• Tidak ada hasil yang ditemukan

EKSISTENSI HUKUM ADA T DALAM KONSTITUSI NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "EKSISTENSI HUKUM ADA T DALAM KONSTITUSI NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

EKSISTENSI HUKUM ADA T DALAM KONSTITUSI NEGARA PASCA AMANDEMEN UUD 1945

Yanis Maladi I

Abstract

Indonesia is a nation with a historical special constitution; long history has been passed through time to time until the affirmation oj constitution stating Indonesia is a lawfol state (Rechstaat). The affirmation oj Indonesia as a lawJul state does not easily exist. however. there are some idealisms. values. morals brought by Indonesia people. One oj them is a custom law which is an implementation oj social cultural values coming Jrom local wisdom relating to peoples traditions. Custom laws are main sources in Jorming national laws due to being the implementation oj original laws oj Indonesia people. This study tries to conduct exploration to the existence oj custom laws in Indonesia's constitutions. starting Jrom the beginning oj independency to the reJormation era. The respect Jor the existence oj custom laws can be seen in some decisions oj The Constitution Court as a state institution supervising and interpreting constitutions. The partiality oj judge and the constitutional judge oj custom laws is the implementation oj constitutional mandate (in Article 18 oj UUD I 945). ThereJore. it can be assumed that Indonesia is not an implementation oj the Jormal laws only. but Indonesia laws should also be able to implement moral values containing in the constitution (moral decision) so that it can implement a state which has consciences Jor its people (a state with conscience and compassion).

Keywords: existence oj customary law. the constitution. rule oj law. legal harmonization

Abstraksi

Indonesia adalah bangsa yang memiliki akar sejarah ketatanegaraan yang khas. perjalanan panjang telah dilalui bangsa Indonesia dari waktu ke waktu. hingga kepada penegasan konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum (Rechtstaat).

I PenuJis adalah Dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Mataram. Alamat korespondensi: yanis.maladi@yahoo.com.

(2)

422 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011

Penegasan Indonesia sebagai negara hukum tidak serta merta ada begitu saja, melainkan ada seperangkat idealisme, cita-cita ,nilai dan moral yang dibawa oleh bangsa Indonesia. salah satunya adalah hukum adat yang merupakan perwujudan daripada nilai-nilai sosial budaya masyarakat yang bersumber dari kearifan lokal (local wisdom) yang berhubungan dengan tradisi rakyat. Hukum adat merupakan sumber utama dalam pembentukan hukum nasional, karena merupakan perwujudan dari hukllIn asli bangsa Indonesia. Tulisan ini mencoba untuk melakukan ekplorasi terhadap eksistensi hukum adat dalam konstitusi bangsa indonesia, mulai dari awal kemerde'kaan bangsa ini hingga pada era reformasi saat inL Penghormatan terhadap eksistensi hukum adat, dapat kita lihat dari beberapa putusan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara pengawal dan penafsir konstitusi. Keberpihakan hakim dan hakim konstitusi terhadap hukum adat adalah merupakan perwujudan dari amanah konstitusi dalam pasal 18 B UUD 1945. Dengan demikian bisa diartikan bahwa negara hukum Indonesia bukan hanya sebagai perwujudan dari hukum formal belaka melainkan lebih dari itu negara hukllm indonesia harus mampu mewujudkan moral yang terkandung dalam konstitllsinya (moral design) sehingga dapat mewujlldkan negara yang memiliki kepedlllian (a state with concience and compassion) terhadap rakyatnya.

Kata kunci: eksistensi hukum adat,konstitusi,kepastian hukllm,harmonisasi hukum

I. Pendahuluan

Dari perjalanan sejarah hukum nasional yang pertama kali menemukan dan menggunakan istilah hukum adat adalah ahli hukum berkebangsaan Belanda bemama Snouck-Hurgronje yang ditulis dalam bukunya yang berjudul "De Atjehers ", penggunaan istilah tersebut tidak banyak yang mengetahui asal-usulnya, namun dikalangan kaum akademisi yang dipelopori oleh van Vollenhoven istilah tersebut menjadi dikenal luas oleh beberapa kalangan bahkan van Vollenhoven sendiri menjadikannya judul buku yang ia terbitkan pertama kali berjudul "Het Adat Recht van Nederlandsch Indie", 2 yang selanjutnya diimplementasikan secara efektif oleh ter Haar pada sekolah tinggi hukum Rechtshogeschool te Batavia yang ia pimpin saat itu pada tahun 1930-an.

Pada masa perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia pemakaian istilah hukum adat secara khusus/khas nasional pada awal mulanya dipelopori oleh

2 van Vollenhoven dalam Yanis Maladi, "Antara Hukum Adat dan Ciptaan Hukum oleh Hakim

(3)

Ehistensi Hukurn Adal Dalam Konslitusi Negara Pasca Amandernen UUD 1945, Maladi 423

kaJangan pemuda pada tahun 1928 dimana hasil kongres pemuda-pemuda Indonesia tersebut mencantumkan hukum adat sebagai persatuan bangsa Indonesia. Sebagai apa yang ditegaskan dalam kongres tersebut menurut Moh. Koesnoe, hukum ad at

telah menjadi jiwa dan isi tatanan hukum nasional. 3 Bahkan para ahli hukum ad at telah menjadikan keputusan kongres tersebut sebagai peristiwa yang monumental,

karena merupakan suatu "cikal-bakal" tersusunnya pengertian hukum adat milik bangsa Indonesia yang berbeda dengan hukum adat dalam pengertian "adat recht" yang diterima kalangan akademis dari Barat.

Berikutnya secara akademis pada tahun 1948 melalui pidato dies oleh Soepomo yang disampaikan di Universitas Gajah Mada (UGM) istilah hukum adat menjadi 1ebih lazim dipakai, namun istilah "adat recht" dikalangan akademis masih juga digunakan secara resmi di fakultas-fakultas hukum diberbagai tempat seperti di

fakultas hukum dan masyarakat Universitas Indonesia.

