• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN UMUM MULTIFUNGSI PERTANIAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN UMUM MULTIFUNGSI PERTANIAN"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN UMUM MULTIFUNGSI PERTANIAN

Multifunctionality of agriculture

Fahmuddin Agus dan Edi Husen

Balai Penelitian Tanah Jln. Ir. H. Juanda No. 98, Bogor 16123

e-mail: [email protected] ABSTRAK

Pertanian selama ini hanya dihargai karena kemampuannya menghasilkan bahan pangan, serat dan papan, sedangkan fungsi lain di bidang lingkungan, sosial budaya, dan ekonomi belum banyak dikenal atau masih diabaikan. Penelitian di daerah aliran sungai (DAS) Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah tentang alih guna lahan dan dampaknya terhadap lingkungan memperlihatkan bahwa dengan semakin menyempitnya lahan hutan dan lahan pertanian berbasis pohon-pohonan dan meluasnya lahan permukiman dan industri menyebabkan berkurangnya fungsi DAS dalam mitigasi banjir dan penanggulan erosi. Studi di DAS Citarum, Jawa Barat memperlihatkan bahwa nilai ekonomi jasa lingkungan lahan sawah dalam hal mitigasi banjir, konservasi sumber daya air, pengendalian erosi, daur ulang sampah organik, pelestarian daya tarik pedesaan, dan mitigasi kenaikan suhu udara yang dihitung dengan RCM (replacement cost method) adalah sekitar 51% dari nilai jual beras yang dihasilkan sawah di DAS tersebut. Keterbatasan metodologi menyebabkan beberapa fungsi penting lain seperti ketahanan pangan, sosial ekonomi, penyedia lapangan kerja, dan pemelihara keanekaragaman hayati tidak dapat divaluasi secara ekonomi sehingga nilai 51% tersebut masih di bawah nilai taksiran. Di dalam sistem ekonomi, bahkan dalam kebijakan pemerintah yang berlaku dewasa ini, berbagai aspek multifungsi secara umum masih diperlakukan sebagai eksternalitas, artinya belum diperhitungkan sebagai bagian integral dalam perhitungan input dan output. Dengan demikian jasa-jasa ini merupakan sumbangan cuma-cuma yang diberikan petani terhadap masyarakat umum. Harga jual beras yang rendah dan nilai sewa lahan sawah yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan lahan untuk perumahan dan industri merupakan akibat dari eksternalisasi multifungsi pertanian, sehingga bekerja di bidang pertanian bagi sebagian besar angkatan kerja menjadi pilihan terakhir. Salah satu akibatnya adalah terjadinya alih-guna sekitar satu juta ha lahan sawah berproduktivitas tinggi di Jawa selama periode

1981 - 1999 (sekitar 55.000 ha tahun-1). Konsep multifungsi ini menyimpulkan

bahwa pertanian tidak dapat disubstitusi dengan sektor ekonomi lainnya. Apabila yang dinilai dari pertanian hanya produk barang yang tampak nyata (tangible) yang dapat dipasarkan (marketable) saja, maka akan berisiko terhadap semakin meningkatnya alih guna lahan dan selanjutnya menurunkan kelestarian kualitas lingkungan, ketahanan pangan, dan kestabilan sosial ekonomi.

(2)

ABSTRACT

Agriculture has been valued merely for their ability to produce food, fiber, and wood, while other important functions in environment, socio-cultural, and economy have not been recognized or otherwise been ignored. A study in Citarik Watershed in West Java and Kaligarang Watershed in Central Java on land use changes and their impact on the environment revealed that the decrease of forest and tree based-multistrata cropping areas and the increase of industrial and housing areas have reduced watershed’s functions in flood mitigation and soil loss prevention. A study in Citarum River Basin, West Java, using the replacement cost method (RCM) revealed that paddy field system produced services in terms of flood mitigation, preservation of water resources, soil erosion prevention, waste disposal, rural amenity and heat mitigation as high as about 51% equivalent to the marketable rice produced in the area. Limitation in the methodology excluded several important variables, including food security, socio-economic functions, job oppotunity, and biodiversity in the economic valuation such that the 51% value was an under-estimate. In the current economic and government policy systems these multifunctions are still considered as externalities; meaning that these aspects have not been integrated in the input-output calculations. As such, these services are farmers’ free contribution to the community at large. The low rice price and low land rent of paddy field compared to land for settlement and industrial developments are among the effects of externalization of multifunctionality such that agriculture become the last resort among most work force. In consequence, about 1 million ha of highly productive paddy field in Java have been converted during the period of 1981 to 1999. The overall concept of multifunctionality concluded that agriculture could not be substituted by any other economic sectors. Valuing only the tangible, marketable products of agriculture risks the country in the form of accelerating agricultural land conversion, degrading environmental quality, declining food security and socio-economic stability.

PENDAHULUAN

Sebagai negara agraris, pertanian Indonesia mempekerjakan angkatan kerja terbanyak (sekitar 44%) dibandingkan dengan sektor lain. Pertanian juga menyediakan sebagian besar kebutuhan pangan seluruh rakyat. Lahan sawah dan lahan kering menyediakan 85-100% kebutuhan beras di dalam negeri. Apabila tingkat kecukupan di dalam negeri (self sufficiency) menurun secara signifikan, akan terjadi pengurasan devisa negara untuk pembelian beras impor dan peningkatan harga beras di pasar internasional karena proporsi impor oleh Indonesia bisa mencapai 30% dari kuota beras yang diperdagangkan (Husein Sawit; Komunikasi pribadi).

