BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kelapa sawit sebagai tanaman penghasil minyak sawit dan inti sawit
merupakan salah satu primadona tanaman perkebunan yang menjadi penghasil devisa
non migas di Indonesia. Cerahnya prospek komoditi minyak kelapa sawit dalam
perdagangan minyak nabati dunia telah mendorong pemerintah Indonesia untuk
memacu pengembangan areal perkebunan kelapa sawit.
Komoditas kelapa sawit menyumbang devisa kepada negara sebesar US$
16,07 milyar dengan volume ekspor 15,33 juta ton pada tahun 2013 bulan Januari
sampai dengan September (Tabel 1.1) dengan negara tujuan ekspor kelapa sawit ke
India, China dan negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Permintaan kelapa
sawit untuk kebutuhan konsumsi akan terus mengalami peningkatan karena seiring
dengan bertambahnya jumlah populasi manusia,sehingga permintaan akan CPO
meningkat. Bagian yang paling utama untuk diolah dari kelapa sawit adalah buahnya.
Bagian daging buah menghasilkan minyak kelapa sawit mentah yang dapat diolah
menjadi bahan baku minyak goreng dan keperluan lain sebagai biofuel (bahan
bakar).
Tabel 1.1 Nilai volume ekspor dan produksi CPO Indonesia ke Mancanegara
1
http://www.gapki.or.id/
Pada Tabel 2 luas tanaman untuk komoditi kelapa sawit untuk lima
tahun terakhir mengalami peningkatan. Pada tahun 2013 luas tanaman perkebunan
kelapa sawit sebesar 6,17 juta hektar, sedangkan pada tahun 2008 luas tanam
perkebunan di Indonesia berkisar 4,5 juta hektar. Luas areal t a n a m a n
perkebunan kelapa sawit dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2006 menunjukkan
perubahan yang sangat signifikan. Perubahannya terutama antara tahun 1995
sampai dengan tahun 2006, dimana untuk total luas areal t a n a m a n
p e r k e b u n a n k e l a p a s a w i t dari 0,9 juta hektar menjadi 3,7 juta hektar
dan akan terus meningkat seiring dengan meningkatnya minyak nabati dunia.
Sementara masih terdapat peluang untuk ketersediaan lahan untuk tanaman
perkebunan kelapa sawit disetiap propinsi di Indonesia (Tabel 3).
Tabel 1.2. Luas Tanaman Perkebunan Besar Menurut Jenis Tanaman,
Indonesia (000 Ha), 1995 - 2013*
Peningkatan areal perkebunan kelapa sawit akibat dari menguatnya
permintaan CPO sebagai bahan baku bahan bakar nabati (BBN) yang mampu
menggantikan komoditi jagung sebagai bahan baku kebutuhan industri, sehingga
menyebabkan tingginya permintaan terhadap hasil produksi kelapa sawit.
Meningkatnya permintaan akan CPO menyebabkan pemerintah mengadakan
kegiatan perluasan dan peremajaan (Revitalisasi) lahan direncanakan pada
beberapa daerah, seperti Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Jambi,
Riau, Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Banten, Bali, Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua, dan Irian Jaya Barat.
Produksi CPO dari tahun 2002 sampai dengan tahun 2006 mengalami
peningkatan (Lampiran 1). Pada tahun 2002 produksi kelapa sawit sebesar 9,62
juta ton dan mengalami peningkatan untuk tahun 2006 yaitu sebesar 17,35 juta
ton.
Peningkatan produksi kelapa sawit akibat dari areal penanaman sawit
yang juga mengalami peningkatan karena para produsen kelapa sawit melihat
kebutuhan minyak goreng serta CPO yang meningkat dari dalam negeri maupun
dari luar negeri. Peningkatan produksi kelapa sawit juga akibat dari mahalnya
harga CPO di pasar internasional sehingga banyak produsen mengekspor CPO ke
luar negeri. Proyeksi produksi kelapa sawit di Indonesia pada tahun 2010 menjadi
18 juta ton, pada tahun 2015 akan menjadi 21 juta ton dan pada tahun 2015 akan
meningkat sebesar 15 persen atau sebesar 24 juta ton. Proyeksi ekspor kelapa sawit
Indonesia ke luar negeri diperkirakan pada tahun 2010 sebesar 12,5 juta ton dan
akan meningkat sebesar 25 persen atau sebesar 15 juta ton dan pada tahun 2020
sebesar 16 juta ton.
Dibandingkan dengan Negara Malaysia, kelapa sawit Indonesia
memiliki sejumlah keunggulan komparatif. Keunggulan pertama, Indonesia
memiliki lahan dan tenaga kerja melimpah. Pada Saat ini ada lahan 9,2 juta hektar
lahan yang bisa diperluas menjadi 18 juta hektar, sedangkan perluasan lahan
sawit di Malaysia terbatas.
Keunggulan kedua, biaya produksi CPO Indonesia lebih rendah daripada
Malaysia. Selain mengekspor CPO, Negara Malaysia mengolahnya menjadi
berbagai produk hilir bernilai tinggi.
tahun) dibandingkan dengan Indonesia (2,51 ton CPO per hektar per tahun).
Malaysia mampu memanfaatkan 87 persen kapasitas pabrik terpasangnya yang
mencapai 86 juta ton tandan buah segar (TBS) per tahun, sedangkan Indonesia 65
juta ton TBS per tahun.
Dampak kekurangan pabrik pengolahan sawit di Indonesia tidak hanya
pada dayasaing yang rendah untuk produksi dan ekspor CPO, tapi juga
mengakibatkan berdirinya pabrik-pabrik pengolahan kelapa sawit tanpa memiliki
lahan sawit, hal ini menyebabkan jumlah produksi minyak sawit, kualitas
produksi, dan harga tidak mampu diprediksi serta dikontrol dengan baik. Kondisi
inilah yang mendukung perbedaan produksi dan ekspor kedua negara.
Di lain sisi tuntutan pasar konsumen Eropa menginginkan produknya
bersumber dari bahan baku yang dalam produksinya tidak ada unsur pelanggaran
HAM, kritikan dan protes para aktivis Internasional terhadap dampak negative dari
pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit secara besar – besaran dan kritikan
maupun protes para aktifis Lingkungan Hidup tentang kerusakan lingkungan akibat
dari Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit, adalah salah satu alasan dibalik
terbentuknya RSPO tersebut. Organisasi Roundtable itu awalnya didasarkan pada
suatu kerjasama informal antara sejumlah mitra bisnis dan WWF.
RSPO adalah sebuah lembaga non-profit yang anggotamya terdiri dari
enam sector yang terkait di dalam industry kelapa sawit, yaiitu produsen kelapa
sawit, pemroses atau pedagang kelapa sawit, manufaktur barang – barang
konsumen, peritel, bank dan investor, LSM Lingkungan maupun LSM sosial.
Dalam naungan RSPO tersebut, para pihak yang memiliki kepentingan tersebut,
mempunyai andil dalam mengembangkan dan menerapkan suatu standar global
untuk minyak sawit yang berkesinambungan (Unilever,2011).
Sertifikasi yang diterapkan oleh RSPO tersebut barang tentu juga turut
mempengaruhi perusahaan kelapa sawit yang ada di Indonesia. Dengan
terbentuknya prinsip dan kriteria tersebut, membuat perusahaan kelapa sawit
“menaati” dan “wajib” menerapkan prinsip dan kriteria tersebut. Maka semenjak
dikeluarkannya suatu kebijakan oleh RSPO tersebut mengenai prinsip dan kriteria
penanaman kelapa sawit yang berkelanjutan, perusahaan kelapa sawit di dunia dan
tak ketinggalan pula perusahaan kelapa sawit yang ada di Indonesia mulai
menerapkan prinsip – prinsip dan kriteria penanaman berkelanjutan yang telah
disepakati oleh RSPO tersebut, maupun berusaha mendapatkan label sertifikasi
berupa label Green Palm.
Seluruh prinsip RSPO menggambarkan elaborasi harmonis antara Good
Corporate Governance (selanjutnya disebut GCG), Corporate Social Responsibility
(CSR) dan pembangunan yang berwawasan lingkungan atau pembangunan
berkelanjutan. Organisasi Non-Profit ini, menyatukan para pemangku kepentingan
dari 7 (tujuh) sektor industri kelapa sawit sampai dengan produsen minyak kelapa
sawit, pengolah minyak kelapa sawit atau pedagang, produsen barang konsumen,
pengecer, bank dan investor, lingkungan atau LSM Konservasi Alam dan Sosial,
untuk mengembangkan dan menerapkan standar global untuk minyak sawit
berkelanjutan.
