• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merajut Kembali Pengalaman Empiris

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Merajut Kembali Pengalaman Empiris"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 3

Merajut Kembali Pengalaman Empiris

Pendahuluan

Pada awalnya sayapun mengalami kesulitan menentukan topik penelitian karena salah satu syarat penelitian yang baik adalah topik tersebut belum pernah ditulis orang atau pernah ditulis namun masih menimbulkan kontroversi. Dalam hal ini yang menjadi tekanan adalah sumbangan penelitian tersebut bagi khasanah ilmu pengetahuan dan kebijakan. Dalam penelitian ini saya memberi tekanan pada sumbangan terhadap kebijakan pariwisata. Hal ini karena pengalaman selama lebih 20 tahun terakhir bekerja di lingkungan pemerintahan, saya menyaksikan perkembangan pariwisata yang pesat di Sulawesi Utara sebagai akibat promosi baik oleh para peneliti maupun oleh pemerintah daerah sendiri. Saya mempunyai stok pengetahuan empiris yang cukup banyak karena pernah bekerja di Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Provinsi Sulawesi Utara periode 1995-2000, dan kemudian periode 2004-2007. Selanjutnya, saya pernah berada di lingkungan Kimpraswil (Pemukiman dan Prasarana Wilayah) dari 2007-2010 yang sering mengunjungi berbagai wilayah di Sulawesi Utara. Dengan demikian apa yang saya tulis merupakan gabungan antara penelitian lapangan dan pengalaman saya sendiri, terutama untuk menjelaskan apa dan bagaimana pariwisata berkembang di Sulawesi Utara.

Saya sangat sadar tidaklah cukup hanya mengandalkan pengalaman sendiri untuk melakukan penelitian yang berkualitas. Informasi yang saya miliki hingga sekarang ini mungkin sudah

(2)

kadaluarsa, sehingga perlu ke lapangan mendapatkan informasi terbaru. Namun dengan pengalaman yang sudah dimiliki selama ini saya lebih peka melihat setiap perubahan yang mungkin terjadi di obyek penelitian. Barangkali ada orang yang melihat ini sebagai kelemahan, namun bisa juga menjadi kekuatan seorang biroktrat ketika meneliti. Saya hanya mencoba merekonstruksi kembali berbagai pengetahuan terpendam yang sudah saya miliki selama ini, walaupun masih bersifat empirik. Hal inilah yang menjadi kekuatan seorang birokrat yang kaya pengalaman yang nantinya sangat membantu dia menganalisis suatu masalah. Namun di lain pihak bisa menjadi kelemahan ketika seorang birokrat terlena dengan pengalamannya dan ketika ia tidak mau belajar mengasah ketrampilan analisisnya.

Melakukan suatu penelitan yang bersifat akademik adalah sebuah pengalaman intelektual tersendiri karena selama ini saya lebih terbiasa dengan model penelitian pesanan. Proses yang berawal dari merancang penelitian hingga menghasilkan buku adalah pengalaman pertama saya melakukan penelitian secara serius. Di sini saya tidak hanya belajar meneliti tapi juga belajar memahami masyarakat secara lebih baik. Barangkali karena inilah mengapa kelebihan penelitian ilmiah yang lebih mementingkan kebenaran dan bukan kekuasaan.

Metode Penelitian

Salah satu tantangan dalam penelitian adalah bagaimana memperoleh data atau informasi yang layak menjadi dasar analisis. Proses mendapatkan data yang layak sangat beragam tergantung pada obyek yang diteliti. Salah satu pertanyaan adalah bagaimana supaya data-data yang kita peroleh dapat dipercaya. Di sini masalah bagaimana mengumpulkan informasi menjadi sangat penting. Sebuah penelitian yang baik tidak tergantung pada judul penelitian tapi pada kualitas pertanyaan yang diajukan. Dengan

(3)

kata lain pertanyaan penelitian yang baik akan menghasilkan penelitian yang baik (Locke, et al., 1988).