Banyak fungsi lain dari pertanian selain penyedia lapangan kerja dan penghasil pangan. Fungsi tersebut antara lain fungsi stabilisasi kualitas lingkungan

(3)

(mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, pemelihara pasokan air tanah, penambat karbon, penyejuk dan penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, dan pemelihara keanekaragaman hayati), pemelihara nilai sosial budaya dan daya tarik pedesaan (rural amenity), penyangga kestabilan ekonomi dalam keadaan krisis, penanggulangan kemiskinan (poverty alleviation), dan berbagai jasa lainnya.

Indikasi meningkatnya intensitas erosi dan meluasnya banjir dalam beberapa dekade terakhir, terkait dengan hilangnya sebagian fungsi lahan pertanian yang sudah beralih guna ke penggunaan non-pertanian, terutama ke areal perumahan dan industri. Dewasa ini pemahaman masyarakat terhadap fungsi pertanian pada umumnya masih terbatas pada fungsi penghasil barang yang dapat dipasarkan (marketable products), sedangkan fungsi penghasil jasa publik (public services) masih belum banyak diketahui, ataupun masih diabaikan. Oleh karena itu, pemahaman masyarakat (termasuk pemerintah) terhadap multifungsi pertanian sangat diperlukan agar pertanian mendapat perlakuan dan penghargaan (reward) yang lebih layak sehingga dapat menjamin kelestarian usaha tani, mempertahankan kualitas lingkungan, dan memelihara stabilitas sosial ekonomi Indonesia.

Makalah ini merupakan sintesis dari serangkaian hasil penelitian multifungsi pertanian yang dilaksanakan di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah yang dilaksanakan tahun 2001 sampai 2003, dan berdasarkan tinjauan pustaka yang berkaitan dengan multifungsi pertanian.

PENGERTIAN MULTIFUNGSI PERTANIAN

Sebagai penyokong utama kehidupan, pertanian perlu dilihat dalam dimensi yang lebih luas, yaitu tidak hanya semata-mata sebagai penghasil produk pertanian yang tampak nyata dan dapat dipasarkan (tangible and marketable), tetapi juga sebagai penghasil jasa yang tidak tampak nyata (intangible). Kebanyakan dari jasa tersebut tidak/belum diperhitungkan di dalam sistem pasar yang ada sekarang

(non-marketable). Berbagai jasa atau fungsi positif yang disumbangkan oleh pertanian

dikenal dengan “Multifungsi Pertanian” (OECD, 2001).

Konsep multifungsi pertanian penting artinya dalam rangka mereposisikan peran sektor pertanian pada kedudukan yang semestinya, artinya memperhitungkan nilai berbagai jasa pertanian dan biaya untuk menghasilkan jasa tersebut yang dewasa ini masih berada di luar perhitungan ekonomi dan kebijakan (externalities). Tidak diperhitungkannya multifungsi pertanian menyebabkan sektor pertanian mudah dikalahkan oleh sektor lain, seperti sektor industri dan permukiman.

(4)

Multifungsi pertanian mencakup fungsi lingkungan (mitigasi banjir, pengendali erosi tanah, konservasi air tanah, penambat karbon atau gas rumah kaca, penyegar udara, pendaur ulang sampah organik, pemelihara keanekaragaman hayati), pemelihara tradisi, budaya, dan kehidupan pedesaan, penyedia lapangan kerja, serta basis bagi ketahanan pangan dan pertumbuhan ekonomi. Eom & Kang (2001) di Korea Selatan sudah mengidentifikasi 30 jenis multifungsi pertanian, 10 jenis diantaranya sudah populer atau memasyarakat. Hasil penelitian Irawan et al. (2004) di DAS Citarum, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah menunjukkan bahwa pengetahuan masyarakat tentang multifungsi pertanian masih rendah. Dari 10 sampai 13 jenis multifungsi pertanian yang sudah dikenal oleh masyarakat di negara maju, hanya 2 sampai 3 jenis multifungsi saja yang paling dikenal dan dipahami masyarakat, yaitu fungsi pemelihara pasokan air tanah, pengendali banjir, dan penyedia lapangan kerja. Fungsi ketahanan pangan yang lebih populer di kalangan pemerintahan tidak dianggap sebagai multifungsi oleh sebagian besar masyarakat karena ketahanan pangan sering disamakan dengan bahan pangan yang merupakan produk nyata yang dapat dipasarkan.

Multifungsi pertanian mempunyai sifat non-exludability, yaitu jasa yang dihasilkan dapat dinikmati secara cuma-cuma, tidak saja oleh petani yang menghasilkannya, tetapi juga oleh masyarakat luas. Multifungsi pertanian juga bersifat non-rivalry, yaitu masyarakat dapat menikmati jasa tersebut tanpa harus berkompetisi karena jasa tersebut merupakan milik umum (public goods).

