• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK KRIMINAL dari sudut pandang SIst

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "POLITIK KRIMINAL dari sudut pandang SIst"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

POLITIK KRIMINAL 1.1 Intisari

Dalam penjelasan yang disampaikan oleh pengajar ketika memberikan tugas, disampaikan bahwa politik kriminal umumnya adalah keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara1. Keputusan yang dimaksud tentu saja

berkaitan dengan kriminal (kejahatan; pelanggaran hukum yang dapat dihukum menurut Undang-Undang). Untuk bisa menjelaskan apa itu politik kriminal, pengajar memberikan contoh mengenai peradilan bagi para penganut ajaran komunis yang diterapkan di Indonesia, tetapi sekarang ini peradilan itu sudah tidak ada seiring dengan berubahnya jaman, yang berdampak pula pada kebijakan pemerintahan yang tengah berkuasa. Contoh lain yang disampaikan adalah terkait dengan money laundering (pencucian uang), dimana pada jaman pemerintahan Presiden Soeharto, masalah ini bukan merupakan hal penting yang dijadikan salah satu fokus penegakan hukum di negara ini. Ketika itu, pemerintahan Soeharto yang gencar menggalakkan pembangunan di segala sektor membutuhkan dana besar guna mensukseskannya, untuk itu pemerintah membuka kran investasi seluas-luasnya bagi para investor asing yang akan menanamkan modalnya di negara ini. Terkait dengan upaya itu, guna menjaring dana segar sebanyak-banyaknya, pemerintah tidak mempermasalahkan asal-muasal dana investasi yang digunakan oleh para pengusaha asing yang ingin memperluas bisnisnya di Indonesia. Dan benar saja, saat kebijakan ini diberlakukan, antusias pebisnis asing untuk masuk ke Indonesia mengalami kemajuan sehingga mampu membantu percepatan laju pertumbuhan ekonomi negara ini yang ketika itu tengah memfokuskan diri membangun infrastruktur.

Dalam salah satu buku karangan Prof. Mardjono istilah politik kriminal dan kebijakan kriminal memiliki pemahaman yang sama. Istilah ini diartikan “the explicit or implicit standing plan than an organization or government uses as a guide to action”2. Kata aksi yang dimaksud dalam kalimat tersebut adalah dalam rangka menanggulangi terjadinya kejahatan. Dimana pada umumnya

1 Disampaikan oleh Prof. Mardjono Reksodiputro ketika memberikan penjelasan tugas Ujian Akhir Semester mata kuliah Sistem Peradilan Pidana, Program Magister Hukum Universitas Indonesia pada tanggal 9 Desember 2014.

(2)

berbentuk prinsip sebagai tujuan dan memuat program guna mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan.

Adalah hal yang wajar, ketika tiap pemerintahan memiliki suatu kebijaksanaan atau policy tersendiri yang menjadi acuan guna merealisasikan program kerjanya. Tentu dalam hal ini ada kebebasan dari masing-masing era untuk menetapkan arah policy-nya yang berdampak pada keputusan memidanakan suatu penyimpangan atau kejahatan di masyarakat. Keputusan ini disesuaikan dengan perkembangan masyarakat, tidak hanya masyarakat di dalam negeri tetapi juga masyarakat Internasional. Salah satu contoh paling jelas adalah yang sudah disampaikan sebelumnya yakni terkait dengan money laundering. Peraturan tentang kejahatan pencucian uang di Indonesia merupakan reaksi atas kebijakan dunia Internasional yang memandang jenis kejahatan ini sudah meresahkan terutama dalam kaitannya dengan terorisme, mafia narkoba, korupsi dan kejahatan transnasional lainnya. Di saat dunia Internasional memeranginya, pemerintah di dalam negeri pun ikut serta dengan cara meratifikasi Undang-Undang mengenai hal tersebut. Hal ini merupakan satu dari sejumlah kebijakan kriminal yang diambil pemerintah dalam rangka menanggulangi kriminalitas sebagai salah satu gejala sosial kemasyarakatan.

Kebijakan kriminal oleh Prof. Mardjono dijelaskan sebagai komponen yang diperlukan selain strategi sosial untuk menajga agar angka kriminalitas masih berada pada batas toleransi masyarakat3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

ini dapat diperinci menjadi 4:

 Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;

 Menyelesaikan kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat puas bahwa

keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana; serta

 Berusaha agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

menguangi perbuatannya (menjadi residivis).

