• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMBANGUN HARMONI ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN AGAMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEMBANGUN HARMONI ILMU PENGETAHUAN, TEKNOLOGI DAN AGAMA"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

MEMBANGUN HARMONI ILMU PENGETAHUAN,

TEKNOLOGI DAN AGAMA

Oleh: Ali Sodikin, M.Pd.I

Abstrak : ‘Kehidupan yang baik adalah kehidupan yang diilhami cinta dan dibimbing oleh pengetahuan’._Bertrand Russell_ Ilmu pengetahuan dan

teknologi dewasa ini tidak lagi menjadi fenomena yang berdiri sendiri sebagai salah satu hasil kebudayaan. Ia telah menjadi ideologi, mempengaruhi gaya hidup manusia. Secara khusus, teknologi tidak bisa lagi diartikan sebagai semata-mata benda-benda tertentu seperti mesin-mesin, alat-alat elektronika atau produk lain yang dikonsumsi masyarakat luas, sebagaimana banyak orang berpendapat. Tetapi juga berarti pengetahuan dan kesadaran manusia, sebab teknologi itu sendiri hanya mungkin ada dan berkembang oleh daya abstraksi dan kesadaran manusia.

Kata kunci: Epistemologi)_Teknologi_Agama_Etika_Humanisme

PENDAHULUAN

Harus diakui untuk zaman sekarang ini, keberhasilan manusia, baik secara pribadi maupun selaku umat diukur dari keberhasilannya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi. Manusia sekarang juga tidak mungkin melepaskan diri dan hidup tanpa teknologi, bahkan dalam banyak hal teknologi seolah-olah sudah ‘mencampuri’ wawasan yang di masa lalu dianggap sebagai hak Tuhan dalam penciptaan.

Dengan demikian diperlukan pemikiran sungguh-sungguh untuk mengembangkan ilmu pengetahuan (eksakta-empirik) dan teknologi di satu pihak dan kedudukan filsafat ilmu pengetahuan di pihak lain sebagai sarana untuk mengutuhkan pemahaman kebenaran yang hendak dicapai manusia. Sehingga pada gilirannya dikukuhkan kedudukan dan fungsi agama bukan sekedar ritualitas formal, tetapi sungguh-sungguh merupakan puncak terakhir dari penemuan manusia atas kebenaran. Dan filsafat ilmu pengetahuan bertugas mengantarkan manusia menemukan kebenaran utuh tersebut.

Kiranya hirarki ilmu pengetahuan, teknologi dan agama itulah yang harus kita bangun. Sebab dalam pernik-pernik kehidupan manusia ada yang berada di luar batas

(2)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

kemampuan akal rasional manusia, dan berada di luar batas pengalaman keseharian manusia, semua itu merupakan bagian penting dari kebenaran yang didambakan manusia.1

AGAMA DAN PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI

Ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama pada zaman modern ini, mengalami banyak perubahan dan sangat cepat, sedang agama bergerak dengan lambat sekali. Karena itu terjadi ketidakserasian antara agama dan ilmu pengetahuan serta teknologi. Agama tidak dapat mengikuti kemajuan yang dicapai ilmu pengetahuan dan teknologi.

Pertentangan itu terdapat bukan hanya antara agama dan ilmu pengetahuan, tetapi juga antara agama dan ideologi yang dihasilkan oleh pemikiran modern yang erat hubungannya dengan kemajuan yang dicapai dalam ilmu pengetahuan dan teknologi modern. Semua ini menimbulkan nilai-nilai baru yang tidak sedikit di antaranya berlawanan dengan nilai-nilai lama yang dipertahankan agama. Pertentangan-pertentangan di dunia yang sedang berkembang yang masih mencari atau memantapkan identitasnya memang dapat mengacaukan dan dapat menimbulkan instabilitas.2

Memang tidak terbantahkan lagi bahwa apa yang telah dicapai oleh peradaban modern (barat) merupakan suatu prestasi manusia yang luar biasa dan tanpa tandingan sebelumnya. Tetapi semakin diakui oleh setiap orang termasuk di antaranya adalah sebagian pemilik peradaban itu sendiri, bahwa hasil itu terlalu terbatas pada kehidupan lahiriyah. Untuk pertama kalinya, manusia benar-benar mengalami situasi dimana mereka mulai khawatir dan takut kepada hasil kerja tangan sendiri: ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebab, sekalipun kedua unsur pokok peradaban modern ini harus diakui telah banyak sekali memperbaiki nasib sebagian besar umat manusia,