Sepanjang belahan akhir abad 19, yang diawa1i oleh kebijakan kolonial untuk mengembangkan tata hukum di negeri koloni ini secara disadari, istilah yang dipakai adalah 'de gebruiken. gewoonten and godsdienslige instellingen der inlanders' (kelaziman, kebiasaan dan lembaga-lembaga keagamaan orang-orang pribumi). Pada masa kolonial dirasakan pengingkaran eksistensi hukum adat sebagai sebuah hukum yang bisa difungsikan untuk mengintegrasi organisasi kehidupan yang berskala atau berformat antar lokal seringkali dilakukan. Pengingkaran yang dilakukan pemerintahan kolonial bisa dilihat dari berbagai kebijakannya yang hanya mengkonsepkan hukum sebagai sebuah lege alias hukum perundang-undangan yang mempunyai bentuk yang positif tertulis. Hukum tertulis yang pad a awalnya berlaku bagi penduduk Eropa akhimya juga diberlakukan bagi penduduk lainnya termasuk penduduk pribumi di masa kolonial, hal ini juga didasarkan atas "asas konkordansi" hukum yang berlaku pada saat itu, ketika mengharuskan hukum Negara "penjajah"

berlaku sarna di Negara "jajahannya".

Penggunaan asas konkordansi oleh pemeritahan kolonial Belanda telah menuai kritik dan protes keras, seperti yang dilakukan oleh van Vollenhoven yang dikenal sebagai bapak Hukum adat menentang kebijakan kolonial Belanda yang memberlakukan hukum positif tertulis di Negara jajahannya. Dari pemikiran dan aliran pemikiran van Vollenhoven, dia seorang yang setuju dengan teori bahwa hukum tertulis (Negara) lebih fungsional untuk menata suatu negeri yang akan dikelola berdasarkan prinsip Negara modem. Sehingga yang menjadi pertentangan

3 Moh. Koesnoe, dalam Siti Soendari (Editor), "Hukum Adat dalam Alam Kemerdekaan Nasional dan Soalannya Menghadapi Era Globalisasi", (Surabaya: Ubhara Press, \996), hal. 5.

(4)

424 Jurnai Huf..-um dan Pembangllnan Tahun ke-4i No.3 Juli-September 2011

disini menurut van Vollenhoven sebenamya bukanlah niat untuk memodemisasi dan memformalisasi tatanan hukum di Indonesia itu sendiri. Melainkan yang ditentang olehnya adalah niat pemerintah kolonial untuk menjadikan substansi hukum Barat sebagai materi hukum perundang-undangan yang akan diberlakukan di dan untuk suatu negeri yang mayoritas penduduknya telah mempunyai hukumnya sendiri. Bahkan van Vollenhoven pemah memberikan kritikan terhadap pendapat rekan sejawatnya yang mengatakan bahwa di Indonesia tidak ada hukum (hukurn asIi). Vollenhoven mengatakan bahwa hal tersebut akibat dari para sejawatnya yang menggunakan kacamata yuris Belanda pada saat ingin menemukan hukum yang ada di negeri jajahan Belanda pad a waktu itu. Maka Vollenhoven menganjurkan jangan menggunakan kacamata "juristenrecht" bila ingin menemukan hukum Indonesia.4

Benturan antara hukum modem dan hukum setempat yang telah ada lebih dahuIu selama puluhan bahkan ratusan tahun yang lalu memang menimbulkan sebuah jarak pemisah yang lebar diantara keduanya. Selain mempertemukan kedua format hukum yang berbeda, disini juga teIjadi pertemuan antara dua cara hidup atau kultur berbeda pula. Sebagai contoh, penyebaran yang teIjadi di Micronesia,5 Hukwn Micronesia adalah sebuah transplantasi hukum Amerika Serikat (AS) yang diterapkan di Negara kepulauan tersebut. "Micronesian law was transplanted in its entirety from the United States ...... Their cllstomsand values could hardly been more different from the legal system and its norms ". Penerapan hukum AS di Micronesia telah mengakibatkan terjadinya perubahan keadaan di Negara kepulauan tersebut, hukum yang mungkin tumbuh dan sesuai dengan kultur di Amerika Serikat temyata tidak mampu memberikan kesesuaian dengan kultur di Micronesia, sehingga bukannya menyelesaikan masalah melainkan lebih menimbulkan persoalan hingga pada kesengsaraan bagi rakyat Micronesia. Hal tersebut merupakan salah satu contoh dari apa yang teIjadi di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia.

Seiring dengan beIjalannya waktu, banyak pemikiran dari abli-abli hukwn Belanda dan kaum-kaum terpelajar dari kalangan pribumi pada saat itu, mengakibatkan sedikit demi sedikit terjadi penguatan hukum adat dalam berbagai kebijakan hukum kolonial. Hingga akhimya momentum Sumpah Pemuda tahun 1928 telah mengikrarkan untuk menjadikan hukum adat sebagai asas-asas hukum Indonesia di masa mendatang, merupakan salah satu indikator yang nyata dari gerakan moder-nisasi di kalangan kaum terpelajar pribumi, namun dengan tetap

4 Satjipto Rahardjo, "Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya", (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal. 49-50.

(5)

>mri Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD i945, Maladi 425

mempertahankan warisan cultural dari bumi sendiri yang asli sebagai substansi utamanya hingga pada menjelang kemerdekaan bangsa Indonesia pada tahun 1945.

Cita-cita dan harapan bangsa Indonesia yang menghendaki hukum adat sebagai alat pemersatu bangsa (dalam Piagam Sumpah pemuda) kini telah memberi harapan bagi pembangunan hukum adat di Indonesia kedepan. Sebagaimana diatur dalam Pasal-Pasal amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang kini menjadi relevan dijadikan bahan kajian bincangan rancang bangun hukum nasional Indonesia kedepan.

II. Pembahasan

Setiap bangs a dan peradaban memang memiliki sebuah karakter yang unik. Karakter ini terbentuk berdasarkan sejarah dan perkembangan budaya di masyarakatnya. Bahkan setiap bangsa memiliki karakter dan kualitas tersendiri yang

. secara intrinsik tidak ada yang bersifat superior satu diantara yang lainnya. Begitu juga dengan pembentukan sistem hukum yang memiliki kaitan erat dengan budaya masyarakatnya, seperti yang dikatakan von Savigny bahwa suatu sistem hukum adalah bagian dari budaya masyarakat. Hukum tidak lahir dari suatu tindakan bebas (arbitrary act of a legislator), tetapi dibangun dan dapat ditemukan di dalam jiwa masyarakat. Hukum secara hipotetis dapat dikatakan berasal dari kebiasaan dan selanjutnya dibuat melalui suatu aktivitas hukum (juristic activity).6

Akar katatanegaraan suatu negara dengan demikian bisa dilacak dari sejarah bangsa itu sendiri. Karakteristik dan identitas suatu bangsa sangat menentukan dasar-dasar kebangsaan dan kenegaraan di dalam konstitusi. Hal itu dapat dilihat dari salah satu konsensus dasar yang termaktub dalam konstitusi, yaitu kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama (the general goals of society or general acceptance of

the same philosophy of gouvernment).7 Hal itu memiliki konsekuensi bahwa konstitusi selalu dibuat dan berlaku untuk suatu negara tertentu. Konstitusi dibuat berdasarkan pengalaman dan akar sejarah suatu bangsa, kondisi yang sedang dialami, serta cita-cita yang hendak dicapai.

