelayan di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir tergolong nelayan miskin.

4.4.3. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan penduduk Kabupaten Bintan secara umum tergolong rendah. Hal ini dapat dilihat dari persentase jumlah penduduk yang tidak pernah

(8)

sekolah dan atau yang tidak atau hanya tamat SD sederajat. Adapun persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi ditamatkan disajikan pada Tabel 13.

Tabel. 13. Persentase jumlah penduduk Kabupaten Bintan menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan tahun 2008

No Tingkat Pendidikan

Jenis Kelamin

Rata-rata Laki-laki Perempuan

...%... 1 Tidak/belum pernah sekolah 5,89 9,02 7,46 2 Tidak/belum tamat SD/MI 27,49 25,06 26,27

3 SD/MI/ sederajat 22,15 22,36 22,26 4 SLTP/MTs/sederajat 17,54 19,71 18,62 5 SMU/MA/sederajat 21,03 18,60 19,82 6 Akademi/Diploma 2,14 2,89 2,52 7 Universitas 3,76 2,36 3,05 Jumlah 100,00 100,00 100,00 Sumber : BPS Kabupaten Bintan, 2009

Dari Tabel 13 terlihat bahwa jumlah penduduk Kabupaten Bintan yang tidak pernah sekolah hingga tamat SD/MI/sederajat mencapai 55,99%. Jumlah penduduk yang berpendidikan SLTP dan SLTA sekitar 38,44% dan hanya 5,57% yang berpendidikan tinggi.

Dari hasil wawancara terhadap terhadap 90 orang responden di wilayah studi terungkap bahwa 44,4% responden tidak tamat SD, 40% tamat SD, 11,1% tamat SLTP dan 4,4% tamat SLTA. Rendahnya tingkat pendidikan penduduk di Kabupaten Bintan ini, khususnya penduduk Kecamatan Gunung Kijang dan Kecamatan Bintan Pesisir akan berpengaruh terhadap pengetahuan dan kedasaran mereka dalam menjaga lingkungan termasuk menjaga keutuhan ekosistem terumbu karang. Hal ini akan menjadi kendala dalam pengelolaan ekosistem terumbu karang di KKLD Bintan Timur. Faktor sosial ekonomi merupakan penyebab utama rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Selain itu, faktor geografis dan transportasi juga menjadi penghambat aksesibilitas untuk menjangkau sarana pendidikan yang memadai, terutama bagi penduduk yang berdomisili di luar pulau Bintan.

(9)

Walaupun tingkat pendidikan masyarakat relatif rendah, namun pengetahuan lingkungan mereka cukup baik terutama tentang keberadaan terumbu karang. Dari 90 orang responden yang diwawancarai 89 orang (98,6%) setuju adanya daerah perlindungan laut untuk melindungi terumbu karang dan biota laut yang hidup di dalamnya. Disamping itu 77 orang responden (85%) mengatakan bahwa keberadaan terumbu karang sangat berpengaruh terhadap hasil tangkapan mereka. Dari hasil wawancara juga terungkap bahwa sikap masyarakat bila mengetahui ada orang yang mengambil atau merusak terumbu karang mereka akan melarang (58 orang responden atau 64,4%), 19 orang responden (21,1%) akan melapor ke Lembaga Pengelola Sumberdaya Terumbu Karang (LPSTK) dan 8 orang (8,9%) akan melapor ke Kepala Desa.

Pengetahuan masyarakat tentang arti penting ekosistem terumbu karang ini tidak terlepas dari adanya Program Coremap II di wilayah studi. Program Coremap II ini telah dimulai sejak tahun 2004 dan berakhir pada tahun 2010. LIPI (2009) melaporkan bahwa pengetahuan dan partisipasi masyarakat di daerah studi tentang kegiatan Coremap menunjukkan adanya peningkatan terutama pengetahuan terkait dengan penyelamatan sumberdaya laut. Pada tahun 2007 hanya ada sebanyak 49% responden yang mengetahui bahwa program Coremap untuk menyelamatkan sumberdaya laut, sedangkan pada tahun 2009 sudah diketahui oleh sebanyak 81,8%. Peningkatan persentase responden yang mengetahui implementasi Coremap dalam upaya penyelamatan terumbu karang juga diikuti pengetahuan tentang berbagai manfaat dari kegiatan Coremap antara lain peningkatan pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya pelestarian terumbu karang, dan pentingnya kegiatan perlindungan, pengawasan pesisir dan laut. 4.4.4. Sosial Budaya

Struktur sosial budaya masyarakat Kabupaten Bintan merupakan hasil perjalanan sejarah sejak Kerajaan Melayu hingga masa setelah kemerdekaan. Saat ini penduduk yang mendiami Kabupaten Bintan terdiri dari berbagai latar belakang suku, kebudayaan, dan strata sosial yang berbeda.