1 Achmad Charris Zubair, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, (Yogyakarta:Lesfi, 2002), 42-43.

(3)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

tetapi harus diakui pula bahwa dalam dirinya terkandung unsur-unsur destruktif, misalnya hilangnya kedamaian hidup yang bersifat menyeluruh dan asasi.3

Memang pada hakikatnya tidak semua yang terdapat dalam agama bersifat mutlak dan kekal. Secara garis besar ajaran-ajaran agama terbagi dalam dua kelompok. Pertama, ajaran-ajaran dasar yang terdapat dalam kitab suci yang diwahyukan Tuhan dari atas. Karena wahyu dari Tuhan dan bukan dari pemikiran manusia, ajaran-ajaran itu bersifat mutlak benar, kekal tak berubah dan tak boleh diubah.

Ajaran-ajaran dasar yang diwahyukan itu memerlukan penafsiran bagaimana pelaksanaannya. Penafsiran-penafsiran dan cara-cara penjelasan itu juga merupakan ajaran, dan dengan demikian timbullah kelompok kedua dari ajaran agama. Karena ajaran dari kelompok kedua ini adalah hasil pemikiran manusia, bukan wahyu dari Tuhan, ia tidak bersifat absolut, dan tidak kekal, melainkan bersifat nisbi dan dapat berubah dan diubah menurut perkembangan zaman.

Jadi tidak tepat anggapan yang mengatakan bahwa semua ajaran agama bersifat mutlak benar dan kekal. Di samping ajaran-ajaran yang bersifat absolut benar dan kekal itu, terdapat juga ajaran-ajaran yang bersifat relatif dan nisbi, yaitu yang dapat berubah dan boleh diubah. Dalam agama demikian, di samping terdapat bagian yang bersifat statis terdapat pula bagian yang bersifat dinamis.

Dalam pada itu perlu diketahui mana di antara dua bagian itu yang banyak terdapat dalam suatu agama? Kalau ajaran yang mutlak benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa diubah, lebih dominan, maka agama yang demikian akan lebih bersifat statis daripada dinamis. Demikian juga sebaliknya.

Agama bentuk pertama akan sulit mengikuti perkembangan modern, akan mengalami banyak benturan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi serta ideologi-ideologi modern. Tetapi sebaliknya, agama dalam bentuk kedua akan lebih mudah mengikuti perkembangan modern.4

3 Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1999), 162 4 Harun Nasution, Islam Rasional..,Op.cit., 292.

(4)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

KESADARAN ETIS DAN ETIKA ILMU PENGETAHUAN

Etika, yang merupakan salah satu landasan normatif dan doktrin agama, memang tidak termasuk dalam kawasan ilmu dan teknologi yang bersifat otonom. Tetapi tidak dapat disangkal ia berperan dalam perbincangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Penerapan dari ilmu pengetahuan dan teknologi membutuhkan dimensi etis sebagai pertimbangan dan kadang-kadang kita lihat akan mempunyai pengaruh pada proses perkembangan lebih lanjut ilmu pengetahuan dan teknologi. Dalam kaitan hal ini terjadi keharusan untuk memperhatikan kodrat manusia, mertabat manusia, menjaga keseimbangan ekosistem, bertanggung jawab pada kepentingan umum, kepentingan generasi mendatang dan bersifat universal. Karena pada dasarnya ilmu pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan memperkokoh eksistensi manusia bukan untuk menghancurkan eksistensi manusia.5

Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan menghambat ataupun meningkatkan keberadaan manusia tergantung pada manusia itu sendiri, karena ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan oleh manusia dan untuk kepentingan manusia dalam kebudayaannya. Kemajuan di bidang teknologi memerlukan kedewasaan manusia dalam arti yang sesungguhnya, yakni kedewasaan untuk mengerti mana yang layak dan yang tidak layak, yang buruk dan yang baik. Tugas terpenting ilmu pengetahuan dan teknologi adalah menyediakan bantuan agar supaya manusia dapat sungguh-sungguh mencapai pengertian tentang martabat dirinya. Ilmu pengetahuan dan teknologi bukan saja sarana untuk mengembangkan diri manusia saja tetapi juga merupakan hasil perkembangan dan kreatifitas manusia itu sendiri.6