Perbaikan kesuburan tanah sebagai hasil dari tindakan pemupukan dan konservasi bukan merupakan multifungsi pertanian karena manfaat tersebut hanya terbatas bagi lahan petani yang bersangkutan, sedangkan lahan di sekitarnya tidak mendapatkan manfaat tersebut (excluded). Akan tetapi pengurangan sedimentasi di daerah hilir dari hasil penerapan konservasi di daerah hulu dapat digolongkan sebagai multifungsi karena pengurangan sedimentasi memberikan manfaat bagi pengguna air di sepanjang aliran sungai di bagian hilir. Penambatan karbon (carbon

sequestration) sebagai hasil penerapan sistem pertanian berbasis pohon-pohonan

juga merupakan salah satu bentuk multifungsi pertanian karena terjadi pengurangan

konsentrasi CO2 di atmosfer yang mampu mengurangi kenaikan suhu udara global

(global warming). Perlambatan kenaikan suhu udara tidak hanya dinikmati oleh petani sebagai penghasil jasa, namun juga oleh masyarakat luas. Contoh lain dari multifungsi adalah daya tarik nilai budaya dan keindahan pedesaan (rural amenity). Keindahan dan keasrian pedesaan dapat dinikmati oleh siapa saja yang berkunjung ke pedesaan. Dibangunnya berbagai objek agrowisata merupakan cerminan bahwa masyarakat memerlukan rural amenity tersebut.

(5)

Multifungsi pertanian sering dirancukan dengan multiple cropping atau

multistrata farming system yang menghasilkan berbagai bentuk hasil pertanian.

Sebenarnya produk multiple cropping dapat dilihat dari dua sisi. Berbagai hasil tanaman seperti kacang-kacangan, biji-bijian, buah-buahan, dan sayur-sayuran merupakan hasil yang dapat dipasarkan sehingga bukan merupakan multifungsi. Akan tetapi dampak keanekaragaman hayati dan aksesibilitas berbagai produk pangan (salah satu bentuk ketahanan pangan) oleh penduduk di sekitarnya merupakan jasa yang tergolong multifungsi pertanian.

Penilaian multifungsi pertanian dengan menggunakan metode ekonomi merupakan cara yang tidak mudah, namun sangat diperlukan sebagai bahan masukan untuk penetapan kebijakan. Bahkan sebagian multifungsi seperti keanekaragaman hayati, ketahanan pangan, fungsi penyangga ekonomi (economic buffer) dalam keadaan krisis tidak dapat dinilai (atau belum ada metode penilaiannya) secara ekonomi.

Metode yang digunakan untuk valuasi ekonomi pada umumnya merupakan perhitungan tidak langsung (indirect method), antara lain replacement cost method (RCM), contingent valuation method (CVM), travel cost method (TCM), hedonic

cost method (HCM) (OECD, 2001; Yoshida, 2001; Yoshida & Goda, 2001; Chen

2001; Eom & Kang, 2001). Berbagai contoh lain dapat ditemukan dari hasil studi beberapa negara yang dikoordinir Food Agriculture Organization (FAO) di dalam http://www.fao.org/es/ESA/Roa/ROA-e/case_studies-e.htm.

Metode RCM menghitung multifungsi pertanian dalam bentuk biaya pengembalian suatu fungsi apabila fungsi tersebut menghilang. Sebagai contoh, apabila lahan sawah yang salah satu fungsinya adalah sebagai pengendali banjir menghilang atau berubah menjadi areal industri dan perumahan, maka untuk mengembalikan fungsi pengendalian banjir diperlukan misalnya dam pengendali banjir. RCM menghitung biaya pembangunan dan pemeliharaan dam per satuan volume air yang dapat ditampung dan per satuan waktu tertentu. Metode ini pernah dicoba oleh berbagai kalangan seperti Yoshida (2001) dan Agus et al. (2003).

Metode CVM populer juga disebut sebagai willingness to pay (WTP) atau kemauan/kesanggupan membayar dari sisi pengguna jasa dan willingness to accept (WTA) atau kesanggupan/kemauan menerima imbalan dari sisi penghasil jasa. Untuk suatu jasa tertentu, misalnya jasa mitigasi banjir, responden pengguna jasa (penduduk hilir dan/atau pemerintah) ditanya kesanggupannya untuk berkontribusi kepada petani penghasil jasa agar petani dapat melakukan atau mempertahankan kegiatan yang memberikan manfaat mitigasi banjir tersebut. Teknik WTP dapat dilakukan secara tersendiri atau dapat juga dilakukan bersamaan dengan WTA. Di dalam WTA petani penghasil jasa dijadikan responden untuk menjawab pertanyaan

(6)

berapa bayaran yang mau mereka terima untuk suatu tindakan mitigasi banjir. Metode ini sudah dicoba antara lain oleh Eom & Kang (2001) dan Manikmas & Agus (2004).

ALIH GUNA LAHAN PERTANIAN DAN KETAHANAN PANGAN

Pemerintah Indonesia telah menetapkan program ketahanan pangan sebagai prioritas utama dalam kebijakan pembangunan pertanian. Ini mencakup usaha-usaha untuk meraih kembali swasembada pangan yang pada tahun 1984 berhasil dicapai. Akan tetapi, usaha pencapaian swasembada pangan ataupun kecukupan pangan ini dihadapkan pada berbagai masalah, terutama masalah meningkatnya alih guna lahan pertanian ke non-pertanian.

