• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEMUAN KONTRAS 1 BENTUK-BENTUK PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN DALAM OPERASI DI POSO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEMUAN KONTRAS 1 BENTUK-BENTUK PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN DALAM OPERASI DI POSO"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

TEMUAN KONTRAS1

BENTUK-BENTUK PELANGGARAN YANG DILAKUKAN OLEH KEPOLISIAN DALAM OPERASI 22.11.22 DI POSO

I. KEKERASAN DI MALAM LEBARAN, 22 Oktober 2006 Tepat pada malam Lebaran, 22 Oktober 2006, terjadi bentrokan di Tanah Runtuh, Gebang Rejo, Poso Kota, antara ratusan warga setempat dengan puluhan aparat kepolisian (Brimob).2 Bentrokan terjadi pukul 21.15 WITA. Saat itu warga sedang mempersiapkan tempat untuk sholat Ied. Satu orang menjadi korban, yaitu Syaifuddin alias Udin.

Selain itu, tiga orang terkena luka tembak, beberapa kendaraan polisi dan kantor Polmas (polisi masyarakat) rusak dibakar massa.3 Keesokan harinya, di hari Lebaran, 23 Oktober 2006, bentrokan terulang kembali antara ratusan pengantar jenazah Udin dengan anggota Brimob di Jalan Pulau Seram.4 Awalnya, massa pengantar jenazah meneriaki dan melempari aparat Brimob dengan batu dan dibalas dengan tembakan yang mencederai tiga penduduk sipil, salah satunya adalah anak berusia 3 tahun yang sedang bermain di depan rumahnya.5

Polisi Menangkap dan Menyiksa Petugas Kesehatan

Insiden 22 Oktober 2006 ditandai buruknya kinerja polisi dalam melakukan penangkapan dan penahanan. Kekerasan oleh aparat       

1

Disalin dari laporan KontraS, HAM dan Kontra Terorisme di Poso, 22.11.22

2

Keamanan Poso; Kekhawatiran Itu Kembali Menjadi Kenyataan, Kompas, 26 Oktober 2006.

3

Polisi dan Warga Bentrok di Poso, 2 Tewas, Suara Pembaruan, 23 Oktober 2006.

4

Warga-Brimob Bentrok di Poso; Empat Warga Tertembak, Republika, 26 Oktober 2006.

5

Hari Lebaran, Poso Rusuh, Koran Tempo, 26 Oktober 2006.

gagal dihindari. Tindakan pelanggaran HAM yang serius tersebut bahkan dilakukan terhadap para pekerja kesehatan. Tiga orang pegawai Rumah Sakit Umum, Ardiyanto Usman (28 tahun), Mardani Z Hakim (32), dan Dany Yusuf (23) menjadi korban. Pada malam terjadinya insiden di Gebang Rejo, Mardani Hakim dan Ardiyanto Usman ditugaskan oleh pihak rumah sakit untuk menjemput petugas radiologi, Dany Yusuf, untuk mengurus korban yang tertembak. Mengingat situasi sedang rawan, mereka menyalakan sirene mobil ambulan bernomor 118.

Pada saat mobil ambulan melewati Mapolres Poso (sekitar pukul 23.00 WITA) mereka dihentikan tiga anggota Brimob.6 Polisi kemudian menanyakan identitas mereka, memeriksa badan, setelah itu memukuli. Polisi juga memeriksa dengan cara menodongkan senjata ke sopir (Mardani Hakim). Mereka menduga, polisi menyerang karena Dany Yusuf berjenggot, sesuatu yang diasosiasikan sebagai ciri anggota teroris oleh polisi di Poso.

II. MAKLUMAT KAPOLDA SULTENG :

Wajah Lain Teror, Intimidasi, dan Kriminalisasi Masyarakat di Wilayah Konflik

Januari 2007, Kapolda Sulteng Brigjen Badrodin Haiti, mengeluarkan Maklumat Kepala Kepolisian Daerah Sulteng No. Pol. : MAK/01/I/2007. Maklumat tersebut secara umum berisi perintah pada seluruh masyarakat di Sulteng untuk menyerahkan senjata api dan bahan peledak yang dimiliki atau dikuasai dengan tanpa hak (tanpa otoritas yang sah).

      

6 Berdasarkan wawancara KontraS dengan Mardani Hakim (26 Februari 2007),

Dany Yusuf (28 Februari 2007), dan Ardiyanto Usman (28 Februari 2007) di Poso. 

(2)

Dilihat dari substansi dan kelaziman kerja kepolisian, maklumat ini dapat menjadi sumber masalah di kalangan masyarakat. Mengingat Poso, Sulteng, pernah dilanda konflik sosial dan konflik itu belum diselesaikan secara memadai oleh negara. Fakta di lapangan pun memperlihatkan teror bom masih terjadi dan tindak kekerasan aparat keamanan, terutama polisi, terhadap warga meningkat. Maklumat tersebut patut dipertanyakan.

Memang, sesuai undang-undang yang berlaku, Kepolisian memiliki kewenangan untuk mengambil tindakan penegakan hukum atas kepemilikan senjata api dan bahan peledak secara tidak sah dengan cara dan teknik operasi yang tidak bertentangan dengan hukum dan HAM. Seharusnya maklumat semacam ini tidak perlu dikeluarkan.

Aparat kepolisian dilatih untuk bekerja secara profesional dan memiliki prosedur kerja dalam criminal justice system (sistem peradilan kejahatan). Sayang, profesionalitas tersebut ditinggalkan dan digantikan dengan ultimatum yang justru menimbulkan keresahan publik.7

Berikut adalah sejumlah catatan KontraS atas Maklumat Kapolda Sulteng No. Pol. : MAK/01/I/2007 tersebut.