6 M.D.A. Freidman, "Lloyd's introduction to Juricprudence", Seventh Edition, (London: Sweet & Maxweel Ltd., 2001), hal. 904-905.

7 William G. Andrews, "Constitutions and Constitutionalism", 3rd edition, (New Jersey: Van Nostrand Company, 1968), hal. 12-13.

(6)

426 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4I No.3 Juli-September 2011

Konstitusi merupakan jantung dan jiwa suatu Negara, konstitusi memberi tahu kepada kita tentang apa yang dimaksud dengan membentuk Negara, bagaimana eita-eita dengan bernegara, apa yang ingin dilakukannya, serta asas-asas kehidupan didalamnya. Bilamana kita memaknai UUD 1945 seeara mendalam dan komprehensif maka kita bisa melihat bahwa UUD 1945 menggambarkan Negara Republik Indonesia sebagai sebuah Negara yang peduli dengan rakyatnya. lni terlihat dalam substansi Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan wujud nasionalismeodengan menjunjung tinggi asas kebersamaan dan kekeluargaan (mutualism and brotherhood

atau ukhuwah). Kebersamaan dan keke1uargaan adalah sebuah konsep budaya yang hidup di masyarakat Indonesia. Hal ini berbeda dengan kultur Barat yang eenderung hidup individualisme. Bangsa Indonesia memiliki nilai-nilai luhur budaya yang sangat menjunjung tinggi kebersamaan dan gotong royong.

Sejarah pembentukan konstitusi bangsa Indonesia, mulai pada saat proses pembahasan UUD 1945, menunjukkan bahwa UUD 1945 yang menjadi konstitusi bangsa Indonesia dibuat dengan eita-eita dan spirit yang berakar dari semangat bangsa Indonesia yang khas, serta pengalaman ketatanegaraan adat yang telah dipraktikkan oleh masyarakat Indonesia. Seperti yang dikatakan Soepomo dalam rapat pembahasan BPUPKI bahwa "dasar dan susunan negara berhubungan dengan riwayat hukum (rechtsgeschichte) dan lembaga sosial dari negara itu sendiri".8 Oleh karena itu pembangunan negara Indonesia harus disesuaikan dengan struktur sosial masyarakat Indonesia yang ada.

l. Kepastian Hukum yang Berkeadilan PerspektifHukum Adat

Jeremy Bentham mengatakan, kepastian yang ditimbulkan karena hokum (zekerheid door het recht) bagi individu dalam masyarakat adalah tujuan utama dari hukum. Lebih lanjut Bentham merumuskan bahwa tujuan utama dari hukum adalah menjamin adanya bahagia sebanyak-banyaknya kepada orang sebanyak-banyaknya.9 Untuk menjamin kepastian ini adalah tugas dari hokum, terutama dalam menengahi berbagai sengketa atau konflik yang teIjadi di tengah-tengah masyarakat. Oleh karenanya, hukum itu adalah suatu petunjuk tentang apa yang layak, apa yang tidak layak dan hokum itu bersifat suatu

8 Muhammad Yamin, "Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945", Djilid Pertama,

(Jakarta: Siguntang, 1959), hal. 111·112.

9 Jeremy Bentham, "Introduction to the Principles of Morals and Legislation", (E. Utrecht,

(7)

Eksistensi Hukum Adat Do/am Konstitusi Negara Pasco Amandemen UUD 1945, Ma/adi 427

perintah \0 yang fungsinya mengatur tata tertib dalam masyarakat dan

seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, maka untuk itu

apabila teIjadi pelanggaran pad a petunjuk hidup tersebut pemerintah dapat

melakukan tindakan selaku pemegang otoritas sebagai jaminan kepastian

hukum."

Dalam pengertian normatif kepastian hukum itu memerlukan tersedianya

suatu perangkat peraturan perundang-undangan yang secara operasional

mampu mendukung pelaksanaannya. Langkah serta usaha kearah menyediakan

perangkat hukum yang memadai terutama sekili diletakkannya prinsip-prinsip

dasar berbentuk perlindungan hukum bagi setiap (aktor) pengguna hukum. Hal

ini menjadi penting mengingat peran dan fungsi hukum itu hams memberikan perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia. Oleh karenanya pengertian kepastian hukum dalam konteks ini adalah dalam arti perlindungan hak-hak dasar bagi setiap orang.

Seperti yang ditulis oleh Luis Henkin, mengatakan " .... human rights are

claims asserted recognized "as of right" not claims upon love, or grace, or brotherhood or charity: one does not have to earn or deserve them. They are not merely aspirations or moral assertions but, increasingly, legal claims under some applicable law".'2 Pemyataan Henkin ini, merupakan prinsip-prinsip perlindungan hukum bagi rakyat terhadap tindakan pemerintahan yang bertumpu dan bersumber dari konsep ten tang pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi man usia. Perlindungan hak asasi tidak saja terbatas

pada perlindungan diri (orang-perorangan) tetapi juga perlindungan hak-hak

konstitusional masyarakat di bidang hukum adat baik yang berbentuk pengaturan sendiri (self regulation) atau "inner order mechanism" (periksa:

telaah putusan Mahkamah Konstitusi: Nomor 47-48/PHPU.A-VII2009 pada

uraian berikut).

Perwujudan perlindungan hak-hak konstitusional prespektif hukum adat bagi masyarakat, terlihat dari beberapa ketentuan yang bersumber pada

norma-10 Paul Scholten, "Asser's hand/eiding 101 de beoefening van hel Nederlandsclr Burger/ijke Rechl, Algemeen Dee! ", 1934, hal. 16.

11 Lahirnya "teori keputusan" (beslissingenleel) yang dipelopori oleh ter Haat banyak dipengaruhi olehja1an pikitan Paul Scholten dalam "A/gemeen Dee!", bag ian I, Ibid., hal. 236.

