• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vimala Ratna Lekha Nama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vimala Ratna Lekha Nama"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

SURAT YANG LAKSANA PERMATA CEMERLANG

Selamat pagi, Namo Buddhaya.

Hari ini kita akan mempelajari teks yang ditulis oleh Lama Atisha yaitu Vimala-ratna-lekha-nama. Sebagaimana judulnya bahwa teks ini disebut sebagai Lekha yang berarti surat. Teks ini oleh Guru Atisha diberi judul Vimala-ratna-lekha-nama, artinya: Surat yang laksana permata cemerlang. Ini berkaitan dengan riwayat hidup Guru Atisha, bahwa ketika Guru Atisha masih hidup, ada seorang raja di India yang sangat antusias terhadap ajaran Sang Buddha; selain menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang raja, Raja Niryaphala ini juga merupakan seorang praktisi yang selalu menghormati para guru-guru, dalam hal ini pada zaman itu adalah Guru Atisha Dipamkara-Srijnana. Raja Niryaphala meminta Guru Atisha untuk menuliskan nasihat-nasihat atau memberikan Dharma dalam bentuk tertulis melalui utusan, jadi tidak bertemu secara langsung. Guru Atisha menanggapi permintaan itu, kemudian menulis surat ini yang berisi ajaran-ajaran Dharma sesuai dengan situasi Raja Niryaphala.

Guru Atisha pertama-tama menuliskan penghormatan kepada para Guru, juga kepada Dewi Tara. Di sini terdapat tulisan Namo

(2)

Guruye, juga Namo Bhatarika Taraye. Menurut tradisi sastra suci, menuliskan pujian sebagai manggala atau sebagai kalimat pertama dalam suatu karya sastra suci, adalah seperti memberikan kalimat yang dapat memastikan keberhasilan baik yang menulis maupun yang membacanya di kemudian hari.

Jadi Guru Atisha memohon blessing dari para Gurunya (lineage

master) kemudian juga kepada Dewi Tara sebagai kegiatan dari para

Buddha, agar kehendaknya untuk menasihati atau memberikan ajaran kepada Raja Niryaphala memberikan pengaruh dan kemudian Dharma itu juga dapat dipahami serta dijalankan oleh Raja Niryaphala.

Slokha pertama, di sini tertulis:

Niryaphala, engkau yang lahir di Magadha, Telah menyebarkan ajaran Bhatara Hyang Buddha, Dan telah mengatur kerajaan sesuai dengan ajaran Dharma,

Semoga engkau sejahtera. (1)

Slokha pertama ini mengungkapkan kualifikasi dan situasi hidup dari Raja Niryaphala. Yang pertama Raja Niryaphala lahir di Magadha, Magadha adalah suatu kota yang sangat kuno di India, mungkin berusia lebih dari 5.000 tahun. Jadi selama kurun waktu 5.000 tahun Magadha selalu menjadi pusat kerajaan, walaupun berganti-ganti dinasti tetapi wilayah Magadha adalah pusat peradaban dan kebudayaan di India.

Banyak para guru yang lahir di Magadha, hidup di Magadha dan melakukan aktivitas kebodhisattvaan di Magadha. Guru Atisha memuji Raja Niryaphala ini lahir di Magadha, adalah semacam suatu predikat yang menunjukkan bahwa seseorang berasal dari lingkungan yang berperadaban tinggi, seperti bila kita berjumpa dengan seseorang dan kita bertanya “Anda dari mana?” “Dari Afrika”, misalnya, kita akan langsung berpikir “Wah ini adalah orang-orang yang suka memalsukan dolar, suka tidak jujur”, dan sebagainya. Tetapi bila orang berkata “Saya dari Swiss”, kita akan berpikir “Wah, dia terbiasa dengan

(3)

kehidupan yang nyaman”, dan sebagainya. Jadi pada zaman itu kalau seseorang dikatakan berasal dari Magadha maka berarti dia berasal dari lingkungan peradaban dan kebudayaan yang sangat tinggi.

“Telah menyebarkan ajaran Bhatara Hyang Buddha”, jadi sebagai seorang raja telah mengupayakan atau telah menyusun atau membuat suatu konsep yang dijalaninya sehingga apa yang dilakukannya membuat ajaran Sang Buddha berkembang luas.

Banyak raja-raja Buddhis seperti itu, misalnya di India selain Raja Niryaphala ada Raja Asoka. Raja Asoka merekrut orang-orang yang mau menjadi misionaris, bahkan keluarganya sendiri, putrinya sendiri menjadi bhiksuni kemudian ditunjang untuk pergi ke negara-negara lain seperti di Srilangka, Burma, daerah Kashmir, daerah dataran-dataran tinggi di Himalaya, semuanya atas prakarsa dari raja, dengan maksud dan tujuan untuk menyebarkan ajaran Sang Buddha.

Di Tibet, Raja Rinchen Zangpo juga melakukan hal yang sama; beliau mengumpulkan para pemuda yang sangat cerdas, yang cepat berbahasa Sanskrit serta memiliki kesehatan fisik dan mental yang baik, lalu berpuluh-puluh dari mereka dikirim ke India untuk mendalami ajaran Dharma, menyalin kitab suci dalam bahasa Sanskrit, kemudian membawa ajaran kembali ke Tibet; bukan hanya Dharma tetapi juga kebudayaan, tata cara hidup, kemudian teknologi India pada zaman itu seperti peleburan logam, pengolahan mineral dan sebagainya; dan motivasi dari Raja Rinchen Zangpo adalah untuk membawa ajaran Sang Buddha bersinar di Tibet.

Lalu di Indonesia juga terdapat banyak dinasti yang demikian: para Raja Syailendra, juga raja-raja Buddhis di Jawa Timur, di Sriwijaya; semua menggunakan hal yang sama, yaitu berusaha untuk menyebarluaskan Dharma Sang Buddha. Bila seseorang telah memahami bahwa ajaran Sang Buddha baik bagi dirinya, bagi keluarganya, bagi orang-orang di sekelilingnya, tentu ajaran Sang Buddha baik juga bagi masyarakat luas; ini memotivasi seseorang yang memiliki kemampuan dan situasi yang menunjang, untuk berusaha agar makhluk-makhluk lain, agar orang-orang lain juga memiliki kesempatan berinteraksi dengan Dharma Sang Buddha.

(4)

Jadi Raja Niryaphala telah menyebarluaskan ajaran Bhatara Hyang Buddha, dan telah mengatur kerajaan sesuai dengan ajaran Dharma. “Mengatur kerajaan sesuai dengan ajaran Dharma”, ini tidak begitu mudah, karena segala hal dan segala sesuatu harus disesuaikan dengan aspirasi atau berbagai aspek Dharma.

Kalau kita ingin melihat bagaimana raja-raja mengatur kerajaannya sesuai dengan Dharma, kita bisa membaca biografi Sang Buddha atau biografi para Bodhisattva yang terdapat dalam Jatakamala maupun Avadana. Dalam dua sastra suci tersebut terdapat contoh-contoh bagaimana raja-raja mengatur kerajaannya sesuai dengan Dharma.

Seperti pada zaman Majapahit, ada seorang raja yang bernama Raja Hayam Wuruk, pada masa pemerintahannya dikatakan oleh Mpu Tantular (seorang pendeta Buddha yang menulis sastra Negarakrtagama) bahwa Majapahit juga diatur berdasarkan ajaran Dharma atau ajaran agama, sehingga teks yang sangat populer tersebut, Negarakrtagama, artinya adalah negara yang diatur berdasarkan kaidah agama.

Jadi Raja Niryaphala adalah raja yang sangat ideal, lahir di pusat kebudayaan dan peradaban, kemudian sebagai seorang Buddhis juga membantu menyebarluaskan Dharma Sang Buddha, lalu juga mengatur kerajaannya (artinya membawa kebaikan, membawa kesejahteraan, membawa segala hal yang membuat rakyatnya menjadi lebih baik) dengan mengatur kerajaannya berdasarkan ajaran Dharma. Ini semua merupakan kualitas yang sangat baik yang bisa dimiliki oleh seorang pemimpin.

Slokha yang kedua:

Engkau telah melaksanakan dana di masa lalu, Telah melakukan dasa punya (sepuluh kebajikan), Telah menjalankan ksama (ketabahan) dan virya (usaha). Itu sebabnya mengapa engkau (kini), wahai dewa, diberkati dengan trilaksana

(5)

Pada slokha yang kedua, Guru Atisha memuji keberadaan Raja Niryaphala dan mengaitkannya dengan sebab yang menyebabkan keberadaannya. Di dunia ini kita melihat apa yang tampak secara kasatmata; bilamana seseorang lahir dalam lingkungan keluarga raja, misalnya menjadi putra pertama, berarti orang itu otomatis akan menjadi seorang raja.

Di dunia orang jarang mempertanyakan apa yang menyebabkannya menjadi seorang raja, apalagi kalau di daerah atau wilayah itu paham yang dianut adalah bahwa segala sesuatu ada yang menentukan, ada yang memberikan nasib, ada yang memberikan anugerah dan sebagainya.

Tetapi pada zaman Guru Atisha, segala sesuatu dilihat sebagai sebab akibat; jadi apa yang menyebabkan seorang makhluk menjadi Raja Niryaphala terdapat di slokha kedua, yaitu “Telah melakukan dasa punya (sepuluh kebajikan)” dalam kehidupan masa lalunya, “Telah menjalankan ksama” (ksanti, ketabahan, kegigihan, keteguhan hati) “dan virya” atau semangat pantang menyerah dalam mengusahakan kebajikan. “Itu sebabnya mengapa engkau (kini), wahai dewa”, para raja di masa dulu disebut sebagai bhatara jadi sama dengan dewa karena sebetulnya para raja tersebut lebih mirip sebagai dewa daripada sebagai manusia, “diberkati dengan trilaksana”.

