• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA A. WAFER KRIM B. FORTIFIKASI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA A. WAFER KRIM B. FORTIFIKASI"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. WAFER KRIM

Menurut Dogan (2006), biskuit merupakan produk bakeri yang lebih sering dikonsumsi dibandingkan dengan produk bakeri lainnya. Menurut SNI 01-2973-1992, biskuit adalah sejenis makanan yang terbuat dari tepung terigu dan bahan makanan lain yang diproses dengan pemanasan dan pencetakan (BSN, 1992). Kelebihan biskuit adalah mempunyai umur simpan yang relatif lama dan disukai karena enak, manis, dan renyah. Menurut SNI tahun 1990, biskuit dapat diklasifikasikan menjadi biskuit keras, kraker, kukis, dan wafer.

Wafer merupakan produk makanan kering yang terbuat dari adonan cair berbasis tepung terigu, berpori-pori besar, renyah, dan penampangnya berongga bila dipatahkan (SNI 01-2973-1992). Wafer tergolong biskuit yang sangat tipis dengan ketebalan lebih kecil dari 1 mm hingga 4 mm, mempunyai tekstur lembut dan renyah, serta mempunyai permukaan halus yang ukuran dan detailnya dibentuk sesuai cetakan (Macrae et al.,1993). Bahan adonan wafer terdiri atas gula, tepung, air, garam, lemak, dan bahan lainnya.

Ada dua jenis wafer yaitu wafer flat dan wafer stick. Wafer stick mempunyai bentuk bulat panjang seperti stick. Bentuk tersebut dicetak setelah proses pemanggangan dengan cara melilitkan lembaran wafer pada sebuah nozzle lalu diisi dengan krim kedalamnya. Wafer flat adalah jenis creamed sandwich wafer yang terdiri dari empat wafer dan tiga lapis krim di antara sheet (Oktania, 2004). Wafer flat dibentuk dari adonan yang dipanggang di antara sepasang plat metal yang panas. Wafer hasil pemanggangan berbentuk sheet atau lembaran yang datar, besar, dan tipis dengan pola permukaan sesuai dengan bentuk plat yang digunakan. Sheet kemudian dioles krim pada tiap lembaran sehingga membentuk sandwich wafer. Wafer yang dihasilkan ini masih dalam ukuran besar yang utuh dan disebut dengan book wafer. Book wafer didinginkan kemudian dipotong sesuai ukuran yang ditetapkan (Oktania, 2004).

B. FORTIFIKASI

Borenstein (1979) membagi istilah penambahan zat gizi pada makanan meliputi restorasi, pengkayaan (enrichment), standarisasi, suplementasi, dan fortifikasi. Restorasi adalah penambahan zat gizi dengan tujuan untuk mengembalikan jumlah zat gizi tertentu ke jumlah atau konsentrasi semula, yaitu konsentrasi sebelum terjadi perubahan atau penurunan karena pengaruh perlakuan pengolahan tertentu. Pengertian pengkayaan yaitu penambahan zat gizi tertentu dengan tujuan untuk memenuhi standar identitas produk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Standarisasi adalah suatu penambahan zat gizi tertentu sebagai usaha untuk mengurangi variasi komposisi gizi bahan baku, dalam rangka memenuhi standar atau spesifikasi yang sudah ditentukan. Suplementasi memiliki pengertian penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup sampai sangat tinggi sehingga dapat digunakan sebagai tambahan zat gizi bagi yang memerlukan. Produk pangan yang disuplementasi hanya digunakan sebagai penambah (suplemen) bagi usaha memenuhi zat gizi, bukan sebagai sumber utama zat gizi tersebut. Selain dalam bentuk produk pangan, suplementasi juga dijumpai dalam bentuk pil, kapsul, megadose, dan lain‐lain (Hariyadi, 2006). Berbeda dengan pengertian proses penambahan zat gizi lainnya, fortifikasi memiliki arti yang khusus yaitu penambahan zat gizi dalam jumlah yang cukup besar pada suatu produk pangan sedemikian rupa sehingga produk tersebut dapat berfungsi sebagai

(2)

5

sumber utama yang baik bagi zat gizi yang ditambah terutama bagi masyarakat target yang telah ditentukan. Dalam fortifikasi, zat gizi yang ditambahkan dapat berupa zat gizi yang sudah secara alami ada pada produk pangan yang bersangkutan, ataupun zat gizi baru yang secara alami tidak ada pada produk pangan tersebut. Jadi fortifikasi memiliki tujuan yang jelas yaitu memberikan atau menyediakan produk pangan yang dapat dijadikan sumber zat gizi tertentu yang diperlukan oleh masyarakat target sehingga bisa meningkatkan status atau mutu gizi (Hariyadi, 2006).

Teknologi fortifikasi telah berkembang pesat, tidak hanya digunakan untuk keperluan menanggulangi masalah kekurangan gizi, misalnya fortifikasi iodium pada garam dan zat besi pada tepung terigu, tetapi juga untuk perkembangan formula makanan fungsional untuk tujuan pemeliharaan dan peningkatan status kesehatan. Dari segi bisnis, fortifikasi tentunya dapat dijadikan nilai tambah suatu produk pangan sebagai strategi penjualan dan pemasaran. Fortifikasi vitamin tertentu, misalnya vitamin C, vitamin E, dan ß-karoten, dapat digunakan untuk membangun citra produk yang positif karena diyakini manfaatnya oleh masyarakat luas dalam segi kesehatan (Hariyadi, 2006).

Fortifikasi perlu dilakukan secara cermat untuk mencegah ketidakseimbangan zat-zat gizi esensial, baik yang ditambahkan maupun yang telah ada di dalam produk pembawa (carrier). Untuk itu perlu diperoleh data-data tentang angka ketersediaan (bioavailability) zat gizi yang bersangkutan. Pengertian bioavailability mencakup bagaimana interaksi antara zat gizi yang ditambahkan dengan zat-zat gizi ataupun unsur lain yang telah ada di dalam bahan pangan tersebut mempengaruhi daya cerna dan daya guna zat gizi yang ditambahkan di dalam tubuh. Pengaruh interaksi ini terutama jika dilakukan di dalam tubuh (double, triple, atau muliple fortification). Di samping itu, zat gizi yang ditambahkan harus stabil pada kondisi-kondisi pengolahan, distribusi, penjajaan, dan penanganan untuk konsumsi. Diketahui bahwa selama proses penanganan, pengolahan, dan distribusi, zat-zat gizi akan selalu berinteraksi dengan berbagai faktor baik dari lingkungan eksternal maupun internal. Faktor-faktor yang mempengaruhi stabilitas zat gizi antara lain pH, oksigen, cahaya, waktu, suhu, air (Aw, RH, kadar air), benturan fisik, tekanan, inhibitor, katalis, dan gesekan. Data tentang interaksi tersebut diketahui untuk perhitungan umur simpan, kebutuhan konsumsi, kebutuhan pelabelan, serta usaha untuk meminimalkan kerusakan dalam rangka meminimalkan biaya dan memaksimalkan efektivitas fortifikasi. Intensitas masing-masing interaksi tersebut akan dipengaruhi oleh jenis teknologi baik teknologi formulasi, bahan baku, ataupun teknologi proses yang digunakannya (Hariyadi, 2006).

