Kebun binatang di Jalan Cikini kemudian dirombak menjadi TIM, dengan panggungpanggung yang waktu itu boleh dikata modern.
Namun demikian, yang patut dicatat adalah pembangunan TIM bukan saja sesuai dengan tuntutan perkembangan sistem sosial internal masyarakat kota metropolitan Jakarta, melainkan juga karena meningkatnya sistem komunikasi internasional. Senimanseniman dari luar negeri, banyak yang datang ke Indonesia. Dengan adanya TIM, kebutuhan pentas mereka bisa terpenuhi. Adanya hubungan dengan dunia luar merupakan suatu yang sangat penting dalam dunia kesenian: baik dalam meningkatkan teknik, pengetahuan, maupun wawasan, sehingga perkembangan bangsa Indonesia pun tidak terlepas dari perkembangan global.
Selain itu, pada akhir tahun 1960an telah ada empat perguruan tinggi tari, yaitu Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) di Surakarta, dan Akademi Seni Tari Indonesia (ASTI) di Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar. Keempat perguruan tinggi tersebut, belum memiliki panggung sebaik atau semodern yang ada di TIM. Karena itu, TIM pun kemudian menjadi tempat diadakannya pertunjukanpertunjukan tari nasional dalam lingkup nasional. Dengan demikian TIM, yang waktu itu dikelola oleh Dewan Kesenian Jakarta, menduduki posisi yang sangat bermakna bagi perkembangan dunia tari (dan juga musik, teater, sastra, dan seni rupa) di Indonesia. Banyak seniman besar yang kemudian lahir dari lingkungan TIM ini.
5.3.3 Nonpermanen, Semipermanen dan Permanen
Jika di atas telah disinggung bahwa sistem organisasi atau manajemen pertunjukan itu ada yang permanen dan ada yang tidak. Demikian pula pembangunan panggung pertunjukannya: ada yang dibuat sementara (nonpermanen), semipermanen (setengahpermanen), dan yang permanen.
Panggung nonpermanen dibuat untuk sementara saja. Setelah pertunjukan usai, panggung tersebut dibongkar. Panggungpanggung untuk hajatan keluarga yang hanya diperlukan sesaat, seperti telah dikatakan di atas, adalah panggung yang tidak permanen. Dahulu, panggung seperti itu biasanya memakai bahanbahan (kayukayu, bambu) yang dipinjam dari sesama warga seperti misalnya bahanbahan yang dikumpulkan untuk pembangunan rumah. Karena itu, ukurannya pun tidak ada yang standar. Bahkan, pinggir panggung pun sering tidak rata karena bahanbahan pin
jaman tersebut tidak boleh dipotong. Panggung didirikan secara gotong royong, yang memakan waktu satu atau dua hari tergantung dari besarnya panggung dan tempat penonton (undangan).
Dengan demikian, keber hasilan suatu pertunjukan se cara tradisional bukan hanya diukur dari kualitas atau ke mampuan kesenimanannya saja, melainkan juga dari sisi kemam puan seniman dalam memba ngun kerapian atau keserasian komunikasi antarwarga. Kedua hal itulah, kemampuan teknik berkesenian dan kemampuan hidup bermasyarakat yang menentukan popularitas atau penghargaan sosial terhadap se orang seniman atau rombongan kesenian bersangkutan. Tidak jarang terjadi adanya seniman yang memiliki kemampuan ting gi tapi kurang begitu disukai oleh warga lainnya, dan sebaliknya.
Kita tahu bahwa kemam puan warga masyarakat berbeda satu sama lain: ada yang kaya, ada yang miskin, dan ada pula yang sedangsedang saja. Ada juga orang yang peduli pada kesenian, ada juga yang tidak. Itu semua akan berpengaruh pada fasilitas yang disediakan untuk suatu pertunjukan. Singkatnya, pertunjukan merupakan hasil kompromi terbaik dari idealisme seniman, fasilitas yang ada, yang berbedabeda pada setiap tempat dan waktu.
Di berbagai wilayah, kini banyak orang yang menyediakan
Gbr. 5-24: Panggung sewaan: tiang-tiangnya terbuat dari besi, atapnya dari terpal, sehingga kokoh dan lebih mudah untuk bongkar-pasang.
Gbr. 5-25: Panggung nonpermanen untuk pertunjukan Tari Jajar dari kelompok Mudika di Keuskupan Menado: kerangkanya umumnya dibuat dari bambu, bahan relatif murah, atau yang bisa dipakai ulang untuk keperluan lain.