II.1. Ketidakjelasan Dasar Hukum

Maklumat tersebut menyebutkan beberapa undang-undang dan sebuah Peraturan Polda Sulteng sebagai dasar dikeluarkannya maklumat tersebut, yaitu UU 2/ 2002 tentang Kepolisian RI, UU       

7

Profesionalitas kerja kepolisian tidak dapat ditunjukkan semata-mata dengan kapasitas mereka menegakkan keamanan, namun juga harus disertai dengan kepastian adanya keadilan dan akuntabilitas dalam kerja-kerja penegakan keamanan tersebut. Oleh karena itu, profesionalitas polisi tidak dapat dipisahkan dari tiga fungsi, yaitu fungsi pencegahan dan pendeteksian kejahatan, fungsi pengaturan ketertiban umum, dan fungsi pelayanan publik. Lihat Anneke Osse, Understanding Policing (The Netherlands: Amnesty International Nederland, 2006), hal. 26.

8/1981 tentang KUHAP, UU 12/Drt/1952 tentang Senjata Api dan Bahan Peledak, UU 15/ 2003 tentang Pemberantasan Terorisme, dan Peraturan Kepolisian Daerah Sulteng No. Pol: Peraturan/01/III/2006 tentang Batas Akhir Penyerahan Senjata Api, Amunisi, dan Bahan Peledak secara sukarela.

Beberapa UU dan Peraturan Polda Sulteng di atas seyogyanya ditempatkan sebagai panduan operasional polisi dalam menjalankan tugas penegakan hukum. Baik dalam melakukan penyelidikan maupun penyidikan atas dugaan pemilikan dan penggunaan senjata api secara tidak sah—bukan sebagai dasar maklumat.

Apalagi sejumlah UU tersebut otomatis menjadi bagian dari instrumen hukum yang integral dalam kerja-kerja penegakan hukum sehingga penempatannya sebagai dasar hukum (maklumat) menjadi tidak penting. Dasar atau payung hukum atas mekanisme maklumat tidak ada.

Apakah maklumat itu dilegalkan? Apakah itu bisa menjadi dokumen hukum yang mengikat atau menjadi prosedur peringatan (warning) dalam keadaan darurat atau dalam keadaan tiadanya payung hukum atas satu tindakan penegakan hukum? Atau hanya sebatas himbauan saja yang bisa tidak diindahkan atau diabaikan? Artinya, yang dibutuhkan untuk menjelaskan maklumat ini

adalah dasar hukum atas kebijakan (pengeluaran maklumat), bukan dasar bertindaknya (melakukan penegakan hukum).

Seandainya penempatan UU tersebut dimaksudkan untuk menjelaskan kepada publik bahwa kebijakan ini terkait dengan adanya pelanggaran terhadap sejumlah UU tersebut—dalam hal kepemilikan senjata api dan bahan peledak secara tidak sah— maka tidak cukup hanya dengan menyebutkan UU tanpa menjelaskan pasal-pasal yang dilanggar.

Oleh karena pencantuman dasar hukum UU sama dengan memberikan kewenangan terlalu luas kepada polisi untuk mengambil tindakan di luar konteks persoalan senjata api dan

(3)

bahan peledak serta rawan misinterpretasi di level pelaksana operasi.

Meski UU 2/2002 menempatkan polisi dalam sistem politik yang ‘lebih demokratis’, tapi UU Darurat tentang Kepemilikan Senjata Api dan Bahan Peledak yang cenderung memberikan kewenangan lebih dan tidak terkontrol kepada aparat masih juga digunakan. Disinilah muncul dualisme wajah polisi yang sebenarnya telah melakukan reformasi kepolisian yang lebih demokratis, yaitu wajah sebagai polisi yang melayani (Police Services) sebagaimana berlaku di sebuah negara demokratis, dan polisi sebagai kekuatan (Police Forces) yang lebih mirip militer dan berkembang di negara-negara otoriter.8

Tampaknya memang terjadi tumpang tindih dan inkonsistensi dasar hukum. Antara dasar hukum yang memberikan kewenangan pada aparat Kepolisian (KUHAP, UU 2/2002 dan Peraturan Polda) dengan dasar hukum yang mengatur substansi pelanggaran hukum (UU 12/Drt/Tahun 1952 dan UU 15/ 2003).

II.2. Kriminalisasi Publik

Maklumat ini ditujukan pada masyarakat Sulteng, khususnya Poso.

       8

Office of United Nations High Commissioner on Human Rights membuat beberapa indikator yang membedakan antara “wajah” Police Services dan wajah Police Forces. Polisi di sebuah sistem negara demokratis bekerja untuk penegakan hukum, profesional, memastikan berjalannya aturan hukum, melayani masyarakat, jujur, akuntabel, dan mendapat dukungan masyarakat serta sangat dihormati. Sementara polisi dalam negara yang masih menjalankan sistem otoritarian bekerja dengan prosedur yang penuh pemaksaan (arbitrariness), intimidatif, memastikan efektifnya kontrol negara, melindungi kepentingan elit, korup, melakukan praktek impunitas, tidak dipercaya masyarakat, dan ditakuti. Lihat OHCHR, Human Rights and Law Enforcement, A Trainer’s Guide on Human Rights for the Police, Professional Training Series No 5/Add 2 (New York: UN, 2002), hal. 52.

Poin II Maklumat menyebutkan, “...diberitahukan kepada seluruh

masyarakat Sulteng bahwa membuat, membawa, menyimpan, memiliki atau menguasai, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, memasukkan ke Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, dan bahan peledak (bom) tanpa hak adalah perbuatan melanggar hukum.”

Selanjutnya maklumat juga menyatakan, “...Dalam rangka

pemulihan keamanan, memelihara keamanan, ketertiban, dan ketentraman kehidupan masyarakat serta tegaknya hukum di wilayah Polda Sulteng, khususnya di wilayah Kabupaten Poso,...”

Publik memaklumi bahwa Poso merupakan wilayah tempat terjadinya konflik sosial di mana senjata api dan bahan peledak digunakan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konfrontasi. Namun tidak dapat dibenarkan juga jika masyarakat Poso, terlebih masyarakat Sulteng, dipandang seolah-olah merupakan bagian dari seluruh persoalan tersebut—bahkan dituduh—memiliki dan menggunakan senjata api dan bahan peledak, sehingga perlu dikeluarkan sebuah maklumat untuk mereka.