Jadi seorang raja memiliki tiga atribut, yang pertama adalah kemuliaan karena dimuliakan oleh seluruh rakyatnya; yang kedua adalah keagungan, karena setiap pikiran, ucapan dan perilakunya diikuti oleh semua orang tanpa dicela; dan yang ketiga adalah kekayaan. Ketiga ini, kemuliaan, keagungan dan kekayaan, berasal dari tiga macam sebab, yaitu sepuluh kebajikan atau dasa punya, ksanti atau kesabaran dan virya atau usaha.

Bilamana ketiga hal itu tidak hadir dalam perjalanan hidup seseorang, maka tentu dia tidak akan menjadi seorang raja. Ini juga menjadi pelajaran Dharma bagi makhluk yang lain, barang siapa yang melibatkan dirinya atau mewarnai perjalanan hidupnya dengan sepuluh kebajikan, lalu dengan gigih berpegang pada ajaran tentang kesabaran, lalu diikuti dengan sikap pantang menyerah dalam

(6)

mengusahakan kebajikan; maka sudah dapat dipastikan bahwa di ujung jalan dalam siklus kelahiran dan kematiannya nanti, dia akan memiliki kemuliaan, keagungan dan harta kekayaan yang berlimpah seperti seorang raja.

Sebagaimana yang kita lihat, ini merupakan hal yang sangat sulit untuk diwujudkan, orang sangat sulit mengusahakan sepuluh kebajikan (dasa punya) dan sebaliknya lebih banyak orang yang menjalankan dasa akusala atau sepuluh ketidakbajikan seperti lebih banyak membunuh daripada menghidupi, lebih banyak mengambil daripada memberi dan seterusnya. Jadi ini menunjukkan pada kita bahwa sangat sulit mengusahakan sebab-sebab kemuliaan, keagungan dan kekayaan. Kita juga sangat sulit menstabilkan mental agar sabar, sabar menurut perasaannya sendiri, sabar menurut kebijaksanaan, sabar menurut sunyata, semuanya sangat sulit, sehingga teramat sangat sedikit orang yang berpotensi untuk menjadi seorang raja.

Slokha yang ketiga:

Tempatkan ajaran para Guru dengan hormat di atas mahkotamu, Serta hormatilah sutra dan tantra sastra.

Yang demikian akan membawa berkah Bagi dirimu serta yang lain. (3)

Bila pada slokha yang pertama dan kedua berisi puji-pujian kepada Raja Niryaphala atau menyemangati Raja Niryaphala, maka pada slokha yang ketiga ini Guru Atisha mulai menasihati Raja Niryaphala. Setelah seseorang memiliki kemuliaan, keagungan dan kekayaan sebagai raja, yang disebabkan oleh karma baik yang besar di masa lalu dari dasa punya, Ksantiparamita dan Viryaparamita; lalu sekarang Guru Atisha menasihati agar menempatkan ajaran para Guru di atas mahkota kepala seorang raja. Ini artinya, Raja Niryaphala sebagai seorang raja, dianjurkan untuk menjunjung tinggi semua nasihat dari para Guru suci; karena nasihat para Guru suci akan menolong dan membawa keagungan menjadi kesempurnaan.

(7)

“Serta hormatilah sutra dan tantra sastra”, dan hargailah sutra-sutra Sang Buddha yang mencakup Abhidharma dan Vinaya, kemudian tantra sastra atau ajaran tantra. Dengan menghormati sutra maka seseorang akan dengan seksama membaca sutra, jadi bila kita menghargai ajaran Sang Buddha, memiliki sraddha kepada Dharma Sang Buddha, maka kita akan membaca dengan antusias apa yang menjadi kandungan atau isi dari suatu sutra, apalagi yang terkait dengan praktik kita. Dengan membaca secara seksama kemudian muncullah inspirasi. Dharma kebijaksanaan yang berasal dari membaca akan membawa pada kebijaksanaan batin.

Dan tantra sastra yaitu teks-teks sastra suci tantra yang ditulis oleh para Guru, para Achrya, para Mahasiddha, semua teks tersebut berasal dari pengalaman usaha-usaha menuju kesempurnaan hidup. Jadi bila seseorang raja menghormati sutra dan sastra, keagungannya sebagai raja akan berkembang menjadi kesempurnaan sebagai makhluk samsara. “Yang demikian akan membawa berkah bagi dirimu serta yang lain”. Bila seorang raja berada dalam situasi seperti itu, ia akan berguna bagi dirinya sendiri, juga kepada rakyat dan semua orang yang berada di bawahnya.

Tetapi sebaliknya bila raja menjauhi kitab suci, menjauhi sastra suci, mungkin dia akan diwarnai oleh lobha, dosa dan moha; keberadaannya sebagai raja akan menjadi raja yang lalim, raja yang menindas, raja yang menginvasi negara lain, yang menghancurkan rakyatnya sendiri; dengan demikian ia menghancurkan dirinya sendiri, juga menghancurkan semua yang lainnya yaitu rakyatnya, negara tetangganya dan sebagainya.

Slokha yang keempat:

Hindari segala kebimbangan dan kemalasan.

Secara serius rajinlah berusaha untuk mencapai siddhi. Hindari tidur, kemalasan dan keengganan

bersemangat serta waspadalah. (4)

Slokha yang keempat ini adalah nasihat dalam usaha untuk mencapai kemajuan batin, ini adalah formula bagaimana kemajuan

(8)

batin dapat dicapai. Yang pertama Guru Atisha menyinggung tentang kebimbangan atau inkonsistensi, yaitu suatu sikap yang tidak mantap, tidak terfokus dan tidak memusat kepada persoalan yang sesungguhnya membawanya maju.

Misalnya, seseorang yang ingin mempraktikkan atau mematangkan meditasinya, yang harus ia lakukan adalah memfokuskan diri untuk bermeditasi, yaitu fokus melatih diri duduk bermeditasi, melatih kemampuannya untuk duduk lama, kemampuan untuk selalu berkesadaran, kemampuan untuk terus-menerus lebih lama mengasah kesadarannya.

Tetapi dalam usahanya ini ia kemudian beralih ke subjek yang lain, misalnya melakukan ibadah yang lain misalnya namaskara atau pelafalan dan sebagainya; sehingga kebimbangan muncul, ia tidak yakin bahwa apa yang dilakukannya merupakan bagian dari keseluruhan keberhasilan yang akan diraihnya; lalu ia berubah ke lain hal lagi tetapi nanti pindah lagi ke subjek yang lain dan seterusnya, sehingga mengakibatkan apa yang diusahakan tidak mencapai tujuannya. Hal itu disebut sebagai kebimbangan.

Yang kedua adalah kemalasan. Dari seluruh praktik Buddhis yaitu paramita maupun tantra, kemalasan adalah musuh yang utama. Bila kemalasan dominan dalam diri seorang praktisi, maka hampir tidak ada yang dapat dipraktikkan atau direalisasikan baik itu penimbunan kebajikan maupun kebijaksanaan, ataupun tantra. Semua ajaran, apakah itu paramita (yang empat atau yang enam); tantra (kriya, yoga, carya, anuttara), yang kriya seperti sadhana kemudian pelafalan; enam paramita yang mendatangkan rupakaya Buddha pada ujungnya, juga pada awalnya bisa membawa seseorang bisa memiliki kemuliaan, keagungan dan kekayaan seperti Raja Niryaphala; semua itu hampir tidak dapat dipraktikkan dan tidak dapat diraih realisasinya bila kemalasan sangat kuat dalam diri seseorang.

Walaupun seseorang telah bertemu dengan guru yang luar biasa, seorang mahasiddha telah mengabishekanya ke jalan tantra, memberinya commentary praktik, memberinya mantra, memberinya instruksi, tetapi bila seseorang malas menjalankannya, para

(9)

Buddha-Bodhisattva pun tidak akan dapat menolongnya. Jadi kemalasan merupakan musuh yang sangat besar setelah keragu-raguan yang menyebabkan selalu berpindah-pindah dari anggapan yang satu ke dalam anggapan yang lain dari praktik spiritual.

Lalu baris yang kedua, “Secara serius rajinlah berusaha untuk mencapai siddhi”, ini nasihat tantra. Jadi siddhi tidak bisa dicapai secara sambilan; sambilan kalau senggang saya akan duduk melafal, bermeditasi, tetapi kalau tidak senggang saya tidak akan bermeditasi, tidak akan melafalkan mantra, tidak akan bersadhana; cara itu tidak akan dapat mendatangkan siddhi. Begitupun dengan abhijnana yang berasal dari meditasi, begitupun juga dengan Danaparamita, Silaparamita, Ksantiparamita, Viryaparamita; semuanya hanya bisa diraih melalui usaha yang sungguh-sungguh, yang berkelanjutan, yang dari hari ke hari mengalami perkembangan dan peningkatan.

Guru Atisha menasihati Raja Niryaphala “Secara serius rajinlah berusaha untuk mencapai siddhi”. Seorang raja yang memiliki tanggung jawab terhadap masyarakat yang besar di mana semua orang di wilayah kekuasaannya berfokus pada dirinya, bergantung pada pemikiran dan kepandaiannya dalam mengelola kesejahteraan dan keamanan rakyatnya, kebesaran negaranya dan sebagainya, sebetulnya sangat banyak tanggung jawab sebagai seorang raja yang harus dipikulnya.

