BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sistematika Amfibi.
Amfibi merupakan salah satu kelas dari vertebrata yang terdiri dari tiga ordo, yaitu ordo Caudata, ordo Gymnophiona, dan ordo Anura (Simon & Schuster’s, 1989). Dari ketiga ordo tersebut yang dijumpai di Indonesia adalah ordo Gymnophiona dan ordo Anura. Klasifikasi amfibi sebagai berikut:
Ordo Urodela (Caudata), terdiri dari :
a. Famili Hynobiidae (meliputi salamander yang hidup di dataran Asia) b. Famili Cryptobranchidae (meliputi salamander yang hidup di sungai)
c. Famili Ambystomidae (dalam keadaan larva hidup di perairan dan pada saat dewasa ada sebagian yang tetap di perairan dan sebagian di daerah teresterial)
d. Famili Salamdridae e. Famili Amphiumidae f. Famili Plethodonthidae
g. Famili Proteidae (selalu dalam stadium larva)
h. Famili Serenidae (selalu dalam stadium larva tanpa ektremitas posterior)
Ordo Anura (salientia) terdiri dari :
a. Famili Liopelmidae (meliputi katak yang primitif, aquatik dan teresterial)
b. Famili Pipidae (meliputi katak yang bertubuh pipih, merupakan katak yang melakukan penyesuaian terhadap lingkungan perairan)
c. Famili Discoglossidae d. Famili Pelobatidae e. Famili Brevicivitadae
g. Famili Rachoporidae h. Famili Mycrohylidae
i. Famili Pseudidae (meliputi katak-katak aquatik dari Amerika Selatan) j. Famili Bufonidae
k. Famili Hylidae
l. Famili Leptodactylidae
Ordo Apoda (Gymnophiona) hanya terdiri dari 1 famili, yaitu famili Caecilidae.
2.2 Biologi Amfibi 2.2.1 Pengertian Amfibi
Amfibi berasal dari kata amphi yang berarti ganda dan bio yang berarti hidup. Secara harfiah amfibi diartikan sebagai hewan yang hidup di dua alam, yakni dunia darat dan air. Amfibi dikenal sebagai hewan bertulang belakang yang suhu tubuhnya tergantung pada lingkungan, mempunyai kulit licin dan berkelenjar serta tidak bersisik. Sebagian besar mempunyai anggota gerak dengan jari (Liswanto, 1998).
2.2.2 Morfologi Amfibi
Amfibi memiliki beragam bentuk dasarnya tergantung ordonya. Ordo Anura (jenis katak-katakan) secara morfologi mudah dikenal karena tubuhnya seperti berjongkok di mana ada empat kaki untuk melompat, bentuk tubuh pendek, leher yang tidak jelas, tanpa ekor, mata melotot dan memiliki mulut yang lebar (Inger, R.F & R.B, Stuebing, 1997). Tungkai belakang selalu lebih panjang dibanding tungkai depan. Tungkai depan memiliki 4 jari sedangkan tungkai belakang memiliki 5 jari. Kulitnya bervariasi dari yang halus hingga kasar bahkan tonjolan-tonjolan tajam kadang ditemukan seperti pada famili Bufonidae. Ukuran katak di Indonesia bervariasi mulai dari yang terkecil yakni 10 mm hingga yang terbesar mencapai 280 mm (Iskandar, 1998). Katak di Sumatera diketahui berukuran antara 20 mm – 300 mm (Mistar, 2003).
Umumnya ordo Anura memiliki selaput (webbing) walaupun sebagian didapatkan tidak berselaput seperti genus Leptobrachium dan Megophrys. Ada tidaknya selaput sangat sesuai dengan habitat yang ditempatinya. Ordo Anura memiliki warna bervariasi berdasarkan familinya seperti famili Rhacophoridae cenderung berwarna terang sedangkan famili Megophrydae cenderung berwarna gelap sesuai habitatnya di serasah (Mistar, 2003).
Ordo Gymnophiona (sesilia) merupakan satu-satunya ordo dari amfibi yang tidak mempunyai tungkai. Sesilia sangat mirip dengan cacing tapi mempunyai mulut dan mata yang jelas, biasanya terdapat garis kuning pada sisi bagian tubuhnya. Kemudian ordo ketiga adalah ordo Caudata (salamander) mempunyai empat tungkai, mempunyai mata yang jelas dan mulut yang jelas (Mistar, 2003).