Maklumat ini telah menggeneralisasi masyarakat Sulteng sebagai kriminal dan teroris. Sebagai sosok ‘kriminal’ yang ditakuti dan dikhawatirkan memiliki senjata api dan bahan peledak. Secara politis, masyarakat Poso khususnya telah ‘dicabut’ haknya sebagai warga negara yang seharusnya dilindungi dengan asas praduga tak bersalah dan persamaan di hadapan hukum.9

Kondisi ini bukan saja memunculkan persoalan baru, namun menghilangkan persoalan dasar yang semestinya menjadi fokus pemerintah, yaitu penyelesaian konflik yang berkeadilan dan akuntabel.

       9

Kondisi ini mengingatkan situasi di wilayah Aceh pada masa status Daerah Operasi Militer dan di Papua sampai dengan hari ini, di mana masyarakat yang tinggal di hot spot area rentan untuk distigmatisasi sebagai anggota dan pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM) atau Organisasi Papua Merdeka (OPM).

(4)

Deklarasi Malino yang menyodorkan butir-butir rekomendasi penyelesaian konflik tidak dijalankan secara konsisten. Jaminan keamanan tidak pernah ada. Belum lagi beberapa aspirasi politik lokal seperti penolakan stigmatisasi teroris dan penundaan eksekusi Tibo Cs sampai dengan pengungkapan ‘dalang’ dan ‘skenario’ konflik Poso tidak diindahkan.10

Akibatnya muncul beragam reaksi masyarakat sebagai bentuk ekspresi kekecewaan mereka terhadap pemerintah, yang kemudian ‘dihadapi’ pemerintah dengan stigmatisasi teroris, mobilisasi aparat keamanan, serta beragam tindak kekerasan, dan pelanggaran HAM.

Dengan demikian, masyarakat Sulteng telah menjadi korban dari ketidakjelasan upaya penyelesaian konflik Poso, sekaligus mendapat stigma baru sebagai kriminal dan teroris.

II.3. Prosedur Operasional yang Nihil Maklumat menyatakan

“1. Barangsiapa yang membawa senjata dan bahan peledak

(bom) dengan tanpa hak (tanpa otoritas yang sah) akan dilakukan tindakan tegas dan dapat ditembak di tempat untuk melumpuhkan.

2. Barang siapa yang masih memiliki atau menguasai, menyimpan senjata api, amunisi, dan bahan peledak (bom) tanpa hak (tanpa otoritas yang sah) diminta untuk segera menyerahkannya kepada aparat Kepolisian secara sukarela tanpa adanya proses hukum.”

       10

Patut disesalkan pula, justru Kepolisian menjadi institusi yang ‘menampilkan’ wajah ketidakpekaan pemerintah terhadap tuntutan masyarakat Sulawesi Tengah, khususnya Poso, dengan menggelar operasi-operasi kontra-terorisme, mendorong eksekusi Tibo Cs, sampai dengan mengabaikan tuntutan penegakan hukum terhadap mereka yang disebut-sebut sebagai dalang dan pelaku yang memicu dan terlibat dalam konflik Poso 1999-2000.

Maklumat mengatur tentang satu kejahatan (membawa senjata dan bahan peledak dan memiliki atau menguasai, menyimpan senjata api, amunisi, dan bahan peledak) dan sangsinya (dilakukan tindakan tegas, ditembak ditempat untuk melumpuhkan, tidak diproses hukum bila menyerahkan secara sukarela).

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang dimaksud dengan tindakan tegas? Siapa yang memiliki otoritas menentukan jenis tindakan tegas tersebut? Apa dasar hukum ‘tembak di tempat’ bagi mereka yang membawa senjata api dan bahan peledak? Mengapa mereka yang menyerahkan secara sukarela tidak diproses hukum?

Di sinilah masalahnya. Dalam satu operasi kepolisian untuk menindak satu kejahatan, aparat kepolisian telah diberi kewenangan untuk menjatuhkan sangsi yang seharusnya dijatuhkan hakim kelak melalui proses hukum oleh lembaga peradilan.

Operasi kepolisian seharusnya berkorelasi dengan proses penegakan hukum berikutnya sehingga kewenangan kepolisian hanya melakukan pemeriksaan, penyelidikan, penangkapan, dan penahanan, sebagaimana diatur undang-undang. Polisi tidak berwenang sebagai hakim atau pengambil keputusan.11

Memang aparat kepolisian diberi kewenangan untuk melumpuhkan pelaku kejahatan yang berusaha membahayakan keselamatan umum atau yang melarikan diri atau untuk       

11

Perserikatan Bangsa-bangsa mendefinisikan Rule of Law sebagai berikut, “Rule of Law (...) refers to the principle of governance in which all persons, institutions and entities, public and private, including State itself, are accountable to laws that are publicly promulgated, equally enforced and independently adjudicated, and which are consistent with international human rights norms and standards. It requires, as well, measures to ensure adherence to the principles of supremacy of law, equality before the law, accountability to the law, fairness in the application of the law, separation of powers, participation in decision making, legal certainty, avoidance of arbitrariness and legal transparency.” Anneke Osse, Understanding Policing, op.cit., hal. 58.

(5)

melindungi petugas, namun tindakan tersebut tidak dapat ditetapkan sebagai suatu kebijakan prioritas, sebagai sangsi, ataupun pilihan metode operasi.12

Apalagi juga tidak jelas oleh siapa, kapan, dan dimana keputusan ‘ditindak tegas, tembak di tempat, tidak diproses hukum bila menyerahkan secara sukarela’ diambil, dilaksanakan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Padahal, berdasarkan standar internasional yang dikeluarkan PBB, kebijakan dan aturan penggunaan senjata api oleh aparat penegak hukum seharusnya disertai dengan panduan operasional yang berisikan penjelasan rinci tentang kondisi dan situasi kapan seorang aparat penegak hukum dibenarkan membawa senjata api. Panduan tersebut juga menjelaskan tipe dan jenis amunisi yang diperbolehkan dibawa serta memastikan bahwa senjata api tersebut digunakan dalam kondisi mendesak dengan tujuan mengurangi resiko yang lebih buruk dari kejahatan yang tidak diharapkan, mengatur pengawasan, penyerahan dan pemberian senjata api.