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, serta dengan mengingat bahwa kelapa
sawit namun, dalam perkembangan dan praktek di lapangan, dikarenakan
banyaknya aturan yang terdapat pada prinsip dan kriterianya, sehingga RSPO
dianggap hanya mengutamakan konsumen semata, yaitu pasar Eropa, sementara
kepentingan produsen tidak diperhatikan sama sekali. Perkembangan lainnya juga
terlihat pada timbulnya pemikiran bahwa pengembangan kelapa sawit di Indonesia
yang selalu berpedoman pada peraturan luar negeri yang terkadang tidak sesuai
dengan kondisi di Indonesia. RSPO dianggap tidak memberikan perlindungan
terhadap harga CPO akibat sensitifitas pasar Internasional yang lebih
memprioritaskan CPO yang bersertifikat RSPO.
Tabel 1.3 Prinsip RSPO untuk Perusahaan Minyak Sawit
Prinsip 1.
Komitmen terhadap transparansi
Prinsip 5.
Tanggungjawab
lingkungan
dan
konservasi
sumberdaya
dan
keanekaragaman hayati
Prinsip 2.
Kepatuhan terhadap Hukum dan
peraturan yang relevan
Prinsip 6.
Pertimbangan tanggungjawab atas
pekerja
serta
individu
dan
komunitas yang terpengaruh oleh
kegiatan pengusaha perkebunan dan
pabrik minyak sawit
Prinsip 3.
Komitmen
terhadap
viabilitas
keuangan
dan
ekonomi
jangka
panjang
Prinsip 7.
Pengembangan
penanaman
baru
yang bertanggungjawab
Prinsip 4.
Penerapan praktik – praktik terbaik
oleh pengusaha perkebunan dan
pabrik minyak sawit
Prinsip 8.
Komitmen terhadap perbaikan terus
menerus dalam area – area kegiatan
utama
Sumber : www.rspo.org
Salah satu perusahaan minyak sawit yang ada di Indonesia adalah PT.
Cipta Usaha Sejati yang berlokasi di Kecamatan Simpang Hilir Kabupaten Kayong
Utara Propinsi Kalimantan Barat yang merupakan salah satu anak perusahaan dari
PT.Pasifik Agro Sentosa ini juga terdaftar menjadi salah satu anggota RSPO. PT.
Cipta Usaha Sejati luas konsesi perkebunan seluas 15.000 Ha dan memiliki pabrik
minyak sawit (PKS) yang telah beroperasi dengan kapasitas olah sebanyak 45
ton/jam. Saat ini PT.Cipta Usaha Sejati menerapkan system Mass balance pada
pengolahan minyak sawit yang disertifikasi menggunakan RSPO.
Dengan diterapkannya sertifikasi RSPO pada PT.Cipta Usaha Sejati, maka
perusahaan dapat meningkatkan daya saingnya utamanya untuk produksi minyak
mentahnya untuk dapat bersaing di perdagangan dunia.
Walau saat ini PT. Cipta Usaha Sejati tidak melakukan perdagangan
ekspor sendiri, melainkan dipasok ke perusahaan – perusahaan ekportir minyak
sawit dunia seperti Wilmar, Sinarmas maupun Musim Mas. Selain peningkatan daya
saing, perusahaan juga telah menjadi perusahaan yang ramah lingkungan dan
terdapat kepedulian sosial yang diterapkan melalui program Corporate Social
Responsibility terhadap komunitas di area sekitar perkebunan sawit.
1.2 Rumusan Masalah
Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari sub sektor perkebunan merupakan
sumberdaya yang terus memberikan peluang untuk terus berkembang dan dapat
diandalkan sebagai sumber devisa selain dari sektor Migas yang terus mengalami
kemunduran akibat dari sifanya yang tidak dapat diperbarui. Perkebunan masih
memberikan peluang yang luas selain masih tersedianya lahan perkebunan baru,
juga tersedia tenaga kerja dan konsumen akhir yang terus mengalami
perkembangan setiap tahunnya. Negara produsen CPO, termasuk Indonesia
berusaha untuk memanfaatkan kelapa sawit sebagai penghasil devisa. Munculnya
negara industri baru, perkembangan ekonomi dunia dan pertumbuhan penduduk
menyebabkan kelapa sawit akan terus termanfaatkan.
Permasalahan peningkatan hasil CPO Indonesia di pasar internasional
yaitu disebakan oleh banyak faktor kendala, antara lain adalah ;
1. Produktivitas di bawah potensinya
Kelapa sawit Indonesia jika dibandingkan dengan Negara Malaysia
dari sisi produktivitas masih rendah. Negara Indonesia mempunyai rata-rata
produktivitas kelapa sawit sebesar 14-16 ton/hektar/tahun sementara Malaysia
mempunyai produktivitas sebesar 18-21 ton/hektar/tahun tandan buah segar sawit.
Produktivitas CPO yang dihasilkan Indonesia sebesar 2,51 ton/hektar berbeda
dengan Negara Malaysia yang mampu menghasilkan CPO sebesar 3,21 ton/hektar
(PPKS, 2006). Rendahnya produktivitas kelapa sawit Indonesia disebabkan oleh
penggunaan bibit yang tidak sesuai dengan standar (kualitas rendah dan palsu),
perawatan (pemupukan, pembersihan rumput, penyemprotan dan pruning) yang
tidak berkesinambungan, hama dan penyakit (ganoderma) yang menggangu
tanaman kelapa sawit seperti gajah, babi dan kera, serta faktor alam yang tidak
bisa diprediksi.
2. Industri hilir belum berkembang
Industri hilir pengolahan CPO di Indonesia saat ini masih terbatas
karena iklim investasi yang belum kondusif. Pengolahan minyak sawit mentah
untuk diolah menjadi produk yang lebih mempunyai nilai tambah (value add)
salah satunya oleokimia (sabun, detergen, margarin) dan minyak goreng masih
terbatas, karena investasi pembangunan pabrik pengolahan yang besar. Selain itu
masalah pasokan gas bumi dan listrik yang belum mencukupi kebutuhan pabrik
pengolahan kelapa sawit. Peluang besar bagi negara Malaysia untuk
mencukupi permintaan pasar dunia akan kebutuhan minyak nabati khususnya dari
kelapa sawit, dan merupakan peluang belum termanfaatkan oleh negara
Indonesia.
3. Infrastruktur yang terbatas
Areal penanaman kelapa sawit biasanya pada daerah yang jauh dari
pemukiman penduduk dan lokasi pabrik (50-200 km), kerena sebelum
dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit lahan tersebut adalah kawasan hutan.
Jarak yang jauh antara kebun kelapa sawit dengan pabrik tersebut tidak
didukung dengan fasilitas jalan dan jembatan yang baik. Pembangunan jalan
yang belum permanen menyebabkan
pengangkutan
sering
mengalami
keterlambatan apabila memasuki musim penghujan yang berdampak terhadap
penurunan kualitas buah sawit yang akan diolah.
4. Berbagai kebijakan yang tidak kondusif
Langkanya minyak goreng dan diikuti oleh mahalnya minyak goreng
dalam negeri diakibatkan naiknya harga CPO di pasar internasional. Naiknya
harga CPO di pasar internasional menyebabkan produsen dalam negeri banyak
mengekspor CPO dari pada menjual CPO di dalam negeri. Tingginya harga
CPO dunia juga dipengaruhi oleh permintaan yang semakin tinggi untuk
kebutuhan biodiesel dan pengaruh iklim global seperti kekeringan yang
berkepanjangan menyebabkan turunnya hasil pertanian baik untuk keperluan
pabrik nabati atau biodiesel seperti yang terjadi di Ukraina, China, USA, dan
beberapa Negara di Eropa.
Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mengatasi
kelangkaan minyak goreng adalah dengan meningkatkan pajak ekspor (PE)
berdasarkan keputusan menteri keuangan Nomor 61/PMK 001/2007 mengenai
peningkatan pajak ekspor untuk CPO dari 1,5 persen menjadi 6,5 persen dan
peningkatan pajak ekspor kelapa sawit segar (TBS) sebesar 10 persen dari
sebelumnya hanya 3 persen. Dampak yang ditimbukan oleh kebijakan
pemerintah dengan adanya pajak ekspor yaitu ;
a)
Mengurangi pendapatan produsen perkebunan kelapa sawit
b)Memicu penyeludupan CPO
c)
Menguntungkan negara eksportir lain
d)Berdampak kehilangan pasar
e)
Mengganggu iklim investasi
f)
Menghambat program pemerintah dalam program pengentasan
kemiskinan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 357/Kpts/HK.350/5/2002 tentang
Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, mengatur mengenai luas lahan usaha
budidaya perkebunan untuk satu perusahaan atau grup perusahaan yang ditetapkan
bahwa luas maksimum lahan usaha perkebunan adalah 20.000 hektar dalam satu
Provinsi atau 100.000 hektar untuk seluruh Indonesia. Dikeluarkanya keputusan
ini menyebabkan para investor bepikir untuk menanamkan investasi pada sub
sektor perkebunan, karena keputusan ini membuat pengusaha perkebunan sulit
untuk mengontrol operasional perkebunan yang tersebar di beberapa daerah.