Dalam kaitan itu pertanyaan pokok yang diajukan dalam penelitian ini adalah: bagaimana dinamika pengembangan pariwisata berbasis komunitas di Sulawesi Utara? Pertanyaan inti ini akan dipecah lagi menjadi tiga pertanyaan empiris yaitu, apa tanggapan masyarakat terhadap perkembangan pariwisata di lokasi Bunaken, Kimabajo, dan Tangkoko? Walaupun pertanyaan empiris yang saya ajukan adalah sama untuk tiga daerah namun pembahasan akan dilakukan secara sendiri-sendiri. Pertanyaan inti merupakan pertanyaan payung dan jawabannya merupakan hasil sintesa dari analisa di tiga wilayah penelitian dan literatur. Sedangkan untuk tiga pertanyaan empiris saya menggali informasi langsung dari lapangan.

Dari masalah di atas, pendekatan yang saya pakai dalam penelitian ini adalah interpretatif. Pendekatan interpretatif atau lebih dikenal metode kualitatif adalah sebuah pendekatan yang berseberangan dengan pendekatan positif yang mengandalkan manipulasi statistik untuk mengambil kesimpulan. Pendekatan kualitatif adalah cara mereka dalam menarik kesimpulan dengan mengandalkan informasi-informasi yang langsung digali dari informan melalui proses wawancara dan diskusi, sehingga tidak bebas nilai. Karena sifatnya yang demikian sehingga ada penulis yang menyebutnya sebagai pendekatan natural, yaitu merekam informasi apa adanya dari para informan (Creswell, 2003). Pendekatan kualitatif sudah banyak dipakai dalam penelitian antropologi, sosiologi, psikologi, ilmu politik, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya.

Walaupun pendekatan kualitatif sudah umum di kalangan akademisi namun tidak demikian di kalangan pemerintahan. Pada umumnya berbagai dinas dalam pemerintahan masih asing dengan metode kualitatif. Bahkan masih ada pejabat pemerintah bahkan

(4)

memandang rendah kualitas pendekatan kualitatif, maka jangan heran jika pendekatan yang dominan adalah kuantitatif dengan metode survei. Hal ini yang menjadi alasan mengapa banyak proposal penelitian yang tidak menggunakan pendekatan angka jarang lolos. Tidak populernya pendekatan kualitatif di kalangan pemerintahan dapat dipahami karena sebagian pelatihan yang diikuti adalah menggunakan metode kuantitatif baik dalam aras nasional maupun internasional.

Sampai saat ini ternyata masih ada banyak orang yang masih meragukan kemampuan pendekatan kualitatif dalam pembuatan kebijakan. Banyak pejabat yakin dengan presentasi angka-angka mereka bisa meyakinkan banyak pihak dengan lebih mudah. Sedangkan mempelajari laporan penelitian yang bersifat kualitatif sangat melelahkan karena biasanya laporan tersebut isinya cukup tebal. Barangkali karena ini yang membuat mengapa pendekatan kualitatif tidak populer. Para pejabat hampir tidak mempunyai waktu membaca teks yang tebal karena mereka mempunyai waktu yang sangat sedikit untuk membaca. Sebagian besar habis untuk rapat koordinasi dan kegiatan publik lainnya. Wajarlah mereka menginginkan pendekatan kuantitatif, untuk yakin akan hasil suatu penelitian, namun setelah kami telusuri semakin tampak kekuatan model kuantitatif, semakin nyata pula kekurangan yang melekat di dalamnya (Salam, 2011).

Pada dasarnya penelitian ini mencoba merekam pengalaman bersama penduduk yang tinggal di sekitar lokasi pengembangan pariwisata. Untuk itu saya memilih menggunakan metode diskusi kelompok yang terfokus (focus group discussion). Focus group discussion (FGD) adalah sebuah metode untuk menggali informasi dengan sekelompok informan yang biasa dilakukan dalam bentuk diskusi (Hennink, 2007). Para informan yang hidup di daerah penelitian mengalami secara bersama perkembangan pariwisata di sana. Dengan diskusi kelompok mereka akan saling melengkapi

(5)

jika ada yang lupa atau mengoreksi jika ada peserta kelompok yang salah mengungkapkan fakta.

Perlu kita pahami juga adalah ketika meminta para peserta diskusi mengungkapkan pengalaman tidak menutup kemungkinan mereka berbeda pendapat. Barangkali ini juga yang menjadi masalah dengan penelitian diskusi kelompok. Barangkali ada peserta yang tidak mau mengungkapkan pendapatnya karena merasa tidak enak dengan teman lain yang hadir dalam diskusi. Namun khusus untuk Sulawesi Utara hal ini bisa diminimalisir. Pada umumnya budaya masyarakat di Minahasa adalah berterus terang atau berkata apa adanya yang mereka rasakan. Oleh karena itu maka proses FGD yang saya pilih cukup efektif untuk menggali informasi lapangan.