Informasi mengenai stabilitas zat gizi erat kaitannya dengan pelabelan dan diperlukan untuk jaminan bahwa jumlah konsumsi zat gizi tersebut tidak berlebihan sehingga ada kepastian tidak akan terjadi gangguan kesehatan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk pelabelan produk pangan yang difortifikasi yaitu overage dan klaim. Overage didefinisikan sebagai perbedaan antara jumlah yang dinyatakan dalam label (declared level) dan dalam formula (formulated level). Overage merupakan rasio antara selisih jumlah zat gizi pada formula dan label dengan jumlah zat gizi yang dinyatakan dalam label. Konsep overage ini penting terutama untuk komponen-komponen zat gizi yang labil terhadap pengolahan dan penyimpanan. Jumlah aktual pada akhir masa simpan ini dapat ditentukan atau diduga dengan menggunakan data-data tentang stabilitas. Klaim yang akan dibuat dalam label tentang zat gizi sebaiknya dibandingkan dengan nilai RDA (Recommended Dietary Allowances) zat gizi yang bersangkutan. Klaim produk pangan berupa ¨kaya akan zat gizi tertentu¨ untuk produk pangan yang difortifikasi, harus disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan

(3)

6

Makanan (BPOM) telah mengeluarkan Pedoman Pelabelan Produk Pangan yang bisa dijadikan acuan.

C. ACUAN LABEL GIZI

Setiap bahan pangan yang disertai pernyataan mengandung vitamin, mineral dan atau zat gizi lainnya yang ditambahkan pada pangan wajib mencantumkan keterangan tentang kandungan gizi (BPOM, 2003). Ketentuan ini lebih umum dinamakan Angka Kecukupan Gizi (AKG). Menurut daftar istilah pada Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2006), Angka Kecukupan Gizi (AKG) adalah sejumlah zat gizi atau energi yang diperlukan oleh seseorang dalam suatu populasi untuk hidup sehat. AKG umumnya digunakan oleh pihak medis terutama rumah sakit sebagai acuan penentuan takaran kandungan zat gizi pada makanan yang diberikan kepada individu dengan kebutuhan gizi tertentu. Namun, melalui keputusan kepala BPOM tahun 2003 tentang acuan pencantuman persentase angka kecukupan gizi pada label produk pangan, AKG ditetapkan sebagai dasar untuk pencantuman keterangan kandungan gizi pada label pangan.

Pada tahun 2007, istilah baru diperkenalkan untuk acuan penentuan kandungan gizi secara umum yaitu Acuan Label Gizi (ALG). Ketentuan ini berlaku per tanggal 9 Agustus 2007 melalui Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.52.6291 tentang Acuan Label Gizi Produk Pangan. Keputusan ini juga menyatakan tidak berlakunya Keputusan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.5.1142 tahun 2003 tentang acuan pencantuman persentase Angka Kecukupan Gizi (AKG) pada label produk pangan (BPOM, 2007).

Penelitian ini menggunakan Acuan Label Gizi (ALG) sebagai dasar perhitungan kandungan nilai gizi pada produk karena ALG merupakan acuan yang lebih umum digunakan sebagai penentuan komposisi gizi pada pangan olahan dan telah diberlakukan oleh BPOM menggantikan AKG sejak tahun 2007. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi dengan Acuan Label Gizi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perbandingan kebutuhan beberapa zat gizi mikro pada remaja antara Angka Kecukupan Gizi (AKG) dengan Acuan Label Gizi (ALG)

No Zat Gizi Kebutuhan pada remaja

menurut AKG (2003)

Kebutuhan pada remaja menurut ALG (2007) 1 Kalsium 700 mg 800 mg 2 Zat Besi 29 mg 26 mg 3 Seng 10.5 mg 12 mg 4 Vitamin C 60 mg 90 mg 5 Vitamin A 600 RE 600 RE

Sumber: BPOM (2003 dan 2007)

D. ZAT GIZI MIKRO

1. Kalsium

Kalsium merupakan mineral yang paling banyak terdapat di dalam tubuh, yaitu antara 1.5-2% dari berat badan orang dewasa. Sebanyak 99% dari jumlah tersebut, kalsium berada di dalam jaringan keras tubuh manusia yaitu tulang dan gigi. Oleh karena itu, kalsium sangat berperan penting dalam pembentukan tulang dan gigi. Selain itu, di dalam cairan

(4)

7

ekstraseluler dan intraseluler kalsium memegang peranan penting dalam mengkatalis reaksi-reaksi biologis dan mengatur fungsi sel, seperti transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan darah, dan menjaga permeabilitas membran sel. Kalsium juga mengatur pekerjaan hormon-hormon dan faktor pertumbuhan (Almatsier, 2006).

Sumber kalsium utama adalah susu dan produk turunannya. Susu tanpa lemak merupakan sumber terbaik kalsium karena ketersediaan biologisnya yang tinggi. Ikan merupakan sumber kalsium yang baik. Sayuran hijau, serealia, kacang-kacangan dan hasil olahannya merupakan sumber kalsium yang baik, namun mengandung zat penghambat penyerapan kalsium seperti serat, fitat, dan oksalat (Almatsier, 2006). Kandungan kalsium beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Kandungan kalsium berbagai bahan makanan (mg/100 gram) Bahan makanan Kandungan Kalsium (mg)

Tepung susu 904

Keju 777

Susu sapi segar 143

Yoghurt 120 Udang kering 1209 Teri kering 1200 Sardines (kaleng) 354 Telur bebek 56 Telur ayam 54 Ayam 14 Daging sapi 11

Susu kental manis 275

Kacang kedelai, kering 227

Tempe kacang kedelai murni 129

Tahu 124

Kacang merah 80

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, Depkes (1979)

Kalsium yang telah digunakan untuk fortifikasi sangat banyak ragamnya yang terdiri dari garam kalsium organik maupun anorganik. Menurut Muchtadi (2008), pemilihan jenis garam kalsium yang digunakan tergantung pada beberapa macam faktor seperti kelarutan dalam air, kadar kalsium, rasa, tingkat absorpsi (seberapa banyak kalsium dapat diserap oleh

Kacang tanah 58

Oncom 96

Tepung kacang kedelai 195

Bayam 265 Sawi 220 Daun melinjo 219 Katuk 204 Selada air 182 Daun singkong 165 Ketela pohon 33 Kentang 11

(5)

8

usus), dan harga. Setidaknya terdapat tiga karakteristik penting bagi garam kalsium yang digunakan untuk fortifikasi yang dapat dilihat pada Tabel 3.

Beberapa garam kalsium memiliki sifat kelarutan yang baik tetapi kadar kalsiumnya rendah seperti Ca-laktat, Ca-laktat-glukonat, dan Ca-glukonat. Sebaliknya, garam kalsium yang memiliki kadar kalsium tinggi kelarutannya dalam air rendah atau tidak larut sama sekali seperti pada Ca-karbonat, dan Ca-fosfat. Oleh karena itu, pemilihan jenis garam kalsium harus disesuaikan dengan jenis dan karakteristik produk pangan yang akan difortifikasi dengan kalsium.

Tabel 3. Karakteristik penting sumber kalsium untuk fortifikasi Garam kalsium

Kelarutan kalsium dalam air pada

25oC (g/L)

Rasa Kadar kalsium

(%)

Ca-karbonat tidak larut sabun, lemon 40

Ca-fosfat tidak larut berpasir, tidak terasa 17-38

Tri-Ca-sitrat (4H2O) 0.9 netral 21

Ca-laktat (5 H2O) 9.3 tidak terasa 13

Ca-laktat-glukonat 45.0-50.0 netral 10-13

Ca-glukonat 3.5 ringan, netral 9

Sumber: Ladenburg (2002)

Beberapa senyawa kalsium diketahui tingkat absorpsinya berdasarkan studi in vivo yang dilakukan oleh Purac (2003) seperti terlihat pada Gambar 1. Berdasarkan informasi yang terlihat pada Gambar 1, terdapat beberapa pilihan sumber kalsium yang memiliki tingkat absorpsi yang baik. Susu dapat dipertimbangkan sebagai sumber kalsium yang memiliki tingkat absorpsi yang baik, tetapi pemilihan susu juga harus dipertimbangkan dari segi harga dan kecocokan dengan produk yang akan difortifikasi. Kalsium asetat walaupun tinggi tingkat absorpsinya tetapi tidak bisa digunakan karena off flavour (memiliki karakter rasa yang tidak baik untuk makanan). Hal serupa juga terjadi pada kalsium klorida yang hanya bisa digunakan dalam konsentrasi sangat rendah. Kalsium laktat, kalsium glukonat, kalsium sitrat, dan kalsium malat merupakan pilihan yang baik untuk penggunaan umum karena dapat diabsorpsi lebih dari 30% di dalam tubuh. Kalsium fosfat dan karbonat bisa digunakan sebagai pilihan berikutnya dipertimbangkan dari segi harga dan dapat diabsorpsi lebih dari 20% di dalam tubuh.

