• Tidak ada hasil yang ditemukan

RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "RPI 15 Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS"

Copied!
270
0
0

Teks penuh

(1)

SINTESIS HASIL LITBANG

2010-2014

RPI 15

Pengelolaan Sumber

Daya Lahan dan Air

Pendukung Pengelolaan

DAS

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected]

(2)
(3)

RINGKASAN EKSEKUTIF

SINTESIS RPI 15

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN

DAERAH ALIRAN SUNGAI

KOORDINATOR:

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN KEMENTERIAN KEHUTANAN

(4)
(5)

i

RINGKASAN

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan dan papan serta energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk keperluan lain. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora ,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Di samping itu, untuk memperbaiki lahan-lahan yang terdegradasi terutama di daerah hulu, dapat dilakukan dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi. Kata kunci: pengelolaan sumberdaya lahan dan air, pengelolaan DAS, rehabilitasi,

(6)
(7)

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK. 23/VIII-SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran

(specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang

utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.

Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014 (Revisi) adalah Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS. Sampai akhir 2014, RPI tersebut telah menyelesaikan 92 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi sehingga dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan dengan sasaran meliputi teknik pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah daratan, gambut dan pantai. Kegiatan penelitian telah dilaksanakan oleh Puskonser, BBPD Samarinda, BPK Aek Nauli, BPTKPDAS Solo, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output dari kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis untuk melihat capaian kinerja RPI yang sesuai dengan tujuan dan sasaran RPI sampai akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis disajikan hasil-hasil penelitian penting di bidang pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS berdasarkan out put yang sudah direncanakan dalam RPI. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif.

Sebagaimana ditetapkan dalam Renstra Kementerian Kehutanan 2010-2014, RPI ini lebih difokuskan untuk menghasilkan teknik reklamasi lahan bekas tambang, maka sintesis ini lebih banyak menyajikan informasi ilmiah dan teknik reklamasi lahan bekas tambang emas, teknik reklamasi lahan bekas tambang batubara dan timah. Dengan demikian pada akhir 2014 telah terpenuhi Indikator Kinerja Kegiatan berupa tersedianya teknik reklamasi lahan bekas tambang.

Sintesis akhir RPI Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS yang berkelanjutan, khususnya reklamasi lahan bekas tambang. Dari sintesis ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk penggunaan peta perwilayahan sebaran jenis untuk kepentingan rehabilitasi hutan dan lahan, modeling optimalisasi lahan di DAS bagian hulu dan demplot-demplot penanaman jenis lokal dan cepat tumbuh pada areal tambang timah, emas dan lahan kritis lainnya sekitar DAS. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada.

Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Pengelolaan Sumber Daya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan DAS beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis ini. Semoga sintesis ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan rencana pengelolaan dalam bidang pengelolaan sumber daya lahan dan air pendukung pengelolaan DAS secara berkelanjutan.

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002

(8)
(9)

iii

DAFTAR ISI

RINGKASAN ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Tujuan ... 3

II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR ... 4

III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB PERMASALAHAN ... 5

3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan ... 5

3.2. Capaian Hasil Penelitian ... 5

IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR ... 7

4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat ... 7

4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna ... 8

4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas ... 8

V. PENUTUP ... 12

DAFTAR PUSTAKA ... 13

(10)
(11)

v

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

(12)
(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Hal.

(14)
(15)

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 1981). Dari definisi DAS tersebut maka wilayah DAS meliputi wilayah pegunungan sampai dengan pantai. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.

Daerah Aliran Sungai dapat dipandang sebagai sumberdaya alam yang berupa stok dengan ragam kepemilikan (private, common, state property) dan berfungsi sebagai penghasil barang dan jasa,baik bagi individu dan atau kelompok masyarakat maupun bagi publik secara luas serta menyebabkan interdependensi antar pihak, individu dan atau kelompok masyarakat (Kartodihardjo et al., 2004). Dengan demikian, DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem, dimana dalam suatu DAS terdapat berbagai komponen yang saling berkaitan satu sama lainnya. Oleh karena itu perlu adanya pengelolaan yang holistik dan terpadu terhadap suatu DAS.

Komponen sumber daya alam yang terdapat dalam DAS antara lain hutan, lahan dan air serta jasa-jasa lingkungan. Pengelolaan lahan dan air adalah vital dalam sistem pengelolaan DAS. Oleh karena itu, lahan dan air merupakan komponen pokok yang menunjang kehidupan yang berada di dalam sistem DAS tersebut. Kehidupan dalam sistem DAS yang terdiri dari flora, fauna dan manusia sangat tergantung pada jasa tanah dan air dalam sistem penunjang kehidupan. Oleh karena itu tanah,air dan kehidupan tidak pernah dapat dipisah-pisahkan. Kehidupan dapat membentuk komunitas flora dan fauna (hutan, tanah, lahan pertanian, dan sebagainya) dan masyarakat manusia (desa, kota) dengan berbagai perangkatnya yang berada di dalam sistem DAS. Komunitas flora dan fauna serta masyarakat manusia senantiasa bergantung kehidupannya pada tanah dan air dalam sistem lahan. Oleh karena itu, pengelolaan DAS tidak pernah dapat dipisahkan dengan pengelolaan lahan dan air.

(16)

Sintesis 2010-2014 | 2

Karena DAS meliputi wilayah dari pegunungan sampai dengan pantai, maka DAS meliputi wilayah daratan, pantai dan pegunungan.

Agar sistem DAS dapat berfungsi secara lestari maka pengelolaan DAS harus ditunjang sepenuhnya oleh pengelolaan lahan dan air yang senantiasa mempertimbangkan daya dukungnya.

Adanya peningkatan jumlah penduduk maka akan meningkatkan kebutuhan akan sandang, pangan, papan dan energi. Akibatnya akan terjadi peningkatan pengurangan areal hutan untuk pemenuhan kebutuhan di luar sektor kehutanan. Peningkatan intensitas perubahan alih fungsi hutan ini akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan.

Pembukaan tajuk hutan tropika basah seperti di Indonesia menyebabkan erosi tanah yang akhirnya dapat menurunkan kualitas tanah baik sifat fisik maupun kimianya. Akibat erosi ini adalah meluasnya lahan terdegradasi. Total lahan terdegradasi di Indonesia tercatat seluas 100,5 juta ha yang terdiri dari 59 juta ha (di dalam kawasan hutan) dan 41,5 juta ha (di luar kawasan hutan) (Departemen Kehutanan, 2008). Lahan terdegradasi ini tersebar di berbagai tipe dan fungsi hutan. Semakin luas lahan terdegradasi, semakin menyebabkan siklus air terganggu. Penyebab meluasnya lahan terdegradasi, antara lain adalah: penebangan liar, penyerobotan lahan hutan, kebakaran hutan, penambangan liar dan kebakaran hutan. Akibatnya adalah hutan menjadi terdeforestasi. Laju deforestasi di Indonesia dari tahun 1982-1990 diperkirakan sebesar 1,6-2 juta ha/th (Anonymous, 2000). Kemudian periode tahun 1997-2000 menjadi 3,8 juta ha (Departemen Kehutanan, 2003). Sedangkan data terakhir menunjukkan bahwa dari tahun 2000-2005, laju deforestasi untuk tujuh pulau besar yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tercatat rata-rata 1,09 juta ha/th (Departemen Kehutanan, 2008).

Salah satu upaya untuk menghadapi degradasi hutan dan lahan terutama di daerah hulu adalah dengan merehabilitasi lahan-lahan tersebut, agar kualitas lingkungan di daerah hilir dapat menjadi lebih baik. Untuk itu diperlukan pengelolaan sumberdaya lahan dan air di dalam DAS dari hulu sampai ke hilir yang dilakukan secara terpadu oleh semua pihak dengan mempertimbangkan aspek biofisik, sosial dan ekonomi.

Pentingnya posisi pengelolaan sumberdaya lahan dan air sebagai unit perencanaan yang utuh memiliki tujuan untuk menjaga kesinambungan pemanfaatan sumberdaya hutan, tanah dan air dalam sistem DAS. Dalam upaya menciptakan pendekatan pengelolaan DAS secara terpadu, diperlukan perencanaan secara terpadu yang didukung oleh pengelolaan sumberdaya lahan dan air dari hulu sampai hilir.