5.
Berkembangnya areal swadaya tanpa pabrik kelapa sawit (PKS)
Harga kelapa sawit yang tinggi banyak dimanfaatkan petani kelapa
sawit, pihak swasta dan Badan Usaha Milik Negara untuk memperoleh
keuntungan dengan mengusahakan kelapa sawit. Areal swadaya yang di tanam
oleh masyarakat Indonesia saat ini belum didukung oleh pabrik pengolahan kelapa
sawit, karena untuk investasi pembangunan pabrik pengolahan membutuhkan
modal yang besar yaitu 103 miliar (PPKS, 2006). Akibat yang ditimbulkan oleh
kurangnya pabrik pengolahan buah kelapa sawit, menyebabkan buah sawit petani
perkebunan swadaya menjadi membusuk dan petani merugi. Integrasi vertikal
sangat penting agar antara pabrik dan pemilik kelapa sawit sehingga dapat saling
menguntungkan.
Dari 22 provinsi yang mengusahakan kelapa sawit di Indonesia,
terdapat 420 pabrik pengolahan kelapa sawit yang tersebar di daerah perkebunan
kelapa sawit. Akan tetapi ada provinsi yang tidak mempunyai pabrik
pengolahan kelapa sawit akan tetapi mempunyai perkebunan sawit, antara lain
Kepulauan Riau dan Sulawesi Tenggara.
6. Kampanye negatif terhadap produk kelapa sawit di pasar Internasional
Peningkatan produksi kelapa sawit dengan pembukaan lahan untuk
areal perkebunan kelapa sawit banyak menuai kritikan dari berbagai Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) internasional dan Negara di Eropa terutama
Inggris. Menurut mereka dampak yang ditimbulkan dari pembukaan lahan
kelapa sawit yaitu rusaknya lingkungan, menyebabkan deforestrasi, berkurangnya
satwa langka, dan penyumbang pemanasan global terbesar.
Perdagangan global menjanjikan pengurangan hambatan berupa tarif,
dan proteksi namun di satu sisi muncul tantangan baru berupa hambatan non tarif
atau non tarif barrier melalui ketentuan-ketentuan standard code yang dikenal
dengan perjanjian technical barrier to trade (TBT) dan perjanjian
sanitary and phytosanitary (SPS). Kedua perjanjian tersebut berkaitan dengan
standar produk dan jasa, perlindungan kesehatan, keselamatan masyarakat dan
lingkungan hidup. Karena itu dalam merebut peluang pasar yang makin terbuka,
penyediaan barang dan jasa harus didukung oleh suatu sistem mutu yang diakui
secara internasional. Dari uraian permasalahan di atas maka yang akan dikaji
dalam penelitian ini adalah
1.
Bagaimana pengaruh yang diberikan oleh lembaga RSPO terhadap
kebijakan Pemerintah Indonesia di sector perkebunan sawit khususnya
untuk PT. Cipta Usaha Sejati.
1.3
Tujuan Penelitian
1. Menganalisis pengaruh RSPO terhadap daya saing CPO non sertifikasi
dan sertifikasi khususnya pada PT. Cipta Usaha Sejati.
1.4 Batasan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini penulis menggunakan metode penelitian
dengan pengumpulan data sekunder dengan melakukan studi kepustakaan
berbagai literature, jurnal – jurnal, kliping, koran, makalah, penelusuran situs
internet, dan sumber – sumber lainnya yang berhubungan dengan masalah
tersebut yang dianggap relevan. Dan dalam skripsi ini penulis hanya
membahas pada pengaruh penerapan prinsip – prinsip RSPO terhadap
penjualan CPO pada PT.Cipta Usaha Sejati utamanya penekanan pada harga
jual CPO yang tersertifikasi RSPO.
1.5 Sistematika Penulisan
Untuk menjelaskan permasalahan dari pengaruh RSPO terhadap
pembangunan perkebunan sawit, maka penulis membagi permasalahan
dalam beberapa bagian bab. Pada bab pertama penulis akan menguraikan
kondisi perkebunan sawit di Indonesia, perihal kondisi luasan maupun dari
segi produksi. Pada bab kedua penulis akan menguraikan gambaran umum
terkait kelapa sawit dan penelitian serupa terdahulu. Pada bab tiga penulis
menguraikan tentang pengambilan dan pengolahan data konsep daya saing
dan pengaruhnya terhadap kebijakan kelapa sawit Pemerintah Indonesia. Di
bab empat penulis akan menuliskan tentang analisa pengaruh penerapan
RSPO pada perusahaan perkebuna sawit di Indonesia. Dan pada bab kelima
penulis akan menuliskan analisis perbandingan penerapan sertifikasi RSPO
terhadap harga jual CPO dan non sertifikasi RSPO. Pada bab keenam
penulis akan menuliskan kesimpulan dan saran dari penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2. 1 Gambaran Umum Kelapa Sawit 2.1.1 Sejarah Kelapa Sawit
Kelapa sawit pertama kali di tanam secara masal pada tahun 1911 di daerah asalnya Afrika Barat. Kegagalan penanaman tersebut menyebabkan perkebunan dipindahkan ke Kongo. Kelapa sawit masuk ke Indonesia pada tahun 1848 sebagai tanaman hias di Kebun Raya Bogor, tanaman kelapa sawit diusahakan sebagai komersial pada tahun 1912 dan di ekspor minyak kelapa sawit pertama dilakukan pada tahun 1919. Industri kelapa sawit Indonesia dan Malaysia berawal ketika empat benih dari Afrika ditanam pada Taman Botani Bogor tahun 1848. Benih kelapa sawit dari Bogor ini kemudian di tanam pada tepi jalan sebagai tanaman hias di Deli, Sumatera Utara pada tahun 1870-an dan di Rantau Panjang, Kuala Selangor, Malaysia pada tahun 1911-1912.
2.1.2 Karakteristik Tanaman Kelapa Sawit
Kelapa sawit (Elaeis) termasuk golongan tumbuhan palma. Di Indonesia penyebarannya di daerah Aceh, pantai timur Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Kelapa sawit menjadi populer setelah revolusi industri pada akhir abad ke-19 yang menyebabkan permintaan minyak nabati untuk bahan pangan dan industri sabun menjadi tinggi.
Kelapa sawit mempunyai produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya (seperti kacang kedelai, kacang tanah, biji bunga matahari dan tanaman penghasil minyak nabati lainnya), sehingga harga produksi menjadi lebih ringan. Kelapa sawit juga merupakan tanaman yang
paling tahan hama dan penyakit dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya. Jika dilihat dari konsumsi per kapita minyak nabati dunia mencapai angka rata-rata 25 kg/th per orang, kebutuhan ini akan terus meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan meningkatnya konsumsi per kapita.
Klasifikasi Botani tanaman kelapa sawit : Filum : Magnoliophyta
Kelas : Liliopsida Ordo : Arecales Famili : Arecaceae Genus : Elaeis
Spesies : Elaeis guineensis
Elaeis oleifera
Kelapa sawit dapat mencapai tinggi 25 meter. Bunga dan buahnya berupa tandan, bercabang banyak, ukuran buah kecil, bila masak berwarna merah kehitaman dan daging buahnya padat. Pada daging dan kulit buahnya mengandung minyak. Minyak tersebut digunakan sebagai bahan minyak goreng, sabun, dan lilin. Ampasnya dapat dimanfaatkan untuk makanan ternak, ampas yang disebut bungkil dapat digunakan sebagai salah satu bahan pembuatan makanan ayam. Tempurungnya digunakan sebagai bahan bakar dan arang.
Kelapa sawit dapat berkembang biak dengan biji (generatif) dan vegetatif. Tanaman ini tumbuh pada daerah tropis, pada ketinggian 0 - 500 meter di atas permukaan laut. Kelapa sawit membutuhkan tanah yang subur seperti tanah latosol, ultisol, alluvial dengan drainase yang baik serta solum yang cukup dalam kira-kira 1 meter, dengan kelembaban 80 sampai 90 persen. Kelembaban tinggi itu antara lain ditentukan oleh adanya curah hujan yang tinggi, sekitar 2000- 2500 mm setahun.
