BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian konversi lahan
Utomo ddk (1992) mendefinisikan alih fungsi lahan atau lazimnya di sebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang negatif terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Alih fungsi lahan dalam artian perubahan atau penyesuaian peruntukan penggunaan lain dan disebabkan oleh faktor-faktor yang secara garis besar meliputi keperluan untuk memenuhi kebutuhan pendudukan yang makin bertambah jumlahnya dan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.
Proses alih fungsi lahan pertanian ke penggunaan non pertanian yang terjadi disebabkan oleh beberapa faktor. Ada tiga faktor penting yang menyebabkan terjadinya alih fungsi lahan sawah yaitu:
1. Faktor Eksternal
Merupakan faktor yang disebabkan oleh adanya dinamika pertumbuhan perkotaan, demografi maupun ekonomi.
2. Faktor Internal
Faktor ini lebih melihat sisi yang disebabkan oleh kondisi sosial-ekonomi rumah tangga pertanian pengguna lahan.
3. Faktor Kebijakan
Yaitu aspek regulasi yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat maupun daerah yang berkaitan dengan perubahan fungsi lahan pertanian. Kelemahan pada aspekregulasi atau
peraturan itu sendiri terutama terkait dengan masalah kekuatan hukum, sanksi pelanggaran, dan akurasi objek lahan yang dilarang dikonversi.
Sihaloho (2004) membagi konversi lahan ke dalam tujuh pola atau tipologi, antara lain : 1. Konversi gradulan berpola sporadic, dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu lahan
yang kurang produktif atau tidak produktif dan keterdesakan ekonomi pelaku konversi.
2. Konversi sistematik berpola “enclave”, dikarenakan lahan kurang produktif sehingga konversi dilakukan secara serempak untuk meningkatkan nilai tambah. 3. Konversi lahan sebagai respon atas pertumbuhan penduduk (population growth
driven land conversation), lebih lanjut disebut konversi adaptasi demografi,
dimana dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk, lahan terkonversi untuk pemenuhan tempat tinggal.
4. Konversi yang disebabkan oleh masalah sosial (social problem driven land
conversation) disebabkan oleh dua faktor yaitu keterdesakan ekonomi dan
perubahan kesejahteraan.
5. Konversi tanpa beban, dipengaruhi oleh faktor keinginan untuk mengubah hidup yang lebih baik dari keadaan saat ini dan ingin keluar dari kampong.
6. Konversi adaptasi agraris, disebabkan karna keterdesakan ekonomi dan keinginan untuk berubah dari masyarakat dengan tujuan meningkatkan hasil pertanian.
7. Konversi multi bentuk atau tanpa bentuk, konversi yang dipengaruhi beberapa faktor, khususnya faktor untuk perkantoran, sekolah, koprasi, perdagangan, termasuk system waris yang tidak dijelaskan dalam konversi demografi.
Konversi lahan mempunyai beberapa peraturan yang tercantum di dalam undang-undang dasar Negara Indonesia yaitu sebagai berikut :
1. UU No.24 Th.1992 mengenai penyusunan RT/RW harus mempertimbangkan budidaya pangan/ Sawah Irigasi Teknis (SIT).
2. Kepres No. 52 Th. 1989, mengenai pembangunan kawasan industri ,tidak boleh konversi Sawah Irigasi Teknis / tanah pertanian subur.
3. Kepres No. 33 Th 1990 , mengenai pelarangan pemberian izin perubahan fungsi lahan basar dan pengairan beririgrasi bagi pembangunan kawasan industri.
B. Lahan
Istilah lahan digunakan berkenaan dengan permukaan bumi beserta segenap karakteristik-karakteristik yang ada padanya dan penting bagi perikehidupan manusia (Christian dan Stewart, 1968). Secara lebih rinci, istilah lahan atau land dapat didefinisikan sebagai suatu wilayah di permukaan bumi, mencakup semua komponen biosfer yang dapat dianggap tetap atau bersifat siklis yang berada di atas dan di bawah wilayah tersebut, termasuk atmosfer, tanah, batuan induk, relief, hidrologi, tumbuhan dan hewan, serta segala akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia di masa lalu dan sekarang; yang kesemuanya itu berpengaruh terhadap penggunaan lahan oleh manusia pada saat sekarang dan di masa mendatang (Brinkman dan Smyth, 1973; dan FAO, 1976). Lahan dapat dipandang sebagai suatu sistem yang tersusun atas komponen struktural yang sering disebut karakteristik lahan, dan komponen fungsional yang sering disebut
kualitas lahan. Kualitas lahan ini pada hakekatnya merupakan sekelompok unsur-unsur lahan
(complex attributes) yang menentukan tingkat kemampuan dan kesesuaian lahan (FAO, 1976).