Penelitian FGD membutuhkan waktu persiapan yang cukup lama. Setelah berdiskusi dengan promotor dan ko-promotor saya baru menyusun instrumen penelitian lapangan yaitu berupa daftar pertanyaan yang akan saya ajukan dalam proses diskusi kelompok. Pertanyaan yang saya susun merupakan penjabaran dari pertanyaan penelitian yang saya ajukan di proposal. Setelah itu saya memilih dan menentukan tiga daerah yang menjadi lokasi penelitian, dan proses selanjutnya adalah merancang strategi pencarian informasi lapangan.

Pertama-tama yang saya lakukan adalah menentukan kriteria orang yang dapat menjadi informan dalam penelitian ini. Saya membuat klasifikasi informan menjadi tiga kelompok, yaitu, pengusaha, pekerja, dan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi pariwisata. Pengusaha yang dipilih adalah mereka yang membuka usaha memanfaatkan peluang dari pengembangan pariwisata di daerah mereka. Kelompok pekerja adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai hotel, resort, rumah makan, dan pemandu wisata. Sedangkan masyarakat yang dimaksud di sini adalah mereka yang

(6)

sudah lebih lima tahun tinggal berdomisili di lokasi pariwisata. Ketiga kelompok ini dibentuk di setiap daerah.

Selain itu saya juga pertimbangkan agar para informan bervariasi dari segi umur dan jender. Saya berusaha sedapat mungkin setiap kelompok terdiri dari campuran informan yang berusia muda dan yang tua, dan dari sisi jender terdiri dari kelompok laki laki dan perempuan. Dalam kenyataan di lapangan, pada umumnya kelompok masyarakat didominasi orang yang sudah berumur sedang para pekerja pada umumnya adalah kelompok berusia muda. Kelompok pengusaha yang terpilih dari segi umur adalah campuran tua dan muda. Dari segi jender, perempuan yang paling banyak terlibat dalam diskusi kelompok pengusaha, tapi hanya sedikit yang terlibat dalam diskusi pekerja.

Setiap kelompok terdiri dari 6 sampai 8 orang. Saya sengaja membatasi jumlah anggota kelompok dengan maksud agar setiap orang yang terlibat berkesempatan untuk mengemukakan pendapat. Jika kelompok menjadi besar kemungkinan besar ada peserta yang tidak mendapat kesempatan berbicara. Selain itu, saya mencoba membatasi waktu proses FGD antara satu hingga satu setengah jam. Jika waktu pelaksanaan FGD lebih dari satu setengah jam biasanya para peserta mulai bosan dan mereka sudah tidak konsentrasi. Selain itu kebanyakan para peserta masih melakukan aktivitas ekonomi mereka sehingga dengan waktu sekitar satu setengah jam untuk FGD masih bisa mereka tolerir.

L

okasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di tiga lokasi yang menjadi tujuan wisata di Sulawesi Utara saat ini, yaitu di Kelurahan Liang dan Kelurahan Alungbanua Kecamatan Bunaken Kota Manado, Desa Kimabajo Kecamatan Wori Kabupaten Minahasa Utara, dan pemukiman Tangkoko di Kelurahan Batuputih Bawah Kecamatan Ranowulu Kota Bitung. Masing-masing Kelurahan/Desa ini mempunyai keunikan, yaitu Kelurahan Liang dan Kelurahan

(7)

Alungbanua di pulau Bunaken merupakan pusat kegiatan penyelaman yang berada di pesisir timur/utara pulau Bunaken. Pada dua tempat ini pula terdapat fasilitas resort atau homestay

bagi wisatawan untuk tinggal.