2.1.3 Bibit Kelapa Sawit di Indonesia
Ketersediaan bibit sangat penting dan strategis karena merupakan tumpuan utama untuk mencapai keberhasilan perkebunan. Kelapa sawit yang berkualitas membutuhkan bibit yang berkualitas sesuai dengan standar yang ditentukan. Pengembangan agribisnis kelapa sawit di Indonesia kedepan didukung secara handal oleh tujuh produsen benih dengan kapasitas 141 juta pada tahun 2006. Produsen penghasil bibit kelapa sawit yaitu: Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) dengan kapasitas produksi 40 juta ton, PT. Socfindo dengan kapasitas produksi 45 juta ton, PT. Lonsum dengan kapasitas produksi 14 juta ton, PT. Dami Mas dengan kapasitas produksi 15 juta ton, PT. Tunggal Yunus dengan kapasaitas produksi 6 juta ton, PT. Bina Sawit Makmur dengan kapasitas produksi 15 juta ton dan PT Tania Selatan sebesar 1 juta ton. Permasalahan benih palsu diyakini dapat teratasi melalui langkah - langkah sistematis dan strategis yang telah disepakati secara nasional. Impor benih kelapa sawit harus dilakukan secara hati - hati terutama dengan pertimbangan penyebaran penyakit.
Bibit yang dihasilkan oleh produsen resmi ini mempunyai kualitas baik karena berasal dari induk yang jelas asal usulnya seperti Delidura, Tenera dan Bapak Pisifera. Adapun ciri dari masing - masing jenis kelapa sawit yaitu :
1. Kelapa sawit jenis dura biasanya di tanam sebagai pohon induk dengan ciri
a. Mempunyai ciri daging buah tipis (20 - 65%) b. Tempurung yang tebal (20 - 50%)
Kriteria uji Satuan Persyaratan Mutu
Warna - Jingga kemerahan
Kadar air dan kotoran %, fraksi masa 0,5 maks
Asam lemak bebas %, fraksi masa 5 maks
Bilangan Yodium g yodium/100g 50 - 55
2. Kelapa sawit jenis pisifera biasanya di tanam sebagai tanaman serbuk dengan ciri :
a. Mempunyai ciri daging tebal (92 - 97%) b. Tidak mempunyai tempurung
c. Biji kecil (3 - 8%)
3. Kelapa sawit jenis tenera biasanya di tanam diperkebunan kelapa sawit dengan ciri :
a. Mempunyai ciri daging buah sedang (60 - 96%) b. Tempurung yang tipis (3 - 20 %)
c. Biji sedang (3 -15%)
2.1.4 Standar Nasional CPO (Crude Palm Oil)
Standar Nasional Indonesia untuk CPO adalah SNI 01-2901-2006 yang merupakan revisi dari SNI 01-2901-1992. Tujuan dari standar ini adalah menyesuaikan standar mutu minyak kelapa sawit mentah Indonesia dengan mutu minyak kelapa sawit yang umum dipakai dalam perdagangan internasional sesuai dengan perkembangan yang terakhir, sehingga minyak kelapa sawit Indonesia dapat bersaing dipasar internasional.
Tabel 2.1 Syarat Mutu Minyak Kelapa Sawit Mentah (CPO) Menurut Badan Standarisasi Nasional (BSN)
2.1.5 Konsep Dayasaing
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dalam kamus Bahasa Indonesia tahun 1995 berpendapat bawa dayasaing adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu atau bertindak untuk merebut pasar. Sedangkan menurut Brataatmaja (1994) mendefinisikan dayasaing sebagai kekuatan, kemampuan atau kesanggupan untuk bersaing. Pengertian dayasaing juga mengacu pada kemampuan suatu negara untuk memasarkan produk yang dihasilkan negara itu relatif terhadap kemampuan negara lain (Bappenas, 2007).
Pengertian dayasaing dapat diterjemahkan dari sisi permintaan (demand
side) dan dari sisi penawaran (supply side). Dari sisi permintaan, kemampuan bersaing
mengandung arti bahwa produk agribisnis yang dijual haruslah produk yang sesuai dengan atribut yang dituntut konsumen atau produk yang dipersepsikan bernilai tinggi oleh konsumen (Consumer's value perception). Sementara dari sisi penawaran, kemampuan bersaing berkaitan dengan kemampuan merespon perubahan atribut-atribut produk yang dituntut oleh konsumen secara efisien.
1. Keunggulan Komparatif
Suatu negara akan memperoleh keuntungan dari perdagangan dengan negara lain bila negara tersebut berspesialisasi dalam komoditas yang dapat diproduksi dengan lebih efesien (mempunyai keunggulan absolut) dan mengimpor komoditas yang kurang efesien (mengalami kerugian absolut). Konsep keunggulan komparatif (The Law of Comparative Advantage) yang dipopulerkan oleh David Ricado (1823) yang menyatakan bahwa sekalipun suatu negara mengalami kerugian atau ketidakunggulan absolut dalam memproduksi kedua komoditas jika dibandingkan dengan negara lain, namun perdagangan yang saling mengguntungkan masih dapat berlangsung. Negara yang kurang efesien akan berspesialisasi dalam memproduksi komoditas ekspor pada komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih kecil. Dari komoditas ini negara tersebut mempunyai keunggulan komparatif dan akan mengimpor komoditas yang mempunyai kerugian absolut lebih besar. Dari komoditas inilah negara mengalami kerugian komparatif (Salvatore, 1997).
Hukum keunggulan komparatif diperkuat oleh keunggulan komparatif berdasarkan Teori Biaya Imbangan (Opportunity Cost Theory), yang dikemukakan oleh Haberler tahun 1936. Harberler menyatakan bahwa biaya dari suatu komoditas adalah jumlah komoditas kedua terbaik yang harus dikorbankan untuk memperoleh sumberdaya yang cukup untuk memproduksi satu unit tambahan komoditas pertama (Salvatore, 1997).
Teori keunggulan komparatif yang lebih modern adalah teori Hecksher- Ohlin (1933), yang pada perbedaan bawaan faktor (produksi) antar negara sebagai determinasi perdagangan yang paling penting. Teori Hecksher-Ohlin menggangap bahwa sebuah negara akan mengekspor komoditas yang produksinya lebih banyak menyerap faktor produksi relatif melimpah dan murah di negara itu, dan dalam waktu bersamaan negara akan mengimpor komoditas yang produksinya memerlukan sumberdaya yang relatif langka dan mahal di negara itu. Keunggulan komparatif yang dimiliki dalam perdagangan memiliki sifat yang dinamis bukan statis. Sifat yang dinamis tersebut membuat negara memiliki keungglan komparatif di sektor tertentu harus mampu mempertahankan agar tidak tersaingi oleh negara lain atau digantikan komoditas subtitusinya.
2. Keunggulan Kompetitif
Keunggulan kompetitif adalah alat untuk mengukur kelayakan suatu aktivitas atau keuntungan privat yang dihitung berdasarkan harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku (analisis finansial), sehingga konsep keunggulan kompetitif bukan merupakan suatu konsep yang sifatnya menggantikan atau mensubtitusi terhadap konsep keunggulan komparatif, akan tetapi merupakan suatu konsep yang sifatnya saling melengkapi.
Analisis keunggulan kompetitif dapat digunakan sebagai alat untuk mengukur keuntungan privat dengan dasar aktivitas ekonomi diukur pada harga pasar dan nilai tukar resmi yang berlaku. Maka aktivitas ekonomi suatu negara dapat bersaing di pasar internasional dengan kompetitifnya dalam menghasilkan
suatu komoditas dengan asumsi adanya sistem pemasarannya dan intervensi pemerintah.
Keunggulan bersaing negara mencakup tersedianya peran sumberdaya dan melihat lebih jauh pada keadaan negara yang mempengaruhi perusahaan- perusahaan internasional pada industri yang berbeda. Sebagian besar sumberdaya yang penting seperti keahlian tenaga kerja yang tinggi, teknologi dan sistem manajemen yang canggih diciptakan melalui investasi oleh orang - orang dan perusahaan. Atribut yang merupakan faktor penentu keunggulan bersaing industri nasional yaitu kondisi sumberdaya, kondisi permintaan, industri pendukung dan terkait, serta persaingan, struktur dan strategi perusahaan. Keempat atribut tersebut didukung oleh peranan kesempatan dan peranan pemerintah dalam meningkatkan keunggulan dayasaing industri nasional, dan secara bersama-sama membentuk suatu sistem yang dikenal dengan National Diamond System.