Salah satu pemicu alih guna lahan pertanian ke penggunaan lain adalah rendahnya insentif bagi petani dalam berusaha tani dan tingkat keuntungan berusaha tani relatif rendah. Selain itu, usaha pertanian dihadapkan kepada berbagai masalah yang sulit diprediksi dan mahalnya biaya pengendalian seperti cuaca yang sulit diramalkan, serangan hama penyakit, tidak tersedianya sarana produksi, sulitnya pemasaran, dan berfluktuasinya harga produk pertanian. Pada sisi lain, impor beras yang terjadi, terutama pada waktu negara dalam keadaan surplus beras, ikut memperburuk permasalahan yang dihadapi petani karena harga beras impor pada umumnya lebih rendah dibandingkan dengan harga beras produksi dalam negeri. Kondisi ini memperlemah minat petani untuk berusaha tani, terutama di kalangan generasi muda yang selanjutnya berakibat pada meningkatnya laju alih-guna lahan pertanian. Alih guna lahan pertanian, terutama yang bersifat tidak dapat balik (irreversible), seperti alih guna dari lahan sawah ke areal permukiman dan industri, sangat berpengaruh pada fungsi sawah dalam menghasilkan berbagai jasa.

Alih guna lahan

Sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan kebutuhan penggunaan lahan untuk pertanian dan penggunaan lain di luar pertanian maka alih guna dari lahan hutan menjadi lahan pertanian dan dari lahan pertanian menjadi areal permukiman dan industri tidak dapat dielakkan. Namun sebagian dari alih guna lahan tersebut terjadi dari lahan pertanian yang justru mempunyai produktivitas tinggi menjadi lahan non-pertanian dan dari lahan hutan dengan lereng curam menjadi lahan pertanian tanaman semusim yang rentan terhadap berbagai bencana.

Hasil analisis oleh Irawan et al. (2001) menunjukkan bahwa dalam periode tahun 1981-1999, sekitar 30% (sekitar satu juta ha) lahan sawah di P. Jawa dan sekitar 17% (0,6 juta ha) di luar P. Jawa telah menyusut dan beralih guna ke

(7)

non-pertanian (Tabel 1), terutama ke areal industri dan perumahan (Agus et al., 2003). Walaupun pada periode tersebut juga terjadi pencetakan sawah baru (0,5 juta ha di P. Jawa dan 2,7 juta ha di luar P. Jawa), upaya ini belum mampu memecahkan masalah kecukupan pangan nasional karena tingkat produktivitas lahan sawah baru masih jauh lebih rendah daripada lahan sawah lama. Penyusutan lawan sawah ini sudah tentu akan meningkatkan ketergantungan pemerintah terhadap beras impor guna memenuhi kebutuhan pangan penduduk yang terus meningkat.

Tabel 1. Alih guna dan pencetakan lahan sawah di Indonesia dari tahun 1981-1999

Luas 1981 Beralih guna Pencetakan Selisih

ha

P. Jawa 3.491.000 1.002.055 518.224 -483.831

Luar P. Jawa 3.567.000 625.459 2.702.939 2.077.480

Indonesia 7.059.000 1.627.514 3.221.163 1.593.649

Sumber: Diolah oleh Irawan et al. (2001) dari BPS (1982-2000).

Pada umumnya lahan yang beralih guna tersebar pada areal lumbung beras nasional seperti di Pantura (pantai utara P. Jawa) dan di sekitar pusat pembangunan di dalam dan pinggir perkotaan. Daerah ini umumnya sudah dilengkapi dengan infrastruktur pengairan sehingga berproduktivitas tinggi (dapat berproduksi pada dua musim tanam setiap tahun).

Dengan asumsi bahwa lahan sawah yang dikonversi mempunyai produktivitas 5 ton gabah kering giling (GKG) per ha dalam musim hujan dan 3 ton GKG per ha dalam musim kemarau, maka jika alih guna lahan sawah tidak terjadi, produksi padi seharusnya menjadi 12,8 juta ton GKG per tahun (1,6 juta ha * 8 t GKG ha-1 tahun-1) lebih tinggi dari tingkat produksi sekarang. Jika dikonversi ke dalam beras dengan faktor rendemen 0,6, maka jumlah ini setara dengan 7,7 juta ton beras beras. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah beras impor seperti yang tertera pada Tabel 2. Ini berarti, dengan luas pencetakan sawah seperti tertera pada Tabel 1 dan tidak terjadi alih guna lahan sawah maka seharusnya Indonesia sudah surplus beras.

Ketahanan pangan dan impor beras

Ketahanan pangan mencakup pengertian jumlah pangan (quantity) yang cukup, mudah didapatkan (accessibility) oleh semua lapisan masyarakat, dan aman

(8)

(safety) untuk dikonsumsi. Dalam hal jumlah pangan, beras sering menjadi pokok bahasan utama.

Sawah merupakan penyedia utama beras. Luas panen padi sawah pada tahun 2003 adalah 11,5 juta ha, sedangkan luas panen padi gogo hanya sekitar 10% dari luasan tersebut. Pada tahun 2003 produksi beras dari sawah adalah 32,8 juta ton, sedangkan kontribusi dari lahan kering hanya sekitar 5% dari jumlah tersebut (Tabel 2). Dalam periode 1990 - 2003, sawah mampu memenuhi 85 sampai 100% dari kebutuhan beras dalam negeri. Tingkat ketergantungan Indonesia pada beras impor selama periode tersebut tertinggi pada tahun 1998 disebabkan tahun 1997 merupakan tahun El Nino sehingga cadangan beras Indonesia pada tahun 1998 sangat rendah. Kisaran jumlah impor beras dalam dekade terakhir berkisar antara 0,4 sampai 5,7 juta ton.

