• Tidak ada hasil yang ditemukan

FENOMENA GAGAL BERPISAH, EPISTASIS, DAN NISBAH KELAMIN PADA Drosophila melanogaster

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "FENOMENA GAGAL BERPISAH, EPISTASIS, DAN NISBAH KELAMIN PADA Drosophila melanogaster"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

FENOMENA GAGAL BERPISAH, EPISTASIS, DAN NISBAH KELAMIN PADA

Drosophila melanogaster

Ahmad Fauzi

1

, Aloysius Duran Corebima

2

1 Pascasarjana Pendidikan Biologi, Universitas Negeri Malang

2 Jurusan Biologi, Universitas Negeri Malang

fauzizou91@gmail.com

ABSTRAK

Gagal berpisah, epistasis, dan nisbah kelamin merupakan tiga dari beberapa fenomena yang sering dikaitkan dengan bahasan pola pewarisan sifat. Berbagai fenomena tersebut dapat ditemukan pada persilangan berbagai strain D. melanogaster. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperlihatkan fenomena gagal berpisah, epistasis, dan nisbah kelamin yang terjadi pada berbagai persilangan D.

melanogaster. Persilangan N x w, se x w, serta N x N secara berturut-turut digunakan untuk

memperlihatkan fenomena gagal berpisah, epistasis, dan nisbah kelamin. Hasil penelitian ini memperlihatkan kemunculan anakan produk gagal berpisah pada persilangan N x w, rasio anakan F2 berupa 9:4:3 pada persilangan se x w, serta rasio kelamin 1:1 pada persilangan N x N.

Kata kunci: Drosophila melanogaster

, epistasis, gagal berpisah, nisbah kelamin

PENDAHULUAN

Selama beberapa dekade terakhir, organisme model telah membantu para saintis dalam melakukan

penelitiannya (Sengupta, 2014). Keberadaan dan

pemanfaatan berbagai organisme model juga telah berperan besar dalam perkembangan ilmu, termasuk biologi. Melalui organisme model tersebut, berbagai proses biologi dapat dipelajari dan diungkap (Bolker, 1995). Karakteristik organisme model yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat, genom yang sederhana, tidak menghabiskan banyak biaya dalam perawatan, mudah dalam perawatan dan perbanyakan, serta strukturnya yang sederhana memudahkan peneliti dan ilmuwan dalam mempelajari berbagai fenomena biologi (Bolker, 1995; Sengupta, 2014). Salah satu contoh organisme model yang cukup populer dalam perkembangan dan penelitian biologi adalah D. melanogaster.

Contoh pemanfaatan D. melanogaster dalam perkembangan dan penelitian biologi adalah terkait pengkajian berbagai fenomena yang berkaitan dengan pola pewarisan sifat. Berbagai fenomena yang berkaitan dengan pola pewarisan sifat dikembangkan dan ditemukan oleh para ilmuwan melalui persilangan berbagai strain D. melanogaster. Berbagai fenomena yang dimaksud, antara lain pautan, pautan kelamin, pindah silang, gagal berpisah, dan polygene (Klug, dkk,, 2012; Snustad dan Simmons, 2012: Corebima, 2013).

Di beberapa negara, D. melanogaster juga telah sering digunakan sebagai media dalam mempelajari berbagai konsep biologi, khususnya pewarisan sifat. Karena siklus hidupnya yang singkat, D. melanogaster dapat digunakan sebagai objek penelitian selama

beberapa generasi hanya pada satu tahun akademik saja (Flannery, 1997; Sengupta, 2014; Sofer dan Tompkins, 1994). Selain itu, keuntungan teknis seperti biaya perawatan yang tidak terlalu mahal, ukurannya yang tidak memakan banyak tempat, dan mudah dalam perawatannya semakin mempopulerkan D. melanogaster sebagai media pembelajaran di sekolah-sekolah di beberapa negara (Flannery, 1997 Jeszenszky, 1997; Sengupta, 2014; Sofer & Tompkins, 1994).

Pemanfaatan D. melanogaster dalam kegiatan

pembelajaran perlu dilakukan mengingat D.

melanogaster memiliki sejarah yang cukup panjang

dengan perkembangan penelitian di dunia biologi (Sengupta, 2014). Terlebih lagi, dengan memanfaatkan

D. melanogaster, peserta didik lebih diberdayakan untuk

melakukan kegiatan inkuiri selama mempelajari berbagai konsep biologi. Pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik untuk melakukan hal yang sama dengan apa yang telah dilakukan oleh para peneliti tedahulu, yaitu kegiatan inkuiri, adalah cermin pembelajaran sains yang sesungguhnya (Srisawasdi, 2012). Untuk mendukung pembelajaran seperti demikian, diperlukan adanya

sumber-sumber informasi yang mendukung dan

mendorong pendidik untuk melakukan pembelajaran tersebut. Salah satunya adalah melalui informasi-informasi tata cara pemanfaatan D. melanogaster dalam mengungkap berbagai fenomena biologi.