Selain ketiga hal yang sudah dirumuskan di atas, Kebijakan kriminal yang diterapkan oleh pemerintah juga diharapkan mampu untuk mengurangi keinginan pelanggaran aturan pidana dan memenuhi rasa keadilan yang hidup di masyarakat5. Tentunya upaya menerapkan kebijakan kriminal dalam sistem

3 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 92

(3)

peradilan pidana yang berlaku di Indonesia tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan keterpaduan dalam pelaksanaan kebijaksanaan kriminal oleh komponen yang ada pada sistem peradilan pidana. Komponen yang dimaksud adalah polisi (penyidikan), jaksa (penuntutan), hakim (pengadilan), lembaga pemasyarakatan (pemasyarakatan). Keterpaduan diantara empat komponen sistem peradilan pidana ini bisa terwujud jika seluruh komponennya menjadikan kebijakan kriminal sebagai pedoman kerjanya. Ini wajib dilakukan karena proses penegakan hukum yang diketahui dan diselesaikan melalui sistem peradilan pidana hanyalah merupakan puncak gunung es. Ini terjadi lantaran masih banyak kejahatan atau tindak pidana yang tidak terlihat, tidak dilaporkan (atau tidak diketahui seperti misalnya “kejahatan yang korbannya tidak dapat ditentukan” atau “crimes without victims”) sehingga tidak dapat diselesaikan6. Agar sistem peradilan pidana bisa efektif, syarat utama

yang wajib dilakukan oleh komponennya adalah keterpaduan kerja yang diarahkan kebijakan kriminal atau yang dikenal dengan “pendekatan terpadu” (integrated approach)7. Keterpaduan antar komponen dalam sistem peradilan pidana, bisa diibaratkan sebuah arloji dimana terdapat seperangkat roda gigi yang harus cermat dan ulet menjaga kombinasi yang baik antara masing-masing roda gigi agar dapat menunjukkan waktu secara tepat8. Namun, meski secara

teoritis konsep ini merupakan hal yang ideal namun pada kenyataannya seringkali masing-masing komponen kerap bekerja sendiri-sendiri dengan motivasi kerja yang berbeda dan tidak mengindahkan perlu adanya kebijakan kriminal9. Minoru Shikita (ketua Asia Prevention Foundation) seperti dikutip

Prof. Mardjono menjelaskan tiga kerugian yang dapat timbul apabila SPP mengabaikan “keterpaduan”, yakni10 :

 Sukar untuk salah satu sub sistem dalam SPP mengevaluasi keberhasilan

atau kegagalan instansinya, akibat adanya ketergantungan satu sama lain.

 Sangat sukar untuk suatu sub-sistem memecahkan masalahnya sendiri

dan terpisah dari sub-sistem yang lain.

6 Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana,

Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 6.

7 Ibid

8 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Loc Cit.

9 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 93.

(4)

 Tanggung jawab pelaksanaan proses dalam SPP secara efektif begitu

tercampur diantara semua sub-sistem, sehingga satu sub-sistem saja biasanya tidak cukup merasa berrtanggungjawab atas efektivitas keseluruhan SPP.

Seperti yang telah disampaikan sebelumnya mengenai politik kriminal11, hal ini bukanlah sekedar “hasil perumusan” bersama, tetapi politik

kriminal atau yang juga dikenal sebagai kebijakan kriminal (strafrechtelijke beleid) merupakan hasil (resultante) dari berbagai kewenangan dalam negara yang bekerja bersama-sama dalam menanggulangi masalah kriminal. Sehingga penerapannya dimulai sejak dari pembuat undang-undang yang menyediakan aturan hukum pidana serta kewenangan maupun pembatasan dalam pelasanakan aturan hukum. Yang kemudian dilanjutkan oleh Kepolisian dan Kejaksaan sebagai pelaksana penegakan hukum dalam proses penyidikan dan penuntutan. Serta Pengadilan sebagai penguji kebijakan penyidikan dan penentukan dan menentukan pemidanaan jika telah terbuktu bersalah. Lalu bermuara pada Lembaga Pemasyarakatan sebagai pelaksana pidana yang dijatuhkan pengadilan12.