(10)

Wilayah Kabupaten Bintan sebagian besar adalah wilayah laut, oleh karena itu sebagian besar penduduk di wilayah Kabupaten Bintan bermata pencaharian sebagai nelayan. Masyarakat di Kabupaten Bintan didominasi oleh suku Melayu yang masih kental dalam menjalankan adat istiadatnya sehari-hari dengan memegang teguh ajaran agama Islam. Selain itu, etnis keturunan Cina, Jawa, Batak, Minang, Bugis, Banjar dan suku lainnya juga banyak mendiami Kabupaten Bintan.

Kabupaten Bintan juga memiliki nilai sejarah, seni dan budaya, seperti di Desa Kawal terdapat Situs Pra Sejarah yang dikenal dengan sebutan “Bukit Kerang”. Situs ini merupakan gundukan tinggi pecahan cangkang karang. Hal ini diyakini merupakan sisa-sisa kehidupan purba dan sekarang masih dalam tahap penelitian.

4.4.5. Potensi Konflik Pemanfaatan Sumberdaya

Dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir tidak jarang terjadi konflik antar

stakeholders. Sumberdaya wilayah pesisir dan laut merupakan sumberdaya yang

bersifat open access dan common property, sehingga setiap orang atau

stakeholders berhak memanfaatkannya dengan tujuan memperoleh nilai atau

keuntungan ekonomi (Tarigan, 2008). Berdasarkan hasil kajian LIPI (2009) bahwa terdapat potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut di Kecamatan Gunung Kijang Bintan terutama di Desa Malang Rapat dan Desa Gunung Kijang. Potensi konflik tersebut antara lain bersumber dari pembuangan limbah tailing penggalian pasir darat yang marak dilakukan sebelum tahun 2006. Saat ini kegiatan penambangan pasir tersebut sudah berhenti, namun dampaknya masih terasa ditandai dengan terjadinya kekeruhan dan warna air laut yang belum kembali jernih seperti semula. Kondisi ini meyebabkan nelayan mengalami kesulitan untuk mendapatkan ikan dan ketam di wilayah sekitar pantai, sehingga berpengaruh terhadap hasil tangkapan.

Potensi konflik pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang lain adalah pengembangan pariwisata pantai dan bahari. Berdasarkan hasil kajian LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) terungkap bahwa kehadiran perusahaan pariwisata di

(11)

sepanjang Pantai Trikora dan kawasan wisata di Kecamatan Teluk Sebong oleh masyarakat terutama nelayan kerap dianggap penyebab menurunnya hasil tangkap ikan. Masyarakat berpendapat bahwa kegiatan wisata seperti lalu lalangnya kapal speed, permainan banana boat, jetsky dan sebagainya menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga ikan-ikan menjadi terganggu, lalu pergi meninggalkan daerah penangkapan. Masyarakat Desa Sebong Lagoi mengeluhkan kegiatan penimbunan dan pembangunan insfrastruktur yang dilakukan perusahaan wisata di Kawasan Resor Wisata, Lagoi Bay, menimbulkan kekeruhan perairan pantai sehingga nelayan yang biasa beroperasi di tepi pantai tidak dapat melakukan aktivitas penangkapan ikan seperti biasanya. Namun demikian potensi konflik ini yang terdapat saat ini tergolong sedang, tetapi perlu dicarikan solusi yang terbaik 4.5. Sarana dan Prasarana Pariwisata

Pulau Bintan sebagai salah tujuan wisata nasional telah banyak dikunjungi oleh wisatawan, baik wisatawan mancanegara maupun wisatawan domestik setiap tahunnya. Pada tahun 2008 tercatat jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Pulau Bintan sebanyak 316.15 orang. Untuk mendukung kepariwisataan tersebut sejumlah sarana dan prasarana telah dibangun di beberapa lokasi yang menjadi pusat wisata seperti di kawasan wisata Lagoi dan Pantai Trikora. Di kawasan wisata Lagoi terdapat 9 hotel berbintang dengan jumlah kamar sebanyak 1.300 buah. Sedangkan di kawasan wisata Pantai Trikora terdapat 6 buah hotel berbintang 3 dengan jumlah kamar sebanyak 207 buah.