Tingkat kemanfaatan atau efisiensi absorpsi kalsium dipengaruhi kebutuhan dan persediaan kalsium oleh tubuh. Semakin tinggi kebutuhan kalsium semakin efisien kalsium yang diabsorpsi. Peningkatan kebutuhan terjadi pada pertumbuhan, kehamilan, menyusui, defisiensi kalsium, dan aktivitas fisik yang meningkatkan densitas kalsium. Semakin rendah persediaan kalsium dalam tubuh, kalsium yang diabsorpsi semakin efisien.

Kondisi keasaman saluran cerna dan vitamin D juga ikut merangsang absorpsi kalsium. Absorpsi kalsium paling baik terjadi dalam keadaan asam. Keadaan asam pada pencernaan bisa terjadi karena asam klorida yang dikeluarkan lambung dan beberapa asam amino tertentu yang meningkatkan keasaman saluran cerna. Vitamin D dalam bentuk aktifnya meningkatkan absorpsi pada mukosa usus dengan cara merangsang produksi protein-pengikat kalsium. Lemak dan laktase ikut membantu absorpsi kalsium pada saluran cerna. Laktosa meningkatkan absorpsi kalsium jika tersedia cukup enzim laktase di dalam

(6)

9

pencernaan. Lemak meningkatkan waktu transit sehingga memberi waktu lebih banyak untuk absorpsi kalsium (Almatsier, 2006).

Gambar 1. Grafik studi rata-rata absorpsi kalsium secara in vivo oleh Purac (2003) Terdapat beberapa penyebab berkurangnya tingkat absorpsi kalsium di dalam tubuh. Kekurangan vitamin D dalam bentuk aktif menghambat absorpsi kalsium. Asam oksalat dan asam fitat yang memiliki ikatan fosfor, masing-masing membentuk kalsium oksalat dan kalsium fosfat yang tidak larut sehingga menghambat absorpsi kalsium. Oksalat biasa terdapat dalam tumbuhan seperti bayam dan kakao, sedangkan fitat biasa terdapat dalam sekam serealia. Serat menurunkan absorpsi kalsium, diduga karena menurunkan waktu transit makanan di saluran cerna sehingga mengurangi kesempatan absorpsi kalsium (Almatsier, 2006).

Kekurangan kalsium pada masa pertumbuhan dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan. Tulang kurang kuat, mudah bengkok, dan rapuh. Saat manusia dewasa, terutama saat usia 50 tahun, kalsium pada tulang umumnya hilang untuk memenuhi kebutuhan harian kalsium. Akibatnya, tulang menjadi rapuh dan mudah patah yang sering dinamakan osteoporosis. Selain itu, kekurangan kalsium dapat menyebabkan osteomalasia. Osteomalasia adalah kondisi riketsia pada orang dewasa yang terjadi karena kekurangan vitamin D dan ketidakseimbangan konsumsi kalsium terhadap fosfor. Mineralisasi matriks tulang terganggu, sehingga kandungan kalsium di dalam tulang menurun (Almatsier, 2006).

Kelebihan kalsium dapat menimbulkan batu ginjal atau gangguan ginjal. Selain itu, kalsium berlebih dapat menyebabkan konstipasi. Kelebihan kalsium bisa terjadi karena berlebih menggunakan suplemen kalsium. Oleh karena itu, konsumsi kalsium hendaknya tidak melebihi 2500 mg per hari (Almatsier, 2006).

2. Zat Besi

Zat besi merupakan mineral mikro yang paling banyak terdapat di dalam tubuh manusia, yaitu sebesar 3-5 gram di dalam tubuh manusia dewasa. Senyawa besi di dalam tubuh dapat dibedakan menjadi dua, yaitu yang berfungsi untuk keperluan metabolik dan yang berbentuk simpanan. Kelompok pertama adalah hemoglobin (Hb), mioglobin, sitokrom, dan beberapa zat besi lainnya yang berikatan dengan protein. Sedangkan senyawa zat besi dalam bentuk cadangan terdapat sebagai ferritin dan hemosiderin. (Almatsier, 2006)

Jenis Kalsium

(7)

10

Kandungan zat besi pada orang dewasa berkisar antara 2.5-4 gram, dimana 2.0-2.5 gram berada dalam sirkulasi sel darah merah, sebagai komponen hemoglobin (Hb). Sedangkan dalam jumlah kecilnya (kira-kira 300 mg) erat hubungannya dengan beberapa enzim yang mengandung besi (Linder, 1992). Dengan demikian, besi memegang peranan penting pada beragam reaksi biokimia. Dalam kaitannya dengan Hb, besi berperan dalam pembentukan sel darah merah serta pengangkutan O2 dan CO2. Sedangkan sebagian kecil besi yang terdapat

dalam enzim jaringan (sekitar 7%), bertanggung jawab dalam pengangkutan elektron pada proses transpor elektron dan fosforilasi oksidatif (sitokrom, kompleks Fe-S protein), serta bertanggung jawab dalam proses pengaktifan oksigen(oksidase dan oksigenase) (Brody, 1994).

Besi memiliki beberapa fungsi esensial di dalam tubuh: sebagai alat angkut oksigen dari paru-paru ke jaringan tubuh, alat angkut elektron di dalam sel, dan sebagai bagian terpadu berbagai reaksi enzim di dalam tubuh. Besi banyak tersebar luas di dalam makanan. Walaupun demikian, beberapa negara termasuk Indonesia, masih memiliki kasus kekurangan gizi besi di dalam masyarakatnya. Padahal, kekurangan besi berpengaruh terhadap produktivitas kerja, kemampuan kognitif, dan sistem kekebalan tubuh (Almatsier, 2006). Zat besi penting untuk produksi antibodi dan sintesis purin (sebagai bagian integral asam nukleat dalam RNA dan DNA), reaksi sintesis kolagen, penghilangan lipida dari darah, serta detoksifikasi zat racun dalam hati (Muchtadi, 1993).

Sumber zat besi yang baik adalah bahan pangan hewani seperti daging, ayam, dan ikan. Sumber lainnya adalah telur, serealia tumbuk, kacang-kacangan, sayuran hijau, dan beberapa jenis buah. Bahan pangan dikatakan sebagai sumber zat besi yang baik ditentukan oleh jumlah dan ketersediaan biologisnya (bioavailability). Umumnya, zat besi pada produk pangan hewani memiliki ketersediaan biologis lebih tinggi dibanding produk pangan nabati. Kandungan besi beberapa bahan makanan dapat dilihat pada Tabel 4.

Defisiensi besi merupakan defisiensi gizi yang paling umum terdapat di negara maju maupun berkembang. Defisiensi besi umumnya terjadi pada golongan rentan seperti anak-anak, remaja, ibu hamil dan menyusui serta pekerja berpenghasilan rendah. Kekurangan besi dapat menyebabkan anemia gizi besi, gangguan penyembuhan luka, terganggunya kekebalan tubuh, menurunnya kemampuan belajar, dan berkurangnya produktivitas kerja. Kehilangan besi dapat terjadi karena konsumsi makanan yang kurang seimbang atau gangguan absorpsi besi. Perdarahan akibat infeksi parasit cacing, luka, atau penyakit gastrointestinal juga mengakibatkan kehilangan besi pada tubuh manusia secara signifikan.