Tabel 2. Luas panen, produksi, produktivitas, dan impor beras Indonesia tahun 1990-2003 Tahun Luas panen Produktivitas Produksi gabah Produksi beras Impor beras x 1.000 ha t ha-1 x 1.000 t 1990 10.502 4,30 45.179 29.366 29 1991 10.282 4,35 44.689 29.048 178 1992 11.103 4,34 48.240 31.356 634 1993 11.013 4,38 48.181 31.318 0 1994 10.734 4,35 46.641 30.317 876 1995 11.439 4,35 49.744 32.334 3.014 1996 11.569 4,41 51.101 33.215 1.090 1997 11.141 4,43 49.377 32.095 406 1998 11.613 4,17 48.472 30.537 5.765 1999 11.963 4,25 50.866 31.118 4.183 2000 11.793 4,40 51.898 32.345 1.513 2001 11.415 4,39 50.181 31.283 1.400 2002 11.521 4,47 51.490 32.369 3.100 2003 11.488 4,54 52.138 32.846 2.400

Sumber: Arifin (2004) mengutip data dari berbagai sumber.

Impor beras merupakan langkah yang dapat dijustifikasi untuk mengisi defisit ketersediaan beras nasional apabila langkah lain untuk pengamanan cadangan beras sudah dilakukan. Akan tetapi meningkatnya ketergantungan terhadap beras impor akan menyebabkan pengurasan cadangan devisa negara. Selain itu, karena

(9)

Indonesia merupakan importir beras terbesar di dunia dewasa ini, peningkatan impor beras oleh Indonesia, misalnya dari 2 menjadi 4 juta ton per tahun akan mengakibatkan kenaikan harga beras dunia karena kuota perdagangan beras dunia per tahun hanya berkisar antara 12 sampai 15 juta ton. Selain itu, impor hanya dapat berlangsung apabila dunia (terutama negara eksportir dan importir) berada dalam keadaan aman. Apabila negara berada dalam keadaan bahaya seperti perang atau bencana alam, ketergantungan kepada impor akan sangat berisiko. Oleh karena itu, kemampuan untuk menghasilkan beras atau pangan di dalam negeri (self reliance) jauh lebih aman dibandingkan dengan ketergantungan pada beras impor.

Keberadaan lahan pertanian (sawah) tidak saja penting dalam hal luas total lahan, tetapi juga penting dari segi penyebarannya. Sawah yang tersebar luas di seluruh wilayah nusantara penting dalam arti lebih terdistribusinya beras sampai ke pelosok pedesaan. Selain itu, bagi petani miskin, memproduksi beras/pangan di lahannya sendiri akan meningkatkan kemampuan mereka mendapatkan (access) pangan tanpa harus mengeluarkan uang yang belum tentu tersedia.

FUNGSI PERTANIAN DALAM BIDANG LINGKUNGAN Mitigasi banjir

Mitigasi banjir (disebut juga sebagai daya sangga air) dari lahan pertanian adalah kemampuan lahan pertanian untuk menahan air hujan untuk sementara waktu selama dan sesaat sesudah peristiwa hujan. Air hujan ditahan oleh tajuk (kanopi) tanaman, tergenang di permukaan tanah, atau diserap oleh pori tanah.

Hamparan sawah dapat dilihat sebagai kumpulan kolam-kolam alami atau dam-dam kecil penampung air hujan sebelum mengalir secara perlahan ke badan-badan air (sungai, danau). Di daerah-daerah dengan tingkat curah hujan tinggi, fungsi sawah ini menjadi sangat penting karena mampu mencegah atau mengurangi terjadinya debit air maksimum penyebab banjir di bagian hilir suatu kawasan DAS. Peran sawah ini sejak dulu tidak pernah berubah, tetapi luas lahan sawah terus menyusut karena beralih guna ke areal permukiman dan industri. Daya sangga air (mitagasi banjir) lahan sawah ditentukan oleh perbedaan tinggi pematang dengan tinggi muka air sebelum hujan. Sumbangan tajuk padi dan simpanan air pada pori tanah sangat kecil karena kecil luas total permukaan daun relatif kecil dan kadar air tanah relatif tetap (keadaan jenuh) sebelum dan sesudah peristiwa hujan.

Untuk lahan hutan, kapasitas tajuk tanaman dalam menampung air cukup tinggi, demikian pula kapasitas pori tanah karena struktur tanah hutan relatif bagus, serasah yang tebalnya juga dapat terisi air, dan dalamnya sistem perakaran.

(10)

Daya sangga air beberapa macam penggunaan lahan disajikan pada Gambar 1. Secara umum dapat dilihat bahwa daya mitigasi banjir lahan hutan paling tinggi, kemudian diikuti oleh lahan pertanian berbasis pohon-pohonan dan lahan sawah. Lahan pertanian tanaman semusim mempunyai nilai mitigasi banjir yang rendah dan areal perumahan dan industri mempunyai daya mitigasi banjir paling rendah. Dengan demikian, semakin meluas areal perumahan dan industri, semakin rentan hilir suatu DAS terhadap banjir.