12 Louis Henkin, 1978, "The Right of Man Today", (Boulder, Colorado: Westview Press, 1978), hal.1-2.

(8)

428 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011

norma dasar (staats fundamental recht ataufimdamentallaw) mulai dari UUD 1945, Undang-UndangIPeraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah,13 konvensi intemasional dan lain-Iainya. Penyediaan perangkat hukum yang dituangkan dalam norma dasar, meskipun tidak ada disebutkan secara tegas tentang hukum adat dalam batang tubuh UUD 1945 pada saat itu, bahkan menu rut Iman Sudiyat, tidak ada satu Pasal pun yang memuat dasar berlakunya Hukum Adat, kecuali ketentuan Aturan Peraliban Pasal II, menyatakan: "Segala badan negara da~ peraturan yang ada, masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru dalam UUD ini".14 Namun dalam uraian penjelasan bagian umum UUD 1945 menyatakan: "bahwa undang-undang dasar ialah hukum dasar yang tertulis, sedang disampingnya undang-undang dasar berlakujuga hukum dasar tidak tertulis. Menurut Soepomo hukum tidak tertulis ini merupakan sinonim dari Hukum Adat.15 Penegasan ini memperlihatkan eksistensi hukum adat telah direspon dalam konstitusi negara. Bahkan meskipun Undang-Undang Dasar Sementara 1950 tidak berlaku lagi namun ia masib tetap menjiwai hukum-hukum lainnya karena pembangunan hukum-hukum tidak bisa memisahkan atau melepaskan diri dari sejarahnya (Periksa: Pasal 104 ayat (1) Jo. Pasal 32 Jo. Pasal 43 UUDS 1950).

Dalam peIjalanan hukum ketatanegaraan kita di masa Orde Lama, Orde Baru ke Orde Reformasi sampai dengan dilaksanakannya amandemen Konstilllsi Negara, secara konsisten Pemerintahan Negara merespon positif terlaksananya kepastian hukum perspektif Hukum Adat. Mulai dari produk atau perangkat hukum misalnya pada tahun 1960 yang berbentuk TAP Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara nomor II tahun 1960 pada lampiran 1 (satu) menetapkan Hukum Adat Menjadi Landasan Tata Hukum Nasional...dst. TAP MPR Nomor IVIMPR 1973 bagian "Hukum" butir 2 (dua) menentukan: Pembinaan bidang hukum harus mampu mengarahkan dan menampung kebutuhan-kebutuhan hukum sesuai dengan kesadaran hukum rakyat yang berkembang kearah modernisasi menurut tingkat-tingkat

13 Periksa: Pasal 7 ayat (I) UU No.1 0 Tahun 2000 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan

14 Iman Sudiat, "Asas-asas Hukum Adat Bekal Pengantar", (Yogyakarta: Penerbit

Liberty,1978), hal. 22.

(9)

Eksistensi Hukum Adat Da/am Kanstitusi Negara Pasca Amandemen UUD /945, Maladi 429

kemajuan pembangunan di segala bidang. Sehingga tercapai ketertiban dan kepastian hukum sebagai prasarana yang ditujukan kearah peningkatan pembinaan kesatuan bangsa sekaligus berfungsi sebagai sarana menunjang perkembangan modemisasi dan pembangunan. Dalam TAP MPR Nomor IVI1999 tentang GBHN Bab III Pembangunan Hukum bagian A Umum. Pembangunan hukum harus dilaksanakan berdasarkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dengan mengakui dan mengilormali hukum agama dan hukum adat. TAP MPR Nomor Ix/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang menghendaki pengakuan, menghormati dan melindungi hak masyarakat hukum adat.

Meskipun undang-undang kekuasaan kehakiman beberapa kali mengalami pergantianipenyempumaan, namun tetap konsisten mengawal dan menempatkan hukum adat sebagai hukum tetap eksis dan berkedudukan kuat

(strong legal pluralism). Setiap hakim yang menangani sengketa atau perkara

diwajibkan untuk menggali sumber-sumber hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masayarakat.16

16 KeleDluan-kelenluan Pokok Kekuasaan Kebakiman: UDdang-undang No. 19 labun 1964 Pasal 23 aya! (I) yang isinya hampir sarna dengan pasal 17 menyatakan: "Segala putusan Pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasaI-pasai tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber Izukum tak tertulis yang dijatlikan dasar untuk mengadilt'.Pasai 27 Ayat (I) yang isinya bampir sarna dengan Pasal 20 ayat (I) menyatakan: "Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup da/am masyarakat" Ja. Undang-undang Nomor 14 Tabun 1970 dalam penjelasan umum bagian 7 (tujub) memberikan petunjuk kepada kila, balzwa yang dimaksud dengan Izukum tak tertulis dalam undang-undang ini adalalz Izukum adat. (pasal. 27 ayat (I) meDyatakan: "Hakim sebagai penegak hukum dan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup da/am masyarakat". Penjelasan pasal 27 ayat (I) meDyatakan: "Da/am

masyarakat yang masill mengenal hukum tidak fer/lIlis, serlo berada da/am mosa pergolakan dan

peralihan, Hakim merupakan perumus dan pengga/i Ilari ni/ai-nila; Illlkum yang Iridup di ka/angan

rakyat. Un/uk ilu ia harus Ie/tun ke lengah-tengah masyarakat unluk mengena/, merasakan dan

mampu menye/ami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup da/am masyarakat. Dengan

demikian Hakim dapal memberikan putllsan yaJ1g sesuai dengaJ1 hUA.1Jm dan rasa keadilan

masyarakat". lo. Undang-undang Nomor 3S Tabun 1999 lo. Undang-uDdaDg Nomor 4 Tabun 2004 dalam Pasal 28 ayat (I) menyatakan: "Hakim lVajib menggali, mengikuti, dan mema"ami nilai-nilai IlUkum dan rasa keatlilan yang "idup dalam masyarakat". Penjelasan Pasal 28 ayat (I) berbunyi sebagai berikut: "ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hal..im sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat··. Jo. Pasal 5 ayat (I) UU Nomor 48 Tabun 2009 lentang Kekuasaan Kebakiman "HAKIM dan HAKIM KONSTITUSI wajib menggali, me1!gikuti,dan mema"ami nilai-nilai Itukum dan rasa keadilan yang "idup do/am masyarakat".