Kelebihan besi juga tidak baik bagi kesehatan manusia. Umumnya, kelebihan besi diakibatkan pengonsumsian suplemen makanan yang mengandung besi secara berlebih. Gejala yang diakibatkan adalah mual, muntah, diare, denyut jantung meningkat, sakit kepala, mengigau, dan pingsan (Almatsier, 2006).

Salah satu cara untuk meningkatkan konsumsi zat besi adalah dengan fortifikasi. Salah satu aspek terpenting dalam fortifikasi zat besi adalah memilih senyawa sumber zat besi yang paing cocok. Zat besi yang ditambahkan harus cukup dapat diserap dan tidak mengubah rasa, warna, bau, dan penampakan bahan pangan. Fortifikasi zat besi dalam makanan lebih sulit dilakukan dibandingkan fortifikasi zat gizi lainnya. Hal ini disebabkan karena senyawa zat besi yang paling mudah diabsorpsi adalah yang paling reaktif sehingga sering menghasilkan efek yang tidak dikehendaki apabila dimasak dengan bahan-bahan lainnya.

(8)

11

Tabel 4. Kandungan besi berbagai bahan makanan (mg/100 gram)

Sumber: Daftar Komposisi Bahan Makanan, Depkes (1979)

3. Seng

Tubuh mengandung 2-2.5 gram seng yang tersebar di hampir semua sel. Sebagian besar berada di dalam hati, pankreas, ginjal, otot, dan tulang. Jaringan yang banyak mengandung seng adalah bagian mata, kelenjar prostat, spermatozoa, kulit, rambut, dan kuku. Di dalam cairan tubuh, seng merupakan ion intraselular (Almatsier, 2006).

Seng memegang peranan esensial dalam banyak fungsi tubuh. Sebagai bagian dari enzim atau kofaktor pada kegiatan lebih dari dua ratus enzim, seng berperan dalam berbagai aspek metabolisme. Metabolisme yang terkait misalnya sintesis dan degradasi karbohidrat, protein, lipida, dan asam nukleat. Peranan penting lainnya adalah sebagai bagian integral enzim DNA polimerase dan RNA polimerase yang diperlukan dalam sintesis DNA dan RNA. Seng juga menjadi bagian dari enzim kolagenase yang berperan dalam sintesis dan degradasi kolagen. Dengan demikian, seng berperan dalam pembentukan kulit, metabolisme jaringan ikat, dan penyembuhan luka (Almatsier, 2006).

Menurut Almatsier (2006), kandungan seng paling baik ditemukan pada pangan sumber protein hewani. Daging, hati, kerang, dan telur adalah sumber-sumber seng alami yang baik dari segi jumlah dan ketersediaan biologisnya. Selain itu, pangan nabati seperti serealia tumbuk dan kacang-kacangan merupakan sumber seng yang baik juga. Namun, ketersediaan biologik seng pada pangan nabati tersebut lebih rendah dibandingkan pangan hewani. Beberapa bahan makanan yang mengandung seng dapat dilihat pada Tabel 5.

Bahan makanan Kandungan besi (mg) Tempe kacang kedelai murni 10.0

Kacang kedelai, kering 8.0

Kacang hijau 6.7 Kacang merah 5.0 Udang segar 8.0 Hati sapi 6.6 Daging sapi 2.8 Telur bebek 2.8 Telur ayam 2.7 Ikan segar 2.0 Ayam 1.5 Gula kelapa 2.8 Biskuit 2.7

Jagung kuning, pipil lama 2.4

Roti putih 1.5 Bayam 3.9 Sawi 2.9 Kentang 0.7 Daun katuk 2.7 Keju 1.5 Kangkung 2.5 Daun singkong 2.0

(9)

12

Tabel 5. Kandungan seng berbagai bahan makanan (mg/100g)

Sumber: Anonim2 (2010)

Absorpsi seng dipengaruhi beberapa faktor. Ditinjau dari status seng tubuh, jika tubuh membutuhkan banyak seng, maka semakin banyak seng yang diabsorpsi. Jenis makanan juga mempengaruhi absorpsi seng. Serat dan fitat menghambat ketersediaan biologis seng saat dicerna. Tembaga dalam jumlah berlebih akan menghambat absorpsi seng. Sebaliknya, protein histidin meningkatkan absorpsi seng oleh tubuh. Alat transport utama seng adalah albumin. Jika albumin darah menurun, misalnya saat keadaan gizi kurang atau kehamilan, absorpsi seng juga menurun. Umumnya, absorpsi seng pada tubuh berkisar 15-40% (Almatsier, 2006).

Defisiensi seng dapat terjadi pada golongan rentan, yaitu anak-anak, ibu hamil dan menyusui, serta orang lanjut usia. Kekurangan seng dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan dan keterlambatan pematangan seksual. Selain itu, pencernaan akan terganggu karena fungsi pankreas tidak berjalan dengan baik, pembentukan kilomikron terganggu, dan kerusakan permukaan saluran cerna (Almatsier, 2006). Diare dan gangguan fungsi kekebalan tubuh juga bisa terjadi akibat kekurangan seng. Kurangnya seng juga mengganggu metabolisme vitamin A, fungsi kelenjar tiroid dan laju metabolisme, gangguan nafsu makan, penurunan ketajaman indera perasa serta memperlambat penyembuhan luka.

Kelebihan seng hingga dua sampai tiga kali AKG menurunkan absorpsi tembaga. Hal ini menyebabkan degenerasi otot jantung pada hewan. Kelebihan sampai sepuluh kali AKG mempengaruhi metabolisme kolesterol, mengubah nilai lipoprotein, dan mempercepat timbulnya aterosklerosis. Suplemen seng yang berlebihan dikonsumsi bisa menyebabkan keracunan, demikian pula makanan asam yang disimpan dalam kaleng yang dilapisi seng. Dosis sebanyak dua gram atau lebih menyebabkan muntah, diare, demam, kelelahan, anemia, dan gangguan reproduksi (Almatsier, 2006).

4. Vitamin C

Vitamin C dengan rumus empiris C6H8O6 adalah sebuah zat kimia yang memiliki sifat

umum, memiliki bentuk murni berupa kristal putih, tidak berwarna, tidak berbau, mencair pada kisaran suhu 190-1920C, mudah larut dalam air, mempunyai sifat asam, dan sifat pereduksi yang kuat (Almatsier, 2006). Sifat-sifat vitamin C terutama dipengaruhi oleh adanya struktur enadiol yang berkonjugasi dengan gugus karbonil dalam cincin lakton. Vitamin C terutama berada dalam bentuk L-asam askorbat, sedangkan D-asam askorbat hanya memiliki 10% aktivitas vitamin C dan biasanya ditambahkan ke dalam bahan pangan

Bahan makanan mg

Wild eastern oyster (kerang laut) 182

Biji gandum 17

Hati anak sapi 12

Tepung wijen 10

Daging sapi rendah lemak 10

Biji labu air 10

Biji semangka kering 10

Cokelat masak 9.6

Daging kambing 8.7

(10)

13

sebagai antioksidan (Andarwulan dan Koswara, 1992). Struktur asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Struktur kimia asam askorbat

Vitamin C bersifat mudah rusak jika berada dalam bentuk larutan, terutama jika terdapat udara, logam-logam seperti tembaga (Cu) dan besi (Fe), serta cahaya. Sifat vitamin C yang paling utama adalah kemampuan mereduksinya yang kuat dan kemudahannya teroksidasi yang dikatalisis oleh beberapa logam, terutama Cu dan Ag. Asam askorbat bersifat sangat sensitif terhadap pengaruh-pengaruh luar yang menyebabkan kerusakan seperti suhu, konsentrasi gula dan garam, pH, oksigen, enzim, katalisator, dan logam.