Sementara itu, Desa Kimabajo adalah desa yang terletak di daratan teluk Kimabajo tidak jauh dari pulau Bunaken. Di sana terdapat dua resort yang terkenal yang menunjang obyek wisata Bunaken. Desa Kimabajo merupakan titik terdekat ke pulau Bunaken (hanya 20 menit) dari daratan. Kondisi ekonomi penduduk lokal Kimabajo relatif rendah dengan pola pemukiman masyarakat miskin yang rumahnya sangat sederhana, kontras dengan kehidupan pariwisata yang mewah dari kedua resort di desa tersebut. Demikian pula lokasi pemukiman Tangkoko yang berada di pinggiran Kelurahan Batuputih di Kota Bitung adalah pemukiman baru yang berkembang di pinggir wilayah konservasi alam. Keunikannya daerah ini adalah besarnya keinginan masyarakat untuk berbaur dengan wisatawan, sehingga ada banyak rumah penduduk mulai dimodifikasi menjadi homestay

meniru yang terjadi di Kelurahan Liang dan Alungbanua di pulau Bunaken. Dari ketiga daerah tersebut hanya dua daerah yang penduduk lokalnya membuka homestay atau penginapan kecil, yaitu Bunaken dan Tangkoko. Di Kimabajo tidak ada penduduk lokal yang membuka penginapan karena wilayah mereka sangat sempit dan sering tergenang air ketika air laut pasang. Namun sebaliknya sebagian besar masyarakat Kimabajo bergantung sebagai pekerja pada dua resort yang ada di sana dan ini tidak terjadi di Bunaken dan Tangkoko. Ini juga menjadi alasan mengapa ketiga daerah ini menarik menjadi lokasi penelitian.

Proses Penelitian Lapangan

Merancang penelitian FGD tidaklah mudah, karena tantangannya adalah bagaimana mengumpulkan sekelompok orang yang punya kegiatan yang beragam dalam waktu

(8)

bersamaan. Untuk itu saya mendekati beberapa orang lokal dari masing-masing lokasi penelitian dan kemudian meminta mereka menghubungi calon informan. Cara ini sangat membantu karena orang lokal sangat mengetahui kondisi sosial wilayahnya. Selain itu saya juga meminta bantuan beberapa orang dari Manado sebagai asisten peneliti untuk merekam dan mencatat pernyataan para peserta diskusi selama proses FGD berlangsung. Para asisten ini juga yang telah serius membantu saya mengorganisir proses FGD di setiap lokasi. Mereka saya tugaskan turun ke lapangan seminggu sebelum penelitian dilakukan sambil mempersiapkan tempat, dan orang sebagai sasaran FGD di lokasi penelitian.

Lebih lanjut saya merasa perlu untuk mendapatkan akses pada pemerintah setempat baik kecamatan dan kelurahan/desa untuk mendapatkan ijin meneliti. Walaupun saya sudah kenal dengan mereka saya tetap perlu melaporkan kegiatan penelitian agar aparat pemerintah kecamatan dan desa mengetahui. Ada keuntungan lain dengan melapor kepada aparat saya mendapat akses terhadap data-data sekunder yang mereka miliki. Namun demikian saya juga sejak awal sadar bahwa sedapat mungkin saya mengurangi kehadiran aparat desa ketika proses FGD berlangsung. Hal ini karena saya ingin agar para peserta diskusi kelompok bebas mengungkapkan masalah yang berkaitan dengan aparat di aras desa. Untuk itu maka saya tidak pernah memberitahu waktu pelaksanaan FGD kepada aparat.

Dengan menggunakan kendaraan darat team peneliti yang terdiri dari 5 orang (saya dan 4 orang asisten peneliti) mendatangi lokasi penelitian Tangkoko pada pagi hari. Kami membutuhkan waktu sekitar dua jam untuk mencapai lokasi penelitian ini dari Manado (mungkin karena pagi macet, biasanya hanya satu setengah jam). Setelah mencari tempat yang sudah disiapkan kami memesan pisang goreng dan kopi karena waktu itu masih jam 9 pagi, sambil menantikan para peserta FGD terkumpul untuk diwawancarai dan berdiskusi. Proses FGD di Tangkoko dilakukan