(10)

430 Jurnai Hukurn dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011

ha1.34

Garnbaran diatas, memberikan penjelasan dan infoImasi tentang sejarab hukum asli (indigenous law) bangsa Indonesia untuk rnernpertahankan eksistensi hukurn adat dalarn kerangka konstitusi dan peraturan perundang-undangannya. Hal ini ditujukan tidak lain untuk menjamin adanya kepastian dan keadilan hukum bagi masyarakat Indonesia. Adanya jarninan konstitusi dan pengalcuan Negara terhadap eksistensi hukum adat dan masyarakat hukumnya telab teImaktub dalam konstitusi bangsa Indonesia yang selanjutnya ter:wujud dalarn rumusan Pasal 18A ayat (I) pihak Pemerintah diminta rnernperhatikan kekhususan dan keragarnan daerah 10. Pasal 18B ayat (I) dan ayat (1) UUD 1945 yang mengamanatkan sebagai berikut:

(/). Negara rnengakui dan menghorrnati satuan-satuan pernerintah daerah yang bersitat khusus atau bersitat istirnewa yang diatur dengan

undang-undang.

(2). Negara rnengakui dan rnenghormati kesatuan-kesatuan rnasvarakat hukurn adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang rnasih hidup dan sesuai dengan perkernbangan rnasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalarn undang-undang.

Materi muatan Pasal 18B ayat (2) DUD 1945 pada unsur dari kata

"Sepanjang masih hidup" seperti yang tertulis di atas, mengamanatkan bahwa Negara kita memiliki konstitusi pluralis. Yang artinya konstitusi menganggap hukum adat teImasuk hukum yang perlu dijadikan sebagai sumber pedoman hidup beImasyarakat di jarnan modem. Karena hukum bersifat fleksibel dan dinamis. Sehingga hukum adat dapat dijadikan sebagai sumber menyusun materi perundang-undangan nasional. Menurut van Dick sebagaimana yang dikutip oleh R. Otje Salman17 babwa hukum adat memiliki corak tersendiri dibandingkan sistem hukum lainnya. Karakteristik yang dimiliki hukum adat adalah:

1. Hukum adat mengandung sifat yang sangat tradisional; 2. Hukum adat dapat berubah;

3. Kesanggupan hukum adat untuk menyesuaikan diri.

Ciri khas diatas menunjukkan babwa hukum adat tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sarna hukum adat dapat menenma perubaban yang mempengaruhinya. Disinilab letak

(11)

Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi 431

fleksibilitas dari hukum adat. 18 Konstitusi yang mernpakan hukum yang

bersifat organik, memberikan sebuah jaminan kepastian hukum kepada hukum ad at dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Jaminan

kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan mewajibkan kepada

para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai pemberi dan pencipta

keadilan di masyarakat untuk wajib menggali, mengikuti, dan memahami

nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat (Pasal 5 UU

No.48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman).

Keberpihakan pengadilan pada hukum adat barn akan terlihat ketika putusan para hakim pengadilan telah menunjukkan segala sesuatu yang ada

dalam hidup kemasyarakatan yang telah mendapatkan bentuk sebagai hukum. 19

Artinya setiap putusan pengadilan itu mencerminkan kepastian yang memiliki

akibat hukum (rechtsJ;evolJ;en) berbentuk dwanJ; (pemaksaan) atau kepastian

dalam bentuk lainnya. Menurut Anthony Allott, yang menjadi ciri-ciri

keputusan dari Hakim dalam uraiannya mengenai postulat dasar dari hukum

adalah "keputusan hakim yang dapat dipaksakan".2o Nader dan Todd dalam

tulisannya pada uraian identifikasi cara-cara penyelesaian sengketa yang ada

dalam masyarakat, yakni salah-satu dari cara-cara penyelesaian sengketa yang

dikemukakan adalah dengan melakukan tindakan paksaan (coercion) melalui

pengadilan (adjudication) dan lain-lain.21

Tujuan utama dan yang paling penting dari setiap keputusan yang mengakhiri sengketa dan konflik yang terjadi dalam masyarakat bukan pada prosesnya melainkan pada adanya jaminan kepastian hukum bagi pihak-pihak yang mengakhiri sengketa. Seperti dicontohkan oleh Nader dan Todd dalam laporan hasil studinya pada masyarakat nelayan Skandinavia yang sedang

18 Siti Maryam Salah uddin, Peranan Hukum Adat Dalam Pembangunan Hukum Nasional,

Jumal Konstitusi Vol.5 Nomor 2, 2008, hal. 142.

19 Ter Haar dalam Iman Sudiyat, "Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar", (Yogyakarta:

Penerbit Liberty, 1978), hal. 21.

20 A.N Allot!, Law and Social Anthropology with special reference to African Laws in Sociologies: A journal for empirical Sociology, Social Psychology and Ethic Research, Berlin: Duncker& Humblot, vol. 17 no: 1,1967.

21 Laura Nader dan Hany Todd, "Introduction: the Disputing Process: Law in ten Societies",

(12)

432 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 201/

bersengketa dengan sesamanya, yang mendorong para pihak untuk menyelesaikan sengketanya terutama demi kelanjutan hubungan sosialnya.22 Oleh karenanya ia akan melakukan apa saja (yang wujudnya 'kepastian') untuk mempertahankan hubungan tersebut. Langkah yang ditempuh untuk itu adalah

mencari penyelesaian melalui cara bemegosiasi atau penyelesaian dengan musyawarah atau menggunakan pihak ketiga (pengadilan), bagi mereka, demi mempertahankan hubungan sosial (terutama kekerabatan) itulah yang paling penting, maka di sinilah letak pentingnya "keputusan" yang dihasilkan pihak ketiga (termasuk pengadilan) atau menggunakan pranata hukum adat23 sebagai terapi hukum, melalui musyawarah yang bersifat kompromistis untuk menyelesaikan sengketa atau untuk mengembalikan kondisi masyarakat kembali normal. 24

2. Harmonisasi Hukum Adat dan Hukum buatan Negara

Penegasan identitas bangsa Indonesia sebagai Negara hukum dalam

konstitusi pasca amandemen keempat UUD 1945, tepatnya dalam Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 dan dalam penjelasannya mengenai "Sistem Pemerintahan Negara" dikatakan "Indonesia adalah Negara yang berdasarkan atas hukum (Rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat) ". Satu hal yang menarik disini adalah apakah dengan mempertegas identitas bangsa kita

sebagai Negara hukum segal a sesuatunya telah berhasil terjawab, khususnya

mengenai eksitensi dalam rangka harmonisasi hukum adat dalam kerangka hukum nasional? Pada pendahuluan penulis sempat menyinggung bahwasanya di Indonesia telah terjadi benturan hukum yang disebabkan proses dari terciptanya hukum yang ada memiliki perbedaan kultur. Di satu sisi Indonesia memiliki hukum nasional (tertulis) yang bersumber dari hukum sebelumnya

"Ibid, . 1978. hal. 17 dan 18.