Namun demikian, seberapa besar pun kesibukan dan tanggung jawab yang dipikul oleh seseorang, itu adalah aspek eksternal atau kesibukan itu bersifat fisik. Sedangkan mental seseorang tetap berada dalam situasi yang kosong, libur, senggang, lengang. Itulah seseorang yang secara fisik sangat sibuk, apakah bekerja di mekanik, bekerja dengan kegiatan tangan atau kaki, masih bisa sambil menyanyi, melamun, mengkhayal dan sebagainya. Bila itu kenyataannya, maka sesungguhnya semua orang, terlepas dari situasi lahiriahnya, dapat mencapai realisasi.

Ini banyak contohnya, contoh yang sangat terkenal adalah beberapa mahasiddha. Yang pertama adalah Mahasissdha Darikapa, beliau mendapat instruksi dari gurunya untuk bekerja pada seorang

(10)

dakini yang pada waktu itu menjelma di dunia sebagai seorang pelacur. Jadi ada seorang dakini penjelamaan dari Vajrayogini yang menyamar di antara masyarakat India pada zaman itu sebagai seorang pelacur, memiliki rumah bordil.

Lalu mahasiddha yang terkenal sebagai Mahasiddha Pemakan Ikan, yang sebelumnya juga seorang raja, melihat bahwa bila muridnya bekerja atau berbakti kepada Vajrayogini ini yang secara lahiriah tampak sebagai seorang pengelola rumah bordil, maka muridnya tersebut akan mencapai siddhi dalam hidupnya saat itu. Maka ia diberi tugas oleh Gurunya (pada zaman itu apa pun yang dikatakan oleh Guru maka murid akan menjalankan dengan bersemangat) walaupun ia dianjurkan untuk menjadi pembantu di rumah bordil.

Mahasiddha Darikapa oleh gurunya dijual kepada pemilik rumah bordil, dengan perjanjian bila nanti sudah punya uang lagi dia akan dibeli kembali, tidak boleh dimiliki oleh pengelola rumah bordil itu untuk seterusnya. Lalu di situ ia bekerja menurut situasinya yaitu mencuci, menyediakan air, melakukan pekerjaan-pekerjaan dapur dan sebagainya. Hampir 24 jam setiap sehari tidak ada masa jeda dari kegiatan fisik, jadi secara fisik ia tidak pernah libur, terus-menerus bekerja, hanya pada malam hari saja kadang-kadang memiliki waktu senggang yang digunakan untuk bermeditasi.

Oleh karena di sini ada kombinasi antara devosi pada Guru,

positive thinking atau pure vision (pandangan murni) bahwa semua

makhluk adalah makhluk suci, kemudian aktivitas batin yang terpisah dari aktivitas lahiriah di mana secara lahiriah ia bekerja yang secara duniawi sebetulnya tergolong sangat rendah yaitu menjadi pembantu seorang pelacur, tetapi secara batinnya ia terus mengkonsentrasikan diri kepada yidamnya, dan akhirnya ia menjadi seorang mahasiddha. Mahasiddha Virupa juga demikian, beliau menjadi buruh di tempat penggilingan wijen yang digunakan untuk membuat minyak. Setiap hari ia mendapat tugas dari majikannya untuk menggiling wijen dengan fisiknya, tetapi secara mental ia terus berkonsentrasi pada praktiknya.

(11)

Itulah sebabnya para Guru menganjurkan bahwa sebetulnya antara kegiatan fisik dan mental pada level tertentu sangat berbeda. Fisiknya bisa melakukan pekerjaan apa saja, membajak, menjadi pembantu, menjadi pelayan, tetapi secara mental seseorang tidak dapat dijauhkan dari yidamnya.

Masih banyak contoh-contoh lain bagaimana konsistensi, terus-menerus berkonsentrasi pada praktiknya, secara mental mengabaikan pekerjaan lahiriah juga bisa membawa seseorang mencapai siddhi. Jadi tidak harus meninggalkan kerajaan, mengenakan jubah pertapa dan hidup berkelana sebagai seorang pertapa. Raja Niryaphala diberikan insipirasi oleh Guru Atisha, bahwa bila rajin berusaha, maka akan dapat mencapai siddhi.

“Hindari tidur, kemalasan dan keengganan”. Ini selalu disebut di banyak sastra yang ditulis oleh Guru Atisha, hindari tidur minimal pada dua waktu yaitu pada awal malam dan pada akhir malam, sebagai seorang praktisi adalah tidur yang harus dihindari. Awal malam artinya sore antara jam 6 – 9 malam; lalu akhir malam yaitu antara jam 3 atau jam 4 sampai matahari terbit; karena pada waktu tersebut dikatakan sebagai waktu yang sangat baik untuk mempraktikkan semua bentuk meditasi maupun pelafalan.

Kemalasan, tadi sudah disebutkan. Keengganan mirip dengan kemalasan tetapi diwarnai oleh klesha yang lebih berat yaitu anggapan tubuh yang berat, kepala yang berat, kaki yang berat, tangan yang berat, sehingga untuk beranjak saja tidak mampu, tidak mampu mengangkat tubuhnya sendiri, tidak mampu membangunkan dirinya sendiri, tidak mampu membuka matanya sendiri, dan sebagainya.

“Bersemangat serta waspadalah”. Bersemangat artinya jangan ada henti-hentinya. Kalau hari ini demikian yang dikerjakan maka besok juga sama, lusa juga sama, bulan depan juga sama, tahun depan juga sama, itu artinya bersemangat.

Waspada di sini artinya memahami apabila ada hal yang keliru pada dirinya, misalnya ia menyadari bahwa dirinya diliputi oleh kemalasan, diliputi tidur yang salah yaitu tidur pada awal dan akhir malam, tidur oleh keengganan dan sebagainya. Situasi mental yang

(12)

melihat kelemahan sendiri disebut sebagai kewaspadaan. Sebaliknya bila orang tidak sadar bahwa dirinya malas, bahwa dirinya enggan, bahwa dirinya tidak bersemangat, berarti dia berada dalam situasi yang tidak waspada.

Slokha yang kelima:

Jagalah selalu setiap pintu indriawi dengan mengingat

Pengetahuan (ajaran) secara terus-menerus serta penuh perhatian. Perhatikanlah berulang kali

Keadaan pikiran di siang dan di malam hari. (5)

Yang dinasihati oleh Guru Atisha ini adalah seorang raja. Tadi sudah saya sebutkan bahwa raja berada dalam situasi lahiriah yang sangat sibuk, karena semua kepentingan kerajaan biasanya berpusat pada raja. Namun demikian, oleh karena Raja Niryaphala ingin memaknai keberuntungannya hidup di dunia yang memiliki keagungan, kemuliaan dan kekayaan yang berasal dari perjuangan besar dasa punya, ksanti dan virya, maka ia berkomitmen untuk berusaha mencapai realisasi Dharma seperti siddhi, kesempurnaan dan sebagainya.

Menjaga pintu indriawi sangat sulit untuk dilakukan, karena kita sendiri identik dengan indriawi itu. Jadi menjaga pintu indriawi adalah sangat sulit dilakukan karena makhluk samsara secara umum sebelum Dharma menguat dalam dirinya, dia adalah aku, dia adalah diri, dia adalah suatu pribadi, dan semua indriawi adalah atribut dari pribadi itu.

Ini adalah persepsi duniawi di mana sebagian besar orang belum berhasil untuk meluruskannya. Jadi yang menghinggapi semua orang di dunia ini adalah anggapan bahwa dirinya adalah suatu pribadi, dirinya adalah suatu keberadaan, dan indriawinya adalah atribut dari pribadi itu; yang menganggap apa yang didengar adalah kenikmatan dirinya, apa yang dilihat adalah kesenangan dirinya, apa yang dirasakan adalah kesenangan dirinya; selama situasi itu masih berlangsung maka menjaga indirawi menjadi tidak mungkin atau

(13)

sangat sulit karena antara indriawi dan diri belum diketahui perbedaannya, belum diketahui bagaimana yang sesungguhnya.

Dan ini juga termasuk di lingkungan orang Buddhis; kita sebagai Buddhis, masih jauh dari kemampuan untuk mencapai realisasi itu, yaitu mengawasi dan menjaga pintu indriawi. Hampir semua orang, walupun dia Buddhis yang sudah senior, sudah lama, atau mungkin sudah mengambil tanggung jawab besar sebagai seorang bhiksu atau sebagai seorang praktisi, tetapi menjaga indriawi merupakan pekerjaan yang lebih sulit daripada pekerjaan duniawi mana pun juga. Ini terkait dengan sesuatu yang sangat akut yaitu anggapan keberadaan diri.

Pada zamannya, tentu saja Raja Niryaphala memiliki kualifikasi spiritual, ia diasuh oleh para Guru, ia memiliki kehendak yang kuat untuk mencapai kemajuan, dan ia menjunjung tinggi ajaran-ajaran para Guru, sehingga semua filosofi dan semua ungkapan Dharma berusaha untuk direalisasikan, termasuk di antaranya memandang eksistensinya sebagai nama dan rupa. Bila seseorang sampai pada kesimpulan dia dapat melihat dirinya sebagai nama dan rupa, yaitu fisik dan mental, semata proses yang sedang berjalan, maka itu memudahkannya untuk bisa mengawasi pintu indriawinya.