(9)

di kantor LSM KONTAK, yang sebagian besar anggotanya bekerja sebagai guide. Sambil menunggu semua peserta diskusi kelompok berkumpul kami melakukan diskusi dengan beberapa peserta yang sudah datang lebih awal tentang kondisi pariwisata di Tangkoko. Dari kantor LSM KONTAK kami dapat mengamati para

guide yang sedang melayani para wisatawan dan kelihatannya mereka sangat akrab sehingga menarik perhatian saya untuk bertanya. Dari hasil penelusuran saya, maka sebagian besar para wisatawan yang datang ke sini melakukan ‘bird watching’. Mereka berasal dari beraneka macam latar belakang, ada yang datang sebagai peneliti, penulis buku, fotografer, bahkan ada orang lumpuh dari luar negeri yang ingin melakukan kegiatan bird watching ini lengkap dengan kereta dorongnya. Pada umumnya selesai mengamati perilaku burung mereka sangat lelah, sehingga sering bertanya dimana ada penginapan yang sejuk. Sayangnya semua penginapan (lodge) yang ada di Tangkoko masih menggunakan kipas angin, sedangkan turis meminta kamar yang mempunyai air conditioner. Proses FGD di Tangkoko dipecah dalam tiga kelompok, yaitu pada awalnya khusus untuk pekerja, kemudian sesi berikutnya dengan para pengusaha, dan yang terakhir adalah dengan masyarakat. Seperti telah diungkapkan sebelumnya, proses FGD awal dengan para pekerja. Fungsi saya lebih banyak sebagai fasilitator dan sekaligus moderator yang berupaya menggali berbagai informasi dan pendapat yang tersimpan dalam lubuk hati para peserta diskusi. Proses ini tidak selamanya berlangsung serius tapi kadang disertai dengan senda gurau agar mereka santai mengemukakan isi hati. Dengan FGD ini saya banyak belajar tentang kondisi sosial dan kemasyarakatan yang berlangsung di Tangkoko.

Kemudian pada siang hari FGD kami lanjutkan bersama para ibu rumah tangga dan beberapa orang bapak yang mempunyai/ mengelola penginapan. Belum ada restoran di sana, yang ada rumah makan kecil di dalam penginapan. FGD dengan

(10)

kelompok ini cukup seru sebab yang lebih banyak disorot adalah perilaku turisnya, dimulai dari makanan kesukaan mereka, apresiasinya pada budaya setempat, maupun sejumlah kebutuhan-kebutuhan turis yang belum dapat mereka penuhi. Saya sering menyela dengan pertanyaan tentang manfaat yang mereka rasakan dengan hadirnya turis ini, namun jawabannya seringkali tidak fokus, karena manfaatnya masih belum terlalu terasa (pada umumnya turis yang ke sana adalah ‘backpackers’). Para peserta FGD pun sadar bahwa pengembangan selanjutnya tidak bisa mereka tentukan karena mereka hanya hidup dari peluang yang diberikan para Jagawana yang menjaga kawasan konservasi hutan margasatwa Tangkoko Batuangus. Namun masyarakat menjadi senang apabila turis juga menyenangi jenis makanan yang mereka konsumsi sehari-hari, terutama ikan laut yang masih segar.

Pada sore harinya wawancara dan diskusi dilanjutkan dengan masyarakat, namun karena hari sudah menjelang malam, akhirnya kami putuskan menginap di sana dan melanjutkan diskusi pada keesokan harinya. Beruntung malam itu juga ada beberapa anggota tim peneliti dapat berkenalan dengan para turis, sehingga semakin lengkap lagi bahan yang menjadi informasi bagi penelitian ini. Kami menghabiskan waktu dua hari di Tangkoko, dan kami berjanji akan kembali lagi bila masih ada informasi yang diperlukan.

Sasaran kami berikutnya adalah Desa Kimabajo. Hanya membutuhkan waktu setengah jam dari Manado untuk mencapai desa ini dengan kendaraan darat. Kedatangan kami juga pada pagi hari dan disambut Kepala Desa setempat, rupanya karena ia tahu kami akan datang (Saya tidak berharap ada aparat hadir waktu FGD. Memang sebelumnya saya sudah kenal beliau pada waktu beliau mengusulkan pengaspalan hotmix di jalan masuk ke resort

Cocotinos tahun lalu dan sekarang sudah jadi). Atas ijin beliau wawancara dan diskusi dapat berlangsung setiap kelompok atau sub-group dengan lancar. Kami pun menyisakan waktu sore hari

(11)

menunggu para pekerja pulang baru kemudian diwawancarai. Walaupun sudah lelah, namun mereka merasa sukacita untuk diwawancarai oleh saya dan tim peneliti FGD, apalagi diskusi menggairahkan mereka karena penuh dengan bayangan-bayangan masa depan yang lebih baik, seandainya usulan-usulan mereka itu menjadi kenyataan.