Gbr. 5-26: Tarian yang dipertunjukan sebagai rangkaian upacara ulu ambek di Minangkabau: panggung dibuat nonpermanen tapi sangat khusus dengan mengikuti aturan-aturan adat.
panggung sewaan. Selain itu, grupgrup kesenian yang sering sekali meng adakan pentas, banyak yang memiliki perlengkapan panggung sendiri bukan hanya untuk panggung pertunjukannya melainkan juga untuk tempat para undangannya. Bahkan, kebanyakan “panggung paket” atau portabel ini telah dilengkapi dengan peralatan listrik dan sistem pengeras suara milik grup kesenian yang kaya dan memiliki kendaraan sendiri pula untuk angkutannya, truk untuk peralatan panggung, dan bus untuk pemainnya. Dengan demikian, grup kesenian seperti ini mempersiapkan panggungnya sesuai dengan kebutuhan pentas, tidak lagi bergantung pada fasilitas yang dibuat pihak pengundang. Hal ini juga berarti, kerjasama teknis antara pengundang dan yang diundang makin mengecil.
Panggung semipermanen dibuat bukan hanya untuk keperluan ketika itu saja, melainkan bisa dipakai untuk berbulanbulan, bahkan bertahun tahun. Ukuran waktunya tidak bisa ditentukan untuk berapa lama bangunan itu diharapkan bisa bertahan. Mungkin saja ada yang dibuat semipermanen, tapi kemudian bisa bertahan sampai belasan tahun. Namun demikian, yang dimaksudkan dengan semipermanen, bukan saja bangunan itu tidak akan tahan terlalu lama, dan relatif lebih murah biaya membangunnya, melainkan juga jika kelak bangunan tersebut dibongkar, sebagian besar bekas bangunan itu bisa dipindahkan atau dipakai lagi. Bangunan yang sebagian besar dibuat dari tembokan atau betonan, tentu tidak bisa dikatakan semipermanen. Tapi, jika tiangtiangnya dari kayu, dan fondasinya dibuat relatif sederhana, kemungkinan itu merupakan bangunan semipermanen.
Bangunan untuk pertunjukan dengan memakai tiket, banyak juga yang dibangun secara tidak permanen, misalnya dengan kerangka bambu dan atap seng atau alangalang yang dirancang untuk tahan hanya 1 atau 2 bulan saja. Pertunjukan ketoprak, sandiwara (Jawa), bangsawan (melayu), opera Batak (Sumatera Utara), biasa melakukan pertunjukan keliling, dari kota ke kota atau dari kampung ke kampung, dengan membangun
Gbr. 5-27: Tarian dari Dayak, Kalimantan Timur, yang dipertunjukkan dalam acara festival kesenian di Jawa Timur: panggungnya nonpermanen, bahkan portabel, yang mudah dibongkar-pasang.
Gbr. 5-28: Suatu pertunjukan di dalam bangunan semipermanen (ukuran desa), di mana penonton aktif berpartisipasi melemparkan saweran (uang).
panggung dan tempat penonton yang dikelilingi dinding bambu, sehingga yang bisa melihat hanyalah mereka yang membeli tiket masuk. Akan tetapi, ada juga yang dibangun semipermanen, atau pun secara permanen.
Bangunan permanen adalah bangunan yang didirikan, dibangun untuk jangka waktu yang lama dan tidak berpindahpindah, karena secara konstruksi memang tidak bisa dipindahkan. Tetapi suatu bangunan per manen bisa beralih fungsi sesuai dengan kepentingan dan kegunaannya. Banyak gedung permanen yang memang didirikan sejak awal untuk tem pat pementasan. Oleh sebab itu, gedung tersebut dikenal sebagai gedung pertunjukan. Tata ruangnya dirancang sebagai gedung pertunjukan. Di dalamnya terdapat beberapa ruang yang paling pokok harus ada dalam gedung pertunjukan, yakni: 1) ruang pementasan (panggung atau arena); 2) ruang penonton (auditorium); 3) ruang rias dan busana; 4) ruang orkes/ musik; 5) ruang operator tata suara dan tata lampu.
Gedunggedung permanen ada juga yang tidak hanya untuk pertun jukan, melainkan digunakan juga untuk kegiatan/peristiwa lain. Dengan demikian, tempat pertunjukan yang permanen itu belum tentu merupakan gedung yang khusus untuk pertunjukan. convention hall di Jakarta, GOR (gelanggang olah raga) di berbagai wilayah, gedung resepsi penikahan, dan lainlain adalah bangunanbangunan permanen yang dibuat untuk berbagai keperluan.
Gbr. 5-32: Tarian Dayak yang dipertunjukkan di balai pertemuan besar, bangunan permanen dari kayu.
Gbr. 5-31: Pertunjukan tarian Sasak di Lombok, dalam bangunan permanen terbuka di depan rumah.