Mekanisme penyerapan vitamin C membutuhkan suatu sistem transpor aktif (Muchtadi et al., 1993). Faktor-faktor yang mempengaruhi penyerapan vitamin C adalah jumlah vitamin C yang dikonsumsi, kandungan pektin dalam bahan pangan (Muchtadi et al., 1993), natrium, dan aspirin (Combs, 1992). Apabila konsumsi vitamin C berlebih, maka akan mendorong terjadinya pengeluaran vitamin C secara difusi pasif. Natrium dapat memicu sistem transpor aktif dalam penyerapan vitamin C, sedangkan aspirin dapat menghambat kerja sistem transpor aktif dalam penyerapan vitamin C.

Asam askorbat dapat dioksidasi secara in vivo oleh dua elektron bebas dan menghasilkan L-askorbil radikal. L-askorbil radikal ini dapat kembali menjadi asam askorbat bila mengalami reduksi, tetapi bila teroksidasi lagi akan membentuk asam L-dehidroaskorbat yang tidak dapat kembali ke bentuk awal. Selanjutnya hidrolisis dehisroaskorbat menghasilkan asam 2,3-diketo-L-gulonat. Asam gulonat ini dapat mengalami dekarboksilasi menghasilkan CO2 dan fragmen 5C (seperti xilosa dan asam xilonat) dan mengalami

menghasilkan asam oksalat dan fragmen 4C (asam threonat). Asam askorbat dapat dihasilkan kembali dari bentuk dehidroaskorbat dengan bantuan enzim dehidroaskorbat reduktase. Enzim ini menggunakan glutation tereduksi sebagai sumber reducing equivalent. Kerja enzim ini juga menggunakan NADPH sebagai donor hidrogen (Combs, 1992).

Asam askorbat dan dehidroaskorbat mempunyai sifat pereduksi pada level molekuler. Vitamin tersebut mempunyai sifat umum yang penting yaitu sebagai antioksidan yang mempengaruhi redoks potensial tubuh. Akan tetapi, hanya beberapa reaksi enzim yang sudah memperlihatkan secara khusus membutuhkan vitamin C, seperti proses hidroksilasi yang menggunakan molekul oksigen dan sering mempunyai kofaktor Fe2+ dan Cu2+ (Linder, 1992).

Pangan yang menjadi sumber vitamin C kebanyakan berasal dari nabati. Faktor yang mempengaruhi besarnya kandungan vitamin C adalah jenis bahan makanan, bagian tanaman, kematangan, keadaan penyimpanan, musim, dan cara pengolahan. Sumber terbaik vitamin C antara lain jeruk, jambu biji, strawberi yang mengandung sekitar 50-59 mg dan brokoli yang

(11)

14

mengandung sekitar 100-180 mg (Lestiani, 2009). Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin C dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Kandungan vitamin C berbagai bahan makanan (mg/100g)

Sumber: Anonim3 (2010)

Kekurangan vitamin C dapat menyebabkan berbagai gangguan kesehatan bagi tubuh. Menurut Berdanier et al., (2008), gejala klinis akibat kekurangan vitamin C muncul perlahan dan sering tersamar. Gejala awal yang ditimbulkan biasanya berupa tubuh yang sering merasa lelah dan mudah merasa sakit. Jika gejala berkembang lebih lanjut maka akan menimbulkan penyakit yang lebih parah seperti scurvy (kudisan) dan juga scorbutism (sariawan). Gejala scurvy biasanya muncul setelah tiga bulan kekurangan asupan vitamin C.

Konsumsi vitamin C yang berlebih juga berpotensi mengganggu kesehatan tubuh. Ada resiko dari kajian toksisitas bila asupan melebihi satu sampai dua gram per hari (Berdanier et al., 2008). Gangguan terhadap sistem pencernaan terutama pada lambung akan muncul sebagai reaksi konsumsi vitamin C berlebihan. Selain itu, kemungkinan terjadinya peningkatan asam oksalat yang merupakan hasil metabolit dari asam askorbat bisa mengganggu kerja ginjal.

5. Vitamin A

Vitamin A merupakan zat gizi esensial, aktivitas biologi senyawa ini diperoleh dari struktur senyawa retinol. Vitamin A adalah vitamin larut lemak yang merupakan nama generik dari semua retinoid dan prekursor/provitamin A/karotenoid yang memiliki aktivitas biologis sebagai retinol. Vitamin A adalah suatu kristal alkohol berwarna kuning dan larut dalam lemak atau pelarut lemak. Vitamin A di dalam tubuh dapat ditemukan dalam tiga bentuknya, yaitu retinol (alkohol), retinal (aldehid), dan retinoat (asam). Retinol dapat diubah menjadi retinal atau sebaliknya, akan tetapi asam retinoat tidak dapat dibentuk kembali menjadi retinol atau retinal (Olson, 1991). Biasanya vitamin A di dalam makanan terdapat dalam bentuk ester retinil, yaitu terikat dalam asam lemak rantai panjang (Almatsier, 2006). Struktur retinol dapat dilihat pada Gambar 3.

Vitamin A tahan terhadap panas cahaya dan alkali, tetapi tidak tahan terhadap asam dan oksidasi. Pada cara memasak biasa tidak banyak vitamin A yang hilang. Suhu tinggi untuk menggoreng dapat merusak vitamin A. Demikian pula oksidasi yang terjadi pada minyak

Bahan makanan mg Cabai hijau 242.5 Cabai merah 144 Jambu biji 228 Paprika kuning 184 Thyme 160 Peterseli 133 Sawi 70 Brokoli 89 Kiwi 93 Pepaya 62 Jeruk 59 Strawberi 59

(12)

15

yang tengik. Ketersediaan biologis vitamin A meningkat dengan kehadiran vitamin E dan antioksidan lain (Almatsier, 2006).

Gambar 3. Struktur kimia retinol

Vitamin A esensial untuk pemeliharaan kesehatan dan kelangsungan hidup. Dengan demikian, pemenuhan kebutuhan vitamin A sangat penting untuk pemeliharaan keberlangsungan hidup secara normal. Vitamin A memiliki empat fungsi utama, yaitu penglihatan, diferensiasi sel, pertumbuhan, dan reproduksi (Linder, 1992). Sedangkan Broody (1994), membagi fungsi vitamin A ke dalam tiga kelas, yaitu mendorong diferensiasi sel epitel, mendorong kelangsungan hidup dari sistem reproduktif (pertumbuhan fetal dan vitalitas testis), dan utilisasi siklus penglihatan.

Vitamin A dapat diperoleh dari bahan pangan nabati maupun hewani, sebagian besar dalam bentuk ß-karoten dan retinil ester dari hewan. Bentuk aktif vitamin A hanya terdapat dalam pangan hewani. Di sisi lain, pangan nabati mengandung karotenoid yang merupakan prekursor vitamin A. Hanya karotenoid bentuk alfa, beta, gama, dan kriptosantin yang berperan sebagai provitamin A. Bentuk beta-karoten adalah yang paling aktif, terdiri atas dua molekul retinol yang saling. Bagi ß-karoten harus mengalami pemecahan dalam tubuh menjadi dua molekul retinal. Selanjutnya senyawa tersebut dimetabolisme dalam tubuh mengikuti jalur metabolisme asam lemak, ditransportasikan, dan disimpan dalam hati. Konsentrasi retinol dalam tubuh ditentukan oleh tingkat sekresi hati dan levelnya dipertahankan sangat konstan kecuali dalam keadaan defisiensi atau keracunan (Linder, 1992).