Selain hotel, juga terdapat sejumlah restoran dan rumah makan yang tersebar di setiap lokasi wisata. Pada tahun 2008 terdapat 134 restoran dan rumah makan dengan jumlah tempat duduk 4.964 buah (BPS Kabupaten Bintan, 2009). 4.6. Potensi Kelautan dan Perikanan

4.6.1.Potensi Perikanan Tangkap dan Budidaya - Perikanan tangkap

Gugus Pulau Bintan memiliki potensi perikanan yang sangat besar untuk kegiatan perikanan tangkap dan budidaya. Kondisi ini ditunjang dengan posisi

(12)

geografis yang berada di pertemuan antara Laut Cina Selatan dan Laut Pedalaman Indonesia (Laut Jawa dan Selat Malaka). Selat Malaka merupakan salah satu lautan yang memiliki nilai produktivitas primer yang tinggi. Wilayah perairan gugus pulau Bintan sebagian besar terletak pada Wilayah Pengelolaan Perikanan 4 (WPP 4), yaitu wilayah Laut Cina Selatan yang memiliki potensi sumberdaya ikan paling besar diantara 11 WPP yang ada. Estimasi potensi perikanan tangkap di perairan Kabupaten Bintan mencapai 106,018 ton dengan jumlah tangkapan yang diperbolehkan 84.814 ton (DKP Kabupaten Bintan, 2009).

Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kabupaten Bintan Tahun 2008 tercatat sebanyak 8.949 RTP dan pada tahun 2007 berjumlah 8.288 RTP. Jumlah tersebut mengalami peningkatan sebanyak 661 RTP (7,98%). Rumah tangga perikanan tangkap merupakan yang paling dominan, yaitu 8.460 RTP (945%), budidaya laut 297 RTP, budidaya payau 45 RTP dan budidaya perairan tawar 147 RTP. Adapun alat tangkap yang digunakan oleh nelayan antara lain; gillnet, pancing ulur, bubu, pancing tonda, pukat bilis dan lain-lain (DKP Kabupaten Bintan, 2009).

Alat tangkap jaring yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan pada umumnya mempunyai ukuran mata jaring (mesh size) yang tidak rapat sesuai dengan sasaran ikan yang akan ditangkap. Umumnya ukuran mata jaring yang digunakan berkisar 5 - 12,5 cm, kecuali jaring yang digunakan untuk menangkap ikan bilis mempunyai ukuran mata jaring yang sangat rapat. Kegiatan perikanan yang menggunakan alat tangkap jaring mempunyai tujuan untuk menangkap ikan pelagis seperti ikan tenggiri (Scomberomorus commersonii), ikan kembung (Rastrelliger spp) dan lain sebagainya. Jaring apollo (trammel net) banyak digunakan untuk menangkap lobster.

Bubu juga merupakan alat tangkap yang sangat dominan digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan. Termasuk di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Alat tangkap bubu ini terbuat dari kawat dengan ukuran mata kawat sekitar 2,5 cm yang banyak dipasang di sekitar terumbu karang. Satu orang nelayan dapat memiliki 50 unit bubu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa alat tangkap yang digunakan oleh nelayan di Kabupaten Bintan “cukup selektif”.