(17)

Sintesis 2010-2014 | 3 Pengelolaan lahan dan air merupakan suatu kegiatan yang menjaga fungsi daya dukung lahan dan air bagi kehidupan flora,fauna dan manusia. Pengelolaan lahan dan air dilakukan antara lain dengan senantiasa menjaga penggunaan lahan dan air yang disesuaikan atau tidak melebihi daya dukungnya agar sistem lahan dan air tidak rusak dan jasa sistem tersebut optimal dan terus menerus (sustainable) bagi kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan lahan dan air bertujuan untuk mengatur pemanfaatan sumber daya lahan secara optimal, mendapatkan hasil maksimal dan mempertahankan kelestarian sumberdaya lahan dan air itu sendiri.

Sebenarnya pengelolaan lahan dan air melalui kegiatan rehabilitasi telah banyak dilakukan, namun keberhasilannya masih rendah. Di sisi lain, kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi hutan/lahan terdegradasi hanya berkisar 1-2 juta ha per tahun, itu pun kalau semuanya dinilai berhasil untuk dapat menutupi lahan yang terbuka (Rustam, 2003 dalam Darwo, 2007).

Rendahnya tingkat keberhasilan pengelolaan lahan antara lain adalah kurangnya informasi mengenai teknologi untuk merehabilitasi hutan dan lahan terdegradasi. Disamping itu, sebagian besar masyarakat setempat yang dilibatkan dalam kegiatan tersebut hanya sebagai kerja upahan dan tidak diajak berperan aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan. Agar rehabilitasi hutan dan lahan dapat berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara lestari.

1.2. Tujuan

Sehubungan dengan latarbelakang tersebut di atas, maka Rencana Penelitian Integratif mengenai ”Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Pendukung Pengelolaan Daerah Aliran Sungai” bertujuan untuk menyediakan informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi ,agar sumberdaya lahan dan air yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora,fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan.

(18)

Sintesis 2010-2014 | 4

II. PERMASALAHAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA

LAHAN DAN AIR

Masalah yang dihadapi dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air adalah rendahnya produktivitas lahan kawasan hutan dan adanya kemiskinan karena kelebihan tenaga kerja di subsistem sosial. Atas dasar tersebut maka perlu peningkatan produktivitas kawasan hutan, baik ditinjau dari aspek hasil hutan kayu maupun non kayu, maupun untuk menjaga kelestarian dan perlindungan sumberdaya alam serta lingkungan hidup.

Di lain pihak kemampuan daya dukung lahan relatif rendah, sehingga jika pemanfaatan lahan melebihi kapasitas produksinya,maka yang terjadi adalah lahan-lahan terdegradasi. Lahan terdegradasi banyak dijumpai baik pada wilayah darat, gambut maupun pantai. Pada wilayah darat, lahan terdegradasi ini sebagian besar akibat adanya kegiatan-kegiatan: penambangan yang tidak mengikuti aturan yang ada, penebangan hutan secara illegal, perambahan kawasan hutan, bencana alam, dan sebagainya. Sedangkan pada wilayah gambut degradasi lahan umumnya karena adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial yang melebihi kapasitas produksinya, kebakaran hutan, kemampuan/daya dukung yang rendah dan spesifik terhadap tumbuhan, dan sebagainya. Di wilayah pantai, degradasi lahan selain karena adanya pemanfaatan wilayah pantai untuk bangunan dan tambak ikan/udang, juga disebabkan karena adanya penebangan jenis-jenis kayu komersial. Meningkatnya lahan terdegradasi ini menyebabkan fungsi hutan baik sebagai penghasil kayu/bukan kayu dan pengatur siklus hidroorologi menjadi menurun. Untuk itu perlu dicari upaya-upaya memperbaiki lahan yang terdegradasi.

Salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi lahan-lahan terdegradasi adalah dengan merehabilitasi lahan tersebut, melalui berbagai pendekatan. Salah satu caranya adalah mengkombinasikan teknik-teknik rehabilitasi lahan dan pengelolaan tanah dan air yang sesuai dengan kondisi lahan dan merangsang partisipasi aktif (peran serta) masyarakat di sekitar kawasan hutan. Agar masyarakat yakin bahwa kegiatan tersebut memberi manfaat terhadap mereka,maka kegiatannya dapat dilakukan dengan partisipasi aktif masyarakat sejak perencanaan sampai pelaksanaan dan monitoringnya. Demonstrasi plot (demplot) perlu dibuat sebagai sarana untuk mempermudah meyakinkan masyarakat.

(19)

Sintesis 2010-2014 | 5

III. UPAYA PENELITIAN DALAM MENJAWAB

PERMASALAHAN

3.1. Upaya Penelitian yang Telah Dilakukan

Untuk menjawab permasalahan degradasi sumberdaya lahan dan air untuk mendukung pengelolaan DAS diperlukan beberapa upaya antara lain melalui penelitian yang dapat menjawab permasalahan tersebut.

Dalam rangka mendapatkan informasi “Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air untuk Mendukung Pengelolaan DAS”, maka penelitian dikelompokkan kedalam 3 (tiga) kelompok yaitu:

- Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan; - Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut; dan - Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai.

Beberapa penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan meliputi:

 Kesesuaian Jenis Pohon untuk Rehabilitasi Lahan pada Unit DAS;

 Teknologi Rehabilitasi Lahan Bekas Tambang (emas, batubara, timah);

 Model Rehabilitasi Lahan Partisipatif (termasuk penerapan mikrohidro dan agroforestry);

 Teknik Mitigasi Tanah Longsor; dan

 Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair

Sedangkan untuk Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut penelitian yang mendukung adalah Teknik Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut, khususnya yang berhubungan dengan pemanfaatan lahan gambut untuk pertanian.

Penelitian yang terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai antara lain penelitian tentang pengelolaan lahan pantai baik itu pantai berpasir maupun pantai berlumpur, khususnya mengenai pengelolaan wilayah pantai yang dikaitkan dengan kerusakan lingkungan sekitar pantai serta upaya rehabilitasi pantai-pantai yang terdegradasi dengan menerapkan beberapa teknologi.

3.2. Capaian Hasil Penelitian

Hasil penelitian yang diperoleh kemudian disusun dalam bentuk sintesis untuk memudahkan para pengguna dan juga untuk mencari gaps antara kebijakan-kebijakan pemerintah terkait dengan pengelolaan sumberdaya lahan dan air dengan kegiatan-kegiatan penelitian yang telah dilakukan yang menunjang kebijakan-kebijakan tersebut. Karena Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai dengan pegunungan, maka hasil penelitian dikelompokkan dalam tiga (3) kelompok, yaitu:

(20)

Sintesis 2010-2014 | 6

a. Wilayah Daratan, yang meliputi:

- Pengelolaan lahan bekas tambang (emas, timah, batubara)

- Sebaran Spasial Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon untuk Mendukung Keberhasilan Rehabilatasi Hutan dan Lahan dalam Unit DAS di Jawa

- Pola Penggunaan Lahan dalam Mendukung Kelestarian Tataair

- Pelibatan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air (mikrohidro, agroforestry)

- Pengelolaan lahan daerah rawan longsor b.Wilayah Gambut

- Pengelolaan lahan gambut untuk usaha pertanian c. Wilayah Pantai

- Pengelolaan lahan pantai berpasir

Dalam pembuatan sintesis hasil terdapat beberapa kegiatan yang belum bisa dibuat sintesisnya karena penelitian masih belum memberikan hasil yang utuh, sehingga hasil-hasil penelitian ini disajikan dalam kumpulan judul-judul penunjang. Masing-masing capaian tersebut disajikan dalam Lampiran (Buku I,II,III,IV,V,VI, dan VII).