Baris kedua, “Mengingat pengetahuan (ajaran) secara terus-menerus serta penuh perhatian”. Ini juga luar biasa sulitnya, setiap kali kita merasakan pengalaman batin tertentu, misalnya kita jealous, kesal, kecewa dengan suatu hal, yang muncul adalah pendekatan yang tadi saya sebutkan, yaitu bahwa kita adalah pribadi, kita adalah seseorang, kita adalah orang dengan atribut dan kepentingan tertentu, dan sebagainya.

Oleh karena itu yang muncul, maka sulit sekali ajaran ditumbuhkan dalam pikiran kita. Tetapi manakala kita sudah berpegang pada bahwa diri kita adalah nama dan rupa, diri kita adalah skandha, maka Dharma menjadi mudah untuk diadaptasikan.

Kita akan dengan gampang sekali mengusir rasa jealous, membuat diri kita rendah hati, membuat diri kita tidak terlalu peduli dengan hal-hal seperti predikat, status, dan sebagainya, karena kita berangkat dari pijakan yang benar yaitu anggapan tiadanya diri.

(14)

Tetapi selama anggapan adanya diri masih kuat dalam diri kita, maka menjadi sangat sulit untuk mengingat ajaran Dharma; ketika kita emosi, ketika kita melihat sesuatu yang menyenangkan, ketika kita memiliki harapan atau dambaan tertentu, maka sudah pasti semua akan didukung oleh pandangan salah yaitu keberadaan diri, kebalikan dari nama dan rupa atau skandha.

“Perhatikanlah berulang kali keadaan pikiran di siang dan di malam hari”. Ini juga menjadi sangat sulit bila kita tidak berpijak pada apa yang tadi saya sebutkan.

Slokha yang keenam:

Jadilah sebagaimana (orang dengan) mata hanya mengamati kesalahan sendiri,

Tetapi seakan buta melihat kesalahan orang lain. Hindari kesombongan dan mementingkan diri sendiri Bermeditasilah selalu pada sunyata. (6)

Ini juga subjek yang sangat berat, tidak mudah, tetapi nasihat yang bagus bagi para praktisi Dharma. Guru Atisha menganjurkan agar hanya melihat kesalahan sendiri, hampir tidak usah menghiraukan kesalahan orang lain. Ini artinya kita tidak menilai seseorang sudah melafal berapa banyak, sudah bernamaskara atau beribadah apa saja, menjalankan Dharma apa saja; tidak perlu kita melihat orang lain tetapi sebaliknya kita melihat hal-hal buruk yang ada pada diri kita dengan maksud untuk dapat senantiasa memperbaruinya.

Memperbarui kesalahan atau kekurangan atau keterbatasan diri, menurut Sang Buddha adalah sesuatu yang mungkin. Orang yang sebelumnya memiliki karakteristik akibat proyeksi karma yang negatif: bengis, culas, kejam, jahat, pikiran negatif, kehendak jahat dan sebagainya; bilamana ia berhasil meresapkan Dharma dalam dirinya, maka ia akan berubah; seperti Raja Asoka, dari raja yang sangat kejam menjadi raja yang penuh maitri karuna. Angulimala juga demikian, banyak lagi figur-figur yang lain juga demikian; itu semuanya berkat melihat kesalahan sendiri dan berusaha untuk memperbaikinya.

(15)

Pikiran kita tidak seperti batu atau besi, kalau batu atau besi tidak bisa dirubah-rubah atau membutuhkan usaha yang keras untuk merubahnya, tetapi pikiran kita sangat elastis. Orang yang sangat egois, bila diberikan penyuluhan Dharma dan bisa mengadaptasikannya, dia akan menjadi pelayan bagi semua makhluk.

Orang yang sangat mementingkan diri sendiri, orang yang senantiasa melihat dirinya superior dari yang lain, bilamana dia berhasil meresapkan Dharma dia juga dapat berubah menjadi baik.

Itu artinya, mental seseorang, kesimpulan pemikiran seseorang sebetulnya bersifat temporary, bisa dirubah; bahkan dalam pelajaran Tantra kita bisa merubah diri kita, kita bisa membuat diri kita dari orang yang kita persepsikan seperti kita menjadi istadevata atau yidam kita.

Bila kita melihat diri kita orang yang pemalu, orang yang berkelemahan, orang yang tidak bisa, maka persepsi kita itulah yang akan membentuk diri kita. Tetapi kalau kita melihat diri kita sebagai seorang yidam: Saya adalah seorang Tara, yang selalu melihat makhluk lain dengan belas kasih, saya selalu mengirimkan duplikat saya, menyentuh mereka semuanya, membuat mereka bebas dari duka derita; itu akan membangun suatu perasaan pada diri kita, walaupun pada awalnya adalah dikreasikan atau ditimbulkan atau dibuat-buat, tetapi pada akhirnya akan menjadi suatu realitas.

Jadi ini sekali lagi sebagai bukti bahwa melihat kesalahan sendiri merupakan nasihat para Guru, dan kita tidak perlu melihat kesalahan orang lain. Dalam etika pergaulan sehari-hari kita juga berkepentingan menasihati orang lain, tetapi menasihati orang lain tidak identik dengan melihat kesalahan orang lain.

Melihat kesalahan orang lain, bila disertai dengan klesha kebencian, klesha lebih unggul dari orang lain akan menimbulkan karma tidak baik; tetapi bila melihat kesalahan orang lain dengan motivasi untuk menolongnya melepaskan diri dari kesalahan itu, maka itu bukan yang dimaksudkan sebagai hal yang harus dihindari.

Lalu baris yang ketiga “Hindari kesombongan dan mementingkan diri sendiri”. Kesombongan adalah suatu perasaan

(16)

bahwa kita lebih superior daripada orang lain: saya bernamaskara lebih benar dari orang lain, saya melafal lebih baik daripada orang lain, saya memberi offering lebih besar daripada orang lain, saya lebih mulia daripada orang lain, saya lebih mengerti daripada orang lain.

Semua perasaan-perasaan yang menganggap diri lebih unggul dari orang lain, disebut sebagai kesombongan; menganggap orang lain lebih unggul adalah kesombongan. Ini kebalikan dari sifat rendah hati yang bila dipuji akan selalu berpikir: “Kalaupun saya terpelajar, kalaupun saya banyak mengerti, itu karena akibat saya telah meresapkan berbagai pengetahuan kebijaksanaan dalam pikiran saya, tetapi itu sifatnya hanya temporary.

“Dan mementingkan diri sendiri”. Mementingkan diri sendiri adalah kelanjutan dari menganggap orang lain inferior, yang lain tidak penting, yang lain tidak perlu tahu, yang lain tidak usah pintar, yang lain tidak usah menjadi banyak kebajikan; ini semua adalah subjek-subjek lojong.

Mementingkan diri sendiri adalah racun yang sangat mematikan, semua Guru Mahayana memusuhinya, mencela sikap mementingkan diri sendiri. Guru Shantideva mengatakan bahwa semua kesengsaraan di dalam samsara ini disebabkan karena mementingkan diri sendiri.

Orang menjadi gelandangan, menjadi penderita cacat fisik, cacat mental, apa sebabnya? Karena sikap mementingkan diri sendiri. Orang menjadi miskin sekali karena dalam hidupnya yang lalu dia sangat ketakutan untuk mendanakan hartanya, dia berpikir bahwa uang susah dicari, uang dan harta benda sulit dikumpulkan, maka saya nikmati sendiri; kalau orang atau makhluk lain membutuhkan hal itu, biarlah dia mencari sendiri.

Pikiran seperti ini disebut mementingkan diri sendiri; dia mementingkan kenyamanannya sendiri, mementingkan keamanannya sendiri tanpa memedulikan yang lain; akibatnya ia tidak memiliki karma baik apa pun, karma kesejahteraan apa pun, karma kesehatan apa pun, dan dia kemudian terlahir sebagai makhluk yang menderita. Jadi Guru Shantideva mengatakan, segala duka derita di dalam samsara disebabkan karena mementingkan diri sendiri; sementara

(17)

segala kebahagiaan, segala kemuliaan dan keagungan di dalam samsara ini berasal dari mementingkan atau mendahulukan makhluk lain.

“Bermeditasilah selalu pada sunyata”. Ini anjuran dari Guru Atisha; orang yang melihat sunyata secara imajinatif, secara mental, kebijaksanaan dari mendengar atau membaca, akan berada dalam situasi batin yang tenang, dia akan memiliki mental yang tenang. Kenapa? Karena dia akan selalu berpikir bahwa segala sesuatu sebetulnya hanya proyeksi karma saja, sedangkan eksistensinya sendiri tidak ada. Untuk apa saya dipermainkan oleh eksistensi? Tetapi ini adalah latihan yang sangat lanjut, yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang telah kuat berpijak pada subjek-subjek terdahulu.

Slokha yang ketujuh:

Akui kesalahan sendiri;

Jangan mencari kesalahan orang lain. Pujilah kebajikan orang lain;

Sembunyikan kebajikan sendiri. (7)

Ini juga sangat sulit sekali. Kita sering menyebut kesalahan orang lain dan menyebut kebajikan diri sendiri, menyembunyikan kesalahan sendiri dan menyembunyikan kebaikan orang lain. Moralitas Mahayana ini sangat baik bagi masyarakat luas, ini akan melahirkan suatu kebiasaan untuk bersikap positive thinking dan bersikap ramah kepada siapa pun.

Senang memuji kebajikan orang lain adalah karma baik karena itu adalah apresiasi kita kebaikan orang lain, dan ada sutra yang mengatakan bahwa bila kita merasa bergembira atas kebajikan makhluk lain, maka kebajikan makhluk lain akan menjadi bagian dari kebajikan kita juga.