Beberapa sumber vitamin A antara lain hati, kuning telur, susu, minyak ikan dan mentega. Sumber karoten antara lain sayuran hijau tua serta sayuran dan buah-buahan berwarna kuning-jingga, seperti daun singkong, kangkung, bayam, buncis, wortel, tomat, pepaya, mangga dan jeruk. Minyak sawit merah juga kaya akan karoten. Beberapa bahan makanan yang mengandung vitamin A terdapat di Tabel 7.

Defisiensi terhadap vitamin A dapat disebabkan oleh beberapa faktor. Konsumsi vitamin A (provitamin A) rendah, gangguan dalam proses penyerapan di dalam usus halus, gangguan dalam proses penyimpanan di hati, dan gangguan dalam proses konversi provitamin A menjadi vitamin A merupakan faktor yang harus diperhatikan untuk mencegah defisiensi vitamin A. Gejala maupun akibat defisiensi yang muncul adalah refleksi dari berbagai peranan vitamin A (Muchtadi, 1993).

Gejala defisiensi vitamin A pada mata yaitu rabun senja, keratinisasi kornea, opacity (kornea keruh), bitot’s spot, xerosis conjunctival, dan xerophtalmia. Gejala defisiensi vitamin A pada kulit yaitu kulit kasar, kering, dan folliculasis (benjolan kecil di dasar kantung rambut yang mengeras). Gejala defisiensi vitamin A lainnya yaitu infeksi saluran pernafasan, pertumbuhan tulang terlambat, gangguan kesuburan/ fertilitas pada pria, gangguan siklus estrus, perkembangan plasenta, gangguan reproduksi wanita, gangguan resorpsi fetus,

(13)

16

hilangnya enamel gigi, penurunan selera makan, penurunan kemampuan indera pencium, dan perasa (Muchtadi, 1993).

Kekurangan vitamin A biasanya terjadi pada anak-anak balita. Tanda-tanda kekurangan terlihat bila simpanan tubuh habis terpakai. Kekurangan vitamin A merupakan kekurangan primer akibat kurang konsumsi, atau kekurangan sekunder karena gangguan penyerapan dan penggunaannya dalam tubuh, kebutuhan yang meningkat, atau gangguan konversi karoten menjadi vitamin A. Kekurangan vitamin A sekunder dapat terjadi pada penderita Kurang Energi Protein (KEP), penyakit hati, alfa, beta-lipoproteinemia, atau gangguan absorpsi karena kurang asam empedu (Almatsier, 2006).

Tabel 7. Kandungan vitamin A berbagai bahan makanan (Retinol Ekivalen (RE) µg/100g)

Sumber: Daftar Analisis Bahan Makanan, FKUI (1992)

Beberapa jenis penyakit yang membahayakan manusia terjadi karena defisiensi vitamin A. Buta senja adalah salah satu tanda awal kekurangan vitamin A, yaitu ketidakmampuan menyesuaikan penglihatan dari cahaya terang ke cahaya samar-samar. Perubahan pada mata dapat terjadi jika kekurangan vitamin A lebih lanjut berupa kelenjar air mata tidak mampu

Bahan makanan RE

Hati sapi 13,170

Kuning telur bebek 861

Daging Ayam 600

Ginjal 243 Ikan sardin (kaleng) 250

Minyak ikan 24,000

Minyak kelapa sawit 18,000 Minyak hati ikan hiu 2,100

Wortel 3,600 Daun singkong 3,300 Daun pepaya 5,475 Daun lamtoro 5,340 Daun talas 3,118 Daun melinjo 3,000 Daun katuk 3,111 Sawi 1,940 Kangkung 1,890 Bayam 1,827 Ubi jalar merah 2,310

Mentega 1,287 Margarin 600 Susu bubuk full cream 471

Keju 225 Susu kental manis 153

Susu segar 39

Mangga masak pohon 1,900

Pisang raja 285

Tomat masak 450

(14)

17

mengeluarkan air mata sehingga terjadi pengeringan pada selaput yang menutupi kornea. Jika kondisi tersebut terus berlanjut penyakit yang terjadi adalah xeroftalmia, dimana kornea menjadi lunak dan pecah. Fungsi kekebalan tubuh menurun pada orang yang kekurangan vitamin A, sehingga mudah terserang infeksi. Selain itu, kulit juga menjadi kering dan kasar, folikel rambut menjadi kasar, mengeras dan mengalami keratinisasi. Kekurangan vitamin A juga menghambat pertumbuhan sel-sel, termasuk sel tulang (Almatsier, 2006).

Di sisi lain, kelebihan vitamin A juga bisa mengakibatkan gangguan kesehatan. Kelebihan vitamin A bisa terjadi bila memakan vitamin A sebagai suplemen dalam takaran tinggi secara berlebih, misalnya takaran 16,000 RE untuk jangka waktu lama atau 40,000-55,000 RE/hari. Gejala yang ditimbulkan pada orang dewasa antara lain kepala pusing, mual, rambut rontok, kulit mengering, anoreksia, dan sakit pada tulang. Gejala pada wanita adalah terganggunya siklus menstruasi sehingga berhenti. Pada bayi, terjadi pembesaran kepala, hidrosefalus, dan mudah tersinggung (Almatsier, 2006).

E. REMAJA

Masa remaja merupakan saat terjadinya perubahan-perubahan cepat dalam proses pertumbuhan fisik, kognitif dan psikososial. Pada masa ini terjadi kematangan seksual dan tercapainya bentuk dewasa karena pematangan fungsi endokrin. Pada saat proses pematangan fisik, juga terjadi perubahan komposisi tubuh. Periode adolesensia ditandai dengan pertumbuhan yang cepat (growth spurt) baik tinggi maupun berat badannya. Pada periode growth spurt, kebutuhan zat gizi tinggi karena berhubungan dengan besarnya tubuh. Growth spurt pada anak perempuan antara umur 10 dan 12 tahun, sedangkan pada anak laki-laki antara umur 12 sampai 14 tahun (Almatsier, 2006).

Permulaan growth spurt pada anak tidak selalu pada umur yang sama melainkan tergantung individualnya. Pertumbuhan yang cepat biasanya diiringi oleh pertumbuhan aktivitas fisik sehingga kebutuhan zat gizi akan naik pula. Kenaikan ini diperlukan selain untuk pemeliharaan fungsi fisiologis juga untuk menunjang pertumbuhan yang optimal (Muhilal et al., 1998).

Gizi kaum remaja yang dicerminkan oleh pola makannya akan sangat menentukan dalam mencapai pertumbuhan fisik optimal sesuai dengan potensi genetik yang dimilikinya. Beberapa mineral yang penting untuk diperhatikan adalah kalsium, zat besi, dan seng (Khomsan, 2004). Zat gizi dibutuhkan oleh remaja selain untuk pertumbuhan fisiknya juga untuk perkembangannya atau kemampuan intelegensi antara lain energi, protein, vitamin B6, vitamin C, seng, zat besi, dan kalsium (Wirakusumah, 1993).

Survei yang dilakukan Hurlock (1997) menunjukkan bahwa remaja menyukai makanan jajanan (snack). Jenis makanan ringan yang dikonsumsi adalah kue-kue yang rasanya manis, biskuit, wafer, pastry, dan permen. Sebaliknya sayur serta buah yang banyak mengandung vitamin C tidak populer untuk dikonsumsi. Hal ini mengakibatkan diet mereka rendah akan zat besi, vitamin C, dan lain-lain. Disamping itu hasil survei juga menunjukkan bahwa remaja menyukai minum-minuman ringan (soft drink), teh, dan kopi yang frekuensinya lebih sering dibandingkan dengan minum susu.