Sebagai hasil berbagai kewenangan dalam negara berbentuk keputusan, politik kriminal memiliki proses perumusan yang secara sederhana adalah sebagai berikut13 :

 Merumusakan masalah (problem definition);

 Merumuskan kebijakannya (policy formulation);

 Memilih kebijakan sesuai dalam kondisi tertentu (policy selection,

legislation);

 Pelaksanaan (implementation);

 Evaluasi (evaluation);

 Penyesuaian kebijakan (policy adjustment).

Dari seluruh proses di atas, salah satu tahap yang kerap tidak dilakukan adalah evaluasi14. Tahapan ini semestinya dilakukan oleh pihak ketiga yang sifatnya

11 Lihat pembahasan pada hal 1 mengenai politik kriminal yang umumnya adalah keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.

12 Mardjono Reksodiputro, Op Cit hal 93 - 94

13 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Op Cit hal 29

(5)

netral untuk bisa mengetahui efektivitas kebijakan yang telah dibuat. Tentunya hasil analisisnya harus jujur agar tujuan yang telah dirumuskan bisa tercapai secara maksimal.

Kaitannya dengan perumusan tersebut, terdapat fenomena menarik yang terjadi di masyarakat Indonesia yakni makin banyaknya peraturan baru yang memuat sanksi pidana didalamnya. Hal ini dinilai berlebihan oleh Prof Mardjono Reksodiputro. Menurutnya, produk hukum akhir-akhir ini dibuat tanpa memperhitungkan kemampuan yang ada sehingga tidak dapat digunakan/diterapkan. Contoh yang disampaikan antara lain mengenai jalur bus transjakarta, dimana peraturan yang ada memuat sanksi pidana, padahal semestinya cukup dikenalan sanksi administratif. Hal inilah yang olehnya menjadi penyebab terjadinya devaluasi nilai15. Guna mengantisipasi inflasi

delik dan devaluasi nilai ini, diusulkan oleh Prof. Mardjono untuk dilakukan

Manajemen Hukum.

Ada baiknya, dalam proses perumusan kebijakan kriminal, mereka yang terlibat didalamnya melihat masalah dengan kacamata lebih luas. Ini dilakukan guna memaksimalkan pilihan rumusan agar dapat ditemukan kebijakan terbaik yang selanjutnya dirumuskan menjadi undang-undang. Misalnya terkait larangan narapidana menerima kunjungan keluarga karena kerap diselundupkan telepon seluler, makanan, dan barang lain yang dilarang. Aturan ini oleh Prof. Mardjono dinilai tidak menguntungkan bagi para narapidana, karena pembuat kebijakan “tidak mau repot”. Akan lebih baik, jika sebelum aturan dibuat, dicari penyebab mengapa fenomena tersebut bisa terjadi. Karena ada indikasi terjadinya penyelundupan barang yang dilarang ke dalam penjara merupakan akibat dari penjagaan yang kurang ketat dari para petugas, ataupun kurang tegasnya para sipir kepada para narapidana, terlepas dari kemungkinan “permainan” para sipir untuk mengeruk keuntungan dari penghuni penjara atau tahanan. Jika memperhatikan penyebab lain yang membuat pelanggaran terjadi dengan lebih jujur tentunya bisa didapati kebijakan kriminal yang adil dan bisa mencegah terjadinya pelanggaran. Contoh lain yang disampaikan terkait hal ini adalah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai menenggelamkan kapal nelayan yang “merampok” hasil laut

(6)

Indonesia. Kebijakan ini dinilai berlebihan oleh pengajar karena sejumlah sebab, yakni :

 Kapal yang ditembak merupakan kapal kecil yang terbuat dari kayu;

 Pemerintah Tidak akan berani menenggelamkan kapal besar yang justru

merupakan ‘perampok” ikan sesungguhnya karena jika ini dilakukan akan berdampak panjang terutama mengenai ketegangan politik yang dimungkinkan terjadi antara Indonesia dengan negara asal kapal tersebut. Untuk itu, kembali diingatkan agar Penegakan Hukum yang dilakukan semestinya dilakukan dengan benar. Jika tidak dapat melaksanakannya, mengapa tidak dipilih kebijakan lain yang bisa menguntungkan banyak pihak, seperti merampas kapal yang kedapatan mencuri atau bahkan merampok ikan. Lalu dibuatlah pengadilan cepat guna mengadili para pelanggar batas teritorial negara kita, dan hasil perampasan itu dilelang untuk kemudian uang yang didapat diberikan kepada nelayan sebagai tambahan modal usaha. Sementara para nelayan yang kedapatan melakukan pencurian dikembalikan ke negaranya dengan biaya pemerintah negara mereka masing-masing.