“Menyembunyikan kebajikan sendiri”, ini adalah fenomena lain atau ciri lain dari orang yang telah mencapai egolessness atau tiadanya ego yaitu di mana seseorang melihat tidak penting lagi menyebut apa dan bagaimana dirinya. Sebelum mencapai tingkatan pemikiran itu,

(18)

kita akan selalu mengumumkan kebaikan kita; walaupun sebetulnya pada level tertentu para Bodhisattva, para mahasiddha juga menyebut kebajikan sendiri tetapi bukan didorong oleh ego, dorongannya adalah memberi inspirasi pada orang lain.

Kalau kita sudah menjadi seorang dewa, katakanlah Dewa Brahma seperti dalam cerita Jataka, kemudian kita muncul dan berkata kepada orang yang kita temui: “Kamu memahami atau tidak bahwa sesungguhnya saya menjadi Dewa Brahma karena saya melakukan hal-hal tertentu, karena saya telah beribadah sekian banyak, saya memberi offering sekian banyak, saya berpradaksina sekian banyak”, dan sebagainya.

Ini mirip dengan membuka kebaikan diri sendiri, tetapi bila itu tidak diucapkan maka orang lain tidak akan menangkap apa manfaatnya. Jadi tergantung motivasinya, bila motivasinya adalah untuk memamerkan kebajikan sendiri, itu adalah kesalahan; tetapi bila motivasinya adalah untuk memotivasi orang lain agar ikut serta melakukannya, itu menjadi kebajikan.

Slokha yang kedelapan:

Jangan menerima pujian dan pemberian.

Hindari selalu mencari keuntungan dan ketenaran. Bermeditasilah pada maitri dan karuna.

Kokohkan bodhicitta. (8)

Ini agak sulit. “Jangan menerima pujian dan pemberian”, misalnya begini: “Kamu muridnya Dagpo Rinpoche ya? Silahkan duduk di atas.” “Kamu belum tahu saya ini murid Rinpoche, harusnya saya di depan. Ayo, yang di depan minggir, saya ini murid Rinpoche.” Ini kaitannya dengan slokha yang kedelapan. Itu sebetulnya pujian kepada diri kita.

Menerima pujian saja merupakan bentuk penghormatan pada diri sendiri, balik lagi pada yang di awal tadi, anggapan adanya eksistensi. Kemudian menerima pemberian yang disebabkan dari penghormatan, itu juga terkait dengan keberadaan diri. Namun

(19)

demikian, berdasarkan kelas sosial masyarakat, bahwa orang mulia harus duduk di atas, orang terhormat harus duduk di depan, pemberian sebagai bentuk interaksi sosial, ini juga perlu dipikirkan, khususnya di Indonesia.

Pada zaman Guru Atisha, apalagi muridnya ini adalah seorang raja, tidak perlu lagi menerima penghormatan karena memang sudah terhormat; dan tidak perlu lagi menerima pemberian karena sudah memiliki segala sesuatu. Tetapi dalam kasus yang sama, Guru Atisha memaksudkan, mungkin, agar Raja Niryaphala jangan mau misalnya bila pergi ke vihara dan para bhiksu menghormatinya secara berlebihan dan sebagainya.

“Hindari selalu mencari keuntungan dan ketenaran”. Ini bukan

untuk pedagang tetapi untuk para praktisi. Bila orang sudah berfokus pada praktik Dharma tetapi masih berpikir tentang keuntungan, misalnya: Saya akan offering 10 gelas lilin, saya akan mencari pendukung 5 orang, dan dikalkulasi bagaimana caranya supaya offeringnya mendatangkan keuntungan yang instant dan sebagainya. Ketenaran yaitu dengan sengaja menginspirasikan atau mengusahakan agar dirinya terkenal: terkenal sebagai seorang praktisi, terkenal sebagai orang yang memiliki kelebihan, memiliki kepandaian, memiliki atribut yang mungkin juga tidak dimilikinya; itu adalah suatu kesalahan.

“Bermeditasilah pada maitri dan karuna”, ini kebalikan dari yang sebelumnya, kita harus berusaha untuk memantapkan bodhicitta.

Slokha yang kesembilan:

Dasa akusala karma harus dihindari. Puja harus selalu dilakukan.

Ingatlah selalu untuk mengekang keinginan, Berpuas diri dan bertindak dalam kebajikan. (9)

“Puja harus selalu dilakukan” untuk mendapatkan blessing dari para istadevata. “Ingatlah selalu untuk mengekang keinginan”: belajar untuk tidak setiap perasaan atau pikiran yang muncul di benak kita

(20)

harus diikuti dengan mewujudkannya. Misalnya, lagi duduk-duduk “Wah, ini minum sesuatu cocok nih.” Atau misalnya kita lagi tidur malam “Wah makan nasi goreng cocok jam segini,” dan sebagainya.

Boleh saja kalau memang memerlukan, tetapi mengekang keinginan adalah bagian dari mendisiplinkan mental kita. Orang yang tidak pernah mengenal pengekangan keinginan, mungkin dia akan kesulitan dalam mempraktikkan berbagai Dharma, terutama mengawasi indriawi, skhanda, bodhicitta dan sebagainya; itu akan sangat sulit karena terkait dengan bagaimana orang mengelola keinginan hatinya. Pada saat orang melihat sesuatu yang bagus, yang secara alamiah membuatnya tertarik dan ingin memilikinya, kemudian direview lagi dengan tema-tema Dharma dan sebagainya.

“Berpuas diri dan bertindak dalam kebajikan”. Berpuas diri itu bisa membatasi diri, ini sangat sulit; dan bertindak dalam kebajikan adalah berperilaku penuh kebaikan, ramah, mendahulukan orang lain, bersedia membantu orang, ringan tangan, dan sebagainya; itu adalah ciri-ciri kebaikan.

Slokha yang kesepuluh:

Tinggalkan kemarahan dan mementingkan diri. Bersikaplah rendah hati.

Jauhi kehidupan yang salah Dan hiduplah sesuai Dharma. (10)

“Tinggalkan kemarahan dan mementingkan diri”, artinya mentalitas pikiran yang marah oleh karena kebodohan orang lain, oleh karena keinginan tidak terpenuhi, itu harus bisa diatasi dengan kebijaksanaan. Mengapa kita harus marah? Karena orang lain telah berlaku bodoh kepada kita. Mengapa orang lain berlaku bodoh kepada kita? Karena dia memang karmanya bodoh. Kalau begitu mengapa kita marah?

Mengapa orang lain menyerang kita? Dengan kata-kata, dengan fitnah, dengan fisik? Mungkin orang lain itu jahat. Mengapa orang lain jahat pada kita? Mungkin orang itu memang jahat, karena

(21)

karmanya jahat; atau kita memiliki karma untuk menerima perbuatan itu; sehingga kita tidak marah. Di mana letaknya rasa kecewa? Di mana letak kekecewaan? Di mana dan apa sebabnya muncul rasa kecewa, resah dan marah?

Menurut Dharma, itu tidak ada, karena segala sesuatu sunyata. Pikiran sunyata, perasaan sunyata, rupa sunyata. Kalau semua sunyata maka kita tidak perlu lagi memikirkan kemarahan, kita harus mendiamkan pikiran kita dan melihatnya sebagai suatu fenomena yang sedang berlangsung dan berlalu.

“Mementingkan diri”, Guru Atisha berkali-kali menyebut mementingkan diri sendiri, karena ini yang merusak pergaulan sosial juga merusak diri sendiri. Mementingkan diri sendiri artinya menganggap dirinya superior dan orang lain inferior, dirinya yang paling pintar orang lain tidak pintar, dirinya paling suci orang lain tidak suci, dirinya yang layak untuk dipuji orang lain tidak layak dipuji dan sebagainya; itu adalah mementingkan diri sendiri.

“Bersikaplah rendah hati”, memiliki sikap rendah hati adalah tidak mudah. Dalam beberapa sastra dikatakan, rendah hati adalah suatu sikap yang seperti seorang pelayan.

Pelayan bila digedor pintunya jam 12 malam dia akan bangun dan melakukan tugas yang diberikan majikannya; di pagi buta dia akan bangun dan melakukan pekerjaannya; siang hari dia akan bangun dan melakukan pekerjaannya; hujan dia akan menjalankannya, panas dia akan menjalankannya; tanpa mengeluh atau menggerutu sedikit pun. Orang yang memiliki kemuliaan, keagungan dan kekayaan; lalu dia memiliki sikap tidak menggerutu; tidak melihat situasi panas, hujan, siang, malam; ramah kepada siapa pun, mendengar keluh kesah siapa pun, menganggap orang lain mulia, menganggap orang lain lebih pandai dari dirinya, lebih baik dari dirinya; maka ia disebut sebagai rendah hati.

“Jauhi kehidupan yang salah”, yaitu kehidupan yang berlawanan dengan ajaran Dharma; “Dan hiduplah sesuai Dharma”, yaitu kehidupan yang diwarnai oleh kebajikan dan menjauhi ketidakbajikan.

(22)

Slokha yang kesebelas:

Tinggalkan segala keduniawian Dapatkan kekayaan Aryadana. Selalu hindari tempat yang ramai, Dan hiduplah di tempat yang sunyi. (11)

“Tinggalkan segala keduniawian”, ini sangat sulit, ini sudah sangat lanjut, tetapi kalau diluruskan: keduniawian yang bagaimana? Yaitu keduniawian di mana kita menjalani kehidupan sehari-hari menurut sudut pandang orang duniawi, kalau itu artinya mudah. Meninggalkan keduniawian dalam hal ini dimaknai bahwa kita tidak menggunakan cara pandang atau filosofi hidup orang duniawi.