(13)

Armada perikanan tangkap di Kabupaten Bintan terdiri dari Kapal Motor (KM), Motor Tempel (MT) dan Perahu Tanpa Motor (PTM). Kapal Motor (KM) diidentifikasi berdasarkan tonase-nya, yaitu 1-5 GT, 6-10 GT, dan >10 GT. Jumlah armada perikanan tangkap tahun 2008 yakni berjumlah 4.051 unit, jika dibandingkan tahun 2007 mengalami peningkatan sebanyak 95 unit (2,40 %), dimana tahun 2007 tercatat 3.956 unit. Adapun rincian jumlah masing-masing armada adalah motor tempel (MT) sebanyak 631 unit dan perahu tanpa motor (PTM) berjumlah 1.164 unit, sedangkan jumlah kapal motor 1-5 GT (1.849 unit), 6-10 GT (354 unit), dan >10 GT (53 unit).

Nelayan yang menggunakan kapal motor dan motor tempel (16 -28 PK) dapat mencapai daerah penangkapan yang relatif jauh dari pantai, mulai 7 mil sampai 18 mil dari pantai. Sebaliknya nelayan yang menggunakan perahu tanpa motor daerah penangkapan mereka hanya terbatas di sekitar pantai. Kondisi ini menyebabkan hasil tangkapan yang mereka peroleh lebih sedikit dibandingkan dengan nelayan yang menggunakan kapal motor dan perahu motor.

Produksi perikanan yang berasal dari usaha penangkapan di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 tercatat sebesar 18.809,10 ton dengan nilai produksi Rp. 131.663.700.000,- dan pada tahun 2007 tercatat sebesar 18.409,38 ton dengan nilai produksi Rp. 128.865.560.000, atau mengalami peningkatan sebesar 2,17%. Pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan terbagai atas tiga kelompok, yaitu lokal, antar pulau dan ekspor. Adapun rincian volume dan nilai pemasaran disajikan pada Tabel 14.

Tabel 14. Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan tahun 2008

No Pemarasan Volume (ton) Nilai (Rp.) Persentase (%)

1 Lokal 17.734,25 88.670.000.000 92,00

2 Antar Pulau 176,64 1.059.800.000 1,00

3 Ekspor 1.365,75 6.696.236.140 7,00

Jumlah 19.276,64 96.426.036.140 100,00

Sumber : DKP Kabupaten Bintan, 2009

Dari Tabel 14 terlihat bahwa pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan sebagian besar (92%) untuk pasar lokal, kemudian diikuti ekspor dan antar

(14)

pulau. Hal ini disebabkan tingginya permintaan lokal terhadap produksi perikanan, dimana konsumsi ikan dari masyarakat Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 115,65 kg/kapita/tahun. Disamping itu juga disebabkan pertumbuhan penduduk Kabupaten Bintan yang cukup tinggi, yaitu 2,63% (DKP Kabupaten Bintan, 2009).

- Perikanan Budidaya

Untuk potensi sumberdaya budidaya laut, Gugus Pulau Bintan mempunyai areal potensial seluas 6.318 ha, yang dapat dikembangkan untuk budidaya ikan, rumput laut dan kerang-kerangan. Pengembangan kegiatan perikanan masih mempunyai peluang yang sangat luas, mengingat tingkat pemanfaatan laut tersebar di Kecamatan Bintan Timur, Teluk Bintan dan Bintan Utara masih rendah. Disamping kegiatan budidaya laut, Kabupaten Bintan juga potensial untuk pengembangan budidaya air payau (tambak) dan budidaya air tawar.

Saat ini kegiatan budidaya laut sudah mulai berkembang di Kabupaten Bintan, terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir. Tercatat 1.306 kantong keramba jaring apung (KJA) dan 571 kantong keramba jaring tancap (KJT). Kegiatan budidaya laut tersebut tersebar di semua kecamatan yang mempunyai perairan laut. dengan melibatkan 297 RTP. Jenis-jenis ikan yang dibudidayakan adalah ikan kerapu, kakap, bawal dan jenis lainnya. Adapun produksi dan nilai produksi budidaya laut di Kabupaten Bintan pada tahun 2008 adalah 182,36 ton dengan nilai produksi Rp. 16.589.285.000,-

4.6.2. Pariwisata

Gugus Pulau Bintan memiliki potensi wisata yang meliputi wisata alam, wisata budaya dan minat khusus yang tersebar di berbagai kecamatan yang terdapat pada Kabupaten Bintan terutama di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Utara. Secara keseluruhan terdapat 12 lokasi potensial sebagai obyek wisata baik yang sudah dikembangkan maupun yang sedang dikembangkan. Adapun lokasi-lokasi wisata tersebut dapat di lihat pada Tabel 15.