Termasuk prosedur untuk memastikan bahwa aparat penegak hukum yang bersangkutan akuntabel atas senjata api dan amunisi yang diberikan kepadanya, memberi pemberitahuan kapan senjata api tersebut harus diserahkan kembali, dan menyediakan sistem

       12

Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan (Force) dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum yang telah diadopsi PBB pada tahun 1990 menyatakan bahwa “Aparat penegak hukum dalam menjalankan tugasnya, sebisa mungkin, mengunakan cara-cara non-kekerasan (non-violent means) sebelum memutuskan penggunaan kewenangan koersiv dan senjata api (force and firearms). Mereka hanya boleh mengunakan cara-cara tersebut jika cara-cara lain dipandang tidak efektif atau tidak bisa memberikan hasil yang diharapkan (if other means remain ineffective or without any promise of achieving the intended result).

pelaporan ketika aparat penegak hukum menggunakan senjata api dalam melaksanakan tugasnya.13

Maklumat ini pada akhirnya menunjukkan suatu situasi yang tidak lazim dalam sebuah negara demokratis, di mana kepolisian masih didorong untuk menjalankan peran penegakan ketertiban yang dipisahkan dari fungsi penegakan hukum. Kepolisian secara terbuka justru menekankan penegakan keamanan dengan cara-cara yang potensial melanggar hukum.14

       13

Lihat Prinsip-prinsip Dasar Penggunaan Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (The Basic Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement Officials) yang diadopsi PBB pada tanggal 7 September 1990 di Havana, Cuba.

14

Basil Fernando dari Asian Human Rights Commission (AHRC) dalam riset yang dilakukannya terhadap peran polisi dalam penegakan hukum di negara-negara Asia menyatakan bahwa hal ini merupakan karakter umum polisi di negara-negara Asia. Ia menyatakan juga bahwa dalam tugas penegakan hukum, investigasi kriminal menjadi dasar utama, namun ketika mereka berorientasi pada penegakan ketertiban maka mereka tidak merasa memerlukan investigasi atau bukti hukum. Mereka juga tidak merasa perlu menggunakan keahlian-keahlian khusus seperti teknik investigasi, namun memilih untuk secara terbuka menggeledah masyarakat. Profesionalitas sebagai aparat penegak hukum dapat diabaikan, dan tindak kekerasan seperti penyiksaan dan hukuman sewenang-wenang ditolerir. Dalam penegakan hukum, kepolisian bekerja di bawah kontrol otoritas politik, namun dalam penegakan ketertiban, mereka cenderung tidak terkontrol. Prinsip-prinsip persamaan di muka hukum seringkali diabaikan dalam operasi pemulihan keamanan, misalnya penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Dan yang paling serius adalah praktek impunitas, yaitu ketika polisi yang bersangkutan tidak bisa dipersalahkan di muka hukum karena bekerja di bawah perintah dan kebijakan penegakan ketertiban yang dipandang sah secara politik. Lihat Basil Fernando, Police and The Rule of Law in Asia, dalam Lone Lindholt et al. (Ed), Human Rights and Police in Transitional Countries (The Hague: Kluwer Law International, 2003), hal. 31-32.

(6)

II.4. Pengawasan dan Evaluasi Pelaksanaan Maklumat yang Tidak Diatur

Maklumat ini dikeluarkan oleh Kapolda Sulteng terkait dengan penegakan hukum dan keamanan di wilayah tersebut. Namun tidak dijelaskan bagaimana peran pemerintah dan DPRD setempat terkait dengan keputusan pembuatan maklumat tersebut yang notabene ditujukan kepada masyarakat Sulteng.

Padahal UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa salah satu urusan wajib pemerintah daerah (provinsi) adalah penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat. Berdasarkan ketentuan ini, Pemerintah Daerah seharusnya berfungsi menyiapkan cetak biru (blue print) persoalan keamanan dan ketertiban di masyarakat, yang kemudian menjadi petunjuk pelaksanaan bagi aparat keamanan setempat.

Aparat keamanan dalam menjalankan tugas mengatasi persoalan keamanan dan ketertiban juga harus bertanggung jawab pada Pemerintah Daerah dan DPRD. Fakta ini tidak ditemukan dalam Maklumat Kapolda Sulteng.

Artinya, dengan klaim ‘pemulihan keamanan, memelihara keamanan, ketertiban dan ketentraman kehidupan masyarakat di wilayah hukum Polda Sulteng, khususnya di wilayah Kabupaten Poso’, Kapolda terkesan mengabaikan peran Pemerintah Daerah dan DPRD dengan mengeluarkan maklumat ini—yang semata-mata didasarkan pada interprestasi Kapolda terhadap situasi keamanan Sulteng.

Sebagai konsekuensinya, Pemerintah Daerah dan DPRD (yang juga tidak memberikan reaksi politik keras terhadap maklumat ini) tidak memiliki akses dan kemampuan melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap pelaksanaannya. Itu karena kepolisian merupakan institusi struktural di mana Kapolda mempertanggungjawabkan penuh kebijakannya ‘hanya’ pada Kapolri.

II.5. Batas Waktu yang Tidak Jelas

Maklumat Kapolda Sulteng hanya menyatakan bahwa “maklumat

ini berlaku sejak tanggal dikeluarkan.” Tidak ada penjelasan

mengenai batas waktu pelaksanaannya. Mengingat bahwa Polda Sulteng mengeluarkan maklumat itu sebagai bagian dari operasi ‘pemulihan keamanan...’, seharusnya maklumat ini dibuat dengan batas waktu yang pasti sehingga masyarakat tidak larut dalam rasa takut yang berkepanjangan. Potensi penyalahgunaan kewenangan, terutama dalam jangka panjang, dapat dihindari.

Batasan waktu tersebut, paling tidak, penting terkait dengan mobilisasi pasukan, anggaran, dan desain operasi yang digelar. Seandainya operasi tersebut ternyata belum berjalan maksimal, Polda bersama Pemerintah Daerah dapat melakukan evaluasi dan mengeluarkan kebijakan baru atau memperpanjang masa kerja untuk beberapa saat. Akibat ketidakjelasan batasan waktu tersebut, maklumat ini terkesan merupakan bentuk teror dan intimidasi terhadap keamanan dan keselamatan publik.