Bagi orang duniawi, semakin banyak kita menyimpan uang, semakin banyak kita memiliki harta benda, itu semakin baik; semakin banyak kita makan enak, berplesir, pergi ke lebih banyak negara, mengoleksi souvenir dari setiap negara, di rumah kita mendisplay berbagai souvenir, itu semakin baik; itu pandangan duniawi. Tetapi pandangan Dharma, sebaliknya; semakin banyak kita beramal, itu lebih baik, daripada kita menikmatinya sendiri; semakin banyak kita memiliki rasa puas diri, semakin baik, misalnya: “Kamu sudah pernah mencoba makanan ini belum?” “Tidak, saya tidak ingin mencobanya, toh rasanya sama saja.” Itu adalah salah satu yang mungkin terjadi setelah seseorang memiliki kepuasan diri; kalau tidak: “Wah saya pingin makan itu, saya menabung setiap bulan supaya bisa makan di situ karena mahal sekali,” dan sebagainya. Ini adalah cerminan dari pola pikir duniawi.

Jadi tinggalkan segala keduniawian, kita balik lagi ke depan: murid Guru Atisha adalah raja yang dilengkapi dengan segala kemegahan duniawi, ia dikelilingi oleh para pelayan, ia dikelilingi oleh makanan-makanan terbaik, hiburan-hiburan terbaik; tetapi Guru Atisha mengatakan: “Tinggalkan segala keduniawian.” Bukan berarti Guru Atisha menyuruh Raja Niryaphala turun takhta kemudian mencukur rambut dan mengenakan jubah bhiksu, tetapi “Ubahlah pikiranmu, jangan seperti orang duniawi.”

(23)

Orang duniawi pada saat matahari tenggelam sudah mendengkur, sebelum matahari terbit tidak akan pergi dari tempat tidur; karena Anda meninggalkan keduniawiaan, ubahlah cara hidup seperti itu. Melihat penderitaan makhluk lain: orang duniawi tidak akan peduli, masing-masing punya keluarganya, ada yang bertanggung jawab.

Tetapi orang spiritual tidak bisa melihat penderitaan makhluk lain, tidak bisa hanya lewat saja bila makhluk lain menderita atau membiarkannya berlangsung begitu saja. Jadi yang dianjurkan Guru Atisha adalah mengenai mental atau pola berpikir kita.

Baris ke dua, “Dapatkan kekayaan Aryadana”. Tujuh harta para Arya, dianjurkan oleh Guru Atisha untuk dimiliki oleh Raja Niryaphala. Tujuh harta para Arya itu sangat penting, karena akan membuat seseorang memiliki kehidupan yang baik dari kehidupan yang satu ke kehidupan yang lain.

Itu juga yang menyebabkan kita di sini memelihara kebiasaan untuk terus-menerus melakukan offering kepada Buddha Jambhala; karena Sang Buddha Jambhala selain memberikan blessing duniawi, juga memberikan blessing Sapta Aryadana (Tujuh Harta Para Arya) yang tidak bisa didapatkan menurut cara lain.

Bila kita terus-menerus memuja Buddha Jambhala, dari dua blessing yang dapat diterima yaitu blessing kemakmuran duniawi dan Sapta Aryadana, sebetulnya kita lebih menginginkan blessing tujuh harta para Arya yang tidak bisa hilang, tidak bisa tertinggal ketika seseorang meninggal, dan tidak bisa rusak, serta tidak dapat dirampas dari diri kita. Memuja Buddha Jambhala, memberikan offering, melafalkan mantranya, mengingat kegiatannya; akan membuat kita menerima blessing Sapta Aryadana yang dianjurkan Guru Atisha tersebut.

“Selalu hindari tempat yang ramai”. Tempat yang ramai artinya tempat yang berisi hiruk pikuk di mana semua orang sangat duniawi; betapapun sangat kokohnya batin seseorang, sangat teguhnya iman atau sraddha seseorang, tetapi kalau dia terus-menerus terhasut oleh apa yang ada di luar dirinya, terus-menerus dihasut oleh orang lain

(24)

untuk melakukan seperti yang mereka lakukan, maka pada akhirnya orang ini juga akan jatuh seperti mereka.

Mengenai hal tersebut ada Dharmanya sendiri, yaitu pergaulan yang benar. Pergaulan yang benar adalah bilamana kita masuk ke dalamnya, kita akan mengalami kebaikan, dari satu level ke level berikutnya, dari satu kemuliaan ke kemuliaan berikutnya. Tetapi pergaulan yang salah adalah pergaulan yang menjerumuskan kita.

Zaman sekarang banyak orang yang terlibat narkoba, terlibat pergaulan bebas, terlibat kehidupan yang tidak menentu, pandangan hidup yang tidak baik dan sebagainya.

Pergaulan seperti itulah yang akan membuat kehidupan kita sebagai manusia, yang dahulu kala sangat sulit untuk dirintis dan didapatkan, di mana kita telah menjalankan dasa kusala (sepuluh kebajikan), kita telah menjadi praktisi Buddhis, kita telah bertemu dengan Guru-guru; semuanya itu hanya akan menjadi sia-sia bila kita salah bergaul dalam kehidupan ramai; karena akhirnya kita akan terlepas dari jalan Dharma, mungkin kita juga tidak akan menjadi manusia lagi, disebabkan karena cara pergaulan kita.

Bila kita bergaul dengan para penjahat, maka pikiran kita akan menjadi penjahat; bila kita bergaul dengan para pemalas maka pikiran kita akan menjadi malas, bila kita bergaul dengan para pedagang maka kita akan terinspirasi untuk menjadi seperti para pedagang, bila kita bergaul dengan ajaran-ajaran spiritual maka pikiran dan kehidupan kita akan terinspirasi oleh ajaran spiritual.

“Dan hiduplah di tempat yang sunyi”, artinya senang untuk memutuskan diri dari interaksi dunia luar, yaitu duduk menyendiri dalam usaha untuk lebih memahami dirinya.

Slokha yang kedua belas:

Jangan banyak bicara;

Buatlah lidah selalu dalam kendali.

Ketika berjumpa dengan Guru atau Acharya, Layani mereka dengan rasa hormat. (12)

(25)

“Jangan banyak bicara”. Guru Atisha menganjurkan kepada Guru Niryapahala agar jangan banyak bicara. Ini sama dengan dasa akusala tentang etika ucapan yaitu berbicara yang tidak berguna yang pada akhirnya hanya akan membuang waktu hidup kita saja. Deskripsi lengkap mengenai banyak berbicara tersebut ada di dalam dasa akusala (sepuluh ketidakbajikan).

Seorang praktisi spritual sebaiknya memang sedikit berbicara, karena sesungguhnya hampir tidak ada gunanya banyak berbicara. Para Bodhisattva dan para Buddha hanya berbicara seperlunya saja, yaitu ketika mereka menasihati orang lain dan menyampaikan pengalaman kepada orang lain.

“Buatlah lidah selalu dalam kendali”. Perselisihan, pertengkaran, percekcokan, bahkan kekerasan, banyak disebakan karena lidah yang tak terkendali; ini juga termasuk para praktisi spiritual.

“Ketika berjumpa dengan Guru atau Acharya, layani mereka dengan rasa hormat”. Ini etika Guru-murid; jadi bila kita bertemu dengan Guru atau dengan Acharya (Acharya adalah para mahaguru) atau para Upajhaya yang menjadi guru di suatu komunitas vihara, maka harus melayani dengan rasa hormat. Ini adalah anjuran Guru Atisha kepada Raja Niryaphala.

Slokha yang ketiga belas:

Siapa pun yang bertindak sesuai Dharma, Ia menjadi orang mulia,

Seorang pemula ataupun hanya orang biasa, Juga harus dihargai seperti kepada Guru. (13)

“Siapa pun yang bertindak sesuai Dharma, ia menjadi orang mulia”. Barang siapa yang hidup sesuai Dharma, walaupun secara lahiriah mengecewakan penampilannya; misalnya karena dia terlalu berfokus pada praktik meditasi, ia tampak kurang menggosok giginya, kurang merawat wajahnya, kurang memandikan tubuhnya sehingga keringatnya bau, mulutnya bau, wajahnya tidak menyenangkan dan sebagainya, tetapi sebetulnya dia orang mulia, karena dia telah

(26)

mengentaskan kesadarannya dari level makhluk biasa menjadi makhluk mulia.

“Seorang pemula ataupun hanya orang biasa, juga harus dihargai seperti kepada Guru”. Bila kita melihat orang biasa, itu juga harus dihormati dan dihargai, “Mari silahkan, apa yang bisa saya bantu?” Ramah, “Ayo silahkan duduk, Anda sudah makan belum? Sudah minum belum?” Itu etika Buddhis dasar.

Jadi bila orang datang ke tempat kita, kita harus bertanya padanya apa yang bisa kita bantu, walaupun jawabannya nanti kita tidak bisa membantu apa-apa, tetapi pertanyaan itu sudah menunjukkan bahwa kita berpegang pada prinsip Buddhis.

Menghormati semua orang seperti Guru, seperti orang yang terhormat, orang yang sangat penting, orang yang sangat berjasa kepada kita, itu etika Buddhis Mahayana yang pada akhirnya akan membawa kita pada kemuliaan.