Sebab ilmu pengetahuan dan penerapannya yang berupa teknologi, apabila tidak tepat dalam mewujudkan nilai intrinsiknya sebagai pembebas beban kerja manusia, akan dapat menimbulkan ketidakadilan karena ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, pengurangan kualitas manusia karena martabat manusia justru direndahkan dengan menjadi budak teknologi, kerisauan sosial yang mungkin sekali dapat memicu terjadinya penyakit sosial seperti meningkatnya tingkat kriminalitas, penggunaan obat bius yang tak terkendali, prostitusi dan sebagainya. Terjadi pula

5 Ahmad Charis Zubair, Dimensi etik…., Op.cit., 49.

6 AGM Van Melsen, Ilmu Pengetahuan dan Tanggung Jawab Kita. terj. K. Berteus, (Jakarta: Gramedia, 1992). 114

(5)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

depersonalisasi, karena manusia kehilangan peran dan fungsinya sebagai mahluk spiritual. Bahkan dapat memicu konflik-konflik sosial-politik, karena menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dapat memperkuat posisi politik atau sebaliknya orang berebut posisi politik agar dapat menguasai aset ilmu dan teknologi. Semuanya mengisyaratkan pentingnya etika yang mengatur keseimbangan antara ilmu pengetahuan dengan manusia, antara manusia dengan lingkungan dan alam semesta, antara industriawan selaku produsen dengan konsumen.7

Tanggungjawab etis tidak hanya menyangkut mengupayakan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi secara tepat dalam kehidupan manusia. Tetapi harus menyadari juga apa yang seharusnya dikerjakan atau tidak dikerjakan untuk memperkokoh kedudukan serta martabat manusia yang seharusnya, baik dalam hubungannya sebagai pribadi, dalam hubungan dengan lingkungannya maupun sebagai mahluk yang bertanggung jawab terhadap Tuhannya.

Tanggungjawab etis ini tak dapat lepas dari kesadaran etis manusia, karena menyangkut ketegangan, atau mungkin lebih tepat, pendulum antara yang

seharusnya dan yang pada kenyataannya ada. Kesadaran etis ini memungkinkan

manusia dapat memperhitungkan akibat perbuatannya, bahkan dapat mengetahui perkembangan-perkembangan ataupun kejadian-kejadian yang tak terduga di masa depan. Lebih tegas dikatakan bahwa justru melalui kesadaran etis memungkinkan manusia dapat menilai apakah sesuatu dapat membantu atau tidak dapat membantu, mewujudkan manusia yang lebih utuh sebagaimana seharusnya ia ada.8

Tanggungjawab etis beserta kesadaran etisnya terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologilah yang akan dapat membimbing untuk menentukan apakah keputusan tindakan manusia yang berupa ilmu pengetahuan seharusnya dilakukan dan bagaimana ‘aturan main’ yang diterapkan.

7 Achmad Harris Zubair, Dimensi Etik…., op.cit., 55. 8 Melsen, Ilmu Pengetahuan…, op.cit., 72.

(6)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

KESADARAN ETIS SEBAGAI SOLUSI ATAS HARMONI YANG TERKOYAK

Pada mulanya, ilmu pengetahuan untuk menemukan kebenaran dan teknologi dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan manusia dan meningkatkan kesejahteraan serta martabat manusia itu sendiri. Karena hawa nafsu manusia yang tak terbatas, terjadilah pergeseran dari maksud semula. Dari kajian sejarah filsafat Barat, kita telah menemukan bahwa peradaban barat telah menemukan kemajuan ilmu pengetahuan sejak menolak hegemoni gereja pada abad pertengahan. Keadaan ini menumbuhkan suatu bayangan kosong di dalam hati manusia bahwa agama merupakan penghambat kemajuan dan mengekang otonomi manusia, mereka melupakan bahwa agama yang hak bukanlah sebuah kekuatan yang menahan kemajuan dan otonomi manusia, tetapi penafsiran mereka terhadap agama pada abad pertengahan di eropa itulah yang menghalangi kemajuan, dan berangkali juga memang agama katholik-Roma secara kelembagaan pada saat itu tidak kondusif melempangkan kemajuan keilmuan kemanusiaan.9