Manajemen Operasi Polisi. Antara Teori dan Fakta

Dari beberapa dokumen yang ditemukan KontraS, jelas tergambar bahwa operasi dengan sandi Sogili di Poso pada bulan Januari 2007 yang lalu merupakan operasi khusus terpusat. Indikasi ini dapat dilihat dari identifikasi dasar-dasar administratif yang dikeluarkan Polri.

Kapolri telah mengeluarkan Rencana Operasi yang tertuang dalam Renops No. Pol: R/ RENOPS/02/I/ tentang Operasi Sogili-2007, tertanggal 8 Januari 2007. Kemudian Bareskrim Mabes Polri juga mengeluarkan beberapa surat perintah penggeledahan dan penyitaan terhadap barang atau rumah yang dicurigai digunakan para DPO.

Dalam struktur organisasi operasi Sogili jelas menyebutkan unsur Mabes Polri yang terdiri dari Bareskrim (Densus 88/AT, Puslabfor), Baintelkam, Babinkam, Sdeops Kapolri, dan Humas

(7)

Mabes Polri. Unsur-unsur ini ditambah dengan pelibatan unsur Brimob dari Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, dan Brimob Satuan III/Pelopor.

Pengerahan kekuatan bantuan dari satuan di luar Sulteng ini hanya dapat dilakukan atas perintah Mabes Polri. Badan Intelejen Negara (BIN) juga dilibatkan dalam operasi ini. Kontrol Mabes Polri atas operasi ini juga dapat dilihat dari ditempatkannya dua perwira Mabes Polri yakni Kepala Operasi Brigjen Pol. Drs. HM. Guntur Ariyadi dan Wakil Kepala Operasi Brigjen Pol. Drs. Surya Darma. Unsur Mabes Polri juga nampak pada posisi Penasehat/ Konsultan yang dipegang Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Mabes Polri. Selain itu, pada posisi Pengawas dijabat oleh Wakil Kabareskrim, Waka Bik, Wakadiv Humas, Kapus Labfor, dan Kadensus 88/AT.

Kepala satuan-satuan tugas (terdapat tujuh satgas) dalam operasi ini juga berasal Mabes Polri semakin menjelaskan bahwa operasi ini adalah operasi terpusat yang direncanakan, diorganisasikan, dilaksanakan, dan dikendalikan oleh Mabes. Namun, yang menarik, dari struktur organsasi operasi ini ialah ditempatkannya Kapolda Sulteng sebagai penanggungjawab.

Tata cara kerja yang menempatkan Kapolda Sulteng dalam posisi penanggung jawab dalam operasi Sogili bisa menimbulkan kesan bahwa tanggung jawab atas ekses/penyimpangan yang mungkin timbul dalam pelaksanaan operasi hanya dibebankan pada Kapolda, bukan Kapolri. Padahal seharusnya Kapolri bertindak selaku penanggung jawab dalam struktur organisasi, sementara Kapolda lebih bertindak dalam posisi sebagai pelaksana harian. Keseluruhan isi atau muatan aturan dalam Protap di atas merupakan aturan-aturan yang normatif. Misalnya bagian Protap yang mengatur tentang Cara bertindak dan Konsinjesi untuk menunjukkan perhatian terhadap hak asasi manusia. Juga bagian yang menekankan pada petugas di lapangan untuk bertindak secara profesional dan menghormati hak asasi manusia.

Sejumlah catatan kritis terhadap praktek pelaksanaan aturan-aturan ini.

Pertama, pemegang kendali komando yang efektif terhadap

petugas lapangan pada Operasi Sogili gagal menghindari jatuhnya korban jiwa dan materi dari masyarakat yang tidak bersalah. Sekalipun Protap telah sangat jelas menyebut bahwa targetnya adalah menangkap para DPO dan menghindari jatuhnya korban jiwa dan materi, namun pada prakteknya jatuh banyak korban di luar target DPO. Operasi Sogili dilakukan oleh tim gabungan yang terdiri dari Densus 88 Mabes Polri, Satgas Brimob, dan Polres Poso.

Pelaksanaan Operasi Sogili yang berlangsung 11 Januari 2007 menewaskan warga sipil bernama Riansyah, salah seorang pengajar di pesantren Al Amanah. Riansyah biasa dikenal sebagai Ustadz Rian. Menurut warga yang saat itu ada di lokasi, Riansyah dalam keadaan tidak membawa senjata api maupun bom. Saat itu dia tengah berjongkok di sela-sela bangunan, ingin mengetahui suara ledakan dan tembakan yang tengah terjadi, namun malah ditembak. Tembakan ini mengenai bagian kepala sebelah kanan yang merupakan titik tembak mematikan.

Seorang target DPO bernama Dedi Parsan alias Dedi juga tewas. Dedi dituduh oleh polisi terlibat dalam penembakan Jaksa Fery Silalahi di Palu, sebuah kasus pembunuhan (kriminal) yang berbeda dengan terorisme. Polisi hanya menangkap 4 orang DPO yaitu Anang Muftadin (40), Paiman alias Sarjono (33), Abdul Muis (25), dan Upik alias Pagar (26). Anang dan Upik mengalami luka tembak ditubuhnya.

Selanjutnya pada Operasi Sogili yang berlangsung 22 Januari 2007 di Gebang Rejo, korban jiwa juga tak bisa dihindari. Diperkirakan 12 orang yang bukan DPO tewas. Mereka adalah Baharuddin alias Udin, Firman, Nurgam alias Om Gam, Idrus, Totok, Yusuf, Muh. Syafri alias Andrias, Afrianto alias Mumin, Hiban, Huma, Sudarsono, dan Ridwan Wahab alias Gunawan.

(8)

Sudarsono (22) yang tengah mengantar Wawan, kemenakannya, pulang dari sekolah, tertembak pada bagian punggung kiri dan menembus ke bagian dada. Luka tembak juga dialami seorang anak kecil bernama Galih Pamungkas (3,5 th) pada 23 Januari.