Pada penelitian ini, peneliti bertujuan untuk

memperlihatkan bahwa D. melanogaster dapat

mendemonstrasikan beberapa fenomena yang berkaitan dengan pola pewarisan sifat. Beberapa fenomena yang dimaksud adalah gagal berpisah, epistasis, dan nisbah

(2)

kelamin. Pada fenomena gagal berpisah, kemunculan anakan yang tidak sesuai rekonstruksi persilangan dimungkinkan karena kegagalan berpisah kromosom saat gametogenesis. Pada fenomena epistasis, ekspresi suatu gen akan ditutupi oleh gen lain yang mengkodekan sifat yang sama. Di sisi lain, nisbah kelamin adalah perbandingan atau rasio jumlah jantan dibandingkan dengan betina pada suatu populasi. (Klug, dkk,, 2012; Snustad dan Simmons, 2012: Corebima, 2013).

METODE PENELITIAN

1) Penyiapan organisme dan kondisi lingkungan

D. melanogaster strain Normal (N), white (w), dan sepia eyes (se) dari Laboratorium Genetika FMIPA UM

digunkana dalam penelitian ini (Gambar 1.). Lalat dikultur di dalam botol gelas berbentuk silinder bervolume 200 ml, dengan diameter 7 cm dan tinggi 9 cm. Botol tersebut diisi medium standard sebanyak 30 ml. Kultur lalat tersebut disimpan di ruang penelitian dengan kisaran temperatur lingkungan alami, yaitu 25-30

oC.

Gambar 1. D. melanogaster strain N (kiri), w (tengah),

dan se (kanan)

2) Komposisi medium

Medium terdiri dari ± 2500 ml air, 700 g pisang (varietas Raja Mala), 200 g tape singkong, dan 100 g gula merah. Campuran tersebut di masak selama 45 menit. Medium tersebut cukup digunakan untuk mengisi 35 gelas kultur.

3) Gagal berpisah

Persilangan strain N x w (P1) digunakan untuk memperlihatkan kemunculan fenomena gagal berpisah pada D. melanogaster. Anakan F1 yang muncul dicatat dan bila ada anakan yang tidak sesuai rekonstruksi kromosom, maka diasumsikan sebagai anakan produk gagal berpisah.

4) Epistasis

Persilangan strain se x w (P1) digunakan untuk memperlihatkan keberadaan fenomena epistasis pada D.

melanogaster. Anakan dari persilangan tersebut (F1)

digunakan sebagai P2. Anakan dari P2 (F2) dicatat untuk

dianalisis lebih lanjut menggunakan rekonstruksi

kromosom dan uji chi square.

5) Nisbah kelamin

Persilangan strain N x N digunakan untuk memperlihatkan nisbah kelamin pada D. melanogaster. Perbandingan antara anakan jantan dan betina dianalisis untuk mengetahui rasio kelamin pada persilangan tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Gagal berpisah

Hasil rekonstruksi kromosom persilangan D.

melanogaster strain N x w tertera pada Gambar 2.

Rekonstruksi kromosom tersebut telah melibatkan kejadian gagal berpisah saat gametogenesis pada parental betina mata putih. Data penelitian persilangan tertera pada Tabel 1.

Berdasarkan data hasil persilangan yang tertera di Tabel 2, dapat diketahui bahwa ada beberapa anakan produk gagal berpisah yang muncul, yaitu pada persilangan ulangan 1 hingga 4.

2) Epistasis

Hasil rekonstruksi kromosom persilangan se x w tertera pada Gambar 3. Berdasarkan rekonstruksi kromosom tersebut, dapat diketahui bahwa rasio fenotip F2 yang diharapkan adalah 9 (N) : 3 (se) : 4 (w). Rasio tersebut digunakan sebadai dasar frekuensi harapan pada uji

chi-square. Hasil uji chi-square persilangan se x w tersebut

tertera pada Tabel 2.