C.A.van Peursen10 mengatakan bahwa: Dewasa ini pengetahuan dan perbuatan, ilmu dan etika saling bertautan, tidak ada pengetahuan yang pada akhirnya tidak terbentur pertanyaan, apakah sesuatu itu baik atau jahat. ‘Apa’ yang dikejar oleh pengetahuan, menjelma menjadi ‘bagaimana’ dari etika. Etika dalam hal ini dapat diterangkan sebagai suatu penilaian yang memperbincangkan bagaimana teknik yang mengelola perbuatan manusia. Dengan demikian lapangan yang dinilai oleh etika jauh lebih luas daripada sejumlah kaidah bagi perorangan, mengenai yang halal atau yang haram. Tetapi berkembang menjadi suatu etika makro yang mampu merencanakan masyarakat sedemikian rupa, sehingga manusia dapat belajar mempertanggung jawabkan kekuatan-kekuatan yang dibangkitkannya sendiri.

Terkait dengan pernyataan tersebut di atas, maka etika tidak hanya menyebut peraturan-peraturan yang tidak pernah berubah, melainkan secara kritis mengajukan pertanyaan, bagaimana manusia bertanggung jawab terhadap hasil-hasil teknologi modern dan rekayasanya. Etika semacam itu tentu saja harus membuktikan kemampuannya menyelesaikan masalah manusia konkret. Tidak lagi sekedar memberi

9 Marwah Daud Ibrahim, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi, (Bandung: Mizan, 1995), 37. 10 C.A. van Peursen, Strategi Kebudayaan, terj. Dick Hartoko. (Yogyakarta: Kanisius, 1976), 178

(7)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

isyarat dan pedoman umum, melainkan langsung melibatkan diri dalam peristiwa aktual dan faktual manusia. Sehingga terjadi hubungan timbal balik dengan apa yang sebenarnya terjadi. Etika serupa itu berdasarkan interaksi antara keadaan etika sendiri dengan masalah-masalah yang membumi.11

Soedjatmako12 pernah menulis bahwa: ilmu dan teknologi sekarang ini berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang jalan yang harus ditempuh seterusnya dan yang tidak dapat dijawabnya sendiri. Pertanyaan-pertanyaan itu berkisar sekitar masalah sampai di mana manusia mengendalikan kembali ilmu dan teknologi. Sehingga jalannya tidak menurut kemauannya dan momentumnya sendiri saja, melainkan melayani keperluan manusia. Soedjatmako menulis lebih lanjut bahwa: pertanyaan-pertanyaan mengenai dirinya sendiri, mengenai tujuan-tujuannya, dan mengenai cara-cara pengembangannya tidak dapat dijawab lagi oleh ilmu dan teknologi tanpa mereferensi pada patokan-patokan mengenai yang baik dan yang batil dalam kehidupan modern. Dan patokan-patokan tentang makna dan moralitas itu ternyata berakar pada agama.

PENUTUP

Meskipun teknologi merupakan kebalikan dari nilai-nilai spiritual, namun teknologi tidak harus berseberangan. Tujuan teknologi adalah mutlak mencapai nilai-nilai material. Namun demikian, tujuan tersebut dapat sepenuhnya konsisten dengan nilai-nilai spiritual. Bahkan tujuan itu bisa jadi bermula dari nilai-nilai tersebut. Cinta akan sesama mahluk merupakan nilai spiritual, dan kita berusaha menciptakan alat baru, metode baru, dan penerapan baru dari pengetahuan yang akan dapat meringankan penderitaan mereka yang disebabkan kelaparan, penyakit, dan tindakan-tindakan pelanggaran hak asasi manusia.

Argumentasi yang disajikan di sini adalah untuk melawan determinisme teknologi dan melawan bentuk dualisme yang selalu bertentangan dengan nilai-nilai material dari teknologi sebagai sesuatu yang selalu bertentangan dengan nilai-nilai spiritual. Oleh karena itu, kita perlu berhati-hati sebelum menolak atau menerima teknologi sebagai suatu abstraksi. Konsekuensi dari teknologi adalah konsekuensi dari

11 Achmad Harris Zubair, Dimensi Etik…, op.cit., 73

(8)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

pilihan dan tindakan manusia. Mempersoalkan teknologi atas segala keburukan dalam masyarakat berarti membebaskan manusia dari tanggungjawabnya atas konsekuensi dari tindakan yang dipilihnya.