Gambar 2.1 “The National Diamond System” Sumber : Porter 1990
Kesempatan
Strategi perusahaan,strukturdan persaingan
Kondisi faktor
Industri terkait
dan pendukung
Pemerintah
Setiap atribut yang terdapat dalam Teori Berlian Porter memiliki poin - poin penting yang menjelaskan secara detail atribut yang ada, dengan penjelasnya sebagai berikut ;
1. Kondisi Faktor Sumberdaya
Posisi suatu bangsa berdasarkan sumberdaya yang dimilikinya merupakan faktor produksi yang diperlukan untuk bersaing dalam industri tertentu. Faktor produksi tersebut digolongkan pada lima kelompok ;
a) Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia yang mempengaruhi daya saing industri nasional terdiri dari jumlah tenaga kerja yang tersedia, kemampuan manajerial dan keterampilan yang dimilikinya, biaya tenaga kerja yang berlaku (tingkat upah) dan etika kerja (termasuk moral).
b) Sumberdaya Fisik/Alam
Sumberdaya fisik atau sumberdaya alam yang mempengaruhi dayasaing industri nasional mencakup biaya, kualitas, aksesbilitas, ukuran lahan (lokasi), ketersediaan air, mineral dan energi serta sumber daya pertanian, perkebunan, kehutanan, perikanan (termasuk sumberdaya perairan laut lainnya), dan sumber peternakan, serta sumberdaya alam lainnya, baik yang dapat diperbarui maupun yang tidak dapat diperbarui. Begitu juga kondisi cuaca dan iklim, luas wilayah geografis, kondisi topografis dan lain-lain.
c) Sumberdaya Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
Sumberdaya IPTEK mencakup ketersediaan pengetahuan pasar, pengetahuan ilmiah yang menunjang dan diperlukan dalam memproduksi barang dan jasa. Begitu juga ketersediaan sumber-sumber pengetahuan dan teknologi, seperti perguruan tinggi,
basis data, laporan penelitian, asosiasi pengusaha, asosiasi perdagangan dan sumber pengetahuan dan teknologi lainnya.
d) Sumberdaya Modal
Sumberdaya modal yang mempengaruhi dayasaing nasional terdiri dari jumlah dan biaya (suku bunga) yang tersedia, jenis pembiayaan (sumber modal), aksesibilitas terhadap pembiayaan, kondisi lembaga pembiayaan dan perbankan, tingkat tabungan masyarakat, peraturan keuangan, kondisi moneter dan fiskal, serta peraturan moneter dan fiskal.
e) Sumberdaya Infrastruktur
Sumberdaya infrastruktur yang mempengaruhi dayasaing nasional dapat dilihat dari ketersediaan, jenis, mutu, dan biaya penggunaan infrastruktur yang mempengaruhi persaingan, termasuk sistem transportasi, komunikasi, pembayaran dan transfer dana, air bersih, energi listrik dan lain-lain.
2. Kondisi Permintaan
Kondisi permintaan dalam negeri merupakan faktor penentu dayasaing industri nasional, terutama mutu pemintaan domestik. Mutu permintaan domestik merupakan sarana pembelajaran perusahaan domestik untuk bersaing di pasar global. Mutu permintaan (pesaingan yang ketat) di dalam negeri memberikan tantangan bagi setiap pasar domestik. Ada tiga faktor kondisi permintaan yang mempengaruhi dayasaing nasional ;
a. Komposisi Permintaan Domestik
Karakteristik permintaan domestik sangat mempengaruhi dayasaing nasional. Karakteristik tersebut meliputi ;
1) Struktur segmen permintaan merupakan faktor penentu dayasaing Industri nasional. Pada sebagian besar industri, permintaan yang ada telah tersegmentasi atau dipersempit menjadi beberapa bagian yang lebih spesifik. Pada umumnya perusahaan lebih mudah memperoleh dayasaing pada struktur segmen permintaan yang lebih luas dibandingkan dengan struktur segmen yang sempit.
2) Pengalaman dan selera pembeli yang tinggi akan meningkatkan tekanan kepada produsen untuk menghasilkan produk yang bermutu dan memenuhi standar yang tinggi, yang mencakup standar mutu produk, fitur- fitur pada produk dan pelayanan.
3) Antisipasi kebutuhan pembeli yang baik dari perusahaan dalam negeri merupakan suatu poin dalam memperoleh keunggulan dayasaing.
b. Jumlah Permintaan dan Pola Pertumbuhan
Jumlah atau besarnya permintaan domestik mempengaruhi tingkat persaingan dalam negeri, terutama disebabkan oleh jumlah pembeli bebas, tingkat pertumbuhan permintaan domestik, timbulnya permintaan baru, dan kejenuhan permintaan lebih awal sebagai akibat perusahaan domestik melakukan penetrasi pasar lebih awal. Pasar domestik yang luas dapat diarahkan untuk mendapatkan keunggulan kompetitif dalam suatu industri. Hal ini terjadi jika industri dilakukan dalam skala ekonomis melalui adanya penanaman modal dengan membangun fasilitas skala besar, pengembangan teknologi dan peningkatan produktifitas.
c. Permintaan Luar Negeri Terhadap Nasional
Pembeli lokal yang merupakan pembeli dari luar negeri akan mendorong dayasaing industri nasional kerena dapat membawa produk tersebut keluar negeri. Konsumen yang memiliki mobilitas internasional tinggi dan sering mengunjungi suatu negara juga dapat mendorong dan meningkatkan dayasaing produk negeri yang dikunjungi tersebut.
3. Industri Terkait dan Industri Pendukung
Keberadaan industri pendukung dan industri terkait yang memiliki dayasaing global juga akan mempengaruhi dayasaing industri utamanya. Industri hulu yang memiliki dayasaing global akan memasok input bagi industri utama dengan harga lebih murah, mutu yang lebih baik, pelayanan yang cepat, pengiriman tepat waktu dan jumah sesuai dengan kebutuhan industri utama, sehingga industri tersebut juga akan memiliki dayasaing global yang tinggi. Begitu juga industri hilir yang menggunakan produk industri utama sebagai bahan baku. Apabila industri hilir memiliki dayasaing global maka industri hilir tersebut dapat menarik industri hulunya untuk memperoleh dayasaing global.
4. Struktur, Persaingan dan Strategi Perusahaan
Tingkat persaingan dalam industri merupakan salah satu pendorong bagi perusahaan-perusahaan yang berkompetisi untuk terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu dan sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan antar perusahaan untuk berkompetisi dan terus melakukan inovasi. Keberadaan pesaing lokal yang handal dan kuat merupakan faktor penentu sebagai motor penggerak untuk memberikan tekanan pada perusahaan lain untuk meningkatkan dayasaingnya. Perusahaan- perusahaan yang telah terbukti bersaing ketat dalam industri nasional akan lebih mudah memenangkan persaingan internasional dibandingkan dengan perusahaan- perusahaan yang belum memliki dayasaing nasional atau berada dalam industri yang tingkat persaingannya rendah.
Strukur industri dan struktur perusahaan juga menentukan dayasaing yang dimiliki oleh perusahaan-perusahaan yang tercakup dalam industri tersebut. Struktur industri yang monopolistik kurang memiliki daya dorong untuk melakukan perbaikan-perbaikan serta inovasi-inovasi baru dibandingkan dengan struktur industri yang bersaing. Di lain pihak, struktur perusahaan yang berada dalam industri sangat berpengaruh terhadap bagaimana perusahaan yang bersangkutan dikelola dan dikembangkan dalam suasana tekanan persaingan, baik domestik maupun internasional. Di samping itu, juga berpengaruh pada strategi perusahaan untuk memenangkan persaingan domestik dan internasional. Dengan demikian secara tidak langsung akan meningkatkan dayasaing global industri yang bersangkutan.
5. Peran Pemerintah
Peran pemerintah merupakan variabel pendukung dari Teori Berlian Porter. Pemerintah dapat mempengaruhi keempat variabel utama. Variabel kondisi faktor sumberdaya dipengaruhi melalui subsidi, kebijakan pasar modal, kebijakan pendidikan dan lain sebagainya. Peranan pemerintah dalam membentuk kondisi permintaan domesik seringkali sulit untuk dijelaskan. Pemerintah juga bertugas menetapkan standar produk lokal melalui departemen - departemen yang ada. Pemerintah juga seringkali menjadi pembeli utama, misalnya pembelian alat
telekomunikasi atau penerbangan untuk keperluan negara. Bahkan pemerintah dapat juga menjadi penjual utama atau memegang kekuasaan atas produk-produk vital yang menyangkut kepentingan rakyat banyak. Pada bagian industri pendukung dan terkait, pemerintah dapat membentuk polanya, seperti dengan mengkontrol media periklanan dan membuat regulasi dari pelayanan pendukung. Disamping itu, pemerintah juga dapat mempengaruhi persaingan, struktur dan strategi perusahaan
melalui regulasi pasar modal, kebijakan pajak dan peundang- undangan.