2.2.3 Pola Makan Amfibi
Semua spesies amfibi dewasa tergolong dalam karnivora (Liswanto, 1998). Namun pada fase berudu amfibi umumnya herbivora walaupun ada yang termasuk karnivora bergantung jenisnya. Berudu yang dikenal karnivora adalah genus Occidozyga. Makanan amfibi umumnya adalah arthropoda, cacing, dan larva serangga. Spesies amfibi yang berukuran besar dapat memakan hewan yang vertebrata kecil seperti ikan kecil, bahkan kadal kecil dan ular kecil (Iskandar, 1998).
Pola makan berudu amfibi diketahui berbagai cara bergantung spesiesnya. Berudu genus Megophrys memiliki mulut segitiga seperti corong yang digunakan sebagai strategi dalam mencari makan di permukaan air. Berbeda dengan berudu spesies Huia sumatrana di mana berudu ini mempunyai mangkok penghisap untuk melekat pada batu ketika mencari makan di sungai berarus deras dan jernih. Diketahui juga berudu yang tidak mengambil makanan dari lingkungan, yakni berudu Kalophrynus sp dan Kaloula sp di mana berudu tersebut mengandalkan kuning telur yang tersedia (Mistar, 2003).
Amfibi dikenal dengan makhluk dua alam. Amfibi tersebar di semua benua kecuali benua Antartika, umumnya dijumpai pada malam hari atau pada musim penghujan seperti di kolam, aliran sungai, pohon-pohon maupun di gua (Simon & Schuster’s, 1989). Iskandar (1998) menyatakan bahwa amfibi selalu hidup berasosiasi dengan air sesuai namanya yaitu hidup pada dua alam (di air dan di darat). Selanjutnya dijelaskan bahwa sebagian besar amfibi didapatkan hidup di kawasan hutan karena di samping membutuhkan air juga membutuhkan kelembaban yang cukup tinggi (75-85%) untuk melindungi tubuh dari kekeringan. Mistar (2003) menjelaskan bahwa sewaktu bereproduksi amfibi membutuhkan air atau tempat untuk meletakkan telur hingga terbentuknya larva dan juvenil.
Berdasarkan kebiasaan hidupnya amfibi dapat dikelompokkan ke dalam empat kelompok, yakni :
a. Teresterial, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya berada di lantai hutan, jarang sekali berada pada tepian sungai, memanfaatkan genangan air atau di kolam di lantai hutan serta di antara serasah daun yang tidak berair tetapi mempunyai kelembaban tinggi dan stabil untuk meletakkan telur. Contohnya Megophrys aceras, M. nasuta dan Leptobracium sp.
b. Arboreal, spesies-spesies amfibi yang hidup di pohon dan berkembang biak di genangan air pada lubang-lubang pohon di cekungan lubang pohon, kolam, danau, sungai yang sering dikunjungi pada saat berbiak. Beberapa spesies arboreal mengembangkan telur dengan membungkusnya dengan busa untuk menjaga kelembaban, menempel pada daun atau ranting yang di bawahnya terdapat air. Contohnya seperti Rhacophorus sp, Philautus sp dan Pedostibes hosii.
c. Aquatik, spesies-spesies yang sepanjang hidupnya selalu berada pada badan air, sejak telur sampai dewasa, seluruh hidupnya berada pada perairan mulai dari makan sampai berbiak. Contohnya antara lain Occidozyga sumatrana dan Rana siberut.
d. Fossorial, spesies yang hidup pada lubang-lubang tanah, spesies ini jarang dijumpai. Amfibi yang termasuk dalam kelompok ini adalah suku Microhylidae yaitu Kaloula sp dan semua jenis sesilia (Mistar, 2003).
Menurut Iskandar (1998), kelompok amfibi ini hidup tersebar luas di mana amfibi dapat hidup di tempat yang beragam, mulai dari hutan primer sampai tempat yang ekstrim sekali. Walaupun demikian habitat yang paling disukai adalah daerah berhutan karena
membutuhkan kelembaban yang stabil, dan ada juga yang tidak pernah meninggalkan perairan sama sekali (Mistar, 2003).
2.4 Manfaat dan Peranan Amfibi
Manfaat amfibi sangat beragam baik itu untuk konsumsi, sibernetik maupun bahan percobaan penelitian. Iskandar (1998), menjelaskan bahwa amfibi telah banyak dimakan khususnya di restoran-restoran Cina. Dua spesies yang paling sering dikonsumsi adalah Fejervarya cancrivora dan Limnonectes macrodon yakni spesies yang cukup bertubuh besar yang sering dijadikan sumber protein tinggi.