Apa yang menyebabkan orang memiliki daya tarik luar biasa di dunia ini? Seperti Sang Buddha yang hingga sekarang semua orang takjub kepada beliau. Sutra mengatakan itu adalah praktik Ksantiparamita, kesabaran. Kesabaran di dalamnya juga termasuk kerendahan hati, ketabahan, keuletan dan sebagainya. Jadi bila kita ramah kepada orang lain, selalu menawarkan bantuan kepada orang lain dan sebagainya dengan mengabaikan situasi hidup kita sendiri, itu adalah bentuk aplikasi dari Ksantiparamita. Karmanya sangat besar dan juga membuat orang lain sangat menghargai dan sangat baik kepada kita.

Slokha yang keempat belas:

Ketika melihat makhluk hidup dirundung penderitaan, Bangkitkan bodhicitta dalam hatimu.

Bersikaplah kepada mereka

Sebagaimana sikap orang tua kepada anaknya. (14)

Slokha keempat belas juga tidak mudah, tetapi bila kita bisa membangun kesadaran mental seperti ini, maka akan menyehatkan

(27)

jiwa kita, akan melapangkan aspirasi Mahayana kita. Jadi kalau kita tidak bisa membantu orang lain, katakanlah kita melihat orang sudah sekarat mau mati karena penyakit yang tidak mungkin tersembuhkan, kita dapat membangun bodhicitta yang kuat dalam hati kita: “Seandainya saya memiliki kemampuan, saya akan membantu makhluk hidup bebas dari duka derita seperti itu. Saya sungguh tidak tahan melihat penderitaan makhluk hidup seperti itu,” dan sebagainya. Perasaan-perasaan seperti itu akan berakumulasi, akan membentuk pikiran kita dan melapangkan jalan Kebodhisattvaan kita. Tetapi kalau kita melihat orang menderita, orang sakit parah, orang mati; tanpa perasaan simpati atau empati apa pun, ini adalah kebiasaan yang sangat buruk; ini akan membuat jalan Mahayana kita sangat sulit dikembangkan, karena kita berada pada jarak yang sangat jauh, bahwa apa yang menimpa orang lain sebetulnya tidak ada hubungannya dengan diri kita.

Tetapi setelah kita merenungkan kembali apa yang terjadi pada orang lain, itulah tanggung jawab saya sebagai seorang Mahayana: berduka, bersedih, berempati, bersimpati; itu ciri-ciri seorang Mahayanis. Bodhisattva Avalokiteshvara dikatakan senantiasa mengucurkan air mata manakala memandang alam neraka, alam binatang, alam manusia seperti ini.

Memandang alam neraka: semua orang menjerit ketakutan dan kesakitan di sana, dan tidak ada yang menolong. Memandang alam binatang: binatang yang kecil ketakutan dikejar yang besar, yang besar ketakutan dikejar yang lebih besar darinya; di laut, di darat, di hutan; di komunitas manusia binatang-binatang diangkut untuk dipotong, diternakkan untuk dibunuh, dikonsumsi dan sebagainya.

Kita melihatnya sebagai suatu rutinitas hidup tetapi para Bodhisattva tidak melihatnya sebagai hal yang dapat diterima. Para Bodhisattva mendengar tangisan ayam-ayam, mendengar jeritan sapi-sapi yang dipotong, babi-babi yang menjerit, ikan-ikan yang ketakutan dikejar oleh pemangsanya. Ini adalah kehalusan batin yang diasah melalui usaha selama berkalpa-kalpa.

(28)

Jadi kepekaan mental kita, kepekaan batin belas kasih kita, sebetulnya muncul pada saat momentum kita melihat penderitaan orang lain. Misalnya kita melihat orang dihukum gantung, pada waktu itu kita akan merasakan perasaan kasihan yang sangat kuat.

Kalau kita melihat film India atau Mandarin di mana ada penganiayaan atau ketidakadilan, kita akan merasakan kegetiran hati yang sangat kuat. Ini adalah pikiran murni belas kasih, bukan dipupus dengan berkata “Buat apa bersedih?” Tetapi kemudian diperluas skalanya: bukan hanya sedih melihat derita di film-film yang kita tonton tetapi melihat semua penderitaan; semakin banyak kesedihan kita terbagi pada penderitaan makhluk hidup maka semakin besar kekuatan belas kasih kita terakumulasi.

Bodhisattva Avalokiteshvara adalah “Sang Pendengar Suara Dunia”. Avaloka = Sang Pendengar; Shvara = suara; jadi “Sang Pendengar Suara Dunia”, oleh karena semua jeritan di dunia ini terdengar olehnya. Orang yang susah melahirkan, orang yang sedang mengalami musibah, sapi yang sedang dipotong, binatang yang ketakutan dikejar oleh pemangsanya, orang-orang di neraka yang hiruk pikuk berlari ke sana kemari; semuanya didengar oleh Avalokiteshvara dan menggugah belas kasihnya.

Lalu “Bersikaplah kepada mereka sebagaimana sikap orang tua kepada anaknya”. Kalau orang tua melihat anaknya sakit atau menderita, dia tidak ingat lagi pada dirinya sendiri. Dia lupa makan, lupa tidur; dia akan menjaga anaknya walaupun belum makan, belum tidur, belum istirahat.

Kalau orang tua melihat anaknya dalam mara bahaya, dia lupa keselamatannya sendiri, tidak memedulikan lagi keselamatan dirinya. Misalnya orang tua yang melihat anaknya di dalam kobaran api rumah yang terbakar, maka tidak ada rasa takut atau enggan untuk lari memasuki api itu untuk menyelamatkan anaknya, dia lupa bahwa api itu juga panas bagi dirinya.

Orang tua yang melihat anaknya jatuh ke laut dan timbul-tenggelam dalam air, ia akan langsung meloncat menyelamatkan anak itu walaupun ia sendiri mungkin tidak bisa berenang. Ini adalah

(29)

gambaran Sang Buddha bahwa rasa cinta kasih, kepedulian terhadap penderitaan makhluk lain harus dibangun hingga mencapai level seperti orang tua yang melihat anaknya sendiri.

Slokha yang kelima belas:

Hindari segala pekerjaan duniawi

dan bermeditasilah selalu dalam samadhi. Hindari sahabat yang merusak,

Ikuti kalyanamitra. (15)

“Hindari segala pekerjaan duniawi”, ini pengulangan slokha kesebelas tadi yang bunyinya “Tinggalkan segala keduniawian”. “Dan bermeditasilah selalu dalam samadhi. Hindari sahabat yang merusak. Ikuti kalyanamitra”. Ini mudah dimengerti, sekarang kita ke slokha enam belas.

Slokha yang keenam belas:

Jangan biarkan para bhiksu yang melanggar sila, Mereka yang menginginkan Dharma

Dan mereka yang bermaksud Berbuat dosa. (16)

Guru Atisha menganjurkan, sebagai Raja Dharma, Raja Niryaphala juga harus mengawasi bagaimana para bhiksu menjalankan sila mereka, dalam kedudukannya sebagai raja yang berkuasa; karena kalau para bhiksunya rusak maka Buddhasasana juga akan rusak.

Menghiraukan “Mereka yang menginginkan Dharma”, artinya mereka yang bermaksud mempraktikkan Dharma, membangun vihara, membangun tempat suci, maka raja juga harus menunjangnya. “Dan mereka yang bermaksud berbuat dosa”, artinya melakukan perbuatan-perbuatan yang salah, raja juga harus menegakkan kebenaran dengan cara membuat hukum dan aturan-aturan.

(30)

Slokha yang ketujuh belas dan kedelapan belas:

Jangan tinggal lebih dari tiga hari bersama mereka yang tidak suci atau kawan yang berdosa,

Mereka yang tidak menghargai Acharya serta lainnya, Mereka yang tidak tahu kebajikan, mereka yang hanya memikirkan kehidupan saat ini,

Dan mereka yang menyukai penghormatan. (17/18)

“Jangan tinggal lebih dari tiga hari bersama mereka yang tidak suci atau kawan yang berdosa”, ini anjuran Guru Atisha. Untuk zaman sekarang sebetulnya ini sambungan penjelasan di depan tadi mengenai pergaulan.

“Mereka yang tidak menghargai Acharya serta lainnya”. Guru Atisha menganjurkan Raja Niryaphala agar tidak berdiam bersama mereka yang tidak menghargai para Guru spiritual. Mengapa? Karena nanti akan menularkan pemikirannya, kritikannya, sanggahannya, akan mempengaruhi kita.

“Mereka yang tidak tahu kebajikan”, artinya mereka yang tidak memedulikan baik dan buruk, tidak percaya karma, dan sebagainya. Opini mereka akan meracuni kita, gagasan-gagasan dan penentangan-penentangan mereka akan membuat sraddha kita merosot.

“Dan mereka yang hanya memikirkan kehidupan saat ini, dan mereka yang menyukai penghormatan”.

Slokha 17/18 ini adalah etika pergaulan; kombinasi antara duniawi, Mahayana dan Tantra. Yang duniawi yaitu memikirkan kehidupan saat ini saja; yang Tantra adalah tidak menghormati Guru; yang Mahayana adalah orang yang berdosa dan tidak suci.

Jadi etika duniawi dalam Buddhis disebut Ratna Nidhi (harta duniawi) yaitu bagaimana seseorang bergaul, memilih teman, bagaimana berperilaku di antara masyarakat. Lalu etika Mahayana adalah bersumber dari paramita. Dan etika Tantra bersumber dari sastra-sastra suci Tantra.