2.2
Penelitian Terdahulu
2.2.1
Penelitian Mengenai Kondisi Sertifikasi RSPO
Ubolrat (2013) melakukan penelitian t e r k a i t d e n g a n k o n d i s i
p e r s e r t f i k a t a n R S P O d i T h a i l a n d . D i m a n a t e r j a d i p e m b u k a a n
h u t a n s e c a r a b e s a r - b e s a r a n u n t u k d i g u n a k a n s e b a g a i l a h a n
p e r k e b u n a n s a w i t . P r o d u k s i m i n ya k s a w i t d i T h a i l a n d s e b a g a i
b a g i a n d a r i k e b u t u h a n a k a n b i o d i e s e l , t e t a p i a k i b a t a d a n y a
p e m b u k a a n l a h a n ya n g t a n p a m e m p e r h a t i k a n l i n g k u n g a n
s e k i t a r t e r j a d i p e r u s a k a n h u t a n ( d e f o r e s t a t i o n ) . U n t u k i t u
p a d a t a h u n 2 0 0 4 , d i T h a i l a n d m e n e r a p k a n R S P O s e b a g a i
b a g i a n d a r i p r o d u k s i m i n ya k s a w i t ya n g b e r k e l a n j u t a n y a n g
t e t a p m e n j a g a l i n g k u n g a n d a n k e a n e k a r a g a m a n h a ya t i n ya .
D e n g a n d i t e r p k a n n y a R S P O p a d a p e r u s a h a a n m i n ya k s a w i t
t e r s e b u t , d a y a s a i n g C P O ya n g d i p r o d u k s i d a p a t m e n i i n g k a t
d a n d a p a t b e r s a i n g d i p a s a r i n t e r n a s i o n a l .
Claudine dan Reza Azmi (2012) melakukan penelitian mengenai
tantangan dan kesempatan yang diperoleh dengan menerapkan sustainability
bisnis. Dalam sepuluh tahun terakhir focus pada pengaruh negative akibat
pembukaan besar-besaran terhadap sector pertanian yang ada di Malaysia,
tidak terkecuali pada perkebunan kelapa sawit yang kemudian meningkatkan
upaya keberlanjutan pada rantai pasok sektor agribisnis dan sekalipun dengan
adanya sertifikasi RSPO yang masih bersifat sukarela tetapi membawa
pengaruh yang cukup penting pada sektor rantai pasok agribisnis. Dimana
sebelum adanya RSPO di Malaysia terdapat banyak perkebunan kelapa sawit
yang dimiliki oleh petani kecil (small holders) yang jauh dari penerapan akan
teknologi dan standart penerapan perkebunan yang terbaik (best practice).
Tetapi lambat laun petani kecil dihadapkan pada persaingan yang
mengharuskan mereka untuk menerapkan standart sertifikasi tersebut.
Sehingga memunculkan suatu dokumen yang mengatur terkait dengan
penerapan perkebunan yang terbaik dan berkelanjutan. Dengan adanya standart
tersebut, petani kecil dapat bersaing di pasar global, mendapatkan alih
teknologi yang benar dan memperluas pangsa pasar.
2.2.2 Penelitian Dayas ai n g Kelapa sawit
Penelitian yang dilakukan oleh Ni Wayan Hermayanti, Zainal Abidin,
Hurip Santoso (2012) mengenai prospek kelapa sawit di Indonesia yang relatif
baik. Dari sisi permintaan, diperkirakan akan semakin meningkat ditahun
mendatang. Hal ini disebabkan preferensi minyak kelapa sawit masih lebih
tinggi jika dibandingkan dengan produk subsitusinya seperti minyak kedelai,
minyak jagung dan minyak bunga matahari. Relatif tingginya preferensi
minyak kelapa sawit disebabkan karena minyak kelapa sawit memiliki beberapa keunggulan jika dibandingkan dengan minyak dari produk subsitusinya. Keunggulan tersebut antara lain karena tahan lama, tidak cepat bau, tahan terhadap suhu dan tekanan tinggi, memiliki kandungan gizi yang cukup tinggi, serta bermafaat untuk bahan pangan dan non-pangan.Penelitan yang dilakukan oleh Dicky Armansyah (2011) mengenai Strategi Pengembangan Bisnis Minyak Kelapa Sawit (CPO) pada PT. Socfindo, Sumatera Utara). Penelitian ini menggunakan analisis QSPM yang akan menghasilkan beberapa strategi. Kondisi eksternal yaitu peluang utama PT. Socfindo adalah produk turunan kelapa sawit yang menghasilkan nilai tambah yang tinggi, sedangkan ancaman utama bagi PT. Socfindo adalah adanya pencurian buah sawit. Kekuatan kondisi Internal perusahaan yaitu produk CPO yang dihasilkan berkualitas tinggi, sedangkan faktor kelemahan utama perusahaan adalah areal perkebunan yang dimiliki tergolong kecil. Lima Strategi yang dapat diprioritaskan
berdasarkan besarnya skor yaitu:
1). Memperluas areal perkebunan dan memberikan nilai tambah bagi produk hilir kelapa sawit,
2) Menjaga kualitas produk CPO dan turunnya dan juga nama baik perusahaan,
3) Memperluas wilayah pemasaran CPO dan turunnya di dalam dan di luar negeri serta mempertahankan pasar yang ada,
4) Meningkatkan pengawasan terhadap proses produksi di kebun dan di pabrik, 5) Meningkatkan pengamanan di perkebunan dan juga mengawasi proses distribusi produk.
2.2.3 Penelitian CPO (Crude Palm Oil)
Penelitian Analisis Integrasi Pasar CPO Dunia dengan Pasar CPO, Minyak Goreng, dan TBS Domestik Serta Pengaruh Tarif Ekspor CPO dan Harga BBM Dunia oleh Yunita (2010). Menggunakan metode pengolahan Vector
Auoregression (VAR). Dari hasil penelitian menunjukan bahwa pasar CPO dunia
terintegrasi dengan pasar CPO, minyak goreng, dan TBS domestik. Pasar CPO dunia berperan sebagai penentu harga, sedangkan pasar domesik berperan sebagai pengikut harga. Pada pasar domestik, terjadi integrasi pasar antara pasar CPO dengan pasar TBS domestik. Dimana pasar CPO domestik adalah penentu harga bagi pasar TBS domestik. Tarif ekspor CPO yang ditetapkan pemerintah ternyata tidak berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi. Dapat dikatakan bahwa tarif ekspor yang berlaku tidak efektif, karena tarif ekspor yang tinggi dapat meminimumkan penghasilan produsen dan eksortir CPO, serta petani, harga BBM dunia berpengaruh terhadap integrasi pasar yang terjadi.
Penelitian yang dilakukan oleh Fachnany Siregar (2009) mengenai Strategi Pengembangan Biodiesel Berbasis CPO di Indonesia dengan menggunakan analisis SWOT. Dari hasil penelitian terdapat 5 strategi untuk meningkatkan biodiesel. Pertama pengembangan industri biodiesel kerakyatan, kedua pembuatan standar biodiesel yang mendapat pengakuan dari agen tunggal pemegang merek, ketiga promosi dan sosialisasi kepada masyarakat oleh semua pihak terkait atau
stakeholder, keempat pembuatan energi plantation atau lahan sawit khusus
biodiesel, dan kelima mengadakan kerjasama dengan pihak asing baik dalam permodalan, pengembangan teknologi dan pemasaran.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah alat
analisis yang digunakan untuk menganalisis permasalahan yang berkaitan
dengan dayasaing industri CPO Indonesia dipasar internasional, dengan
menganalisis keunggulan dayasaing CPO Indonesia secara kompetitif dan
komparatif.
2.3 Analisis Struktur Industri
Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi adalah alat analisis yang
digunakan untuk mengetahui struktur pasar yang dihadapi suatu industri.
Herfindahl Index merupakan suatu alat untuk mengukur besar kecilnya (ukuran)
perusahaan-perusahaan dalam industri dan sebagai indikator jumlah pesaing diantara mereka. Herfindahl Index dan rasio konsentrasi sering digunakan untuk mengukur konsentrasi industri.
Nilai Herifindahl Index mencerminkan penguasaan pangsa pasar oleh suatu perusahaan dalam suatu industri. Indeks tersebut merupakan hasil penjumlahan kuadrat pangsa pasar tiap-tiap perusahaan dalam suatu industri.