A B

(3)

Tabel 1. Data persilangan D. melanogaster strain w x N

Fenotip F2 Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3 Ulangan 4 Ulangan 5 Total

Anakan normal N♀ 1 1 1 1 0 4 w♂ 68 64 13 40 98 283 Produk gagal berpisah N♂ 66 90 16 59 86 317 w♀ 0 0 1 2 0 3

Gambar 2. Rekonstruksi kromosom persilangan D. melanogaster strain N x e

Tabel 2. Analisis data persilangan D. melanogaster strain se x w

Persilangan F2 f0 fh fo-fh (fo-fh)2 Chi tabel

se x w N 410 419,0625 -9,0625 82,12890625 0,195982476

se 131 139,6875 -8,6875 75,47265625 0,540296421

w 204 186,25 17,75 315,0625 1,691610738

Total 745 745 2,427889635 5,991465

Tabel 3. Analisis data persilangan D. melanogaster strain N x N

Persilangan Jenis Kelamin f0 fh fo-fh (fo-fh) 2 Chi tabel N x N ♂ 192 209,5 -17,5 306,25 1,46181384 ♀ 227 209,5 17,5 306,25 1,46181384 Total 419 419 2,923627685 3,84

(4)

= tanda kromosom y Gambar 3. Rekonstruksi kromosom persilangan D. melanogaster strain se x w

(5)

Data hasil persilangan D. melanogaster strain N x N tertera pada Tabel 3.

Berdasarkan hasil uji chi-square pada Tabel 3., dapat diketahui bahwa nilai chi hitung (2,92) < chi tabel (3,84). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa hipotesis yang berbunyi nisbah kelamin D. melanogaster berupa perbandingan 1:1 diterima.

Pada penelitian ini, D. melanogaster digunakan sebagai organisme model untuk menampilan fenomena gagal berpisah, epistasis, dan nisbah kelamin. Pada fenomena gagal berpisah, persilangan yang digunakan adalah antara strain N dengan w. Sesuai dengan data pengamatan, sebagian besar anakan adalah betina N dan jantan w. Kedua fenotip anakan tersebut merupakan anakan yang muncul secara normal. Sebagian kecil anakan yang muncul adalah jantan N dan betina w. Kedua fenotip anakan tersebut lah yang merupakan anakan hasil produk gagal berpisah.

Kemunculan anakan hasil produk gagal berpisah disebabkan oleh terbentuknya gamet abnormal pada parental betina. Gamet abnormal yang dimaksud adalah gamet w/w dan 0. Arti kedua simbol tersebut adalah gamet w/w merupakan gamet yang membawa dua kromosom X sekaligus, sedangkan gamet 0 merupakan gamet yang tidak membawa kromosom X sama sekali. Terbentuknya dua gamet abnormal tersebut disebabkan oleh kegagalan kromosom berpisah saat pembelahan meiosis ketika pembentukan gamet, tepatnya saat anafase. Akibatnya, ada kutub yang menerima dua kromosom X sekaligus dan ada kutub yang tidak menerima kromosom X sama sekali. Hal tersebut menyebabkan ketika sel telah benar-benar membelah, ada sel yang membawa dua kromosom X dan ada sel yang tidak membawa kromosom X (Klug, dkk,, 2012; Snustad dan Simmons, 2012: Corebima, 2013).

Selain dua genotip anakan normal dan dua genotip anakan produk gagal berpisah, ada dua genotip lain yang berpotensi terbentuk saat gagal berpisah terjadi. Dua genotip tersebut, yaitu www dan Y (pada rekonstruksi kromosom Gambar 2. disimbolkan dengan 0). Genotip anakan yang hanya mendapatkan kromosom Y saja akan mati. Hal tersebut disebabkan kromosom X membawa berbagai gen esensial yang dibutuhkan saat perkembangan D. melanogaster. Karena individu tersebut tidak membawa kromosom X, maka individu tersebut mati.

Fenomena kedua yang ditunjukkan pada penelitian ini adalah epistasis. Epistasis adalah fenomena ketika ekspresi suatu gen tidak tampak karena tertutup ekspresi gen lain (Corebima, 2013). Fenomena tersebut ditampilkan melalui persilangan dihibrid antara strain se dengan w. Kedua strain tersebut mengalami mutasi pada

dimaksud adalah warna mata. Dalam mendemonstrasikan fenomena epistasis tersebut, diperlukan persilangan hingga generasi kedua.