(15)

Tabel 15. Sebaran lokasi dan jenis obyek wisata yang dapat dikembangkan di Gugus Pulau Bintan

No Kecamatan Lokasi/Nama Obyek Wisata Jenis Obyek Wisata 1 Bintan Utara • Kawasan wisata terpadu Lagoi

• Pantai Tanjung Berakit • Desa wisata Sebong Perah • Makam Hang Nadim

• Wisata alam • Wisata alam • Wisata alam

dan budaya • Wisata sejarah 2 Gunung Kijang • Pantai kawal Pulau Beralas Bakau

dan Pulau Beralas Pasir • Gunung Kijang

• Wisata Agro-perkebunan nenas • Pantai Trikora dan perkampungan

nelayan kawal

• Wisata alam • Wisata alam • Wisata alam • Wisata alam 3 Teluk Bintan • Makam bukit batu

• Makam panjang di Pulau Pengujan • Air terjun Gunung Bintan

• Makam Sultan Muhayatsyah

• Wisata sejarah • Wisata sejarah • Wisata alam • Wisata sejarah Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008

Salah satu tempat tujuan wisata yang banyak dikunjungi oleh wisatawan mancanegara adalah daerah Lagoi yang terdapat di Kecamatan Bintan Utara. Saat ini Kawasan Wisata Terpadu Lagoi telah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan sebagai salah satu kawasan (SEZ) Kabupaten Bintan dengan luas areal 23.000 ha yang terdapat pada Kecamatan Telok Sebong.

Selain kawasan Lagoi, daerah lainya yang juga memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata bahari adalah Pantai Trikora yang terdapat di sepanjang pesisir Kecamatan Gunung Kijang, dan Pulau Mapur. Pantai Trikora memiliki potensi untuk pengembagan wisata mancing dan wisata pantai. Sementara itu, perairan Pulau Mapur memiliki potensi untuk pengembangan jenis pariwisata

diving, mancing dan snorkling.

Sepanjang tahun 2008, wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan sebanyak 316,215 orang. Negara pangsa pasar utama wisatawan mancanegara tahun 2008 adalah Singapura 34,96%. Kemudian diikuti oleh Korea Selatan dan Jepang masing-masing sebesar 12,35% dan 9,76%. Lima negara lain secara berturut-turut antara lain, Inggris (5,12%), Malaysia (4,93%), Australia (4,21%), India (3,66%), dan China (3,34%) (Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan, 2008).

(16)

Berkaitan dengan kontribusi wilayah pesisir dan laut Kabupaten Bintan oleh pengguna terhadap PAD, sektor pariwisata memberikan kontribusi yang cukup besar. Berdasarkan nilai PDRB tahun 2008 atas dasar harga yang berlaku tahun 2000 menurut lapangan usaha, kontribusi sektor pariwisata yang diperoleh dari sektor-sektor perdagangan, hotel dan restoran saja telah mencapai Rp. 540,08 milyar atau sebesar 19,76% dengan laju pertumbuhan 6,67% (BPS Kabupaten Bintan, 2009). Selanjutnya LIPI dan PPSPL UMRAH (2010) melaporkan bahwa potensi nilai ekonomi ekowisata dari wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Kabupaten Bintan pada tahun 2009 lebih dari Rp. 109,741 milyar. Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bintan (2008) melaporkan bahwa pada tahun 2007 serapan tenaga kerja di sektor pariwisata hanya 5,02% dari angkatan kerja yang berjumlah 49.669 jiwa. Hal ini masih tergolong rendah dibanding sektor pertanian dan industri pengolahan.

4.6.3. Ekosistem Pesisir

Ekosistem utama di wilayah pesisir Kabupaten Bintan meliputi ekosistem terumbu karang, ekosistem hutan magrove, padang lamun, dan rumput laut yang tersebar di beberapa lokasi perairan pulau-pulau kecil pada gugus Pulau Bintan (Gambar 7).