Gbr. 5-30: Tari kijang anak-anak sekolah Muhammadiyah di Surakarta yang dipertunjukkan di panggung di dalam hotel: bangunan permanen tapi bukan panggung khusus profesional.
Gbr. 5-33: Tari Seudati dari Aceh yang dipertunjukkan dalam panggung permanen, dengan dekorasi yang portabel berlatar belakang ornamen Aceh.
5.3.4 Arena dan Prosenium
Dalam dunia seni pertunjukan, ada dua jenis panggung yang penting kita ketahui, yang disebut arena dan prosenium. Kedua panggung ini bukan hanya berbeda dari sisi desain atau konstruksinya saja, melainkan juga penting, baik bagi seniman, maupun penontonnya.
5.3.4.1 Arena
Yang disebut panggung arena adalah tempat penontonnya berada di tiga sisi, yaitu depan, sisi kanan dan sisi kiri. Nama lain untuk ini adalah tapal kuda karena bentuk tiga sisi itu biasa juga berbentuk setengah lingkaran, sehingga mirip sepatu kuda. Bentuk panggung seperti ini adalah yang paling tua dalam sejarah seni pertunjukan. Teater Yunani berupa teater arena, yang merupakan bangunan terbuka. Tidak ada jarak pada baris penonton pertama dengan garis tempat pementasan. Pada zaman Romawi, bentuk teater dikembangkan sebagai tempat pertunjukan yang bersifat tontonan atau hiburan yang terpisah dari peristiwa religi, tetapi prinsip dasar dari bentuk bangunannya tidak banyak mengalami perubahan.
Bentuk panggung dan posisi penonton tentu saja mempengaruhi konsep penyajian tari. Jika suatu pertunjukan akan dilihat dari 3 arah, tentu konsepnya pun akan berbeda dengan yang ditonton dari satu arah seperti dalam panggung prosenium (dibicarakan di bawah). Dalam panggung arena, umpamanya, lebih sulit untuk dilakukan desaindesain
gerak yang hanya efektif jika dilihat dari pandangan depan. Hal itu bukan hanya berbeda konsepnya dari sisi koreografer, melainkan juga akan terasa bedanya oleh penarinya. Kita bisa bayangkan, ketika berada di tengah suatu kerumunan yang mengelilingi dan memperhatikan kita, akan berbeda rasanya ketika kita menghadap kelompok yang berkerumun dari satu arah.
Apalagi bagi penari yang tampil untuk ditonton, arah penonton menjadi sangat penting. Halhal yang menyangkut masalah teknis, misalnya jumlah penari, pola lantai, arah gerak penari, dan sebagainya, sangat berkaitan dengan bentuk panggung dan posisi penonton.
Keluarmasuknya penari dalam panggung arena umumnya juga lebih variatif, misalnya dari arah belakang dan depan, dan dari keempat
Keterangan: A = Ruang rias B = Tempat musik C = Arena pentas D = Tempat duduk penonton
E = Ruang pengatur tata suara dan tata cahaya Gbr. 5-34: Denah Panggung Arena (tampak atas).
sudut, selain dari samping kiri dan kanan seperti umumnya dalam pang gung prosenium. Namun demikian, adanya peluang untuk mengatur keluarmasuknya penari tidak berarti bahwa main di panggung arena lebih mudah, atau lebih enak dibanding dengan di panggung prosenium.
Pertama, membuat banyak variasi belum tentu membuat karya menjadi
lebih baik, dan kedua, justru peluang itu merupakan juga tantangan, karena di panggung arena umumnya lebih sulit untuk membuat “tipuantipuan” panggung, yang bisa menutupi kekurangankekurangan dari segi teknis.
Setting properti panggung dan pencahayaan untuk teater arena pun
memiliki kesulitan tersendiri yang berbeda dengan panggung prosenium. Jadi, adanya jenisjenis tempat pertunjukan dapat memberi rangsangan dalam menumbuhkan daya kreasi si koreografer. Rangsangan ini, tentu saja, bukah hanya untuk panggung arena dan prosenium, melainkan juga di panggungpanggung halaman, lapangan, dan lain sebagainya, yang pada masa kini banyak dicari (dieksplorasi) oleh para seniman.
5.3.4.2 Prosenium
Perbedaan prinsip antara panggung prosenium dan arena terletak pada sisi dan arah hadap penontonnya. Untuk panggung prosenium, arah hadap penonton hanya dari satu arah, yaitu dari depan, sehingga koreografinya pun difokuskan pada penonton yang ada di depannya. Selain itu, “bingkai” depan dari panggung prosenium merupakan kotak persegi yang memberi batas (bingkai) pada pandangan penonton, sehingga fungsinya seperti bingkai bioskop, layar televisi, atau bingkai lukisan. Karena itu pula, dalam percaturan kalangan seni pertunjukan, panggung prosenium sering disebut panggung berbingkai.