Berdasarkan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa rasio anakan F2 yang dihasilkan dari persilangan antara strain se x w memenuhi perbandingan 9 (N) :3 (se) :4 (w). Genotip wse yang terbentuk akan berfenotip mata putih. Hal tersebut dikarenakan ekspresi mata sepia atau mata hitam tertutupi oleh ekspresi mata putih. Alasan mengapa hal tersebut dapat terjadi dapat dilihat berdasarkan jalur reaksi biokimia pigmentasi mata yang diilustrasikan pada Gambar 4. berikut.

Berdasarkan jalur reaksi biokimia pigmentasi mata yang diilustrasikan pada Gambar 4., dapat diketahui bahwa kerja produk dari gen white berkaitan dengan transportasi GTP dan triptofan dari luar sel ke dalam sel mata. Di lain sisi, kerja produk gen sepia berkaitan dengan pengubahan

tetrahydrobipterin menjadi pyrimododiazepine. Informasi

lain yang dapat diambil dari Gambar 4. tersebut adalah kerja dari produk gen white mendahului kerja dari produk gen sepia ketika pigmentasi warna mata berlangsung. Artinya, bila gen white mengalami mutasi yang mengakibatkan produk gen white tidak terbentuk, seluruh reaksi biokimia setelahnya tidak akan terjadi. Hal tersebut dikarenakan substrat yang dibutuhkan selama pigmentasi warna mata tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibatnya, ketika anakan F2 bergenotip w, baik individu tersebut membawa genotip se+ ataupun se, maka warna

mata individu tersebut tetap akan berwarna putih. Fenomena lain yang ditampilkan pada penelitian ini adalah nisbah kelamin pada D. melanogaster. Sesuai dengan hasil analisis data, dapat diketahui bahwa nisbah kelamin D. melanogaster memenuhi rasio 1:1. Artinya, jumlah anakan jantan tidak berbeda dengan jumlah anakan betina. Nisbah kelamin anakan dari persilangan sesama strain N pada D. melanogaster yang memenuhi rasio 1:1 ini sesuai dengan laporan penelitian yang dilaporkan oleh Karmana (2010).

Berkaitan dengan nisbah kelamin pada D.

melanogaster, penentuan jenis kelamin pada serangga

tersebut tidak hanya didasarkan pada keberadaan kromosom Y pada tubuh. Artinya, belum tentu individu bergenotip XY akan berfenotip sebagai jantan, begitu pula individu yang tidak membawa kromosom Y belum tentu berjenis kelamin betina. Sesuai penjelasan Baker dan Belote (1983), penentuan jenis kelamin D.

melanogaster lebih ditentukan dari perbandingan jumlah

kromosom X dengan jumlah set autosomnya (rasio X:A). Contoh perbandingan tersebut adalah individu yang hanya membawa satu kromosom X dengan jumlah set autosomnya 2 akan berfenotip jantan (rasio X:A adalah 1:2) , sedangkan individu yang membawa dua kromosom

(6)

X dengan jumlah set autosom 2 akan berfenotip betina (rasio X:A adalah 1:1) (Baker dan Belote, 1983).

Hasil persilangan sesama strain N yang menghasilkan nisbah kelamin 1:1 pada penelitian ini dapat diterima karena secara normal, 50% anakan dari persilangan tersebut akan membawa kromosom XX dan 50% anakan membawa kromosom XY. Dengan demikian, 50% anakan membawa dua kromosom X dan 50% anakan membawa satu kromosom X. Secara normal, seluruh anakan D. melanogaster juga bersifat diploid. Artinya, anakan-anakan tersebut memiliki jumlah set autosom sebesar 2. Dengan menggunakan perbandingan X:A, maka dapat diketahui, 50% anakan akan memiliki

perbandingan 1:1 dan 50% anakan memiliki

perbandingan 1:2. Dengan demikian, nisbah kelamin anakan dari persilangan tersebut adalah 1 (jantan) : 1 (betina).

Sesuai dengan data yang telah terkumpul dan analisis data yang telah dilakukan, terbukti bahwa fenomena gagal berpisah, epistasis, dan nisbah kelamin

dapat didemonstrasikan dengan menggunakan D.

melanogaster. Seperti yang telah dijelaskan di awal, pada

fenomena gagal berpisah dan nisbah kelamin, persilangan sebanyak 1 generasi telah mampu mendemonstrasikan kedua fenomena tersebut. Pada fenomena epistasis, pendemonstrasian fenomena tersebut membutuhkan persilangan hingga generasi 2. Sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan, waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan data hingga generasi 1 hanyalah sekitar 25 hingga 30 hari, sedangkan waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan data hingga generasi 2 hanyalah 40 hingga 50 hari.