Hari berikutnya saya dengan tim peneliti berangkat ke Bunaken dengan menggunakan boat dari jety milik Cocotinos

Resort. Rombongan kami berangkat pada siang hari, maka harus menggunakan jety karena air sudah turun dan di depan Desa Kimabajo. Ketika air turun ada bukit pasir yang menjorok kedepan dan oleh masyarakat setempat disebut tandusang. Pada saat air turun tidak ada kapal penduduk yang bisa merapat. Bukit pasir ini akan menghilang bila air pasang yang dimulai pada jam 2 siang sampai pagi berikutnya.

Boat yang berkapasitas 10 orang harus dua kali bolak-balik mengangkut tim peneliti dari Kimabajo ke Bunaken. Kami tiba di Bunaken pada siang hari, langsung duduk di tepi pantai menikmati angin sepoi-sepoi sambil menunggu makan siang yang kemudian akan disambung dengan FGD. Dari tempat kami duduk terlihat para penyelam yang bersiap menuju tempat penyelaman, maupun yang baru keluar dari air. Patut diketahui bahwa sehari ada 3- 4 kali sorti penyelaman, sampai malam hari. FGD di lokasi Bunaken rasanya lebih lengkap dan dihadiri oleh semua unsur masyarakat yang kami butuhkan, sehingga kami pun harus pilih menginap dan melanjutkan penelitian sampai pada besok harinya. Memang kalau hanya tersedia dua hari tidak cukup waktu untuk menangkap permasalahan yang berkembang di sana. Namun kekurangan tersebut kami tutup dengan setiap minggu dan kemudian setiap hari Jumat kami pergi ke sana melakukan wawancara tambahan sehingga akhirnya informasi yang saya butuhkan dapat diperoleh.

(12)

ada success story dari masyarakat lokal untuk mengambil manfaat dari pariwisata. Di Bunaken ada seorang penduduk lokal yang bernama Frans Caroles yang saya nilai cukup berhasil dalam usahanya berkolaborasi dengan investor asing mengembangkan

resort di Bunaken. Namun banyak juga masalah yang berhasil kami rekam yang akan dianalisa dalam penelitian saya. Memang upaya mendapatkan akses untuk mewawancarai beliau sulit, namun setelah membuat janji akhirnya pada kedatangan saya yang ketiga baru bisa ketemu.

Focus Group Discussion

dengan para Pembuat Kebijakan

Saya merancang FGD di tingkat provinsi dengan para mantan kepala dinas pariwisata provinsi Sulawesi Utara (tahun 1980-2011). Tentu saya pun mengundang kepala Dinas Pariwisata yang sedang menjabat saat penelitian ini dilakukan. Saya ingin merekam pengalaman mereka ketika duduk sebagai pengambil kebijakan di bidang pariwisata. Proses FGD ini dilakukan setelah semua proses penelitian di tiga wilayah tersebut selesai. Mereka menyambut baik undangan saya sehingga pada hari proses FGD dilakukan hadir 7 mantan kepala dinas pariwisata Provinsi, 3 kepala dinas pariwisata Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Utara, dan Kabupaten Minahasa Selatan. Mereka aktif dan antusias memberikan pendapatnya tentang rencana yang pernah dibuat pada zaman mereka dan situasi riil yang berkembang sesuai pengamatan mereka di lokasi pariwisata Taman Laut Nasional Bunaken dan sekitarnya. Peserta FGD lainnya adalah dari para akademisi perguruan tinggi lokal yang membidangi pariwisata, kelautan, lingkungan dan pertanian. Seluruhnya yang hadir 30 orang.

Tujuan pelaksanaan FGDdi tingkat provinsi dimaksudkan agar saya mendapat masukan yang lengkap tentang kebijakan pariwisata di tingkat provinsi dari masa kepemimpinan awal sampai tahun 2011. Jenis pertanyaan yang diajukan berbeda

(13)

dengan pertanyaan pada FGD di masyarakat lokal, karena yang ingin diketahui dan dianalisa adalah masalah kebijakan yang pernah diambil pemerintah, semasa mereka masih menjadi pejabat dinas pariwisata. Saya juga ingin tahu apa yang menjadi dasar pengambilan kebijakan mereka pada waktu itu, dan apakah permasalahan yang ada sudah teratasi saat ini menurut mereka.