Sys (1985) mengemukakan enam kelompok besar sumberdaya lahan yang paling penting bagi pertanian, yaitu iklim, relief dan formasi geologis, tanah, air, vegetasi, dan anasir artifisial (buatan). Dalam konteks pendekatan sistem untuk memecahkan permasalahan-permasalahan lahan, setiap komponen lahan atau sumberdaya lahan tersebut di atas dapat dipandang sebagai suatu subsistem tersendiri yang merupakan bagian dari sistem lahan. Selanjutnya setiap subsistem ini tersusun atas banyak bagian-bagiannya atau karakteristik- karakteristiknya yang bersifat dinamis (Soemarno, 1990). Dari beberapa pengertian tentang lahan maka dapat disimpulkan bahwa Lahan merupakan lingkungan fisik yang meliputi iklim, relief, tanah, hidrologi, dan vegetasi. Faktor-faktor ini hingga batas tertentu mempengaruhi potensi dan kemampuan lahan untuk mendukung suatu tipe penggunaan tertentu.
C. Produktivitas Usahatani
Sebagaimana telah diketahui pada umunya petani masih mengalami kesulitan dalam usaha meningkatkan taraf hidupnya. Hambatan-hambatan yang dihadapi oleh petani dalam usaha meningkatkan kesejahteraan hidupnya dapat berupa lemahnya modal, rendahnya tingkat pendidikan, dan keterampilan serta lemahnya bergaining position yang dimiliki oleh petani itu sendiri. Fasilitas yang dapat diberikan kepada petani dapat berupa sarana produksi pertanian berupa sarana produksi pertanian seperti bibit tanaman unggul, pupuk, obat-obatan, pembasmi hama dan biaya tenaga kerja yang diperlukan untuk membayar upah buruh yang melakukan pekerjaan yang seharusnya dilakukan oleh petani itu sendiri (Soekartawi, 2003). Produksi diartikan sebagai kegiatan yang dapat menimbulkan tambahan manfaat dan penciptaan faedah
baru. Faedah atau manfaat tersebut dapat terdiri dari beberapa macam. Apabila terdapat suatu kegiatan yang dapat menimbulkan manfaat baru atau mengadakan penambahan dari manfaat yang sudah ada maka kegiatan tersebut disebut sebagai kegiatan produksi (Ahyari, 2004).
Fungsi produksi adalah kaitan antara jumlah output maksimum yang bisa dilakukan masing-masing dan tiap perangkat input (faktor produksi). Fungsi ini tetap untuk tiap tingkatan teknologi yang digunakan. Fungsi produksi ditetapkan oleh teknologi yang tersedia, yaitu hubungan masukan/keluaran untuk setiap sistem produksi adalah fungsi dari karakteristik teknologi pabrik, peralatan, tenaga kerja, bahan dan sebagainya yang dipergunakan perusahaan. Setiap perbaikan teknologi, seperti penambahan satu komputer pengendalian proses yang memungkinkan suatu perusahaan pabrikan untuk menghasilkan sejumlah keluaran tertentu dengan jumlah bahan mentah, energi dan tenaga kerja yang lebih sedikit, atau program pelatihan yang meningkatkan produktivitas tenaga kerja, menghasilkan sebuah fungsi produksi yang baru (Samuelson, 2002). Rumus umum yang biasa untuk menghitung produktivitas adalah sebagai berikut :
Produktivitas =
Adapun input yang di gunakan untuk menghitug produktivitas bisa salah satu sumberdaya saja atau yang disebut single factor productivity dan bisa juga semua sumberdaya, yag biasa disebut multi factor productivity, missal :
Single factor productivity (SFP) =
Multi factor productivity (MFP) =
Menurut Sudarman (2004) pengertian fungsi produksi adalah hubungan antara output yang dihasilkan dan faktor-faktor produksi yang digunakan sering dinyatakan dalam suatu fungsi produksi (production function). Fungsi produksi suatu skedul (atau tabel atau persamaan matematis) yang menggambarkan jumlah output maksimum yang dapat dihasilkan dari satu set faktor produksi tertentu dan pada tingkat produksi tertentu pula, faktor produksi dapat diklasifikasikan menjadi dua macam yakni :