1.2 Pembahasan

Secara etimologi, politik16 diartikan sebagai pengetahuan mengenai

ketatanegaraan atau kenegaraan(seperti tentang sistem pemerintahan, dasar pemerintahan); segala urusan dan tindakan (kebijakan, siasat, dsb); cara bertindak (dalam menghadapi atau menangani suatu masalah). Kata politik17

yang berasal dari bahasa Yunani yakni politikos dalam memiliki arti dari, untuk atau yang berkaitan dengan warga negara; proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat khususnya dalam negara. Kata ini masih berhubungan dengan polisi, kebijakan. Dalam bahasa Belanda dikenal dengan politiek, sementara dalam bahasa Inggris adalah politics. Dari sudut pandang yang lain dapat pula diartikan sebagai berikut :

 Politik adalah usaha yang ditembuh warga negara untuk mewujudkan

kebaikan bersama (teori klasik Aristoteles)

(7)

 Politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan

dan negara

 Politik merupakan kegiatan yang diarahkan untuk mendapatkan dan

mempertahankan kekuasaan di masyarakat

 Politik adalah segala sesuatu tentang proses perumusan dan pelaksanaan

kebijakan publik

Sementara kriminal18 merupakan hal yang berkaitan dengan kejahatan

(pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut Undang-Undang; pidana. Secara etimologi, dapat disimpulkan bahwa politik kriminal merupakan usaha yang ditempuh terkait penyelenggaraan pemerintahan dan negara, dengan merumuskan dan melaksanakan kebijakan publik tentang segala hal yang berkaitan dengan kejahatan (pelanggaran hukum) atau pidana.

Oleh para ahli, politik kriminal atau yang juga dikenal sebagai kebijakan kriminal (criminal policy) didefinisikan antara lain sebagai berikut :

 Mengutip salah satu laman yang mengutarakan definisi dari Prof.

Sudarto 19, disitu kebijakan kriminal dijelasakan sebagai “suatu usaha

yang rasional dari masyarakat untuk menangulangi kejahatan”. Definisi ini merupakan hasil telaah tulisan Marc Ancel yakni “the rational organization of the social reaction to crime by society”. Lebih lanjuut jika dirinci, maka pengertian ini bisa dijabarkan ke dalam tiga poin utama, yakni :

1. Dalam arti sempit merupakan keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti luas adalah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi 3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan melalui

perundangan dan badan resmi yang bertjuan menegakkan norma sentral di masyarakat.

(8)

 G. Peter Hoefnagel seperti dikutip blog milik bardanawawi20

menyampaikan “criminal policy is the rational organization of the social reaction to cime; criminal policy is the science of responses; criminal policy is the science of crime prevention; criminal policy is a rational total of the responses to crime”

Berdasar pendapat Hoefnagels, kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan penal (kebijakan hukum pidana) dan non penal (kebijakan tanpa melibatkan huku pidana) 21.

Kebijaksanaan (policy/ beleid) dan kebijakan (wisdom/wijsheid) secara implisit memuat arti dan istilah diskresi (discretion/freies Ermessen) yang diartikan dengan kebebasan memilih dan atau memutuskan/ menentukan menurut pendapat sendiri22.

“kebijaksanaan sebenarnya dapat dirumuskan sebagai perilaku dari sejumlah pemeran baik pejabat secara perorangan, kelompok kekuatan politik atau kelompok pakar ataupun instansi/lembaga pemerintah yang terlibat dalam suatu bidang kegiatan tertentu yang diarahkan pada rumusan masalah/permasalahan sehubungan dengan adanya hambatan tertentu. Untuk selanjutnya mengacu pada tindakan atau tindakan berpola yang mengarah pada tujuan seraya mencari peluang untuk mencapai tujuan dan /atau mewujudkan sasaran yang ingin dicapai”23

Kebijaksanaan atau kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan publik merupakan upaya menanggulangi masalah kejahatan yang tidak lepas dari perubahan wacana dalam proses pembuatan kebijakannya. Selama ini ia hanya dipahami sebagai ranah Sistem Peradilan Pidana (SPP), yang dalam hal ini adalah negara. Padahal kebijakan kriminal tak hanya mengenai penegakan hukum tetapi juga upaya pencegahan hukum yang dilakukan secara menyeluruh hasil kolaborasi terlembaga antara masyarakat sipil, swasta dan pemerintah. Sayangnya, dalam pelaksanaannya, kebijakan kriminal sebagai bentuk kebijakan

20 Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, http://bardanawawi.blogspot.com/bunga-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.00 wib.