A

nalisa data

Setelah mengumpulkan semua informasi dari lapangan, tantangan berikut adalah proses analisis. Sebagaimana penelitian kualitatif pada umumnya langkah pertama adalah melakukan transkrip hasil rekaman wawancara dengan bantuan para asisten peneliti. Para asisten peneliti adalah orang lokal Minahasa sangat membantu dalam transkrip karena sebagian besar wawancara dalam bahasa atau dialek lokal. Proses transkrip ini memakan waktu sekitar dua minggu. Setelah proses transkrip selesai saya membaca kembali draft tersebut melihat jika ada jawaban yang belum lengkap.

Langkah berikut setelah transkrip adalah membuat analisa tematik. Berdasarkan transkrip saya mencoba menggali tema-tema yang ada dengan membuat matriks. Dalam proses ini saya berdiskusi secara intensif dengan komisi pembimbing. Berdasarkan tema-tema tersebut saya merancang dan menulis tiga bab empiris dan satu bab kebijakan. Proses ini memakan waktu cukup lama sekitar empat bulan. Selama proses analisis saya masih beberapa kali kembali ke lapangan untuk konfirmasi informasi atau melengkapi data yang masih kurang.

Setelah bab empiris selesai, maka langkah berikut adalah melakukan analisis kedua untuk menemukan konsep-konsep yang terpendam dalam bab-bab empiris. Proses ini juga menggunakan matriks dengan konsultasi secara intensif antara saya dengan para komisi pembimbing. Berdasarkan hasil analisis tersebut saya mencoba mengkonstrusikan model integratif tentang dinamika

(14)

ekonomi pariwisata yang berbasis komunitas. Hasil analisa ini saya tuangkan dalam bab tujuh. Dari model tersebut saya mencoba mengidentifikasi hambatan-hambatan yang mungkin muncul dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang tinggal di sekitar obyek lokasi penelitian. Dari sini saya mencoba merancang model baru yang kemudian saya sebut sebagai model pemberdayaan.

Langkah terakhir adalah mencoba untuk menulis buku ini secara menyeluruh. Proses menulis menjadi lebih mudah melalui proses bimbingan yang intensif dan serius. Secara keseluruhan proses penelitian ini sangat melelahkan tapi memberi saya peluang untuk belajar meneliti yang benar. Sejak awal saya belum memahami model penelitian kualitatif sekarang menjadi sangat kenal dengan metode ini. Saya dapat buktikan bahwa dengan metode kualitatif kita dapat merancang model yang dapat menjadi dasar pembuatan kebijakan. Bagi para pengambil kebijakan tidak perlu alergi dengan metode kualitatif, karena dengan metode ini kita dapat memahami masyarakat secara lebih mendalam.

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melakukan studi pendahuluan berupa studi pustaka (mengaji ruang lingkup bahan ajar, prosedur dan prinsip penyusunan modul, ruang lingkup pendidikan kecakapan hidup

merupakan sebuah gambaran atas cerminan hidup manusia yang dituangkan penyair dalam karyanya. Gambaran hidup yang dijelaskan di atas masih terjadi hingga sekarang ini,

: setelah bekerja desinfeksi semua bagian dari dental chair dengan alkohol 90% Keterangan : tidak kritis.. Three

Perhitungan produktivitas keseluruhan dari keseluruhan sampel dan produktivitas ideal yang didapatkan dari sampel siklus bagian Aktivitas F, yaitu rangkaian PC Wire dari spiral

Memperoleh pengetahuan mengenai hambatan yang dialami masyarakat sebagai penerima kredit dan UPK sebagai pelaksana kegiatan atau pemberi kredit dalam proses pemberian

Setelah diberikan Penguatan Kompetensi Melalui binaan Kepala Sekolah Tingkat Keberhasilan belajar siswa dengan Menerapkan Metode Demonstrasi pada Mata Pelajaran di

Tingginya nilai kekeruhan pada setiap stasiun pengambilan sampel air penelitian disebabkan karena adanya kegiatan penambangan mas (PETI) yang sedang beroperasi pada

Pergerakan gigi pada pemberian OAINS selektif cox 1, selektif cox 2, dan non OAINS tidak berpe-ngaruh pada jumlah sel osteoklas dan osteoblas tulang alveolus rahang