Selain hasil sintesa tersebut di atas, penelitian-penelitian yang ada dalam lingkup Rencana Penelitian Integratif ini juga menghasilkan demplot di beberapa daerah, seperti disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Demplot Penelitian dalam RPI 15

No. Demplot kegiatan Luas Lokasi

1. Teknik Reklamasi Lahan Bekas Tambang Timah

2 ha Koba, Bangka

Tengah 2. Teknik Reklamasi Lahan Bekas

Tambang Emas

2 ha Pongkor, Jawa Barat 3. Teknik Reklamasi Lahan Bekas

Tambang Batubara

4 ha Kalimantan Timur 4. Teknik Rehabilitasi Lahan dengan

Jenis Lokal

2 ha Gunung Muria , Jawa Tengah

5. Teknik Rehabilitasi Lahan dengan Pola Tanam Agroforestry

2 ha NTT

6. Model Perancangan RLKT Partisipatif 2 ha Sulawesi Selatan 7. Teknik Rehabilitasi Lahan

Terdegradasi di Gunung Botak

2 ha Papua

8.

Pola Pemanfaatan Lahan dengan Sistem Agroforestry di Pertanaman Kelapa

(21)

Sintesis 2010-2014 | 7

IV. PENGEMBANGAN HASIL PENELITIAN DALAM

MENDUKUNG PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN

AIR

4.1. Relevansi hasil penelitian dengan kebijakan yang telah dibuat

Hasil-hasil penelitian sangat mendukung kebijakan yang telah dibuat seperti: Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Daratan, antara lain:

A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang Pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan.

B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan. .

C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang

D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan

E. Undang-undang No. 41/1999 tentang Kehutanan, khususnya pasal 2,3 dan 18 terkait dengan pengelolaan air

F. Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai antara lain:

A. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10/Men/2002 tentang pedoman umum perencanaan pengelolaan pesisir terpadu,

B. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor:P.35/Menhut-II/2012 (PP No.35/Tahun 2010) tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kehutanan No.32/Menhut II/ 2009 tentang tatacara penyusunan Teknik Rehabilitasi Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) pada ekosistem mangrove dan sempadan pantai (seperti yang tercantum dalam Lampiran II PP No.35/Tahun 2010)

C. UU No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya; UU no.27 tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil

D. Peraturan Pemerintah RI No 16 tahun 2004 tentang penatagunaan tanah. Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut antara lain:

A. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup

B. Peraturan Pemerintah RI No. 150 tahun 2000 tentang Pengendalian kerusakan tanah untuk produksi biomassa

C. Peraturan Pemerintah RI No. 4 tahun 2001 tentang Pengendalian kerusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan atau lahan

(22)

Sintesis 2010-2014 | 8

D. Peraturan Menteri Pertanian No.14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman pemanfaatan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit

E. Keputusan Menteri Kehutanan RI No. SK.3706/Menhut-VII/IPSDH/2014 tentang Penetapan peta indikatif penundaan izin baru pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan dan perubahan peruntukan kawasan hutan dan areal penggunaan lain (Revisi VI)

F. Peraturan Pemerintah RI No. 24 tahun 2010 tentang Penggunaan kawasan hutan yang dirubah dengan Peraturan Pemerintah RI No. 61 tahun 2012

4.2. Pemanfaatan hasil penelitian untuk pengguna

Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan dan dibuat sintesanya sangat bermanfaat bagi pengguna antara lain: informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang kelestarian pengelolaan sumberdaya lahan dan air, khususnya yang terkait dengan rehabilitasi lahan terdegradasi. Diharapkan informasi dan teknologi yang diperoleh dapat dipakai dalam pengelolaan sumberdaya lahan dan air guna mendukung pengelolaan DAS sehingga fungsi DAS menjadi lestari.

Informasi tersebut antara lain:

- teknik rehabilitasi lahan bekas tambang (emas,timah, batubara); - informasi mengenai kesesuaian jenis pohon dalam unit DAS; - modelling tataguna lahan yang memberikan tataair optimal;

- pengembangan model2 RLKTA di lahan-lahan terdegradasi dengan pendekatan partisipatif;

- teknik mitigasi longsor; dan

- pengelolaan sumberdaya lahan dan air wilayah gambut dan pantai.

Hasil-hasil penelitian tersebut diharapkan dapat dipakai oleh pengguna dalam rangka pengelolaan sumberdaya lahan dan air dalam suatu DAS khususnya di lahan-lahan terdegradasi.

4.3. Pengembangan hasil penelitian ke aplikasi lapangan skala luas

Dengan diperolehnya beberapa informasi dan teknologi dari kegiatan-kegiatan penelitian dalam Rencana Penelitian Integratif ini, maka diharapkan pengguna dapat memanfaatkan hasil-hasil penelitian yang telah diperoleh.

Pemanfaatan hasil penelitian ini dapat dilakukan dengan mengembangkan teknologi yang diperoleh tersebut dalam skala yang lebih luas.

1.Pengembangan Teknologi Reklamasi Lahan Bekas Tambang a. Emas

Pemanfaatkan lumpur tailing dilakukan dengan memanipulasi sifat kimia lumpur tailing yang bersifat racun dengan sistem chelate melalui penambahan bahan organik. Caranya sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak memerlukan

(23)

Sintesis 2010-2014 | 9 input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk kandang/bahan organik yang cukup.

Informasi mengenai pemanfaatan lumpur tailing dapat dikembangkan oleh perusahaan sebagai filler dalam campuran media semai maupun media tanam. Pemanfaatan lumpur tailing ini dapat mengurangi penggunaan top soil.

Pengetahuan mengenai jenis-jenis yang bertahan hidup dan mampu menyerap unsur-unsur beracun seperti: Pb,Cu,Mn, Fe dan sebagainya sangat membantu dalam upaya rehabilitasi daerah yang terdegradasi di sekitar penambangan emas tersebut. Jenis-jenis tersebut antara lain manglid (Michelia montana), suren (Toona sureni) dan sonokeling (Dalbergia latifolia) dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas dengan memanfaatkan media tersebut.

b. Timah

Permasalahan di lahan bekas tambang timah antara lain adalah adanya banyaknya hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden. Tailing kuarsa merupakan sisa-sisa pemrosesan pemisahan bijih timah dengan bahan-bahan lainnya dan tersisa bahan-bahan/limbah berupa kuarsa. Sedangkan bahan-bahan campuran overburden merupakan campuran bahan-bahan/material di atas bijih timah. Ke dua hamparan ini tingkat kesuburannya sangat rendah, karena partikel liat dan bahan organik rendah sehingga buffer capacity terhadap unsur-unsur hara rendah. Oleh karena itu pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai filler/pengisi media semai dan media tanam dengan menambah bahan ameliorant berupa top soil dan bahan organik akan sangat membantu dalam mengatasi masalah tersebut.

Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden oleh pengguna akan mengurangi penggunaan top soil, baik untuk penyediaan bibit maupun dalam upaya mereklamasi lahan bekas tambang timah di kedua hamparan tersebut.

Jenis-jenis tumbuhan yang cocok untuk kedua hamparan tersebut yaitu: Eucalyptus urophylla, Eugenia garcinaefolia, Enterolobium cyclocarpum dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas di kedua hamparan tersebut dengan memanfaatkan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden sebagai media semai dan media tanam.

c. Batubara

Permasalahan pada lahan bekas tambang batubara adalah kesuburan tanah rendah dan beberapa tempat yang mengandung batuan pirit dan batuan pirit ini terekspose maka akan terjadi oksidasi dan akan muncul fenomena air asam tambang. Oleh karena itu hanya beberapa jenis tanaman yang mampu tumbuh dan berkembang di daerah ini.