Selanjutnya Mistar (2003), menjelaskan bahwa amfibi mempunyai potensi yang besar untuk menanggulangi hama serangga (sibernetik) karena pakan utama amfibi adalah serangga dan larvanya. Beberapa perkebunan di Hawaii memanfaatkan jenis Bufo marinus yang didatangkan dari Texas untuk memberantas serangga secara biologis, akan tetapi metode ini harus diperhitungkan secara ekologi karena berbagai kasus seperti ketika Bufo marinus diintroduksi ke Australia dengan tugas yang sama mereka berkembang biak secara cepat dan tidak ada satwa yang mengontrol populasi kodok ini sehingga pada akhirnya menjadi hama bagi tanaman tebu (Easteal, 2006).
Di samping sebagai sibernetik, amfibi berperan besar dalam dunia kedokteran di mana amfibi telah lama digunakan sebagai alat tes kehamilan. Beberapa ahli pada saat sekarang telah banyak melakukan penelitian untuk mencari bahan anti bakteri dari berbagai spesies amfibi yang diketahui memiliki ratusan kelenjar yang terdapat di bawah kulitnya.
2.5 Konservasi
Penyelamatan amfibi tidak bisa dilepaskan dari kerusakan habitat maupun pemanasan global. Suhu atmosfer bumi saat ini telah meningkat 0,5ºC dibanding suhu pada zaman
praindustri (Murdiyarso, 2003). Terutama karena amfibi merupakan satwa yang membutuhkan kondisi lingkungan yang stabil. Secara umum diketahui amfibi memiliki persebaran yang luas namun perlindungan mikrohabitatnya mutlak dilakukan karena amfibi diketahui berendemisitas yang tinggi (Mistar, 2003). Sesuai dengan penjelasan Iskandar (1998) bahwa ordo Anura (katak dan kodok) di Sumatera didapatkan 89 jenis di mana sekitar 21 jenis di antaranya adalah endemik.
Iskandar (1998) menjelaskan bahwa beberapa jenis hampir dikhawatirkan akan habis karena manusia banyak memperjualbelikan dan juga mengkonsumsinya terutama jenis Limnonectes macrodon. Salah satu kendala yang menghambat upaya konservasi amfibi adalah minimnya data tentang status populasi dan penyebaran distribusinya sehingga belum satu pun jenis amfibi di Sumatera yang masuk dalam daftar satwa terancam punah dalam IUCN (Liswanto, 1998). Di dalam Peraturan Pemerintah No. 7 (1999) juga belum terdaftar satu jenis amfibi pada lampiran jenis-jenis satwa yang dilindungi. Dengan tidak diketahuinya status populasi dan distribusi spesies-spesies amfibi maka hilangnya satu spesies maupun laju penyusutan populasi menjadi sulit dipantau sedangkan laju kerusakan dan alih fungsi hutan sangat cepat (Rahayuningsih et al, 2004).
Penelitian di Pulau Sumatera khususnya telah pernah diteliti dan dipublikasikan oleh Van Kampen, De Rooij, Cooger Harold, D. Liswanto, Voris dan Kadarsan. Hasil penelitian Lubis (2007) memperlihatkan bahwa di Hutan Suaka Margasatwa Siranggas, Kabupaten Pakpak Bharat, Sumatera Utara didapatkan 17 jenis amfibi yang tergolong ke dalam 10 genus, 5 famili dan 2 ordo.
2.6 Hutan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit
Hutan Taman Wisata Alam Sibolangit/Cagar Alam Sibolangit (TWA/CA Sibolangit merupakan satu kesatuan dengan Taman Hutan Raya (Tahura) Bukit Barisan di mana Tahura Bukit Barisan merupakan Tahura ketiga di Indonesia yang ditetapkan oleh Presiden dengan Surat Keputusan Presiden R.I. No. 48 Tahun 1988 tanggal 19 Nopember
1988. Pembangunan Tahura ini sebagai upaya konservasi sumber daya alam dan pemanfaatan lingkungan melalui peningkatan fungsi dan peranan hutan. Tahura Bukit Barisan adalah unit pengelolaan yang berintikan kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi dengan luas seluruhnya 51.600 ha. Sebagian besar merupakan hutan lindung berupa hutan alam pegunungan yang ditetapkan sejak jaman Belanda, meliputi Hutan Lindung Sibayak I dan Simancik I, Hutan Lindung Sibayak II dan Simancik II serta Hutan Lindung Sinabung. Bagian lain kawasan Tahura ini terdiri dari Cagar Alam (CA)/Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit, Suaka Margasatwa (SM) Langkat Selatan, Taman Wisata Alam (TWA) Lau Debuk-debuk dan Bumi Perkemahan (Bumper) Pramuka Sibolangit (www.dephut.go.id).