Kedua, polisi ternyata tidak mengenal wajah setiap target DPO,

sekalipun nama dan wajah para DPO telah disebarluaskan di tempat-tempat umum dan di media massa. Namun dalam prakteknya, ternyata aparat polisi tidak sepenuhnya mengenal para DPO. Fakta ini dapat kita lihat dari keterangan salah seorang DPO yang paling dicari bahkan disayembarakan, yaitu Basri, yang dengan mudah lolos dari aksi penyergapan pada 11 dan 22 Januari 2007.

Aparat polisi yang bertugas menangkap Basri pun bahkan tidak mengenalinya bila dia sendiri tidak memperkenalkan diri.15 Hal inilah mungkin yang menjadi salah satu penyebab jatuhnya korban dari pihak warga biasa.

Ketiga, penggunaan kekuatan secara eksesif dan perlakuan tak

manusiawi selama berlangsungnya operasi. Operasi Sogili telah menggunakan kekuatan yang berlebihan dibandingkan kebutuhan dan target sasaran. Operasi ini juga menggunakan kekerasan yang seharusnya tidak perlu seperti penembakan yang mengakibatkan tewasnya warga biasa, kemudian penganiayaan, penangkapan dan penahanan serta penggeledahan di luar batas normatif hukum acara pidana, antara lain dalam hal izin/otorisasi pengadilan. Warga menuturkan bahwa aparat telah merusak harta benda, bahkan menerapkan intimidasi.

Keempat, penangkapan dan penahanan sewenang-wenang. Polisi

menangkap dan menahan beberapa orang tersangka di Poso tanpa disertai surat-surat, termasuk pemberitahuan kepada pihak keluarga. Tindakan penangkapan ini terjadi bukan dalam keadaan ‘tertangkap tangan’ dan tanpa bukti yang kuat. Bahkan diikuti       

15

Tempo, Edisi 12-18 Februari 2007, Mohammad Basri: “Kami ini Hanya Kerbau”, hal. 30-31.

dengan perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat. Keluarga tersangka tidak mengetahui alasan hukum penangkapan dan penahanan.

Padahal, mereka yang ditangkap dan atau ditahan harus lebih dahulu diperlihatkan surat perintah penangkapan/penahanan dengan didasarkan pada bukti permulaan yang kuat. Proses penangkapan juga harus memperhatikan hak-hak dari orang yang ditangkap/ditahan untuk didampingi pengacara dan diperlakukan secara manusiawi.

Tidak terpenuhinya unsur-unsur ini menjadikan penahanan tersebut bukan saja tidak sah secara hukum namun juga dapat dilihat sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi, pemeriksaan melalui cara penyiksaan hanya menghasilkan informasi yang keliru dan jelas melanggar hak asasi manusia.

Kelima, menjadikan sekolah sebagai tameng. Saksi PS 2209

menerangkan bahwa pada sekitar 08.00 pagi, 22 Januari, serombongan aparat polisi masuk ke sekolah SDN 17 yang terletak di Jalan Bali, Gebang Rejo. Kedatangan polisi membuat para murid histeris dan berteriak-teriak ketakutan. Saksi menyarankan polisi agar tidak melepaskan tembakan dari arah sekolah itu, sebab saksi mengkhawatirkan akan terjadi aksi tembakan balasan. Dan polisi memang tidak mengeluarkan tembakan dari arah sekolah yang terdiri dari 209 siswa laki-laki dan 176 siswi perempuan.16

Keenam, pelanggaran terhadap prosedur tindakan kepolisian.

Pelanggaran di sini terkait dengan penyimpangan prosedur dalam mengambil tindakan-tindakan upaya paksa. Misalnya, saat penggerebekan, penembakan warga di luar target, penggunaan senjata militer/senjata mematikan hingga tindakan yang dapat memicu kemarahan warga ketika operasi sedang digelar.

       16

Wawancara KontraS dengan saksi peristiwa 22 Januari 2007, 25 Februari 2007.

(9)

Dalam Protap telah dijelaskan bahwa penggerebekan harus sesuai dengan ketentuan KUHAP. Namun dokumen polisi hanya menyebutkan surat izin penggeledahan berdasarkan surat Penetapan PN Poso No: 07/PEN.PID/2006/PN Poso, 2 November 2006.

Dalam prakteknya, polisi tidak menunjukkan surat izin penggerebekan terhadap rumah atau bangunan warga yang digerebek, tidak disaksikan oleh aparat desa, dan tidak disaksikan oleh pihak keluarga atau dua orang warga dari lingkungan yang bersangkutan. Bahkan polisi menggunakan cara-cara paksaan dan ancaman yang jelas bertolak belakang dengan prinsip dan semangat Protap.

Keterangan yang disampaikan saksi PS 22-03 menunjukkan bahwa polisi, tanpa surat penggeledahan, telah memaksa dan mengancam warga, bahkan melakukan perusakan terhadap harta benda milik warga.

Sekalipun dalam Protap telah dijelaskan tentang cara penggunaan senjata yang benar, namun dalam prakteknya, beberapa tindakan penggunaan senjata dalam operasi polisi telah menyalahi prosedur. Berikut ini beberapa tindakan penggunaan senjata yang menyalahi prosedur dalam operasi Sogili.

a. Penembakan secara acak/membabi buta (random shooting) Pada peristiwa 11 Januari 2007, pergerakan polisi mengepung empat lokasi di Gebang Rejo diikuti dengan tembakan membabi buta ke arah pemukiman warga. Tindakan polisi ini berhasil memprovokasi warga untuk melakukan perlawanan. Dalam operasi Sogili 22 Januari 2007, polisi juga tetap melakukan penembakan yang serampangan. Bekas-bekas tembakan yang dilakukan oleh polisi dapat dilihat di dinding-dinding rumah warga. Padahal, Protap jelas melarang dilakukannya penembakan secara membabi buta dan tidak jelas sasarannya.

b. Penembakan pada bagian mematikan

Pada 11 Januari 2007, Ibnu mengalami luka tembak di bagian perut dan punggung. Sedangkan Riansyah tewas setelah tertembak di bagian kepala sebelah kanan. Pada 22 Januari 2007, warga yang tewas karena tembakan mematikan adalah Hiban. Dia mendapat tembakan pada bagian dada dan kepala, sementara pada tubuhnya didapati tidak kurang dari 20 luka tembak. Selain itu, Firman, pelajar STM Poso, tertembak pada bagian perut. Idrus Asapa meninggal setelah tertembak pada bagian kepala. Manshur Said alias Nungke mengalami luka tembak pada bagian punggung sedangkan bagian mulutnya hancur. Nurgam alias Om Gam mengalami luka tembak di kepala. Sudarsono tertembak di bagian punggung kiri dan tembus ke dada.