0 20 40 60 80 100 120 140 160 D ay a s a ng ga a ir ( mm)

Kapasitas intersepsi tajuk 35 3 25 5 0

Kapasitas genangan 10 92 10 20 10

Absorpsi pori tanah 106 0 80 23 10

Hutan Sawah Kebun

Campuran Tegalan

Pemukiman/ Industri

Gambar 1. Daya sangga air (daya mitigasi banjir) berbagai tipe penggunaan lahan (Agus et al., 2003)

Pengendali erosi

Tingkat erosi berbagai tipe penggunaan lahan berbeda-beda, atau dengan kata lain daya kendali berbagai penggunaan lahan terhadap erosi berbeda-beda pula. Hutan, dengan tajuk bertingkat, penutupan permukaan tanah yang tebal oleh serasah, dan kapasitas infiltrasi tanahnya yang tinggi mempunyai daya sangga yang tinggi terhadap erosi. Erosi di lahan hutan primer biasanya tidak lebih dari 3 t ha-1 tahun-1. Semakin sedikit tajuk tanaman dan semakin sedikit penutupan permukaan tanah, semakin rendah pula daya kendalinya terhadap erosi. Dengan demikian, lahan dengan sistem pertanian berbasis tanaman pohon-pohonan dan adanya serasah yang menutupi permukaan tanah tingkat erosinya lebih rendah dibandingkan dengan lahan yang digunakan untuk pertanian tanaman semusim (Tabel 3).

(11)

Tabel 3. Erosi tanah pada berbagai penggunaan lahan di DAS Citarum, Jawa Barat berdasarkan prediksi dengan menggunakan Universal Soil Loss Equation

Daerah aliran sungai Penggunaan lahan

Saguling Cirata Jatiluhur

t ha-1 tahun-1 Hutan 0,1 0,2 0,1 Perkebunan teh 23 27 10 Perkebunan karet - 9 11 Sawah 0,3 0,4 1,4 Belukar 1,1 1,6 0,5

Lahan kering pangan 22 61 40

Sumber: Sutono et al. (2003).

Lahan sawah mempunyai proses erosi yang unik. Teras sawah dengan galengan atau pematang berfungsi menahan air di dalam petakan. Genangan air berfungsi melindungi permukaan tanah sawah dari pukulan air hujan. Apabila terjadi dispersi (pelepasan butir dari agregat tanah), maka pada sistem teras berpematang yang laju aliran air permukaannya dari satu teras ke teras berikutnya sangat lambat akan memungkinkan bagi butir tanah yang terdispersi tersebut untuk mengendap sehingga tidak hanyut terbawa air. Bahkan jika air irigasi yang masuk ke persawahan mengandung lumpur, lumpur tersebut berpeluang besar untuk mengendap dan tidak hanyut ke sungai.

Erosi tanah dari hamparan sawah lebih rendah dari 2 t ha-1 tahun-1, dan ini hampir sama rendah dengan erosi dari hutan primer (Tabel 3 dan 4). Selain fenomena kecilnya erosi dan besarnya deposisi pada teras sawah, data pada Tabel 3 juga menunjukkan bahwa erosi tanah dalam jumlah yang agak besar hanya terjadi pada waktu dan beberapa saat sesudah pengolahan tanah (pembajakan dan pelumpuran); tetapi sedimen yang terangkut tersebut sebagian besar akan mengendap pada petakan sawah di bawahnya sehingga erosi total yang keluar dari lahan sawah relatif kecil. Data ini menunjukkan bahwa sedimen yang mengendap (terdeposisi) di petakan lahan sawah jauh lebih besar dibandingkan dengan sedimen yang keluar dari petakan tersebut. Dengan kata lain sawah pada lahan berlereng dapat dianggap sebagai sistem penyaring (filter) sedimen.

(12)

Table 4. Hasil pengamatan erosi tanah pada 18 petak lahan sawah dengan luas total 2.515 m2 selama dua musim tanam padi di Ungaran, Jawa Tengah

Pertama Kedua Sedimen terangkut

1 Nov’01-31 Jan’02 16 Mar-30 Jun’02

Total sedimen yang masuk ke petakan sawah melalui air irigasi

864 kg (3,4 t ha-1)

1.567 kg (6,2 t ha-1) Total sedimen yang keluar dari

petakan sawah

347 kg (1,4 t ha-1)

210 kg (0,8 t ha-1) Sedimen yang mengendap (terdeposisi)

pada petakan

517 kg (2 t ha-1)

1357 kg (5,4 t ha-1) Sedimen yang terangkut keluar petakan

saat pengolahan tanah

181 kg (0,7 t ha-1)

165 kg (0,6 t ha-1) Sumber: Kundarto et al. (2002).

Pemelihara keindahan alam pedesaan dan keanekaragaman hayati

Keindahan panorama alam pedesaan dengan hamparan lahan pertanian yang berwarna-warni mempunyai daya tarik bagi penduduk yang jenuh dengan keadaan di perkotaan. Untuk menikmati keasrian alam pedesaan, penduduk perkotaan bersedia mengeluarkan dana untuk transportasi, penginapan, dan konsumsi di pedesaan. Daya tarik ini biasanya juga dilengkapi dengan keunikan tatanan sosial budaya pedesaan yang jauh berbeda dengan keadaan di perkotaan.

Selain indah dan asri, lingkungan lahan pertanian, terutama yang terdiri atas berbagai sistem penggunaan lahan, juga menjadi habitat bagi berbagai burung, mamalia, serangga, binatang kecil, mikroflora, dan fauna karena lingkungan pertanian menyediakan makanan yang berlimpah bagi perkembangbiakannya. Fungsi konservasi sumber daya hayati yang diberikan lahan pertanian ini menjadi penopang keberlanjutan ekosistem yang harmonis bagi generasi penerus.

Penambat karbon dan pembersih udara

Karbon dioksida (CO2) merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat

menghalangi radiasi gelombang panjang yang dilepaskan bumi. Jumlah karbon di

atmosfer diperkirakan sekitar 765 Pg (1 petogram = 1015 g) dengan perubahan

tahunan (annual flux) melalui penambatan (fotosintesis) oleh tanaman sebesar 90-130 Pg dan pelepasan (emisi) ke atmosfer sebesar 40-60 Pg (Paul & Clark, 1996).