2.6.1 Flora dan Fauna
Flora yang tumbuh di kawasan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit sebagian adalah jenis asli dan sebagian lagi berasal dari luar negeri. Pada umumnya terdiri dari pohon yang besar dengan diameter lebih dari 1 meter, seperti di antaranya jenis sono kembang (Dalbergia latifolia), angsana (Pterococarpus indicus) dan kelenjar (Samanea saman). Ada juga jenis tanaman palam dan pinang. Di samping itu terdapat pula tumbuhan yang merambat seperti Philodendron sp. Adanya tumbuhan ini dikarenakan jumlah curah hujan yang cukup tinggi (diperkirakan antara 3000 sampai dengan 4000 mm/tahun). Sedangkan tanaman bawah atau ground cover yang dipakai sebagai pembatas jalan setapak pada umumnya didominasi jenis dari genus Anthurium dari famili Araceae.
Tumbuhan khas di kawasan ini juga ditemukan yakni salah satu tumbuhan yang tergolong langka (tumbuh setiap 5 tahun sekali) dan mempunyai daya tarik tersendiri yaitu bunga bangkai (Amorphophallus titanum).
Ada pun jenis fauna yang sering dijumpai adalah kera (Macaca fascicularis) dan lutung (Presbytis sp) yang senang bermain-main di pohon. Apalagi pada musim buah duku dan durian, frekuensi kunjungannya akan semakin sering. Keberadaan kera dan lutung ini memberikan daya tarik tersendiri karena dapat beratraksi dan mengeluarkan bunyi suara yang amat nyaring. Selain itu, pada musim yang sama (musim buah) banyak dijumpai
jenis-jenis burung seperti burung rangkong (Buceros sp), burung kutilang (Pycnonotus sp), kacer (Copsycus sp), srigunting (Dicrurus sp) serta jenis hewan lainnya seperti babi hutan (Sus sp), biawak (Varanus salvator) kancil (Tragulus javanicus) dan trenggiling (Manis javanica) (www.dephut.go.id).
2.6.2 Sejarah
Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit yang terlihat saat ini mempunyai perjalanan sejarah yang panjang. Dahulu, Pemerintah Belanda menganggap kawasan hutan yang dikenal sebagai Kebun Raya (Botanical Garden) Sibolangit sebagai bentang alam yang penting terutama dari sisi ekologi, pendidikan dan penelitian untuk pengembangan Kota Medan. Kebun Raya (KR) Sibolangit merupakan salah satu dari dua cabang Kebun Raya Bogor yakni Kebun Raya Sibolangit dan Kebun Raya Setia Mulia di Sumatera Barat.
Kebun Raya Sibolangit resmi dibuka pada tahun 1914 oleh J.A Lorzing dan didukung oleh Dr J.C. Koningsberger yang menjabat Direktur Kebun Raya Bogor di masa itu. Untuk memperjelas statusnya, tahun 1916 diadakan pemetaan dan pembuatan tapal batas Kebun Raya Sibolangit. Berdasarkan tapal batas, waktu itu kebun raya masuk dalam kekuasaan Sultan Deli yang berpusat di Medan.
Pernah Hortus Sibolangit, sebutan lain berbahasa Belanda untuk Kebun Raya Sibolangit mengalami masa kejayaan di era 1914 hingga 1928. Pendataan, pengoleksian serta pengadaan herbarium layaknya kegiatan sebuah kebun raya dikerjakan dan kegiatan ini memakan energi yang tidak sedikit. Hal ini antara lain dapat dilihat dari keberadaan tungku pengeringan spesimen yang sudah tergolong maju waktu itu. Selain itu tumbuhan koleksi sedang dalam tahap pengembangan.