Semua tindakan ini tidak dapat dibenarkan karena ketentuan dalam Protap jelas telah mengatur bahwa penggunaan senjata hanya untuk melindungi jiwa petugas dan jiwa orang lain yang sedang terancam sebagai upaya pembelaan diri yang betul-betul merupakan jalan terakhir. Protap juga menekankan bahwa jika memang situasi tersebut tak bisa dihindari, maka penggunaan senjata api harus diarahkan pada bagian yang melumpuhkan (tidak mematikan).

c. Penggunaan senjata dan amunisi baru

Protap hanya menyebutkan bahwa persenjataan yang digunakan sesuai dengan standar persenjataan masing-masing kesatuan.17 Tidak didapatkan penjelasan lebih lanjut di dalam Protap tentang jenis senjata dan amunisi yang dimaksud pada masing-masing kesatuan. Tidak adanya penjelasan tentang persenjataan yang digunakan ini memunculkan kecurigaan bahwa polisi menggunakan persenjataan jenis baru yang mematikan atau bahkan menjadikan Operasi Sogili sebagai ruang untuk melakukan eksprimen senjata.

       17

(10)

Kecurigaan adanya senjata dan amunisi jenis baru yang digunakan terlihat dari bekas yang ditinggalkan pada mayat Dedi Parsan. Pada tubuhnya ditemukan luka tembak pada bagian lengan kanan dan kiri. Namun pada bagian tangan dan dada Dedi ditemukan seperti luka sayatan benda tajam. Investigasi KontraS tentang dugaan adanya sayatan benda tajam ini dibantah oleh Kapolres Poso.

Namun KontraS menduga bahwa bekas luka tersebut bukan merupakan bekas benda tajam, tetapi merupakan efek dari amunisi baru yang menembus tubuh Dedi. Hingga laporan ini disusun, pihak kepolisian belum menjelaskan senjata apa yang digunakan ketika menembak Dedi. Tertutupnya fakta-fakta seperti ini dapat terjadi karena tidak ada otopsi forensik yang independen terhadap orang-orang yang tewas dalam Operasi Sogili.

d. Penggunaan senjata standar militer yang mematikan.

Protap ini juga tidak menjelaskan senjata jenis apa saja yang boleh digunakan polisi ketika melakukan operasi pada 11 dan 22 Januari 2007. Penjelasan dalam Protap hanya menyebutkan bahwa persenjataan yang digunakan disesuaikan dengan standar persenjataan masing-masing kesatuan (lihat Kondisi Kesatuan huruf c.), tanpa penjelasan lebih lanjut tentang klasifikasi senjata tersebut.

Dalam Protap juga disebutkan tentang penggunaan senjata ‘Air

Taser’ untuk melumpuhkan DPO atau orang yang ada dalam

sasaran (lihat poin c. Tahap pelaksanaan angka 5 huruf d.). Namun dalam prakteknya, KontraS belum mendapatkan keterangan yang menunjukkan penggunaan senjata yang melumpuhkan tersebut. Sebaliknya, petugas polisi yang bergerak di lapangan terlihat menggunakan senjata militer jenis Styer dan SS1.

Penggunaan senjata yang mematikan tersebut berakibat tragis, yaitu kematian, karena kurang tepatnya perkiraan atas sifat situasi

yang dihadapi dan kepolisian tidak sepenuhnya tahu siapa dan bagaimana identitas dan wajah target yang dimaksud.

Padahal dalam Protap jelas dikatakan bahwa “diupayakan seminimal mungkin jatuhnya korban dari pihak masyarakat yang tidak bersalah”. Pengunaan senjata militer yang mematikan di daerah padat penduduk dalam operasi 11 dan 22 Januari itu tentu mengandung resiko besar jatuhnya korban dari kalangan sipil. Demikian juga tindakan polisi yang berlebihan dalam menghabisi lawan.

Penggunaan senjata secara berlebihan ini dapat dilihat misalnya pada kasus kematian Hiban. Hiban ditemukan tewas pada 22 Januari. Pada bagian dada dan kepala Hiban ditemukan setidaknya 20 luka tembak. Kemungkinan yang sama juga dialami oleh korban-korban tewas lainnya. Luka-luka tembak pada korban yang lain tidak dapat diidentifikasi.

Kondisi ini tidak terlepas dari tidak adanya hasil otopsi yang diberikan kepada pihak keluarga korban. Selain itu, bekas-bekas tembakan yang terdapat di rumah atau bangunan di Gebang Rejo juga menunjukkan bahwa senjata yang digunakan adalah senjata tempur yang lazimnya digunakan militer dalam perang.

e. Cara bertindak yang memicu/ memprovokasi kemarahan warga

Dalam Protap, pada uraian tentang Cara Bertindak Dalam Penggerebekan menyebutkan bahwa bertindak melakukan gerakan cepat dan senyap. Namun dalam kenyataannya yang terjadi justru sebaliknya. Pada operasi Sogili 11 Januari 2007, polisi malah melakukan provokasi, seperti yang dijelaskan oleh saksi PS 11-04 yang menerangkan bahwa dalam operasi 11 Januari, ketika memasuki wilayah Gebang Rejo, polisi memukul-mukul tiang

(11)

listrik dan meneriakkan takbir di pertigaan Jl. Pulau Seram dan Pulau Irian.18

Sementara yang dipahami oleh masyarakat bahwa pukulan tiang listrik berarti tanda bahaya atau adanya serangan dari musuh. Tindakan ini lalu diartikan oleh masyarakat sebagai teror dan juga memprovokasi masyarakat agar melakukan perlawanan. Tindakan polisi tersebut memberi kesan permusuhan dan memancing konfrontasi.

f. Korban dipaksa menandatangani surat pernyataan

PS 2206 adalah korban salah tangkap yang juga mengalami penganiayaan polisi pada peristiwa 22 Januari. Akhirnya dia dilepaskan polisi. Namun seminggu setelah pembebasannya, korban ternyata kembali dipanggil oleh polisi (provost) Polres Poso. Di dalam interogasinya, polisi salah satunya menanyakan apakah korban akan mengadu ke Komnas HAM.