Hasil penelitian mengenai pemanfaatan arang kelapa sawit, kompos, dan asam humat yang dapat dipakai sebagai bahan ameliorant baik di persemaian maupun di

(24)

Sintesis 2010-2014 | 10

lapangan dapat dikembangkan dalam skala yang lebih luas. Demikian juga informas mengenai jenis-jenis tanaman yang cocok di lahan bekas tambang batu bara seperti: jenis-jenis pioner seperti: (waru gunung (Hibiscus sp.), gmelina (Gmelina arborea) ,trembesi (Samanea saman) ,johar (Cassia siamea), dan sengon (Paraserianthes falcataria) dapat dipakai pada awal rehabilitasi dan jika telah tercipta iklim mikro yang baik (sekitar 4 tahun) dapat dikembangkan jenis-jenis Dipterocarpa seperti: Shorea artinervosa, S. agamii, S. balangeran, Parashorea smythiesii dan Cotylelobium burkii. Jenis-jenis Dipterocarpa lain yang dapat dikembangkan antara lain Drybalanops lanceolata, Shorea macrophylla dan Shorea smithiana. Jenis lokal lainnya yang dapat dikembangkan di lahan bekas tambang batubara antara lain: mahang (Macaranga sp.),pulai (Alstonia scholaris), laban (Vitex pinnata), nyawai (Ficus variegate), puspa (Schima wallichii), Ficus sp., medang (Litsea sp.), dao (Dracontomelon dao), salam (Syzygium sp.) dan terap (Artocarpus dadah).

2.Pengembangan dan pemanfaatan peta kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam unit DAS

Peta mengenai kesesuaian jenis pohon untuk rehabilitasi hutan dan lahan dalam unit DAS sangat membantu dalam pemilihan jenis-jenis pohon yang akan dikembangkan dalam suatu wilayah. Informasi ini diharapkan dapat membantu upaya rehabilitasi hutan dan lahan terutama di DAS yang termasuk dalam kategori kritis.

3.Pola Pengelolaan Tataguna Lahan dalam Mendukung Optimalisasi Tataair

Informasi mengenai pola pengelolaan tata guna lahan dalam mendukung optimalisasi tata air sangat ditentukan oleh dinamika/perubahan dinamis terkait pertumbuhan penduduk, perubahan sosial ekonomi budaya dan perkembangan teknologi. Informasi ini dapat dikembangkan terutama dalam pengelolaan DAS dari hulu sampai dengan hilir dengan tetap memperhatikan faktor ekologi sebagai faktor utama. Disamping itu informasi pemilihan jenis tegakan hutan tanaman yang tepat untuk mendukung rehabilitasi hutan dan lahan dalam wilayah DAS yang bersangkutan dapat dikembangkan agar tidak terjadi kekeringan.

4.Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Gambut

Lahan gambut merupakan lahan yang memiliki lapisan tanah kaya bahan organik (C-org >18%) (USDA, 2010). Secara umum dalam klasifikasi tanah, tanah gambut dikenal sebagai Organosol atau Histosols. Bahan organik penyusun tanah gambut terbentuk dari sisa-sisa tanaman yang belum melapuk sempurna karena kondisi jenuh air. Oleh karena itu lahan gambut banyak dijumpai di daerah rawa belakang (back swamp) atau daerah cekungan yang drainasenya buruk (Agus, 2012). Lahan gambut merupakan salah satu lahan yang dianggap marginal dan sampai dengan saat ini dijadikan tumpuan bagi perluasan lahan pertanian (Agus et al., 2012) maupun perkebunan. Oleh karena itu lahan gambut banyak yang mengalami

(25)

Sintesis 2010-2014 | 11 degradasi sehingga upaya pengelolaannya sangat diperlukan. Permasalahan lain yang sering muncul adalah adanya kebakaran hutan dan juga hilangnya fungsi gambut sebagai penyimpan air saat musim kemarau.

Pengalaman pengelolaan oleh masyarakat berupa pengaturan drainase dengan pembuatan saluran mikro, memperbaiki sistem drainase yang telah ada seperti pembuatan kanal bloking diharapkan dapat meningkatkan fungsi hidrologis gambut. Pengembangan teknologi berdasarkan pengalaman masyarakat tersebut dapat dilakukan di lahan sekitarnya, sehingga kelestarian gambut dapat terjaga.

5.Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Lahan dan Air Wilayah Pantai Berpasir Lahan pantai berpasir merupakan salah satu sumber daya lahan yang potensial untuk dikembangkan baik untuk produksi pangan maupun sebagai area untuk agroecoturisme. Namun demikian pengembangan lahan ini perlu mendapat perhatian khusus, karena kesuburan tanah pada lahan ini relatif rendah sehingga perlu input teknologi untuk meningkatkan produktivitasnya. Pengembangan teknologi yang diperoleh dapat dilakukan di daerah lain dengan melibatkan masyarakat dengan aturan-aturan yang mendukung.

(26)

Sintesis 2010-2014 | 12

V. PENUTUP

Daerah Aliran Sungai meliputi wilayah pantai sampai dengan pegunungan. Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya. Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.

Penggunaan lahan yang melebihi kapasitas produksi suatu lahan dalam DAS akan mengakibatkan munculnya lahan terdegradasi. Oleh karena itu diperlukan upaya pengelolaan lahan yang baik agar lahan terdegradasi dapat diperbaiki. Teknologi yang diperoleh dalam penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan oleh pengguna sehingga pengelolaan DAS dapat berjalan dengan baik.

(27)

Sintesis 2010-2014 | 13

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. 2000. Combating Land Degradation in Indonesia. National Report on the Implementation of United Nations Convention to Combat Desertification (UNCCD). For submission at the fourth session of Conference of the Parties. Bonn, Germany.

Darwo. 2007. Strategi Peningkatan Program Gerhan. (Studi Kasus Gerhan di Sekitar Daerah Tangkapan Air Danau Toba).Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian: Konservasi dan Rehabilitasi Sumber Daya Hutan. Padang, 20 September 2006. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, Bogor. p.249-258.

Departemen Kehutanan. 2003. Kebijakan Penyusunan Masterplan Rehabilitasi Hutan dan Lahan. Badan Planologi Kehutanan, Departemen Kehutanan dan JICA. Jakarta.

Departemen Kehutanan. 2008. Statistik Kehutanan Indonesia. Departemen Kehutanan. Jakarta. 204 p.

Kartodihardjo, H., K.Murtilaksono., dan U.Sudadi. 2004. Institusi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (Konsep dan Pengantar Analisa Kebijakan). Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Notohadiprawiro, T. 1981. Pengelolaan DAS dan Program Penghijauan. Jurusan Ilmu Tanah, Faperta, Universitas Gadjah Mada. 35 p.

UU No.7 Tahun 2004. Tentang Sumberddaya Air.

Wardoyo, W. 2007. Perlunya Penyamaan Persepsi dan Peningkatan Komitmen dalam Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Keynote Speech pada Lokakarya Sistem Informasi Pengelolaan DAS: Inisiatif Pengembangan Infrastuktur Data., F-MIPA – IPB dan CIFOR, 5 September 2007.

(28)

Sintesis 2010-2014 | 14

LAMPIRAN 1. Daftar Sintesa/Buku

Sintesa/

BUKU Judul

I Reklamasi Tambang

II Kesesuaian Tempat Tumbuh Jenis-jenis Pohon Pada Unit DAS di Jawa III Modelling Tataguna Lahan untuk Optimalisasi Tataair

IV Pengelolaan Lahan Gambut untuk Usaha Pertanian V Pengelolaan Lahan Pantai Berpasir

VI Kegiatan Penunjang

- Pengelolaan Lahan Pantai Berlumpur - Teknologi Hydroseeding

- Metode Penyediaan Bibit dengan Sistem Karpet Sabut Kelapa - Evaluasi Partisipasi Masyarakat dalam Rehabilitasi Lahan di DAS

Mahakam

- Rehabilitasi lahan dengan jenis lokal di Gunung Muria, Jawa Tengah

- Teknik Rehabilitasi Lahan Kritis Secara Partisipatif - Integrasi Kesesuaian Lahan dengan Tabel Volume - Teknik Mitigasi Tanah Longsor

(29)

BUKU I

PENGELOLAAN SUMBERDAYA LAHAN DAN AIR

PENDUKUNG PENGELOLAAN DAERAH ALIRAN SUNGAI

(ASPEK: REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG)

PENYUSUN:

PROF. RIS. DR. IR. PRATIWI, M.Sc. DR. I WAYAN SUSI DHARMAWAN, M.Si.