Argumentasi ini semakin menegasikan kedudukan ilmu pengetahuan yang bukan untuk menemukan kriteria mutlak kebenaran. Kebenaran mutlak hanyalah milik agama. Sedangkan ilmu pengetahuan dapat menemukan kebenaran semata-mata karena bersifat empiris. Dalam pandangan Ariestoteles, kehausan manusia yang tak terpuaskan dalam mencari ilmu pengetahuan di alam ini dianggap sebagai motivasi dasar dari ilmu pengetahuan.

Hal ini pun relevan dengan perspektif beberap agama-agama Asia (Budhisme, Hindu, Shinto) dan tradisi sufi Islam yang menyatakan bahwa manusia sesungguhnya merupakan kontinum atau bagian yang tak terpisahkan dari alam. Di sini tampak bahwa penyatuan antara ilmu dengan nilai-nilai transenden sesungguhnya merupakan syarat guna mewujudkan harmonisasi di alam semesta.

Maka, tidak ada salahnya jika kita simak dan renungkan kata-kata bijak seorang teolog Protestan Amerika, Roger Lincoln Shinn: “Masalah-masalah besar tidak boleh dibiarkan berada di tangan para ahli teknologi yang tidak tahu apa-apa tentang etika, ataupun di tangan moralis yang tidak tahu apa-apa mengenai teknologi.13

Pernyataan Roger ini cukup untuk menggambarkan betapa keberadaan ilmu pengetahuan tanpa dibarengi (dimasuki) nilai-nilai transenden (ruh-ruh ilahiah) akan menjadi hambar. Setidaknya, jika ini menjadi kesadaran kolektif dan masuk ke jantung masyarakat, niscaya proyeksi tentang titik balik kejumudan manusia modern di abad ke-21 akan menjadi kenyataan.

(9)

MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016

DAFTAR PUSTAKA

Alimi, Anas syahrul, Soliloqui: Menakar Spiritualitas Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: Lesfi, 2002.

Ibrahim, Marwah Daud, Teknologi, Emansipasi dan Transendensi, Bandung: Mizan, 1995. Madjid, Nur Cholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1999. Nasution, Harun, Islam Rasional, Bandung: Mizan, 1996.

Melsen, AGM Van, Ilmu Pengetahuan dan Tanggungjawab Kita, terj. K. Bertens, Jakarta: Gramedia, 1992.

Peursen, C.A Van, Strategi Kebudayaan, terj. Dick. Hartoko, Yogyakarta: Kanisius, 1976. Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Jakarta: LP3ES, 1984.

Zubair, Achmad Harris, Dimensi Etik dan Asketik Ilmu Pengetahuan Manusia, Yogyakarta: Lesfi, 2002.

Referensi

Dokumen terkait

Pada lampu dengan jenis TL yang mempunyai fluks cahaya terpasang paling tinggi dari jenis lampu lain yaitu 2600 lumen, dihasilkan efikasi paling tinggi pada CFL

Pengetahuan siswa mengenai kapan dan bagaimana menggunakan prosedur dalam menyelesaikan soal operasi aljabar dapat dilihat dari hasil jawaban siswa pada soal no.3 dan

M adalah seorang anak perempuan remaja awal berumur 14 tahun yang menderita buta total sejak lahir, M mengaku bahwa mimpi yang pernah dialaminya tidak pernah ada yang berbentuk

Mengajak masyarakat Yogyakarta dan sekitarnya untuk peduli pada pelestarian cadangan air tanah untuk kehidupan berkelanjutan yang diwujudkan melalui gerakan menabung

Selain itu pihak perusahaan juga melakukan upaya pembersihan lingkungan perairan Teluk Bayur dengan penyedotan menggunakan 2 unit oil boom dan mengumpulkan bongkahan CPO

Pada pertemuan kedua dapat diketahui bahwa 90% dari 10 pernyataan sudah dilakukan dengan baik, hanya ada 1 pernyataan yang belum dilakukan sesuai rencana, yaitu

)nggris. Kata ini diserap dalam perbendaharaan bahasa )ndonesia dengan tujuan mempertahankan kata aslinya dengan sedikit penyesuaian pelafalan menjadi evaluasi. Arti