(17)

Gambar 7. Peta potensi ekosistem utama pesisir di Kabupaten Bintan

PETA POTENSI EKOSISTEM UTAMA PESISIR GUGUS P. BINTAN

Ibukota Kecamatan Garis Pantai Batas Kecamatan Jalan Sungai Waduk Rumput Laut Mangrove Pdang Lamun Terumnu Karang Daratan Gugus P. Bintan

(18)

- Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistem terumbu karang di Kabupaten Bintan terbentang di paparan dangkal hampir di semua pulau, terutama di pesisir Pulau Bintan dan di 29 pulau-pulau kecil lainnya. Tipe terumbu yang terdapat di Kabupaten Bintan umumnya berbentuk karang tepi (fringing reef). Secara keselurahan luas ekosistem terumbu karang di pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil disekitarnya adalah 17. 394, 83 ha (DKP, 2007). Di Pulau Bintan bagian timur rataan terumbu karang berkembang dengan baik dan mencakup wilayah sangat luas dan dapat dijumpai sepenjang 35 km, yakni dari Desa Malang Rapat hingga Desa Kijang. Lebar rataan tersebut berkisar antara 100 m hingga 1000 m. Di atas rataan itu selain endapan pasir dan hamparan karang mati, berkembang pula dengan baik adanya padang lamun (seagrass).

Berdasarkan hasil penelitian LIPI (2007) luasan ekosistem terumbukarang di pesisir Bintan Timur yang menjadi lokasi penelitian adalah 4.255,499 ha dengan tutupan karang hidup 28,20 - 72,10%. Selanjutnya dilaporkan bahwa ditemukan 14 suku dan 78 jenis karang batu dengan nilai indeks keanekaragaman jenis Shannon (H’) berkisar 1,866 – 3,199. Adapun jenis-jenis ikan yang berasosiasi di ekosistem terumbu karang ditemukan 24 suku dan 103 jenis ikan karang. Kelimpahan beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti ikan kakap (termasuk suku Lutjanidae) cukup tinggi yaitu 957 individu/ha, ikan kerapu (termasuk dalam suku Serranidae) 86 individu/ha dan ikan ekor kuning (termasuk dalam suku Caesionidae) yaitu 243 individu/ha. Ikan kepe-kepe (termasuk dalam suku Chaetodontidae) yang merupakan ikan indikator untuk menilai kesehatan terumbu karang memiliki kelimpahan cukup tinggi yaitu 729 individu/ha.

- Ekosistem Magrove

Ekosistem mangrove di Kabupaten Bintan tersebar terutama di pesisir Pulau Bintan dan pulau-pulau kecil lainnya dengan luas keseluruhan 6.941 ha. Lokasi penyebaran ekosistem mangrove terbanyak terdapat di pesisir Pulau Bintan dengan luasan 4.700,10 ha, kemudian disusul Pulau Mantang seluas 261,42 ha, Pulau Kelong seluas 208,62 ha, Pulau Lobam seluas 179,30 ha, dan Pulau Siulung seluas 163,12 ha (DKP, 2007). Ekosistem mangrove di pesisir

(19)

timur Bintan tersebar luas di daerah Berakit, Pengudang, Sungai Kawal, dan di pantai Desa Malang Rapat. Ketebalan ekosistem mangrove berkisar 20 – 250 m. Jenis-jenis vegetasi mangrove yang umum ditemukan adalah Baringtonia

asiatica, Bruguiera gymnorrhiza, Casuarina equisetifolia, Rhizophora apiculata, Rhizophora mucronata, (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010).

- Padang Lamun

Ekosistem padang lamun (seagrass) pada gugus Pulau Bintan tersebar di beberapa lokasi, seperti di Tanjung Sebung, Pulau Terkulai, Tanjung Teluk, Tanjung Batu Hitam, Pulau Dompak, Tanjung Punggung dan di beberapa lokasi lainnya. Di pesisir timur Pulau Bintan padang lamun tumbuh di sepanjang Pantai Trikora sampai Desa Tanjung Berakit yang meliputi Desa Lagoi, Pengudang, Berakit, Malang Rapat dan Teluk Bakau dengan luasan 2.600 ha. Ditemukan 10 jenis lamun yaitu: Halodule uninervis, H.pinifolia, Cymodecea rodundata, C.

serrulata, Syringodium isoetifolium, Halophila ovalis, H. spinulosa, Thalassia hemprichii, Thalassodendron ciliatum dan Enhalus acoroides. Lokasi yang

memiliki keanekaragaman jenis lamun yang tinggi adalah di Desa Malang Rapat, Teluk Bakau dan Desa Pegudang (Bappeda Kabupaten Bintan, 2010).