Setelah itu, polisi menyodorkan selembar surat pernyataan untuk ditandatangani korban. Salah satu poin dalam surat tersebut menyatakan korban tidak akan melapor ke Komnas HAM. Poin lainnya berisi pernyataan bahwa korban terlibat dalam peristiwa 22 Januari. Poin ini ditolak oleh korban karena korban sama sekali tidak terlibat dalam aksi kekerasan yang terjadi pada saat itu.19

f. Prosedur operasi yang tidak jelas

Ketidakjelasan prosedur operasi terlihat dari jenis operasi khusus model apa yang diterapkan polisi. Hal ini berimbas juga pada ketidakjelasan siapa yang seharusnya menjadi penanggung jawab operasi ini, seperti apa prosedur latihan simulasinya, serta apa saja

       18

Wawancara KontraS pada saksi peristiwa 11 Januari 2007.

19

Wawancara KontraS pada korban peristiwa 22 Januari 2007, pada 22 Februari 2007.

unsur-unsur yang dilibatkan dalam pembagian tugas yang sesuai dengan bidang masing-masing.

g. Tidak ada latihan simulasi

Dalam operasi khusus ini salah satu syarat yang harus dilakukan untuk mencapai hasil operasi yang maksimal adalah adanya pelatihan simulasi sebelum operasi. Konsep latihan mencakup latihan perorangan, latihan fungsi, dan latihan kesatuan. Termasuk di dalamnya ada konsep pengendalian dan instruksi, petunjuk serta konsinjensi yang harus diperhatikan dan dilaksanakan dalam pelaksanaan tugas. Latihan ini melibatkan semua kekuatan yang digunakan dalam kegiatan operasi.

Tujuan dari latihan ini adalah untuk melakukan pengenalan medan, kekuatan musuh, dan pembidikan terhadap target/sasaran yang lebih jelas serta mengurangi tingkat kesalahan di lapangan. Sayangnya, sekalipun telah diatur tentang latihan dalam Protap, namun latihan yang dimaksudkan itu hanya dilakukan oleh masing-masing Satgas secara parsial.

Padahal operasi ini adalah operasi besar dengan pendekatan represif di wilayah yang padat penduduk. Jika tidak ada latihan bersama, maka operasi yang dilakukan oleh Polri ini akan menjadi rentan terhadap kesalahan dalam melakukan pemetaan terhadap sasaran, tindakan-tindakan pelanggaran hukum/HAM, dan gagal memberikan jaminan keamanan terhadap warga di sekitar wilayah operasi yang seharusnya dilindungi.

h. Lemahnya pengendalian operasi

Sekalipun terdapat butir tentang Pengendalian dalam Protap ini namun pengaturannya lebih ditekankan pada soal hubungan tata cara kerja antara Kepala Operasi sebagai penanggung jawab operasi dengan Kasatgas. Padahal tujuan adanya pengendalian dalam suatu operasi tidak sebatas memelihara arah kegiatan

(12)

operasi dan menjamin keberhasilan pelaksanaan operasi sesuai rencana, tetapi yang tak kalah pentingnya, yaitu menghindari timbulnya penyimpangan-penyimpangan dan melakukan tindak korektif apabila terjadi penyimpangan-penyimpangan.20

Ketiadaan pengaturan mengenai tindakan korektif dalam operasi sesungguhnya bertentangan dengan sikap tertentu yang seharusnya dihindari, yaitu sikap ingin dinilai berprestasi, yang diukur dari jumlah target operasi yang diselesaikan sembari mengabaikan bobot/kualitas penyelesaian tugas berdasarkan kriteria-kriteria yang dipakai dalam proses penentuan target operasi.21

Kurangnya sensitifitas dalam penghormatan hak asasi manusia sebagai nilai utama dalam pelaksanaan tugas kepolisian membuat maksud dan tujuan yang akan dicapai dalam Protap ini seolah kehilangan arah dan tidak terorganisir dengan baik. Ketiadaan fungsi pengendalian yang efektif dalam pelaksanaan operasi ini seolah menafikan kemungkinan terjadinya pelanggaran HAM di lapangan.

Deretan kata “dilarang melakukan perbuatan yang melanggar

hukum dan HAM serta pengabaian norma-norma yang berlaku dalam masyarakat”, seperti yang tertulis dalam Protap Operasi

Sogili, akhirnya hanya indah di atas kertas.

       20

Op.cit., Manajemen Operasional Polri, hal. 36.

21

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) penggunaan model pembelajaran (GI) dengan media teka-teki silang efektif meningkatkan prestasi belajar

Siswa selalu di bebani dengan soal-soal dan membaca tanpa memberikan sebuah kegiatan yang membuat siswa lebih aktif dan tidak didukung oleh alat peraga yang

16 Analis Keuangan S1 Ekonomi Akuntansi III/a 1 Bagian Tata Usaha Pusat Pendidikan dan Pelatihan. Badan Intelijen

dakwah programmes in Mentawai is quite extensive, because West Sumatra has been heavily influenced by Islamic tradition, 21 and many people from Minangkabau

Sebagai tambahan pengetahuan tentang hubungan antara persepsi terhadap kompetisi dengan motivasi berprestasi sehingga orang tua dapat memberikan bimbingan dan arahan agar anak

Landasar teori yang digunakan penulis untuk menunjang penelitian ini akan membahas tentang teori investasi, investasi dibidang keuangan (finansial asset), risk and

Audit laporan keuangan dirancang untuk memperoleh keyakinan memadai ( reasonable assurance ) perihal apakah laporan keuangan bebas dari.. salah saji material.

bahwa penyelenggaraan usaha perkebunan di Kabupaten Sanggau diarahkan pada percepatan perwujudan ekonomi daerah mandiri, handal dan sinergis yang selaras, serasi