a. Faktor Produksi Tetap (Fixed Input)
Faktor produksi tetap adalah faktor produksi di mana jumlah yang
digunakan dalam proses produksi tidak dapat diubah secara cepat bila keadaan pasar menghendaki perubahan jumlah output. Dalam kenyataannya tidak ada satu faktor produksi pun yang sifatnya tetap secara mutlak. Faktor produksi ini tidak dapat ditambah atau dikurangi jumlahnya dalam waktu yang relatif singkat. Input tetap akan selalu ada walaupun output turun sampai dengan nol. Contoh faktor produksi tetap dalam industri ini adalah alat atau mesin yang digunakan dalam proses produksi
b. Faktor Produksi Variabel (Variable Input)
Faktor produksi variabel adalah faktor produksi di mana jumlah dapat berubah dalam waktu yang relatif singkat sesuai dengan jumlah output yang dihasilkan. Contoh faktor produksi variabel dalam industri adalah bahan baku dan tenaga kerja. Sejalan berkembangnya faktor produksi menjadi faktor produksi yang bersifat tetap dan variabel, para ahli ekonomi sering membagi kurun waktu produksi menjadi dua macam, yaitu jengka pendek (short run) dan jangka panjang (long run). Kurun waktu jangka pendek adalah menunjukkan kurun waktu di mana salah satu faktor produksi atau lebih bersifat tetap. Adapun kurun waktu jangka panjang adalah kurun waktu di mana semua faktor produksi bersifat variabel. Hal ini berarti dalam jangka
panjang, perubahan output dapat dilakukan dengan cara mengubah faktor produksi dalam tingkat kombinasi yang seoptimal mungkin.
D. Usaha tani
Usaha tani adalah ilmu yang mempelajari bagaikan mengalokasikan sumber daya yang dimiliki petani agar berjalan efektif dan efisien dalam memanfaatkan sumber daya tersebut agar memperoleh keuntungan yang setinggi-tingginya (Soekartawi : 2011). Secara singkat pengertian usaha tani adalah bentuk pengorganisasian dan pengolahan asset serta tata cara yang dilakukan dalam bidang pertanian dengan tujuan untuk menambah kesejahteraan dan memperbaiki taraf kehidupan petani. Usahatani tidak hanya memiliki lingkup yang sempit dan berhubungan dengan pemikiran bercocok tanam saja melaikan seluruh aspek yang ada di dalam pertanian itu sendiri juga menjadi bagian dari usahatani, seperti :
1. Peternakan
Peternakan dibagi dalam beberapa skala, yaitu : a. Peternakan sebagai usaha sambilan
Dalam hal ini petani masih melakukan produksi pangan melalui lahan pertanian yang dimilikinya dan pertenakan hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri (pendapatan ternak 30%)
b. Pertenakan menjadi cabang usaha
Petani melakukan usaha pertanian campuran (hasil ternak 30%-70%)
Petani melakukan peternakan sebagai penghasilan utama dan hal pertanian lainnya menjadi penghasilan tambahan (pendapatan ternak sekitar 70%-100%) d. Pertenakan menjadi usaha industry
Petani mengupayakan peternakan sebagai satu-satunya usaha yang dikelola (pendapatan ternak 100%)
2. Pembangunan pertanian berbasis Agribisnis
Dalam system ini petani dikerahkan untuk mendayagunaakan keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif. Tujuan dari pembangunan agribisnis adalah :
a. Meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan para petani. b. Menciptakan sisitem ketahanan pangan
c. Meningkatkan daya saing produk pertanian dalam pasar global d. Membangun aktifitas ekonomi pedesaan
3. Pengembangan usahatani melalui sektor pembudidaya ikan
Dalam usaha ini petani dapat menambah pendapatannya melalui budidaya ikan yang bisa dilakukan dikolam ataupun tambak dan keramba.