(13)

memperbesar emisi sehingga jumlahnya di atmosfer meningkat yang menimbulkan efek rumah kaca atau pemanasan global.

Peristiwa fotosintesis tidak saja merubah karbon dioksida menjadi karbohidrat tetapi juga menghasilkan oksigen yang memberi efek segar (refreshing) bagi udara di sekitarnya. Selain itu, tanaman juga mampu menyerap bahan-bahan

pencemar di udara seperti SO2 dan NO2 sehingga berfungsi sebagai pembersih

udara. Sistem pertanian yang paling efektif dalam menambat karbon adalah sistem pohon-pohonan (Tabel 5). Penebangan dan pembakaran pohon menghasilkan gas CO2 dan memperburuk masalah pemanasan global.

Pendaur ulang sampah organik

Pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan standar dan gaya hidup masyarakat akan meningkatkan jumlah konsumsi pangan yang sekaligus meningkatkan jumlah produksi sampah organik dan anorganik. Berbagai jenis mikroba perombak bahan organik di dalam tanah mampu mengubah sampah ini menjadi zat-zat hara yang diperlukan tanaman. Selain itu, bahan organik di dalam tanah juga berkontribusi dalam memperbaiki struktur tanah. Oleh karena itu, pengembalian atau pembuangan sisa-sisa tanaman dan sampah organik ke lahan pertanian tidak saja akan meningkatkan bahan organik dan unsur hara tanah, tetapi juga mengurangi biaya penumpukan sampah yang dapat mencemari lingkungan. Proses pengujian diperlukan untuk memastikan bahwa sampah organik tersebut tidak mengandung logam berat dan bahan berbahaya lainnya sebelum digunakan untuk pertanian.

Nilai ekonomi fungsi lingkungan lahan sawah

Agus et al. (2003) menilai beberapa fungsi lingkungan lahan sawah dengan menggunakan sistem estimasi ekonomi RCM di DAS Citarum. Luas lahan sawah di DAS Citarum adalah sekitar 160.000 ha (Wahyunto et al., 2001). Hasil penilaian menunjukkan bahwa nilai fungsi lingkungan lahan sawah di DAS ini bernilai sekitar 51% dari nilai jual produk yang dihasilkan lahan sawah ini (51% * $181.342.667 tahun-1 = $94.484.760 tahun-1. Dengan demikian fungsi lingkungan lahan sawah per ha adalah $94.484.760 tahun-1 : 160.000 ha = $570 tahun-1 atau setara dengan Rp 5.202.260 ha-1 tahun-1.

Nilai multifungsi lahan sawah sejumlah Rp 5.202.260 ha-1 tahun-1 tersebut belum memperhitungkan berbagai fungsi penting lain seperti fungsi ketahanan pangan, penyangga ekonomi dalam keadaan krisis, kesempatan kerja, dan sebagainya. Namun berdasarkan pengalaman, misalnya bila terjadi kekurangan atau

(14)

isu kekurangan beras (masalah ketahanan pangan), maka akan terjadi rush untuk menumpuk beras di kalangan distributor dan konsumen yang selanjutnya dapat mendatangkan kekacauan (chaos) yang biaya sosialnya sangat tinggi.

IMPLIKASI

Selain menghasilkan produk nyata yang bisa dipasarkan, pertanian mempunyai berbagai fungsi (multifungsi) dengan nilai yang signifikan. Sebagian dari fungsi tersebut dapat dinilai secara perhitungan ekonomi tidak langsung (indirect valuation), namun sebagian besar lainnya tidak dapat dinilai secara ekonomi karena terbatasnya metode valuasi yang tersedia. Dengan demikian berbagai penilaian multifungsi cenderung di bawah nilai taksiran yang sebenarnya (under estimate).

Arah pembangunan dewasa ini lebih banyak berorientasi pada perhitungan ekonomi langsung dan sedikit sekali memperhatikan aspek biaya dan kontribusi sosial dari suatu penggunaan lahan. Berbagai kebijakan, baik di pusat maupun di daerah, cenderung terfokus pada kegiatan yang memiliki keuntungan ekonomi jangka pendek dan belum banyak menyentuh multifungsi pertanian. Petani sebagai penghasil jasa multifungsi pertanian yang hasilnya dinikmati secara gratis oleh semua lapisan masyarakat sering menghadapi berbagai kendala usaha tani yang penuh risiko (cuaca yang sulit diramalkan, serangan hama penyakit, kesulitan pemasaran hasil, dan harga yang berfluktuasi). Akibatnya, minat petani mengembangkan usaha tani, khususnya bagi generasi muda terus menurun. Kondisi ini menjadi salah satu pemicu terjadinya alih guna lahan pertanian ke non-pertanian. Alih guna lahan pertanian ke non-pertanian berdampak pada pemborosan biaya pembangunan infrastruktur pertanian, peningkatan ketergantungan Indonesia terhadap produk pertanian impor, dan mengancam kelestarian sumber daya alam. Oleh karena itu, pertanian perlu direposisikan pada kedudukan yang lebih pantas. Hal ini dapat diwujudkan dengan meningkatkan insentif dan memperkecil kendala (disincentive) dalam berusaha tani. Apabila yang dinilai dari pertanian hanya produk barang yang nyata (tangible) yang dapat dipasarkan (marketable) saja, maka akan beresiko terhadap semakin meningkatnya alih guna lahan dan selanjutnya menurunkan kualitas lingkungan, ketahanan pangan, dan kestabilan sosial ekonomi.