BUDI HADI NARENDRA, S.Hut, M.Sc. SEPTI ASIH WIDURI, S.Si. BURHANUDIN ADMAN, S.Hut, M.Sc.

NILAMSARI, S.Hut.

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KONSERVASI DAN REHABILITASI BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN BOGOR 2014

(30)
(31)

SUSUNAN TIM PENELITI

Koordinator : Prof. Dr. Ir.Pratiwi, M.Sc.

Tim Pelaksana : Dr. I Wayan Susi Dharmawan, M.Si. Budi Hadi Narendra, S.Hut, M.Sc. Septiasih Widuri, S.Si.

Burhannudin, S.Hut, M.Si. Nilam Sari, S.Hut.

(32)
(33)

i

DAFTAR ISI

Hal. DAFTAR ISI ... i DAFTAR GAMBAR ... iii I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Tujuan ... 2 1.3. Luaran ... 2

II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI

KEMENTERIAN KEHUTANAN ... 3

2.1. Identifikasi regulasi yang ada ... 3 2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi ... 4 2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan ... 5 III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN PEMULIHANNYA

UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN ... 7

3.1. Bekas Tambang Emas ... 7 3.2. Bekas Tambang Timah ... 10 3.3. Bekas Tambang Batubara ... 15 IV. PENUTUP ... 20 DAFTAR PUSTAKA ... 21

(34)
(35)

iii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat ... 7 2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai dan media tanam

tanaman manglid (Michelia montana) ... 10 3. Hamparan tailing kuarsa dan hamparan campuran bahan overburden ... 10 4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di

persemaian ... 12 5. Tanaman sengon buto dan ubak di hamparan tailing kuarsa (umur 5 bulan) ... 13 6. E.urophylla umur 5 bulan dan umur 15 bulan di hamparan overburden ... 14 7. Perlakuan mikoriza pada beberapa jenis bibit tanaman ... 15 8. Tanah dan batuan disposal yang ditemukan di lahan bekas tambang

batubara ... 16 9. Pemanfaatan kompos dan asam humat di persemaian Pentace sp ... 17 10. Pemanfaatan kelapa sawit untuk media tanam di lapangan ... 17 11. Tanaman waru gunung (Hibiscus sp.) sebagai tanaman pioneer di lahan

bekas tambang batubara ... 18 12. Jenis-jenis Dipterocarpaceae yang dapat tumbuh bagus dengan

(36)
(37)

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan (UU No.7 Tahun 2004). Dengan demikian karakteristik pantai selain dipengaruhi oleh sifat laut juga dipengaruhi sifat yang berasal dari wilayah hulu, baik sedimen maupun bahan terlarut dan terangkut lainnya (Wardoyo, 2007). Suatu DAS terdiri atas dua bagian utama yaitu daerah tadahan (catchment area) yang membentuk daerah hulu dan daerah kepala sungai, dan daerah penyaluran air yang berada di bawah daerah tadahan. Daerah penyaluran air dapat dibagi dua yaitu daerah tengah dan daerah hilir (Notohadiprawiro, 1981). Faktor utama yang menghubungkan bagian hulu (pegunungan dan perbukitan) dengan hilir (wilayah pantai) dalam suatu DAS adalah siklus/daur hidrologi (Wardoyo, 2007). Oleh karena, itu perubahan penggunaan lahan di daerah hulu akan memberikan dampak di daerah hilir dalam bentuk fluktuasi debit air, kualitas air dan transpor sedimen serta bahan-bahan terlarut di dalamnya.

Salah satu perubahan penggunaan lahan adalah adanya perubahan penggunaan lahan hutan menjadi areal penambangan. Areal penambangan tersebut antara lain adalah areal-areal yang diambil tambangnya seperti emas, timah dan batubara yang banyak terjadi di Indonesia. Adanya perubahan penggunaan lahan hutan ini seringkali mengakibatkan lahan menjadi terdegradasi.

Degradasi lahan adalah hilangnya atau berkurangnya kegunaan atau potensi kegunaan lahan untuk mendukung kehidupan. Adanya degradasi lahan menyebabkan menurunnya fungsi ekosistem lahan tersebut, dan akan berdampak baik bagi manusia maupun makhluk hidup lainnya. Dampak tersebut antara lain: penurunan produktivitas sehingga menyebabkan berkurangnya produksi bahan baku pangan, sandang dan papan. Disamping itu hal yang sangat penting adalah hilangnya keanekaragaman hayati karena rusaknya habitat dan ekosistem lainnya. Selain itu degradasi lahan akan berdampak pada kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada lahan sebagai sumber penghidupannya sehingga angka kemiskinan akan meningkat (Barrow, 1991). Dengan demikian degradasi lahan merupakan proses penurunan produktivitas lahan, baik yang sifatnya sementara maupun tetap (Dariah et al., 2009). Di sisi lain dengan adanya lahan terdegradasi di dalam DAS ini maka akan berpengaruh negatif terhadap kondisi hidrologis DAS seperti menurunnya resapan air ke dalam tanah, meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, meningkatnya aliran permukaan, banjir dan kekeringan. Oleh karena itu diperlukan beberapa upaya untuk mengatasi degradasi lahan, agar kualitas lahan menjadi lebih baik.

(38)

Sintesis 2010-2014 | 2

Salah satu upaya adalah dengan mereklamasi lahan-lahan bekas tambang tersebut, dengan menerapkan teknologi yang ada. Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Reklamasi, reklamasi hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai peruntukannya. Lingkup kegiatan reklamasi menurut Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No.18 tahun 2008 meliputi: penatagunaan lahan, revegetasi, pencegahan dan penanggulangan air asam tambang, dan pekerjaan sipil (Permen ESDM No. 18 tahun 2008).

Agar reklamasi lahan bekas tambang dapat berhasil dengan baik, juga diperlukan upaya yang seksama dalam menerapkan teknik konservasi tanah dan air, serta pemilihan jenis pohon yang sesuai/dapat beradaptasi dengan lingkungan yang kurang menguntungkan serta perbaikan kondisi fisik dan kimia tanah sebelum revegetasi. Jika hal ini dapat dilakukan, maka diharapkan pengelolaan lahan bekas tambang dapat menunjang pengelolaan DAS sehingga DAS dapat berfungsi secara lestari.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka diperlukan informasi mengenai teknologi reklamasi lahan bekas tambang termasuk informasi mengenai kebijakan yang berkaitan dengan reklamasi tambang dan beberapa langkah yang diperlukan agar lahan bekas tambang dapat berfungsi seperti semula. Oleh karena itu maka pengelolaan lahan bekas tambang harus ditunjang sepenuhnya oleh beberapa teknologi dan aturan-aturan yang mendukung.

1.2. Tujuan

Tujuan penulisan sintesa yang terkait dengan reklamasi lahan bekas tambang adalah menyediakan informasi dan teknologi tepat guna yang didasarkan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan. Hal ini dilakukan untuk menunjang keberhasilan reklamasi lahan bekas tambang agar lahan bekas tambang yang terdegradasi dapat berfungsi kembali sebagai habitat flora, fauna dan secara keseluruhan sebagai penyangga kehidupan, termasuk di dalamnya dapat meningkatkan perekonomian rakyat dengan meningkatkan partisipasi masyarakat dari mulai perencanaan, kegiatan pelaksanaan dan pengelolaan pasca rehabilitasi lahan bekas tambang.

Sehubungan dengan tujuan tersebut di atas, maka untuk tahun 2010-2014, teknologi yang disusun difokuskan pada tiga jenis lahan bekas tambang yaitu: emas, timah dan batubara.

1.3. Luaran

Luaran kegiatan ini adalah informasi dan teknologi tepat guna, untuk menunjang reklamasi lahan bekas tambang, khususnya tambang emas,timah dan batubara serta beberapa informasi kebijakan reklamasi lahan bekas tambang.

(39)

Sintesis 2010-2014 | 3

II. KEBIJAKAN REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DI

KEMENTERIAN KEHUTANAN

Sehubungan dengan kebijakan reklamasi lahan bekas tambang di Kementerian Kehutanan, beberapa regulasi telah disusun. Namun demikian implementasi di lapangan agaknya belum sepenuhnya dilaksanakan.