21 Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia, http://lbh-inpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-indonesia, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.10 wib.

22 Hendra Nurtjahjo, Ed, Kebijaksanaan , Hirarki, Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Depok, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cetakan petrtama tahun 2004, hal 170.

(9)

publik untuk menanggulangi masalah kejahatan belum melibatkan aktor non SPP24.

Dari pendapat sejumlah ahli diatas, dapat dirumuskan bahwa kebijakan kriminal merupakan usaha menanggulangi kejahatan baik penegakan maupun pencegahan yang dilakukan aparatur penegak hukum tentunya dengan melibatkan masyarakat. Produk yang dihasilkan tentunya adalah Keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah dan bersifat mengikat terhadap seluruh warga negara Indonesia. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Mardjono ketika menjelaskan mengenai politik kriminal25.

Dalam penerapannya, hukum sebagai produk politik memandang bahwa hukum merupakan formalisasi atau kristalisasi dari kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan26. Namun, keduanya saling

memperngarugi dengan pola Hukum determinan atas politik karena kegiatan politik diatur oleh dan harus tunduk pada aturan hukum. Politik pun juga determinan atas hukum karena hukum merupakan hasil kristalisasi kehendak politik yang saling berinteraksi dan saling bersaingan. Politik dan hukum meruapak sub sistem kemasyarakatan berada pada posisi yang derajat determinasinya seimbang antara yang satu dengan yang lain karena meskipun hukum merupakan produk keputusan politik, tetapi begitu ada maka semua kegiatan politik juga harus tunduk pada aturan hukum27. Itulah sebabnya

interaksi antara politik dan hukum kaitannya dalam Kebijakan Kriminal begitu kuat. Sehingga Prof. Mardjono sempat menyampaikan bahwa politik kriminal merupakan keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.

Tentunya hal ini berkaitan dengan corak pemerintahan yang tengah berkuasa karena politik adalah mengenai kekuasaan dan cara mempertahankannya28. Mahfud MD dalam bukunya menyatakan 29:

“Produk hukum sangat dipengaruhi oleh politik, bukan saja dalam pembuatannya tetapi juga dalam kenyataan empirisnya. Kegiatan legislatif (pembuatan UU) dalam keyataannya memang lebih banyak membuat keputusan politik dibandingkan denagn menjalankan pekerjaan hukum

24 Ibid

25 Lihat pembahasan pada hal 1 mengenai politik kriminal yang umumnya adalah keputusan pada saat tertentu dalam sejarah sebuah negara.

26 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, Jakarta : Pustaka LP3ES, 1998, hal 6. 27 Ibid hal 8

(10)

yang sesungguhnya lebih-lebih jika pekerjaan hukum dikairkan denagn masalah prosedur. Tampak jelas bahwa lembaga legislatif sebenarnya lebi dekat dengan politik daripada hukum itu sendiri.”

Lebih lanjut dijelaskan bahwa politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi30:

 Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan dan pembaruan

terhadap materi hukum agar dapat sesuai dengan kebutuhan (dikenal dengan politik legislasi31);

 Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi

lembaga dan pembinaan para penegak hukum.

“Politik hukum Indonesia sesungguhnya berorientasi pada cita-cita negara hukum yang didasarkan atas prinsip demokrasi yang berkeadilan ssosial dalam suatu masyarakat bangsa Indonesia yang bersatu sebagaimana yang tertuang dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945”.32

Meski cita-cita sudah tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, namun dinamika yang ada terlihat jelas bahwa hukumlah yang terpengaruh politik, karena sub sistem politik memiliki konsentrasi energi yang lebih besar daripada dengan hukum33. Kuatnya energi politik ini kerap membuat otonomi hukum di Indonesia

diintervensi oleh politik bukan hanya dalam proses pembuatannya tetapi juga dalam implementasinya34.

“hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman”35

Dari kalimat tersebut dapat diinterpretasikan bahwa dalam prakteknya hukum menjadi cermin kehendak pemegang kekuasaan politik sehingga tidak sedikit orang yang kemudian berpandangan bahwa hukum sama dengan kekuasaan. Dengan memperhatikan siapa yang terlibat baik langsung ataupun tidak langsung dengan kebijaksanaan negara, ada sejumlah konsep yang bisa dijadikan acuan agar kebijaksanaan negara bermakna dan dirasakan manfaatnya

30 Ibid

31 Dr. Saldi Isra, SH, LLM, Fungsi Legislasi setelah Perubahan UUD 1945, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010, hal 128

32 Abdul Hakim G Nusantara, SH, LLM, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Huku Indonesia, cetakan pertama tahun 1988, hal 20

33 Daniel S. Lev seperti dikutip Moh. Mahfud MD, Op Cit hal 13 34 Ibid

(11)

atau didasari kepentingan untuk mencapai yang dicita-citakan bersama. Beberapa konsep itu adalah36 :

 Kebijaksanaan negara seyogyanya merupakan tindakan yang mengarah

pada tujuan dan bukan sebagai perilaku atau tindaka yang secara acak dan kebetulan, dengan kata lain tindakan yang benar-benar direncanakan.

 Kebijaksanaan bukan merupakan keputusan yang berdiri sendiri namun

pada hakekatnya merupakan rangkaian tindakan yang saling terkait dan berpola yang akan dilaksanakan yang mengarah pada tujuan tertentu.

 Kebijaksanaan menyangkut paut dengan apa yang secara nyata dilakukan

oleh pemerintah dalam bidang-bidang tertentu .

 Kebijaksanaan negara mungkin berbentuk positif, mungkin pula

negataif. Dalam bentuk positif umumnya dibuat berlandaskan hukum dan kewenangan tertentu dan akan mencakup beberapa tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi atau mengatasi masalah tertentu. Sebalinya dalam bentuk negatif meliputi kepytusan dari pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun dalam masalah dimana campur tangan pemerintah justru diperlukan.

Konsep yang disampaikan diatas, jika dikaitkan dengan contoh politik kriminal yang diberikan oleh Prof. Mardjono bisa dikatakan relevan37. Adalah benar jika

kebijaksanaan atau kebijakan yang dilakukan meyogyanya direncanakan dengan baik, dan karena kebijakan ini juga memiliki dampak negatif, akan lebih bijak bila dibahas lebih lanjut keterpaduan diantara pihak yang memiliki andil didalamnya. Karena jika keputusan yang diambil merupakan hal yang reaktif dan sepihak bukan tidak mungkin justru hasil buruk yang akan didapat, apalagi jika dampak buruk yang ada terjadi dalam jangka waktu panjang. Tentu ini bukanlah tujuan yang diharapkan dari pembentukan suatu perundangan yang dimaksudkan untuk mensejahterakan rakyat.

Produk hukum yang dihasilkan dari kebijaksanaan negara dapat dilihat dari berbagai sudut teoritis. Karakter produk hukum seperti dikutip Mahfud MD dari Nonet dan Selznick serta Marryman, bisa dibedakan atas38 :

36 Hendra Nurtjahjo, Ed, Ibid hal 180.

37 Lihat pembahasan pada point 1.1 mengenai contok politik kriminal yang dilakukan Kementrian Kelautan dan Perikanan serta pelarangan tahanan menerima kunjungan keluarga di halaman 6

(12)

 Hukum otonom dan hukum menindas

Peraturan Kasar dan terperinci

tetapi hanya

Diskresi Merata; oportunistik Dibatasi oleh peraturan; pendelegasian sangat terbatas

Pemaksaan Luas sekali;

pembatasannya lemah

Dikontrol oleh pembatasan hukum

Moralitas Moralitas komunal; moralitas hukum; moralitas pemaksaan

Moralitas kelembagaan, yaitu diikat oleh pemikiran tentang integritas dari proses hukum Kaitan politik Hukum ditundukkan

kepada politik

 Hukum responsif dan Hukum Ortodoks

(13)

yang ampuh bagi pelaksanaan ideologi dan program negara. Hukum merupakan perwujudan nyata visi sosial pemegang kekuasaan negara.

Sedangkan pembangunan hukum responsif, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu dalam masyarakat. Strategi pembangunan hukum responsif bersifat responsif terhadap tuntutan berbagai kelompok sosial dan individu dalam masyarakatnya.