23 van Dijk dalam E. Utrecht menyatakan: "He! adat-recht word! gevormd en onderhouden in

de beslissingen en gedragingen der daartoe competente organen ven gemeenschap en maatschap, in

onderlinge binding, begrenzing en vervlechting binnen de eenheid van de soeiale en reehtsorde waarin zij fungeren", (Hukum adat dihuat dan dipertahankan dalam keputusan-keputusan dan tingkah laku mereka (orang dan badan hukum) yang (a) berkuasa dalam suatu masyarakat yang mengenal satu tata tertib hukum, dan (b) bertugas mempertahankan kedua tata tetib itu. (libat E. Utrecht, Op. Cit, 1983. hal. 248.

(13)

Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD /945, Maladi 433

yakni hukum kolonial pada waktu Indonesia di "jajah", dan disisi lain Indonesia memiliki hukum yang tumbuh dan lahir dari kemumian budayanya (culture) yang biasa kita sebut sebagai hukum adat,

Penegasan Negara hukum Indonesia pasca Amandemen keempat UUD 1945 tidak harus dilihat sebagai suatu bangunan final, melainkan harus secara terus menerus dibangun untuk menjadi Indonesia yang sesungguhnya. Maksudnya disini adalah proses untuk makin menampilkan ciri khas ke-Indonesiaan yang membumi ke dalam habitat, tradisi, nilai-nilai kosmologi

serta cita-cita modem Indonesia. Harus ada harmonisasi hukum ad at dan

hukum nasional dalam proses membangun Negara hukum ala Indonesia. Seperti kata orang Belanda, "kita hanya dapat mengayuh perahu dengan dayung milik kita sendiri".

Berangkat dari semangat konstitusionaIisme bangsa kita yang khas,

konstitusi harus dibaca secara bermakna, seperti yang dikatakan Ronald Dworkin25 sebagai "Moral Reading". Dari pembacaan tersebut dibuatlah suatu konstruksi, Negara hukum Republik Indonesia adalah suatu Negara yang memiliki kepedulian (a state with conscience and compassion). Negara hukum Indonesia bukan Negara yang hanya bekeIja sebagai perwujudan hukum formal belaka namun lebih dari itu Negara Indonesia harus mampu mewujudkan moral yang terkadung dalam konstitusinya (moral design). Seperti dikatakan oleh Robin M Williams bahwa moral, nilai atau kebudayaan itu merupakan "blue print a/behavior" dari tingkah-laku warga masyarakat,26

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu "produk" konstitusi pasca reformasi merupakan salah satu lembaga Negara yang memegang peranan penting menciptakan Negara hukum ala Indonesia. Mahkamah Konstitusi sebagai satu-satunya lembaga Negara yang memiliki peran mengawal dan menafsirkan konstitusi diharapkan mampu menjaga Negara Hukum ala Indonesia dengan tetap memelihara harmonisasi antara hukum adat dan hukum nasional dalam konstitusi kita yang pluralis. Pasal 18B UUD 1945 telah membuktikan semangat Negara untuk tetap mempertahankan dan menghormati pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adatnya.

Salah satu contoh harmonisasi hukum adat dan hukum nasional bisa kita lihat dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 47-48/PHPU.A-IV/2009

" Ronald Dworkin dalam Satjipto Rahardjo, "Negara Hukum Yang Membaha-giakan

Rakyatnya", (Yogyakarta: Genta Publishing, 2009), hal. 92-93.

(14)

434 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4i No.3 Juli-September 2011

ketika Mahkamah Konstitusi telah memainkan perannya dengan baik, dengan tidak hanya melihat hukum dari kacamata Juristenrecht belaka. Dalam putusan tersebut Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan masyarakat Yahukimo- Papua untuk melaksanakan Pemilihan Umum sesuai dengan caranya sendiri (adat), yaitu pemilih memasukkan surat suara yang telah dicontreng ke dalam sebuah "noken", semacam kantong yang terbuat dari kain atau bahan alamiah lainnya .

. Melihat posisi kasus ini, para pemohon (masyarakat adat Yahukimo) memiliki legal standing (kedudukan hukum) sebagai pemohon. Sesuai dengan bunyi dari Pasal 51 ayat (I) UU Nomor 24 Tahun 2003 disebutkan bahwa "pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang yaitu: a. perorangan Warga Negara Indonesia; b. kesatuan masyarakat hukum ad at sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang.

Hak konstitusional yang dimaksud adalah hak yang diatur dalam UUD 1945, yang substansinya ada dalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 merupakan pengakuan konstitusi terhadap kesatuan masyarakat hukum yang masih hidup. Bahwa sejak putusan Nomor 0061PUU-1II12005 Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 (lima) syarat adanya kerugian konstitusional sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal51 ayat (1) UU No.23 Tahun 2004 yakni:

a. Harus ada hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. Hak konstitusional tersebut dianggap dirugikan olel! berlakunya suatu

undang-undang;

c. Kerugian hak konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan teIjadi;

d. Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian;

e. Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi teIjadi;

Terungkap dalam persidangan Mahkamah Konstitusi, bahwa pemilihan umum bagi masyarakat Yahukimo identik dengan pesta gembira. Pada pemilu Legislatif , kepala suku mengumpulkan masyarakat untuk bermusyawarah mengenai bagaimana cara melaksanakan pemilu tersebut. Musyawah memutuskan bahwa pencontrengan dilakukan oleh Kepala Suku terhadap partai-partai yang telah disepakati, termasuk

(15)

Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi 435

jumlah suaranya sekaligus. Sementara itu telah disiapkan lubang yang cukup besar

yang diisi dengan batu dan ditaruh babi serta umbi-umbian dan kayu bakar. Setelah

babi dan umbi-umbian masak, maka mulailah rakyat berpesta ria, sementara Kepala

Suku tidak kalah sibuknya menyontreng surat suara untuk partai-partai yang telah

ditentukan berdasarkan surat suara yang dimasukkan ke dalam kantong-kantong yang

disebut "noken" tersebut. Masyarakat Yahukimo bisa dikatakan memiliki pola pikir

yang "participerend cosmich" yaitu segala yang ada di alam semesta merupakan satu

kesatuan sehingga setiap ada gangguan maka menjadi kewajiban untuk memulihkan

keadaan sedia kala. Pemilu menurut masyarakat adat Yahukimo dianggap dapat

meninggalkan sebuah permasalahan yang dikhawatirkan dapat merusak persatuan satu sarna lain.