2.1. Identifikasi regulasi yang ada

Kementerian Kehutanan telah mengambil kebijakan reklamasi lahan bekas tambang melalui berbagai Keputusan Menteri Kehutanan. Keputusan tersebut antara lain:

A. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan no. 146/1999 tentang pedoman reklamasi bekas tambang dalam kawasan hutan. Keputusan ini berisi tentang kewajiban perusahaan untuk membuat perencanaan reklamasi dan melaksanakan reklamasi kawasan hutan yang rusak sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan dan energi dalam jangka waktu tertentu dan menyampaikan laporan kemajuannya secara berkala.

B. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.60/Menhut-II/2009 tentang Pedoman penilaian keberhasilan reklamasi hutan. Peraturan ini berisi tentang kriteria keberhasilan reklamasi hutan yang meliputi aspek penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, serta revegetasi atau penanaman pohon. Selain itu juga berisi tentang prosedur penilaian dan pihak-pihak yang terkait serta tata cara pelaporan hasilnya.

C. Peraturan Pemerintah RI no: 78/2010 tentang Reklamasi pasca tambang yang mengatur rencana reklamasi dan rencana pasca tambang baik pada tahap eksplorasi dan tahap produksi. Diatur juga tentang jaminan reklamasi dan pasca tambang serta sanksi administratif yang dapat dikenakan.

D. Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.39/Menhut-II/2010 tentang Pola umum, kriteria, dan standar rehabilitasi dan reklamasi hutan yang mengatur prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan, meliputi :

1. Sistem penganggaran yang berkesinambungan (multi years); 2. Kejelasan kewenangan;

3. Pemahaman sistem tenurial; 4. Andil biaya (cost sharing); 5. Penerapan sistem insentif;

6. Pemberdayaan masyarakat dan kapasitas kelembagaan; 7. Pendekatan partisipatif; dan

8. Transparansi dan akuntabilitas.

Kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan serta reklamasi hutan tersebut dilaksanakan dengan pendekatan aspek politik, sosial, ekonomi, ekosistem, dan

(40)

Sintesis 2010-2014 | 4

kelembagaan organisasi. Dalam melaksanakan reklamasi, harus menggunakan kriteria dan standar antara lain:

a. Karakteristik lokasi kegiatan; b. Jenis kegiatan;

c. Penataan lahan;

d. Pengendalian erosi dan limbah; e. Revegetasi; dan

f. Pengembangan sosial ekonomi.

E.Peraturan Menteri Kehutanan RI no: P.04/Menhut-II/2011 tentang Pedoman reklamasi hutan yang berisi acuan lebih detail bagi pelaksana dalam melakukan kegiatan reklamasi hutan pada areal bekas penggunaan kawasan hutan. Hal-hal yang diatur dalam peraturan ini meliputi:

a. Inventarisasi lokasi; b. Penetapan lokasi; c. Perencanaan; d. Pelaksanaan; e. Kelembagaan;

f. Pemantauan dan pembinaan teknis,

g. Mekanisme pelaporan pelaksanaan reklamasi hutan; dan h. Sanksi.

2.2. Analisis kebutuhan penelitian untuk mendukung regulasi

Sesuai dengan yang diamanatkan dalam peraturan perundangan, kegiatan reklamasi yang baik harus diawali dengan penyusunan rencana reklamasi. Untuk menunjang perencanaan reklamasi tersebut, diperlukan kegiatan penelitian guna menentukan:

a. Teknik pengendalian erosi dan sedimentasi yang tepat (pengaturan bentuk lahan, jenis bangunan konservasi, jenis cover crop).

Kegiatan reklamasi merupakan kegiatan pasca tambang untuk mencapai kondisi mendekati saat sebelum ditambang atau menjadi lahan yang produktif. Kegiatan reklamasi ini diawali dengan pekerjaan sipil teknis untuk membenahi bentang lahan seperti perataan, pengembalian top soil, pengaturan drainase agar lahan mudah dikelola dan menerapkan teknik konservasi tanah untuk pengendalian erosi, longsor, dan sedimentasi. Pemilihan teknik yang digunakan tergantung pada kondisi setempat seperti cekdam, dam penahan, pengendali jurang, saluran pembuangan air, bangunan terjunan air, dan penanaman cover crop. Pemilihan jenis dan jumlah bangunan yang tepat akan memberi manfaat optimal dalam konservasi tanah.

b. Jenis tanaman dan pola tanam yang sesuai untuk revegetasi meliputi jenis tanaman perintis, jenis tanaman cepat tumbuh, jenis tanaman lokal

Pemilihan jenis tanaman didasarkan pada kondisi biofisik lahan, persyaratan tumbuh tanaman, fungsi dan peruntukan kawasan. Untuk tahap awal, perlu

(41)

Sintesis 2010-2014 | 5 dilakukan analisis jenis tanaman pionir dan jenis cepat tumbuh yang sesuai, selanjutnya dapat digunakan tanaman unggulan lokal, tanaman eksotik, atau tanaman serbaguna atau multi purpose trees species (MPTS) tergantung fungsi dan peruntukan kawasan.

c. Teknik pengelolaan top soil dan perbaikan media tanam (jenis bahan dan komposisinya).

Untuk mencapai persentase hidup dan kesehatan/pertumbuhan tanaman yang baik, perlu diperhatikan kondisi fisik, kimia, dan nutrisi untuk pertumbuhan tanaman melalui pengelolaan top soil dan perlakuan media tanam. Mengingat bervariasinya kondisi lahan pasca penambangan, perlu di lakukan penelitian formulasi yang sesuai untuk setiap jenis tambang.

2.3. Implementasi dan permasalahan di lapangan

Sebenarnya berbagai peraturan dan kebijakan reklamasi telah disusun oleh Kementerian Kehutanan, namun dalam pelaksanaannya masih banyak permasalahan yang ditemukan di lapangan seperti:

a. Tambang timah:

a.1. Beberapa hasil penelitian telah menghasilkan teknologi reklamasi terutama dalam pembenahan media tanam pada lahan bekas tambang timah. Namun lahan bekas tambang timah yang telah berhasil direklamasi seringkali mengalami kerusakan akibat adanya penambangan illegal/PETI yang dilakukan oleh masyarakat pada lokasi reklamasi, karena masih adanya potensi timah di lahan tersebut. Diperlukan strategi penanganan/peraturan perundangan yang mencegah terjadinya hal demikian.

a.2. Adanya tailing kuarsa dan bahan campuran overburden yang di hamparkan di lapangan masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal kedua bahan ini dapat dimanfaatkan sebagai campuran media persemaian dan penanaman, sehingga dapat mengurangi penggunaan top soil.

b. Tambang emas:

Kegiatan penelitian telah menghasilkan formulasi pemanfaatan tailing tambang emas sebagai media tanam, namun volume tailing yang dihasilkan melebihi pemanfaatannya sebagai media pengisi lubang tanam maupun media semai sehingga daya tampung dam tailing seringkali tidak memadai. Diperlukan skala pemanfaatan yang lebih besar dan jenis pemanfaatan lainnya agar dapat mengimbangi timbunan tailing.

c. Tambang batubara

c.1.Teknologi reklamasi pada lahan bekas tambang batubara perlu terus dikembangkan terutama dalam pencegahan dan penanganan air asam tambang (AAT). Penanganan yang dilakukan masih dirasa kurang efektif dan memerlukan biaya tinggi. Penelitian untuk menghasilkan teknologi

(42)

Sintesis 2010-2014 | 6

pemanfaatan air asam tambang, diharapkan dapat mengubah limbah pertambangan ini menjadi sesuatu yang bernilai guna dan mendatangkan keuntungan finansial bagi perusahaan.

c.2. Pengembangan model agroforestri dalam reklamasi tambang batubara dapat dijadikan alternatif model reklamasi yang efektif dan efisien.