Kekurangan asupan harian beberapa zat gizi mikro pada remaja Indonesia perlu diatasi dengan memperkaya zat gizi pada makanan yang dikonsumsi. Hal ini penting karena remaja Indonesia mengalami gangguan tumbuh kembang dan penurunan tingkat kecerdasan (Untoro, 2004). Formulasi pada proses fortifikasi zat besi, kalsium, seng, vitamin A, dan vitamin C dilakukan pada wafer krim karena remaja menyukai produk yang mudah dibawa dan dapat dikonsumsi kapan saja

(15)

18

Laporan United State Department of Agriculture (USDA) menyebutkan pascakrisis ekonomi di Indonesia, industri makanan olahan mendapat kenyataan adanya perubahan profil konsumen (Maryoto, 2003). Mereka adalah masyarakat yang menginginkan kepuasan yang lebih, kritis, dan berpendidikan. Konsumen ini mulai mengenal produk-produk fortifikasi, seperti susu, biskuit, es krim yang ditambahkan vitamin dan mineral. Mereka memiliki pengetahuan yang baru berkat media yang diakui berperan penting dalam "mengedukasi" konsumen. Akibatnya saat ini banyak dilakukan riset-riset yang mengarah pada inovasi produk dengan segmentasi dan target konsumen yang sangat tajam seperti segmentasi berdasar umur dan juga targetted product (Maryoto, 2003). Salah satu segmentasi yang banyak diburu produsen saat ini adalah konsumen remaja.

Bagi produsen, kelompok usia remaja adalah salah satu pasar yang potensial. Alasannya antara lain karena pola konsumsi seseorang terbentuk pada usia remaja dan pola tersebut akan mempengaruhi pola konsumsinya di masa mendatang. Selain itu, remaja biasanya mudah terbujuk rayuan iklan, suka mengikuti trend, tidak realistis, dan cenderung boros dalam menggunakan uangnya. Sifat-sifat remaja inilah yang dimanfaatkan oleh sebagian produsen untuk memasuki pasar remaja. Berdasarkan data Departemen Kesehatan Republik Indonesia tahun 2006, remaja Indonesia (usia 10-19 tahun) berjumlah sekitar 43 juta jiwa atau 19.61% dari jumlah penduduk (Dhamayanti, 2009). Jumlah ini merupakan sasaran dari pemasaran berbagai barang dan jasa, tidak terkecuali industri makanan olahan seperti wafer (Maryoto, 2003).

Meski hanya makanan camilan, market size wafer secara total diperkirakan senilai Rp 3 triliun untuk tahun 2009 dengan proporsi wafer cream masih mendominasi 55%, dan wafer stick sebesar 45% (Mubarak, 2010). Menurut Murdono (2003), wafer yang digolongkan sebagai biskuit dalam kategori pangan, dikonsumsi di Indonesia sebanyak 695 gram per kapita per tahun, namun sumber tidak menyebutkan jangka waktunya.

F. KEMASAN

Kemasan disebut juga bungkus atau wadah memegang peranan penting dalam pengawetan bahan pangan. Menurut Syarief dan Irawati (1988), kemasan berfungsi sebagai: 1) wadah untuk menempatkan produk dan memberi bentuk sehingga memudahkan dalam penyimpanan, pengangkutan, dan distribusi; 2) memberi perlindungan terhadap mutu produk dari kontaminasi luar dan kerusakan; dan 3) menambah daya tarik produk.

Kemasan plastik banyak digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada kemasan metal atau gelas, serta memerlukan energi yang lebih kecil dalam pembuatan, konversi, dan pendistribusiannya (Hernandez dan Giazin, 1998). Sebagai bahan pembungkus, plastik dapat digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan bahan lain misalnya kertas atau aluminium foil.

Kombinasi antara berbagai macam kemasan plastik berbeda atau plastik dengan kemasan non plastik (kertas, aluminium foil, dan selulosa) dimana ketebalan setiap lapisan utamanya lebih dari 6 mikron dan diproses dengan cara laminasi ekstrusi atau laminasi adhesif disebut sebagai kemasan laminasi (Robertson, 1993). Minimal ada dua jenis kemasan yang dikombinasikan dalam kemasan laminasi dimana salah satunya harus bersifat thermoplastic.

Kemasan laminasi yang dibuat dari kombinasi antara berbagai plastik dengan aluminium disebut metallized plastic. Walaupun lapisan pelogaman ini sangatlah tipis sekitar 300-1000 Å (0.03-0.1µm) tetapi dapat meningkatkan perlindungan, menahan bau, memberikan efek kilap, dan menahan gas (Matsumoto, 1999). Kemasan ini memiliki ketahanan terhadap uap air dan gas yang lebih baik dari plastik tunggal, tidak meneruskan cahaya, dan menghambat masuknya oksigen.

(16)

19

Penggunaan ini sangat sesuai untuk mengemas kopi, makanan kering, keju, dan roti panggang (Brown, 1992).

Jenis kemasan yang digunakan pada penentuan umur simpan produk wafer krim adalah kemasan dua layer dan kemasan tiga layer. Kemasan dua layer yang dimaksud adalah CPP (Cast Polypropilene) yang disemprot aluminium sehingga terlapisi lalu dilaminasi dengan OPP (Oriented polypropilene) untuk kebutuhan pelabelan. Pada kemasan pertama ini, film plastik yang dimetalisasi adalah CPP. Penggunaan CPP sebagai bahan kemasan terbatas karena daya tahan sobek CPP rendah. CPP tidak disarankan untuk mengemas produk yang berat dan tajam kecuali dilapisi oleh bahan yang lebih kuat dan lebih tahan sobek (Robertson, 1993).

Plastik OPP (Oriented polypropilene) merupakan polypropilene yang telah mengalami proses peregangan secara silang dan digunakan untuk kebutuhan pelabelan. Menurut Syarief et al. (1989), untuk memperbaiki sifat-sifat polipropilen, dalam proses pembuatannya digunakan modifikasi penarikan satu arah menjadi OPP atau jika penarikan dua arah menjadi BOPP (Biaxially Oriented Polypropilene). Sifat polipropilen yaitu lebih jernih dari LDPE dan HDPE, lebih kaku, lebih kasar dari LDPE, daya kedap air sempurna, dan densitas lebih rendah. OPP bersifat tahan terhadap suhu tinggi, tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak, serta rapuh terhadap suhu rendah.

Jenis kemasan kedua yaitu kemasan tiga layer. Kemasan ini merupakan kemasan CPP (Cast Polypropilene) yang dimetalisasi kemudian dilaminasi dengan PET (polietilen tereftalat) dan pada bagian terluar OPP untuk kebutuhan pelabelan. PET banyak digunakan dalam laminasi terutama untuk bagian luar karena dapat meningkatkan daya tahan kemasan terhadap kikisan dan sobekan sehingga banyak digunakan sebagai kemasan pangan yang memerlukan perlindungan (Syarief et al., 1989). Salah satu sifat yang paling penting dari polietilen adalah permeabilitasnya yang rendah terhadap uap air. PET juga bersifat thermoplastik sehingga mudah dibuat kantung dengan derajat kerapatan yang baik.

G. UMUR SIMPAN

Menurut Institute of Food Technology seperti yang dikutip oleh Arpah (2001), umur simpan produk pangan adalah selang waktu antara saat produksi hingga saat konsumsi dimana produk berada dalam kondisi yang memuaskan pada sifat penampakan, rasa, aroma, tekstur, dan nilai gizi. Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu industri pangan yang bermutu baik saja yang didistribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006).

Menurut Ellis (1994), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Syarief dan Halid (1993) menyatakan bahwa penurunan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor tersebut. Oleh karena itu, dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut. Jenis parameter atau atribut mutu yang diuji tergantung pada jenis produknya. Untuk satu produk, yang diuji tidak semua parameter, melainkan salah satu saja yaitu yang paling cepat mempengaruhi penerimaan konsumen.