Pada dasarnya menurut Ratna Nidhi, semua yang menyebabkan kemerosotan kita saat ini seperti kesehatan, harta benda, nama baik

(31)

dan sebagainya dalam hidup ini, itu harus dijauhi. Biasanya teman yang menyebabkan itu adalah para penjudi, orang-orang yang berkebiasaan buruk dan sebagainya. Itu harus dijauhi karena dia akan membuat hidup kita menjadi miskin, tidak terhormat dan terhina; mereka akan membuat hidup kita menjadi kacau, tidak bahagia dan tidak harmonis.

Lalu etika Mahayana, paramita, semua yang tidak membuat kehidupan menjadi sumber realisasi Mahayana, maitri karuna pupus, motivasi kebajikan mengendur; itu harus dijauhi. Lalu etika Tantra adalah etika yang sangat lanjut, dikatakan bahwa semua yang menentang Guru, merendahkan Guru, kemudian tidak menghargai jalan-jalan Tantra, itu juga merupakan subjek untuk ditinggalkan karena mereka akan membuat kita kehilangan antusiasme kita mempraktikkan Tantra dan membuat kita tidak akan berhasil dalam praktik Tantra.

Slokha yang kesembilan belas:

Hindari tempat yang menimbulkan kemarahan dan tidak menyenangkan.

Pergilah ke tempat di mana di sana terdapat kebahagiaan. Hindari mereka di mana engkau terikat kepadanya, Hiduplah bebas dari keterikatan. (19)

Ini agak sulit karena subjeknya sangat mendalam yaitu tentang kemarahan, tempat-tempat yang menimbulkan kemarahan seperti arena perlombaan, arena olahraga dan sebagainya di mana orang terlibat dalam menjatuhkan salah satu pihak dan sebagainya, sehingga rentan menimbulkan kemarahan.

“Pergilah ke tempat di mana di sana terdapat kebahagiaan”. Kebahagiaan terdapat di tempat-tempat yang tidak menghasut pikiran negatif.

“Hindari mereka di mana engkau terikat kepadanya”. Sesuatu yang menyebabkan keterikatan, menurut tradisi Kadampa harus ditinggalkan. Ini tidak berarti bahwa seseorang harus membuang

(32)

segala sesuatu seperti orang tua, sanak keluarga dan sebagainya; tetapi harus dipahami bahwa interaksi si praktisi dengan mereka adalah interaksi karma dalam samsara. Jadi tidak ada hal yang melebihi hal itu.

“Hiduplah bebas dari keterikatan”. Ini subjek yang sangat rumit dan sangat sulit.

Slokha yang kedua puluh:

Keterikatan tak akan membawa kebajikan. Ia menghancurkan setiap benih moksha. Tinggallah selalu bersama kalyanamitra. (20)

“Keterikatan benar-benar tidak membawa kebajikan”. Contohnya begini, kalau kita menjadi seekor burung, kemudian kita hidup dalam komunitas burung, kita mengembangkan perilaku kehidupan sebagai burung, maka keterikatan terhadap mereka akan menyebabkan kita lahir kembali di antara mereka.

Dalam hal keluarga misalnya, di dunia ini, bila kita memiliki keterikatan membuta kepada anak, istri, suami, orang tua kita; maka keterikatan tersebut hanya akan mengirim kita untuk bertemu dengan orang tua yang baru, dengan sanak keluarga yang baru; akhirnya kita harus berulang kali muncul di dalam kelahiran dan kematian. Itu yang disebut bahwa keterikatan tidak akan membawa kebajikan.

“Ia menghancurkan setiap benih moksha”. Karena kecintaan kepada keluarga maka orang tidak akan mau melepaskan mereka, dalam arti kata tidak akan mengambil jarak, dan tidak akan menggunakan keluarganya sebagai penopang atau penunjang kehidupan spiritual; akhirnya tidak akan ada tercapainya kebebasan. “Tinggallah selalu bersama kalyanamitra”, artinya berinteraksi terus-menerus dengan pembimbing (kalyanamitra adalah terjemahan dari Guru spiritual dalam bahasa Sanskrit) untuk memelihara agar aspirasi spiritual kita tidak pernah padam.

Slokha yang kedua puluh satu:

(33)

Dan lakukan dengan mengikuti (petunjuk) Guru serta pelajarilah sutra,

Serta lainnya,

Padukan keduanya. (21)

Yaitu petunjuk Guru dan ungkapan sutra harus dipadukan. Slokha yang kedua puluh dua:

Sekali lagi bertobatlah atas segala dosa. Lakukan pengumpulan kebajikan.

Meskipun sambil terlibat dalam kehidupan duniawi Jagalah agar pikiran tak terikat. (22)

Jadi terus-menerus membarui kebajikan. Saya sendiri menganjurkan agar setiap malam setiap orang melafalkan mantra Vajrasattva, melafalkan mantra yidamnya, dalam rangka mempurifikasi ketidakbajikan keseharian kita. Kita telah berkata, melihat, berpikir, kadang-kadang mengakumulasi ketidakbajikan, dan itu dipurifikasi pada hari itu juga yaitu pada saat menjelang tidur.

Slokha yang kedua puluh tiga:

Diamkan keakuan, ketika pikiran bengkok. Ingatlah ajaran Guru

Kapan pun pikiran tak terkendali. (23)

Bila dalam pikiran sedang muncul ide yang tidak-tidak, yang bukan-bukan, maka kita harus mendiamkannya, ini anjuran Guru Shantideva. Kalau pikiran kita resah, pikiran kita menginginkan sesuatu yang tidak tepat atau tidak benar, kita harus membiarkannya saja, tidak usah diikuti, tidak usah dituruti.

Kemudian “Ingatlah ajaran Guru kapan pun pikiran tak terkendali”. Jadi kalau pikiran kita sedang kacau, kalut, sedih, terlalu gembira, terlalu sedih, terlalu malas, terlalu berlebih-lebihan; maka kita ingat pada ajaran Guru.

(34)

Slokha yang kedua puluh empat:

Hiburlah pikiran ketika merasa tertekan. Ingatlah pada Prajnaparamita,

Dan lakukan usaha untuk menenangkannya. (24)

Kalau pikiran kita depresi, tertekan, tidak bisa konsentrasi, maka kita kita lepaskan saja, kita hibur dia. Bila melatih diri dengan terus-menerus menyebabkan kejenuhan dan tertekan, maka kita harus mengendurkan syaraf kita, menghentikan apa yang kita lakukan, kemudian melihat sesuatu yang dapat meredakan ketegangan kita.

Slokha yang kedua puluh lima dan kedua puluh enam:

Saksikan objek yang menyenangkan

Atau tolaklah hanya sebagai sebuah maya belaka.

Anggaplah suara yang tak menyenangkan sebagai sebuah gema. (25) Anggaplah penderitaan tubuh sebagai karmaphala hidup masa lalu. (26)

Guru Atisha menawarkan dua solusi: kalau ada tekanan mental, kejenuhan mental, kegelisahan mental, kekesalan mental, kita bisa mencari objek yang menyenangkan untuk dilihat, didengar, dirasakan; tetapi bilamana tidak mau begitu, kita bisa juga menerapkan bahwa segala…….

Slokha yang kedua puluh tujuh:

Setelah menyelesaikan tanggung jawabmu beristirahatlah di pertapaan,

Dan hiduplah di sana laksana bangkai binatang yang tak terjumpai oleh siapa pun.

Engkau sendiri harus menjaga ketersembunyiannya. (27)

Slokha yang kedua puluh delapan:

Selalu berjaga. Hitunglah keburukanmu sendiri

Dan ingatlah tujuan vrata ketika keinginan, kejengkelan, rasa kantuk, keengganan, kemalasan dan kelesuan serta lainnya muncul dalam dirimu.

(35)

Slokha yang kedua puluh sembilan:

Berbicaralah dengan hati-hati di hadapan orang lain. Hindari menakutkan serta mengundang gunjingan orang lain. (29)

Slokha yang ketiga puluh:

Tersenyumlah selalu.

Teruslah memberi pada orang lain, jangan kikir, Hindari selalu iri hati.

Bertindaklah sebagai penjaga pikiran yang lain. (30)

Kelihatannya kita cukupkan sampai slokha ketiga puluh, kita sambung pada waktu yang akan datang.

Referensi

Dokumen terkait

Data yang digunakan untuk menguji homogenitas sampel penelitian ini adalah nilai pre-test mata pelajaran IPA dari kelas eksperimen dan kelas kontrol dengan materi kerangka

Tarif uang pendidikan tahun anggaran 2016 adalah satuan tarif yang ditetapkan dalam rangka pelaksanaan tugas pokok dan fungsi Politeknik Negeri Pontianak kepada

Dalam novel Uncle Tom’s Cabin orang-orang Quaker menjadi tokoh-tokoh yang berperan membantu para budak yang membutuhkan tempat bernaung atau budak yang ingin melarikan diri ke

Sirojudin Pendidikan Agama Islam MTSN LEUWILIANG Kab.. Iskandar Pendidikan Agama Islam SDN

[r]

Program Peningkatan Pemahaman, Penghayatan, Pengamalan, dan Pengembangan Nilai-nilai Keagamaan Kegiatan-kegiatan pokok RKP 2006: Dalam rangka pelaksanaan program ini

Lebih lanjut dia mengatakan “Kita ingin mengetuk semua anak negeri untuk terus menggunakan dan menjaga bahasa Indonesia, juga mengimbau pemerintah-pemerintah

Menurut Nazir (1988, hlm. 66) menyatakan bahwa subjek penelitian dalam studi kasus dapat berupa individu, kelompok, lembaga, maupun masyarakat. 66) menyatakan penelitian