Penelitian ini merupakan langkah awal usaha peneliti untuk lebih mempopulerkan D. melanogaster sebagai organisme model yang tidak hanya digunakan di dunia penelitian, melainkan juga dalam dunia pendidikan.

Penelitian-penelitian sejenis akan dilakukan dan

penelitian pengembangan berbagai perangkat dan bahan ajar yang mendukung penggunaan D. melanogaster di dunia pendidikan akan dilakukan pada penelitian selanjutnya. Melalui langkah tersebut, diharapkan pemanfaatan D. melanogaster sebagai organisme model dalam pembelajaran semakin luas.

SIMPULAN

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat diketahui bahwa D. melanogaster merupakan organisme model yang mampu mendemonstraikan

DAFTAR PUSTAKA

Baker BS dan Belote JM, 1983. Sex Determination and Dosage Compensation in Drosophila melanogaster.

Ann. Rev. Genet. 17: 345-393.

Bolker J A, 1995. Model systems in developmental biology. BioEssays, 17(5): 451-455.

Corebima AD, 2013. Genetika Mendel. Surabaya: Airlangga University Press.

Flannery CM, 1997. Models in biology. American

Biology Teacher, 59(4): 244-248.

Jeszenszky WA, 1997. Managing the fruit fly experiment. American Biology Teacher, 59(5): 292-294.

Karmana IW, 2010. Nisbah Kelamin pada Persilangan Homogami D. melanogaster Strain Normal (N),

white (w), dan sepia (se). GeneC Swara, Edisi Khusus. 4(3): 13-19.

Klug WS, Cummings MR, Spencer CA, dan Palladino, MA, 2012. Concepts of Genetics, Tenth Edition. San Francisco: Pearson Education, Inc.

Sengupta S, 2014. Model Organisms: Living

Laboratories. pp. 27-30 in Khan HJ (ed) Science

Reporter Vol. 51. A CSIR Publication, NISCAIR,

New Delhi.

Snustad DP dan Simmons MJ. 2012, Principles of

Genetics, Sixth Edition. New Jersey: John Wiley &

Sons, Inc.

Sofer W dan Tompkins L, 1994. Genetics in the classroom - drosophila genetics in the classroom.

Genetics, 136, 417-422.

Srisawasdi N, 2012. Introducing Students to Authentic Inquiry Investigation Using an Artificial Olfactory System. pp 93-106 in Tan and Kim (eds). Issues

and Challenges in Science Education Research.

Dordrecht: Springer.

Thiemann TC, 2001. Genotype to Phenotype:

Investigating Eye Color Mutations Using Chromatography.

http://www.public.asu.edu/~thoffman/commonfiles/

lsc348/lsc348drosophilaeyepigment.pdf. Diunduh

Gambar

Gambar  1.  D.  melanogaster  strain  N  (kiri),  w  (tengah),  dan se (kanan)
Tabel 1. Data persilangan D. melanogaster strain w x N
Gambar 4. Jalur biokimia pigmentasi warna mata pada D. melanogaster (sumber: Thiemann, 2001)

Referensi

Dokumen terkait

Signifier pada ironi adalah sesuatu yang tidak sesuai realita tetapi kita mengetahui makna signified berdasarkan hubungan sintagmatik yang dikontraskan dengan kenyataan di luar

 Membangun pintu air di Saluran Primer Gunungsari pada batas antara sub sistem Balong dengan sub sistem Greges di bagian Timur dan antara sub sistem Kandangan

Dengan rujukan itu, berdasarkan fenomena kondisi internal bahasa Indonesia, internalnalisasi terhadap kondisi internal yang relevan dan layak diperhatikan mencakup hal-hal

Beberapa adsorben telah diteliti untuk mengadsorp Hg(II) dari dalam larutan [5, 6, 7, 8], namun ternyata memiliki kapasitas adsorpsi yang belum memuaskan sehingga masih

Metode elektrokimia adalah metode mengukur laju korosi dengan mengukur beda potensial objek hingga didapat laju korosi yang terjadi, metode ini mengukur laju

Lajike on ollut Pohjois-Pohjan- maan koeaseman kokeissa 6 päivää aikaisempi kuin Tiitus.. Lisäksi laji- ke on osoittautunut yhtä lujakortiseksi

Hasil pengujian menunjukkan 1 Gaya Hidup memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian, 2 Country of Origin tidak memiliki pengaruh terhadap keputusan pembelian, 3 Kelompok