E. Penelitian Terdahulu
Banyak penelitian tentang analisis dampak konversi lahan pada perubahan usaha tani padi sawah baik di dalam Indonesia maupun di luar Indonesia. Berikut adalah beberapa hasil penelitian terdahulu mengenai konversi lahan pertanian
: Tabel.1 Penelitian Terdahulu
No. Judul Penelitian Nama Peneliti Tahun
Penelitian Rangkuman Hasil Penelitian
1.
Dampak konversi lahan sawah di Jawa terhadap produktivitas Beras dan kebijakan pengendaliannya
Bambang Irawan dan Supena Friyatno
2002
Berdasarkan hasil penelitiannya adalah pengurangan lahan sawah baik secara nasional maupun provinsi dan kaabupaten mennjukkan angka yang bervariasi. Dari hasil penelitian ini, dengan menggunakan data hasil survey pertanian (SP) diperoleh gambaran dalam kurung waktu 18 tahun (1981-1998) di Jawa telah terjadi pengurangan lahan seluas 1 juta hektar atau sekitar 55ribu hektar per tahun. Namun karena adanya kegiatan pencetakan lahan sawah baru, maka luas lahan sawah yang tersedia di Jawa sebenarnya menyusut sekitar 484 ribu hektar atau sekitar 27 hektar per tahun.
2.
Pengaruh konversi lahan pertanian terhadap produksi padi di Kabupaten Asahan
Fajar Akbar
Additama 2009
Berdasarkan hasil penelitiannya adalah pemanfaatan lahan di Kabupaten Asahan dapat di bagi menjadi 4 jenis yaitu tanah sawah, tanah kering, bangunan /pemukiman, dan lain-lain dimana pemanfaatan lahan yang terbesar jika dilihat dari rata-rata penggunaannya terdapat pada tanah kering sebesar 51.795,96 ha, rataan untuk penggunaan tanah sawah sebesar 45.870,81 ha, dan rataan untuk penggunaan lain-lain sebesar 36.878,16 ha.
3. Dampak alih fungsi lahan sawah terhadap ketahanan pangan beras
I Gusti Ngurah Santosa dan Gede Menaka Adnyana dan I Ketut Kharta Dinatha
2011
Berdasarkan hasil penelitiannya adalah sebagai berikut : a. Alih fungsi lahan sawah sangat sulit dihentikan bahkan
terjadi secara terus-menerus dengan luas yang semakin meningkat.
b. Alih fungsi lahan sangat berpengaruh pada ketahanan pangan beras. Alih fungsi lahan mengakibatkan penurunan produksi dan sekaligus menurunkan ketahanan pangan.
c. Alih fungsi lahan sawah yang terus menerus mendorong impor beras secara terus menerus dengan jumlah yang terus meningkat
4.
Penggunaan lahan transisi: umpan balik Sosial ekologi terhadap perubahan sosial ekonomi
Eric F. Lambin, Patrick Meyfroidt (Departemen Geografi, Universitas Louvain, 3 Place Pasteur, B-1348 Louvain-la-Neuve, Belgia) Diterima 11 Agustus 2008 Diterima dalam bentuk revisi 29 Juli 2009 Diterima 8 September 2009
Beberapa mekanisme kausal didukung dengan baik ada untuk menjelaskan penggunaan lahan transisi. Ini berhubungan baik dengan hipotesis umpan balik sosio-ekologis dan hipotesis perubahan sosial-ekonomi eksogen mempengaruhi
penggunaan lahan. Dalam kasus terbaru dari transisi hutan, sosial-ekologi masukan tampaknya lebih menjelaskan perlambatan bawah dari deforestasi dan stabilisasi tutupan hutan, sedangkan faktor sosial-ekonomi eksogen yang lebih baik account untuk reboisasi. Sementara persepsi kelangkaan sumber daya atau degradasi di jasa ekosistem mempersiapkan agen lokal untuk kebutuhan untuk mengadopsi praktek-praktek penggunaan lahan baru, itu hanya sekali peluang baru muncul dari pasar eksternal, migrasi, atau investasi modal yang mereka benar-benar mengadopsi praktik penghematan lahan,
diversifikasi sumber pendapatan, dan berinvestasi dalam restorasi hutan.