(15)

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F., R. L. Watung, H. Suganda, S.H. Tala’ohu, Wahyunto, S. Sutono, A. Setiyanto, H. Mayrowani, A.R. Nurmanaf, and M. Kundarto. 2003. Assessment of environmental multifunctions of paddy farming in Citarum river basin, West Java, Indonesia. hlm.1-28 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konservasi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Arifin, B. 2004. Perlukah Indonesia berswasembada beras? Makalah disajikan pada Pekan Padi Nasional II di Sukamandi 15-19 Juli 2004.

Chen, M. 2001. Evaluation of environmental services of agriculture in Taiwan. p. 169-189 In Proceedings International Seminar on Multifunctionality of Agriculture, 17-19 October. 2001. JIRCAS, Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).

Eom, K.C. and K.K. Kang. 2001. Assessment of environmental multifunctions of rice paddy and upland farming in the Republic of Korea. p. 37-48 In Proceedings International Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS., Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary

Edition).

Irawan, B., S. Friyatno, A. Supriyatna, I.S. Anugrah, N.A. Kirom, B. Rachman, dan B. Wiryono. 2001. Perumusan Model Kelembagaan Konservasi Lahan Pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Irawan, E. Husen, Maswar, R.L. Watung, dan F. Agus. 2004. Persepsi dan apresiasi masyarakat terhadap multifungsi pertanian: Studi Kasus di Jawa Barat dan Jawa Barat. hlm. 23-45 Dalam Prosiding Seminar Multifungsi Pertanian dan Konservasi Sumber Daya Lahan. Bogor, 18 Desember 2003 dan Januari 2004. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Bogor. Kundarto, M., F. Agus, A. Maas, and B.H. Sunarminto. 2002. Water balance, soil

erosion, and lateral transport of N, P, K in rice field system of Sub Watershed Kalibabon, Semarang. Paper presented at Preliminary Seminar of Multifuntionality of Paddy Field, Bogor 2, October 2002.

Manikmas, O.A., and F. Agus. 2004. The Environmental Roles of Agriculture in Indonesia (Java, CVM Case Study). FAO (http://www.fao.org/es/ESA/ Roa/ROA-e/case_studies-e.htm)

OECD (Organization of Economic Cooperation and Development). 2001. Multifunctionality: Towards an Analytical Framework. OECD. Paris. 159 p. Paul, E. A. and F.E. Clark. 1996. Soil Microbiology and Biochemistry. Academic

(16)

Sutono, S., S.H. Tala’ohu, O. Sopandi, and F. Agus. 2003. Erosi pada berbagai penggunaan lahan di Das Citarum. hlm. 113-133 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi dan Konversi Lahan Pertanian. Bogor, 2 Oktober dan Jakarta, 25 Oktober 2002. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Wahyunto, M. Zainal Abidin, A. Priyono, dan Sunaryo. 2001. Studi perubahan penggunaan lahan di Sub DAS Citarik, Jawa Barat dan DAS Kaligarang, Jawa Tengah. hlm. 39-63 Dalam Prosiding Seminar Nasional Multifungsi Lahan Sawah. Bogor, 1 Mei 2001. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.

Yoshida, K. 2001. An economic evaluation of the multifunctional roles of agriculture and rural areas in Japan. Technical Bulletin 154, August 2001 Food & Fertilizer Technology Center (FFTC). Taiwan.

Yoshida, K. and M. Goda. 2001. Economic evaluation of multifunctional roles of agriculture in hilly and mountainous areas in Japan. p.191-200 In International Seminar on Multi-Functionality of Agriculture, 17-19 October 2001. JIRCAS. Tsukuba, Ibaraki, Japan (Preliminary Edition).

Gambar

Gambar 1.  Daya sangga air (daya mitigasi banjir) berbagai tipe penggunaan lahan  (Agus et al., 2003)

Referensi

Dokumen terkait

Kepada organisasi mahasiswa (IOMS/BEM/UKM) yang telah mengirimkan proposal lengkap dan belum lolos seleksi akhir pada tahun ini, kami ucapkan terima kasih

Berdasarkan hasil penelitian, materi pembelajaran mata kuliah Berbicara bahasa Inggris untuk Pustakawan program studi Perpustakaan dan Informasi adalah Importance of

Oleh itu, kajian ini bertujuan untuk menyelidiki sejauhmanakah Undang-undang mengenai Pemerdagangan Wanita dan Kanak-Kanak yang ada sudah mencukupi untuk menghalang

Perkuliahan ini membahas konsep struktur Lewis, struktur resonansi, hibridisasi, teori Ikatan Valensi, teori Ikatan Orbital Molekul, teori VSEPR (Valence-Shell

Seiring perkembangnya jaman, dalam menggunakan bahasa pemrograman PHP, seorang programmer cenderung lebih memilih menggunakan framework dan juga CSS yang

Organisasi  pengetahuan  yang  dimiliki  juga  meningkatkan  belajar.  Bahan  ajar  yang  terorganisir  dengan  baik  tentunya  akan  lebih  mudah 

Kata budaya (culture) sebagai konsep berakar dari kajian atau disiplin ilmu antropologi, dan merupakan suatu identitas dari tiap-tiap bangsa.Budaya merupakan pola yang