Kekurangan dana operasional pada tahun 1928 memaksa kebun raya ini vakum beberapa tahun. Praktis kegiatan perkebunrayaannya pun terhenti. Pada tanggal 24 Mei 1934, Kesultanan Deli menimbang bahwa luasan hutan tersebut dianggap penting lalu mengubah statusnya menjadi Cagar Alam berdasarkan Surat Keputusan Z.b No.85 PK. Kevakuman berakhir hingga Indonesia merdeka dari kolonial. Pada tahun 1948 dibuka
kembali, namun dana yang minim akhirnya dipilih menyerahkan kebun raya kepengelolaan Djawatan Kehutanan.
Tahun 2000-an tidak banyak yang berubah pada Cagar Alam Sibolangit. Sebelumnya, CA Sibolangit pernah diperluas sebanyak 5,85 ha berasal dari bekas Hak Guna Usaha Seng Hap dengan SKPT Menteri Pertanian Agraria No.104/KA/1957 Tanggal 11 Juni 1957. Kemudian pada tahun 1980, luasan hutan CA Sibolangit sebanyak 24,85 ha dialihstatuskan menjadi Taman Wisata Alam (TWA) Sibolangit mengingat hutan tersebut penting dan potensial dijadikan sebagai laboratorium alam dan sarana rekreasi. Pengalihsatatusan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pertanian No. 636/Kpts/Um/9/1980 dengan harapan menjadi keperluan ilmu pengetahuan dan pendidikan serta pengembangan pariwisata sesuai fungsi Taman Wisata Alam. Saat ini luas CA Sibolangit tinggal 95,15 ha.
Pada tahun 2001 Taman Wisata Alam/Cagar Alam (TWA/CA) Sibolangit menjadi perhatian masyarakat umum. Terutama dibangunnya Pusat Rehabilitasi Orangutan Sumatera di Desa Batu Mbelin oleh Yayasan Ekosistem Lestari (YEL) dengan suntikan dana dari Yayasan Pan Eco, Swiss. Setahun setelahnya, menyusul Conservation International (CI) memberikan perhatian yang serius dengan memperbaiki dan membangun sarana seperti wisma tamu (guest house), pintu gerbang, perawatan jalan interpretasi, pengadaan papan pendidikan, pendidikan pemuda setempat sebagai interpreter serta menyusun program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah.
Program pendidikan lingkungan bagi anak sekolah sangat bermanfaat dan bernilai positif walaupun kunjungan dinilai masih sedikit. Berbagai usaha dilakukan agar tingkat kunjungan meningkat di masa krisis moneter waktu itu. Poster-poster pendidikan pun mulai ditingkatkan serta mengundang anak sekolah secara khusus. Namun, setelah masa-masa itu berlalu, beberapa tahun belakangan ini kegiatan-kegiatan yang sama mulai meredup seiring habisnya program lembaga pendukung dan minimnya dana operasional sehari-hari (Sari & Widodo, 2004).
Obyek wisata yang menjadikan daya tarik di kawasan ini adalah pemandangan alam yang indah dan tenang di samping aneka koleksi (kebun) botaninya. Banyak pengunjung yang datang hanya menikmati keindahan, ketenangan dan kesejukan alam di Taman Wisata Alam Sibolangit sembari melepaskan rasa penat/letih setelah melaksanakan pekerjaan/tugas-tugas rutin sehari-hari. Namun banyak pula pengunjung yang datang di samping untuk menikmati keindahan Taman Wisata Alam Sibolangit juga mempelajari dan meneliti aneka koleksi vegetasi yang ada di kawasan tersebut. Sehingga tidak berlebihan kalau dikatakan kawasan ini memiliki dwifungsi yaitu sarana rekreasi serta sekaligus pendidikan dan penelitian.
Fasilitas wisata pendukung yang telah tersedia seperti jalan setapak mengelilingi kawasan, pondok tedung (shelter), guest house dan pusat informasi (Kantor Resort KSDA Sibolangit atau Sub Seksi KSDA Deli Serdang). Bagi yang ingin mempelajari dan meneliti vegetasi yang ada, pada masing-masing pohon telah diberi nama daerah, Indonesia dan ilmiah yang ditulis pada lempengan kaleng dan ditempelkan di pohon-pohon tersebut. Di samping itu petugas-petugas KSDA setempat sebagai petugas pengelola juga akan memandu para pengunjung yang memerlukan penjelasan tentang Kawasan Taman Wisata Alam/Cagar Alam Sibolangit (www.dephut.go.id).