Berdasar uraian mengenai produk hukum diatas, Indonesia sebagai negara hukum yang menganut sistem civil law, produk hukum yang dihasilkan merupakan Hukum Otonom dan Hukum Orthodoks.

Ketika kebijakan sudah diputuskan, maka penegakan hukum wajib dilaksanakan. Penegakan hukum yang dimaksud menurut Satjipto Raharjo seperti dikutip Topo Santoso adalah proses mewujudkan keinginan hukum menjadi kenyataan. Keinginan hukum sendiri diartikan sebagai pikiran badan pembuat Undang-Undang yang dirumuskan dalam peraturan hukum. Pada prosesnya penegakan hukum juga menjangkai sampai pada pembuat hukum dan dilaksanakan oleh para penegak hukm yang merupakan komponen negara39.

Untuk mewujudkan hukum sebagai ide, Satjipto menyampaikan bahwa dibutuhka suatu organisasi yang kompleks, dan negara harus campur tangan dalam perwujudan hukum yang abstrak karena ternyata harus mengadakan berbagai macam badan untuk keperluan tersebut. Dalam hal ini kita mengenal Pengadilan, Kejaksaan, Kepolisian, Pemasyarakatan dan Badan Peraturan Perundang-Undangan40. Lebih lanjut disampaikan bahwa ketika membicarakan

hukum dalam konteks organisasi berarti mempermasalahkan orang, tingkah laku orang, fasilitas, dan kultur organisasi. Seluruh hal tersebut, oleh Topo Santoso dipetakan ke dalam sejumlah masalah yakni kurangnya profesionalisme, mafia peradilan dan hilangnya nurani dalam penegakan hukum.

Mafia peradilan oleh Topo Santoso kemudian dijelaskan dalam beberapa pola pada sub-sistem peradilan pidana. Pada tingkat penyidikan, pola penyimpangannya berupa permintaan uang operasional untuk mempercepat

(14)

perkara atau menghentikan penyidikan/ penyelidikan, negosiasi pasal yang digunakan, pemerasan dengan menerapkan pasal berat untuk menakuti, dsb. Pada tahap penuntutan, pola penyimpangan yang terjadi misalnya negosiasi perkara (tawar menawar pasal dalam dakwaan), mengulur waktu, menerapkan pasal atau ketentuan yang lemah agar terdakwa bebas, manipulasi barang bukti, dsb. Di pengadilan, penyimpangan yang terjadi diantaranya permintaan yang jasa, penentuan majelis hakim untuk perkara”basah” atau “kering”, memperlambat proses untuk meminta uang, negosiasi dalam perubahan jenis tahanan, dsb41.

Tentunya dengan terjadinya penyimpangan yang dilakukan aparatur penegak hukum, maka seperti yang disampaikan oleh Prof. Mardjono, perlu adanya kemerdekaan/kemandirian Lembaga Hukum yang dalam hal ini dikhususkan pada kehakiman. Lembaga ini berdasar pembagian kekuasaan yang ada, harus benar-benar dipisahkan dari pengaruh legislatif dan eksekutif. Seperti yang disampaikan sebelumnya, hukum dan politik jika berinteraksi, hukum akan menjadi bagian yang lemah akibat dari energi politik yang determinasinya lebih kuat. Bukan hal yang mudah, tetapi jika criminal policy dari pemerintah dilaksanakan secara konsisten dengan tujuan memerdekakan lembaga kehakiman, maka bukan tidak mungkin hal ini bisa terwujud, dan penyimpangan aparatur penegak hukum bisa teratasi.

Roscoe Pound adalah orang yang pertama menganjurkan penegakan hukum harus diawali oleh kerja hakim untuk membuat law yang difungsikan sebagai tool of social engineering. Law as a tool of social engineering juga mesti diiringi dengan kearifan yang disebut a bit wit of social engineering42.

1.3 Kesimpulan

Politik kriminal atau yang dikenal dengan Kebijakan Kriminal merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemrintah dalam upaya untuk menanggulangi masalah kejahatan. Warna atau corak kebijakan kriminal bergantung dari pemerintah yang berkuasa ketika kebijakan itu dibuat. Lebih

41 Ibid hal 368 - 370

(15)

ekstrem lagi, Prof Mardjono menyampaikan Politik Kriminal ini belum tentu nasional akibat multikulturalisme yang ada di Indonesia43.