Hal lain yang membedakannya dengan arena, dalam panggung prosenium umumnya terdapat layar depan yang bisa ditutup dan dibu ka yang tidak terdapat dalam panggung arena. Layar itu berfungsi untuk pergantian adegan atau untuk mengawali dan mengakhiri pertunjukan. Selain itu, back-drop (layar belakang), merupakan perlengkapan yang khas panggung prosenium. Pernahkah kalian menonton ludruk atau janger Banyuwangi di Jawa Timur, wayang wong di Sriwedari, wayang gong di Kalimantan, atau bangsawan di wilayah budaya Melayu? Layar belakang nya terdiri dari bermacammacam lukisan yang bisa digantiganti, digu lung dan diurai, untuk menjadi latar belakang suatu adegan, misalnya bergambar istana, hutan, pegunungan, dan lain sebagainya.
Panggung prosenium dengan layarlayar bergambar inilah yang kemudian banyak digunakan pada pementasan berbagai drama atau
dramatari tradisional di kawasan Asia Tenggara. Dramatari Manora dan pertunjukan Likay di Bangkok, Thailand, juga pada pertunjukan tari istana Kamboja Kakhon Khol, sejak awal abad ini dimainkan dalam panggung prosenium. Jenisjenis teater atau sandiwara seperti disebut di atas, yang populer sejak tahun 20an, dan merupakan bentuk pertunjukan yang menjadi pionir dalam pengembangan panggung prosenium di tanah air. Kala itu, sampai sekitar awal tahun 60an, jenis pemanggungan ini dianggap teater modern. Kini, gaya pemanggungan seperti ini masih dapat disaksikan, terutama di desadesa atau di pingirpinggir kota. Sedangkan panggungpanggung prosenium modern masa kini umumnya tidak lagi memakai latar belakang gambar seperti itu.
Di samping kiri kanan panggung, terdapat semacam penyekat yang disebut side wing (sayap pinggir). Dari selasela wing itulah, pemain keluarmasuk. Dengan adanya wing ini, pandangan penonton ke panggung menjadi “bersih,” tidak ada yang tampak kecuali yang memang sengaja ditampakkan oleh pemainnya. Jika di atas dibicarakan bahwa konsep ruang dalam tari itu ibarat lukisan dalam kanvas yang dibatasi bingkainya, maka pandangan penonton terhadap panggung prosenium ini lebih mendekati pandangan terhadap kanvas lukisan.
Model panggung prosenium merupakan pengaruh dari gedung gedung pertunjukan di Barat. Bentuk gedung prosenium muncul sejak pertengahan pertama abad 16 di Eropa Barat, dan baru masuk ke Asia Tenggara pada penghujung abad 19. Berdasarkan hasil penelitian pada tahun 1899, panggung prosenium yang pertama kali didirikan di kawasan Asia Tenggara terdapat di Rangoon, Kamboja. Adanya layar bergambar ini konon dipengaruhi oleh rombonganrombongan ballet dari Eropa atau rombongan opera dari Cina yang saat itu mengadakan pertunjukan keliling di kawasan Indochina (Kamboja, Laos, Burma, dan Vietnam).
Hal penting lainnya yang perlu dicatat adalah antara panggung pementasan dengan tempat duduk penonton terdapat jarak yang sangat tegas. Tempat duduk penonton diatur secara berderet, bersapsap dari depan ke belakang. Untuk gedunggedung pertunjukan komersial, deretan kursi dari depan ke belakang berdampak pada harga tiket. Harga tiket untuk beberapa jajaran bagian depan biasanya yang termahal, deretan bagian tengah yang sedang; dan deretan bagian belakang yang paling murah harga tiketnya.
Keterangan:
A = Back drop (layar belakang) B = Area pentas (panggung pentas) C = Side wing (sisi kanan dan kiri panggung) D = Bingkai prosenium
E = Tempat musik F = Tempat duduk penonton
G = Lobby (ruang tunggu penonton sebelum memasuki auditorium) Catatan: ruangan di belakang back-drop bisa sangat luas, untuk tempat persiapan pemain, ruang rias, dan lain-lain; ada juga yang bertingkat, sehingga ada 1 atau 2 lantai di bawah panggung.
Gbr. 5-36: Panggung prosenium wayang orang Sriwedari di Surakarta dibangun secara permanen di kompleks taman pariwisata budaya: (atas) saat layar depan ditutup; dan (bawah) saat layar terbuka, tampak penari dengan layar belakang
Gbr. 5-37: Topeng Madura, drama tari seperti wayang wong Jawa, dipertunjukkan di panggung prosenium di Sumenep, Jawa Timur.