Cara yang digunakan, jelas berbeda dengan apa yang ditentukan oleh

Undang-undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, dan DPRD, alasannya adalah menurut Kepala suku, pemilu tidak boleh meninggalkan

permusuhan diantara mereka. Jadi sekalipun telah terjadi "penyimpangan" seperti

yang telah ditentukan menurut UU Nomor 10 tahun 2008 tersebut, tetapi praktek tersebut yang selalu digunakan sebagai bentuk perwujudan cara melaksanakan

kedaulatan rakyat dari masyarakat Y ahukimo. 27 Realitas diatas telah

menggambarkan terjadi perbedaan kepada kita bahwa sesungguhnya jictie semua

orang dianggap mengetahui hukum dan kedudukan orang sarna dimata hukum

(equality before the law) tidak demikian adanya. Realitas diatas menunjukkan kepada

kita bersama bahwa sesungguhnya hukum mencerminkan dengan jelas karakter masyarakatnya.

Putusan Mahkamah Konstitusi telah memberikan gambaran, bahwa para hakim harus mampu me\akukan sebuah penafsiran hukum dalam rangka melakukan penemuan hukum (rechvinding) dan penciptaan hukum (rechtschepping). Tindakan

hakim yang merubah aturan main hukum yang berani sangatlah diperlukan, karena

jika mengacu kepada sejarah kemajuan-kemajuan hukum, tindakan yang dilakukan

pastilah tidak biasa melainkan menempuh langkah-Iangkah yang menurut Satjipto Rahardjo disebut sebagai rule breaking yang sangat visioner. Sebagai refrensi dalam

kajian ilmu hukum tata Negara dalam peradilan dikenal langkah yang visioner,

sebagai contoh ketika pada tahun 1803 Justice Jhon Marshall (ketua Supreme Court

Amerika) memutuskan bahwa peradilan berhak membatalkan undang-undang.

(16)

436 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011

Karena begitulah hukum seharusnya bergerak menuJu kepada hukum yang

berkeadilan.28

Adanya pengakuan konstitusi terhadap kesatuan hukum adat dan masyarakat hukumnya menggambarkan dengan jelas bahwa konstitusi kita bisa disebut sebagai

konstitusi pluralis (constitutional pluralism). Terdapat dua nilai yang bisa disimpul

-kan dari putusan Mahkamah Konstitusi diatas yaitu adanya nilai kepastian hukum

dan nilai harmoni masyarakat. Kepastian hukum perundang-undangan tertulis

terkadang memang tidak sejalan dengan harmonisasi kehidupan di masyarakat. Sehingga mengakibatkan teIjadinya benturan di masyarakat. Seperti yang dikatakan

oleh Ahmad Sodiki29 bahwasanya hukum yang sama pada masyarakat yang berbeda

adalah sarna tidak adilnya dengan hukum yang berbeda pada masyarakat yang sama. Untuk mencegah hal yang demikisan konstitusi kita menjamin agar terciptanya harmonisasi kepastian hukum antara hukum nasional dan hukum adat. Masyarakat

Indonesia adalah masyarakat plural yang memang menuntut pandangan konstitusi

pluralis (constitusional pluralism). Jadi konstitusi pluralis bisa dimaknai sebagai

sebuah penghormatan dan pengakuan Negara terhadap hak-hak adat dan masyarakat hukumnya. Karena begitulah hukum seharusnya, hukum bukanlah sekedar mengejar

kepastian hukum tetapi mempertimbangkan nilai-nilai hukum lain yang hidup dalam

masyarakat , yaitu harmoni, manfaat dan stabilitas.3o

Hukum adat memang diakui dan tetap dijunjung oleh konstitusi bangsa

Indonesia, narnun bukan berarti tidak ada batasan terhadap hukum adat dan masyarakatnya hukumnya. Ada kalanya teIjadi sebuah pembatasan hukum ad at ketika bertentangan dengan prinsip Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Prinsip NKRI tidak terlepas dari koridor Konstitusi, termasuk makna yang

dituangkan dalarn Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 itu sendiri yaitu bahwa: "Bumi dan

air dan kekayaan alarn yang terkandung di dalarnnya dikuasai oleh negara dan

dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat".

Pengertian "rakyat" dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 diatas harus dipahami

tanpa terkecuali, termasuk masyarakat hukum adat itu sendiri.31 Namun batasan

28 Satjipto Rahardjo, MA yang Progresif, Kompas, 8-Juni-2009.

29 Ahmad Sodiki, "Konstitusionalitas Pemilu ..... . , Op. Cit., hal. 3.

30 Ibid., hal. 2-3.

31 Lies Sugondo, Masyarakat adat dalam Kerangka Hukum Nasianal, makalah disarnpaikan

(17)

Eksistensi Hukum Adat Dalam Konstitusi Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi 437

tersebut bukanlah suatu hal yang dipertentangkan ketika kita berbicara masalah eksistensi hukum adat, karena satu dengan yang lain saling mengisi, bahkan mempertegas keberadaan masyarakat hukum adat sebagai rakyat Indonesia yang dijamin oleh UUD 1945. Amanah konstitusi tersebut juga penulis maknai sebagai sebuah upaya konstitusi untuk menjunjung tinggi asas kekeluargaan sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia yang memegang teguh prinsip Bhineka Tunggal lka. Indonesia sebagai Negara yang memiliki ideologi pancasila dan mendasari konsep Bhineka Tunggal Ika, maka pluralisme dalam sebuah kesatuan akan mewadahi konstitusi modem yang menuntut keseimbangan dan keserasian an tara wawasan yang berlingkup nasional dalam kenyataan yang beraneka ragam dari suatu masyarakat yang majemuk.