(43)

Sintesis 2010-2014 | 7

III. REKLAMASI LAHAN BEKAS TAMBANG DAN

PEMULIHANNYA UNTUK KELESTARIAN LINGKUNGAN

3.1. Bekas tambang emas

Permasalahan utama dalam tambang emas adalah hasil pemisahan bijih emas dengan bahan-bahan lainnya menghasilkan lumpur yang memiliki kandungan logam berat cukup tinggi dan beracun seperti: Pb,Cu,Zn dan Fe. Limbah ini ditampung di dalam dam yang cukup luas yang disebut sebagai tailing dam. Persoalan lain yang muncul adalah adanya beberapa tanah longsor di sekitar dam yang dikhawatirkan akan menambah sedimentasi di dalam dam tersebut. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mengurangi lumpur tailing tersebut dan merehabilitasi daerah-daerah yang longsor di sekitar dam.

Penambangan merupakan salah satu contoh kegiatan yang dapat menyebabkan kerusakan tanah dan tumbuhan secara ekstrem. Pemadatan tanah, penurunan unsur hara, toksisitas lahan dan kemasaman lahan merupakan fenomena umum yang terjadi pada tanah di tambang emas. Untuk mengatasi kerusakan akibat penambangan diperlukan strategi pengelolaan lahan dengan cara mencari teknik atau pemilihan jenis yang tahan hidup pada daerah tersebut, mencari sumber mikroba yang mampu mengembalikan kesuburan tanah dan bahan organik yang mampu memperkaya kandungan unsur hara pada lahan tersebut.

A. Pemanfaatan limbah/tailing sebagai pengisi media tanam

Limbah padat dalam bentuk lumpur tailing merupakan salah satu limbah yang muncul pada proses penambangan emas (Gambar 1). Oleh karena tingginya kandungan beberapa logam seperti Pb, Cu, Mn, dan Fe serta jumlah massa yang sangat besar yang diendapkan di kolam atau dam, maka lumpur tailing berpotensi menjadi polutan jika tidak dikelola secara benar.

Gambar 1. Lumpur tailing tambang emas, Pongkor – Jawa Barat (Foto: Siregar dan Dharmawan)

(44)

Sintesis 2010-2014 | 8

Manipulasi sifat kimia lumpur tailing dengan menekan aktivitas ion-ion logam pada larutan tanah sehingga daya racunnya tertekan dapat merubah bahan ini menjadi tanah yang tidak beracun. Salah satu teknik yang dapat diandalkan dalam meredam aktivitas ion-ion logam dalam larutan tanah adalah melalui mekanisme atau proses kelat (chelate) dimana gugus fungsional bahan organik bereaksi dengan ion-ion logam tersebut. Beberapa penelitian telah dilakukan di PT. Antam untuk memformulasikan teknik manipulasi sifat kimia lumpur tailing yang bersifat racun dengan memanfaatkan pupuk kandang dan arang untuk dijadikan media tanaman dalam rangka memperbaiki sifat kimia dan fisik kesuburan media tanam.

Penambangan emas di PT. Antam, Pongkor menghasilkan limbah tailing dengan kandungan Pb yang tinggi sebesar 110 ppm. Tingginya Pb tersebut karena PT. Antam menggunakan sianida (CN) dalam memisahkan emas dan tanah tambang. Unsur sianida tersebut dapat meningkatkan mobilitas ion logam Pb dalam media tailing. Tingginya kandungan Pb dalam tailing juga dapat dilihat di lokasi lain yaitu di penambangan emas Ma On Shan, Hongkong dengan kandungan Pb sebesar 151 ppm (Wong et. al., 1977) dan penambangan emas di Barraba, New South Wales, Australia dengan kandungan Pb sebesar 100 ppm (Meyer, 1980). Menurut Balkema (1997), tailing merupakan komposit mineral-mineral / logam-logam berat yang berasal dari kegiatan penambangan, memiliki tekstur berpasir dan tidak bernilai ekonomis. Namun demikian sebenarnya lumpur tailing sebagai hasil limbah pengolahan emas dapat dijadikan sebagai filler/pengisi media tanam (Gambar 2). Lumpur tailing tersebut harus dicampur dengan pupuk kandang atau bahan organik lainnya untuk menekan kandungan logam berat Pb, Cu, Mn dan Fe. Komposisi terbaik media tailing dengan bahan organik sebesar 1:1 (v/v) (Siregar dan Dharmawan, 2010). Selanjutnya Widianto (1996) menambahkan bahwa pemanfaatan tailing sebagai media dengan menambahkan bahan organik, dan penggunaan cendawan endomikorhiza ke dalam media tailing dapat mengurangi kelarutan Pb. Pupuk organik merupakan bahan organik yang dapat memperbaiki sifat fisik tanah sehingga tanah menjadi remah, mengurangi kelarutan ion-ion logam berat dalam tanah dan merangsang hidupnya mikroba-mikroba dalam tanah sehingga tanah menjadi lebih subur. Dengan adanya penambahan pupuk organik yang mengandung berbagai macam mineral, vitamin, enzim, asam-asam organik seperti asam humat dan sumber nutrisi lainnya, dapat merangsang hidupnya mikroba tanah seperti mikorhiza maupun mikroba lainnya, mengikat ion-ion logam berat (sebagai chelating agent), meningkatkan agregasi tanah dan memperbaiki struktur tanah (Russo, 1994 ; Turk, 1995).

Pemanfaatan tailing sebagai media pertumbuhan tanaman Paraserianthes falcataria telah dilakukan juga dengan cara penambahan pupuk organik dan penggunaan cendawan endomikorhiza kedalam media tailing. Hasil pemanfaatan ini menunjukkan bahwa komposisi media (tailing : pupuk organik kascing, rasio 1:1, v/v) memberikan hasil terbaik terhadap pertumbuhan tinggi, pertumbuhan diameter

(45)

Sintesis 2010-2014 | 9 dan berat kering total masing-masing sebesar 15.7 cm, 0.5 cm dan 9.2 gr (Dharmawan, 2007).

Penggunaan lumpur tailing sebagai filler media tanam dapat mengurangi tekanan terhadap penggunaan topsoil untuk rehabilitasi lahan kritis baik itu lahan kritis bekas penambangan maupun lahan kritis akibat gangguan lainnya.

B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk rehabilitasi lahan bekas longsoran di sekitar tailing dam tambang emas

Di sekitar tailing dam umumnya terdapat beberapa lahan terdegradasi antara lain akibat longsoran. Jika hal ini dibiarkan, maka tanah akan tergerus dan mengakibatkan sedimen hasil erosi tanah tersebut masuk ke dalam tailing dam. Dikhawatirkan jika hal ini dibiarkan maka akan menimbulkan jebolnya dam. Untuk menghindari hal tersebut maka perlu upaya rehabilitasi. Upaya rehabilitasi dapat dilakukan dengan memanfaatkan tailing lumpur sebagai filler /pengisi media tanam.

Komposisi media yang telah ditemukan seperti yang tersebut di atas dapat diterapkan dalam rehabilitasi lahan terdegradasi dengan beberapa tahapan. Tahapan rehabilitasi tambang emas sangat sederhana, mudah diterapkan dan tidak memerlukan input biaya yang tinggi jika tersedia limbah tailing dan pupuk kandang/bahan organik yang cukup. Tahapannya sebagai berikut (Siregar dan Dharmawan, 2010):

1) Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran 50cmx50cmx50cm ;

2) Pengisian media lumpur tailing dan pupuk kandang dengan perbandingan 1 :1 ; 3) Lubang tanam dibiarkan seminggu agar media dapat beradaptasi ;

4) Penanaman semai tanaman dengan tinggi 50 cm dengan jarak tanam 3mx2m ; dan

5) Pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan pemupukan dasar NPK tiap 3 bulan.

Pemilihan jenis harus menggunakan spesies lokal yang telah cocok dengan kondisi iklim dan geografis setempat. Jenis manglid (Michelia montana) memiliki pertumbuhan yang bagus dengan menggunakan media tailing : pupuk kandang (1:1, v/v). Selain itu, jenis tanaman tersebut merupakan jenis lokal yang adaptif dengan kondisi setempat. Jenis tanaman lain seperti: suren (Toona sureni) dan sonokeling (Dalbergia latifolia) juga memberikan pertumbuhan cukup bagus dan mampu menyerap logam berat Cu dan Pb secara optimal.