Upaya penanggulangan kejahatan dilakukan dengan menegakkan hukum dan mencegah kejahatan. Dalam hal menegakkan hukum, dibutuhkan peran sub-sistem Peradilan Pidana, yakni Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Pemasyarakatan, dan Badan Peraturan Peundangan. Tentu bukan hal mudah untuk bisa menegakkan hukum ketika dalam penyelenggaraannya ditemukan penyimpangan oleh para penegak hukum. Terkait hal ini, perlu difungsikan dengan benar sejumlah lembaga yang semestinya memiliki peran dalam mengevaluasi dan mengawasi jalannya penegakan hukum oleh masing-masing sub-sistem. Lembaga yang dimaksud adalah Kompolnas, Komisi Kejaksaan, dan lembaga eksternal lainnya.

Sementara itu, kaitannya dengan kebijakan kriminal, interaksi antara politik dan hukum dalam prosesnya memang kerap kali dimenangkan oleh politik, sehingga dalam hal ini dibutuhkan effort dari para penguasa untuk mendahulukan kepentingan rakyat diatas kepentingan pribadi atau golongan seperti yang diamanatkan dalam Undang-Undang. Memang butuh waktu untuk bisa merubah pola penyimpangan yang telah terjadi. Tetapi ada baiknya bila ini dimulai sejak saat ini, bukan tidak mungkin perubahan bisa terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum Yang Adil, Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa, Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013

Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007

(16)

Mardjono Reksodiputro, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007

Hendra Nurtjahjo, Ed, Kebijaksanaan , Hirarki, Perundang-Undangan dan Kebijakan dalam Konteks Pengembangan Hukum Administrasi Negara di Indonesia, Depok, Pusat Studi Hukum Tata Negara FHUI, cetakan pertama tahun 2004

Dr. Saldi Isra, SH, LLM, Fungsi Legislasi setelah Perubahan UUD 1945, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010

Abdul Hakim G Nusantara, SH, LLM, Politik Hukum Indonesia, Jakarta : Yayasan Lembaga Bantuan Huku Indonesia, cetakan pertama tahun 1988

Topo Santoso,SH,MH,PhD, Polisi, Jaksa, Advokat, Hakim dan Problem Penegakan Hukum Di Indonesia, merupakan salah satu artikel dalam buku Bunga Rampai : Potret Penegakan Hukum Di Indonesia, Jakarta : Komisi Yudisial Republik Indonesia, cetakan kedua Mei 2010

Politik, http://kbbi.web.id/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember

Politik, http://id.m.wikipedia.org/wiki/politik, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014

Kriminal, http://kbbi.web.id/kriminal, diakses pada sabtu, 17 Desember 2014

Kebijakan kriminal (criminal policy), http://hukum-itu.blogspot.com/kebijakan-kriminal-criminalpolicy.html,diakses pada sabtu, 17 Desember 2014

Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, http://bardanawawi.blogspot.com/bunga-rampai-kebijakan-hukum-pidana.html, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.00 wib.

Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia,

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil penelitian, kelembapan udara tertinggi terdapat pada ruangan ASP-B sebesar 68 % hal ini disebabkan karena suhu pada ruangan tersebut agak rendah

Yang dimaksud dengan asas “tanggung jawab” adalah, bahwa Pemerintah Daerah mempunyai tanggung jawab pengelolaan sampah dalam mewujudkan hak masyarakat terhadap lingkungan

Untuk menilai seberapa angka ketidaklengkapan data yang ada pada lahan penelitian di Rumah Sakit Umum Sinar Kasih Purwokerto, pada bulan November.. 2012 peneliti

Di sisi lain, hasil metaanalisis ini juga menunjukkan bahwa komunikasi orang tua- remaja memiliki peran yang lebih kuat dalam menjelaskan perilaku seksual remaja

menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara suhu udara dengan keberadaan jentik nyamuk Aedes aegypti di Kelurahan Wonokusumo.. Rata-rata suhu optimum untuk

[r]

Pada subjek penelitian ditemukan bahwa semua subjek penelitian mengakui peran yang begitu besar dari LSM dalam mendampingi dan memberikan pengetahuan yang benar

Mahalnya biaya pendidikan telah menyebabkan pendidikan yang semula adalah proses humanisasi (memanusiakan manusia) telah berubah menjadi dehumanisasi atau secara