III. Penutup

Pengakuan dan penghormatan eksistensi hukum adat dalam konstitusi telah memberikan gambaran yang jelas bahwasanya bangsa Indonesia memiliki kultur yang khas dalam hukum. Hukum adat adalah hukum yang lahir dari kebutuhan hukum dan perasaan rakyat Indonesia. Maka dengan sendirinya hukum adat dapat mampu menjawab segala masalah-masalah hukum yang dihadapi oleh rakyat dalam kehidupan sehari-hari. Hukum adat harus dikaji dalam rangka pembangunan hukum nasional ini dikarenakan pada satu sisi, secara alamiah situasi dan kondisi masyarakat di masing-masing daerah tentunya berbeda. Perbedaan itu selanjutnya, juga menimbulkan variasi dalam nilai sosial budaya mereka, termasuk

nilai-nilai hukum sebagai produk budaya.

Gambaran diatas menunjukkan bahwa hukum adat tetap mempertahankan nilai- nilai tradisional yang dimilikinya, dalam waktu yang sarna hukum adat dapat menerima perubahan yang mempengaruhinya. Disinilah letak fleksibilitas dari hukum adat. Konstitusi sebagai hukum yang bersifat organik, memberikan sebuah jaminan kepastian hukum kepada hukum adat dan masyarakat hukumnya dengan mencantumkan pengakuan dan penghormatan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Jarninan kepastian hukum oleh konstitusi juga diwujudkan dengan mewajibkan kepada para hakim (hakim dan hakim konstitusi) sebagai pemberi dan pencipta keadilan di masyarakat untuk wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Masing-masing masyarakat memiliki otonomi terhadap nilai-nilai hukumnya, karena sesungguhnya masyarakat itulah yang membutuhkan adanya nilai-nilai hukum itu. Dengan adanya konstitusi sebagai aturan normatif tertinggi dalam

(18)

438 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-41 No.3 Juli-September 2011

hierarki perundang-undangan yang telah memberikan tempat tersendiri terhadap pengakuan dan penghormatan pada hukum adat haruslah dimaknai sebagai semangat dan cita-cita bangsa Indonesia dalam rangka mewujudkan Negara hukum ala Indonesia yang mampu membahagiakan rakyatnya.

(19)

Eksislensi H"kum Adal Dalam Konslil"si Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Maladi 439

Daftar Pus taka Buku

Andrews, William G. Constitutions and Constitutionalism, 3'd edition, New Jersey: van Nostrand Company, 1968.

Bentham, Jeremy. Introduction to the Principles of Morals and Legislation,

tanpa kota: tanap penerbit, 1823.

Freidman, M.D.A. Lloyd's Introduction to Juricprudence, Seventh Edition,

London: Sweet & Maxweel Ltd, 2001.

Henkin, Louis. The Right of Man Today, Boulder, Colorado: Westview Press,

1978.

Maladi, Yanis. Antara Hukum Adat dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim

(Judge Made Law), Yogyakarta: Mahkota Kata, 2009.

Nader, Laura, dan Harry Todd, Introduction: the Disputing Process: Law in ten Societies, New York: Columbia University Press, 1978.

Salman, R. Otje. RekonseptuaJisasi Hukum Adat Kontemporer, Bandung: Alumni, 2002.

Satjipto, Rahardjo. Negara Hukum Yang Membahagiakan Rakyatnya, Yogyakarta: Genta Publishing, 2009.

Scholten, Pau!. Asser's handleiding tot de beoefening van het Nederlandsch

Burgerlijke Recht, Algemeen Deel, tanpa kota: tanpa penerbit, 1934.

Sudiyat, Iman. Asas-asas Hukum Adat, Bekal Pengantar, Yogyakarta: Penerbit Liberty, 1978.

Utrecht, E. Pengantar dalam Hukum Indonesia, Cetakan ke XI PT Jakarta: Ichtiar Baru, 1983.

Van Vollenhoven, Het adatrect van N.I, le en 2estuk-tweede deel, Leiden:

tanpa penerbit, 1931.

Yamin, Muhammad. Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Djilid Pertama, Jakarta: Siguntung, 1959.

(20)

440 Jurnai Hukum dan Pembangunan Tahun ke-4i Na.3 Juli-September 20 II

Artikel dan Makalah

A.N Allott. "Law and Social Anthropology With Special Reference to African

Laws" in Sociologies: A journal for empirical Sociology, Social

Psychology and Ethic Research, Berlin: Duncker & Humblot, 1967, VoL 17no: I.

Lies Sugondo, Masyarakat adat da/am Kerangka Hukum Nasiona/, Makalah

disampaikan dalam Training bagi dosen-dosen Pengajar HAM di

Indonesia di Yogyakarta, 21-24 Agustus 2007.

Salahuddin, Siti Maryam. "Peranan Hukul1l Adat Dalam Pembangunan Hukum

Nasional", Jurnal Konstitusi VoL5 Nomor 2, 2008.

Satjipto, Rahardjo, MA yang Progresif dalam Kompas, 8-Juni-2009.

Sodiki, Ahmad, "Konstitusionalitas Pemilu Model Masyarakat Yahukimo ",

Referensi

Dokumen terkait

Havuzlu Salonun açıldığı iki odadan biri olan Amiral Odası'nda butun eşyalar denizcilikle ilgilidir.. İskemle ve koltukların kenarları bile gemi halatlarını

Berdasarkan strata diperoleh bahwa nilai rata-rata sikap sebelum diberikan promosi kesehatan dengan media power point yaitu 40,3 termasuk dalam katagori sikap PHBS

1) Mengevaluasi sistem penilaian karyawan. 2) Penegakan disiplin dan pelaksanaan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan. 3) Merancang program-program penghargaan bagi

Laporan Pendahuluan ini disusun sebagai salah satu bentuk persyaratan teknis kontrak pengadaan jasa konsultan perencana antara PT. CIPTA DIAN

Berdasarkan dari semua hal yang sudah penulis coba teliti dan ungkapkan di atas, maka semakin jelas bahwa sesungguhnya posisi Pos-pos pelayanan GKI Kwitang tidak

Demikian pula dalam partisipasi penyusunan anggaran, jika tujuan kelompok dengan kohesivitas tinggi tidak sesuai dengan tujuan manajemen organisasi maka hal

Dari hasil uji koefisien regresi linier berganda dan uji t pada penelitian ini menunjukkan bahwa motivasi kerja berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja guru

Sedangkan dalam penelitian ini akan dibuat aplikasi Bantu Pengolahan Nilai Indeks Kinerja Dosen di fakultas Teknologi industri UAD, yang dapat menampilkan data