- Rumput Laut

Ekosistem rumput laut pada gugus Pulau Bintan terdapat di beberapa lokasi yaitu Teluk Sebong, Pulau Terkulai, Tanjung Berakit, Teluk Bakau, Pulau Beralas Pasir, Pantai Trikora, Pulau Dompak, dan Pulau Pangkil dengan luas secara keseluruhan 1.156.22 ha. Ekosistem rumput laut di pesisir timur Pulau Bintan tersebar di sepanjang Pantai Trikora, Teluk Bakau, Pulau Beralas Pasir dengan luasnya sekitar 161,18 ha (DKP, 2007). Jenis-jenis rumput laut yang banyak ditemukan di pesisir Pulau Bintan antara lain kelompok alga merah (Gelidiella, Hypnea, Gracilaria, Neogoniolithon, Lithothamnion, Dictyota,

Laurencia, dan Fauche), kelompok alga hijau (Caulerpha, Halimeda, Chaetomorpha, Udoea, Chlorodermis, Volonia dan Ulva) dan kelompok alga

coklat (Sargassum, Padina, dan Turbinaria) (Bapedalda Kabupaten Kepulauan Riau, 2002).

(20)

- Pantai Berpasir

Selain ekosistem terumbu karang, mangrove, padang lamun dan ekosistem rumput laut, wilayah pesisir Pulau Bintan juga memiliki ekosistem pantai berpasir. Ekosistem pantai berpasir banyak tersebar di pesisir timur Pulau Bintan dan pulau kecil sekitarnya. Ekosistem pantai berpasir ini yang terkenal adalah kawasan wisata Pantai Trikora, kawasan wisata Lagoi, Pulau Nikoi, Pulau Beralas Pasir dan pulau-pulau lainnya. Keberadaan ekosistem pantai berpasir ini telah dijadikan tempat wisata pantai yang banyak dikunjungi oleh wisatawan.

PETA POTENSI EKOSISTEM UTAMA PESISIR GUGUS P. BINTAN

Gambar

Tabel 11.   Luas  wilayah administratif kecamatan di KKLD Bintan Timur  No  Kecamatan  Desa/Kelurahan  Luas  (km 2 )
Tabel 12. Statistik pendapatan rumah tangga responden dari kegiatan kenelayanan                  menurut musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan Pesisir                  Kabupaten Bintan Kepulauan Riau
Gambar  6.  Distribusi persentase rumah tangga responden menurut kelompok  pendapatan dan musim di Kecamatan Gunung Kijang dan Bintan  Pesisir Kabupaten Bintan
Tabel  14.  Volume dan nilai pemasaran produk perikanan Kabupaten Bintan         tahun 2008
+3

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan, hasil penelitian pada perusahaan non keuangan yang terdaftar di SGX tahun 2015 adalah variabel leverage, profitabilitas, kepemilikan asing dan kepemilikan

Pengaruh yang positif bagi Pekon Kuala Stabas ini diantaranya sejak adanya destinasi wisata di Pekon ini membuat nama Kampung yang berada di Tengah- tengah

Artinya tidak ada perbedaan tang signifikan dalam frekuensi penggunaan kendaraan umum per minggu setelah kenaikan harga BBM, antara yang berpenghasilan menengah atas dengan

KRITERIA PENAPISAN JENIS RENCANA USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG TIDAK TERMASUK DALAM DAFTAR JENIS USAHA DAN/ATAU KEGIATAN YANG WAJIB MEMILIKI ANALISIS MENGENAI DAMPAK LINGKUNGAN HIDUP

Berdasarkan apa yang telah dijabarkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-XV/2017, maka dapat dianalisis bahwasannya permohonan yang dimohonkan oleh para

Hasil dari pemeriksaan akuntansi atas penjualan menunjukkan bahwa penjualan dilakukan berdasarkan Purchase Order (PO) pelanggan dan Sales Order (SO), semua pengiriman

[r]

Penyaluran dana zakat kepada entitas pengelola