Menurut Floros (1993), umur simpan produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan Extended Storage Studies (ESS)/ metode konvensional dan Accelerated Storage Studies (ASS)/ metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara konvensional memerlukan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan pengamatan penurunan mutunya. Metode akselerasi diterapkan pada produk

(17)

20

pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau intensitas cahaya, baik secara sendiri-sendiri maupun gabungannya (Floros, 1993). Pada metode ini kondisi penyimpanan diatur di luar kondisi normal sehingga produk dapat lebih cepat rusak dan penentuan umur simpan dapat ditentukan (Arpah dan Syarief, 2000). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat, tetapi tetap memiliki ketepatan dan akurasi yang tinggi.

Penentuan umur simpan untuk wafer krim dapat dilakukan dengan beberapa cara seperti uji kadar air kritis, uji ketengikan, uji arhenius, dan lain sebagainya. Dalam penelitian ini diukur perubahan kandungan vitamin C pada wafer krim menggunakan metode arhenius. Berubahnya kandungan vitamin C pada wafer menandakan perubahan zat gizi yang paling sensitif. Hal ini disebabkan vitamin C mudah terdegradasi oleh oksigen, adanya pengkelat seperti besi dan tembaga, pH dan suhu. Penentuan umur simpan pada penelitian ini menggunakan perubahan vitamin C sebagai rejection point karena fokus penelitian ini mencakup fortifikasi zat gizi termasuk perubahannya. Rejection point adalah batas di mana produk sudah dikategorikan ditolak karena terjadi perubahan mutu pada kriteria yang telah ditentukan. Contohnya, rejection point vitamin C 10% artinya produk sudah ditolak mutunya jika kadar vitamin C yang tersisa pada produk tinggal 10%.

H. UJI ORGANOLEPTIK

Uji organoleptik adalah disiplin ilmu yang menganalisa dan mengukur respon indera manusia terhadap komposisi produk yang dapat digunakan sebagai alat pengukuran daya terima terhadap produk (Susiwi, 2009). Penilaian organoleptik sangat banyak digunakan untuk menilai mutu dalam industri pangan dan industri hasil pertanian lainnya. Dalam beberapa hal penilaian dengan indera bahkan melebihi ketelitian alat yang paling sensitif.

Cara-cara pengujian organoleptik dapat digolongkan dalam beberapa kelompok. Pertama adalah kelompok pengujian pembedaan (different test). digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua sampel. digunakan untuk menetapkan apakah ada perbedaan sifat sensorik atau organoleptik antara dua sampel. Kelompok kedua adalah pengujian pemilihan atau penerimaan. Uji penerimaan menyangkut penilaian seseorang akan suatu sifat atau kualitas suatu bahan yang menyebabkan orang menyenenangi produk tersebut. Tujuan uji penerimaan ini untuk mengetahui apakah suatu komoditi atau sifat sensorik tertentu dapat diterima oleh masyarakat. Kelompok ketiga adalah pengujian skalar. Pada uji skalar penelis diminta menyatakan besaran kesan yang diperolehnya. Besaran ini dapat dinyatakan dalam bentuk besaran skalar atau dalam bentuk skala numerik. Kelompok keempat adalah pengujian deskriptif. Pengujian ini merupakan penilaian sensorik yang didasarkan pada sifat-sifat sensorik yang lebih kompleks atau yang meliputi banyak sifat-sifat sensorik, karena mutu suatu komoditi umumnya ditentukan oleh beberapa sifat sensorik. Pada uji ini banyak sifat sensorik dinilai dan dianalisa sebagai keseluruhan sehingga dapat menyusun mutu sensorik secara keseluruhan (Susiwi, 2009).

Pada penelitian ini uji organoleptik lebih difokuskan kepada penerimaan suatu produk. Uji penerimaan meliputi dua jenis uji. Uji penerimaan pertama adalah uji kesukaan atau hedonik. pada uji ini panelis mengemukakan tanggapan pribadi suka atau tidak suka, disamping itu juga mengemukakan tingkat kesukaannya. Tingkat kesukaan disebut juga skala hedonik. Skala hedonik ditransformasi ke dalam skala numerik dengan angka menaik menurut tingkat kesukaan. Dengan data numerik tersebut dapat dilakukan analisa statistik. Uji penerimaan kedua adalah uji

(18)

21

mutu hedonik. pada uji ini panelis menyatakan kesan pribadi tentang baik atau buruk (kesan mutu hedonik). Kesan mutu hedonik lebih spesifik dari kesan suka atau tidak suka, dan dapat bersifat lebih umum (Susiwi, 2009).

Uji organoleptik mencakup beberapa atribut mutu yang dinilai. Beberapa di antaranya adalah penampilan, aroma, tekstur, suara, rasa, dan penilaian keseluruhan (Anonim4, 2010). Penampilan meliputi kesan visual yang ditampilkan oleh produk, bisa berupa warna maupun bentuk. Aroma meliputi kesan olfaktori yang ditangkap oleh indera penciuman berupa bau dari sampel yang diuji. Tekstur meliputi kesan permukaan pada produk yang diperoleh dari sentuhan, bisa berupa sentuhan saat dipegang oleh tangan maupun tekstur saat produk dirasakan oleh lidah di dalam mulut. Suara meliputi kesan auditori yang ditangkap indera pendengaran baik saat sampel diberi perlakuan oleh tangan atau saat sampel dikunyah di dalam mulut. Rasa meliputi kesan yang muncul saat sampel dirasakan oleh papil-papil pengecap lidah, yang secara umum terdiri dari asam, manis, asin, pahit, dan umami. Penilaian keseluruhan (overall) meliputi penilaian menyeluruh terhadap sampel yang diuji tanpa memilah-memilah kesukaan terhadap kesan tertentu (Susiwi, 2009).

Gambar

Gambar 1. Grafik studi rata-rata absorpsi kalsium secara in vivo oleh Purac (2003)  Terdapat beberapa penyebab berkurangnya tingkat absorpsi kalsium di dalam tubuh
Gambar 2. Struktur kimia asam askorbat
Gambar 3. Struktur kimia retinol

Referensi

Dokumen terkait

kehamilan antara 32 dan 36 minggu (Wiknjosastro,2007;h. Anemia defisiensi zat besi pada wanita biasanya disebabkan oleh;. 1) Penurunan asupan atau absorbsi zat besi, termasuk

Anemia pada Kehamilan disebabkan meningkatnya kebutuhan zat besi untuk pertumbuhan janin, kurangnya asupan zat besi pada makanan yang dikonsumsi ibu hamil, pola makan ibu

kalsium bikarbonat, kalsium dan seng fosfat, kalsium fosfat, silika dengan konsentrasi tinggi, besi dioksida (senyawa yang disebabkan oleh kurangnya kontrol korosi atau alami

a) Sebagai alat pengakut zat-zat makanan, air dan oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Darah membawa zat-zat yang di perlukan tubuh misalnya vitamin, gula, lemak

Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang

Tepung Daun Kelor Menurut hasil penelitian Fuglie LJ pada tahun 1999 Krisnadi, 2015, daun kelor mengandung vitamin A, vitamin C, vitamin B, kalsium, kalium, besi, dan protein dalam

Kandungan zat gizi pada 100 gram telur ayam Zat Gizi Kandungan Satuan Energi 154 Kal Protein 12,4 Gram Lemak 10,8 Gram KH 0,7 Gram Besi 3 Mg Vitamin C 0 Mg Sumber : Kemenkes

Metode kuantitatif Metode secara kuantitatif dimaksud untuk mengetahui jumlah makanan yang dikonsumsi sehingga dapat dihitung konsumsi zat gizi dengan menggunakan daftar komposisi