Keterangan :
Sij : Pangsa pasar CPO PT CUS i di pasar Indonesia Xij : Nilai jual CPO PT CUS i dipasar Indonesia TXj : Total nilai jual CPO di pasar Indonesia
Dalam penelitian ini, alat analisis Herifindahl Index digunakan dengan tujuan mengetahui struktur pasar CPO di pasar internasional sekaligus mengukur penguasaan pangsa pasar masing-masing negara terlibat dalam perdagangan CPO. Pangsa pasar CPO suatu negara dihitung dengan membandingkan ekspor CPO tersebut dengan total ekspor dunia. Formula yang sama kemudian digunakan untuk mengukur struktur pasar dan pangsa pasar suatu negara dalam perdagangan CPO internasional, yaitu sebagai berikut
Xij
Sij =
TXj
Keterangan :
HI : Herifindahl Index
Si : Pangsa pasar PT CUS ke i dalam perdagangan CPO Indonesia n : Jumlah Perusahaan yang terlibat dalam perdagangan CPO
Didasarkan pada analisa standar dalam ekonomi industri, bahwa struktur industri dikatakan berbentuk oligopoli bila empat produsen terbesar menguasai minimal 40 persen pangsa pasar penjualan dari industri yang besangkutan (CR4=40 persen). Apabila kekuatan keempat produsen tersebut sama, maka
pangsa penjualan atau produksi masing-masing produsen adalah 10 persen dari nilai penjualan atau produksi suatu industri. Apabila penguasaan pasar oleh sepuluh produsen atau kurang dalam suatu industri merupakan batas minimum suatu industri berbentuk oligopolistik, maka terdapat kecendrungan peningkatan derajat penguasaan pasar dari tahun ketahun. Sejalan dengan peningkatan derajat penguasaan pasar tersebut, beberapa sub sektor industri beralih kearah persaingan oligopolistik. Nilai Herifindahl Index ini berkisar antara 0 hingga 1 (atau 10.000 yang merupakan kuadrat dari 100 persen). Jika nilai Herifindahl Index mendekati 0 berarti struktur pasar industri yang bersangkutan cenderung ke pasar persaingan (competitive market), sementara jika indeks bernilai mendekati 1 (atau 10.000) maka struktur pasar industri tersebut cenderung bersifat monopoli.
HI = S
12+ S
22+ S
32+ ..+ S
n 2Struktur pasar juga dapat diklasifikasikan berdasarkan rasio konsentrasinya, yaitu :
1. Struktur pasar persaingan sempurna (perfect competition) ditunjukan dengan rasio konsetrasi yang sangat rendah.
2. Struktur pasar persaingan monopolistik (monopolistic competicion) ditunjukan dengan nilai rasio konsetrasi untuk empat produsen terbesar (CR4) di bawah 40 persen.
3. Strukur pasar oligopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen terbesar (CR4) diatas 40 persen.
4. Struktur pasar monopoli ditunjukan dengan nilai rasio konsentrasi empat produsen (CR4) mendekati 100 persen.
Rasio konsentrasi negara penghasil kelapa sawit di formulasikan sebagai berikut:
Keterangan
Sij : Pangsa pasar PT CUS penghasil CPO
CRni : Menunjukan n-rasio konsentrasi pada pasar Indonesia
n
CRni
=
∑
Sij
i=1
Nilai CR yang banyak digunakan adalah CR4 dan CR8 menunjukan
persentase output pasar yang dihasilkan oleh keempat atau kedalapan produsen terbesar dalam industri. Semakin besar nilai rasio konsentrasi menunjukan bahwa industri tersebut semakin terkonsentrasi dan semakin sedikit jumlah produsen yang berada dipasar, sedangkan semakin rendah rasio konsentrasi menunjukan konsentrasi pasar yang rendah, persaingan yang lebih ketat dikarenakan tidak ada produsen yang secara signifikan menguasai pasar.
Dengan mengetahui nilai Herifindahl Index dan Rasio Konsentrasi empat produsen terbesar ini maka secara tidak langsung dapat diketahui konsentrasi dan struktur pasar persaingan di mana Indonesia dan negara-negara produsen CPO lainnya bersaing, serta menyesuiakan strategi kompetitif yang akan digunakan.
Tingkat konsentrasi pasar yang dapat dirumuskan dari dua alat yaitu
Herifindahl Index dan CR4 adalah sebagai berikut :
1 Konsentrasi pasar yang tinggi dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar antara
80-100 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.800-10.000. struktur pasar untuk tingkat konsentrasi tinggi adalah monopoli atau oligopoli ketat. 2 Konsentrasi pasar yang sedang dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar
antara 50 sampai 80 persen, sedangkan kisaran nilai HI yaitu antara 1.000- 1.800. struktur pasar yang mungkin untuk tingkat konsentrasi sedang adalah lebih banyak oligopoli.
3 Konsentrasi pasar yang rendah dicirikan dengan nilai CR4 yang berkisar 0
sampai dengan 50 persen, sedangkan kisaran nilai HI antara 0 sampai dengan 1.800. Struktur pasar dengan tingkat konsentrasi rendah adalah struktur pasar persaingan sempurna atau persaingan monopolistik.
2.4 Reveled Comparative Advantage (RCA)
Salah satu cara untuk mengukur keunggulan komparatif adalah dengan menggunakan Revealed Comparative Advantage Index, yang membandingkan pangsa pasar ekspor sektor tertentu suatu negara dengan pangsa pasar sektor tertentu di pasar dunia. Keuntungan dari menggunakan RCA Index adalah bahwa indeks ini mempertimbangkan keuntungan intrinsik komoditas ekspor tertentu dan konsisten dengan perubahan di dalam suatu ekonomi produktifitas dan faktor anugerah alternatif, kerugiannya bagaimanapun juga indeks ini tidak dapat membedakan antara peningkatan didalam faktor sumberdaya dan penerapan kebijakan perdagangan yang sesuai.
Tujuan penggunaan indeks RCA dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui posisi komparatif Indonesia diantara negara produsen kelapa sawit lainnya di pasar internasional. Selain itu indeks ini bermanfaat untuk mengukur dayasaing industri suatu negara, apakah industri cukup tangguh bersaing di pasar internasional atau tidak dapat diketahui secara kuantatif dengan menggunakan indeks ini.
Rumus menurut Bahasa d a l a m Smyth (2005) untuk mengukur keunggulan komparatif sebuah Negara dengan menggunakan Revealed Comparative
Advantage, yaitu : RCAi = ( Xij / Xj ) / (Xiw/Xw)
Keterangan
RCAi : Revealed Comparative Advantage untuk komditi i Xij : Nilai Ekspor komoditas i dari negara j
Xj : Total ekspor negara j
Xiw : Ekspor komoditas i seluruh dunia Xw : Total ekspor dunia
Apabila hasil yang didapat yaitu nilai RCA lebih besar dari satu, maka dapat dikatakan Indonesia memiliki keunggulan komparatif untuk kondisi yang terkait dan mempunyai dayasaing kuat. Apabila nilai RCA kurang dari satu, maka Indonesia tidak memiliki keunggulan komparatif terhadap komoditi tersebut atau komoditi tersebut dayasaingnya lemah. Maka, semakin tinggi nilai RCA-nya semakin kuat dayasaingnya (Swaranindita, 2005)
2.5 Analisa Berlian Porter
Alat analisis Berlian Porter digunakan untuk mengetahui situasi dan kondisi dari setiap atribut yang ada, seperti kondisi permintaan domestik, kondisi faktor sumberdaya, industri pendukung dan terkait dan persaingan, struktur dan strategi industri CPO nasional. Selain hal tersebut, terdapat juga dua atribut tambahan yaitu peran pemerintah dan peran dari kesempatan yang mempunyai pengaruh terhadap perkembangan industri CPO nasional.
Langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis industri CPO nasional, yaitu :
1) Menentukan siapa saja yang ada didalam industri. Hal ini dilakukan dengan membuat daftar kasar yang memuat para peserta industri secara langsung. 2) Menelaah industri. Hal ini dapat dilakukan dengan adanya hasil telaah
industri yang relatif cukup lengkap atau sejumlah artikel yang cakupannya luas.
3) Laporan tahunan. Laporan tahunan dapat berupa data-data perdagangan yang bersifat nasional maupun internasional dengan rentang waktu tertentu.
2.6 Analisa SWOT
Dalam menetapkan strategi dan kebijakan pengembangan kelapa sawit Indonesia ke depan digunakan alat analisis SWOT. Dengan mengidentifikasi peluang dan ancaman yang dihadapi suatu industri serta analisis terhadap fakor kunci yang dijadikan sebagai bahan acuan dalam menetapkan strategi dan kebijakan penanganan kelapa sawit, guna mewujudkan industri yang tangguh melalui penciptaan kondisi yang kondusif.
Analisis SWOT yaitu analisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (Strenghts, Weaknesses, Opportunities threats). Analisis SWOT merupakan identifikasi yang bersifat sistematis dari faktor–faktor kekuatan dan kelemahan industri serta peluang dan ancaman lingkungan luar dan strategi yang menyajikan kombinasi terbaik diantara ke empatnya.
Setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman barulah suatu industri dapat menentukan strategi dengan memanfaatkan kekuatan yang dimilikinya untuk mengambil keuntungan dari peluang-peluang yang ada, sekaligus untuk memperkecil atau bahkan mengatasi kelemahan yang dimilikinya untuk menghindari ancaman yang ada.
2.6.1 Analisis Kekuatan (Strengths)
Kekuatan merupakan kelebihan khusus yang memberikan keunggulan di dalam suatu industri. Kekuatan akan mendukung perkembangan usaha dengan cara memperhatikan sumber dana, citra, kepemimpinan pasar, hubungan dengan konsumen atau pemasok, serta faktor lainnya.
2.6.2 Analisis Kelemahan (Weaknesses)
Kelemahan adalah keterbatasan dan kekurangan dalam hal sumberdaya, keahlian dan kemampuan yang secara nyata menghambat aktivitas industri. fasilitas, sumberdaya keuangan, kemampuan manajerial dan pandangan terhadapa industri.
2.6.3 Analisis Peluang (Opportunities)
Peluang adalah situasi yang diinginkan atau disukai dalam perusahaan atau industri yang diidentifikasi. Segmen pasar, perubahan dalam persaingan atau lingkungan, perubahan teknologi, peraturan baru dapat menjadi peluang bagi industri atau perusahaan.
2.6.4 Analisis Ancaman (Threats)
Ancaman merupakan situasi yang paling tidak disukai oleh perusahaan atau industri. Ancaman merupakan penghalang bagi posisi yang diharapkan oleh industri. Masuknya pesaing baru, pertumbuhan pasar yang lambat, meningkatnya posisi penawaran pembeli dan pemasok, perubahan teknologi. Peraturan juga dapat menjadi ancaman bagi industri CPO.
Matriks SWOT digunakan untuk menyusun strategi yang akan menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi suatu industri atau perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan organisasi. Matriks SWOT ini menghasilkan 4 kemungkinan alternatif strategi yaitu strategi S-O, strategi W-O, strategi S-T dan strategi W-T.
7. Sesuiakan kekuatan internal dengan ancaman eksternal untuk mendapatkan strategi S-T.
8. Sesuaikan kelemahan internal mendapatkan strtegi W-T.
dengan ancaman eksternal untuk Internal Eksternal STRENGHT (S) Daftar 5-10 faktor kekuatan WEAKNESS (W) Daftar 5-10 faktor kelemahan OPPORTUNITIES (O) Daftar 5-10 faktor peluang STRATEGI S-O
Gunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang.
STRATEGI W-O
Atasi kelemahan dengan memanfaatkan peluang
THREATS (T)
Daftar 5-10 faktor Ancaman
STRATEGI S-T
Gunakan kekuatan untuk menghindari ancaman
STRATEGI W-T
meminimalkan kelemahan dan menghindari ancaman
Gambar 2.2 Matriks SWOT
Terdapat 8 tahapan dalam membentuk matriks SWOT, yaitu ;
1. Tentukan faktor-faktor peluang eksternal organisasi atau perusahaan. 2. Tentukan faktor-faktor ancaman perusahaan atau industri.
3. Tentukan faktor-faktor kelemahan perusahaan atau industri. 4. Tentukan faktor-faktor kekuatan perusahaan atau industri.
5. Sesuaikan kekuatan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi S-O.
6. Sesuaikan kelemahan internal dengan peluang eksternal untuk mendapatkan strategi W-O.
Faktor Eksternal
Faktor eksternal perusahaan atau industri dipengaruhi oeh lingkungan jauh perusahaan dan lingkungan bisnis perusahaan. Pengidentifikasian berbagai faktor eksternal ini diharapkan dapat memuat berbagai faktor luar yang dianggap sebagai peluang maupun ancaman bagi perusahaan dengan alasan yang kuat. Lingkungan eksernal perusahaan terdiri dari berbagai faktor yang pada dasarnya di luar dan terlepas dari perusahaan. Berbagai faktor utama yang diperhatikan dalam lingkungan eksternal jauh perusahaan ialah faktor politik, ekonomi, sosial, dan teknologi, yang sering disebut dengan PEST. Lingkungan jauh ini menjadi hambatan dan ancaman untuk maju. Penjelasan dari tiap faktor dipaparkan berikut ini.
1. Faktor Politik
Arah kebijakan dan stabilitas politik pemerintah menjadi faktor penting bagi pengusaha untuk berusaha. Situasi politik yang tidak kondusif akan berdampak negatif bagi dunia usaha begitu pula sebaliknya. Beberapa hal utama yang harus diperhatikan dari faktor politik agar bisnis dapat berkembang dengan baik ialah undang-undang tentang lingkungan dan perburuhan, peraturan tentang perdagangan luar negeri, stabilitas pemerintah, peraturan tentang keamanan dan kesehatan kerja, dan sistem perpajakan.
2. Faktor Ekonomi
Kondisi ekonomi suatu daerah atau negara dapat mempengaruhi iklim bisnis suatu perusahaan. Semakin buruk kondisi ekonomi, semakin buruk pula iklim berbisnis. Beberapa faktor kunci yang perlu
diperhatikan dalam menganalisis faktor ekonomi adalah siklus bisnis atau ekonomi, ketersediaan energi, inflasi, suku bunga, investasi, harga-harga produk dan jasa, produkktivitas dan tenaga kerja.
3. Faktor Sosial
Kondisi masyarakat berubah-ubah secara dinamis. Kondisi sosial meliputi banyak aspek yaitu sikap, gaya hidup, adat istiadat dan kebiasaan hidup orang-orang di lingkungan eksternal perusahaan, kondisi cultural perusahaan, ekologis demografis, relegius, pendidikan dan etnis. Contoh dari pengaruh kekuatan sosial ialah jika sikap sosial berubah, permintaan untuk berbagai kebutuhan akan berubah.
4. Faktor Teknologi
Perkembangan teknologi mengalami kemajuan pesat, baik di bidang bisnis maupun di bidang yang mendukung kegiatan bisnis. Setiap kegiatan usaha yang diinginkan berjalan terus menerus harus selalu mengikuti perkembangan teknologi yang dapat diterapkan pada produk atau jasa yang dihasilkan atau pada cara operasinya. Agar perusahaan tidak tertinggal karena kesalahan penggunaan teknologi, maka ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan yaitu bagaimana kecepatan transfer teknologi.
Faktor Internal
Audit terhadap lingkungan internal bertujuan untuk mengetahui berbagai hal yang menjadi kekuatan ataupun kelemahan internal organisasi. Organisasi harus terus mengembangkan kekuatan (potensi) yang dimilikinya, diiringi dengan
usaha memperbaiki kelemahan internalnya. Audit internal mencakup seluruh fungsi yang terdapat organisasi tersebut.
Audit lingkungan internal ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan fungional perusahaan. Pada pendekatan fungsional perusahaan, pengkategorian analisis internal sering diarahkan pada pasar dan pemasaran, kondisi keuangan dan akunting, produksi, sumberdaya manusia, dan struktur organisasi dan manajemen.
1. Pasar dan Pemasaran
Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam bidang pemasaran yaitu pangsa pasar, pelayanan purna jual, kepemilkan informasi tentang pasar, pengendalian distributor, kondisi satuan kerja pemasaran, kegiatan promosi, harga jual produk, komitmen manajemen puncak, loyalitas pelanggan dan kebijakan produk baru.
2. Keuangan dan Akuntasi
Dana dibutuhkan dalam operasional perusahaan. Oleh karena itu, faktor- faktor yang perlu diperhitungkan adalah kemampuan peusahaan menumpuk modal jangka panjang dan jangka pendek, beban yang harus dipikul sebagai upaya memperoleh modal tambahan, hubungan baik dengan penanam modal dan pemegang saham, pengelolaan keuangan, struktur modal kerja, harga jual produk, pemantau penyebab inefesiensi dan sistem akunting yang handal.
3. Kegiatan Produksi dan Operasi
Kegiatan produksi-operasi perusahaan dapat dilihat dari keteguhan dalam prinsip efesiensi, efektivitas dan produktivitas. Oleh karena itu faktor-
faktor yang haarus diperhatikan ialah hubungan yang baik dengan
pemasok, sistem logistik yang handal, lokasi fasilitas yang tepat,
pemanfaatan teknologi yang tepat, organisasi yang memiiki
kesatuan,
pembiayaan,
pendekatan
inovatif
dan
proaktif,
kemungkinan terjadinya terobosan dalam proses poduksi dan
pengendalian mutu.
4.