(46)

Sintesis 2010-2014 | 10

Gambar 2. Pemanfaatan lumpur tailing sebagai media semai (kiri) dan media tanam (kanan) tanaman manglid (Michelia montana)(Foto: Siregar dan Dharmawan) 3.2. Bekas tambang timah

Sistem pertambangan di Indonesia umumnya menerapkan teknik penambangan permukaan (surface mining), seperti yang dilakukan di pertambangan timah. Akibatnya adalah terjadi perubahan lanskap dan permukaan tanah, hilangnya lapisan atas tanah serta berubahnya habitat flora dan fauna. Perubahan ini menyebabkan sistem hidrologi dan kestabilan landskap berubah. Apabila lahan bekas tambang ini tidak dikelola dengan baik, maka akan menimbulkan permasalahan lingkungan baik di dalam areal pertambangan (on site) maupun di luar areal penambangan (off site). Hal ini dapat diamati pada kegiatan pertambangan timah di Bangka (Djakamihardja dan Noviardi, 2009; Herlina, 2004; Rahmawaty, 2002; Yani, 2005). Bekas penambangan ini meninggalkan lahan-lahan berupa hamparan tailing pasir kuarsa dan campuran bahan-bahan overburden (Gambar 3).

Gambar 3. Hamparan tailing kuarsa (kiri) dan hamparan campuran bahan overburden (kanan)(Foto: Pratiwi)

Tailing kuarsa merupakan hasil dari pemisahan bijih timah dengan bahan-bahan lainnya. Permasalahan yang muncul adalah kualitas hamparan tailing kuarsa memiliki pH rendah (4-5), kandungan mikroba dan unsur hara juga rendah sehingga tingkat kesuburannya rendah. Rendahnya tingkat kesuburan ini karena tailing kuarsa mengandung lebih dari 95 % pasir kuarsa, sedangkan partikel liat serta bahan organiknya sangat rendah. Karena partikel liat dan bahan organik sangat rendah,

Hamparan tailing kuarsa

(47)

Sintesis 2010-2014 | 11 maka kapasitas sangga (buffer capacity) tailing ini menjadi sangat rendah (Pratiwi et al., 2012). Oleh karena itu untuk memperbaiki kesuburan tanah ini perlu dilakukan penambahan bahan liat dan bahan organik sebagai bahan pembenah (ameliorant) dan bahan lain sebagai bahan pupuk seperti kapur.

Disamping itu bahan campuran overburden yang dihamparkan di beberapa area juga menunjukkan tingkat kesuburan tanahnya yang rendah. Bahan campuran overburden ini mempunyai pH 3,5 karena overburden mengandung bahan sulfidic (mineral pirit/calco pirit) yang mengandung besi dan sulfida dalam kondisi reduksi. Pada saat bahan ini menjadi kering (berkurang kadar airnya), bahan sulfidic mengalami oksidasi yang melarutkan Fe+2 dan S2-. Ion-ion ini teroksidasi dan terhidrolisis dan menghasilkan ion H+ dalam jumlah banyak (Pratiwi, 2012). Oleh karena itu overburden ini mempunyai pH rendah dan diperlukan bahan ameliorant untuk memperbaiki kesuburannya.

A. Pemanfaatan tailing kuarsa dan campuran bahan overburden sebagai media tanam untuk perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah

Tailing kuarsa dan bahan campuran overburden dapat dimanfaatkan untuk media tanam dalam rangka perbaikan kualitas tanah bekas tambang timah dengan menambahkan bahan organik, top soil, kapur, dan pupuk NPK.

Hasil penelitian Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et al., 2012, menunjukkan bahwa media tanam dengan komposisi:

1. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil+ + 5% kapur + 1% NPK + 54% tailing kuarsa, memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman Eucalyptus urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), sengon buto (Enterolobium cyclocarpum) dan trembesi (Samanea saman).

2. Kombinasi 20% bahan organik + 20% top soil + 10% kapur + 1% NPK + 49 % bahan campuran overburden memberikan pertumbuhan yang bagus untuk tanaman E. urophylla, uba (Eugenia garcinaefolia), dan sengon buto (Enterolobium cyclocarpum)

Bahan organik dapat meningkatkan kesuburan baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Dengan penambahan bahan organik di dalam media tersebut, maka struktur tanah menjadi lebih baik, daya simpan air meningkat, dan juga meningkatnya KTK tanah (Soepardi, 1983; Hardjowigeno, 1992). Dengan meningkatnya KTK tanah maka daya sangga (buffer capacity) terhadap unsur-unsur hara meningkat. Disamping itu diversitas mikroorganisme di dalam tanah juga meningkat, sehingga dapat membantu proses pelapukan bahan organik di dalam media tersebut. Di samping itu pemberian top soil dalam media sangat bermanfaat, karena di dalam top soil kandungan unsur-unsur haranya relatif masih tinggi dibandingkan dengan lapisan tanah di bawahnya. Dengan demikian pemberian bahan organik (kompos) dan top soil dapat meningkatkan kesuburan tanah, sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih bagus (Gambar 4).

(48)

Sintesis 2010-2014 | 12

Gambar 4. Percobaan pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden di persemaian (Foto: Pratiwi)

Pemanfaatan tailing kuarsa dan bahan campuran overburden untuk media persemaian, dapat mengurangi pemakaian top soil. Hasil komposisi media tersebut dapat diterapkan di lapangan khususnya di hamparan tailing kuarsa dan hamparan bahan campuran overburden.

B. Uji kesesuaian jenis-jenis pohon untuk reklamasi lahan bekas tambang timah

Komposisi media tailing kuarsa maupun bahan campuran overburden seperti tersebut di atas dapat diterapkan di lapangan, yaitu untuk media tailing kuarsa diterapkan di hamparan tailing kuarsa dan untuk komposisi media campuran bahan overburden diterapkan di hamparan overburden (Pratiwi et al., 2011 dan Pratiwi et al,, 2012) .

Tahapan penerapan di hamparan tailing kuarsa adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan lubang tanaman dalam bentuk pot dengan ukuran 50cmx50cmx50cm ;

2. Pengisian lubang tanam dengan media campuran antara top soil dan bahan organik masing-masing dengan perbandingan 20 %, kapur 5%, NPK 1% dan 54% tailing kuarsa;

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Hasil penelitian menemukan bahwa : (1) Luas lahan berpengaruh positif dan signifikan terhadap pendapatan kelompok tani; (2) Penyuluhan pendamping berpengaruh

Ikatan Akuntan Indonesia, 2002, Standar Profesional Akuntan Publik, Cetakan Kedua, Bagian Penerbit Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN, Yogyakarta.. Mulyadi, 2008,

Secara substansi, kebutuhan manusia akan air harus memadai dari aspek kuantitas, kualitas, dan kontinuitas (kerkesinambungan). Pada sekitar 20 tahun terakhir,

Nilai Al-dd tanah pada semua lokasi penelitian tergolong sangat tinggi (41-59%). Lokasi Juata permai memiliki nilai Al- dd tanah yang lebih tinggi dari lokasi lainnya dan

Kesimpulan penelitian adalah DAS Beringin mempunyai karakteristik sungai yang melebar pada bagian hulu dan menyempit pada bagian hilirnya, debit banjir lima tahunan DAS

Lokasi daerah aliran sungai (DAS) yang dibahas dalam penelitian ini adalah daerah aliran sungai (DAS) Way Ketibung yg merupakan bagian dari Daerah Aliran Sungai

Di dalam: Peran Penelitian dan Pengembangan Kehutanan dalam Mendukung Rehabilitasi dan Konservasi Kawasan Hutan di Sumbagut.. Pusat Penelitian dan Pengembangan dan

Pada Tahun Anggaran 2017 akan dilaksanakan Pekerjaan Penyusunan Masterplan Pengembangan dan Studi Kelayakan Daerah Irigasi dan Rawa Kawasan DAS Bian-Kumbe-Maro seluas 223.257 Ha