Gbr. 5-39: Tari Payung modern, yang dipertunjukkan di panggung arena dengan posisi penonton melingkar, pada acara Kongres Kesenian Indonesia 2005, di Kompleks TMII, Jakarta.
Gbr. 5-38: Suatu pertunjukan tari kolosal (besar, banyak pemainnya) di teater arena terbuka tapal-kuda, dengan posisi penonton setengah lingkaran, di Hawaii, USA.
5.3.5 Panggung Tertutup dan Terbuka
Dalam Bab 1 telah dibicarakan bahwa peristiwa pertunjukan itu ada yang berupa forum tertutup (orang tertentu saja yang boleh datang), dan ada yang berupa forum terbuka, di mana siapa pun bebas datang. Istilah panggung tertutup dan terbuka berbeda maknanya, bukan mengacu pada forumnya melainkan mengacu pada situasi bentuk atau konstruksi tempat pertunjukannya. Dengan pemahaman terhadap perbedaan makna panggung dan forum terbuka, ada pertunjukan di panggung terbuka tapi forumnya tertutup, dan demikian pula sebaliknya.
Yang disebut panggung tertutup adalah seluruh gedung (termasuk tempat penontonnya) memang tertutup: berdinding dan beratap. Sedangkan yang disebut panggung terbuka adalah seluruh atau sebagian besar ruang pentas dan penontonnya tidak beratap. Panggung terbuka, umumnya berbentuk arena (yang biasa juga disebut ampiteater), tapi jarang ada yang berbentuk prosenium. Panggung terbuka TIM yang kini sudah dibongkar itu pada prinsipnya berbentuk prosenium, di mana penontonnya melihat hanya dari satu arah.
Namun kategori tertutup dan terbuka itu dilihat terutama dari kons truksi bangunan yang beratap dan tidak, adalah berangkat dari fenomena panggungpanggung di negeri Barat. Di sana, mungkin tidak ada tempat pertunjukan, dan bangunan pada umumnya, yang beratap tak berdinding. Di Indonesia banyak yang sebaliknya, atap (peneduh) lebih penting daripada dinding. Untuk bangunan permanen, terutama di Jawa dan Bali banyak sekali terdapat bangunan yang tidak berdinding, baik di lingkungan istana (seperti pendopo), maupun di desadesa (balai pertemuan). Demikian pula bangunanbangunan semipermanen dan tidak permanen seperti bangunan pasar (los), jambur (di Karo), baruga (di Sulawesi), dan lain lain biasanya tidak berdinding. Hal ini tentu berhubungan juga dengan iklim Nusantara yang tropis (panas), berbeda dengan di Barat yang memiliki musim dingin. Karena itu, tempat pertunjukan tanpa dinding bisa kita sebut sebagai panggung terbuka.
Dari uraian di atas, dalam melihat tempat pertunjukan, kita bisa menemukan panggung permanen, semipermanen, dan tidakpermanen. Masingmasing ada yang terbuka dan tertutup, dan juga ada yang prosenium dan arena. Umpamanya, panggung gedung pertunjukan Gedung Kesenian Indonesia di Jakarta adalah “panggung permanen prosenium tertutup;” pendopo adalah “panggung permanen arena terbuka;”
baruga adalah “panggung semipermanen (atau mungkin tidakpermanen)
arena terbuka;” dan panggung teater bangsawan yang dibangun di halaman untuk hajatan adalah “panggung tidakpermanen prosenium terbuka;”
dan sebagainya. Selanjutnya, silahkan amati pertunjukan di berbagai peristiwa —umpamanya panggung ketika suatu pertunjukan dilakukan di gedung olah raga, di beranda rumah, di sekolah, dan lainlain— dilihat dari tiga perspektif: terbukatertutup, arenaprosenium, dan permanen nonpermanen.
Panggungpanggung terbuka, walau tidak selalu, kebanyakan di bangun lebih besar daripada yang tertutup; dan panggung arena lebih besar daripada prosenium. Panggung arena terbuka ada yang dibangun besar sekali. Panggung besar yang pertama dibangun di Indonesia adalah di kompleks Candi Prambanan, dekat kota Yogyakarta, yang selesai dan dipergunakan tahun 1961. Panggung pertunjukannya berukuran 50 x 12 meter (sedikit diperkecil pada renovasi tahun 1980). Panggung ini terutama dibangun untuk pertunjukan sendratari Ramayana yang dipen taskan beberapa malam pada waktu bulan purnama. Candi Prambanan yang menjulang tinggi, tampak oleh penonton sebagai latarbelakang pada waktu pertunjukan berlangsung. Candi Prambanan adalah candi Hindu yang dibangun pada abad19 yang memiliki relief ceritera Ramayana. Di panggung ini pula pada tahun 1970 diadakan Festival Sendratari Ramayana Nasional. Pola pembangunan panggung besar terbuka Prambanan itu kemudian disusul di Jawa Timur, dengan latar belakang Candi Penataran. Di sana pula diselenggarakan Festival Sendratari Internasional pada tahun 1971.
Gbr. 5-41: Pertunjukan tarian dari Toraja pada Festival I La Galigo di Barru, Sulawesi Selatan: pada panggung terbuka, dan tidak permanen.
Gbr. 5-42: Pertunjukan tarian Hula-hula oleh para siswa di Hawaii, USA, dalam panggung prosenium terbuka, dan permanen.
Gbr. 5-43: Pertunjukan tarian kagura (ritual), di panggung terbuka dalam kompleks kuil Nara, Jepang.
5.3.6 Lapangan dan Jalanan
Lapangan, alunalun, dan halamanhalaman seringkali menjadi tempat berbagai pertunjukan kesenian, termasuk tari. Taritarian massal (yang jumlah penarinya mencapai ratusan bahkan ribuan), biasanya dilakukan di lapangan olah raga (stadion). Pertunjukan tari seperti ini bisa disaksi kan dalam acaraacara, misalnya upacara Peringatan Hari Kemerdekaan Nasional, pembukaan Pekan Olah Raga Nasional (PON), SEA Games, Olimpiade, dan sebagainya. Sedangkan yang diadakan di halamanhala man biasanya adalah jenisjenis tari tontonan barangan seperti yang telah dibicarakan sebelumnya.
Yang dimaksudkan dengan panggung lapangan dan jalanan adalah pada tempat tersebut tidak dibangun panggung, melainkan mereka bermain di atas tanah atau rumput. Adapun pertunjukan yang panggungnya terdapat di halaman atau lapangan itu, kita bisa lihat dari sisi permanen atau tidaknya seperti yang telah pula diuraikan di atas. Artinya, tempat itu secara temporer (sementara) menjadi panggung, walau tidak ada yang dibangun secara fisik. Dengan demikian, dalam pertunjukan itu penontonlah yang menciptakan panggung: virtual tapi nyata. Andaikata grup kesenian datang secara tibatiba, dan bermain musik di bawah pohon rindang di suatu halaman, dan kemudian datang pula sekumpulan penonton secara susulmenyusul mengerumuni grup itu, ruang pertunjukan atau “panggung” itu pun dengan sendirinya terbentuk secara imajiner. Posisi pohon, pemusik, dan penontonlah yang “membangunnya.”
Misalkan lagi, makin lama penonton yang datang makin banyak. Kemudian seorang seniman bangkit dari grup tersebut, dan menari. Ke rumunan penonton secara spontan pula menyeruak, membuka lingkaran kerumunan untuk memberi ruang yang lebih besar pada penari tersebut. Kita akan melihat panggung berubah, baik dari bentuknya maupun ukurannya yang virtual. Kita sebut “virtual” di sini karena kita tidak akan bisa mengukur secara persis ukurannya, atau bagaimana bentuknya seperti panggung yang dibangun secara fisik. Dengan lain kata, dalam kasus itu ukuran dan bentuk panggung bisa dinamis (bergerak), tidak statis seperti dalam kasus panggung yang secara terencana dibangun. Gerakan atau perubahan panggung itu virtual, atau imajiner, karena tanah halamannya itu sendiri tidak bergerak.
Panggung bergerak seperti itu akan lebih jelas lagi dalam peristiwa arakarakan. Coba perhatikan lagi peristiwa atau pertunjukan arakarakan atau pawai. Jika tidak ada yang menari dalam pawai tersebut, bisa juga memperhatikan grup drumband, atau barisberbaris yang bergerak di
jalan. Kalau kita ikuti dengan sedikit kecermatan, yang tampak bukan hanya orangorangnya yang bergerak, melainkan juga ruangnya (atau “panggung”nya), yang seolaholah turut berjalan, dan berubahubah ben tuknya sesuai dengan bentuk jalan dan posisi penonton yang dilaluinya.
Jika kita bandingkan gerakan drumband dalam pawai yang menelu suri jalan, dengan drumband yang hanya bergerak di suatu lapangan pada waktu peringatan Hari Kemerdekaan, di mana posisi penontonnya sudah terpatok dengan panggung dan tempat duduk, kita akan menangkap perbedaan cukup mendasar. Dalam pawai, panggung seolah turut berjalan, sedangkan dalam peringatan Hari Kemerdekaan, gerakan mereka membuat suatu figur dalam panggung besar yang tidak bergerak.
Dengan demikian, acara dalam arakarakan itu sesungguhnya bukan berarti mereka main pada “tempat yang tidak jelas,” melainkan mereka main dalam panggung virtual yang dinamis. Jika kalian bisa “melihat” atau merasakan yang virtual itu, mungkin kalian akan lebih tertarik lagi dalam melihatnya. Arakarakan banyak sekali terdapat dalam tradisi kita. Upacara upacara individual (hajatan) dan ko munal (pesta desa, pesta laut) banyak yang disertai acara arakarakan, seperti misalnya pada acara tabuik atau tabot di Minangkabau dan Lampung pada bulan Maulud, sisingaan di Jawa Barat, grebeg di Jawa, pesta laut di Sulawesi, dan lain sebagainya.
Arakarakan adalah suatu tradisi yang terdapat di seluruh pelosok du nia, bukan hanya di Indonesia. Di kota Pasadena, California, USA, setiap tahun (menjelang pertandingan football
Gbr. 5-45: Tari Cakalele dari Maluku yang dipertunjukan di halaman atau jalan: dokumentasi Belanda, tahun 1920-an.
Gbr. 5-44: Arak-arakan dalam upacara keagamaan di suatu desa di India. Sebagian pesertanya mengendarai belasan gajah.
universitas) dilangsungkan Festival Mawar (Rose Festival). Dalam peristiwa itu, selalu disertai arak arakan dengan berbagai atraksi kesenian. Mardi Gras merupakan festival amat besar di New Orleans, yang dikunjungi ribuan orang dari berbagai wilayah. Pertunjukan itu berlangsung beberapa hari dengan pertunjukan pawai bertopeng, yang sudah berjalan selama 150 tahun. Di kota Rio De Janeiro, Brasil, tiap tahun pula diselenggarakan parade tari Samba di jalanan pusat kota pada setiap akhir tahun.
Di Indonesia, arakarakan dalam acara Pesta Kesenian Bali setiap bulan Juni, acara pembuka annya selalu disuguhkan atraksi pawai seni yang terdiri dari berba gai kelompok seni, banjar, lembaga kebudayaan yang menggambarkan segala potensi seni budaya di Bali. Demikian pula di acara pembukaan Festival Kesenian Yogyakarta di tiap bulan Juli. Bahkan di daerah Jawa Barat, gotong singa atau sisingaan dan kuda renggong menjadi sebuah tari jalanan yang ditanggap untuk memeriahkan anak yang akan di khitan. Biasanya, anak yang akan dikhitan dinaikkan ke atas kuda atau sisingaan (macanmacanan) dan diarak sepanjang jalan diiringi tetabuhan. Di depan dan juga di belakangnya sekelompok orang menari seiring dengan musiknya. Tradisi arakarakan atau dalam berbagai upacara adat terdapat di berbagai daerah di Nusantara ini.
Gbr. 5-48: Suatu atraksi yang lucu-lucu biasa tampil dalam acara karnaval di jalanan, seperti topeng yang aneh-aneh, dan “gendong-gendongan.”
Gbr. 5-46: Kondo Buleng di Makassar, Sulawesi Selatan: pada pertunjukan di halaman rumah.
Gbr. 5-47: Arak-arakan sambil menari dengan barong, dalam upacara kebo-keboan di Desa Alasmalang, Banyuwangi, Jawa Timur.
Gbr. 5-49: Tari-tarian di jalan, gaya dangdutan, dalam arak-arakan pesta laut (nadran) desa di Cirebon.
Gbr. 5-51: Tarian rudat, yang dipertunjukkan di jalan raya, dalam suatu festival kesenian di Jawa Barat.
Gbr. 5-50: Grup topeng Banjar, Kalimantan Selatan, pada sekitar tahun 1920-an dari koleksi peneliti tari Claire Holt: pakaian penari dan ensambel gamelannya mirip topeng Cirebon
Gbr. 5-53: Arak-arakan ensambel drumband dari Irlandia, dalam suatu festival di Australia. Gbr. 5-52: Tarian bertopeng yang dilakukan dengan bebas dalam suatu arak-arakan desa pada waktu upacara muda-mudi.
Gbr. 5-54: Tari Cak Bali yang terkenal, biasa dipertunjukkan di halaman pura, dengan pemain sekitar 50-an orang atau bahkan lebih.
Gbr. 5-55: Tari Pecut dari Madura, yang biasa diadakan di lapangan menjelang acara karapan sapi dilaksanakan.
Gbr. 5-57: Eisa, tarian energetik sambil memainkan gendang dari Okinawa, Jepang, dalam festival di suatu taman di Tokyo.
Gbr. 5-56: Tarian Puteri dari Moni, Flores, NTT, yang dipertunjukkan di halaman kampung dalam suatu festival.
Gbr. 5-58: Tari Perang dari Mamasa, Sulawesi Selatan, yang dipertunjukkan di halaman rumah adat.
Gbr. 5-61: Arak-arakan berbentuk “Kapal TNI”, mobil, gajah-gajahan dan lain-lain yang terbuat dari kerangka bambu dan kertas, dalam upacara sidekah bumi di kompleks Astana Gunung Jati, Cirebon.
Gbr. 5-62: Suatu pertunjukan teater-tari modern di lapangan. Pertunjukan diadakan pada malam hari dengan memakai obor-obor.
5.4 Rangkuman
Keberhasilan suatu pertunjukan tari ditentukan oleh tiga unsur utama: materi tari, penonton, dan tempat. Ketiganya terkait satu sama lain sehingga yang satu akan tergantung oleh yang lainnya. Agar terjadi kecocokan, dari ketiga hal itu diperlukan suatu cara pengelolaan yang cocok pula. Dengan demikian, untuk terselenggaranya suatu peristiwa pertunjukan, betapa pun sederhananya, akan diperlukan suatu sistem pengelolaan: baik kegiatan itu berskala besar atau kecil, profesional atau amatir (sukarela).
Pengelolaan seni pertunjukan biasanya dilakukan oleh satu tim kerja yang terdiri atas beberapa orang dengan fungsi, tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kapasitasnya masingmasing, sejak perencanaan, persiapan sampai dengan terlaksananya suatu kegiatan pementasan. Sistem pengelolaannya bermacammacam, bukan hanya tergantung pada besar kecilnya acara, melainkan juga pada sistem kemasyarakatan yang ada di setiap lingkup budaya. Karena tujuan utamanya adalah terjalinnya ketiga hal di atas secara tepat, sehingga sistem pengelolaannya akan tergantung pada tujuan atau fungsi dari pertunjukan tersebut.
Gbr. 5-64: Festival Mardi Gras yang sangat besar di New Orleans, USA: dikunjungi oleh orang-orang dari berbagai negara-bagian untuk berpartisipasi secara ramai-ramai, dilakukan selama belasan hari.
Dalam masyarakat tradisional, peran setiap individu berdasarkan pada suatu sistem budaya atau adat, sehingga sebagian besar dari tanggung jawab dan wewenangnya telah dipahami. Karena itu, pengelolaan atau manajemen untuk suatu kegiatan pertunjukan pun sebagian besar telah dipahami masingmasing, sehingga umumnya tidak diperlukan lagi adanya tugas kerja yang terinci seperti halnya dalam sistem manajemen modern. Inti dari sistem manajemen adalah pengorganisasian yang akan membuat setiap elemen yang terlibat berjalan secara efektif atau maksimal.
Penonton merupakan aspek yang sangat penting untuk suatu keberhasilan pertunjukan. Dalam sistem tradisional, komunikasi yang intim terjalin antara pemain dan penontonnya, interaksi mereka menjadi bagian dari pertunjukan itu sendiri. Dalam pertunjukan modern, sedikit banyaknya penonton yang hadir ditentukan oleh popularitas grup atau senimannya, dan juga oleh keberhasilan publikasi dan pemasaran bidang manajemennya.
Pengaturan tempat pertunjukannya disesuaikan dengan materi yang disajikan, jenis dan jumlah penonton, serta situasi atau konteks dari peristiwa tersebut. Karena itu, dikenal berbagai jenis tempat pertunjukan. Dalam dunia panggung profesional, dikenal jenis panggung arena dan prosenium; serta panggung tertutup dan terbuka. Tapi dalam kehidupan pertunjukan yang lebih luas, dikenal lebih banyak lagi jenisnya, ada yang dibangun secara permanen, semipermanen, dan tidak permanen. Selain itu, pertunjukan tari biasa pula dilakukan di lapangan, halaman, atau pun di jalan, baik secara statis (stationary) atau diam, maupun secara dinamis atau bergerak.
Selain itu, ada juga bangunan semipermanen yang serba guna, tetapi ada pula bangunan semipermanen yang memang digunakan secara khusus untuk tempat pementasan, misalnya pertunjukan wayang orang,
ludruk, ketoprak, sandiwara, dan lain sebagainya. Bangunan pertunjukan
semi permanen tersebut di Jawa dikenal dengan nama tobong. Oleh sebab itu pula di Jawa ada istilah rombongan wayang orang tobong.
Ada pula sebutan tempat pementasan tertutup, yakni bangunan yang beratap. Bangunan tersebut bisa disekatsekat dan bisa pula tidak. Contoh bangunan seperti ini ialah Pendhapa di Jawa Tengah, yang juga sering digunakan untuk pementasan tari. Demikian pula balai banjar di Bali yang juga berfungsi serbaguna. Pada dasarnya bangunanbangunan tertutup berbentuk prosenium atau arena.